Anda di halaman 1dari 25

2

Tugas Baca

PENANGANAN MIOPI DENGAN MINIMAL


INVASIF

Oleh:

Yusuf Teghar Pradwi

NIM. 1930912310027

Pembimbing:

dr. H. Agus Fitrian Noor Razak, Sp.M

DEPARTEMEN/KSM ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN BANJARMASIN

April, 2022
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 2

A. Definisi ............................................................................................... 2

B. Klasifikasi............................................................................................. 2

C. Epidemiologi ........................................................................................ 4

D. Etiologi ................................................................................................ 5

E. Manifestasi Klinis ................................................................................ 6

F. Diagnosis.............................................................................................. 6

G. Tatalaksana........................................................................................... 7

BAB III Penutup.......................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 20

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Radial Keratotomi....................................................................................... 12

2.2 Prosedur LASIK......................................................................................... 14

2.3 Prosedur PRK............................................................................................. 15

2.4 Prosedur LASEK........................................................................................ 16

2.5 Prosedur Epi-LASIK.................................................................................. 17

2.6 Prosedur SMILE......................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada

retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan

sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal,

kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada sentral retina.

Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai dengan panjangnya bola

mata. Pada kelainan refraksi, sinar tidak dibiaskan tepat pada bintik kuning, akan tetapi

dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan malahan tidak terletak pada satu titik

yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan

presbiopi.1

Miopia disebut sebagai rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan untuk

melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Miopia bersifat

progresif pada masa anak anak dan cenderung stabil ketika mereka mencapai usia

20 tahun atau akhir remaja. Data WHO memperkirakan bahwa 246 juta orang di

seluruh dunia memiliki gangguan penglihatan yang meliputi ametropia (miopia,

hipermetropia dan astigmatisme) sebesar 43%. Berbagai faktor dapat

mempengaruhi progresivitas miopia. Faktor genetik dan kebiasaan atau perilaku

membaca dekat disertai penerangan yang kurang menjadi faktor utama terjadinya

miopia. Faktor gaya hidup mendukung tingginya akses anak terhadap media

visual yang ada.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Miopi

Miopi adalah keadaan refraksi mata dimana dalam keadaan mata istirahat

(tanpa akomodasi), seberkas cahaya sejajar yang berasal dari objek yang terletak

jauh tak terhingga akan difokuskan pada satu titik fokus di depan retina.3

Miopia merupakan kelainan mata paling umum di dunia. Pada keadaan

refraksi ini, retina terletak di belakang bidang fokus sehingga lensa konkaf atau

lensa negatif dibutuhkan untuk memindahkan bidang fokus kembali terletak pada

retina. Definisi miopia bervariasi namun pada umumnya mata dianggap myopia

bila memerlukan lensa negative 0.50 dioptri untuk mengembalikan penglihatan

normal.3

B. Klasifikasi

Pada keadaan miopi, bayangan benda jatuh pada titik focus di depan retina.

Hal ini dapat disebabkan oleh bentuk bola mata mengalami pemanjangan maupun

kekuatan refraksi yang terlalu besar. Miopia memiliki beberapa bentuk seperti:3

1. Miopia Aksial

Keadaan refraksi myopia dapat disebabkan karena panjang bola mata

anteroposterior lebih dari rata-rata dengan kelengkungan kornea dan

lensa yang normal (disebut dengan miopia aksial)

2. Miopia Refraktif

Miopi ini disebabkan karena kekuatan refraksi mata yang terlalu besar.

2
3

Hal ini dapat terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih

cembung sehingga pembiasan lebih kuat (disebut dengan miopia

refraktif)

Miopia secara klinis dapat dibagi menjadi 5, yaitu:

1. Miopia Simpleks: Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang

terlalu panjang atau daya bias kornea dan lensa kristalina yang terlalu

kuat.

2. Miopia Nokturnal: Miopia yang terjadi Karena pencahayaan yang redup

3. Pseudomiopia: Diakibatkan oleh peningkatan daya bias mata karena

rangsangan yang berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga

terjadi kekejangan pada otot siliar yang menyangga lensa kristalina.

