Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2022

UNIVERSITAS PATTIMURA

MIOPIA

Disusun Oleh:

Elisabeth Sabatini Fatlolon

NIM. 202284038

Pembimbing:

dr. Carmila Tamtelahitu Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERISTAS PATTIMURA

AMBON

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas penyertaan-Nya, penulis

dapat menyelesaikan referat dengan topik Miopia. Penyusunan referat ini bertujuan untuk

memenuhi tugas selama menjalani kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura. Ucapan terima kasih kepada dr. Carmila

Tamtelahitu, Sp. M sebagai pembimbing utama kelompok kami yang telah bersedia

memberi ilmu dan bimbingan dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna sehingga penulis

sangat mengharapkan adanya masukan, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan

referat yang lebih baik kedepannya.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut

membantu dalam penyelesaian referat ini. Semoga referat ini dapat memberikan banyak

manfaat kepada siapapun yang membutuhkan.

Ambon, April 2022

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………… 1

KATA PENGANTAR ……………………………………………………. 2

DAFTAR ISI ……………………………………………………………… 3

BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. 5

BAB III. KESIMPULAN …………………………………………………. 16

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 17


BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Mata merupakan bagian dari pancaindera yang penting bagi manusia. Selain berfungsi untuk

melihat, mata dapat menyerap >80% informasi visual yang penting untuk melakukan aktivitas

atau kegiatan sehari-hari. Namun, tidak sedikit gangguan yang terjadi pada mata manusia, mulai

dari gangguan ringan hingga gangguan yang berat bahkan dapat mengalami kebutaan. Penyebab

gangguan penglihatan paling banyak di dunia adalah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi

(48,99%), katarak (25,81%), age related macular degeneration (AMD, 4,1%). Salah satu

gangguan penglihatan adalah miopia atau sering dikenal dengan rabun jauh menjadi salah satu

dari lima besar penyebab kebutaan di seluruh dunia.1,2

Pada beberapa negara di Asia, prevalensi miopia bervariasi mencapai 70-90%. Prevalensi

kelainan refraksi di Indonesia menempati urutan pertama dari penyakit mata, meliputi 25%

penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. Sedangkan prevalensi myopia di Indonesia lebih dari -0,5 D

pada usia dewasa muda di atas 21 tahun adalah 48,1%.3,4

Miopia atau rabun jauh adalah jenis kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang datang dari

jarak tak terhingga difokuskan di depan retina saat akomodasi dalam keadaan istirahat. Miopia

juga disebut nearsightedness atau shortsightedness. Pada miopia, panjang anteroposterior bola

mata dapat terlalu besar atau pembiasan media refraksi yang terlalu kuat.5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Defenisi Miopia

Miopia atau rabun jauh merupakan salah satu jenis kelainan refraksi dimana sinar sejajar

yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina saat akomodasi dalam

keadaan istirahat.5,6

Gambar: Refraksi pada mata myopia.5

2. Klasifikasi etiologi miopia:

1. Miopia axial

Terjadi akibat peningkatan diameter anteroposterior bola mata, dan merupakan bentuk

paling umum

2.Miopia kurvatura terjadi akibat peningkatan kelengkungan kornea, lensa atau keduanya

3.Miopia posisional dihasilkan oleh penempatan anterior lensa kristalin di dalam mata

4.Miopia indeks terjadi akibat peningkatan indeks refraksi dari lensa kristalin yang

berhubungan dengan nukleus yang sklerosis

5. Miopia akibat akomodasi berlebihan terjadi pada pasien dengan spasme akomodasi.5,7
3. Patofisiolgi Miopia

Mekanisme yang mendasari miopia masih belum jelas. Banyak teori mengenai

perkembangan miopia secara umum antara lain lag accommodation dan mechanical tension

theory. Teori pertama didasarkan pada hipotesis bahwa hyperopic retinal blur yang disebabkan

oleh lag accommodation yang tinggi selama aktivitas dekat kerja menginduksi peningkatan

perpanjangan aksial yang tidak normal.8,9

Teori kedua telah diusulkan berdasarkan pada data pertumbuhan okular longitudinal dari

anak-anak emmetropia dan miopia. Teori mechanical tension mengusulkan bahwa ada faktor-

