Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

HIPERMETROPIA

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior

Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Supervisor Penguji : dr. Arnila Novitasari Saubig, Sp.M

Residen Pembimbing : dr.Intan Yuliana

Dibacakan oleh : Nida Hanifah

Dibacakan Tanggal : 19 Agustus 2020

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020
2

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat : Hipermetropia

Supervisor Penguji : dr. Arnila Novitasari Saubig, Sp.M

Residen Pembimbing : dr. Intan Yuliana

Dibacakan oleh : Suci Delara

Dibacakan tanggal : 19 Agustus 2020

Diajukan guna memenuhi tugas kepaniteraan senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Semarang, 19 Agustus 2020

Surpivisor Penguji Residen Pembimbing

dr. Arnila Novitasari Saubig, Sp.M dr. Intan Yuliana


3

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. 1

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. 2

DAFTAR ISI.......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 4

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 4

1.2. Tujuan ...................................................................................................... 5

1.3. Manfaat .................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 6

2.1. Media Refraksi...................................................................................... 6

2.2. Fisiologi Penglihatan ............................................................................11

2.3. Definisi Hipermetropia .........................................................................11

2.4. Etiologi Hipermetropia .........................................................................12

2.5. Bentuk Hipermetropia ..........................................................................13

2.6. Derajat Hipermetropia ..........................................................................14

2.7. Manifestasi Klinis ................................................................................14

2.8. Penegakkan Diagnosis ..........................................................................15

2.9. Tatalaksana ..........................................................................................17

BAB III RINGKASAN..........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................22


4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa 43% gangguan


penglihatan disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak dapat diperbaiki (miopia,
hipermetropia, astigmatisma). Sebanyak 19 juta anak di bawah usia 15 tahun
mengalami kebutaan dan 12 juta di antaranya dilaporkan sebagai akibat dari kelainan
refraksi yang tidak diobati. (Karagos, Bayram, & Algun, 2020) Laporan angka
kejadian kelainan refraksi di Indonesia menurut Kemenkes RI (2005) adalah sebesar
22,1%. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah adalah penderita kelainan
refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah, yaitu
12,5% dari angka kejadian. (Suryani, Saleh, Aritonang, & Deneska, 2013)
Tajam penglihatan dipengaruhi oleh refraksi, kejernihan media refrakta dan
saraf. Bila terdapat kelainan/gangguan pada komponen tersebut, akan dapat
mengakibatkan penurunan tajam penglihatan. Kelainan refraksi atau ametropia
merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada
retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan
mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. Pembiasan sinar pada mata ini
ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda
kaca dan panjang bola mata. Pada orang normal susunan pembiasan oleh media
refrakta dan panjangnya bola mata seimbang sehingga setelah melalui media refrakta
dibiaskan tepat di daerah makula lutea pada retina. Kelainan refraksi dikenal dalam
bentuk miopia, hipermetropia, dan astigmatisma. (Ilyas, 2015) (Nurwinda, 2013)
Hipermetropia adalah kelainan refraksi dengan karakteristik ketidakmampuan
mata untuk memfokuskan bayangan benda-benda dekat sekaligus benda-benda jauh.
(Gupta & Krisna, 2020) Epidemiologi hipermetropia sendiri tidak banyak diketahui.
Namun diketahui prevalensi hipermetropia lebih tinggi pada usia dewasa dan
5

meningkat dengan pertambahan usia. Hipermetropia lebih banyak didapatkan pada


masyarakat dengan pendidikan yang lebih rendah. (Suryani, Saleh, Aritonang, &
Deneska, 2013)
Gejala utama hipermetropia adalah pandangan kabur pada penglihatan dekat
dan apabila hipermetropia cukup besar dapat terjadi pandangan kabur pada
penglihatan jauh. Gejala tambahan seperti nyeri kepala daerah frontal, penglihatan tak
nyaman, dan mata lelah juga sering dikeluhkan penderita. Dapat diikuti dengan
sensitvitas cahaya yang meningkat dan spasme akomodasi yang menimbulkan
pseudomiopia. (Suryani, Saleh, Aritonang, & Deneska, 2013) Hipermetropi yang
berat apabila tidak dikoreksi, dapat menimbulkan rasa tidak nyaman dalam
penglihatan, penglihatan kabur, ambliopia, dan disfungsi binokular seperti strabismus
yang menyebabkan gangguan dalam proses pembelajaran. Oleh karena itu penting
bagi seorang dokter umum untuk mengenali manifestasi klinis dari hipermetropia
sehingga dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat.

