Anda di halaman 1dari 36

EVALUASI PROGRAM PENGENDALIAN

TUBERKULOSIS
DI UPT PUSKESMAS TEGALREJO

PERIODE JANUARI-OKTOBER 2021

Guna Memenuhi Syarat Sebagai Dokter Internsip di Puskesmas Tegalrejo

Disusun oleh:

dr. Talitha Inas Lailina

Pembimbing:

dr. Fajar Wahyuni

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


UPT PUSKESMAS TEGALREJO 2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang masih menjadi masalah
Kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, keccatan, hingga kematian yang
tinggi di Indonesia. Penyakit TB disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat
menyerang paru dan organ lainnya.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi perhatian
dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB dan masih menjadi
tantangan untuk masalah Kesehatan bagi banyak negara di dunia. Secara global pada tahun
2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120
kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan strategi ‘End Tuberculosis’ yang merupakan bagian dari Sustainable
Development Goals (SDG) dengan satu tujuan yaitu untuk mengakhiri epidemi
tuberculosis di seluruh dunia. Sebanyak 45% kasus TB di dunia terdapat di wilayah Asia
Tenggara. Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden
countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator, yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-
TBC. Indonesia Bersama dengan 13 negara lain masuk dalam daftar HBC untuk 3
indikator tersebut. Hal ini bisa disimpulkan bahwa Indonesia memiliki permasalahan besar
dalam penyakit TBC.
Data pada tanggal 16 April 2021 memaparkan bahwa di Indonesia pada tahun 2020
terdapat 344.992 kasus TB yang ditemukan dan diobati dengan di antaranya terdapat 7.921
orang merupakan kasus TB yang resisten terhadap pengobatan kategori 1. Terdapat 7.866
kasus TB/HIV yang tercatat di tahun 2020. Jumlah kematian akibat TB pada tahun 2020
sebanyak 13.947 jiwa. Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai Indonesia, jumlah kasus
tuberkulosis baru di Indonesia masih menduduki peringkat ketiga di dunia dan merupakan
salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dan memerlukan perhatian dari
semua pihak, karena memberikan beban morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Sasaran nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang SDGs menetapkan
target prevalensi TBC pada tahun 2019 menjadi 245 per 100.000 penduduk. Sementara
prevalensi TBC tahun 2014 sebesar 297 per 100.000 penduduk. Menurut Permenkes
Nomor 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis menetapkan target program
Penanggulangan TBC nasional yaitu eliminasi pada tahun 2035 dan Indonesia Bebas TBC
Tahun 2050. Eliminasi TBC adalah tercapainya kasus TBC 1 per 1.000.000 penduduk,
sementara pada tahun 2017 jumlah kasus TBC sebesar 25,4 per 1.000.000 penduduk.
Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) merupakan jumlah semua
kasus TBC yang diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang nantinya bisa
menggambarkan trend meningkat atau menurunnya penemuan kasus dari tahun ke tahun.
CNR di Indonesia dari tahun 2008 – 2017 cenderung mengalami peningkatan walaupun
tidak secara signifikan. Pada tahun 2017 CNR Indonesia 161 per 100.000 penduduk.
Cakupan pengobatan semua kasus TBC (case detection rate) yang diobati adalah jumlah
semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan di antara perkiraan jumlah semua kasus
TBC (insiden). CDR di Indonesia dari tahun 2008 – 2017 mengalami peningkatan. Pada
tahun 2018 CDR di Indonesia sebesar 42,4%, meningkat sebesar 11,6% dari tahun 2008.
Angka keberhasilan (success rate) adalah jumlah semua kasus TBC yang sembuh dan
pengobatan lengkap di antara semua kasus TBC yang diobati dan dilaporkan. Angka ini
merupakan penjumlahan angka kesembuhan semua kasus dan angka pengobatan lengkap
semua kasus. Badan kesehatan dunia menetpkan standar keberhasilan pengobatan sebesar
85% dan angka keberhasilan Indonesia pada tahun 2017 telah mencapai sebesar 87,8%.
Telah banyak kemajuan yang dicapai dalam pengendalian TB di Indonesia tetapi
tantangan masalah TB ke depan tidaklah semakin ringan. Tantangan tersebut diantaranya
berupa meningkatnya koinfeksi TB-HIV, kasus TB-MDR, kelemahan manajemen dan
kesinambungan pembiayaan program pengendalian TB. Walaupun jumlahnya sudah
berhasil ditekan, tapi jumlah pasien TB dan kematiannya masih juga cukup banyak. Oleh
karena itu, pengendalian TB memerlukan partisipasi semua pihak dan dukungan seluruh
lapisan masyarakat.

1.2 Masalah
Belum adanya evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Tegalejo
tahun 2021 untuk melihat sejauh mana keberhasilan puskesmas dalam program
Pengendalian TB.
1.3 Tujuan
1.3.1. Tujuan umum
Melakukan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis agar dapat
diketahui pelaksanaan dan tingkat keberhasilannya di Puskesmas Tegalrejo
1.3.2. Tujuan khusus
a. Mengetahui pelaksanaan dan pencapaian program Pengendalian Tuberkulosis
di Puskesmas Tegalrejo
b. Mengetahui masalah-masalah pada program Pengendalian Tuberkulosis di
Puskesmas Tegalrejo
c. Mengetahui kemungkinan penyebab masalah-masalah dari program
Pengendalian Tuberkulosis di Puskesmas Tegalrejo dan membuat prioritas
masalah
d. Membuat alternatif pemecahan masalah untuk program Pengendalian
Tuberkulosis di Puskesmas Tegalrejo