faktor yang menghasilkan ukuran bola mata lebih besar menyebabkan peningkatan ciliary

choroidal tension. Peningkatan lag accommodation dan hambatan mekanis untuk pertumbuhan

ekuator disebabkan oleh peningkatan ciliary choroidal tension. Hambatan mekanis untuk

pertumbuhan ekuator menyebabkan kurangnya peningkatan kompensasi untuk aksial lenticular,

perubahan pada perkembangan bentuk bola mata, dan percepatan perpanjangan aksial sehingga

menyebabkan myopia progression.8,9

Gambar: Mekanisme teori perkembangan miopia.8


Mekanisme terjadinya miopia memperlihatkan bahwa faktor hambatan penglihatan seperti

katarak kongenital, ptosis, hemangioma periokular akan mempengaruhi pertumbuhan axial bola

mata yang mengarah pada miopia. Faktor genetik dari orang tua miopia akan menyebabkan

anak yang juga miopia dan akan berkembang secara progresif pada anak yang bekerja/membaca

dengan jarak dekat. Faktor ini juga bisa menyebabkan miopia pada anak yang awalnya tidak

miopia.8–10

Gambar: Mekanisme perkembangan miopia.8

4. Klasifikasi Miopia

Berdasarkan karakteristik anatomi, miopia dibagi menjadi miopia aksial dan miopia

refraktif. Miopia aksial merupakan miopia yang diakibatkan karena bola mata terlalu panjang
dibandingkan kekuatan refraksinya. Miopia refraksi merupakan miopia yang diakibatkan karena

sistem refraktif terlalu kuat dibandingkan dengan panjang bola mata. 11,12

Berdasarkan variasi klinis miopia:

1. Miopia kongenital

Biasanya terjadi sejak lahir, namun terdiagnosis biasanya pada usia 2-3 tahun. Sebagian

besar bermanifestasi sebagai anisometropia.

2. Miopia sederhana/simpleks

Jenis miopia yang paling umum, biasanya akibat fisiologis dan tidak berhubungan dengan

penyakit pada mata. Prevalensinya meningkat dari 2% pada usia 5 tahun menjadi 14%

pada usia 15 tahun. Karena peningkatan paling tajam terjadi pada usia sekolah sehingga

disebut juga miopia sekolah. Miopia simpleks merupakan hasil variasi biologis normal

dari perkembangan mata yang mungkin atau mungkin tidak ditentukan secara genetik.

Beberapa faktor yang berhubungan dengan myopia sederhana adalah:

a. Miopia simpleks tipe aksial mungkin hanya menunjukan variasi fisiologis pada

panjang bola mata atau mungkin berhubungan dengan pertumbuhan neurologis

sebelum waktunya selama masa kanak-kanak.

b. Tipe kelengkungan dari miopia simpleks dianggap sebagai gangguan perkembangan

bola mata.

c. Peran genetik. Anak dari orang tua dengan miopia 20%, anak dengan satu orang tua

miopia 10% dan anak dengan orang tua tidak myopia 5%.

d. Teori kerja jarak dekat yang berlebihan di masa kanak-kanak juga ditemukan tetapi

tidak terlalu penting. Faktanya, tidak ada bukti yang membenarkan bahwa myopia
diperburuk oleh pekerjaan jarak dekat, menonton tv, dan tidak menggunakan

kacamata.

3. Miopia patologis

Miopia patologis/degeneratif/progresif yang dimulai pada masa kanak-kanak pada usia 5-

10 tahun dan menghasilkan miopia tinggi selama kehidupan dewasa awal yang biasanya

dikaitkan dengan perubahan degeneratif pada mata. Etiologinya akibat dari pertumbuhan aksial

bola mata yang cepat yang berada di luar variasi perkembangan biologis normal. Untuk

menjelaskan percepatan pertumbuhan aksial ini, berbagai teori telah dikemukakan. Sejauh ini

tidak ada hipotesis yang memuaskan untuk menjelaskan etiologi miopia patologis. Namun,

miopia berkaitan dengan keturunan dan proses pertumbuhan umum. Hipotesis etiologi untuk

miopia patologis digambarkan pada gambar dibawah ini.5,12,13

Gambar: hipotesis etiologi miopia patologis.5

4.Miopia didapat, bisa karena post trauma, post keratitis, akibat obat-obatan, pseudomiopia.5

