Anda di halaman 1dari 18

Referat

Penanganan Miopia dengan Minimal Invasif

Oleh

Ryan Anggita Nugroho

NIM 1730912310123

Pembimbing

dr. Agus F Razak, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA

FK UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

April, 2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada

retina (makula lutea atau bintik kuning). Pada kelainan refraksi terjadi ketidak

seimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur.

Pada mata normal kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat

pada sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai

dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan tepat

pada bintik kuning, akan tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan

malahan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam

bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan presbiopi.1

Miopia disebut sebagai rabun jauh akibat berkurangnya kemampuan untuk

melihat jauh akan tetapi dapat melihat dekat dengan lebih baik. Miopia bersifat

progresif pada masa anak anak dan cenderung stabil ketika mereka mencapai usia

20 tahun atau akhir remaja. Data WHO memperkirakan bahwa 246 juta orang di

seluruh dunia memiliki gangguan penglihatan yang meliputi ametropia (miopia,

hipermetropia dan astigmatisme) sebesar 43%. Berbagai faktor dapat

mempengaruhi progresivitas miopia. Faktor genetik dan kebiasaan atau perilaku

membaca dekat disertai penerangan yang kurang menjadi faktor utama terjadinya

miopia. Faktor gaya hidup mendukung tingginya akses anak terhadap media visual

yang ada.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi miopi

Miopi adalah keadaan refraksi mata di mana dalam keadaan mata istirahat

(tanpa akomodasi), seberkas cahaya sejajar yang berasal dari objek yang terletak

jauh tak terhingga akan difokuskan pada satu titik fokus di depan retina.3

B. Klasifikasi

Pada keadaan miopi, bayangan benda jatuh pada titik fokus di depan retina.

Hal ini dapat disebabkan oleh bentuk bola mata mengalami pemanjangan maupun

kekuatan refraksi yang terlalu besar. Miopia memiliki beberapa bentuk seperti:3

1. Miopia aksial.

Keadaan refraksi miopia dapat disebabkan karena panjang bola mata

anteroposterior lebih dari rata rata dengan kelengkungan kornea dan lensa yang

normal (disebut dengan miopia aksial)

2. Miopia refraktif.

Miopi ini disebabkan karena kekuatan refraksi mata yang terlalu besar. Hal ini

dapat terjadi pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung

sehingga pembiasan lebih kuat (disebut dengan miopia refraktif).

Berdasarkan besar koreksi yang diperlukan, miopia dapat diklasifikasikan

menjadi:1

1. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1 s/d 3 dioptri

2. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3 s/d 6 dioptri

2
3. Miopi berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri

Tingginya dioptri pada miopia ini berhubungan dengan panjangnya aksial

miopia, suatu kondisi dimana belakang mata lebih panjang daripada normal,

sehingga membuat mata memiliki pandangan yang sangat dekat.

Berdasarkan perjalanan, miopia dikenal dalam bentuk:1

1. Miopia stasioner, miopia menetap setelah dewasa

2. Miopia progresif, miopia bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah

panjangnya bola mata

3. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif yang dapat menyebabkan

ablasio retina dan kebutaan

C. Epidemiologi

Miopia bersifat progresif pada masa anak-anak dan cenderung stabil ketika

mencapai usia 20 tahun atau akhir remaja. Di Amerika, diperkirakan terdapat 3%

kasus miopia pada anak anak usia 5-7 tahun, 8% pada anak anak usia 8-10 tahun,

14% pada anak anak usia 11-12 tahun, dan 25% pada kelompok usia 12-17 tahun.

