Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS

GLAUKOMA

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Persyaratan Kepaniteraan


Klinik Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh:

ARNITA ANINDIRA
20174011138

Diajukan kepada:
dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
GLAUKOMA

Telah dipresentasikan pada tanggal:


21 Desember 2018

Oleh:
Arnita Anindira
20174011138

Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo

dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat,
petunjuk, dan kemudahan yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan presentasi kasus yang berjudul;
“Glaukoma”
Penulis meyakini bahwa presentasi kasus ini tidak akan dapat tersusun
tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. dr. M. Faisal Lutfi, Sp.M selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian
Ilmu Penyakit Mata di RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah
berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal
sampai terselesaikannya penulisan presentasi kasus ini.
2. Perawat Poliklinik Mata RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo yang telah
berkenan membantu dalam proses berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian
Ilmu Penyakit Mata.
3. Keluarga dan teman-teman yang selalu mendukung dan membantu dalam
selesainya penulisan presentasi kasus ini.
Semoga pengalaman dalam membuat presentasi kasus ini dapat
memberikan hikmah bagi semua pihak. Mengingat penyusunan presentasi kasus
ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan
presentasi kasus selanjutnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Wonosobo, 21 Desember 2018


Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
KATA PENGANTAR..............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I LAPORAN KASUS.....................................................................................5
A. Identitas Pasien................................................................................................5
B. Anamnesis........................................................................................................5
C. Pemeriksaan Fisik............................................................................................6
D. Pemeriksaan Penunjang...................................................................................7
E. Diagnosis.........................................................................................................7
F. Penatalaksanaan................................................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................9
A. Definisi Glaukoma..........................................................................................9
B. Anatomi Bola Mata..........................................................................................9
C. Fisiologi Humor Aqueous..............................................................................12
D. Epidemiologi.................................................................................................14
E. Etiopatogenesis..............................................................................................15
F. Klasifikasi.......................................................................................................16
G. Manifestasi Klinis..........................................................................................19
H. Diagnosis.......................................................................................................20
I. Penatalaksanaan..............................................................................................22
J. Komplikasi dan Prognosis..............................................................................27
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................31

4
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Tn. M
No. CM : 00596715
Tempat, Tanggal Lahir : Wonosobo, 17 Agustus 1974
Usia : 44 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Wonokromo, Mojotengah
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Karywan swasta
Pendidikan Terakhir : SMP
Tgl. Masuk RS : 11 Desember 2018

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Mata kanan tidak bisa melihat

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poliklinik Mata RSUD KRT Setjonegoro,
Wonosobo dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat. Keluhan
dirasakan semenjak 4 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan
kedua mata terasa pegal, namun kini sudah berkurang. Penglihatan
pada mata kiri dirasakannya agak menyempit.
Pada awalnya pasien merasakan mata terasa mengganjal dan
pegal, selama 2 hari dirasakan penglihatan menjadi kabur. Kemudian
secara mendadak, pasien kehilangan penglihatan mata kanannya. Saat
itu pasien mengeluhkan pusing dan kepala terasa berat, disertai mual,
keluhan muntah disangkal. Kemudian pasien segera berobat ke RSUD
KRT Setjonegoro dan didiagnosis dengan glaukoma. Kini pasien
kontrol rutin di poli mata setiap bulannya.

5
.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat gejala serupa, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit
jantung dan paru, alergi, asma, trauma dan gangguan mata
sebelumnya disangkal. Riwayat operasi mata disangkal, pada tahun
2012 pasien pernah menjalani operasi batu ginjal. Riwayat
penggunaan kacamata dan gangguan penglihatan sebelumnya
disangkal. Kacamata digunakan sejak tahun 2016.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat gejala serupa, hipertensi, diabetes mellitus, alergi dan
gangguan mata pada keluarga disangkal.

5. Riwayat Personal Sosial

Sehari-hari pasien bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah

toko elektronik. Pasien merupakan seorang perokok aktif sejak usia 17

tahun, pasien menyangkal mengonsumsi alkohol, obat-obatan terlarang,

dan obat-obatan seperti tetes mata sebelumnya.

6. Resume Anamnesis
Seorang laki-laki berusia 44 tahun mengeluhkan mata kanan
tidak bisa melihat. Pasien juga mengeluhkan kedua mata terasa pegal,
penglihatan mata kiri menyempit, dirasakan sejak 4 tahun yang lalu.
Awalnya keluhan disertai pusing, kepala terasa berat, dan mual.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Pemeriksaan :
Subyektif
Pemeriksaan Visus
OD OS KM : OD OS
0 5/9 0 5/5
Pemeriksaan Obyektif :

Pemeriksaan OD OS

Sekitar Mata
Simetris,distribusi merata Simetris,distribusi merata
Supercilia dan cilia

Palpebra Normal Normal


Gerakan Edema (-) Edema (-)
Margo sup dan inf Nyeri (-) Nyeri (-)

Gerakan Bola Mata N N

Konjungtiva
K palpebra sup et inf Hiperemis (-) Hiperemi (-)
K bulbi Hiperemis (-) Hiperemi (-)

Sklera - Warna Putih Putih

Kornea - Kejernihan Jernih Jernih

Lensa Jernih Jernih

TIO 25 11

Refleks Normal Normal

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Funduskopi – C/D Ratio : Tidak dilakukan
2. Tonometri
TIO OD : 25 mmHg
TIO OS : 11 mmHg

E. Diagnosis
Glaukoma ODS,
Glaukoma Absolut
OD
F. Penatalaksanaan

❖ Glaukon tablet 3 dd 1/2 tab


❖ Aspar K 1 dd 1 tab
❖ Cendo Glaupen 1 dd gtt I ODS (malam)
❖ Cendo Timol 2 dd gtt I ODS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah penyakit yang merusak saraf optic mata.
Glaucoma terjadi ketika terjadi penumpukan cairan pada bagian depan
mata sehingga terjadi peningkatan tekanan intra ocular (TIO) yang dapat
merusak saraf optic (Boyd, 2018). Glaukoma adalah kelainan mata yang
ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil saraf optic,
dan menciutnya lapang pandang. Pada glaucoma terdapat melemahnya
fungsi mata dengan terjadinya berkurangnya lapang pandang dan
kerusakan anatomi berupa ekskavasi serta degenerasi papil saraf optic
yang dapat berakhir dengan kebutaan (Ilyas & Yulianti, 2013).