Berdasarkan derajat, miopia dibagi menjadi tiga :

a. Miopia ringan (1-3 Dioptri)


b. Miopia sedang (3-6 Dioptri)

c. Miopia berat atau tinggi (>8 Dioptri)

Berdasarkan perjalanan miopia terdiri dari:

a. Miopia stasioner (menetap selama masa dewasa)

b. Miopia progresif (bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambahnya panjang bola

mata)

c. Miopia maligna (miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina

dan kebutaan).14

5. Gejala dan Tanda

a. Melihat jauh kabur atau disebut rabun jauh, melihat dekat jelas

b. Sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit

c. Kebiasaan mengenyiritkan matanya untuk mendapatkan efek pinhole.

Pada pemeriksaan funduskopi terdapat “miopik kresen” yaitu gambaran bulan sabit yang

terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, sklera oleh koroid. Pada mata dengan miopia

tinggi akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan degenrasi

retina bagian perifer.14,15

6. Pemeriksaan Mata

Pemeriksaan Refraksi

a. Pemeriksaan refraksi subjektif adalah teknik/metode pemeriksaan refraksi yang bergantung

pada respon penderita dalam menentukan hasil koreksi refraksi.

Teknik Pemeriksaan:

a. pasien duduk menghadap snellen chart dengan jarak 6 meter


b.Pasang trial frame pada mata

c. Satu mata ditutup dengan occluder.

d.Pasien diminta membaca huruf pada snellen chart dimulai dari huruf yang terbesar

sampai ke huruf yang terkecil pada baris-baris selanjutnya yang masih dapat terbaca.

Menilai hasil pemeriksaan:

a. Tajam penglihatan ditulis sebagai berikut VOD (visus oculi dextra) untuk tajam

penglihatan mata kanan, dan VOS (visus oculi sinistra) untuk tajam penglihatan

mata kiri. Setelah diperoleh hasil dilanjutkan dengan trial lense untuk mendapatkan

hasil koreksi yang tepat dan sesuai.

b. Bila huruf terkecil yang masih bisa dibaca pada baris dengan tanda 6, dikatakan

tajam penglihatan 6/6

c. Bila dalam membaca ada kesalahan menyebut 2 huruf maka ditulis 6/6 false 2 (F2)

d. Bila huruf terkecil yang masih bisa dibaca pada baris 30, dikatakan tajam

penglihatan adalah 6/30 tanpa koreksi. Kemudian dilanjutkan dengan pin hole test.

Bila ada perbaikan tajam penglihatan menentukan adanya kelainan refraksi, bila

tidak ada perbaikan maka dapat dipikirkan kemungkinan penurunan tajam

penglihatan karena kelainan media refraksi atau kelainan macula atau nervus

optikus.

e. Bila pasien tidak bisa membaca huruf terbesar pada snellen chart, maka pemeriksaan

dilanjutkan dengan uji hitung jari.

f. Pasien diminta untuk mneghitung jumlah jari pemeriksa yang dimulai dari jarak 5m

sampai jarak terdekat 1m dengan pasien. Bila jari yang terlihat dan dapat dihitung

jumlahnya tanpa salah pada jarak 3m maka tajam penglihatan pasien adalah 3/60.
Bila pasien tetpa tidak bisa melihat dan menghitung jari hingga jarak 1m maka

pemeriksaan dilanjukan dengan uji lambaian tangan.

g. Pemeriksa melambaikan tangan dari jarak maksimal 1m dengan pasien dan pasien

diminta menyebutkan arah lambaian keatas dan kebawah atau ke kanan dan kekiri.

Bila pasien bisa melihat lambaian tangan dan dapat menentukan arah lamabain

tangan makan tajam penglihatannya adalah 1/300 proyeksi baik. Jika dengan uji

lambaian tangan, pasien masih belum bisa melihat maka dilanjutkan dengan

pemeriksaan proyeksi sinar.

h. Senter yang diarahkan ke depan mata pasien yang akan diperiksa dan pasien diminta

menyatakan melihat sinar atau tidak serta menyatakan arah datangnya sinar. Bila

pasien dapat melihat sinar maka visusnya 1/- (LP) dan bila mampu menyatakan arah

datangnya sinar dengan baik maka visusnya 1/- dengan proyeksi baik (GP). Bila

pasien dapat melihat sinar maka visusnya 1/- (LP) dan tidak mampu menyatakan

arah datangnya sinar maka visusnya 1/- dengan proyeksi buruk (BP). Bila pasien

tetap tidak dapat melihat sinar maka visusnya adalah no light perception/NLP (buta

total).16

b. Pemeriksaan refraksi objektif adalah teknik/metode pemeriksaan refraksi dimana pasien

pasif, dan hasil pengukuran diperoleh dari hasil observasi alat yang dipergunakan.

