HIPERMETROPI
Oleh :
Satrina Yunita Putri
1610070100139
Pembimbingr :
dr. Romi Yusardi, Sp. M
SMF MATA
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini dengan judul
“Hipermetropi” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik dari Bagian mata.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Romi
Yusardi, Sp. M selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kasus ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan
laporan kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................2
Daftar Isi.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................4
1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................................4
3
BAB I
PENDAHULUAN
Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang sangat
besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi tersebut. Ada
tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia, astigmatisme, atau campuran kelainan-
kelainan tersebut. Diantara kelainan refraksi tersebut, miopia adalah yang paling sering
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh
pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10
Dari hasil survai kesehatan anak di daerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil
Depkes DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan lbtiddaiah di
seluruh wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi rata-rata sebesar 11,8%.
Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8 juta
orang anak yang menderita kelainan refraksi. Hipermetropia diyakini menyerag jutaan orang
Amerika dan ratusan juta orang di seluruh dunia (Manolette R Roque, 2008). Sementara
bangsa Hispanik menunjukkan prevalensi hipermetropia yang lebih tinggi daripada anak-
hipermetropia mencapai titik terrendah di sekitar usia 24 bulan namun naik dan tetap lebih
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir transparan
sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa terdiri dari kapsul, epitel
lensa, nukleus dan korteks. Di belakang iris, lensa ditahan di tempatnya oleh zonula zinni
dengan korpus siliaris. Zonula zinni berasal dari lamina basal epitel tidak berpigmen prosesus
siliaris. Zonula zinni melekat pada bagian ekuator kapsul lensa, 1,5 mm pada bagian anterior
dan 1,25 pada bagian posterior. Di sebelah anterior lensa terdapat humor akuos sedangkan di
sebelah posteriornya, vitreus. Lensa dan vitreus dipisahkan oleh membrana hyaloidea.
Permukaan lensa pada bagian posterior lebih cembung dari pada permukaan anterior.
Pada saat baru lahir jarak ekuator lensa sekitar 6,4 mm dan jarak anterioposterior 3,5 mm dan
beratnya sekitar 90 mg. Pada lensa dewasa jarak ekuator sekitar 9 mm dan jarak
5
2.2 Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi merupakan suatu keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk
pada retina (makula retina atau bintik kuning) melainkan di bagian depan atau belakang
bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Pada kelainan refraksi terjadi
yang kabur. Pada penglihatan normal , kornea dan lensa mata membelokkan sinar pada titik
fokus yang tepat pada sentral retina. Bola mata manusia mempunyai panjang kira-kira 2 cm,
dan untuk memfokuskan sinar ke bintik kuning diperlukan kekuatan 50 Dioptri. Kornea
mempunyai kekuatan 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 10 dioptri. Apabila kekuatan
untuk membiaskan tidak sama dengan 50 Dioptri maka sinar akan difokuskan di depan retina
seperti pada rabun jauh / miopia dan dikoreksi dengan kacamata (-) atau di belakang retina
seperti pada rabun dekat / hipermetropia, yang membutuhkan kacamata (+). Apabila
pembiasan tidak difokuskan pada satu titik seperti pada astigmatisma maka diberikan
kacamata silinder untuk mengoreksinya. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,
Hipermetropia atau far-sightendess adalah kelainan refraksi apabila berkas sinar yang
berjalan sejajar masuk ke dalam mata dalam keadaan istirahat tanpa adanya akomodasi,
dibiaskan membentuk bayangan di belakang retina. Kekuatan optik mata terlalu rendah
biasanya karena bola mata yang pedek sehingga menyebabkan sinar cahaya pararel
dikonvergensikan pada titik di belakang retina. Hipermetropia sering terjadi pada usia dewasa
6
Gambar 2.2 Hipermetropia
Hipermetropia dapat berbentuk aksial, kurvatura, indeks, posisional, atau karna tidak
adanya lensa.
Pada kondisi ini kekuatan refraksi mata normal, namun terdapat pemendekan axis dari
2. Curvatural hipermetropia merupakan kondisi dimana kornea dan lensa lebih data dari
pada normal, sehingga terjadi penurunan refraksi. Sekitar 1mm peningkatan radius
3. Index hipermetropia terjadi disebabkan menurunnya indeks refraksi dari lensa pada
usia tua.
4. Positional hypermetropia akibat dari lensa yang diletakkan pada bagian posterior.
5. Absence of crystalline lens bisa terjadi karena kongenital atau dengan dilakukannya
yang tinggi).2
7
2.2.3 Klasifikasi Hipermetropia
1. Hipermetropia simpel, merupakan bentuk yang paling sering. Hal ini disebabkan oleh
1. Hipermetropia Laten
a. Sebagian dari keseluruhan dan kelainan refraksi mata hipermetropia yang dikoreksi
2. Hipermetropia manifes
menggunakan siklopegia.
