Anda di halaman 1dari 43

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2022

UNIVERSITAS PATTIMURA

“KERATITIS NUMULARIS”

Oleh

Elisabeth S. Fatlolon

2017-83-069

Pembimbing:

dr. Carmila L. Tamtelahitu, Sp. M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

KLINIK MATA UTAMA MALUKU

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2022

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-

Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini guna penyelesaian tugas kepaniteraan

klinik pada bagian mata dengan judul “Keratitis Numularis”.

Dalam penulisan lapsus ini, banyak pihak yang turut terlibat untuk penyelesaiannya.

Untuk itu penulis ingin berterima kasih kepada:

 dr. Carmila L. Tamtelahitu, Sp.M selaku dokter spesialis sekaligus pembimbing

yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian laporan kasus ini.

 Orang tua dan semua pihak yang telah membantu serta memberi motivasi penulis

dalam menyelesaikan penulisan laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa sesungguhnya laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan,

oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukkan berupa kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk perkembangan penulisan laporan kasus dalam waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat

bagi semua pihak.

Ambon, April 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. ………………...1

KATA PENGANTAR ............................................................................... ………………...2

DAFTAR ISI .............................................................................................. ………………...3

BAB I LAPORAN KASUS …………………………………………………………………..4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………........9

A. Anatomi dan fisiologi kornea ......................................................... ……………….9

B. Definisi Keratitis............................................................................. ……………….12

C. Etiologi .......................................................................................... ……………….13

D. Klasifikasi ...................................................................................... ……………….14

E. Patofisiologi ................................................................................... ……………….14

F. Diagnosis ....................................................................................... ……………….16

G. Penatalaksanaan ............................................................................. ……………….17

H. Komplikasi dan Prognosis .............................................................. ……………….18

BAB III DISKUSI …………………………………………………………………………...19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ ……………….20

3
BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : An. A.G.A

Usia : 6 tahun

Jenis Kelamin : Laki - laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pelajar SD

Alamat : Kobisonta

No RM : 01-78-89

Waktu Pemeriksaan : 11 April 2022

Tempat Pemeriksaan : Klinik Mata Utama Maluku

II. Anamnesis

1. Keluhan Utama: bercak putih pada mata kiri

2. Anamnesis Terpimpin:

Autoanamnesis dilakukan dengan ibu kandung pasien. Ibu pasien mengaku, menyadari

munculnya bercak putih pada bola mata kiri anaknya kurang dari 1 bulan terakhir (25

hari) setelah sehabis bermain dari luar rumah. Ibu pasien mengaku, anaknya sering

bermain di luar rumah seperti, main di kali, main di bawah panas matahari dan main

pasir. Ibu pasien mengaku, muncul bercak putih disertai adanya kemerahan pada kelopak

mata kiri, kemudian 1 hari setelahnya dibawa ke tempat praktek dokter umum dan

mendapat obat tetes mata. Obat tetes mata diteteskan beberapa kali selama 3 hari,

4
keluhan kemerahan pada kelopak mata hilang, namun bercak putih yang awalnya kecil

bertambah besar/lebar, sehingga dirujuk ke dokter spesialis mata.

Ibu pasien mengaku tidak ada keluhan lain pada kedua mata pasien, pasien juga mengaku

hal sama ketika ditanyakan. Ibu pasien mengaku ini merupakan pertama kalinya, pasien

merasakan keluhan pada mata.

3. Riwayat Penyakit Terdahulu: DM(-), Hipertensi (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang menggunakan kacamata.

Ayah pasien memiliki gejala penyakit ginjal, ibu pasien memiliki riwayat hipertensi.

5. Riwayat Pengobatan: Tidak ada

6. Riwayat Pemakaian Kacamata: Tidak ada

7. Riwayat Sosial Ekonomi:

Pasien berasal dari keluarga yang cukup dimana pekerjaan ayah sebagai petani sayur, ibu

sebagai ibu rumah tangga.

III. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

 Kesadaran : Compos mentis

 TD : 120/80 mmHg

 Nadi : 80x/mnt

 Pernapasan : 20x/mnt

 Suhu : ± 36,5°C

2. Ststus Oftalmologi

a. Visus :

5
OD : 6/7

OS : 6/30

b. Segmen Anterior ODS: Dengan slit lamp

Segmen anterior bola


OD OS
mata

Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),

blefarospasme (-), Palpebra blefarospasme (-), ektoprin (-),

ektoprin (-), entropin (-) entropin (-)

Petrigium (-) Anemis (-) Konjungtiva Pterigium (-) Anemis (-)

Jernih Kornea Keruh (+) minimal

Hifema (-), ulkus (-) Bilik mata depan Hifema (-), ulkus (-)

Radier, sinekia (-) Iris Radier, sinekia (-)

Bulat, sentral, regular, Bulat, sentral, regular,

diameter 3mm, refleks Pupil diameter 3mm, refleks cahaya

cahaya (+) (+)

Jernih Lensa Jernih

3. Gambar Skematik

OD OS

6
a. Tekanan Intraokular : OD 15 mmHg, OS -

b. Pergerakan bola mata :

c. Funduskopi ODS : Tidak dilakukan

IV. Pemeriksaan Penunjang: Tidak dilakukan

V. Diagnosis Kerja: OS Keratitis Numularis

VI. Perencanaan:

a. Diagnosa: Untuk diagnosa lebih lanjut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut bila

b. Terapi : P-pred eye drop 6dd gtt 1 OS

Protagenta eye drop 4dd gtt 1 OS

Floxa eye drop 4dd gtt 1 OS

c. Monitoring:

Keluhan pasien dan visus

7
d. Edukasi:

Memberikan informasi kepada pasien bahwa pasien akan memiliki gangguan

dalam penglihatan oleh karena adanya bercak putih pada kornea tersebut. Keratitis

dapat dibantu dengan obat tetes mata yang dapat membantu memberi kenyamanan

pada mata serta mengurangi keluhan pada mata. Meminta pasien untuk menghindari

faktor resiko seperti tidak bermain di bawah sinar matahari, tidak main pasir, tidak

main di kali, dll, tidak mengucak mata dan tidak menggunakan handphone atau

laptop.

VII. Prognosis

1. Quo ad vitam: bonam

2. Quo ad fungtionam: bonam

3. Que ad sanationam: bonam

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar: Organ mata.1

Kornea dalam bahasa latin “cornum” artinya seperti tanduk, merupakan suatu selaput

bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, sebagai lapis jaringan yang

menutup bola mata depan. Kornea merupakan bagian dari media refraksi, sebagai

pelindung atau barrier dari infeksi dan trauma, serta bersifat avaskular. Kornea berbentuk

elips dengan ukuran anterior horizontal 11,7mm dan vertikal 10,6mm sedangkan ukuran

posterior 11,7mm. ketebalan sentral sekitar 535 mikron dan perifer 660 mikron.2,3

Kornea memiliki 5 lapisan dari anterior ke posterior yaitu:

1. Epitel

Epitel kornea memiliki ketebalan 550um, yang memiliki 5 lapis sel epitel

tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel

gepeng. Pada sel basal terjadi mitosis sel dan sel muda ini terdorong terdorong ke

9
depan menjadi lapis sel sayap dna kemudian maju lagi menjadi sel gepeng. Sel basal

berikatan erat dengan sel basal lain di sampingnya dan sel polygonal di depannya

melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menjadi barrier yang berfungsi

menghambat aliran air, elektrolit dan glukosa. Sel basal memiliki fungsi

menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila terdapat gangguan

dapat menyebabkan terjadinya erosi rekuren.

2. Membran Bowman

Membran bowman berada dibawah membran basal epitel kornea yang terdiri dari

kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan

stroma.

3. Stroma

Stroma kornea merupakan lapisan paling tebal (90%) yang menyusun kornea.

Stroma kornea terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang tersusun

sejajar, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedangkan dibagian perifer

serat kolagen ini bercabang. Serat kolagen ini dapat terbentuk dalam waktu lama atau

membutuhkan waktu hingga 15 bulan. Adapun sel stroma kornea atau keratosit yang

merupakan fibroblast yang berada diantara serat kolagen stroma. Keratosit ini diduga

dapat membentuk bahan dasar dan serat kolagen saat dalam perkembangan embrio

atau setelah terjadinya suatu trauma.