• Autorefraktometer

Autorefraktometer adalah mesin yang dikontrol komputer untuk pemeriksaan refraksi

objektif dengan prinsip pengukuran perubahan sinar ketika masuk ke mata pasien.

Autorefraktometer menentukan secara otomatis hasil koreksi kelainan refraksi. Pemeriksaan

yang dilakukan bersifat cepat, mudah, dan tanpa rasa sakit.


Prosedur pemeriksaan:

1. Nyalakan tombol power alat.

2. Bersihkan sandaran dahi dan dagu.

3. Pasien dipersilakan duduk senyaman mungkin dan diinstruksikan untuk menempatkan

dahi dan dagunya pada sandaran alat kemudian melihat lurus ke objek (gambar) yang ada

di dalam alat. Pemeriksaan dilakukan satu per satu pada mata, dimulai dengan mata kanan

terlebih dahulu.

4. Pada saat dilakukan pemeriksaan, objek (gambar) yang dilihat pasien akan bergerak maju

mundur sesuai dengan gerakan joystick yang dilakukan pemeriksa untuk mendapatkan

fokus. Alat akan membaca secara otomatis dan menentukan objek (gambar) ketika tepat di

retina sekaligus memberikan hasil koreksi kelainan refraksi.

5. Setelah selesai dilakukan pengukuran, hasil pengukuran dapat dicetak.16

Gambar: Pemeriksaan refraksi menggunakan alat autorefraksimeter.16


7. Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosa berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan refraksi

1. Anamnesis

Didapatkan pasien mengeluhkan mata kabur bila melihat jauh, mata dapat cepat lelah,

pusing, cenderung memicingkan mata bila melihat jauh. Tidak terdapat riwayat gangguan

sistemik seperti hiperetensi, diabetes mellitus.

2. Pemeriksaan Refraksi

Bila didapatkan penurunan visus dan dikoreksi dengan menggunakan sferis negatif terkecil

yang mendapatkan perbaikan visus yang lebih baik.17

8. Tatalaksana Miopia

Tatalaksana miopia terdiri atas:18

a. Kacamata dengan sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan

maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.00 memberikan tajam

penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S-3.25, maka sebaiknya diberikan lensa

koreksi -3.0 agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik sesudah dikoreksi.

b. Lensa Kontak

c. Bedah refraktif

• Laser in-situ keratomileusis (LASIK)

• Laser-associated subepithelial keratotectomy (LASEK)

• Photorefractive keratectomy (PRK)

• Intraocular lens (IOL) implant


Komplikasi yang dapat terjadi setelah operasi refraktif dapat berupa: koreksi yang kurang

atau koreksi berlebihan dari yang awal, munculnya halo atau starburst, mata kering, infeksi,

jaringan parut pada kornea, dan kehilangan penglihatan yang jarang. 19

9. Komplikasi Miopia

Komplikasi miopia adalah ablasio retina dan strabismus/juling. Juling biasanya esotropia

atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi terus menerus. Bila terdapat juling keluar

mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.17,20


BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Miopia atau rabun jauh merupakan salah satu jenis kelainan refraksi dimana sinar sejajar

yang datang dari jarak tak terhingga difokuskan di depan retina saat akomodasi dalam

keadaan istirahat. Miopia secara karakteristik anatomi diklasifikasikan menjadi miopia

aksial dan miopia refraktif. Diagnosis miopia dilakukan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Keluhan yang didapatkan adalah mata kabur bila melihat jauh, mata

dapat cepat lelah, pusing, cenderung memicingkan mata bila melihat jauh. Pada

pemeriksaan refraksi didapatkan penurunan visus dan dikoreksi dengan lensa sferis negatif

dapat memberikan perbaikan visus yang lebih baik. Tatalaksana untuk miopia dapat

diberikan kacamata sferis negatif terkecil, lensa kontak dan bila memungkinkan dilakukan

bedah refraktif. Komplikasi miopia dapat berupa ablasio retina dan strabismus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes R. Infodatin Situasi Gangguan Penglihatan [Internet]. Kementrian


Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi. 2018. Available from:
https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infoda
tin-Gangguan-penglihatan-2018.pdf

2. Wong CW, Brennan N, Ang M. Introduction and overview on myopia: A clinical


perspective. In: Updates on Myopia: A Clinical Perspective. Springer Singapore;
2019. p. 1–26.

3. Wulandari M, Mahadini C. Akupuntur titik chengqi, tongziliao, dan yintang dalam


memperbaiki visus kasus miopia. Journal Of Vocational Health Studies. 2019;2(2).

4. Xiang ZY, Zou HD. Recent Epidemiology Study Data of Myopia. Vol. 2020, Journal
of Ophthalmology. Hindawi Limited; 2020.

5. A H Khurana. Optics and refraction. In: Comprehensive opthalmology. 4th ed. India:
New Ages International Limited Publishers; 2007.

6. Flitcroft DI, He M, Jonas JB, Jong M, Naidoo K, Ohno-Matsui K, et al. IMI –


Defining and classifying myopia: A proposed set of standards for clinical and
epidemiologic studies. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2019 Feb 1;60(3):M20–30.

7. Fabiola Supit, Winly. Miopia: Epidemiologi dan Faktor Risiko. Cermin Dunia
Kedokteran. 2021;48(12):741–4.

8. Fredrick DR. Myopia. Br Med J. 2002;324(7347):1195–9.

9. Chakraborty R, Read SA, Vincent SJ. Understanding myopia: Pathogenesis and


mechanisms. In: Updates on Myopia: A Clinical Perspective. Springer Singapore;
2019. p. 65–94.

10. Mrugacz M, Gajecka M, Mrukwa-Kominek E, Witkowska KJ. Myopia: Risk factors,


disease mechanisms, diagnostic modalities, and therapeutic options. Vol. 2018,
Journal of Ophthalmology. Hindawi Limited; 2018.

11. Erlinda Agustina. Developmental Myopia. Sari Kepustakaan. Universitas Padjajaran;


2019.

12. World Health Organization. The impact of myopia and high myopia. Australia; 2015.

13. Sofiani A, Dyah Y, Santik P, Ilmu J, Masyarakat K, Keolahragaan I. Unnes Journal


of Public Health FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT
MIOPIA PADA REMAJA (STUDI DI SMA NEGERI 2 TEMANGGUNG
KABUPATEN TEMANGGUNG). 2016; Available from:
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph

14. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam penglihatan dan kelainan refraksi. In: Ilmu penyakit
mata. 4th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2013.

15. Logan N, Guggenheim J, To CH. Myopia: mechanisms, manifestations and


management. Vol. 38, Ophthalmic and Physiological Optics. Blackwell Publishing
Ltd; 2018. p. 207–9.

16. Budhiastra P, Djelantik AS, Kusumadjaja IMA, Jayanegara W, Putrawati AM,


Yuliawati P, et al. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Mata. 1st ed.
Kedokteran Universitas Padjadjaran. Denpasar: Udayana University Press; 2017.

17. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer
Edisi II. Edisi revi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik indonesia; 2014.

18. Németh J, Tapasztó B, Aclimandos WA, Kestelyn P, Jonas JB, de Faber JTHN, et al.
Update and guidance on management of myopia. European Society of
Ophthalmology in cooperation with International Myopia Institute. Vol. 31, European
Journal of Ophthalmology. SAGE Publications Ltd; 2021. p. 853–83.

19. Upadhyay S. Myopia, Hyperopia and Astigmatism: A Complete Review with View
of Differentiation. International Journal of Science and Research (IJSR).
2015;4(8):125–9.