B. Anatomi Bola Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan diameter anteroposterior 24 mm.
bola mata di bagian depan mempunyai kelengkungan yang lebih tajam
sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola mata
dibungkus oleh 3 lapis jaringan, yaitu sklera dengan bagian terdepan
disebut kornea, jaringan uvea yang terdiri dari iris, badan siliar, dan
koroid, serta lapisan retina yang terletak paling dalam berupa lapisan
membrane neurosensoris (Ilyas & Yulianti, 2013). Selain ketiga lapisan
tersebut, di bagian interior mata terdapat lensa, bilik mata anterior dan
posterior (kamera okuli anterior dan posterior), serta badan vitreous. Di
dalam bilik mata tersebut terdapat cairan yang disebut humor aqueous.
Badan vitreous merupakan rongga besar pada posterior lensa yang
mengandung bahan cair seperti gel yang disebut humor vitreous, berfungsi
untuk mempertahankan bentuk bola mata tetap bulat (Jones, 2018;
Sherwood, 2015).
Gambar 1. Anatomi bola mata.
Sklera merupakan bagian putih bola mata yang bersama-sama
dengan kornea merupakan pembungkus dan pelindung isi bola mata.
Sklera berhubungan erat dengan korena dalam bentuk lingkaran yang
disebut limbus. Kornea sendiri adalah selaput bening mata yang tembus
cahaya. Uvea adalah lapisan vaskular yang terdiri dari tiga bagian, yaitu
(Ilyas & Yulianti, 2013; Jones, 2018) :
1. Iris
Iris adalah struktur sirkuler dengan pembukaan pada bagian
tengah yang disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk
mengatur secara otomatis masuknya sinar ke dalam bola mata
yang disebut reaksi pupil. Reaksi pupil ini merupakan indikator
untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis (miosis)
pupil.
2. Badan Siliar
Badan siliar adalah susunan otot melingkar dan mempunyai
sistem ekskresi di belakang limbus. Badan siliar melekat pada
scleral spur. Badan siliar terdiri dari dua bagian, yaitu otot
siliar dan prosesus siliaris. Otot siliar terhubung ke lensa
melalui prosesus siliaris untuk mengontrol bentuk lensa dan
juga berkontribusi dalam pembentukan humor aqueous.

3. Koroid
Koroid adalah lapisan jaringan ikat dan pembuluh darah yang
menyuplai nutrisi pada bagian luar retina.
Retina adalah bagian terdalam dari bola mata, merupakan bagian
mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsangan cahaya.
Terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan neural dan lapisan pigmen. Lapisan
neural terdiri dari fotoreseptor, terletak pada bagian posterior dan lateral
dari mata. Lapisan pigmen terletak di bagian luar lapisan neural,
menempel pada lapisan koroid dan berfungsi untuk support lapisan neural
serta terletak pada seluruh bagian dalam mata. Bagian anterior retina yang
terdiri dari lapisan pigmen saja disebut sebagai non-visual retina.
Sedangkan bagian posterior dan lateral retina disebut bagian optic retina.
Bagian senter dari retina ditandai dengan area yang disebut sebagai
makula (Jones, 2018).
Sudut bilik mata dibentuk oleh jaringan korneoskleral dengan
pangkal iris. Pada bagian ini terjadi drainase cairan bilik mata. Bila
terdapat hambatan drainase cairan mata maka akan terjadi penimbunan
cairan bilik mata sehingga tekanan bola mata meningkat. Berdekatan
dengan sudut ini didapatkan struktur anyaman trabekula (trabecular
meshwork), kanal Schlemm, baji sklera (scleral spur), dan jonjot iris. Pada
sudut filtrasi terdapat garis Schwalbe yang merupakan akhir perifer
endotel dan membrane descement (Ilyas & Yulianti, 2013).
Prosesus siliaris atau disebut juga sebagai pars plicata, merupakan
tempat produksi dari humor aqueous. Bagian posterior dari badan siliar,
disebut pars plana, memiliki permukaan yang lebih rata dan menjadi satu
dengan koroid membentuk ora serrata. Limbus adalah zona transisi antara
kornea dan sklera. Pada bagian dalamnya terdapat indentasi, yaitu sulkus
sklera, yang memiliki batas posterior tegas, scleral spur, dan batas anterior
yang meluas hingga perifer kornea (Goel, et al., 2010).
Trabecular meshwork (TM) merupakan struktur yang melewati
sulkus sklera dan berubah menjadi jalur melingkar yang disebut kanal
Schlemm. Trabecular meshwork merupakan struktur triangular yang
terdiri dari jaringan ikat yang dikelilingi oleh endotel. TM dibagi menjadi
tiga komponen, yaitu uveal meshwork, corneosckleral meshwork, dan
juxtacanalicular meshwork. Uveal meshwork membentuk batas lateral dari
bilik anterior, meluas hingga jonjot iris dan badan siliar pada perifer
kornea. Corneosclearal meshwork meluas dari scleral spur menuju
dinding anterior dari sulkus sklera dan merupakan bagian paling luas dari
TM. Terdiri dari lapisan berlubang (perforated sheets) yang semakin lama
semakin kecil mendekati kanal Schlemm. Juxtacanalicular meshwork
merupakan bagian paling luar dari TM terdiri dari lapisan jaringan ikat
pada bagian tepi endotelium. Kanal Schlemm sendiri terdiri dari sel
endotel yang dikelilingi jaringan ikat seperti vena. Kanal Schlemm
berperan sebagai kanal kolektor internal dan berhubungan dengan
episcleral dan vena konjungtiva melalui kanal kolektor eksternal, pleksus
vena intrasklera, pleksus sklera dalam, dan vena aqueous (Goel, et al.,
2010).

