PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
1.2.1Tujuan Umum
1.1 1. Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksimal dari fungsi neurologik misalnya
perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf. Angka kejadian kejang di negara
2
maju berkisar antara 0,8-1,2 setiap 1000 neonatus per tahun. Insidens meningkat pada bayi
kurang bulan yaitu sebesar 20% atau 60/1000 lahir hidup bayi kurang bulan, dibanding pada bayi
cukup bulan sebesar 1,4% atau 3/1000 lahir hidup bayi cukup bulan.6
2.2 Epidemiologi
Insiden kejang pada neonatus berkisar antara 1,5-3 per 1000 kelahiran bayi cukup bulan
dan 50-150 per 1000 pada bayi kurang bulan. Insiden kejang pada neonatus di Amerika Serikat
belum dapat dipastikan dengan jelas meskipun berdasarkan penelitian sebelumnya diperkirakan
sekitar 80-120 kasus per 100.000 neonatus per tahun. Sedangkan di Swedia, tercatat insiden
keseluruhan kejang neonatal adalah 2,1 per 1.000 bayi lahir-hidup dengan tidak ada perubahan
dari waktu ke waktu.7
2.3 Etiologi
3
Berdasarkan literatur, didapatkan beberapa etiologi dari kejang neonatus yaitu:7
a. Asfiksia
Trauma dan perdarahan intrakranial biasanya terjadi pada bayi yang besar yang dilahirkan
oleh ibu dengan kehamilan primipara. Hal ini terjadi pada partus lama, persalinan yang sulit
4
disebabkan oleh kelainan kedudukan janin dalam rahim atau kelahiran presipitatus sebelum
serviks uteri membuka cukup lebar.
c. Infeksi
Pada bayi baru lahir infeksi dapat terjadi di dalam rahim, selama persalinan, atau segera
sesudah lahir. Infeksi dalam rahim terjadi karena infeksi primer dari ibu seperti toxoplasmosis,
rubella, sitomegalovirus, dan herpes. Selama persalinan atau segera sesudah lahir, bayi dapat
terinfeksi oleh virus herpes simpleks, virus Coxsackie, E. Colli, dan Streptococcus B yang dapat
menyebabkan ensefalitis dan meningitis.
2.4 Klasifikasi8
2.5 Patofisiologi
Depolarisasi berlebihan sel-sel neuron otak terjadi akibat masuknya ion natrium ke dalam
sel, sedangkan repolarisasi diakibatkan oleh keluarnya ion kalium ke ekstra sel. Fungsi neuron
adalah menjaga keseimbangan antara depolarisasi dan repolarisasi. Jika terjadi depolarisasi maka
terjadi potensial aksi yang mengakibatkan penglepasan neurotransmiter dari presinaps di
terminal akson. Neurotransmiter akan berikatan dengan reseptor postsinaps dan menghasilkan
potensial aksi yang dapat bersifat eksitasi atau inhibisi. Fungsi otak normal sangat bergantung
5
dari keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Keseimbangan membran potensial membutuhkan
enerji yang berasal dari adenosine triphospate (ATP) yang menggerakkan pompa Na-K yang
berfungsi mengeluarkan ion kalium dan memasukkan ion natrium. Meskipun mekanisme
terjadinya kejang pada neonatus belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa teori
yang menerangkan depolarisasi berlebihan, yaitu :9
(1) Pompa Na-K tidak berfungsi akibat kekurangan enerji, disebabkan oleh hipoksikiskemik dan
hipoglikemia.
(2) Neurotransmiter eksitasi (glutamate) yang berlebihan (produksi yang berlebih atau
berkurangnya re-uptake) sehingga mengakibatkan depolarisasi yang berlebihan, ditemukan pada
keadaan hipoksik-iskemik dan hipoglikemia.
(4) Terganggunya permeabilitas membran sel, sehingga ion natrium lebih banyak masuk ke
intrasel yang mengakibatkan depolarisasi berlebihan, ditemukan pada hipokalsemia dan
hipomagnesemia karena ion kalsium dan magnesium berinteraksi dengan membran sel untuk
menghambat masuknya ion natrium.