1.2. Tujuan

Pembuatan referat ini bertujuan untuk mempelajari tentang definisi,


epidemiologi, etiologi, patgofisiologi, manifestasi klinis, penegakan diagnosis serta
penatalaksanaan pada hipermetropia.

1.3. Manfaat

Pembuatan referat ini diharapkan dapat membantu mahasiswa kedokteran untuk


mempelajari lebih dalam mengenai definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penegakan diagnosis, serta penatalaksanaan pada hipermetropia.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Media Refraksi

Refraksi mata adalah perubahan jalannya berkas cahaya yang diakibatkan oleh
media refrakta. Media refrakta mata terdiri dari kornea, aqueous humour, lensa, dan
corpus vitreum. (Basyir S I, 2016)

Gambar 1. Anatomi dasar mata


a. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus,
lekuk melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis. Pada dewasa, kornea
rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi, dan
diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima
lapisan yang berbeda-beda yaitu lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan
epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran descemet, dan
7

lapisan endotel. (Riordan-Eva, Vaughan, & Asbury, 2018) Lapisan epitel mempunyai
lima atau enam lapis sel, endotel hanya satu lapis. Lapisan Bowman merupakan
lapisan jernih aseluler, yang merupakan bagian stroma yang berubah. Stroma kornea
mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea. Bagian ini tersusun dari lamella fibril-
fibril kolagen dengan lebar sekitar 1 μm yang saling menjalin yang hampir mencakup
seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan permukaan kornea dan
karena ukuran dan periodisitasnya secara optik menjadi jernih. Membran Descemet
adalah sebuah membran elastik yang jernih yang tampak amorf pada pemeriksaan
mikroskopi elektron dan merupakan membran basalis dari endotel kornea. Kornea
mata mempunyai kekuatan refraksi sebesar 40 dioptri. (Ilyas, 2015) (Riordan-Eva,
Vaughan, & Asbury, 2018)

Gambar 2. Kornea
b. Aqueous Humour
Humor aqueous diproduksi oleh badan siliaris. Setelah memasuki camera oculi
posterior, humor aqueous melalui pupil dan masuk ke camera oculi anterior dan
kemudian ke perifer menuju ke sudut camera oculi anterior. (Riordan-Eva, Vaughan,
8

& Asbury, 2018) Humor aqueous difiltrasi dari darah, dimodifikasi komposisinya,
baru disekresikan oleh badan siliaris di camera oculi posterior. Humor aqueous
diproduksi dengan kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi kamera okuli anterior
sebanyak 250 μL serta camera oculi posterior sebanyak 60 μL. (Basyir S I, 2016) Humor
aqueous mengalir di sekitar lensa dan melewati pupil ke ruang anterior. Sebagian air
keluar mata melalui lorong-lorong dari trabecular meshwork. Trabecular meshwork
adalah saluran seperti saringan yang mengelilingi tepi luar dari iris dalam sudut ruang
anterior, dibentuk di mana menyisipkan iris ke dalam badan siliaris. Jumlah yang
lebih sedikit masuk ke dalam badan siliaris yang terbuka dan ke iris, di mana ia
akhirnya berdifusi ke dalam pembuluh darah di sekitar bola mata. (Basyir S I, 2016)

Gambar 3. Aliran normal aqueos humor


c. Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa
digantung di belakang iris oleh zonula yang menghubungkannya dengan badan
siliare. Di anterior lensa terdapat humor aqueous, di sebelah posteriornya terdapat
vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membran yang semipermeable (sedikit lebih
9

permeabel daripada dinding kapiler) yang akan memungkinkan air dan elektrolit
masuk. Selapis epitel subskapular terdapat di depan. Nukleus lensa lebih keras
daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel
terus diproduksi, sehingga lensa semakin lama menjadilebih besar dan kurang elastik.
Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae kosentris yang panjang. Garis-garis
persambungan yang terbentuk dengan persambungan lamellae ini ujung-ke-ujung
berbentuk {Y} bila dilihat dengan slitlamp. Bentuk {Y} ini tegak di anterior dan
terbalik di posterior. Masingmasing serat lamellar mengandung sebuah inti gepeng.
Pada pemeriksaan mikroskopik, inti ini jelas dibagian perifer lensa didekat ekuator
dan bersambung dengan lapisan epitel subkapsul. (Riordan-Eva, Vaughan, & Asbury,
2018)