Di Taiwan, prevalensi miopia adalah 12% pada anak usia 6 tahun, dan 84% pada

kelompok penduduk usia 16-18 tahun. Angka prevalensi yang hampir sama

dijumpai di Singapura dan Jepang. Prevalensi miopia di Indonesia pada anak

berdasarkan pada kelompok usia dewasa dilaporkan sebesar 18,7 pada anak usia

sekolah dasar, dan 32,3% pada anak usia 6-15 tahun.3

3
D. Etiologi

Miopia disebabkan karena terlalu kuatnya pembiasan sinar di dalam mata

terhadap panjangnya bola mata akibat:1

1. Bola mata terlalu panjang

2. Secara fisiologik sinar yang difokuskan pada retina terlalu kuat sehingga

membentuk bayangan kabur atau tidak tegas pada makula lutea

3. Titik fokus sinar yang datang dari benda yang jauh terletak di depan retina

4. Titik jauh (punctum remotum) terletak lebih dekat atau sinar datang tidak

sejajar

E. Manifestasi klinis

Keluhan yang umum dijumpai adalah:1, 3

1. Kesulitan melihat objek jauh, seperti saat melihat ke layar televisi atau papan

tulis di sekolah; dan biasanya penyandang miopia akan mampu melihat lebih

jelas ketika objek didekatkan, atau ketika melihat objek objek dekat.

2. Kadang terlihat bakat untuk menjadi juling bila melihat jauh dan mengecilkan

kelopak mata untuk mendapatkan efek pinhole agar dapat melihat jelas.

3. Lelah bila membaca (karena konvergensi yang tidak sesuai dengan akomodasi)

4. Pada segmen anterior mata ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang

relatif lebar. Kadang ditemukan bola mata yang agak menonjol.

F. Diagnosis

Diagnosis miopia dapat ditegakkan melalui pemeriksaan refraksi, baik

subjektif maupun objektif, di mana tajam penglihatan membaik dengan pemberian

4
koreksi lensa negatif. Pemeriksaan refraksi subjektif adalah pemeriksaan refraksi

menggunakan optotip Snellen, dan dilakukan pada pasien pasien yang kooperatif

karena membutuhkan jawaban/ respons pasien. Untuk menentukan besar koreksi

miopia pada anak anak atau pasien yang kurang kooperatif dapat dilakukan

pemeriksaan refraksi objektif yaitu streak retinoscopy. Panjang bola mata pada

miopia tinggi tipe aksial dapat dikonfirmasi dengan biometri yang bekerja

berdasarkan prinsip ultrasonografi.3

G. Tata laksana

Tatalaksana miopia memiliki 2 bentuk yaitu mencegah/mengurangi

progresifitas miopia dan terapi dengan minimal invasif. Mengurangi progresfitas

miopia dapat dilakukan dengan memberikan koreksi kacamata, lensa kontak atau

orthokeratologi, dan pemberian agen antimuskarinik. Mencegah onset miopia dapat

menggunakan atropin dengan konsentrasi rendah. Tatalaksana dengan minimal

invasif dapat dilakukan dengan Radial Keratotomi, LASIK, Photorefractive

Keratectomy, LASEK, Epi-LASIK. 4,5

1. Koreksi Miopia Tinggi dengan Penggunaan Kacamata

Penggunaan kacamata untuk pasien miopia tinggi masih sangat penting.

Meskipun banyak pasien miopia tinggi menggunakan lensa kontak, kacamata masih

dibutuhkan. Pembuatan kacamata untuk miopia tinggi membutuhkan keahlian

khusus. Bingkai kacamata haruslah cocok dengan ukuran mata. Bingkainya juga

harus memiliki ukuran lensa yang kecil untuk mengakomodasi resep kacamata yang

tinggi. pengguanaan indeks material lensa yang tinggi akan mengurangi ketebalan

lensa. Semakin tinggi indeks lensa, semakin tipis lensa. Pelapis antisilau pada lensa

5
akan meningkatkan pengiriman cahaya melalui material lensa dengan indeks yang

tinggi ini sehingga membuat resolusi yang lebih tinggi.6

Penggunaan kacamata memiliki fungsi untuk mengurangi upaya akomodasi

mata untuk mengurangi progresifitas miopia. Penggunaan kacamata dapat

menurunkan progresifitas miopia 0.2 dioptri lebih kecil dibandingkan orang dengan