1.4 Manfaat
1.4.1. Manfaat bagi Puskesmas
a. Mendapat masukan mengenai pelaksanaan dan masalah-masalah yang
dihadapi selama pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis di
Puskesmas Tegalrejo
b. Mendapat alternatif penyelesaian masalah dalam pelaksnaan program
Pengendalian Tuberkulosis Puskesmas Tegalrejo
c. Sebagai bahan masukan untuk melakukan penyuluhan kesehatan guna
meningkatkan keberhasilan program Pengendalian Tuberkulosis Puskesmas
Tegalrejo pada tahun-tahun berikutnya
1.4.2. Manfaat bagi Penulis
a. Penulis dapat melakukan evaluasi program puskesmas dengan
mengaplikasikan ilmu kesehatan komunitas
b. Mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan program Pengendalian
Tuberkulosis di Puskesmas Tegalrejo
c. Penulid dapat mengidentifikasi masalah dan memberikan alternatif
penyelesaian masalah sebagai masukan untuk pelaksanaan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Program Penanggulangan Tuberkulosis


2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit kronis menular yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan dikenal sebagai
Bakteri Tahan Asam (BTA). Sebagian besar kuman TB ditemukan menginfeksi
parenkim paru dan menyebabkan TB paru, namun bakteri ini juga memiliki
kemampuan menginfeksi organ tubuh lainnya seperti pleura, kelenjar limfa, tulang,
dan organ lainnya yang dikenal sebagai TB extra paru.

2.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis


World health organization (WHO) menyebutkan bahwa Indonesia masuk ke
dalam lima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia pada tahun 2014 bersama
dengan negara lainnya, yaitu India, China, Nigeria, Pakistan. Pada tahun 2020
teridentifikasi 357.199 dari estimasi 845.000 kasus TB. Total kematian akibat penyakit
TB pada tahun 2020 sejumlah 13.947 jiwa. Success rate pengobatan TB di Indonesia
tahun 2020 mencapai 83%.
Angka prevalensi TB pada tahun 2019 di Kota Yogyakarta meningkat
dibandingkan dengan tahun 2018, dari 136,65 per 100.000 penduduk menjadi 145,18
per 100.000 penduduk pada tahun 2019. Jumlah penemuan kasus baru TB di tahun
2019 sebanyak 604 kasus, meningkat dibanding tahun 2018 yang berjumlah 564 kasus.
Data tersebut berasal dri 18 Puskesmas dan 12 Rumah Sakit yang berada di Kota
Yogyakarta. Secara keseluruhan penemuan kasus baru TB semua tipe di Kota
Yogyakarta mengalami peningkatan. Angka success rate pengobatan TB di
Yogyakarta pada tahun 2019 sebesar 83% yang mana mengalami penurunan jika
dibandingkan pada tahun 2018 sebesar 84,23%. Secara keseluruhan dari tahun 2010 –
2019 angka success rate di kota Yogyakarta mengalami fluktuasi peningkatan dan
penurunan.
2.1.3 Tujuan dan Sasaran Penanggulangan TB
Penanggulangan TB adalah segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek
promotive dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif dengan
tujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan,
kecacatan atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat, dan
mengurangi dampak negative yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis.
Penganggulangan TB diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, dan
berkesinambungan yang melibatkan semua phak terkait baik pemerintah, swasta,
maupun masyarakat (Kemenkes RI, 2016).
Tujuan khusus penanggulangan tuberculosis tahun 2020 – 2024, yaitu:
 Memperkuat manajemen program penanggulangan TB yang responsive mulai dari
pusat, provinsi, kabupaten, kabupaten, kota, dan fasyankes
 Meningkatkan kualitas pelayanan TB yang berpusat pada kebutuhan masyarakat
 Meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan TB
 Meningkatkan kebutuhan dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya
penanggulangan TB.

Target utama penanggulangan TB di tahun 2024, yaitu:


 Menurunkan insidensi TBC menjadi 190 per 100.000 penduduk
 Menurunkan kematian akibat TBC menjadi 27 per 100.000 penduduk
 Case detection sebanyak 768.024 kasus; dengan 63.746 kasus merupakan kasus
anak yang terdiagnosis dan diobati dan 19.686 kasus TB Resisten Obat yang
terdiagnosis dan diobati
 Pencegahan dilakukan dengan memberikan TPT (termasuk kontak serumah,
ODHA, dan kelompok resiko) kepada 1.129.015 orang

2.1.4 Strategi
Strategi nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 2020 – 2024
dilaksanakan dengan enam strategi, yaitu:
 Strategi 1. Penguatan komitmen dan kepemimpinan pemerintah pusat, provinsi,
dan kabupaten/kota untuk mendukung percepatan eliminasi tuberculosis 2030
 Strategi 2. Peningkatan akses layanan tuberculosis bermutu dan berpihak pada
pasien
 Strategi 3. Optimalisasi upaya promosi dan pencegahan, pemberian pengobatan
pencegahan tuberculosis serta pengendalian infeksi
 Strategi 4. Pemanfaatan hasil riset dan teknologi skrining, diagnosis, dan
tatalaksana tuberculosis
 Strategi 5. Peningkatan peran serta komunitas, mitra, dan multisector lainnya
dalam eliminasi tuberculosis
 Strategi 6. Penguatan manajemen program melalui penguatan sistem kesehatan