4. Miopia Degeneratif: Miopia derajat tinggi dengan perubahan degeneratif

pada segmen posterior mata yang dikenal dengan miopia degeneratif

atau miopia patologis. Perubahan degeneratif tersebut dapat

menyebabkan fungsi penglihatan yang tidak normal, seperti penurunan

koreksi ketajaman visual atau perubahan lapang pandang. Terkadang

terdapat gejala lain yaitu ablasio retina maupun glaukoma.

5. Miopia Induksi: Miopia yang didapat akibat paparan dari zat-zat

farmakologis, variasi kadar gula darah, sklerosis lensa kristalina atau

kondisi tidak normal lainnya. Miopia ini sering hanya sememtara dan

bersifat reversibel.

Berdasarkan besar koreksi yang diperlukan, miopia dapat diklasifikasikan

menjadi:1
4

1. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1 s/d 3 Dioptri

2. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3 s/d 6 Dioptri

3. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 Dioptri

Tingginya Dioptri pada miopia ini berhubungan dengan panjangnya aksial

miopia, suatu kondisi dimana belakang mata lebih panjang daripada normal,

sehingga membuat mata memiliki pandangan yang sangat dekat.

Berdasarkan perjalanan, miopia dikenal dalam bentuk:1

1. Miopia stasioner, yaitu miopia menetap setelah dewasa

2. Miopia progresif, yaitu miopia bertambah terus menerus pada usia

dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata

3. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif yang dapat

menyebabkan ablasio retina dan kebutaan.

C. Epidemiologi

Miopia bersifat progresif pada masa anak-anak dan cenderung stabil Ketika

mencapai usia 20 tahun atau akhir remaja. Di Amerika, diperkirakan terdapat 3%

kasus miopia pada anak-anak usia 5-7 tahun, 8% pada anak usia 8-10 tahun, 14%

pada anak usia 11-12 tahun, dan 25% pada kelompok usia 12-17 tahun. Di

Taiwan, prevalensi miopia adalah 12% pada anak usia 6 tahun, dan 84% pada

kelompok penduduk usia 16-18 tahun. Angka prevalensi yang hampir sama

dijumpai di Singapura dan Jepang. Prevalensi miopia di Indonesia pada anak

berdasarkan pada kelompok usia dewasa dilaporkan sebesar 18,7% pada anak usia

sekolah dasar, dan 32,3% pada anak usia 6-15 tahun.3

Menurut American Optometric Association, siapapun yang menghabiskan


5

waktu lebih dari 2 jam untuk bekerja didepan komputer mungkin berada dalam

risiko berkembangnya ketegangan mata dan kesulitan untuk memusatkan

perhatian. Asosiasi ini melaporkan bahwa komputer dapat memperburuk kondisi,

seperti miopia. Jika anak menghabiskan waktu lebih banyak di depan komputer

atau pekerjaan lain yang jaraknya dekat dengan mata, maka risiko mereka untuk

terkena miopia meningkat.

D. Etiologi

Miopia disebabkan karena terlalu kuatnya pembiasan sinar di dalam mata

terhadap panjangnya bola mata akibat:1

1. Bola mata terlalu panjang

2. Secara fisiologis, sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat

sehingga membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea

3. Titik focus sinar yang dating dari benda yang jauh terletak di depan

retina

4. Titik jauh (punctum remotum) terletak lebih dekat atau sinar dating tidak

sejajar.

Faktor genetik juga merupakan faktor yang mengambil andil dalam etiologi

terjadinya miopia. Ada dua hipotesis yang mengemukakan mengenai hubungan

antara miopia pada orang tua dan anak. Yang pertama adalah teori dari kondisi

lingkungan yang diwariskan. Tendensi untuk miopia dalam keluarga lebih

mungkin disebabkan lingkungan yang mendorong untuk melakukan kegiatan yang

berjarak dekat dan intens dalam keluarga, daripada faktor genetik. Orang tua

dengan miopia biasanya akan menetapkan standar akademik yang tinggi atau
6

mewariskan kesukaan membaca pada anak-anak mereka daripada mewariskan gen

itu sendiri. Suatu penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa orang tua yang

memiliki status pendidikan tinggi, terutama ayahnya, lebih banyak mempunyai

anak yang menderita miopia.