4. Membran descement

Membrane descement merupakan suatu membran aseluler dan merupakan batas

belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.

10
Membran ini memiliki ketebalan 40um, bersifat sangat elastik dan mengalami

perkembangan terus menerus sepanjang hidup.

5. Endotel

Endotel berasal dari mesotelium, memiliki bentuk heksagonal, berlapis satu

ukuran 20-40um. Endotel melekat pada membrane descement melalui

hemidesmosom dan zonula okluden.2

Kornea diinervasi oleh banyak saraf sensoris terutama yang berasal dari nervus

siliaris longus, nervus nasosiliar, nervus ke-V nervus siliaris longus yang berjalan dari

suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman

melepaskan selubung schwan. Seluruh lapisan epitel diinervasi sampai pada kedua

lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Pada limbus kornea ditemukan bulbus Krause

sebagai sensasi dingin. Apabila nervus pada daerah limbus terpotong, dapat

beregenrasi dalam waktu 3 bulan. Endotel tidak memiliki kemampuan regenerasi.

Kornea termasuk bagian mata yang dapat ditembus cahaya dan menutup bola mata

bagian depan. Daya pembiasan sinar yang masuk ke kornea 40-50 dioptri dan

menjadi pembiasan sinar terkuat.2

Gambar: Lapisan kornea.4

11
Fisiologi Kornea

Kornea memiliki fungsi sebagai media refraksi dan sebagai barier atau pelindung struktur

intraocular lainnya. Untuk melakukan fungsinya, kornea menjaga tranparansi dan pergantian

jaringannya. Kornea yang transparan ini diperoleh dari susunan yang khas dari lamella

kornea, avaskuler, dan keadaan dehidrasi yang relatif dimana hal ini dijaga oleh pembatas

dari epitel dan endotel serta pompa aktif bikarbonat oleh endotel. Sumber nutrisi kornea

didapat dari: zat terlarut seperti glukosa dan lainnya yang memasuki kornea dengan cara

difusi sederhana atau transport aktif melalui humor aquos dan juga difusi dari kapiler

perilimbus serta oksigen yang diperoleh secara langsung dari udara yang melewati tear film.

Untuk metabolisme pada kornea, epitel dan endotel berperan sangat aktif. Epitel metabolism

glukosa secara aerobic maupun anaerobic menghasilkan CO2 dan H2O serta asam laktat.

Sedangkan pada metabolisme anaerobic,asam laktat akan terakumulasi pada kornea. 5

2.2 Keratitis

2.2.1 Defenisi

Keratitis merupakan peradangan pada lapisan kornea seperti keratitis superfisial dan

interstisial atau profunda yang ditandai dengan adanya edema kornea, infiltrat sel radang dan

kongesti siliar. Penyebab keratitis dapat berupa air mata yang berkurang, keracunan obat,

alergi obat topikal, dan reaksi terhadap konjungtivitis menahun. Gejala keratitis yang dapat

muncul adalah mata merah, merasa silau, dan kelilipan. Pengobatan untuk mengatasi keratitis

dapat berupa antibiotika, air mata buatan dan siklopegik. 2

12
Keratitis Numularis

Keratitis numularis merupakan jenis keratitis superfisialis yang diduga disebabkan oleh

karena infeksi virus. Keratitis numularis disebut juga keratitis punctata tropica atau keratitis

sawahica. Pada keratitis jenis ini, terjadi edema kornea disertai gambaran infiltrat subepitel

yang bundar berbentuk kelompok dengan tepi berbatas tegas sehingga memberikan gambaran

halo atau bulatan seperti mata uang (coin lesion).6

2.2.2 Etiologi

Etiologi keratitis terbagi atas etiologi infeksi dan non infeksi. Etiologi keratitis akibat

infeksi berasal dari infeksi bakteri, virus, jamur, maupun parasit. Infeksi bakteri

Staphylococcus sp dan Streptococcus sp adalah jenis bakteri yang paling sering

menyebabkan keratitis. Adanya bakteri Streptococcus aureus dapat ditandai dengan infiltrat

fokal yang berbatas tegas berwarna putih atau kuning keputihan. Selain itu ada Pseudomonas

aeruginosa yang bersifat agresif dan menyebabkan 60% dari kasus keratitis yang berkaitan

dengan penggunaan lensa kontak. Akibat virus seperti virus herpes simpleks, virus herpes

zoster optalmik, adenovirus, dan keratitis virus lain.6

Adapun faktor resiko keratitis yaitu:

a. penggunaan lensa kontak yang dapat mengakibatkan hipoksia dan mikrotrauma.