2.1.5 Kegiatan
A. Intervensi bagi orang dengan TB atau gejala TB yang belum/tidak mengakses
layanan kesehatan
a. Mengembangkan sistem rujukan terduga TB yang datang ke layanan
kesehatan berbasis masyarakat
b. Melibatkan apotek dalam pemantauan pengobatan TB
c. Melakukan ekspansi cakupan dan kualitas inisiatif public-private mix
B. Intervensi bagi orang dengan TB datang ke layanan tetapi tidak terdiagnosis atau
tidak dilaporkan
a. Penyesuaian alur skrining dan diagnosis TB
b. Peningkatan surveilens rutin yang disertai supervise yang berkualitas di
tingkat fasilitas pelayanan kesehatan
c. Penyediaan akses layanan test HIV secara merata pada layanan tuberculosis
d. Memastikan ketersediaan logistic laboratorium yang berkesinambungan
e. Penguatan penerapan TemPO (Temukan, Pisahkan, Obati) dan program
pencegahan dan pengendalian infeksi TB
C. Intervensi bagi orang yang dilaporkan sebagai kasus TB tetapi tidak berhasil diobati
a. Penggunaan teknologi terbaru untuk melakukan pemantauan pengobatan TB
b. Implementasi penggunaan obat baru dan panduan standar jangka pendek
untuk meningkatkan kualitas pengobatan pasien TBC RO di Indonesia
D. Intervensi kebijakan dan regulasi dengan mengembangkan kebijakan
penanggulangan TB yang komprehensif di tingkat kabupaten/kota serta memiliki
regulasi dan sumber daya yang optimal untuk penanggulangan TB
E. Kerjasama multipihak dan lintas program
a. Skrining dan penemuan kasus pada populasi resiko tinggi
b. Mendorong kerjasama multi-pihak dan lintas program untuk meningkatan
jumlah orang dengan TBRO yang memulai pengobatan
c. Mengembangkan strategi komunikasi untuk konseling dan pengurangan
stigma TB SO, TB RO, dan TB-HIV
d. Mendorong kerjasama lintas sector untuk meningkatkan cakupan ARV pada
orang dengan TB-HIV
e. Melakukan kajian multisectoral untuk melakukan monitoring dan evaluasi
pencapaian dan tantangan penanggulangan TB di Indonesia
F. Intervensi mengenai pembiayaan Kesehatan

2.1.6 Penemuan Kasus Tuberkulosis


Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala:
 Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB,
seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke Fasyankes dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung.
 Suspek TB MDR adalah semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah
satu atau lebih kriteria suspek dibawah ini:
1) Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
2) Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
3) Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5) Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
6) Pasien TB kambuh.
7) Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
8) Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
9) ODHA dengan gejala TB-HIV.
Setelah menjaring mereka yang memiliki gejala, tahap selanjutnya adalah pemeriksaan
dahak. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk
penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang
dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu- Pagi
• S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan
dahak pagi pada hari kedua.
• P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di
Fasyankes.

2.1.7 Diagnosis Tuberkulosis

Semua pasien terduga TB harus menjalani pemeriksaan bakteriologis


untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis merujuk pada
pemeriksaan apusan dari sediaan biologis (dahak atau spesimen lain),
pemeriksaan biakan dan identifikasi M. tuberculosis atau metode diagnostik
cepat yang telah mendapat rekomendasi WHO).

Pada wilayah dengan laboratorium yang terpantau mutunya melalui


sistem pemantauan mutu eksternal, kasus TB Paru BTA positif ditegakkan
berdasarkan hasil pemeriksaan BTA positif, minimal dari satu spesimen. Pada
daerah dengan laboratorium yang tidak terpantau mutunya, maka definisi kasus
TB BTA positif bila paling sedikit terdapat dua spesimen dengan BTA positif.

Diagram 2.1 Alur Diagnosis TB Paru

2.1.8 Pengobatan Tuberkulosis

2.1.8.1 Prinsip Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan, mempertahankan


kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TB aktif
atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TB. mengurangi penularan TB
kepada orang lain dan mencegah perkembangan serta penularan resistan obat.
Pengobatan tuberkulosis yang adekuat harus memenuhi prinsip:
Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
 Diberikan dalam dosis yang tepat
 Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
intensif serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahapan pengobatan Tuberkulosis terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap awal


(intensif) dan tahap lanjutan.
 Tahap awal (intensif) : pada tahap intensif (awal) pasien mendapat
obat setiap hari. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru,
harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan
secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah
sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
 Tahap Lanjutan : Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh
sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh, khususnya kuman
persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase
lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.

2.1.8.2 Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket,


dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien
dalam satu (1) masa pengobatan.
1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:

 Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

 Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

 Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)


 Kategori Anak: 2HRZ/4HR

 Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di


Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid dan etambutol.
2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien.
3. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

2.1.8.3 Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.

1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
• Pasien baru TB paru BTA positif.

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

• Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.1 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Tabel 2.2 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
• Pasien kambuh

• Pasien gagal

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)


Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Catatan:

• Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
• Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

•Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan


aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

3. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 2.5 Dosis KDT untuk Sisipan

Tabel 2.6 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan
kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut
jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.

2.1.9Monitoring dan Evaluasi Program


Monitoring dan evaluasi program TB merupakan salah satu fungsi
manajemen untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program TB. Monitoring
dilakukan secara rutin dan berkala sebagai deteksi awal masalah dalam
pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan tindakan
perbaikan.
Monitoring dapat dilakukan dengan membaca dan menilai laporan rutin
maupun laporan tidak rutin, serta kunjungan lapangan. Evaluasi dilakukan
untuk menilai sejauh mana pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah
ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dalam rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6
bulan s/d 1 tahun.
Seluruh kegiatan program harus dimonitor dan dievaluasi dari aspek
masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara menelaah
laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan maupun
masyarakat sasaran
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan penanggulangan TB
digunakan beberapa indikator. Indikator penanggulangan TB secara Nasional
ada 2 yaitu:
 Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)
Adalah jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan di antara
perkiraan jumlah semua kasus TB (insiden).
Rumus:

 Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate = SR).


Adalah jumlah semua kasus TB yang sembuh dan pengobatan lengkap di
antara semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan. Dengan demikian angka
ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan semua kasus dan angka
pengobatan lengkap semua kasus. Angka ini menggambarkan kualitas
pengobatan TB
Rumus :
Angka kesembuhan semua kasus yang harus dicapai minimal 85%
sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90%.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya
tetap perlu diperhatikan, meninggal, gagal, putus berobat (lost to follow up),
dan tidak dievaluasi.