C. Fisiologi Humor Aqueous

Gambar 2. Aliran humor aqueous

Humor aqueous adalah cairan jernih yang mengisi dan membentuk


bilik anterior dan posterior dari mata. Lensa dan kornea harus tetap jernih
agar cahaya dapat masuk ke dalam mata, sehingga tidak dapat terjadi
vaskularisasi pada bagian tersebut. Humor aqueous beranalog dengan darah
untuk struktur avascular ini dan menyediakan nutrisi, mengekskresi sisa
metabolisme, transport neutrotransmitter, stabilisasi struktur ocular, dan
berkontribusi dalam regulasi homeostasis jaringan ocular tersebut. Humor
aqueous juga membantu mensirkulasikan sel dan mediator inflamasi pada
kondisi patologis dan juga distribusi obat pada mata (Goel, et al., 2010).
Humor aqueous diproduksi oleh epitel pada prosesus siliaris
memasuki bilik mata posterior. Humor aqueous kemudian bersirkulasi
melewati lensa menuju pupil untuk masuk ke dalam bilik mata anterior.
Humor aqueous keluar dari bilik mata anterior melalui aliran pasif yang
terletak pada limbus melalui dua cara. Cara konvensional terdiri dari
humor aqueous mengalir melalui trabecular meshwork menuju kanal
Schlemm dan kanal kolektor drainase, vena aqueous, dan vena episcleral.
Cara non-konvensional terdiri dari uveal meshwork dan bagian anterior
dari otot siliar.
Humor aqueous masuk melalui jaringan ikat antar otot menuju ruang
suprachoroidal dan menuju sklera. Ketidakseimbangan antara produksi
dan drainase humor aqueous, biasanya gangguan pada cara konvensional,
menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler dan merupakan faktor
risiko dari pathogenesis glaucoma (Goel, et al., 2010).
Tekanan intraocular (TIO) menunjukkan tekanan yang dihasilkan
oleh cairan intraocular yang melapisi bola mata. Nilai normal TIO yakni
sekitar 10- 21 mmHg (rerata= 16 ± 2.5 mmHg). Nilai normal TIO
didapatkan dari keseimbangan dinamik antara pembentukan dan
pengeluaran humour aqueous. Beberapa faktor yang mempengaruhi TIO
yakni faktor lokal dan faktor general, yaitu (Bowling, 2016):
1) Faktor Lokal
Faktor lokal terdiri atas kecepatan pembentukan humor aqueous yang
tergantung pada permeabilitas kapiler ciliar dan tekanan osmotik
darah, resistensi aliran pengeluaran humor aqueous, dan peningkatan
tekanan vena episkleral.
2) Faktor general
❖ Hereditas. Hal ini dapat mempengaruhi TIO dan bersifat
multifaktorial.
❖ Usia. Rerata TIO meningkat setelah usia 40 tahun, kemungkinan
disebabkan oleh penurunan fasilitas dari aliran pengeluaran humor
aqueous.
❖ Jenis kelamin. TIO pada pria dan wanita sama pada usia 20-40 tahun,
namun pada usia lanjut rerata TIO lebih tinggi pada wanita.
❖ Variasi diurnal dari TIO. Umumnya terdapat kecenderungan nilai TIO
meningkat pada pagi hari dan rendah pada malam hari. Hal ini
berkaitan dengan variasi diurnal dari kortisol plasma. Mata normal
memiliki fluktuasi yang lebih kecil (< 5 mmHg) dibandingkan mata
yang mengalami glaukoma (> 8 mmHg).
❖ Variasi postural. TIO meningkat ketika berubah posisi dari duduk ke
berbaring.
❖ Tekanan darah. Meskipun tidak memiliki efek jangka panjang
terhadap TIO, namun prevalensi glaucoma lebih banyak pada pasien
hipertensif dibandingkan normotensive.
❖ Tekanan osmotic darah. Peningkatan osmolaritas plasma (misalnya
setelah pemberian infus mannitol, gliserol oral, atau pada pasien
dengan uremia) berkaitan dengan penurunan TIO, sementara itu
penurunan osmolaritas plasma berkaitan dengan peningkatan TIO.
❖ Anastesi umum dan beberapa obat dapat mempengaruhi TIO.
Misalnya alkohol dan beberapa obat antiglaukoma dapat menurunkan
TIO, sementara merokok, kafein, dan steroid dapat meningkatkan
TIO.

C. Epidemiologi
Glaukoma merupakan penyebab utama kebutaan global setelah
katarak. Tipe paling sering dari glaucoma adalah open angle dan closed
angle. Bersamaan, kedua tipe tersebut merupakan penyebab utama
kebutaan ireversibel global. Orang dengan glaucoma dilaporkan memiliki
kualitas hidup yang lebih rendah, penurunan fungsi fisik, emosi, sosial,
dan menggunakan lebih banyak sumber kesehatan (International Council
of Ophthalmology, 2015).
Lebih dari 3 juta orang di seluruh dunia mengalami kebutaan
bilateral akibat POAG, dan lebih dari 2 juta orang akan mengalami POAG
setiap tahunnya. Selama 5 tahun, beberapa penelitian menunjukkan onset
baru dari kerusakan akibat glaucoma pada pasien yang sebelumnya sehat
sebanyak 2,6-3% dengan TIO 21-25 mmHg, 12-26% dengan TIO 26-30
mmHg, dan sekitar 42% dengan TIO >30 mmHg (Biggerstaff, 2018).
POAG lebih banyak ditemukan pada ras kulit hitam dibanding ras
lainnya. Beberapa penelitian mengatakan kejadian POAG lebih sering
pada perempuan dibanding laki-laki, namun beberapa penelitian tidak
dapat membuktikan hal tersebut, bahkan terdapat penelitian yang
menyatakan POAG lebih sering terjadi pada laki-laki. Usia lebih dari 40
tahun merupakan faktor risiko dari POAG, dengan angka kejadian POAG
pada decade tujuh mencapai 15% membuktikan bahwa glaucoma lebih
sering ditemukan pada populasi usia lanjut (Biggerstaff, 2018).

E. Etiopatogenesis
Glaukoma merupakan neuropati saraf optic multifactorial yang
ditandai dengan destruksi progresif dari sel ganglion retina dan aksonnya.
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaucoma adalah apoptosis
sel ganglion retina yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan
lapisan inti-dalam retina serta berkurangnya akson di nervus optikus.
Diskus optikus menjadi atrofik, disertai pembesaran cawan optic (Riordan-
Eva, et al., 2015).
Peningkatan TIO merupakan faktor risiko utama terjadinya
glaucoma. Tekanan intra ocular yang tinggi akan menekan vaskularisasi
retina menyebabkan terjadinya apoptosis sel ganglion dan akson. Beberapa
mekanisme terjadinya peningkatan TIO yaitu:
1. Korpus siliaris memproduksi terlalu banyak humor aqueous,
sedangkan pengeluaran pada jalinan trabecular normal
2. Hambatan pengaliran pada pupil sewaktu pengaliran humor
aqueous dari bilik posterior ke bilik anterior
3. Pengeluaran di sudut bilik mata terganggu.

Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaucoma adalah


atrofi sel ganglion difus yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf
dan inti bagian dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Iris
dan korpus siliar juga menjadi atrofi dan prosesus siliaris memperlihatkan
degenrasi hialin.
Mekanisme lain yang dapat menyebabkan glaucoma adalah
plateau iris dan letak lensa lebih ke anterior. Pada keadaan seperti ini
dapat terjadi blok pupil. TIO yang tinggi secara mekanik menekan papil
saraf optic yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada
bola mata. Bagian tepi papil saraf optic relative lebih kuat daripada bagian
tengah sehingga terjadi cekungan pada papil saraf optic.
F. Klasifikasi
Penyakit glaukoma mempunyai tiga tingkatan yaitu glaucoma
ringan, glaucoma sedang, dan glaucoma berat. Nilai cup-disc ration
(CDR) sebesar 0,3-0,5 dikategorikan glaucoma ringan, nilai CDR 0,5-0,7
dikategorikan glaucoma sedang dan jika nilai CDR di atas 0,7
dikategorikan sebagai glaucoma berat.
Berdasarkan etiologinya, glaucoma dikelompokkan menjadi:
1. Glaukoma Primer. Glaucoma ini tidak diketahui penyebab sistemik
maupun ocular tertentu yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraokuler. Glaucoma primer terdiri atas:
a. Glaukoma Sudut Terbuka Primer
Glaucoma ini terjadi dengan sudut yang terbuka di bilik
anterior. Glaukoma sudut terbuka primer terdapat
kecenderungan familial yang kuat. Gambaran patologi
utama berupa proses degeneratif anyaman trabecular,
termasuk pengendapan materi ekstrasel dalam anyaman dan
dbawah lapisan endotel kanal Schlemm sehingga dapat
mengakibatkan penurunan drainase humor aqueous yang
menyebabkan peningkatan takanan intraokuler.

b. Glaukoma Sudut Tertutup Primer


Glaukoma sudut tertutup primer terjadi pada mata dengan
predisposisi anatomis tanpa ada kelainan lainnya. Adanya
peningkatan tekanan intraokuler karena sumbatan aliran
keluar humor aquos akibat oklusi trabekular meshwork oleh
iris perifer. Keadaan ini dapat bermanifestasi sebagai suatu
kedaruratan oftalmologik atau dapat tetap asimptomatik
sampai timbul penurunan penglihatan. Diagnosis
ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan segmen
anterior dan gonioskopi.
Gambar 3. Open-angle glaucoma (kiri) dan closed-angle glaucoma
(kanan)
2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang diketahui penyebabnya.
Dapat disebabkan atau dihubungkan dengan keadaan-keadaan atau
penyakit yang telah diderita sebelumnya atau pada saat itu.
Glaukoma sekunder merupakan glaukoma yang terjadi akibat
penyakit mata yang lain atau penyakit sistemik yang
menyertainnya, seperti:
a. Akibat perubahan lensa (dislokasi lensa, intumesensi lensa,
glaukoma fakolitik dan fakotoksik pada katarak, glaukoma
kapsularis/sindrom eksfoliasi)
b. Akibat perubahan uvea (uveitis anterior, tumor, rubeosis
iridis)
c. Akibat trauma (hifema, kontusio bulbi, robeknya kornea
atau limbus yang disertai prolaps iris)
d. Akibat post operasi (pertumbuhan epitel konjungtiva,
gagalnya pembentukan bilik mata depan post-operasi
katarak, blok pupil post-operasi katarak)
e. Akibat pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam
jangka waktu yang lama.

Penyebab yang paling sering ditemukan adalah uveitis.


Uveitis kronik atau rekuren menyebabkan gangguan permanen
fungsi trabekula, sinekia anterior perifer dan kadang-kadang
neovaskularisasi sudut yang semuanya meningkatkan glaukoma
sekunder.
Pada uveitis, tekanan intraokular biasanya lebih rendah dari
normal karena korpus siliar yang meradang kurang berfungsi baik.
Namun juga dapat terjadi peningkatan tekanan intraokular melalui
beberapa mekanisme yang berlainan. Jalinan trabekular dapat
tersumbat oleh sel-sel radang dari kamera anterior, disertai edema
sekunder, atau kadang-kadang terlibat dalam proses peradangan
yang spesifik diarahkan ke sel-sel trabekula (trabekulitis).
3. Glaukoma Kongenital
Glaukoma kongenital biasanya sudah ada sejak lahir dan terjadi
akibat gangguan perkembangan pada saluran humor aqueous.
Glaukoma kongenital seringkali diturunkan. Pada glaukoma
kongenital sering dijumpai adanya epifora dapat juga berupa
fotofobia serta peningkatan tekanan intraokuler. Glaukoma
kongenital terbagi atas glaukoma kongenital primer (kelainan pada
sudut kamera okuli anterior), anomali perkembangan segmen
anterior, dan kelainan lain (dapat berupa aniridia, sindrom Lowe,
sindom Sturge-Weber dan rubela kongenital).
4. Glaukoma Juvenile

Glaucoma juvenile adalah glaucoma yang terjadi pada usia 5-35


tahun. Glaucoma juvenile sendiri merupakan bagian dari glaucoma
sudut terbuka (Chak, et al., 2014).
5. Glaukoma Absolut
Glaukoma absolut merupakan stadium akhir glaukoma
(terbuka/tertutup) dimana sudah terjadi kebutaan total, akibat
tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada
glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil
atrofi dengan ekskavasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan
dengan rasa sakit. Sering dengan mata buta ini mengakibatkan
penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit
berupa neovaskularisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa
sakit sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik.