20. Haarman AEG, Enthoven CA, Willem Tideman JL, Tedja MS, Verhoeven VJM,
Klaver CCW. The complications of myopia: A review and meta-analysis. Vol. 61,
Investigative Ophthalmology and Visual Science. Association for Research in Vision
and Ophthalmology Inc.; 2020.
LAMPIRAN REFERENSI

1. Kemenkes R. Infodatin Situasi Gangguan Penglihatan [Internet]. Kementrian Kesehatan

RI Pusat Data dan Informasi. 2018. Available from:

https://pusdatin.kemkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-

Gangguan-penglihatan-2018.pdf
2. Wong CW, Brennan N, Ang M. Introduction and overview on myopia: A clinical

perspective. In: Updates on Myopia: A Clinical Perspective. Springer Singapore; 2019.

p. 1–26.
3. Wulandari M, Mahadini C. Akupuntur titik chengqi, tongziliao, dan yintang dalam

memperbaiki visus kasus miopia. Journal Of Vocational Health Studies. 2019;2(2).


4. Xiang ZY, Zou HD. Recent Epidemiology Study Data of Myopia. Vol. 2020, Journal of

Ophthalmology. Hindawi Limited; 2020.


5. A H Khurana. Optics and refraction. In: Comprehensive opthalmology. 4th ed. India:

New Ages International Limited Publishers; 2007.


6. Flitcroft DI, He M, Jonas JB, Jong M, Naidoo K, Ohno-Matsui K, et al. IMI – Defining

and classifying myopia: A proposed set of standards for clinical and epidemiologic

studies. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2019 Feb 1;60(3):M20–30.


7. Fabiola Supit, Winly. Miopia: Epidemiologi dan Faktor Risiko. Cermin Dunia

Kedokteran. 2021;48(12):741–4.
8. Fredrick DR. Myopia. Br Med J. 2002;324(7347):1195–9.
9. Chakraborty R, Read SA, Vincent SJ. Understanding myopia: Pathogenesis and

mechanisms. In: Updates on Myopia: A Clinical Perspective. Springer Singapore; 2019.

p. 65–94.
10. Mrugacz M, Gajecka M, Mrukwa-Kominek E, Witkowska KJ. Myopia: Risk factors,

disease mechanisms, diagnostic modalities, and therapeutic options. Vol. 2018, Journal

of Ophthalmology. Hindawi Limited; 2018.

11. Erlinda Agustina. Developmental Myopia. Sari Kepustakaan. Universitas Padjajaran;

2019.
12. World Health Organization. The impact of myopia and high myopia. Australia; 2015.

13. Sofiani A, Dyah Y, Santik P, Ilmu J, Masyarakat K, Keolahragaan I. Unnes Journal of


Public Health FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI DERAJAT MIOPIA
PADA REMAJA (STUDI DI SMA NEGERI 2 TEMANGGUNG KABUPATEN
TEMANGGUNG). 2016; Available from: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph
14. Ilyas S, Yulianti SR. Tajam penglihatan dan kelainan refraksi. In: Ilmu penyakit mata.

4th ed. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
15. Logan N, Guggenheim J, To CH. Myopia: mechanisms, manifestations and

management. Vol. 38, Ophthalmic and Physiological Optics. Blackwell Publishing Ltd;

2018. p. 207–9.
16. Budhiastra P, Djelantik AS, Kusumadjaja IMA, Jayanegara W, Putrawati AM,

Yuliawati P, et al. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Mata. 1st ed.

Kedokteran Universitas Padjadjaran. Denpasar: Udayana University Press; 2017.


17. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Primer Edisi

II. Edisi revi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik indonesia; 2014.


18. Németh J, Tapasztó B, Aclimandos WA, Kestelyn P, Jonas JB, de Faber JTHN, et al.

Update and guidance on management of myopia. European Society of Ophthalmology in

cooperation with International Myopia Institute. Vol. 31, European Journal of

Ophthalmology. SAGE Publications Ltd; 2021. p. 853–83.


19. Upadhyay S. Myopia, Hyperopia and Astigmatism: A Complete Review with View of

Differentiation. International Journal of Science and Research (IJSR). 2015;4(8):125–9.


20. Haarman AEG, Enthoven CA, Willem Tideman JL, Tedja MS, Verhoeven VJM, Klaver

CCW. The complications of myopia: A review and meta-analysis. Vol. 61, Investigative

Ophthalmology and Visual Science. Association for Research in Vision and

Ophthalmology Inc.; 2020.

Anda mungkin juga menyukai