2.1.10Evaluasi Program

Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing


menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan
program. Secara umum, istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran
(appraisal), pemberian angka (ratting) dan penilaian (assessment) kata-kata yang
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya.
Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada
kenyataan mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan
pada tujuan atau sasaran, dalam hal ini dikatakan bahwa kebijakan atau program
telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-
masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi.
Evaluasi merupakan cara untuk membuktikan keberhasilan atau kegagalan
pelaksanaan dari suatu program, oleh karena itu pengertian evaluasi sering
digunakan untuk menunjukan tahapan siklus pengelolahan program yang
mencakup :
 Evaluasi pada tahap perencanaan (EX-ANTE).

Pada tahap perencanaan, evaluasi sering digunakan untuk memilih dan


menentukan prioritas dari berbagai alternative dan kemungkinan cara
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya.
 Evaluasi pada tahap pelaksanaan (ON-GOING).
Pada tahap pelaksanaan, evaluasi digunakan untuk menentukan tingkat
kemajuan pelaksanaan program dibandingkan dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya.

 Evaluasi pada tahap Pasca Pelaksanaan (EX-POST)


Pada tahap pasca pelaksanaan evaluasi ini diarahkan untuk melihat
apakah pencapaian (keluaran/hasil/dampak) program mampu mengatasi
masalah pembangunan yang ingin dipecahkan. Evaluasi ini dilakukan setelah
program berakhir untuk menilai relevansi (dampak dibandingkan masukan),
efektivitas (hasil dibandingkan keluaran), kemanfaatan (dampak dibandingkan
hasil), dan keberlanjutan (dampak dibandingkan dengan hasil dan keluaran)
dari suatu program.

2.1.11 Indikator dan Target

Untuk menentukan berhasil tidaknya suatu program maka dibutuhkan


indikator-indikator sebagai bahan evaluasi dan monitoring. WHO menetapkan
tiga indikator TBC beserta targetnya yang harus dicapai oleh negara-negara
dunia, yaitu:

1. Menurunkan jumlah kematian TBC sebanyak 95% pada tahun 2035


dibandingkan kematian pada tahun 2015.

2. Menurunkan insidens TBC sebanyak 90% pada tahun 2035 dibandingkan


tahun 2015.

3. Tidak ada keluarga pasien TBC yang terbebani pembiayaannya terkait


pengobatan TBC pada tahun 2035.

Sasaran nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional


(RPJMN) yang tertuang pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017
tentang SDGs menetapkan target prevalensi TBC pada tahun 2019 menjadi
245 per 100.000 penduduk.

Sementara prevalensi TBC tahun 2014 sebesar 297 per 100.000


penduduk. Sedangkan di Permenkes Nomor 67 Tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberkulosis menetapkan target program Penanggulangan
TBC nasional yaitu eliminasi pada tahun 2035 dan Indonesia Bebas TBC
Tahun 2050. Eliminasi TBC adalah tercapainya jumlah kasus TBC 1 per
1.000.000 penduduk. Sementara tahun 2017 jumlah kasus TBC saat ini
sebesar 254 per 100.000 atau 25,40 per 1 juta penduduk.

INDIKATOR 2014 2020 2025 2030 2035

Angka Kesakitan 299 30% 50% 80% 90%

Angka Kematian 41 40% 70% 90% 95%


BAB III
METODE EVALUASI

3.1 Pengumpulan Data

Pengumpulan data bersumber dari data primer dan data sekunder. Sumber data
primer diperoleh melalui wawancara dengan koordinator pelaksana Program Pengendalian
Tuberkulosis di UPT Puskesmas Tegalrejo. Selain itu, data sekunder didapatkan dari Profil
UPT Puskesmas Tegalrejo 2021.

3.2 Cara penilaian dan Evaluasi

3.2.1. Penetapan Indikator dan tolok ukur penilaian

Evaluasi dilakukan pada Program Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas


Tegalrejo. Sumber rujukan tolak ukur penilaian yang digunakan adalah sebagai
berikut :
1. Profil UPT Puskesmas Tegalrejo 2021

2. Pedoman Nasional Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru tahun 2020


3. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2020-2024

Tabel 3.1 Penetapan Indikator utama dan target

Indikator Baseline Target


2018 2020 2021 2022 2023 2024
1. Cakupan penemuan dan 67% 80% 85% 90% 90% 90%
pengobatan TB
2. Angka keberhasilan 85% 90% 90% 90% 90% 90%
pengobatan TB

3.3 Cara Analisis

3.3.1. Menetapkan indikator dan tolok ukur dari unsur keluaran.

Mengetahui atau menetapkan indikator dan tolok ukur atau standar yang ingin
dicapai merupakan langkah pertama untuk menentukan adanya suatu masalah dari
pencapaian hasil output. Indikator didapatkan dari berbagai rujukan, rujukan
tersebut harus realistis dan sesuai sehingga layak digunakan untuk mengukur.
Tolok ukur juga diperoleh dari rujukan.
3.3.2. Membandingkan pencapaian masing-masing indikator keluaran dengan tolok
ukurnya.
Langkah selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian program
(output) dengan tolok ukurnya. Jika terdapat kesenjangan antara tolok ukur dengan
hasil pencapaian pada unsur keluaran maka disebut sebagai masalah.
3.3.3. Menetapkan prioritas masalah.

Masalah bisa lebih dari satu, tergantung dari indikator yang dipakai. Sehingga
perlu dibuat prioritas masalah. Tujuan menetapkan prioritas masalah adalah
menetapkan masalah yang akan dipecahkan masalahnya terlebih dahulu.
3.3.4. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan.