G. Manifestasi Klinis
Pasien dengan glaukoma primer sudut terbuka (glaukoma kronik
sudut terbuka) dapat tidak memberikan gejala sampai kerusakan
penglihatan yang berat terjadi, sehingga dikatakan sebagai pencuri
penglihatan. Berbeda pada glaukoma akut sudut tertutup, peningkatan
tekanan TIO berjalan cepat dan memberikan gejala mata merah, nyeri dan
gangguan penglihatan.
1. Peningkatan TIO
Normal TIO berkisar 10-21 mmHg (rata-rata 16 mmHg). Tingginya
TIO menyebabkan kerusakan saraf optik tergantung beberapa
faktor, meliputi tingginya TIO dan apakah glaukoma dalam tahap
awal atau lanjut. Secara umum, TIO dalam rentang 20-30 mmHg
biasanya menyebabkan kerusakan dalam tahunan. TIO yang tinggi
40-50 mmHg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang
cepat dan mencetuskan oklusi pembuluh darah retina.
2. Halo sekitar cahaya dan kornea yang keruh
Kornea akan tetap jernih dengan terus berlangsungnya pergantian
cairan oleh sel-sel endotel. Jika tekanan meningkat dengan cepat
(glaukoma akut sudut tertutup), kornea menjadi penuh air,
menimbulkan halo di sekitar cahaya.
3. Nyeri
Nyeri bukan karakteristik dari glaukoma primer sudut terbuka.
4. Penyempitan lapang pandang
Tekanan yang tinggi pada serabut saraf dan iskemia kronis pada
saraf optik menimbulkan kerusakan dari serabut saraf retina yang
biasanya menghasilkan kehilangan lapang pandang (skotoma).
Pada glaukoma stadium akhir kehilangan lapang penglihatan terjadi
sangat berat (tunnel vision), meski visus pasien masih 6/6 .
Gambar 4. Penglihatan pada penderita Glaukoma

5. Perubahan pada diskus optik.


Kenaikan TIO berakibat kerusakan optik berupa penggaungan dan
degenerasi papil saraf optik.
6. Oklusi vena.
7. Pembesaran mata
Pada dewasa pembesaran yang signifikan tidak begitu tampak.
Pada anak-anak dapat terjadi pembesaran dari mata (buftalmus).

H. Diagnosis
Pada glaukoma akan terdapat karakteristik seperti melemahnya
fungsi mata dengan terjadinya cacat/pengecilan lapang pandang,
peningkatan TIO yang disertai oleh pencekungan diskus optikus dan
kerusakan anatomi berupa ekskavasi (penggaungan) serta degenerasi papil
saraf optik, yang dapat berakhir dengan kebutaan. Pada umumnya
indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan glaukoma adalah
pemeriksaan TIO, tajam penglihatan dan perimetri/tes lapang pandang.
Sistem klasifikasi yang dibangun memerlukan sebuah model
komputasi untuk mengubah piksel citra retina menjadi suatu ciri retina
yang dapat mengindikasi tingkat penyakit pada glaukoma. Salah satu ciri
dari glaukoma adalah dengan menentukan nilai CDR (Cup to Disc Ratio)
yang merupakan perbandingan luas area optic cup dan optic disc. Oleh
karena itu, untuk mendapatkan nilai CDR maka harus mendapatkan nilai
dari luas area optic disc dan optic cup. Nilai CDR juga berpengaruh
terhadap tingkatan dari glaukoma. Nilai CDR sebesar 0,3-0,5 di
kategorikan mild glaukoma, nilai CDR 0,5-0,7 di kategorikan moderate
glaukoma dan jika nilai CDR di atas 0,7 di kategorikan sebagai severe
glaukoma.
1) Tonometri
Tonometri merupakan suatu pengukuran tekanan intraokuler
yang menggunakan alat berupa tonometer Goldman. Faktor yang dapat
mempengaruhi biasnya penilaian tergantung pada ketebalan kornea
masing-masing individu. Semakin tebal kornea pasien maka tekanan
intraokuler yang di hasilkan cenderung tinggi, begitu pula sebaliknya,
semakin tipis kornea pasien tekanan intraokuler bola mata juga rendah.
Tonometer yang banyak digunakan adalah tonometer Schiotz karena
cukup sederhana, praktis, mudah dibawa, relatif murah, kalibrasi alat
mudah dan tanpa komponen elektrik. Penilaian tekanan intraokuler
normal berkisar 10-21 mmHg. Pada usia lanjut rentang tekanan normal
lebih tinggi yaitu sampai 24 mmHg. Pada glaukoma sudut terbuka
primer, 32-50% pasien ditemukan dengan tekanan intraokuler yang
normal pada saat pertama kali diperiksa.
2) Penilaian Diskus Optikus
Diskus optikus yang normal memiliki cekungan di bagian
tengahnya (cup). Pada pasien glaukoma terdapat pembesaran cawan
optik atau pencekungan (cup disk ratio membesar (N = <0,3)) sehingga
tidak dapat terlihat saraf pada bagian tepinya. Sering juga ditemukan
optic-disk edema dan hiperemis.

Gambar 8. (A) Papil optic normal, (B) Penggaungan papil optic


3) Pemeriksaan Lapang Pandang
Gangguan lapangan pandang pada glaukoma dapat mengenai
30 derajat lapangan pandang bagian central. Cara pemeriksaan
lapangan pandang dapat menggunakan automated perimeter.
4) Gonioskopi
Gonioskopi merupakan pemeriksaan dengan alat yang
menggunakan lensa khusus untuk melihat aliran keluarnya humor
aquos. Fungsi dari gonioskopi secara diagnostik dapat membantu
mengidentifikasi sudut yang abnormal dan menilai lebar sudut kamera
okuli anterior.

I. Penatalaksanaan
Target dari penatalaksanaan glaukoma adalah untuk menjaga
fungsi maksimal penglihatan selama pasien hidup tanpa mengurangi
kualitas hidupnya. Sampai saat ini menurunkan TIO adalah pendekatan
yang efisien dan telah teruji untuk mencegah progresi dari glaukoma.
Risiko progresifitas menurun 10% dengan penurunan tiap mmHG dari
baseline terhadap angka TIO dari awal pemeriksaan. Penurunan TIO dapat
dilakukan dengan terapi medikamentosa, terapi laser, pembedahan atau
semuanya dapat dikombinasikan.
Target dari penurunan TIO harus ditentukan, hal ini didasarkan pada
staging glaukoma, ekspentansi hidup atau umur pasien, status kesehatan
mata pasien, riwayat penyakit sebelumnya, dan faktor risiko lainnya. Target
TIO pada glaukoma stase awal adalah pada angka 19 mmHg kebawah, pada
middle stage pada angka 16 mmHg kebawah, sedangkan pada late stage
pada angka 14 mmHg kebawah.
Klasifikasi Obat Glaukoma
1) Simpatomimetik
a) Non selektif
b) α2- selektif
2) Simpatolitik
a) Beta -blockers (non-selektif dan beta-1-selektif)
b) Alfa-beta-blockers
c) Alfa-1 blockers
3) Parasimpatomimetik
Obat parasimpatomimetik meningkatkan aliran keluar
humor aquos dengan bekerja pada anyaman trabekular melalui
kontraksi otot siliaris. Dapat menimbulkan efek miosis pada mata
dan bersifat sekresi pada mata, sehingga menimbulkan kontraksi
muskulus ciliaris supaya iris membuka dan aliran humor aquos
dapat keluar.
4) Prostaglandin Analog
5) Penghambat Karbonic Anhydrase