E. Manifestasi Klinis

Keluhan yang umum dijumpai adalah:1,3

1. Kesulitan melihat objek jauh, seperti saat melihat ke layar televisi atau

papan tulis di sekolah; dan biasanya penyandang miopia akan mampu

melihat lebih jelas ketika objek didekatkan, atau ketika melihat objek-

objek dekat.

2. Kadang terlihat bakat untuk menjadi juling bila melihat jauh dan

mengecilkan kelopak mata untuk mendapatkan efek pinhole agar dapat

melihat jelas

3. Lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak sesuai dengan

akomodasi)

4. Pada segmen anterior mata ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil

yang relatif lebar, dan terkadang ditemukan bola mata yang agak

menonjol.

F. Diagnosis

Diagnosis miopia dapat ditegakkan melalui pemeriksaan refraksi, baik

subjektif maupun objektif, dimana tajam penglihatan membaik dengan pemberian

koreksi lensa negatif. Pemeriksaan refraksi subjektif adalah pemeriksaan refraksi


7

menggunakan optotip Snellen, dan dilakukan pada pasien yang kooperatif karena

membutuhkan jawaban/respons pasien. Untuk menentukan besar koreksi miopia

pada anak-anak atau pasien yang kurang kooperatif dapat dilakukan pemeriksaan

refraksi objektif yaitu streak retinoscopy. Panjang bola mata pada miopia tinggi

tipe aksial dapat dikonfirmasi dengan biometri yang bekerja berdasarkan prinsip

ultrasonografi.3

G. Tatalaksana

Tatalaksana miopia memiliki 2 bentuk, yaitu mencegah/mengurangi

progresifitas miopia dan terapi dengan minimal invasif. Mengurangi progresifitas

miopia dapat dilakukan dengan memberikan koreksi kacamata, lensa kontak, atau

orthokeratology, dan pemberian agen antimuskarinik. Mencegah onset miopia

dapat menggunakan atropine dengan konsentrasi rendah. Tatalaksana dengan

minimal invasif dapat dilakukan dengan Radial Keratotomi, LASIK,

Photorefractive Keratectomy, LASEK, Epi-LASEK, dan SMILE.4,5

1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata

Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting.

Meskipun banyak pasien miopia tinggi menggunakan lensa kontak, kacamata

masih dibutuhkan. Pembuatan kacamata untuk miopia tinggi membutuhkan

keahlian khusus. Bingkai kacamata haruslah cocok dengan ukuran mata.

Bingkainya juga harus memiliki ukuran lensa yang kecil untuk mengakomodasi

resep kacamata yang tinggi. Penggunaan indeks material lensa yang tinggi akan

mengurangi ketebalan lensa. Semakin tinggi indeks lensa, semakin tipis lensa

tersebut. Pelapis antisilau pada lensa akan meningkatkan pengiriman cahaya


8

melalui material lensa dengan indeks yang tinggi ini sehingga membuat resolusi

yang lebih tinggi.6

Penggunaan kacamata memiliki fungsi untuk mengurangi upaya

akomodasi mata untuk mengurangi progresifitas miopia. Penggunaan kacamata

dapat menurunkan progresifitas miopia 0,2 dioptri lebih kecil dibandingkan orang

dengan miopi tanpa penggunaan kacamata dalam rentang waktu 3 tahun.

Walaupun demikian, koreksi kaca mata kadang hanya diperlukan pada kegiatan

tertentu, seperti pada saat menonton film bioskop atau saat mengemudikan

kendaraan. Untuk miopia sedang dan berat, koreksi kaca mata mungkin

dibutuhkan sepanjang waktu.4

2. Koreksi Miopia Tinggi dengan Menggunakan Lensa Kontak

Cara yang disukai untuk mengoreksi kelainan miopia tinggi adalah lensa

kontak. Banyak jenis lensa kontak yang tersedia meliputi lensa kontak sekali

pakai yang sekarang telah tersedia lebih dari -16.00 Dioptri. Lensa kontak ada dua

macam, yaitu lensa kontak lunak (soft lens) serta lensa kontak keras (hard lens).