Untuk menentukan penyebab masalah, gambarkan terlebih dahulu proses


terjadinya masalah atau kerangka konsep prioritas masalah, sehingga diharapkan
semua faktor penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi.
3.3.5. Identifikasi penyebab masalah.

Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan unsur masukan, proses, umpan


balik dan lingkungan sebagai faktor yang diperkirakan berpengaruh terhadap
prioritas masalah. Selanjutnya menentukan tolok ukur dari masing-masing unsur
tersebut. Setelah itu, bandingkan pencapaian dari unsur-unsur tersebut dengan
tolok ukurnya, kesenjangan yang ada ditetapkan sebagai penyebab masalah.
3.3.6. Membuat alternatif jalan keluar.

Sesuai dengan penyebab masalah yang ditemukan, maka dibuat alternatif


jalan keluar. Alternatif jalan keluar dibuat dengan melihat kerangka konsep
prioritas masalah, sehingga tersusun daftar alternatif jalan keluar, dengan melihat
kondisi dan situasi fasilitas kesehatan di puskesmas.
3.3.7. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah.

Setelah membuat alternatif jalan keluar yang dianggap paling baik dan
memungkinkan
3.4 Cara Evaluasi

3.4.1. Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan secara manual dengan data di tabel- tabel yang
tersedia, kemudian dilanjutkan dengan perhitungan secara komputerisasi.
3.5 Waktu dan Lokasi

Pengambilan data dilakukan mulai Januari 2021-Oktober 2021 dengan


melakukan wawancara kepada koordinator pelaksana Program Pengendalian
Tuberkulosis di UPT Puskesmas Tegalrejo
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Data Umum

4.1.1. Keadaan Geografis

Nama Puskesmas : Tegalrejo

Kelurahan : Karangwaru

Kecamatan : Tegalrejo

Provinsi : DIY
Puskesmas Tegalrejo merupakan Puskesmas Rawat Jalan dengan
persalinan 24 jam yang terletak di Jl. Magelang Km 2 No 180 Yogyakarta.
Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara : kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman
2. Sebelah timur : Kecamatan Jetis, Kota Yogyakarta
3. Sebelah selatan : Kecamatan Jetis, Kecamatan Wirobrajan
4. Sebelah barat : Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul
Puskesmas Tegalrejo mempunyai luas wilayah kerja 2,91 km2, countur
tanahnya adalah datar dengan dilewati beberapa sungai yang lebarnya sedang 5-
10 M dengan debit air yang relatif kecil. Ketinggian daratan adalah 113 M dari
permukaan air laut,
Wilayah Tegalrejo termasuk perkotaan dengan padatnya bangunan
perumahan dan pertokoan serta pusat-pusat bisnis dan Pendidikan. Kecamatan
Tegalrejo sendiri terdiri dari 4 kelurahan memiliki 46 RW dan 188 RT
1. Kelurahan Kricak : 13 RW, 61 RT
2. Kelurahan Karangwaru : 14 RW, 56 RT
3. Kelurahan Tegalrejo : 12 RW, 47 RT
4. Kelurahan Bener : 7 RW. 26 RT
Adapun wilayah kerja Puskesmas Tegalrejo dibatasi oleh wilayah-
wilayah sebagai berikut :
Gambar 4.1 Peta Kecamatan Tegalrejo
4.1.2. Data Demografis
Wilayah Tegalrejo memiliki penduduk yang sangat beragam, baik dari segi
sosial ekonomi, tingkat Pendidikan, asal daerah, agama, dll. Keragaman tersebut
menjadi kesatuan yang dinamis karena semua menjalankan fungsinya dengan baik.
Hal ini didukunh pula oleh struktur kepemerintahan yang sudah terpola dan
masyarakat yang telah memiliki kesadaran tinggi terhadap aspek-aspek kehidupan.
Transportasi dapat berjalan lancar karena memiliki jalan raya yang
menunjang yang menghubungkan dengan pusat kota dan pusat-pusat bisnis
pergerakan ekonomis. Kepadatan penduduk merata dengan jumlah penduduk 37.261
jiwa terdiri dari 18.206 jiwa laki-laki dan 19.055 jiwa perempuan, serta jumlah
Kepala Keluarga sebanyak 12.560 KK

1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin


Grafik 4.1 Proyeksi jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

Penduduk sebagai sumber daya manusia merupakan modal dasar


pembangunan karena pelaksanaan pembangunan tidak cukup hanya mengandalkan
sumber daya alam tetapi tergantung juga pada sumber daya manusia. Mutu
penduduk wilayah Puskesmas Tegalrejo dapat dilihat dari kemampuan baca tulis
juga tingkat pendidikan formal yang diselesaikan. Tingkat pendidikan formal
penduduk dapat dijadikan dasar perencanaan program kesehatan khususnya bidang
promotif dan preventif.

Grafik 4.2 Proyeksi jumlah penduduk berdasarkan pendidikan

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

Tabel 4.1 Peduduk Puskesmas Tegalrejo berdasarkan agama


ISLAM KRISTEN KATOLIK HINDU BUDHA KONGHUCU
KRICAK 10813 1355 1123 8 0 0
KARANGWARU 8241 661 774 4 0 1
TEGALREJO 7223 746 1253 3 0 1
BENER 4077 389 495 8 0 0
TOTAL 30354 3151 3645 23 0 2

4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Pekerjaan


Tingkat sosial ekonomi akan sangat mempengaruhi pola perilaku kesehatan
masyarakat. Hal ini dapat dilihat secara nyata, orang yang memiliki kemampuan
ekonomi tinggi akan menggunakan fasilitas kesehatan yang mahal dan bagus
sedangkan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi menengah kebawah sebagian
besar menggunakan fasilitas kesehatan sesuai dengan kemampuannya. Berikut ini
adalah grafik mata pencaharian penduduk di kecamatan Tegalrejo yang merupakan
gambaran tingkat sosial ekonomi mereka.