Penggunaan soft lens lebih beresiko dari pada jenis rigid gas permeable.

b. Trauma termasuk trauma operasi

c. Penyakit pada permukaan mata seperti trikiasis, mata kering, entropion dan penurunan

sensibilitas kornea.

d. Faktor lain juga seperti diabetes mellitus, defisiensi vitamin A dan imunosupresi.6

13
2.2.3 Klasifikasi

Keratitis dapat diklasifikasikan menurut tempatnya yaitu:

1. Keratitis superfisialis

 Keratitis epitelial: tes fluoresen positif dengan injeksi siliar. contoh keratitis pungtata

superfisialis, keratitis dendritik, keratitis herpetik.

 Keratitis subepitelial: tes fluoresen negatif, tidak ada injeksi siliar. contoh keratitis

numularis, keratitis disiformis.

 Keratitis stromal: lesi terletak di stromal yang tidak mengenai epitel atau endotel

secara primer. Contoh sifilis, tuberkulosis, leprae.

2. Keratitis profunda

Didapatkan hasil tes fluoresen negatif. Contoh keratitis interstisial, keratitis sklerotikan.6

2.2.4 Patofisiologi

Penyebab keratitis diduga virus yang masuk melalui luka kecil ke dalam epitel kornea

setelah adanya trauma ringan pada matanya. Virus kemudian bereplikasi pada sel epitel

kemudian diikuti dengan toksin yang menyebar pada stroma kornea dan menyebabkan

adanya kekeruhan atau infiltrat yang khas dengan bentuk bulat seperti koin atau “coin

lesion”. Terlihat adanya infiltrat berbentuk bulat pada subepitel dan ditengahnya lebih jernih

seperti halo atau dapat timbul bercak putih berbentuk bulat dan multiple pada permukaan

kornea. Korena bersifat avaskular sehingga ketika terjadi peradangan, sistem imun tidak

langsung datang, sehingga sel-sel yang berada di stroma segera bekerja sebagai makrofag

baru kemudian diikuti oleh pembuluh darah yang terdapat di limbus dan terlihat sebagai

injeksi perikornea. Setelah itu, terbentuk bercak berwarna kelabu, keruh dan permukaannya

14
licin. Epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam

kornea. Namun, ketika kornea cedera, stroma yang avaskular dan lapisan bowman mudah

terinfeksi oleh berbagai organisme.6,7

Pada peradangan yang hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar

melalui membran descemet dan endotel kornea. Kemudian iris dan badan siliar meradang

dan timbullah kekeruhan dicairan COA, diikuti dengan terbentuknya hipopion. Bila

peradangan makin dalam, tetapi tidak mengenai membran descemet dapat timbul tonjolan

membran descement yang disebut mata lalat atau descementocele Pada peradangan

dipermukaan kornea, penyembuhan dapat berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut.

Pada peradangan yang lebih dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan

parut yang dapat berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam lagi

dapat timbul perforasi yang dapat menyebabkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan berakhir

dengan ptosis bulbi. Oleh karena kornea memiliki banyak serat nyeri, kebanyakan lesi

kornea, baik superfisial maupun dalam, dapat menimbulkan rasa nyeri dan fotofobia. Kornea

berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lesi kornea umumnya

mengaburkan penglihatan, terutama bila letaknya dipusat. Fotofobia pada penyakit kornea

terjadi akibat kontraksi iris yang meradang dan nyeri. Dilatasi pembuluh iris merupakan

fenomena refleks yang timbul akibat iritasi pada ujung saraf kornea. 6

15
2.2.5 Diagnosis

Untuk menegakan diagnosis keratitis numularis, dilakukan pemeriksaan klinis yaitu:

1. Anamnesis

Dalam mendiagnosis awal penting ditanyakan tanda, gejala, dan riwayat pasien. Pasien

dengan keratitis seringkali datang dengan silau, nyeri, mata berair, lesi di kornea dan

penglihatan berkurang.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan oftalmologi

Diagnosis keratitis dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan slit lamp.