Pengelompokkan ini didasarkan pada bahan penyusunnya. Lensa kontak lunak

disusun oleh hydrogels, HEMA (Hydroxymethylmetacrylate) dan Vinyl

copolymer, sedangkan lensa kontak keras disusun dari PMMA

(Polymethylmetacrylate). Keuntungan lensa kontak lunak adalah nyaman, singkat

masa adaptasi pemakaiannya, mudah memakainya, dislokasi lensa yang minimal,

dapat dipakai untuk sementara waktu. Kerugian lensa kontak lunak adalah

memberikan ketajaman penglihatan yang tidak maksimal, risiko terjadinya

komplikasi, tidak mampu mengoreksi astigmatisme, kurang awet serta


9

perawatannya sulit.7

Terapi Orthokeratologi merupakan salah satu terapi untuk mengurangi

progresifitas miopi. Terapi orthokeratology menggunakan lensa kontak keras

untuk mengubah kelengkungan korena. Lensa Orthokeratologi memiliki

permukaan yang lebih mendatar sehingga menyebabkan kornea menjadi lebih

pipih dan mengurangi kekuatan refraksi dari mata. Lensa kontak ini digunakan

selama minimal 7 jam perhari dan penggunaannya dapat dilakukan saat malam

hari selama tidur. Lensa kontak ini mempunyai keuntungan yaitu memberikan

koreksi visus yang baik, bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama (awet), serta

mampu mengoreksi asitgmatisme kurang dari 2 Dioptri. Kerugiannya adalah

memerlukan fitting yang lama, serta memberikan rasa yang kurang nyaman. Efek

dari penggunaan lensa kontak ini juga bersifat sementara sehingga perlu

penggunaan setiap malam.8,9

Pemakaian lensa kontak harus sangat hati-hati karena memberikan

komplikasi pada kornea, tetapi komplikasi ini dikurangi dengan pemilihan bahan

yang mampu dilewati gas O2. Hal ini disebut Dk (gas Diffusion Coefficient),

semakin tinggi Dk-nya, semakin besar bisa mengalirkan oksigen, sehingga

semakin baik bahan tersebut. Penggunaan lensa kontak juga dapat meningkatkan

potensi keratitis yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan

keratitis adalah Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa. Oleh

karena itu, rutin mencuci lensa kontak menjadi suatu keharusan.8

3. Pemberian Agen Antimuskarinik

Atropin merupakan antagonis reseptor muskarinik nonspesifik yang


10

memberikan efek siklopegi dan midriasis. Atropin melumpuhkan otot siliar dan

otot iris sehinggan menyebabkan hilangnya kemampuan akomodasi mata, dilatasi

pupil, dan menurunkan progresifitas miopi. Selain itu, Atropin juga memiliki efek

menghambat proliferasi sel fibroblast sklera sehingga menghambat elongasi aksial

pada mata dengan miopia. Menurut Walline, pemberian atropin (0,01%, 0,1%,

dan 1,0%) tetes mata pada anak setiap malam efektif dalam menurunkan

progresifitas miopi dibandingkan dengan tidak diberikan terapi. Penurunan

progresifitas miopi mencapai rata-rata -0,23 D/tahun dibandingkan tanpa terapi

dengan progresifitas mencapai -0,86 D/tahun.4,6

Pemberian Atropin dapat memberikan efek samping berupa fotofobi dan

penglihatan jarak dekat kabur. Efek samping ini semakin kuat saat diberikan

atropine dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Saat pemberian atropine

dihentikan, progresifitas miopia lebih tinggi pada konsentrasi atropin yang lebih

tinggi. Atropin dapat diberikan mulai dari usia 6 tahun dengan progresifitas

miopia mencapai >-0,5 D/tahun. Pemberian atropin untuk menurunkan

progresifitas miopia paling baik dimulai dengan konsentrasi 0,01% satut tetes tiap

malam pada kedua mata dengan pertimbangan atropine dengan konsentrasi lebih

kecil akan memberikan efek samping yang lebih ringan. Pada orang dengan

progresifitas miopia >-1,00 D./tahun, dapat diberikan atropine dengan konsentrasi