Kejang pada neonatus berbeda dari kejang pada bayi, anak maupun orang dewasa
demikian pula manifestasi kejang pada bayi prematur berbeda dibandingkan bayi cukup bulan.
Kejang neonatus lebih bersifat fragmenter, kurang terorganisasi dan hampir tidak pernah bersifat
kejang umum tonik klonik. Kejang pada bayi prematur lebih tidak terorganisasi dibandingkan
dengan bayi cukup bulan, berkaitan dengan perkembangan neuroanatomi dan neurofisiologi pada
masa perinatal. Organisasi korteks serebri pada neonatus belum sempurna, selain itu
pembentukan dendrit, akson, sinaptogenesis dan proses mielinisasi dalam sistem eferen korteks
belum selesai.10
Kejang pada neonatus harus dibedakan dari aktifitas normal pada bayi prematur, bayi
cukup bulan dan gerakan abnormal lain yang bukan kejang.8 Jitteriness merupakan salah satu
6
gejala gangguan pergerakan yang sulit dibedakan dengan kejang. Penyebab tersering jitteriness
adalah ensefalopati hipoksik-iskemik, hipokalsemia, hipoglikemia dan gejala putus obat. Akifitas
lain pada neonatus yang menyerupai kejang :8
1. Pada saat sadar dan mengantuk/drowsy, tampak gerakan bola mata kearah horizontal berupa
nystagmoid jerk yang tidak menetap. Dapat dibedakan dari gerakan bola mata pada subtle
seizure yang berupa deviasi tonik horisontal bola mata yang menetap, dengan atau tanpa jerking.
2. Pada saat tidur, sering dijumpai myoclonic jerk yang bersifat fragmenter dan multipel. Sering
disebut benign neonatal sleep myoclonus.
3. Hiperekpleksia suatu respons yang berlebihan terhadap stimulus (suara atau taktil) berupa
mioklonik umum seperti terkejut/kaget (startle response)
4. Klonus
Gerakan-gerakan tersebut dapat dibedakan dari kejang dengan cara menahan gerakan
tersebut berhenti. Dengan kemajuan teknologi seperti pemakaian video-EEG monitoring kejang
neonatus dapat dibedakan menjadi epileptik dan nonepileptik. Disebut epileptik jika manifestasi
kejang berkorelasi kuat dan konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG.
Patofisiologi kejang epileptik disebabkan oleh lepas muatan listrik yang berlebihan dan
paroksismal di neuron korteks serta peningkatan eksitasi seluler, sinaps dan aktifitas penyebaran
gelombang epilepsi.11 Disebut non-epileptik jika manifestasi kejang tidak berkorelasi dan atau
tidak konsisten dengan aktifitas epileptik pada pemeriksaan EEG.12
Fokus kejang berasal dari tingkat subkortikal (sistem limbik, diensefalon dan batang
otak) dan tidak menyebar ke korteks karena imaturitas pembentukan sinaps serta proyeksi
kortikal sehingga tidak dapat atau tidak selalu terdeteksi dengan pemeriksaan EEG.13
2.7 Diagnosis6
2.7.1 Anamnesis
- Riwayat kehamilan/pranatal
7
- Kehamilan kurang bulan
- Riwayat persalinan
- Trauma persalinan
- Riwayat pascanatal
- Infeksi
- Perawatan tali pusat tidak bersih dan kering, penggunaan obat tradisional
- Riwayat kejang:
- Gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah dan ekstremitas, saat timbulnya, lama,
frekuensi terjadinya kejang
- Riwayat spasme atau kekakuan pada ekstremitas, otot mulut dan perut, dipicu oleh kebisingan
atau prosedur atau tindakan pengobatan
a. Kejang
8
Manifestasi klinis kejang pada bayi baru lahir sangat berbeda dengan anak bahkan bayi
kurang bulan berbeda dengan cukup bulan. Gambaran klinis yang sering terjadi sebagai berikut:
1. Subtle:
Orofasial :
Deviasi mata, kedipan mata, gerakan alis yang bergetar berulang, mata yang tiba tiba terbuka
dengan bola mata terfiksasi ke satu arah, gerakan seperti menghisap, mengunyah, mengeluarkan
air liur, menjulurkan lidah, gerakan pada bibir
Ekstremitas:
Episode apnu: Serangan apnu yang termasuk kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.
2. Tonik
Fokal :
Postur tubuh asimetris yang menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau tanpa adanya
gerakan mata abnormal.
Umum:
Fleksi tonik atau ekstensi leher, badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas
3. Klonik
Fokal :
Gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada sisi unilateral, gerakan pelan dan ritmik,
frekuensi 1-4 kali/ perdetik.
9
Multifokal :
Kejang klonik dengan lebih dari satu fokus atau migrasi gerakan dari satu ekstremitas secara
acak pindah ke ekstremitas lainnya.
Bentuk gerakan klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan kejang klonik tungkai
bawah kanan
4. Mioklonik
Fokal:
Multifokal :
Umum :
Terdiri dari satu atau lebih gerakan fleksi masif dari kepala dan badan dan adanya gerakan fleksi
atau ekstensi dari ekstremitas
10
d. Bila diduga ada riwayat jejas pada kepala: pemeriksaan berkala hemoglobin dan
hematokrit untuk memantau perdarahan intraventrikuler serta didapat perdarahan pada
cairan serebrospinal.
e. Ultrasonografi untuk mengetahui adanya perdarahan periventrikulerintraventrikuler
f. Pencitraan kepala (CT-scan kepala) untuk mengetahui adanya perdarahan subarahnoid
atau subdural, cacat bawaan, infark serebral.
g. Elektroensefalografi (EEG):
Pemeriksaan EEG pada kejang dapat membantu diagnosis, lamanya pengobatan dan
prognosis. Gambaran EEG abnormal pada neonatus dapat berupa yaitu gangguan
kontinuitas, amplitudo atau frekuensi, asimetri atau asinkron interhemisfer, bentuk
gelombang abnormal, gangguan dari fase tidur, aktivitas kejang mungkin dapat dijumpai.
2.8 PENATALAKSANAAN6
Penanganan utama adalah mengatasi hipoksia dan gangguan metabolik sebagai penyebab
tersering kejang pada neonatus kemudian pemberian antikejang.
2.8.1 Medikamentosa
Medikamentosa untuk menghentikan kejang yaitu :
A. Fenobarbital 20 mg/kgBB intravena (IV) dalam waktu 10-15 menit, jika kejang tidak
berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan selang waktu
30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena, dapat diberikan intramuskular (IM) dengan
dosis ditingkatkan 10-15%.
B. Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kgBB IV dalam larutan garam fisiologis
dengan kecepatan 1mg/kgBB/menit.
C. Bila kejang masih berlanjut, dapat diberikan :
- Golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 0,05 – 0,1mg/kgBB setiap 8-12
jam
- Midazolam bolus 0,2mg/kgBB dilanjutkan dengan dosis titrasi 0,1-0,4
mg/kgBB/ jam IV
- Piridoksin 50-100 mg/kgBB IV dilanjutkan 10-100 mg/kgBB/hari peroral
Pengobatan rumatan
11
A. Fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari, dosis tunggal atau terbagi tiap 12 jam secara IV atau
peroral.
B. Fenitoin 4-8 mg/kgBB/hari IV atau peroral, dosis terbagi dua atau tiga.
2.8.2 Suportif6
A. Menjaga jalan napas tetap bersih dan terbuka serta pemberian oksigen untuk mencegah
hipoksia otak yang berlanjut.
B. Menjaga kehangatan bayi
C. Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat serta tunjangan nutrisi adekuat
D. Mengurangi rangsang suara, cahaya maupun tindakan invasif untuk menghindari
bangkitan kejang pada penderita tetanus
E. Pemberian nutrisi bertahap, diutamakan ASI
F. Bila memerlukan ventilator mekanik, maka harus dirujuk ke Rumah Sakit dengan
fasilitas Pelayanan Neonatal Level III yang tersedia fasilitas NICU
2.8.3 Pemantauan
Terapi
- Efektifitas terapi dipantau dengan melihat gejala klinis, bila perlu diulang dan segera dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyakit penyebabnya.
- Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian antikejang rumatan, fenobarbital
5 mg/kgBB/hari adalah pilihan pertama.
- Pemberiaan dosis rumatan dihentikan setelah tidak ada kelainan neurologis dan atau kelainan
gambaran EEG.
Tumbuh Kembang
- Pemantauan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan sensorik dan motorik.
Setiap adanya gangguan perkembangan, perubanhan tingkah laku ataupun gejala neurologik,
eksplorasi harus dilakukan dengan pemeriksaan neurologis lengkap.
- Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi.
Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi risiko kerusakan pada otak
12
dan berdampak pada terjanya kelainan neurologik lanjut (misalnya palsi serebral dan retardasi
mental)
2.8 PROGNOSIS
Kejang neonatus sebanyak 25%-30% berhubungan dengan gangguan perkembangan.
Faktor penentu utama prognosis adalah etiologi, neonatus dengan disgenesis serebral serta
hipoksik-iskemik sedang dan berat mempunyai prognosis yang buruk. Gangguan metabolik akut
dan perdarahan subarachnoid mempunyai prognosis yang baik, sedangkan infeksi intrakranial
dan IEM mempunyai prognosis yang bervariasi. Karakteristik kejang juga mempengaruhi
prognosis, kejang onset dini, kejang berulang dan berkepanjangan yang resisten terhadap
pengobatan mempunyai prognosis yang buruk. Kejang tonik berhubungan dengan palsi serebral,
retardasi mental dan epilepsi sedangkan kejang mioklonik berkaitan dengan retardasi mental.
Penelitian Brunquell menunjukkan bahwa dibandingkan dengan tipe kejang yang lain kejang
subtle dan tonik umum mempunyai komplikasi epilepsi, retardasi mental dan epilepsi yang lebih
tinggi. Gambaran EEG juga merupakan faktor prognosis. Hasil EEG interiktal normal 85%
mempunyai prognosis baik, sedangkan gambaran EEG yang isoelektrik, voltase rendah atau
paroksismal burst-suppression mempunyai prognosis buruk.14
BAB III
ANALISA KASUS
13
‐ Alamat : Tigo Lurah Batu Bajanjang
‐ No MR : 212181
‐ Tanggal masuk : 05 januari 2021
3.2 Anamnesis
Dilakukan Alloanamnesis dengan ayah pasien pada tanggal 05 Januari 2021.
Keluhan utama :
Pasien kejang sejak ± 6 jam SMRS.
14
Riwayat dengan keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
Riwayat kejang tidak ada
Riwayat alergi tidak ada
Riwayat trauma tidak ada
Riwayat kontak Covid tidak ada
Keadaan lahir
Pemeriksaan Fisik
‐ Vital Sign
15
‐ Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
‐ Suhu : 37,3˚c
‐ Frekuensi Nadi : 128x/i, kuat angkat
‐ Frekuensi Nafas : 68x/i
‐ SpO2 : 99% dengan oksigen nasal canul
Kepala
‐ Ukuran : Normochepal
‐ Lingkar kepala : 33 cm
‐ Batas : Dahi dan ujung rambut kepala jelas
‐ Ubun-ubun besar : teraba datar ukuran 2 x 2 cm, terbuka dan datar
‐ Ubun-ubun kecil : teraba datar, ukuran 1 X 1 cm, terbuka dan datar
‐ Wajah : Ikterik (+)
‐ Jejas persalinan : Tidak ada
Mata
- Posisi : Simetris kanan dan kiri
- Konjunctiva : Anemis tidak ada
- Sclera : Ikterik (+/+), gerakan mata bebas dan pupil isokor
Hidung
- Lubang : Tidak ada sumbatan jalan nafas
- Cuping hidung : Pernafasan cuping hidung tidak ada
Mulut
‐ Bibir : Tidak labioskizis
‐ Sianosis : Tidak ada
Telinga
‐ Simetris : Simetris, kanan dan kiri
‐ Daun telinga : Auriculla sudah melipat dengan sempurna
‐ Lubang telinga : Ada, kanan-kiri
Leher
‐ Kelainan : Tidak ada kelainan
‐ KGB : Tidak ada pembesaran KGB
16
‐ Pergerakan : Aktif
Thorak
- Inspeksi : Simestris dinding kanan dan kiri, retraksi (-)
- Jantung : Reguler, murmur(-), gallop(-)
- Paru : Vesikuler, Wheezing (-/-),Rhonki(-/-)
Abdomen
- Inspeksi : Distensi (-)
- Hati : Tidak teraba
- Limpa : Tidak teraba
- Bising usus : (+) normal
- Kelainan : Tidak ada kelainan
Mamae
- Areola : Ada, ukuran 0,5-1 cm
Umbilikus
- Bentuk : Tidak tampak infeksi tali pusat
- Perdarahan : Tidak ada perdarahan
- Kelainan tali pusat : Tali pusat tidak segar
Kulit
- Warna : Merah
- Lanugo : Menipis hampir tidak ada
Ekstrimitas
- Atas : Akral hangat, simetris, sianosis (-) , tonus otot kurang, CRT <2
- Bawah : Akral hangat, simetris, sianosis (-) , tonus otot kurang, CRT <2
- Kelainan : Tidak ada kelainan, tidak ada sindaktil ataupun polidaktil
Tulang-tulang:
‐ Deformitas : Tidak ada
‐ Fraktur : Tidak ada
Genitalia (Laki-laki)
‐ Tidak ada kelainan
Refleks
‐ Moro : menurun
17
‐ Rooting : (-)
‐ Isap : menurun
‐ Gasp : (-)
Refleks Meningeal
- Kaku kuduk : (-)
Pemeriksaan Antropometri
‐ BBL : 4000 gram
‐ PB : 48 cm
Tidak bisa
dilakukan
18
Total Pemeriksaan Maturitas Fisik : 22
19
Down score : 1
-Sindrom epilepsy
20
-HIE ( Hipoksia iskemik ensefalopaty)
3.5 Penatalaksanaan
FiO2 30
- Loading Nacl 40 cc
3.6 Follow Up :
21
Balance cairan : -182 cc
Diuresis : 0,64 cc/kg/jam
22
2. Rabu/06-01-21 S/ -Demam tidak ada
-Kejang tidak ada
- Retraksi tidak ada
- Pasien tampak kuning
-BAB (+)
O/
-KU: Tampak sakit sedang
-kesadaran: composmentis
-kulit : ikterik derajat kremer III
-HR:123x/i
-RR:48x/i
-T:37ºC
-SpO2:91%
Anjuran:
- cek ureum/creatinin
- jika urin tidak ada drip Lasix 50mg + NaCl 25cc=>0,1ml/jam
- naikkan 1 ml/jam
- target urin 4cc/jam
3. Kamis/7-01-21 S/ -Demam tidak ada
23
-Kejang tidak ada
- retraksi tidak ada
- Kuning tidak ada
-BAB (+)
O/
-KU: Tampak sakit sedang
-kesadaran: composmentis
-HR:125x/i
-RR:46x/i
-T:37ºC
-BB:3615 gr
-SpO2:95%
P/ -Vasocath
-NaCl 3% => 1,9cc/jam
-Asi/susu formula 4x40,4x50
-Inj Ampicillin Sulbactam 2x200 mg (iv)
-Inj Gentamycin 1x20 mg (iv)
-Aff CPAP=> nasal canul 1L/i
-Aff fisioterapi
24
-SpO2:98%
P/ -vasocath
-O2 nasal canul 0,5 L/i
-Asi/susu formula 8x60 cc
-Inj Ampicillin Sulbactam 2x200 mg (iv)
-Inj Gentamycin 1x20 mg (iv)
5. Sabtu/ 09-01-21 S/ -Demam tidak ada
-Kejang tidak ada
- retraksi tidak ada
-kuning tidak ada
-BAB (+)
O/
-KU: Tampak sakit sedang
-kesadaran: composmentis
-HR :126x/i
-RR :45x/i
-T :36,6ºC
-BB :3946 gr
-SpO2 :98%
P/ -Vasocath
-Susu formula 8x70 cc
-Inj Ampicillin Sulbactam 2x200 mg (iv)
-Inj Gentamycin 1x20 mg (iv)
6. Minggu/10-01-21 S/ -Demam tidak ada
-Kejang tidak ada
- Retraksi tidak ada
25
- kuning tidak ada
- BAB (+)
- BAK (+)
O/
-KU : Tampak sakit sedang
-Kesadaran : composmentis
-HR :128x/i
-RR :48x/i
-T :36,8ºC
-BB :3835 gr
-SpO2 :99%
P/ -Vasocath
-Inj Ampicillin Sulbactam 2x200 mg (iv)
-Inj Gentamycin 1x20 mg (iv)
26
P/ -Pasien boleh pulang
-Kontrol Jumat tgl 22-01-2021
Telah didiagnosis seorang pasien bayi perempuan berusia 2 hari dengan diagnosis Kejang
Neonatal ec. Hiponatremi + pneumoni, dengna usia kehamilan 41-42 minggu sesuai usia
kehamilan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
Pasien datang dengan keluhan utama kejang sejak ± 6 jam SMRS. Pada anamnesa dan
poemeriksaan fisik pasien didapatkan bayi lahir cukup bulan dengan lahir spontan dengan kejang
.Pasien kejang di puskesmas sudah 3x dengan durasi 1-2 menit. Saat kejang tubuh pasien
kelojotan dan mata mendelik keatas. Hal ini sesuai teori, dimana pada riwayat kejang adanya
gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah dan ekstremitas, saat timbulnya, lama, frekuensi
terjadinya kejang lalu pada pemeriksaan fisik bentuk kejang pada bayi baru lahir dapat berupa
tremor, hiperaktif, kejang-kejang, tiba-tiba menangis melengking, tonus otot menghilang disertai
atau tidak dengan hilangnya kesadaran, gerakan tidak menentu, mengedip-ngedipkan mata,
gerakan mulut seperti mengunyah dan menelan. Setiap gerakan yang tidak biasa pada bayi baru
lahir apabila berlangsung berulang-ulang dan periodik, harus dicurigai kemungkinan merupakan
bentuk dari kejang dan pada teori lain juga menjelaskan bahwa terdapat deviasi mata, kedipan
mata, gerakan alis yang bergetar berulang, mata yang tiba tiba terbuka dengan bola mata
terfiksasi ke satu arah.dan didapatkan gerakan abnormal pada mulut, lidah dan ekstremitas, saat
timbulnya, lama, frekuensi terjadinya kejang. .Ada beberapa faktor risiko dan penyebab yang
menyebabkan terjadinya kejang neonatus yaitu faktor infeksi intrauterin, riwayat resusitasi, dan
gawat janin sedangkan penyebabnya yaitu kelainan kongenital, kelainan saat persalinan, anoksia,
kelainan metabolik (hipokalsemia, hipoglisemia, defisiensi vitamin B6, defisiensi biotinidase,
fenilketonuria).
Penelitian yang dilakukan Zhao J 2013 dimana infeksi atau pun inflamasi intrauterin
dapat meningkatkan risiko terjadinya cidera otak perinatal yang dapat menimbulkan kejang pada
neonatus. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa tindakan resusitasi pasca lahir berpengaruh
terhadap kejadian kejang pada neonatus. Hal ini sependapat dengan penelitian yang dilakukan
27
Minchom, dkk sebelumnya bahwa bila bayi yang menerima resusitasi segera setelah lahir dapat
terjadi kejang pada neonatus. Resusitasi diberikan kepada bayi yang mengalami kesulitan
bernafas spontan pada awal kehidupannya untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi.
Bayi yang lahir dengan kesulitan bernafas spontan bila tidak ditangani secara cepat dapat
berakibat asfiksia yang merupakan penyebab utama kejang pada neonatus. Riwayat gawat janin
juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kejang pada neonatus dalam penelitian
ini. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa gawat janin dapat menyebabkan asfiksia
intrauterin dan menjadi penyebab tersering ensefalopati hipoksik-iskemik yang timbul akibat
hipoksia. Gawat janin memiliki ciri-ciri yang timbul pada janin adalah frekuensi denyut jantung
kurang dari 120 kali permenit atau lebih dari 160 kali permenit, berkurangnya gerakan dari janin,
dan air ketuban bercampur dengan mekonium dan berwarna kehijauan.
Pada pemeriksaan penunjang dianjurkan dilakukan cek labor GDR, cek albumin,
elektrolit, Ro Thorax PA, cek labor hitung jenis leukosit dimana hal ini sesuai teori dilakukannya
pemeriksaan darah rutin dan apusan darah, Kadar glukosa darah, kadar elektrolit darah, dan
pemeriksaan berkala hemoglobin dan hematocrit. Hal ini sesuai dengan teori pemeriksaan
laboratorium, EEG dan Pencitraan.
Pada penatalaksanaan pasien diberikan O2 ½ L/i ,IVFD D10% : NaCl 0,9%
4:1 ditambah Ca 10 cc dengan kec 6 tpm ,Ampicillin Sulbactam 2x200 mg (iv),Gentamycin 1x20
mg (iv), Loading Nacl 40 cc,CPAP => PEEP 6, FiO2 30. Jika pasien kejang berikan sibital 80
mg iv bolus pelan. Penatalaksanaan pada kasus sesuai dengan teori dan SOP pada kejang
neonates dimana dalam kasus ini penting untuk atasi hipoksia dan gangguan metabolik dan
setelah itu dapat dilakukan pemberian antikejang. SPO pasien kejang neonatal yaitu :
1. Pengawasan jalan nafas, bersih dan terbuka.
2. Pasang jalur infus D10% : NaCl 0,9% = 4:1 dengan cairan maintenance.
3. Bila etiologi telah diketahui, pengobatan terhadap penyakit primer segera dilakukan.
a. Bila terdapat hipoglikemia, berikan larutan larutan D10% sebanyak 2-4ml/kgBB IV
pelan.
b. Bila terdapat hipokalsemia, berikan Ca Glukonas 10% 2-4 ml/kgBB IV pelan.
c. Bila kejang tidak hilang harus dipikirkan pemberian larutan MgSO4 50% 0,2
ml/KgBB IM atau MgSO4 2-3 % 2-6 ml IV.
28
Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dilakukan bila tidak menemukan kelainan
metabolik, diberikan injeksi Fenobarbital 20mg/kgBBIV pelan. Bila kejang tidak berhenti dalam
waktu 30 menit, berikan ulangan fenobarbital 10mg/kgBB IV atauIM. Dapat diulangi 30 menit
kemudian bila perlu. Dosis maksimal 40 mg/kgBB/hari. Bila kejang masih berlanjut, berikan
fenitoin 20mg/kgBB atau campur dosis fenitoin ke dalam 15 ml garam fisiologis dan diberikan
dengan kecepatan 0,5ml/menit selama 30 menit.
Pengertian Kejang pada bayi baru lahir secara klinis adalah perubahan paroksismal
dari fungsi neurologik ( misalnya perilaku, sensorik,, motorik dan fungsi
otonom system saraf) yang terjadi pada bayi berumur sampai 28 hari.
Kebijakan Kebijakan Direktur RSUD Solok nomor 706/001/ TU-RS/ tahun 2014
tentang Standar Prosedur Operasional Rumah Sakit Umum Daerah Solok
tahun 2014.