Berdasarkan Malaysian Ophtalmologist Guideline tahun 2017,


terdapat 6 agen yang dapat digunakan sebagai obat anti-glaukoma:

1) Analog Prostaglandin
Analog prostaglandin merupakan obat lini pertama yang
efektif digunakan pada terapi glaukoma misalnya, latanopros.
Latanopros merupakan obat baru yang paling efektif katena dapat
ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan efek samping
sistemik. Analog prostaglandin (larutan bimatoprost 0,003%,
latanoprost 0,005% dan travoprost 0,004%, masing-masing sekali
setiap malam, dan larutan unoprostone 0,15% dua kali sehari)
meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui uveosklera.
Farmakokinetik latanopros mengalami hidrolisis enzim di kornea dan
diaktifkan menjadi asam latanopros. Penurunan tekanan intraokuler
dapat dilihat setelah 3-4 jam setelah pemberian dan efek maksimal
yang terjadi antara 8-12 jam.
Cara kerja obat ini dengan meningkatkan aliran keluarnya
humor aqueus melalui uveosklera. Obat ini diindikasikan pada
glaukoma sudut terbuka, hipertensi okuler yang tidak toleran dengan
antiglaukoma lain. kontrandikasi pada pasien yang sensitif dengan
latanopros.
2) Beta blockers
Larutan timolol maleat 0,25% dan 0,5%, betaxolol 0,25% dan
0,5%, levobunolol 0,25% dan 0,5%, metipranolol 0,3%, serta carteolol
1% dua kali sehari dan gel timolol maleate 0,1%, 0,25%, dan 0,5%
sekali setiap pagi adalah beberapa sediaan yang ada saat ini dan
merupakan obat pembanding pada penelitian klinis terhadap obat
antiglaukoma baru.
Timolol maleat merupakan β-adrenergik non selektif baik β1
atau β2. Timolol tidak memiliki aktivitas simpatomimetik, sehingga
apabila diteteskan pada mata dapat mengurangi tekanan intraokuler.
Timolol dapat menurunkan tekanan intraokuler sekitar 20-30%.
Reseptor β- adrenergik terletak pada epitel siliaris, jika reseptornya
terangsang aktifitas sekresinya akan meningkatkan inflow humor
aquos melalui proses komplek enzim adenyl cyclase-reseptor sehingga
menurunkan produksi humor aquos.
Farmakodinamik golongan β-adrenergic bloker dengan cara
menekan pembentukan humor aquos sehingga tekanan intraokuler
dapat turun. Sedangkan farmakokinetiknya sebagian besar diserap
dengan baik oleh usus secara peroral sehingga bioavaibilitas rendah
dan memiliki kadar puncak dalam plasma mencapai 1 sampa 3 jam.
Kebanyakan golongan β-adrenergic bloker memiliki waktu paruh
antara 3 sampai 10 jam. Waktu ekskresi yang dibutuhkan ginjal untuk
mengeluarkan obat golongan ini dapat diperpanjang apabila terdapat
hambatan aliran darah yang menuju ke hati atau hambatan enzim hati.
Penggunaan obat golongan ini dalam jangka lama dapat
mengakibatkan kontraindikasi berupa obstruksi jalan napas kronik.
Indikasi pemakaian diberikan pada pasien glaukoma sudut terbuka
sebagai terapi inisial baik secara tunggal atau kombinasi terapi dengan
miotik. Indikasi lainnya dapat diberikan pada glaukoma inflamasi,
hipertensi okuler dan glaukoma kongenital.
5) Agonis adrenergic
Golongan α2-adrenergik agonis obat ini dibagi menjadi 2 yaitu
selektif dan tidak selektif. Golongan α2-adrenergic agonis yang
selektif misalnya apraklonidin memiliki efek menurunkan produksi
humor aquos, meningkatkan aliran keluar humor aquos melalui
trabekula meshwork dengan menurunkan tekanan vena episklera dan
dapat juga meningkatkan aliran keluar uveosklera.
Farmakokinetik dari pemberian apraklonidin 1% dalam waktu
1 jam dapat menghasilkan penurunan tekanan intraokuler yang cepat
paling sedikit 20% dari tekanan intraokuler awal. Efek maksimal dari
apraklonidin dalam menurunkan tekanan intraokuler dapat terjadi
sekitar 3-5 jam setelah pemberian terapi.
Indikasi penggunaan apraklonidin untuk mengontrol
peningkatan akut tekanan intraokuler pasca tindakan laser. Sedangkan
kontraindikasi pemakaian obat ini apabila pasien dengan mono amin
oksidase (MAO) dan trisiklik depresan karena mempengaruhi
metabolisme dan uptake katekolamin.