0,1%. Atropin akan memberikan efek maksimal pada tahun ke-2 pemberuan

sehingga atropine diberikan selama setidaknya 2 tahun. Pemberian atropine 0,01%

dapat dihentikan apabila progresifitas miopia telah mencapai <-0,25 D. Tappering

off perlu dilakukan pada pemberian atropine 0,1% untuk menghindari rebound
11

effect berupa progresifitas miopia yang meningkat seperti saat sebelum terapi.11,12

4. Radial Keratotomi

Radial keratotomi adalah salah satu terapi bedah refraktif untuk

mengoreksi kelainan refraksi pada mata dengan miopia. Pada Radial Keratotomi,

kornea diinsisi secara radial untuk memisahkan fibril kolagen pada stroma pada

daerah tepi kornea dan menyisakan zona optic pada kornea sentral minimal 3 mm.

Prosedur ini akan meninggalkan bekas luka berupa celah pada tepi zona optik

kornea. Pada derah luka kemudian mengalami penonjolan karena proses

penyembuhan. Hasilnya adalah pada tepi kornea yang diinsisi akan menjadi lebih

tebal. Hal ini menyebabkan zona optic kornea bagian sentral memiliki ketinggian

yang hamper sama dengan tepinya, mengurangi kekuatan refraksi dari kornea dan

mengurangi miopia.13

Setelah dilakukan radial keratotomy, kemampuan refraksi mata akan stabil

3 bulan setelah operasi. Fluktuasi penglihatan dapat terjadi setelah operasi. Hal ini

disebabkan karena edema hipoksik pada daerah insisi saat kelopak mata tertutup

saat tidur. Hal ini menyebabkan terjadinya penebalan kembali pada tepi kornea

(daerah insisi) dan menyebabkan kornea menjadi lebih datar pada pagi hari.

Kornea yang lebih mendatar akan menimbulkan efek hiperopia. Walaupun

demikian, kekuatan refraksi akan kembali menjadi seperti saat sebelum terjadinya

edem hipoksik pada saat malam hari. Perubahan kekuatan refraksi dapat mencapai

-0,31 D. Visus dapat mencapai 20/40 hingga 20/20 pada pasien dengan miopia -

2,00 D hingga -8,75 D sepuluh tahun setelah operasi. Pada beberapa kasus,

hiperopik 1,00 D dapat terjadi setelah 6 bulan sampai 10 tahun postoperasi.13


12

Komplikasi dari radial keratotomy adalah penurunan visus 2 atau lebih

pada baris optotip Snellen. Hal ini terjadinya astigmatisme yang muncul karena

penutupan celah insisi berlebih dan insisi yang menyisakan zona optik kurang dari

3 mm. Pasien juga dapat mengeluhkan penglihatan halo, dan silau saat melihat

sumber cahaya, Efek ini muncul karena pupil yang terbuka melebihi zona optik

post operasi sehingga cahaya yang dibiaskan pada daerah insisi masuk dan

menimbulkan efek. Penggunaan pupil konstriktor seperti pilokarpin dapat

mengurangi gejala.13

Gambar 2.1 Radial Keratotomi

5. Koreksi Visus Menggunakan Laser

Laser merupakan singkatan dari Light Amplification by Stimulated

Emission of Radiation. Sinar laser memiliki panjang gelombang tunggal dan

cenderung tidak menyebar ke segala arah. Laser memiliki kemampuan fotoablasi

dengan merusak ikatan molekular. Polimer biologis akan terdegradasi menjadi

molekul yang lebih kecil. Dalam terapi miopia, laser dimanfaatkan untuk

mengablasi kornea sehingga didapatkan kornea yang lebi datar dan koreksi miopia

didapatkan.5
13

a) LASIK

LASIK merupakan kepanjangan dari Laser In Situ Keratomileusis.

Keratomileusis berasal dari Bahasa Yunani yang berarti kornea (kerato) dan

memahat (mileusis). LASIK merupakan prosedur keratorefraktif dengan

membuka flap hingga stroma kornea anterior dan memanfaatkan laser untuk

dilakukan fotoablasi stroma kornea. LASIK sering dilakukan karena lebih aman,

proses penyembuhan dan perbaikan penglihatan yang tepat.13,14

Kurvatura dari kornea harus dievaluasi dan dapat dilakukan dengan

menggunakan korneal topografik terkomputerisasi. Prosedur ini akan menilai

kekuatan refraksi kornea dan ketebalannya, dan ketebalan flap yang dapat

dibentuk. Ketebalan kornea sering diketeahui sebelum melakukan bedah refraktif.