miopi tanpa penggunaan kacamata dalam rentang waktu 3 tahun. Walaupun

demikian, koreksi kaca mata kadang hanya diperlukan pada kegiatan tertentu,

seperti pada saat menonton film bioskop atau saat mengemudikan kendaraan. Untuk

miopia sedang dan berat, koreksi kaca mata mungkin dibutuhkan sepanjang waktu.4

2. Koreksi Miopia Tinggi dengan Menggunakan Lensa Kontak

Cara yang disukai untuk mengoreksi kelainan miopia tinggi adalah lensa

kontak. Banyak jenis lensa kontak yang tersedia meliputi lensa kontak sekali pakai

yang sekarang telah tersedia lebih dari -16.00 dioptri. Lensa kontak ada dua macam

yaitu lensa kontak lunak (soft lens) serta lensa kontak keras (hard lens).

Pengelompokan ini didasarkan pada bahan penyusunnya. Lensa kontak lunak

disusun oleh hydrogels, HEMA (hydroksimethylmetacrylate) dan vinyl copolymer

sedangkan lensa kontak keras disusun dari PMMA (polymethylmetacrylate).

Keuntungan lensa kontak lunak adalah nyaman, singkat masa adaptasi

pemakaiannya, mudah memakainya, dislokasi lensa yang minimal, dapat dipakai

untuk sementara waktu. Kerugian lensa kontak lunak adalah memberikan

ketajaman penglihatan yang tidak maksimal, risiko terjadinya komplikasi, tidak

mampu mengoreksi astigmatisme, kurang awet serta perawatannya sulit.7

6
Terapi Orthokeratologi merupakan salah satu terapi untuk mengurangi

progresifitas miopi. Terapi orthokeratologi menggunakan lensa kontak keras untuk

mengubah kelengkungan kornea. Lensa Orthokeratologi memiliki permukaan yang

lebih mendatar sehingga menyebabkan kornea menjadi lebih pipih dan mengurangi

kekuatan refraksi dari mata. Lensa kontak ini digunakan selama minimal 7 jam

perhari dan penggunaannya dapat dilakukan saat malam hari selama tidur. Lensa

kontak ini mempunyai keuntungan yaitu memberikan koreksi visus yang baik, bisa

dipakai dalam jangka waktu yang lama (awet), serta mampu mengoreksi

astigmatisme kurang dari 2 dioptri. Kerugiannya adalah memerlukan fitting yang

lama, serta memberikan rasa yang kurang nyaman. Efek dari penggunaan lensa

kontak ini juga bersifat sementara sehingga perlu penggunaan setiap malam.8,9

Pemakaian lensa kontak harus sangat hati-hati karena memberikan

komplikasi pada kornea, tetapi komplikasi ini dikurangi dengan pemilihan bahan

yang mampu dilewati gas O2. Hal ini disebut Dk (gas Diffusion Coefficient),

semakin tinggi Dk-nya semakin besar bisa mengalirkan oksigen, sehingga semakin

baik bahan tersebut. Penggunaan lensa kontak juga dapat meningkatkan potensi

keratitis yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan keratitis

antara lain Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa. Oleh karena itu,

rutin mencuci lensa kontak menjadi suatu keharusan.8

3. Pemberian Agen Antimuskarinik

Atropin merupakan antagonis reseptor muskarinik nonspesifik yang

memberikan efek sikloplegi dan midriasis. Atropin melumpuhkan otot siliar dan

otot iris sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan akomodasi mata, dilatasi

7
pupil, dan menurunkn progresifitas miopi. Selain itu atropin juga memiliki efek

menghambat proliferasi sel fibroblas sklera sehingga menghambat elongasi aksial

pada mata dengan miopia. Menurut Walline, pemberian atropin (0,01%, 0,1%, dan

1,0%) tetes mata pada anak setiap malam efektif dalam menurunkan progresifitas

miopi dibandingkan dengan tidak diberikan terapi. Penurunan progresifitas miopi

mencapai rata rata -0,23 D/tahun dibandingkan tanpa terapi dengan progresifitas

mencapai -0,86 D/tahun.4,10

Pemberian atropin dapat memberikan efek samping berupa fotofobi dan

penglihatan jarak dekat kabur. Efek samping ini semakin kuat saat diberikan atropin

dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Saat pemberian atropin dihentikan,

progresifitas miopia lebih tinggi pada konsentrasi atropin yang lebih tinggi. Atropin

dapat diberikan mulai dari usia 6 tahun dengan progresifitas miopia mencapa >-0,5