8
b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa (+) yang digunakan dalam
pemeriksaan subjektif.
dilakukan pemeriksaan mata pada seorang hipermetropia dan dapat melihat jelas
(visus 6/6) dengan +3,00 akan tetapi dapat menjadi lebih jelas∫dengan +3,50 maka
akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Pada contoh di atas
2. Juling atau esotropia akibat akomodasi terus menerus yang diikuti konvergen.
3. Karena akomodasi yang terus menerus akan terjadi hipertrofi dari otot-otot
5. Pemeriksaan fundus didapatkan papil yang kecil dan terlihat yang lebih banyak
vaskular dengan batas tidak tegas atau mungkin menyerupai papilitis ( tidak ada
2.2.5 Penatalaksanaan
1 Penanganan hipermetropia sangat individual karena berdasarkan pada usia, gangguan otot
bola mata, dan besarnya hipermetropia. Pasien hipermetropia Berkas cahaya Absolut
(A=+2) Manifes (M = +1) Laten {L=CR – (A+M)} Lensa plus dibutuhkan Lensa plus
tidak dibutuhkan 5 dewasa dengan hipermetropia ringan tanpa komplikasi dapat diberikan
9
koreksi refraksi paling maksimal. Koreksi maksimal yang diberikan juga berdasarkan
pada gejala klinis, pekerjaan pasien, serta kemampuan pasien dalam kompensasi
hipermetropia. 5,6 Pasien hipermetropia membutuhkan koreksi oleh lensa sferis positif
dengan kekuatan terbesar yang memberikan visus terbaik agar bayangan ditarik ke retina
tanpa mata berakomodasi.Contohnya apabila pasien mencapai visus 1.0 dengan lensa
sferis +3.00 dan +3.25, maka diberikan resep kacamata sferis +3.25 7,8.
2 Pada anak dibawah 10 tahun koreksi tidak dilakukan terutama tidak munculnya gejala-
3 Pada remaja dan berlanjut hingga waktu presbiopia, hipermetropia dikoreksi dengan lensa
(+) yang terkuat. Bisa memakai kacamata atau lensa kontak. Lensa kontak dapat
diresepkan setelah hipermetrop stabil, apabila tidak harus mengganti lensa kontak berkali-
kali.
4 Secara bertahap tingkatkan koreksi lensa sferis dengan interval 6 bulan sampai pasien
hingga -4D.
proses efek regresi dan penyembuhan epitel yang lama merupakan masalah utama.
kornea dipertajam dengan mengerutkan kolagen dengan energi radiofrekuensi. Teknik ini
10
2.2.6 Komplikasi Hipermetropia
1. Hordeolum, blefaritis, atau kalazion berulang akibat sering mengucek mata untuk
2. strabismus dapat terjadi pada anak biasanya usia 2-3 tahun karena akomodasi secara terus
menerus.
3.Ambliopia dapat terjadi pada beberapa kasus. hal ini dapat terjadi anisometropik (unilateral
4. Glaukoma sekunder sudut tertutup. Pada mata hipermetropia, terdapat COA yang relatif
lebih sempit. Akibat dari pembesaran ukuran lensa seiring usia, mata tersebut menjadi rentan
terhadap serangan akut glaukoma. Hal ini perlu diingat pada pasien hipermetropia usia tua.4
11
BAB III
LAPORAN KASUS
Usia : 70 tahun
3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Mata perih
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kedua mata gatal, perih, berair
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat trauma di mata disangkal
Riwayat operasi pada mata disangkal
Riwayat Diabetes disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan Ny. N
Riwayat pemakaian kaca mata
Memakai kacamata selama ± 1 tahun
Riwayat pengobatan
Tidak ada
3.3 Status Generalisata
Kesadaran : Composmentis cooperative
Tekanan darah: Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan
12
Pupil Bulat Bulat
Visus
OD : 20/50 Koreksi lensa silindris positif 0,75 D 20/20
OS : 20/50 Koreksi lensa silindris positif 0,1 D 20/20
3.5 Diagnosis
- Hipermetrofi
3.6 Penatalaksanaan
- Kacamata koreksi
3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad cosmesticam : dubia ad bonam
BAB IV
PENUTUP
13
3.1 Kesimpulan
Hipermetropia merupakan kelainan refraksi apabila berkas sinar yang berjalan sejajar
masuk ke dalam mata dalam keadaan istirahat tanpa adanya akomodasi, dibiaskan
membentuk bayangan di belakang retina. Kekuatan optik mata terlalu rendah biasanya karena
bola mata yang pedek sehingga menyebabkan sinar cahaya pararel dikonvergensikan pada
titik di belakang retina. Hipermetropia sering terjadi pada usia dewasa dan berbanding lurus
dengan pertambahan usia. Hipermetropia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis
(+).
DAFTAR PUSTAKA
14
1. Febriani NA. Konsep penyakit hipermetrofi. Makalah penyakit
hipermetrofi . Akademi keperawatan pemerintahan kabupaten semedang ;
2014
2. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Anatomi dan Fisiologi lensa. Jakarta Balai
Penerbit FK UI ; 2010.
3. Ilyas HS. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Jakarta Balai
Penerbit FK UI ; 2004.
4. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum. ED.17.
Jakarta. EGC ;2009.
15
16