a) Apraclonidine
Apraclonidine (larutan 0,5 % tiga kali sehari dan 1%
sebelum dan sesudah terapi laser) adalah suatu agonis
adrenergik-α2 yang menurunkan pembentukan humor
aquos tanpa menimbulkan efek pada aliran keluar.
b) Brimonidine
Brimonidine (larutan 0,2% dua kali sehari) adalah
suatu agonis adrenergik-α yang menghambat
pembentukan dan meningkatkan aliran keluar humor
aquos.
6) Penghambat carbonic anhydrase
Acetazolamide adalah yang paling banyak digunakan,
tetapi terdapat alternatif, yaitu dichlorphenamide dan
methazolamide. Penghambat anhidrase karbonat sistemik
digunakan pada glaukoma kronik bila terapi topikal kurang
memuaskan serta pada glaukoma akut dengan tekanan
intraokular yang sangat tinggi dan perlu segera dikontrol.
Asetasolamid oral merupakan obat yang sering di gunakan
karena dapat menekan pembentukan humor aquos sebanyak 40-
60%. Bekerja efektif dalam menurunkan tekanan intraokuler
apabila konsentrasi obat bebas dalam plasma ±2,5 μM. Apabila
diberikan secara oral, konsentrasi puncak pada plasma dapat
diperoleh dalam 2 jam setelah pemberian dapat bertahan selama
4-6 jam dan menurun dengan cepat karena ekskresi pada urin.
Indikasi asetasolamid terutama untuk menurunkan
tekanan intraokuler, mencegah prolaps korpus vitreum, dan
menurunkan tekanan introkuler pada pseudo tumor serebri.
Kontraindikasi relatif untuk sirosis hati, penyakit paru obstruktif
menahun, gagal ginjal, diabetes ketoasidosis dan urolithiasis.
Efek samping yang paling sering dikeluhkan parastesi dan
inisial diuresis, sedangkan efek lain yang dapat muncul apabila
digunakan dalam jangka lama antara lain metalic taste, malaise,
nausea, anoreksia, depresi, pembentukan batu ginjal, depresi
sumsum tulang, dan anemia aplastik.
Penghambat Karbonat Anhidrase Topikal Penghambat
karbonat anhidrase topikal bersifat larut lemak sehingga bila
digunakan secara topikal daya penetrasi ke kornea relatif
rendah. Pemberian dorsolamid topikal akan terjadi penetrasi
melalui kornea dan sklera ke epitel tak berpigmen prosesus
siliaris sehingga dapat menurunkan produksi humor aqueus dan
HCO3-dengan cara menekan enzim karbonik anhidrase II.
Penghambat karbonik anhidrase topikal seperti dorsolamid
bekerja efektif menurunkan tekanan intraokuler karena
konsentrasi di prosesus siliaris mencapai 2-10μM. Penghambat
karbonat anhidrase topikal (dorsolamid) dapat menurunkan
tekanan intraokuler sebesar 15-20%. Indikasi pemberian untuk
mengontrol glaukoma baik jangka pendek maupun jangka
panjang, sebagai obat tunggal atau kombinasi. Indikasi lain
untuk mencegah kenaikan tekanan intraokuler pasca bedah
intraokuler. Efek samping lokal yang dijumpai seperti mata
pedih, keratopati pungtata superfisial, dan reaksi alergi. Efek
samping sistemik jarang dijumpai seperti metalic taste,
gangguan gastrointestinal dan urtikaria.
7) Agen kolinergik
Pilocarpine topical biasanya digunakan untuk jangka
waktu yang pendek sebagai treatment sebelum laser pada pasien
dengan sudut sempit. Tidak digunakan dalam jangka yang
panjang karena memiliki efek samping.
8) Agen osmotik
Obat ini digunakan sebagai terapi sistemik jika
diinginkan penurunan TIO yang cepat dan dilakukan pada
situasi akut, yang bisa diberikan adalah glycerol oral dan
mannitol intravena.
Terapi lain yang dapat digunakan adalah terapi laser
maupun bedah, yaitu dibedakan berdasarkan tipe glaukomanya,
untuk glaucoma sudut terbuka dilakukan laser trabeculoplasty
untuk meningkatkan keluaran dari humor aquous, dan trans-
scleral cyclophotocoagulation (TSCP) untuk menurunkan
masukan dari humor aquous. Untuk glaucoma sudut tertutup
dilakukan laser iridotomy untuk menghilangkan blok pupillary,
laser peripheral iridoplasty untuk memodifikasi kontur iris, dan
TSCP.