D/tahun. Pemberian atropin untuk menurunkan progresifitas miopia paling baik

dimulai dengan konsentrasi 0,01% satu tetes tiap malam pada kedua mata dengan

pertimbangan atropin dengan konsentrasi lebih kecil akan memberikan efek

samping yang lebih ringan. Pada orang dengan progresifitas miopia >-1,00 D/tahun

dapat diberikan atropin dengan konsentrasi 0,1%. Atropin akan memberikan efek

maksimal pada tahun ke 2 pemberian sehingga atropin diberikan selama setidaknya

2 tahun. Pemberian atropin 0,01% dapat dihentikan apabila progresifitas miopia

telah mencapai <-0,25 D. Tappering off perlu dilakukan pada pemberian atropin

0,1% untuk menghindari rebound effect berupa progresifitas miopia yang

meningkat seperti saat sebelum terapi.11,12

8
4. Radial Keratotomi

Radial keratotomi adalah salah satu terapi bedah refraktif untuk mengoreksi

kelainan rekfraksi pada mata dengan miopia. Pada radial keratotomi kornea diinsisi

secara radial untuk memisahkan fibril kolagen pada stroma pada daerah tepi kornea

dan menyisakan zona optik pada kornea sentral minimal 3 mm. Prosedur ini akan

meninggalkan bekas luka berupa celah pada tepi zona optik kornea. Pada daerah

luka kemudian mengalami penonjolan karena proses penyembuhan. Hasilnya

adalah pada tepi kornea yang diinsisi akan menjadi lebih tebal. Hal ini

menyebabkan zona optik kornea bagian sentral memiliki ketinggian yang hampir

sama dengan tepinya, mengurangi kekuatan refraksi dari kornea dan mengurangi

miopia.13

Setelah dilakukan radial keratotomi, kemampuan refraksi mata akan stabil 3

bulan setelah operasi. Fluktuasi penglihatan dapat terjadi setelah operasi. Hal ini

disebabkan karena edema hipoksik pada daerah insisi saat kelopak mata tertutup

saat tidur. Hal ini menyebabkan terjadinya penebalan kembali pada tepi kornea

(daerah insisi) dan menyebabkan kornea menjadi lebih datar pada pagi hari. Kornea

yang lebih mendatar akan menimbulkan efek hiperopia. Walaupun demikian,

kekuatan refraksi akan kembali menjadi seperti saat sebelum terjadinya edem

hipoksik saat malam hari. Perubahan kekuatan refraksi dapat mencapai -0,31 D.

Visus dapat mencapai 20/40 hingga 20/20 pada pasien dengan miopia -2,00 D

hingga -8,75 D sepuluh tahun setelah operasi. Pada beberapa kasus, hiperopik 1,00

D dapat terjadi setelah 6 bulan sampai 10 tahun postoperasi.13

9
Komplikasi dari radial keratotomi adalah penurunan visus 2 atau lebih baris

pada optotip Snellen. Hal ini karena terjadinya astigmatisme yang muncul karena

penutupan celah insisi berlebih dan insisi yang menyisakan zona optik kurang dari

3 mm. Pasien juga dapat mengeluhkan melihat halo, dan silau saat melihat sumber

cahaya. Efek ini muncul karena pupil yang terbuka melebihi zona optik post operasi

sehingga cahaya yang dibiaskan pada daerah insisi masuk dan menimbulkan efek.

Penggunaan pupil konstriktor seperti pilokarpin dapat mengurangi gejala.13

Gambar 2.1 Radial Keratotomi

5. Koreksi Visus Menggunakan Laser

Laser merupakan singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission

of Radiation. Sinar laser memiliki panjang gelombang tunggal dan cenderung tidak

menyebar ke segala arah. Laser memiliki kemampuan fotoablasi dengan merusak

ikatan molekular. Polimer biologis akan terdegradasi menjadi molekul yang lebih

kecil. Dalam terapi miopia, laser dimanfaatkan untuk mengablasi kornea sehingga

didapatkan kornea yang lebih datar dan koreksi miopia didapatkan.5

10
a. LASIK

LASIK merupakan kepanjangan dari Laser In Situ Keratomileusis.

Keratomileusis berasal dari bahasa Yunani yang berarti kornea (kerato) dan

memahat (mileusis). LASIK merupakan prosedur keratorefraktif dengan membuka

flap hingga stroma kornea anterior dan memanfaatkan laser untuk dilakukan

fotoablasi stroma kornea. LASIK sering dilakukan karena lebih aman, proses

penyembuhan dan perbaikan penglihatan yang cepat.13, 14

Kurvatura dari kornea harus dievaluasi dan dapat dilakukan dengan

menggunakan korneal topografik terkomputerisasi. Prosedur ini akan menilai

kekuatan refraksi kornea dan ketebalannya, dan ketebalan flap yang dapat dibentuk.

Ketebalan kornea penting diketahui sebelum melakukan bedah refraktif. Ketebalan

kornea optimal untuk dilakukan bedah refraktif adalah 550um. Apabila ketebalan

kornea kurang dari 480um maka tidak direkomendasikan untuk dilakukan LASIK.

Hal ini berkaitan dengan sisa stroma kornea setelah dilakukan ablasi minimal

250um. Ketebalan flap dapat berkisar 140um dan kedalaman ablasi pada kornea

berkisar 50um. Oleh karena itu, ketebalan kornea minimal 480um untuk

menyisakan stroma kornea minimal 250um.13,14

Setelah flap dibentuk, flap diangkat dan dilakukan fotoablasi. Akumulasi

cairan dan darah pada stroma harus dihindari untuk mencegah terjadinya ablasi

ireguler. Setelah dilakukan ablasi, flap kembali diturunkan dan ditaruh diatas

stroma kornea. Apabila flap tidak dapat bertahan pada posisinya, perban lensa

kontak dapat digunakan. Tetes mata antibiotik dan kortikosteroid dapat digunakan

11
setelah operasi selama 3-7 hari. Kacamata pelindung digunakan pada pasien untuk

menghindari trauma pada mata dan menyebabkan flap terlepas dari posisinya.13

Gambar 2.2 Prosedur LASIK

b. Ablasi Kornea Superfisial

Laser digunakan untuk mengablasi permukaan kornea secara presisi tanpa

memberikan kerusakan signifikan pada jaringan sekitarnya. Ablasi kornea

superfisial dilakukan pada pasien dengan ketebalan kornea rata rata dibawah 480um

sehingga pasien akan menyisakan stroma kornea <250um. Ablasi permukaan

kornea terdiri dari beberapa teknik operasi yaitu Photorefractive Keratotomy

(PRK), Laser Epithelial Keratomileusis (LASEK), dan Epi-LASIK.5

c. Photorefractive Keratectomy (PRK)

PRK menggunakan laser untuk mengatasi miopia dengan cara mengablasi

permukaan kornea sentral sehingga menyebabkan kornea menjadi lebih datar.

Berbeda dengan LASIK, LASEK, dan Epi-LASIK, PRK tidak membentuk flap

kornea dalam prosesnya. PRK mengablasi permukaan kornea superfisial. PRK akan

12
memberikan efek tidak nyaman dalam beberapa hari hingga epitel mengalami

penyembuhan dan biasanya terjadi corneal haze (warna keputihan pada subepitel

kornea) yang bertahan selama beberapa bulan.14

d. LASEK dan Epi-LASIK

LASEK merupakan keanjangan dari Laser Assisted Subeptihelial

Keratectomy. Pada prosedur LASEK, laser melakukan fotoablasi pada epitel kornea

dengan membentuk flap epitel terlebih dahulu. Dengan adanya flap ini, pengikisan

epitel kornea menjadi lebih terkontrol dengan kedalaman tertentu dan diameter

tertentu. Alkohol digunakan untuk melonggarkan epitel dan mengangkat flap epitel.