Ketebalan kornea optimal untuk dilakukan bedah refraktif adalah 550 µm.

Apabila ketebalan kornea kurang dari 480 µm maka tidak direkomendasikan

untuk dilakukan LASIK. Hal ini berkaitan dengan sisa stroma kornea setelah

dilakukan ablasi minimal 250 µm. Ketebalan flap dapat beriksar 140 µm dan

kedalaman ablasi pada kornea berkisar 50 µm. Oleh karena itu, ketebalan kornea

minimal 480 µm untuk menyisakan stroma kornea minimal 250 µm.13,14

Setelah flap dibentuk, flap diangkat dan dilakukan fotoablasi. Akumulasi

cairan dan darah pada stroma harus dihindari untuk mencegah terjadinya ablasi

ireguler. Setelah dilakukan ablasi, flap kembali diturunkan dan ditaruh diatas

stroma kornea. Apabila flap tidak dapat bertahan pada posisinya, perban lensa

kontak dapat digunakan. Tetes mata antibiotic dan kortikosteroid dapat digunakan

setelah operasi selama 3-8 hari. Kacamata pelindung digunakan pada pasien untuk
14

menghindari trauma pada mata dan menyebabkan flap terlepas dari posisinya.13

Gambar 2.2 Prosedur LASIK

b) Ablasi Kornea Superfisial

Laser digunakan untuk mengablasi permukaan kornea secara presisi tanpa

memberikan kerusakan signifikan pada jaringan sekitarnya. Ablasi kornea

superfisial dilakukan pada pasien dengan ketebalan kornea rata-rata dibawah 480

µm sehingga pasien akan menyisakan stroma kornea <250 µm. Ablasi permukaan

kornea terdiri dari beberapa teknik operasi yaitu Photorefractive Keratotomy

(PRK), Laser Epithelial Keratomileusis (LASEK), dan Epi-LASIK.5

c) Photorefractive Keratectomy (PRK)

PRK menggunakan laser untuk mengatasi miopia dengan cara mengablasi

permukaan kornea sentral sehingga menyebabkan kornea menjadi lebih datar.

Berbeda dengan LASIK, LASEK, dan Epi-LASIK, PRK tidak membentuk flap

kornea dalam prosesnya. PRK mengablasi permukaan kornea superfisial. PRK

akan memberikan efek tidak nyaman dalam beberapa hari hingga epitel
15

mengalami penyembuhan dan biasanya terjadi corneal haze (warna keputihan

pada subepitel kornea) yang bertahan selama beberapa bulan.14

Gambar 2.3 Prosedur PRK

d) LASEK dan Epi-LASIK

LASEK merupakan kepanjangan dari Laser Asissted Subepithelial

Keratectomy. Pada prosedur LASEK, laser melakukan fotoablasi pada epitel

kornea dengan membentuk flap epitel terlebih dahulu. Dengan adanya flap ini,

pengikisan epitel kornea menjadi lebih terkontrol dengan kedalaman tertentu dan

diameter tertentu. Alkohol digunakan untuk melonggarkan epitel dan mengangkat

flap epitel. Pada Epi-LASIK, teknik yang digunakan menyerupai LASEK.

Perbedaannya terdapat dalam proses pembentukan flap epitel dimana alkohol

tidak dapat digunakan melainkan menggunakan mikrokeratom mekanis.