Pemakaian slit lamp penting untuk pemeriksaan kornea dengan benar. Perlu diperhatikan

perjalanan pantulan cahaya saat menggerakan cahaya di atas kornea dengan seksama.

Adanya temuan klinis dari keratitis numular dengan slit lamp adalah tampak infiltrat yang

numular dan tepinya berbatas tegas.

Pemeriksaan uji fluoresein

Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Uji

fluoresein positif jika pada permukaan kornea terlihat warna hijau dengan sinar biru yang

menandakan ada kerusakan epitel kornea. Pada penderita dengan keratitis numularis yang

merupakan keratitis subepitelial akan didapatkan uji fluoresennya negatif.

3. Pemeriksaan penunjang

 Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa

dapat mengidentifikasi organisme khususnya bakteri

 Kultur bakteri biasanya dilakukan pada semua kasus pada saat kunjungan pertama

16
 Polymerase chain reaction (PCR) memungkinkan dilakukannya identifikasi virus-virus

dan jamur dengan cepat.6,7

Diagnosis diferensial: Keratitis bakteri, keratitis virus, keratitis alergi, keratitis jamur.6

2.2.6 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis, menekan

reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi kornea, mempercepat penyembuhan

defek epitel, mengatasi komplikasi, serta memperbaiki ketajaman penglihatan.

Penatalaksanaan non-medikamentosa:

a. Jika memakai lensa kontak, secepatnya untuk melepaskannya

b. Jangan memegang atau menggosok-gosok mata yang meradang

c. Cegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan

mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih

d. Hindari asap rokok

Penatalaksanaan medikamentosa:

Dapat diberikan P-pred 6x tetes/hari, protagenta 4x tetes/hari pada mata kiri yang sakit.

Untuk penatalaksanaan keratitis prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologinya.

Adapun obat-obatan yang bisa diberikan yaitu untuk keratitis virus pengobatan bersifat

simtomatik diberikan antibiotik spektrum luas untuk infeksi sekunder, analgetik bila terdapat

indikasi serta antiviral topikal berupa salep asiklovir 3% tiap 4 jam.6

17
2.2.7 Komplikasi dan prognosis

Bila peradangan hanya dipermukaan saja dengan pengobatan yang baik dapat sembuh

tanpa jaringan parut. Bila peradangan, dalam penyembuhan berakhir dengan pembentukan

sikatrik yang dapat berupa nebula, makula, leukoma. Bila ulkus lebih dalam dapat terjadi

perforasi. Adanya perforasi dapat membahayakan mata karena timbul hubungan langsung

dengan dunia luar sehingga kuman lebih mudah masuk dan menyebabkan endoftalmitis atau

panoftalmitis. Iris dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. TIO juga

akan menurun.6

18
BAB III

DISKUSI

Pasien laki-laki berusia 6 tahun datang dengan keluhan bercak putih pada mata kiri.

Pasien tidak mengalami keluhan tambahan lain. Pasien telah mengalami keluhan ini sejak

hampir 1 bulan terakhir (25 hari). Pasien masih bisa beraktivitas seperti biasa.

Pemeriksaan oftalmologi, didapatkan hasil visus pasien mata kanan 6/7 dan visus

mata kiri 6/30, TIO OD :15 mmHg OS: tidak diperiksa. Pada pemeriksaan slit lamp

didapatkan bercak putih berkelompok seperti coin lesion pada mata kiri. Edema palpebral (-

), Konjungtiva hiperemis (-), kornea keruh (+) minimal, pupil jernih dan lensa jernih.

Sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi didapatkan diagnosis keratitis

numularis. Tatalaksana yang dapat diberikan adalah obat tetes mata P-pred, floxa dan

protagenta. Prognosis pada pasien ini umumnya ad bonam karena tidak mengancam nyawa

pasien.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Forrester J V, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlmen E. Anatomy of the eye and

orbit. In: The eye: basic sciences in practice. 4th ed. China: Elsevier; 2016.

2. Ilyas S, Yulianti SR. Anatomi dan fisiologi mata. In: Ilmu penyakit mata. 4th ed. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.

3. Denniston A, Murray P. Oxford Handbook of Ophthalmology 3rd edition. 2014;1069.

4. Vanathi M, Chaudhuri Z. Disease of cornea, conjunctiva, and tear film. In: Undergraduate

opthalmology. New Delhi: Wolters Kluwer; 2015.

5. Khurana A. Comprehensive opthalmology. 4th ed. India: New Ages International Limited

Publishers; 2007.

6. Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. In: Ilmu kesehatan

mata. 4th ed. Jakarta: FKUI; 2018. p. 1–19.

7. Eva P, Whitcher J. Cornea. In: Vaughan & Asbury’s General Opthalmology. London:

McGraw-Hill Edu; 2007.

20
LAMPIRAN REFERENSI

1. Forrester J V, Dick AD, McMenamin PG, Roberts F, Pearlmen E. Anatomy of the

eye and orbit. In: The eye: basic sciences in practice. 4th ed. China: Elsevier; 2016.
2. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam penglihatan dan kelainan refraksi. In: Ilmu penyakit

mata. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;

2013.
3. Denniston A, Murray P. Oxford Handbook of Ophthalmology 3rd edition.

2014;1069.
4. Lauralee Sherwood. Sistem Saraf Tepi: Divisi Aferen; Indra Khusus. In:

Introduction to human physiology. 8th ed. China: Yolanda Cossio; 2013. p. 206–

25.
5. Vanathi M, Chaudhuri Z. Disease of cornea, conjunctiva, and tear film. In:

Undergraduate opthalmology. New Delhi: Wolters Kluwer; 2015.


6. Khurana A. Comprehensive opthalmology. 4th ed. India: New Ages International

Limited Publishers; 2007.


7. Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. In: Ilmu

kesehatan mata. 4th ed. Jakarta: FKUI; 2018. p. 1–19.


8. Puig M, Weiss M, Salinas R, Johnson DA, Kheirkhah A. Etiology and Risk Factors

for Infectious Keratitis in South Texas. J Ophthalmic Vis Res. 2020 Jun

1;15(2):128–37.
9. Srigyan D, Gupta M, Ahsan S, Behera H. Infectious Keratitis: An Immediate Cause

of Concern. Ophthalmology Research: An International Journal. 2017 Jan

10;7(4):1–6.
10. Ung L, Chodosh J. Foundational concepts in the biology of bacterial keratitis. Exp

Eye Res. 2021 Aug 1;209.


11. Eva P, Whitcher J. Cornea. In: Vaughan & Asbury’s General Opthalmology.

London: McGraw-Hill Edu; 2007.


12. Koganti R, Yadavalli T, Naqvi RA, Shukla D, Naqvi AR. Pathobiology and

treatment of viral keratitis. Exp Eye Res. 2021 Apr 1;205.


13. Madan Uphadyay, Muthia Srinivasan, John Whitcer. Diagnosing and managing

microbial keratitis. Community Eye Health Journal [Internet]. 2015;28(89):1–6.

Available from: https://www.researchgate.net/publication/282609514


14. McDonald EM, Ram FSF, Patel D v., McGhee CNJ. Topical antibiotics for the

management of bacterial keratitis: An evidence-based review of high quality

randomised controlled trials. British Journal of Ophthalmology. 2014 Nov

1;98(11):1470–7.

15. Austin A, Lietman T, Rose-Nussbaumer J. Update on the Management of

Infectious Keratitis. Vol. 124, Ophthalmology. Elsevier Inc.; 2017. p. 1678–89.


16. Egrilmez S, Yildirim-Theveny Ş. Treatment-resistant bacterial keratitis:

Challenges and solutions. Vol. 14, Clinical Ophthalmology. Dove Medical Press

Ltd; 2020. p. 287–97.

Anda mungkin juga menyukai