Pada Epi-LASIK, teknik yang digunakan menyerupai LASEK. Perbedaannya

terdapat dalam proses pembentukan flap epitel dimana alkohol tidak digunakan

melainkan menggunakan mikrokeratom mekanis. Dibandingkan tanpa

menggunakan alkohol, melepas epitel dari membran Bowman akan meninggalkan

scar pada membran Bowman.5,13

Komplikasi yang sering terjadi pada ablasi kornea superfisial adalah

terjadinya corneal haze. Untuk mengatasi komplikasi tersebut, tampon yang telah

direndam dalam mitomycin C (0,02% atau 0,2 mg/mL) dapat ditaruh pada daerah

yang diablasi selama 12 detik hingga 2 menit setelah paparan laser. Setelah

prosedur dilakukan, pasien harus diobservasi hingga penyembuhan epitel selesai

(4-7 hari). Pemberian antibiotik topikal dan kortikosteroid perlu diberikan. Setelah

operasi, pasien dengan miopia -6,00 D atau kurang 56%-86% pasien akan

mendapatkan visus tanpa koreksi hingga 20/20, 88%-100% mendapatkan visus

tanpa koreksi hingga 20/40.13

13
BAB III

PENUTUP

Miopi adalah keadaan refraksi mata di mana dalam keadaan mata istirahat

(tanpa akomodasi), seberkas cahaya sejajar yang berasal dari objek yang terletak

jauh tak terhingga akan difokuskan pada satu titik fokus di depan retina.

Tatalaksana miopia memiliki 2 bentuk yaitu mencegah onset miopia dan

mencegah/mengurangi progresifitas miopia. Mengurangi progresfitas miopia dapat

dilakukan dengan memberikan koreksi kacamata, lensa kontak atau

orthokeratologi, dan pemberian agen antimuskarinik. Mencegah onset miopia dapat

menggunakan atropin dengan konsentrasi rendah.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidarta, Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2018.

2. Sofiani A, Santik YDP. Fakotr-faktor yang mempengaruhi derajat miopia pada


remaja. Unnes Journal of Public Health. 2016; 5: 176-85.

3. Sitorus RS. Katarak Pediatrik dalam Buku Ajar Oftalmologi. Jakarta: BP


FKUI. 2017.

4. Walline JJ. Myopia control: a review. Eye & Contact Lens. 2016; 42: 3-8.

5. Riordan P, Augsburger JJ . Vaughan & Asbury General Ophtalmology Edisi


19. McGraw Hill Education. 2018

6. Septiansyah R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan mata pada


pekerja. UIN Syarif Hidayatullah. 2016.

7. Muntz A, Subbaraman LN, Sorbara L, Jones L. tear exchange and contact


lenses: a review. Journal of Optometry. 2015; 8: 2-11.

8. Majumdar A. Modern orthokeratology – a review. IOSR Journal of Dental and


Medical Sciences. 2018; 17: 18-24.

9. Nichols JJ, Marsich MM, Nguyen M, Barr JT, Bullimore MA. Overnight
orthokeratology. Optometry and Vision Science. 2015; 77: 252-9.

10. Clark TY, Clark RA. Atropine 0,01% eyedrops significantly reduce the
progresion of childhood myopia. Journal of Ocular Pharmacology and
Therapeutics. 2015; 00: 1-5.

11. Chia A, Lu QS, Tan D. Five yar clinical trial on atropine for the treatment of
myopia 2. American Academy of Ophtalmology. 2015; 1-9.

12. Shih KC, Yan TC, Ng ALK, Lai JSM, Li WW, Cheng AC, et al. use of atropine
for prevention of childhood myopia progression in clinical practice. Eye &
Contact Lens. 2016; 42: 16-23.

13. Hamill MB, Ambrosio R, Berdy GJ, et al. Refractive Surgery. American
Academy of Ophtalmology. 2018.

15
14. Kuryan J, Cheema A, Chuck RS. Laser assisted subepithelial keratectomy
(LASEK) versus laser assisted in situ keratomileusis (LASIK) for correcting
myopia. Cochrane Library. 2018; 2: 1-41.

16

Anda mungkin juga menyukai