Grafik 4.3 Proyeksi jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan

Sepuluh besar kelompk penduduk diwilayah kecamatan Tegalrejo adalah


belum bekerja, rumah tangga, pelajar/mahasiswa, PNS, tenaga medis, swasta,
buruh, karyawan BUMN/BUMD, pensiunan dan wiraswasta. Angka tidak bekerja
cukup tinggi yang harus menjadi perhatian lintas sectoral untuk memberikan
lapangan perkerjaan maupun merangsang untuk dapat menciptakan perkerjaan.

4.2 Sarana Pelayanan Kesehatan

Sarana pelayanan kesehatan akan sangat berpengaruh pada penanganan


masalah- masalah kesehatan. Sarana pelayanan Kesehatan yang baik akan
memberikan kenyamanan kepada pasien sehingga motivasi pasien tinggi untuk
menjaga kesehatannya. Berikut adalah tabel sarana Kesehatan di wilayah kecamatan
tegalrejo.

Tabel 4.2 Sarana Pelayanan Kesehatan Data Tahun 2020


No Sarana Jumlah
1 Puskesmas 1
2 Puskesmas Pembantu 2
3 Rumah Sakit Swasta 1
4 Apotik 9
5 Praktik Dokter Swasta 9
6 Praktik Bidan Swasta 1
7 Posyandu (Balita dan Lansia) 95
8 Posbindu Aktif Terdaftar 3
9 Klinik 5
Jumlah 126

Jumlah sarana tersebut tersebar dalam 4 kelurahan dimana lokasi utama


Puskesmas berada di wilayah Kelurahan Karangwaru sedangkan Puskesmas
Pembantu berada di wilayah Kelurahan Tegalrejo dan Kelurahan Bener. Data
tersebut merupakan data faskes jejaring dengan Puskesmas Tegalrejo.

4.3 Data Khusus

Tabel 4.3 Perbandingan Jumlah Pasien TB Baru Kecamatan Tegalrejo Tahun 2020
dan 2021

Tahun 2020 Tahun 2021

Target Pencapaian Target Pencapaian

Jumlah 121 (100%) 20 (16,5%) 121 (100%) 16 (13,2%)

Kasus

Tabel 4.4. Perbandingan Pasien TB Selesai Pengobatan Tahun 2020 dan 2021

Tahun 2020 Tahun 2021

Target Pencapaian Target Pencapaian

Jumlah 20 (100%) 20 (100%) 16 (100%) 14 (87,5%)

Kasus
BAB V
PROPOSAL

5.1 Identifikasi Masalah


Masalah merupakan kesenjangan antara tolok ukur dengan hasil pencapaian pada
unsul keluaran. Proses identifikasi masalah dimulai dengan mengetahui keluaran program
kerja Puskesmas. Kemudian jika ditemukan kesenjangan antara keluaran dengan tolok
ukur, maka hal tersebut merupakan masalah pada program di Puskesmas. Masalah yang
ditemukan pada program Pengendalian TB di Puskesmas Tegalrejo adalah sebagai
berikut

Tabel 5.1. Indikator dan capaian masalah program Pengendalian TB

Indikator Capaian Capaian Target Selisih Rasio Selisih


2020 (%) 2021 (%) 2021 (%) dengan (Capaian/Target) Capaian
Target 2020 –
(%) 2021 (%)
Case 16,5 13,2 85 71,8 0,15 3,3
Detection
Rate
Success 100 87,5 90 2,5 0,97 12,5
Rate

5.2 Menetapkan Daftar Masalah


Masalah yang ditemukan pada program Pengendalian TB di Puskesmas Tegalrejo
Tahun 2021 adalah:
a. Case Detection Rate (CDR) puskesmas adalah 13,2%, lebih kecil dari indikator yang
seharusnya dicapai, yaitu 85%
b. Success Rate puskesmas adalah 87,5%, lebih kecil dari indikator yang seharusnya
dicapai, yaitu 90%.

5.3 Penetapan Prioritas Masalah


Dalam menetapkan prioritas masalah, terdapat kriteria matriks pemilihan prioritas
masalah. Pada teknik ini, setiap masalah diberikan skor berdasarkan beberapa variable,
yaitu:
a. Urgency = U, seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas
b. Seriousness = S, seberapa serius dampak yang diakibatkan isu tersebut
c. Growth = Growth, seberapa besar kemungkinan isu tersebut semakin memburuk
apabila dibiarkan
Diberikan skor antara 1 (tidak penting) sampai dengan 10 (sangat penting) untuk setiap
variabel dan kriteria.
Tabel 5.2. USG: Penetapan prioritas masalah

No Masalah Tingkat Tingkat Tingkat Skor


Urgensi (U) Keseriusan Perkembangan (UxSxG)
(S) (G)
Kriteria I II III IV
1 Penderita 8 8 8 512
TB semua
tipe belum
ditemukan
2 Penderita 7 7 6 294
TB yang
putus obat

1) Penetapan prioritas masalah berdasarkan seberapa mendesak isu tersebut harus


dibahas (Urgency)
Nilai untuk seberapa mendesak isu target dan pencapaian CDR (case detection
rate) untuk dibahas diberikan nilai 8 karena semakin banyak penemuan kasus TB
hingga mencapai target yang ditentukan, semakin baik untuk mencegah penularan.
Nilai yang diberikan untuk SR (success rate) adalah 7 karena jarak kesenjangan
antara target dan pencapaian pada SR lebih kecil dibanding pada CDR