Dibandingkan tanpa menggunakan alkohol, melepas epitel dari membrane

Bowman akan meninggalkan scar pada membran Bowman.5,13

Komplikasi yang sering terjadi pada ablasi kornea superfisial adalah

terjadinya corneal haze. Untuk mengatasi komplikasi tersebut, tampon yang telah
16

direndam dalam mitomycin C (0,02% atau 0,2 mg/mL) dapat ditaruh pada daerah

yang diablasi selama 12 detik hingga 2 menit setelah paparan laser. Setelah

prosedur dilakukan, pasien harus diobservasi hingga penyembuhan epitel selesai

(4-7 hari). Pemberian antibiotik topical dan kortikosteroid perlu diberikan. Setelah

operasi, pasien dengan miopia -6,00 D atau kurang 56-86% pasien akan

mendapatkan visus tanpa koreksi hingga 20/20, 88-100% mendapatkan visus

tanpa koreksi hingga 20/40.13


17

Gambar 2.4 Prosedur LASEK


18

Gambar 2.5 Prosedur Epi-LASIK

6. Small Incision Lenticule Extraction


19

SMILE (Small Incision Lenticule Extraction) adalah salah satu altenatif terbaru

yang bisa menjadi pilihan untuk pembedahan mata yang mengalami kelainan refraksi.

SMILE adalah suatu prosedur operasi yang menggunakan laser femtosecond yang mana

laser femtosecod ini akan menembus permukaan kornea tampa membuat sayatan (flap

free) dan fokus pada bagian kornea yang diseut lenticule. Keuntungan menggunakan

smile dibanding lasik adalah hasilnya yang dapat meminimalisasi mata kering dan juga

lebih aman digunakan pada kornea yang tipis dan sensitif. 13

Gambar 2.6 Prosedur SMILE


BAB III
PENUTUP

Miopi adalah keadaan refraksi mata dimana dalam keadaan mata istirahat

(tanpa akomodasi), seberkas cahaya sejajar yang berasal dari objek yang terletak

jauh tak terhingga akan difokuskan pada satut titik fokus di depan retina.

Tatalaksana miopia memiliki 2 bentuk, yaitu mencegah onset miopia dan

mencegah/mengurangi progresifitas miopia. Mengurangi progresifitas miopia

dapat dilakukan dengan memberikan koreksi kacamata, lensa kontak atau

orthokeratologi, dan pemberian agen antimuskarinik. Mencegah onset miopia

dapat menggunakan atropine dengan konsentrasi rendah.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI, 2018.

2. Sofiani A, Santik YDP. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Derajat


Miopia pada Remaja. Unnes Journal of Public Health. 2016;5:176-85.

3. Sitorus RS. Katarak Pediatrik dalam Buku Ajar Oftamologi. Jakarta: BP


FKUI.2017.

4. Walline JJ. Myopia Control: A Review. Eye & Contact Lens. 2016; 42:3-
8.

5. Riordan P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury General Ophtalmology


Edisi 19. McGraw Hill Education. 2018.

6. Septiansyah R. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelelahan Mata


pada Pekerja. UIN Syarif Hidayatullah. 2016.

7. Muntz A, Subbaraman LN, Sorbara L, Jones L. Tear Exchange and


Contact Lenses: A Review. Journal of Optometry. 2015;8:2-11.

8. Majumdar A. Modern Orthokeratology-A Review. IOSR Journal of Dental


and Medical Sciences. 2018;17:18-24.

9. Nichols JJ, Marsich MM, Nguyen M, Barr JT, Bullimore MA. Overnight
Orthokeratology. Optometry and Vision Science. 2015;77:252-9.

10. Clark TY, Clark RA. Atropine 0,01% Eyedrops Significantly Reduce The
Progresion of Childhood Myopia. Journal of Ocular Pharmacology and
Therapeutics. 2015:1-5.

11. Chin A, Lu QS, Tan D. Five Year Clinical Trial on Atropine for the
Treatment of Myopia. American Academy of Opthamology. 2015:1-9

12. Shih KC, Yan TC, Ng ALK, Lai JSM, Li WW, Cheng AC, et al. Use of
Atropine for Prevention of Childhood Myopia Progression in Clinical
Practice. Eye & Contact Lens. 2016;42:16-23.

13. Hamill MB, Ambrosio R, Berdy GJ, et al. Refractive Surgery. American
Academy of Ophtalmology. 2018.

20
21

14. Kuryan J, Cheema A, Chuck RS. Laser Assisted Subepithelial


Keratectomy (LASEK) Versus Laser Assisted In Situ Keratomileusis
(LASIK) for Correcting Myopia. Cochrane Library. 2018;2:1-41.

Anda mungkin juga menyukai