J. Komplikasi dan Prognosis


Jika tidak diobati, glaukoma akan menyebabkan kehilangan
penglihatan progresif, biasanya dalam tahap: Blind spot pada pengelihatan
perifer, tunnel vision, kebutaan total.
Glaukoma sudut terbuka primer tidak dapat dicegah, namun
kerusakan optik-saraf dan hilangnya penglihatan akibat glaukoma dapat
dicegah dengan diagnosis dini, pengobatan yang efektif, dan kepatuhan
pengobatan. Glaukoma sekunder dapat dicegah dengan menghindari
trauma pada mata dan pengobatan yang tepat pada radang mata dan
penyakit lain dari mata atau kondisi tubuh yang dapat menyebabkan
bentuk glaukoma sekunder.
Pasien dengan glaukoma perlu melanjutkan pengobatan selama sisa
hidup mereka. Karena penyakit ini dapat berkembang atau berubah secara
diam-diam. Pengobatan mungkin perlu disesuaikan secara berkala.
Dengan menjaga tekanan bola mata, kerusakan saraf optik dan
kehilangan lapang pandang yang berkelanjutan dapat diperlambat atau
dihentikan. Target tekanan berbeda untuk setiap orang, tergantung pada
tingkat kerusakan dan faktor lainnya. Target tekanan dapat berubah selama
seumur hidup. Pengobatan lebih baru sedang dikembangkan untuk
membantu dalam memerangi glaukoma.
Deteksi dini, pengobatan yang tepat dan pemantauan rutin dapat
membantu mengontrol glaukoma dan karenanya mengurangi kemungkinan
kehilangan penglihatan.
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki berusia 44 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUD KRT
Setjonegoro, Wonosobo dengan keluhan mata kanan tidak bisa melihat. Keluhan
dirasakan semenjak 4 tahun yang lalu. Pasien juga mengeluhkan kedua mata terasa
pegal, namun kini sudah berkurang. Penglihatan pada mata kiri menurun dan
menyempit. Pada awalnya pasien merasakan mata terasa mengganjal dan pegal,
selama 2 hari dirasakan penglihatan menjadi kabur. Kemudian secara mendadak
pasien kehilangan penglihatan mata kanannya. Keluhan disertai pusing dan kepala
terasa berat, dan mual.
Diagnosis glaucoma pada pasien ini ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang berupa tonometri.
Manifestasi glaukoma pada kasus ini berupa kebutaan mendadak pada mata kanan
dan penglihatan mata kiri menyempit disertai mata yang terasa pegal dan pusing
serta perasaan mual yang muncul saat pusing memberat. Mual merupakan
manifestasi dari meningkatkanya tekanan intraokuler pasien. Glaucoma sendiri
dapat terjadi baik secara primer atau tanpa penyebab yang diketahui, maupun
secara sekunder dengan penyebab yang diketahui. Pada kasus ini, kondisi yang
diderita pasien termasuk glaucoma primer dikarenakan tidak didapatkannya
penyebab dari kondisi ini.
Pada hasil pemeriksaan fisik, didapatkan visus pasien 0 pada mata kanan
dan 5/9 pada mata kiri. Mekanisme penurunan penglihatan pada pasien glaucoma
disebabkan karena adanya apoptosis atau iskemik pada jaringan retina. Iskemik
terjadi dikarenakan meningkatnya TIO sehingga terjadi penekanan ke segala arah.
Penekanan tersebut juga menekan pembuluh darah retina, menyebabkan iskemik
dan apoptosis dari ganglion retina maupun akson saraf optikus. Diskus optikus
menjadi atrofi menyebabkan terbentuknya cup yang semakin lebar.
Kunjungan pasien kali ini merupakan yang kesekian kalinya setelah rutin
kontrol setiap bulan selama 4 tahun. Pada hasil pemeriksaan TIO pasien,
didapatkan hasil OD 25 mmHg dan OS 11 mmHg. Tatalaksana yang tepat pada
pasien ini adalah dengan mengendalikan nilai TIO yang diharapkan dapat
mencegah perburukan dari
visus pasien dan mencegah terjadinya kebutaan ireversibel, terutama untuk mata
kirinya. Dengan dilakukannya tatalaksana tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
The European Glaucoma Society (EGS) menyebutkan bahwa
penatalaksanaan awal dari glaucoma adalah menunrunkan TIO dengan terapi
farmakologikal. Terdapat dua mekanisme primer untuk menurunkan TIO. Pertama
dengan menunrunkan produksi humor aqueous dengan beta blocker (timolol,
betaxolol, carteolol, metipranolol) dan karbonik anhydrase inhibitor
(brinzolamide, dorzolamide). Kedua adalah dengan meningkatkan drainase humor
aqueous melalui jalur trabecular dan uveoscleral menggunakan derivate
prostaglandin (latanoprost, travoprost), obat-obatan simpatomimetik dan
kolinergik/parasimpatomimetik (pilokarpin). Pada kasus ini, pasien diberikan obat
topikal tetes mata Cendo Timol yang berisi Timolol 0.5% 2x1 tetes (ODS) dan
Cendo Glaupen (Latanoprost) minidose 1 x 1 tetes (ODS) sedangkan untuk
pengobatan sistemik diberikan Glaucon (asetazolamid) tablet 3x1 dan Aspar K
yaitu suplementasi kalium.
Glaucon mengandung asetazolamid yang termasuk dalam golongan
karbonik anhidrase inhibitor. Efeknya dapat menurunkan tekanan dengan
menghambat produksi humor akuos sehingga sangat berguna untuk menurunkan
tekanan intraokular secara cepat. Obat ini dapat diberikan secara oral dengan dosis
250-1000 mg per hari. Pemberian obat ini memberikan efek samping hilangnya
kalium tubuh, parastesi, anoreksia, diarea, hipokalemia, batu ginjal dan miopia
sementara. Untuk mencegah efek samping tersebut, pada pasien ini diberikan
pemberian Aspar K tablet yang mana berisi kalium L-aspartate.
Timolol merupakan beta bloker non selektif dengan aktivitas dan
konsentrasi tertinggi pada camera occuli posterior (COP) yang dicapai dalam
waktu 30-60 menit setelah pemberian topikal. Beta bloker dapat menurunkan
tekanan intraokular dengan cara mengurangi produksi humor aquos. Penggunan
beta bloker non selektif sebagai inisiasi terapi dapat diberikan 2 kali dengan
interval setiap 20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian.
Pemberian Timolol 0.5% 2x1 tetes (ODS) sudah tepat. Timolol termasuk beta
bloker non selektif sehingga perlu diperhatikan pemberiannya pada pasien dengan
asma, PPOK, dan penyakit jantung.
Latanoprost merupakan salah satu obat anti glaukoma terkait prostaglandin
yang memiliki efek yang kuat dalam menurunkan tekanan intraokular (TIO)
dengan meningkatkan aliran keluar melalui jalur uveosklera. Tekanan intraokular,
perfusi okular, dan produksi air mata diregulasi oleh sistem saraf autonom.
Gangguan pada sistem saraf autonom mengakibatkan gangguan pada TIO dan
produksi air mata basal. Aqueous tear-deficient dry eye (ADDE), adalah
mekanisme yang mungkin mendasari terjadinya penurunan produksi air mata
basal pada pasien glaukoma.
Pengobatan yang terlambat pada pasien ini yang mungkin disebabkan
terlambatnya menyadari gejala yang ada, menyebabkan kebutaan irreversible pada
mata kanannya. Oleh karena itu, untuk ke depannya TIO harus dikendalikan agar
dapat mencegah progresivitas penyakit dan mempertahankan penglihatan terutama
mata kiri pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Biggerstaff, K. S., 2018. Primary Open-Angle Glaucoma (POAG): Practice


Essentials, Background, Pathophysiology. Available at:
https://emedicine.medscape.com/article/1206147-overview [Accessed 18 Desember
2018]

Bowling, B., 2016. Kanski's Clinical Ophthalmology. 8th ed. s.l.:Elsevier.

Boyd, K., 2018. What is Glaucoma? – American Association of Ophthalmology.


Available at https://www.aao.org/eye-health/diseases/what-is-glaucom [Accessed 18
Desember 2018]

Graham, R.H., 2017. Glaucoma: Background, Pathophysiology, Epidemiology.


[Online] Available at: https://emedicine.medscape.com/article/1205421-overview#a6
[Accessed 18 Desember 2018]

Goel, M., Picciani, R. G., Lee, R. K. & Bhattacharya, S. K., 2010. Aqueous Humor
Dynamocs: A Review. The Open Ophtalmology Journal, Volume 4, pp. 52-59.

Ilyas, S. & Yulianti, S. R., 2013. Ilmu Penyakit Mata. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

International Council of Ophthalmology, 2015. ICO Guidelines for Glaucoma Eye


Care. San Fransisco: International Council of Ophthalmology.

Jones, O., 2018. The Eyeball - Structure - Vasculature - TeachMeAnatomy. [Diakses


pada 18 Desember 2018] Available at:
https://teachmeanatomy.info/head/organs/eye/eyeball/ [Diakses pada 18 Desember
2018]

Riordan-Eva, P., Vaughan, W. J. & Asbury, 2015. Oftalmologi Umum. 17th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sherwood, L., 2015. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 8th ed. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai