Anda di halaman 1dari 16

Case Report Session

HIPERMETROPI

Oleh :
Satrina Yunita Putri
1610070100139

Pembimbingr :
dr. Romi Yusardi, Sp. M

SMF MATA

RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini dengan judul
“Hipermetropi” yang merupakan salah satu tugas kepaniteraan klinik dari Bagian mata.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Romi
Yusardi, Sp. M selaku pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan
kasus ini tepat waktu demi memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Senior.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna,
karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan
laporan kasus ini. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih.

Bukittinggi, 20 Juli 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................................2
Daftar Isi.............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................4
1.1 Latar Belakang....................................................................................................4
1.2 Tujuan Penulisan.................................................................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................5


2.1 Kelainan Refraksi...............................................................................................6
2.2 Definisi Miopia..................................................................................................6
2.3 Patogenesis Miopia...............................................................................................7
2.4 Klasifikasi Miopia................................................................................................8
2.5 Manifestasi Klinis.................................................................................................9
2.6 Penegakan Diagnosis...........................................................................................10
2.7 Penatalaksanaan...................................................................................................10
BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................12
BAB IV PENUTUP..............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................14

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang mempunyai fungsi yang sangat

besar. Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi tersebut. Ada

tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia, astigmatisme, atau campuran kelainan-

kelainan tersebut. Diantara kelainan refraksi tersebut, miopia adalah yang paling sering

dijumpai, kedua adalah hipermetropia, dan yang ketiga adalah astigmatisma.1

Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan oleh

Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Ahli Mata Indonesia

pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi menduduki urutan paling atas dari 10

penyakit mata utama.

Dari hasil survai kesehatan anak di daerah DKI Jaya yang dilakukan oleh Kanwil

Depkes DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah Dasar dan lbtiddaiah di

seluruh wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan refraksi rata-rata sebesar 11,8%.

Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8 juta

orang anak yang menderita kelainan refraksi. Hipermetropia diyakini menyerag jutaan orang

Amerika dan ratusan juta orang di seluruh dunia (Manolette R Roque, 2008). Sementara

bangsa Hispanik menunjukkan prevalensi hipermetropia yang lebih tinggi daripada anak-

anak Afrika di Amerika (masing-masing 26,9% vs 20,8%, P <0,001). Prevalensi

hipermetropia mencapai titik terrendah di sekitar usia 24 bulan namun naik dan tetap lebih

tinggi setelah usia itu. 2

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk memahami kelainan refraksi pada hipermetropia

2. Untuk memahami Koreksi kacamata pada hipermetropia

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Lensa

Gambar 1. Anatomi Mata

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir transparan

sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa terdiri dari kapsul, epitel

lensa, nukleus dan korteks. Di belakang iris, lensa ditahan di tempatnya oleh zonula zinni

(ligamentum suspensorium lentis), yang melekat pada ekuator lensa menghubungkannya

dengan korpus siliaris. Zonula zinni berasal dari lamina basal epitel tidak berpigmen prosesus

siliaris. Zonula zinni melekat pada bagian ekuator kapsul lensa, 1,5 mm pada bagian anterior

dan 1,25 pada bagian posterior. Di sebelah anterior lensa terdapat humor akuos sedangkan di

sebelah posteriornya, vitreus. Lensa dan vitreus dipisahkan oleh membrana hyaloidea.

Permukaan lensa pada bagian posterior lebih cembung dari pada permukaan anterior.

Pada saat baru lahir jarak ekuator lensa sekitar 6,4 mm dan jarak anterioposterior 3,5 mm dan

beratnya sekitar 90 mg. Pada lensa dewasa jarak ekuator sekitar 9 mm dan jarak

anteroposterior 5 mm dan beratnya sekitar 255 mg.3

5
2.2 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi merupakan suatu keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk

pada retina (makula retina atau bintik kuning) melainkan di bagian depan atau belakang

bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang tajam. Pada kelainan refraksi terjadi

ketidakseimbangan sistem optik / penglihatan pada mata sehingga menghasilkan bayangan

yang kabur. Pada penglihatan normal , kornea dan lensa mata membelokkan sinar pada titik

fokus yang tepat pada sentral retina. Bola mata manusia mempunyai panjang kira-kira 2 cm,

dan untuk memfokuskan sinar ke bintik kuning diperlukan kekuatan 50 Dioptri. Kornea

mempunyai kekuatan 40 dioptri dan lensa mata berkekuatan 10 dioptri. Apabila kekuatan

untuk membiaskan tidak sama dengan 50 Dioptri maka sinar akan difokuskan di depan retina

seperti pada rabun jauh / miopia dan dikoreksi dengan kacamata (-) atau di belakang retina

seperti pada rabun dekat / hipermetropia, yang membutuhkan kacamata (+). Apabila

pembiasan tidak difokuskan pada satu titik seperti pada astigmatisma maka diberikan

kacamata silinder untuk mengoreksinya. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia,

hipermetropia dan astigmatisma1

2.2.1 Definisi Hipermetropia

Hipermetropia atau far-sightendess adalah kelainan refraksi apabila berkas sinar yang

berjalan sejajar masuk ke dalam mata dalam keadaan istirahat tanpa adanya akomodasi,

dibiaskan membentuk bayangan di belakang retina. Kekuatan optik mata terlalu rendah

biasanya karena bola mata yang pedek sehingga menyebabkan sinar cahaya pararel

dikonvergensikan pada titik di belakang retina. Hipermetropia sering terjadi pada usia dewasa

dan berbanding lurus dengan pertambahan usia.1

6
Gambar 2.2 Hipermetropia

2.2.2 Etiologi Hipermetropia

Hipermetropia dapat berbentuk aksial, kurvatura, indeks, posisional, atau karna tidak

adanya lensa.

1. Axial hipermetropia, merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering ditemukan.

Pada kondisi ini kekuatan refraksi mata normal, namun terdapat pemendekan axis dari

bola mata. Tiap pemendekan sebanyak 1 mm dari diameter anteroposterior

menyebabkan perubahan 3 dioptri.

2. Curvatural hipermetropia merupakan kondisi dimana kornea dan lensa lebih data dari

pada normal, sehingga terjadi penurunan refraksi. Sekitar 1mm peningkatan radius

kurvatura menyebabkan perubahan 6 dioptri.

3. Index hipermetropia terjadi disebabkan menurunnya indeks refraksi dari lensa pada

usia tua.

4. Positional hypermetropia akibat dari lensa yang diletakkan pada bagian posterior.

5. Absence of crystalline lens bisa terjadi karena kongenital atau dengan dilakukannya

operasi pengangkatan lensa sehingga orang tersebut menjadi afakia (thipermetropia

yang tinggi).2

7
2.2.3 Klasifikasi Hipermetropia

Terdapat 3 bentuk klasifikasi hipermetropia secara klinis :

1. Hipermetropia simpel, merupakan bentuk yang paling sering. Hal ini disebabkan oleh

variasi biologis normal dari pertumbuhan bola mata.

2. Hipermetropia patologis disebabkan oleh kongenital atau didapat akibat

maldevelopment, trauma, dan penyakit. Hal ini termasuk :

- Hipermetropia indeks, akibat sklerosis korteks lensa.

- Hipermetropia posisional, akibat subkluksasi posterior dari lensa.

- Afakia, akibat operasi atau kongenital.

- Hipermetropia konsekutif, akibat over koreksi dari miopia.

3. Hipermetropia fungsional, merupakan akibat dari paralisisnya kemampuan

akomodasi seperti pada paralise N III dan oftalmoplegia internal.

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan derajat beratnya :

1. Hipermetropia ringan, kesalahan refraksi ±2.00 D atau kurang.

2. Hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara ±2.25 D hingga ± 5.00 D.

3. Hipermetropia berat, kesalahan refraksi ±5.25 D.

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan akomodasi mata :

1. Hipermetropia Laten

a. Sebagian dari keseluruhan dan kelainan refraksi mata hipermetropia yang dikoreksi

secara lengkap oleh proses akomodasi mata.

b. Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan siklopegia.

2. Hipermetropia manifes

a. Hipermetropia yang bisa dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa

menggunakan siklopegia.

8
b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa (+) yang digunakan dalam

pemeriksaan subjektif.

3. Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata

positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini

tediri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Bila

dilakukan pemeriksaan mata pada seorang hipermetropia dan dapat melihat jelas

(visus 6/6) dengan +3,00 akan tetapi dapat menjadi lebih jelas∫dengan +3,50 maka

dikatakan hipermetropia manifesnya adalah ∫ ∫+3,50.

4. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak dapat diimbangi dengan

akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Pada contoh di atas

hipermetropia absolutnya bernilai +3,00.2

2.2.4 Gejala Hipermetropia

1. Ukuran bola mata yang lebih kecil secara keseluruhan.

2. Juling atau esotropia akibat akomodasi terus menerus yang diikuti konvergen.

3. Karena akomodasi yang terus menerus akan terjadi hipertrofi dari otot-otot

akomodasi di corpus ciliaris.

4. Pupil terlihat lebih kecil karena akomodasi.

5. Pemeriksaan fundus didapatkan papil yang kecil dan terlihat yang lebih banyak

vaskular dengan batas tidak tegas atau mungkin menyerupai papilitis ( tidak ada

edema papil, sehingga disebut pseudopapilitis).1

2.2.5 Penatalaksanaan

1 Penanganan hipermetropia sangat individual karena berdasarkan pada usia, gangguan otot

bola mata, dan besarnya hipermetropia. Pasien hipermetropia Berkas cahaya Absolut

(A=+2) Manifes (M = +1) Laten {L=CR – (A+M)} Lensa plus dibutuhkan Lensa plus

tidak dibutuhkan 5 dewasa dengan hipermetropia ringan tanpa komplikasi dapat diberikan

9
koreksi refraksi paling maksimal. Koreksi maksimal yang diberikan juga berdasarkan

pada gejala klinis, pekerjaan pasien, serta kemampuan pasien dalam kompensasi

hipermetropia. 5,6 Pasien hipermetropia membutuhkan koreksi oleh lensa sferis positif

dengan kekuatan terbesar yang memberikan visus terbaik agar bayangan ditarik ke retina

tanpa mata berakomodasi.Contohnya apabila pasien mencapai visus 1.0 dengan lensa

sferis +3.00 dan +3.25, maka diberikan resep kacamata sferis +3.25 7,8.

2 Pada anak dibawah 10 tahun koreksi tidak dilakukan terutama tidak munculnya gejala-

gejala dan penglihatan normal pada setiap mata.

3 Pada remaja dan berlanjut hingga waktu presbiopia, hipermetropia dikoreksi dengan lensa

(+) yang terkuat. Bisa memakai kacamata atau lensa kontak. Lensa kontak dapat

diresepkan setelah hipermetrop stabil, apabila tidak harus mengganti lensa kontak berkali-

kali.

4 Secara bertahap tingkatkan koreksi lensa sferis dengan interval 6 bulan sampai pasien

menjadi hipermetropia manifes

5 Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk memperbaiki hipermetropia dengan

membentuk semula kurvatura kornea. Metode pembedahan yang termasuk:

-Laser Asisted in situ keratomileus (LASIK), efektif dalam mengkoreksi hipermetropia

hingga -4D.

-Photorefractive keratectomy (PRK), dengan menggunakan laser excimer. Namun

proses efek regresi dan penyembuhan epitel yang lama merupakan masalah utama.

-Conductive keratoplasty (CK), merupakan prosedur noninsisional dan nonablasi dimana

kornea dipertajam dengan mengerutkan kolagen dengan energi radiofrekuensi. Teknik ini

efektif untuk mengkoreksi hipermetropi hingga +3 D.4

10
2.2.6 Komplikasi Hipermetropia

1. Hordeolum, blefaritis, atau kalazion berulang akibat sering mengucek mata untuk

menghilangkan kelelahan mata

2. strabismus dapat terjadi pada anak biasanya usia 2-3 tahun karena akomodasi secara terus

menerus.

3.Ambliopia dapat terjadi pada beberapa kasus. hal ini dapat terjadi anisometropik (unilateral

hipermetropia), strabismik (pada anak dengan akomodasi berlebihan),atau ametropik (pada

anak dengan hipermetropia berat tidak terkoreksi)

4. Glaukoma sekunder sudut tertutup. Pada mata hipermetropia, terdapat COA yang relatif

lebih sempit. Akibat dari pembesaran ukuran lensa seiring usia, mata tersebut menjadi rentan

terhadap serangan akut glaukoma. Hal ini perlu diingat pada pasien hipermetropia usia tua.4

11
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. N

Usia : 70 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

3.2 Anamnesis
Keluhan utama : Mata perih
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan kedua mata gatal, perih, berair
Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat trauma di mata disangkal
Riwayat operasi pada mata disangkal
Riwayat Diabetes disangkal
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan Ny. N
Riwayat pemakaian kaca mata
Memakai kacamata selama ± 1 tahun
Riwayat pengobatan
Tidak ada
3.3 Status Generalisata
Kesadaran : Composmentis cooperative
Tekanan darah: Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : Tidak dilakukan pemeriksaan

3.4 Status Oftalmologis


OD OS
Palpebra superior Normal Normal

Palpebra inferior Normal Normal

Konjungtiva Normal Normal

Kornea Normal Normal

Iris Coklat, rugae Coklat, rugae

12
Pupil Bulat Bulat

Lensa Jernih Jernih

Kedudukan bola mata Normal Normal

Visus
OD : 20/50  Koreksi lensa silindris positif 0,75 D  20/20
OS : 20/50  Koreksi lensa silindris positif 0,1 D  20/20
3.5 Diagnosis
- Hipermetrofi

3.6 Penatalaksanaan
- Kacamata koreksi
3.7 Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam
- Quo ad sanam : dubia ad bonam
- Quo ad cosmesticam : dubia ad bonam

BAB IV

PENUTUP
13
3.1 Kesimpulan

Hipermetropia merupakan kelainan refraksi apabila berkas sinar yang berjalan sejajar

masuk ke dalam mata dalam keadaan istirahat tanpa adanya akomodasi, dibiaskan

membentuk bayangan di belakang retina. Kekuatan optik mata terlalu rendah biasanya karena

bola mata yang pedek sehingga menyebabkan sinar cahaya pararel dikonvergensikan pada

titik di belakang retina. Hipermetropia sering terjadi pada usia dewasa dan berbanding lurus

dengan pertambahan usia. Hipermetropia dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa sferis

(+).

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Febriani NA. Konsep penyakit hipermetrofi. Makalah penyakit
hipermetrofi . Akademi keperawatan pemerintahan kabupaten semedang ;
2014
2. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Anatomi dan Fisiologi lensa. Jakarta Balai
Penerbit FK UI ; 2010.
3. Ilyas HS. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Jakarta Balai
Penerbit FK UI ; 2004.
4. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum. ED.17.
Jakarta. EGC ;2009.

15
16

Anda mungkin juga menyukai