2) Penetapan prioritas masalah berdasarkan seberapa serius dampak yang diakibatkan


isu tersebut (Seriousness)
Pencapaian deteksi kasus TB yang masih jauh di bawah target yang ditetapkan
menunjukan bahwa kasus TB yang tidak terdeteksi masih sangat banyak dan
berpotensi untuk menularkan ke orang dan lingkungan sekitarnya. Penulis
memberikan nilai 8 disebabkan masalah yang akan ditimbulkan semakin besar yaitu
penularan TB tidak terkendali dan kasus TB akan semakin bertambah banyak
Success rate pada variable seriousness diberikan nilai 7 karena masih ada
kesenjangan antara target dengan pencapaian. Dampak yang terjadi jika success rate
tidak mencapai target berupa kasus yang tidak selesai pengobatan yang bisa
membuat kasus yang sensitif obat berubah menjadi resisten obat dan akan membuat
masalah baru terkait terapi yang akan diberikan kepada pasien.
3) Penetapan prioritas masalah berdasarkan seberapa besar kemungkinan isu tersebut
semakin memburuk apabila dibiarkan (Growth)
CDR yang rendah jika dibiarkan akan semakin memburuk karena semakin lama
kasus TB yang tidak terdeteksi semakin bertambah dari tahun ke tahunnya dan
membuat beban kesehatan meningkat karena kasus penularan yang akan tidak
terkendali, maka penulis memberikan nilai 8 untuk variable growth pada masalah
CDR.
SR yang tidak mencapai target akan membuat masalah baru di kemudian hari
karena akan menyebabkan meningkatnya kasus TB yang resisten terhadap obat,
namun karena kesenjangan antara target dan pencapaian tidak terlalu besar maka
penulis memberikan nilai 6.

5.4 Kesimpulan Prioritas Masalah

Berdasarkan hasil perhitungan matriks menggunakan metode USG, maka


penulis menetapkan masalah yang menjadi prioritas yaitu belum tercapainya Case
Detection Rate yang sesuai target bahkan cenderung selalu jauh di bawah target.

5.5. Analisis Penyebab Masalah

Sasaran CDR yang belum tercapai di Puskesmas Tegalrejo merupakan keluaran yang
tidak sesuai dengan target. Keluaran merupakan salah satu unsur system, sehingga untuk
mengatasi keluaran yang tidak sesuai target harus dilihat kemungkinan adanya masalah
dari masukan, proses, umpan balik, dan lingkungan. Penyebab masalah dapat ditetapkan
dengan menggambarkan terlebih dahulu proses terjadinya masalah atau kerangka konsep,
sehingga diharapkan semua factor penyebab masalah dapat diketahui dan diidentifikasi

Kerangka konsep belum tercapainya target CDR di Puskesmas Tegalrejo dapat


dilihat sebagai berikut:
Belum tercapainya
CDR
Kurangnya pengetahuan
Pencatatan masyarakat mengenai
dan pelaporan pentingnya menemukan
kasus Stigma kasus TB pada populasi
masyarakat beresiko
Material
Environment

Refreshment tenaga
Pembinaan dan kesehatan untuk
pelatihan SDM Money penemuan kasus dan
Machine
diagnosis kasus TB

Active dan passive


case finding Jumlah SDM
belum optimal yang kurang
dioptimalisasi
Method Man

Gambar 5.1. Bagan tulang ikan penyebab masalah

5.6 Alternatif Pemecahan Masalah

No Penyebab Masalah Alternatif Pemecahan Masalah

1 Pencatatan data pasien yang Pendataan manual oleh semua tenaga


terkonfirmasi TB belum rapi dan kesehatan, termasuk dokter dan
optimal, tenaga telat upload data perawat jika menemukan pasien
yang terkonfirmasi TB.

Adanya SDM yang terlatih untuk


rutin upload data tiap minggu jika
ada pasien terkonfirmasi TB

2 Pasien yang disuspek tidak Perbaikan metode pengambilan


memeriksakan dahaknya ke faskes dahak yaitu dengan pengambilan
dahak sewaktu saat periksa, baik
dalam setting active finding maupun
passive finding

3 Stigma yang ada pada masyarakat Pemberian media edukasi kepada


mengenai TB sehingga kasus masyarakat mengenai pentingnya
suspek enggan untuk dilakukan penemuan kasus TB pada populasi
pemeriksaan dahak yang beresiko demi kesehatan
lingkungan

4 Tidak ada yang menjamin untuk Advokasi dengan Dinkes mengenai


pemeriksaan rontgen untuk pasien pembiayaan rontgen dan alur
susp TB klinis dengan BTA (-) penegakkan diagnosis TB paru
dengan BTA (-)

5 Dokter dan perawat sering lupa Programer mengingatkan kepada


untuk melakukan skrining pada para tenaga kesehatan untuk rutin
pasien dengan gejala batuk karena skrining pasien dengan gejala batuk
jumlah pasien yang banyak dan rutin refresh alur penegakkan
diagnosis pasien suspek TB agar
tidak ada yang terlewat

6 Belum ada jadwal khusus Screening TB bisa sambil dilakukan


programmer untuk standby, dengan screening PTM pada saat
melakukan, dan mencatat screening kegiatan vaksinasi
TB

5.7 Prioritas Alternatif Pemecahan Masalah

Cara pemecahan masalah telah dibuat dan akan dipilih satu cara
pemecahan masalah yang dianggap paling baik dan memungkinkan.
Pemilihan prioritas cara dari pemecahan masalah ini dengan menggunakan
teknik kriteria matriks, yaitu dengan menentukan:
1. Efektifitas

Efektifitas terdiri dari beberapa faktor yaitu Magnitude (M),


Importancy (I), dan Vulnerability (V). Menetapkan nilai efektifitas
(effectiveness) untuk setiap alternatif jalan keluar, yaitu dengan
memberikan angka 1 (paling tidak efektif) sampai angka 5 (paling
efektif). Prioritas jalan keluar adalah yang nilai efektifitasnya paling
tinggi.
2. Efisiensi (C)

Nilai efisiensi berkaitan dengan biaya (Cost) yang diperlukan


untuk melaksanakan pemecahan masalah. Semakin kecil biaya, semakin
efisien, maka semakin kecil nilainya agar nilai pembaginya lebih kecil,
sehingga jalan keluarnya semakin baik.
3. Prioritas Pemecahan Masalah (P)

Nilai prioritas dinilai dari pembagian nilai C oleh hasil perkalian


nilai M x I x V. Hasil nilai yang tertinggi berarti prioritas jalan keluar
yang terpilih.