29
30 menit, berikan ulangan fenobarbital 10mg/kgBB IV atauIM.
Dapat diulangi 30 menit kemudian bila perlu. Dosis maksimal
40 mg/kgBB/hari. Bila kejang masih berlanjut, berikan fenitoin
20mg/kgBB atau campur dosis fenitoin ke dalam 15 ml garam
fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 0,5ml/menit selama
30 menit.
Unit Terkait Tim Pengumpul data, Panitia Mutu RS dan Evaluasi, Rekam Medik,
Komite Medik
BAB IV
PENUTUP
30
4.1 Kesimpulan
Kejang pada neonatus sering sulit dikenali, langkah pertama jika menghadapi kasus
tersebut adalah memastikan gejala yang tampak kejang atau bukan. Dilanjutkan dengan melihat
riwayat kehamilan, persalinan, faktor risiko, tipe kejang, dan awitan dengan evaluasi diagnostik
dapat ditentukan etiologi. Tata laksana selain bertujuan untuk memberantas kejang juga
mengatasi etiologi. Obat antikonvulsan yang diberikan harus efektif memberantas kejang dengan
mempertimbangkan efek samping obat. Pemeriksaan EEG sangat penting untuk diagnosis,
menilai respon terapi, lama terapi serta menentukan prognosis. Prognosis ditentukan oleh
etiologi, tipe kejang, serta gambaran EEG. Pemahaman yang baik tentang diagnosis dan tata
laksana kejang pada neonatus akan membantu menurunkan mortalitas dan morbiditas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosim, M., Ari, Y., Rizalya, D., Gatot, I. S., Ali, U. 2014. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
31
2. Purbowati Mustika Ratnaningsih, Abdul Khanis. Hubungan Asfiksia Neonatorum Dan
Kejang Neonatorum Di Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr Margono Soekarjo
Purwokerto Periode 2016-2017. SAINTEKS.15.1.2018.
3. Berhman, Kliegman, Arvin. 2007. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volume 2.
Jakarta: EGC.
4. Prambudi, R. 2013. Neonatologi Praktis. Bandar Lampung: Anugrah Utama Raharja.
5. Riset Kesehatan Dasar.2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
6. Antonius H. Pudjiadi.2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia
Edisi II. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
7. Nurmalitasari, Atika. Faktor ibu dan bayi yang berpengaruh terhadap kejadian kejang
pada neonates. Jurnal Media Medika Muda.hal.1.2014.
8. Volpe JJ. Neonatal seizures. Neurology of the newborn. Edisi keempat. Philadelphia: W.B.
Saunders Company; 2000. h. 178-206
9. Heljic S., Uzicanin S., Catibusic dan F Catibusic S. Predictors of Mortality in Neonates
with Seizures; a Prospective Cohort Study. Med Arch. 2016. 70(3), pp. 182-185.
10. Wiadnyana, I., Bikin Suryawan, I., Sucipta, A. 2018. Hubungan antara bayi berat lahir
rendah dengan asfiksia neonatarum di RSUD Wangaya Kota Denpasar. Intisari Sains
Medis 9(2). DOI: 10.15562/ism. v9i2.167.
11. Hahn JS. Olson DM. Etiology of neonatal seizures. Neo Rev 2004; 5:327-35.
12. Domenech-Martinez E, Castro-Conde JR, HerraizCullebras T, Gonzales-Campo C,
Mendez-Perez A. Neonatal convulsions: influence of the electroencephalographic pattern
and the response to treatment on the outcome. Rev Neurol 2003; 37:413-20.
13. Castro Conde JR, Hernandez Borges AA, Domenech Martinez E, Gonzales Campo C,
Perera Soler R. Midazolam in neonatal seizures with no response to phenobarbital.
Neurology 2005; 64:876-9.
14. Boylan GB, Rennie JM, Chorley G, Pressler RM, Fox GF, Farrer K dkk. Second-line
anticonvulsant treatment of neonatal seizures a video-EEG monitoring study. Neurology
2004; 62:486-8.
32