Tabel 5.3 Penentuan prioritas pemecahan masalah

Alternatif Pemecahan Efektifitas Efisiensi (C) Jumlah


Masalah (P)
V MxIxV
C
1 4 4 3 3 16
Pendataan manual oleh semua
tenaga kesehatan, termasuk dokter
dan perawat jika menemukan pasien
yang terkonfirmasi TB.
Adanya SDM yang terlatih untuk
rutin upload data tiap minggu jika
ada pasien terkonfirmasi TB
2 Perbaikan metode pengambilan 5 4 3 3 20
dahak yaitu dengan pengambilan
dahak sewaktu saat periksa, baik
dalam setting active finding maupun
passive finding
3 Pemberian media edukasi kepada 5 3 3 2 22,5
masyarakat mengenai pentingnya
penemuan kasus TB pada populasi
yang beresiko demi kesehatan
lingkungan
4 Advokasi dengan Dinkes mengenai 5 4 1 3 6,6
pembiayaan rontgen dan alur
penegakkan diagnosis TB paru
dengan BTA (-)
5 Programer mengingatkan kepada 3 3 3 2 13,5
para tenaga kesehatan untuk rutin
skrining pasien dengan gejala batuk
dan rutin refresh alur penegakkan
diagnosis pasien suspek TB agar
tidak ada yang terlewat
6 Screening TB bisa sambil dilakukan 4 3 5 4 15
dengan screening PTM pada saat
kegiatan vaksinasi

5.8 Rekomendasi Intervensi Program

Judul SOP penatalaksanaan Tuberculosis


Rumusan Masalah Rendahnya capaian pelayanan kesehatan pasien Tuberculosis di
Puskesmas Tegalrejo
Penyebab Masalah Stigma yang ada pada masyarakat mengenai TB sehingga kasus
suspek enggan untuk dilakukan pemeriksaan dahak
Tujuan Tujuan Umum: Pasien Tuberculosis didiagnosis dan tatalaksana
sesuai dengan standar pelayanan minimal berdasarkan alur
Tujuan Khusus:
1. Memperbaiki sistem pelayanan kesehatan Tuberculosis di
puskesmas
2. Membuat kesadaran masyarakat muncul akan penting nya
masalah penyakit Tuberculosis ini
3. Menemukan lebih banyak lagi pasien Tuberculosis sehingga
tercapai CDR
Rincian Kegiatan Kegiatan dilakukan beberapa tahap, yaitu
1. Diskusi dengan pelayanan kesehatan bidang Tuberculosis
dengan dokter, dan perawat dalam membentuk kegiatan
penyuluhan
2. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang Tuberculosis
saat kegiatan pelayanan vaksin
Tempat Puskesmas Pembantu Tompeyan dan Kemantren Tegalrejo
Waktu Pelaksanaan penyuluhan bisa dilakukan setidaknya seminggu 3x
Estimasi Biaya Biaya yang diperlukan untuk penyuluhan Rp. 200.000 (biaya rapat
dan print brosur jika ada yang harus diprint)
Metode Evaluasi Penilaian kuesioner mengenai pemahaman Tuberculosis
Indikator 1. Meningkat nya Case Detection Rate (CDR)
Keberhasilan
2. Semakin banyak nya pasien yang mau diperiksa oleh petugas
kesehatan
BAB VI

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Kesimpulan evaluasi program Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas


Tegalrejo Tahun 2021 adalah sebagai berikut :

a. Masalah dalam pelaksanaan program Pengendalian Tuberkulosis di UPT Puskesmas


Tegalrejo tahun 2021 adalah belum tercapainya Case Detection Rate (CDR)
puskesmas (13,2%) lebih kecil dari indikator yang seharusnya dicapai, yaitu 85%.

b. Penyebab masalahnya adalah pada komponen environment yaitu kurangnya


pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menemukan kasus TB pada populasi
beresiko, serta stigma masyarakat mengenai TB pada kasus suspek sehingga mereka
tidak mau memeriksakan dahak.

c. Alternatif pemecahan masalah tersebut adalah dengan pemberian media edukasi


kepada masyarakat mengenai pentingnya penemuan kasus TB pada populasi yang
beresiko demi kesehatan lingkungan

d. Pemecahan masalah yang terpilih adalah penyuluhan kepada penderita TB, pasien
dan masyarakat secara langsung.
DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, R. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2020) Strategi nasional penanggulangan


tuberkulosis di Indonesia 2020-2024. Kemenkes RI.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 tahun 2021 tentang Penanggulangan


Tuberkulosis.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2016 tentang


Penanggulangan Tuberkulosis

Sari, A. I., Windi, R. R., & Mutiara, H. (2019). 1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Pusat data dan informasi tuberkulosis. Jakarta: InfoDATIN; 2018. 2. Sharma SK, Mohan
A, Sharma A. Miliary tuberculosis: A new look at an old foe. J Clin Tuberc. 2016; 3 (1):
13–27. 3. Ray S. Diagnosis and mana. Medical Profession Journal of Lampung, 9(2), 374-
378.

Anda mungkin juga menyukai