Gambar 4. Anatomi lensa


Lensa difiksasi ditempatnya oleh ligamentum yang dikenal sebagai zonula
(zonula Zinnii), yang tersusun dari banyak fibril dari permukaan badan siliaris dan
menyisip kedalam ekuator lensa. Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar
35% protein (kandungan protein tertinggi diantara jaringan-jaringan tubuh), dan
10

sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium
lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam askorbat dan
glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri,
pembuluh darah atau saraf di lensa.5 Lensa memiliki kekuatan refraksi 15-10D.
(Basyir S I, 2016) (Riordan-Eva, Vaughan, & Asbury, 2018)
d. Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk
dua pertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh
lensa, retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus membran hialois-normalnya
berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsula lensa posterior, serat-serat
zonula, pars plana lapisan epitel, optici. Basis vitreus retina dan caput nervi
mempertahankan penempelan yang kuat sepanjang hidup ke lapisan epitel pars plana
dan retina tepat di belakang ora serrata. Perlekatan ke kapsul lensa dan nervus optikus
kuat pada awal kehidupan tetapi segera hilang. Vitreus berisi air sekitar 99%. Sisanya
1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberikan bentuk
dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air.
(Basyir S I, 2016)

Gambar 5. Vitreous
11

2.2. Fisiologi Penglihatan

Mata dapat dianggap sebagai kamera, dimana sistem refraksinya menghasilkan


bayangan kecil dan terbalik di retina. Rangsangan ini diterima oleh sel batang dan kerucut di
retina, yang diteruskan melalui saraf optik (N II), ke korteks serebri pusat penglihatan.
Supaya bayangan tidak kabur, kelebihan cahaya diserap oleh lapisan epitel pigmen di retina.
Bila intensitas cahaya terlalu tinggi maka pupil akan mengecil untuk menguranginya. Daya
refraksi kornea hamper sama dengan humor aqueous, sedang daya refraksi lensa hampir sama
pula dengan badan kaca. Keseluruhan sistem refraksi mata ini membentuk lensa yang
cembung dengan fokus 23 mm. Dengan demikian, pada mata yang emetrop dan dalam
keadaan mata istirahat, sinar yang sejajar yang datang di mata akan dibiaskan tepat di fovea
sentralis dari retina. Fovea sentralis merupakan posterior principal focus dari sistem refraksi
mata ini, dimana cahaya yang datang sejajar, setelah melalui sitem refraksi ini bertemu.
Letaknya 23 mm di belakang kornea, tepat dibagian dalam macula lutea. (Basyir S I, 2016)
Mata mempunyai kemampuan untuk memfokuskan benda dekat melalui proses yang
disebut akomodasi. Penelitian tentang bayangan Purkinje, yang merupakan pencerminan dari
berbagai permukaan optis di mata, telah memperlihatkan bahwa akomodasi terjadi akibat
perubahan di lensa kristalina. Kontraksi otot siliaris menyebabkan penebalan dan peningkatan
kelengkungan lensa, mungkin akibat relaksasi kapsul lensa. (Basyir S I, 2016)

2.3. Definisi Hipermetropia

Hipermetropia adalah kelainan refraksi dengan karakteristik ketidakmampuan


mata untuk memfokuskan bayangan benda-benda dekat sekaligus benda-benda jauh.
(Gupta & Krisna, 2020) Hipermetropia juga lebih dikenal sebagai "rabun dekat" atau
hiperopia, yaitu kondisi mata di mana daya pembiasan mata menyebabkan sinar
cahaya yang masuk ke mata memiliki titik fokus yang berada di posterior retina saat
mata dalam keadaan istirahat tanpa akomodasi. Ketajaman visual lebih baik pada
jarak jauh (misalnya 6 meter) daripada pada jarak dekat (misalnya 0,33 meter). Pada
hipermetropia, perubahan indeks bias terjadi di korteks lensa selama usia presbiopik.
(Siddique, Abid, & Ali, 2018) (Suryani, Saleh, Aritonang, & Deneska, 2013)
12

2.4. Etiologi Hipermetropia

Terdapat beberapa hal yang mendasari terjadinya hipermetropia, yaitu:


1. Hipermetropia aksial, yaitu sumbu aksial bola mata yang lebih pendek dari
normal. Pada keadaan ini, karena panjang bola matalebih pendek dari mata
normal, maka sinar yang masuk akan jatuh di titik focus di belakang retina.
Perbedaan pangjang bola mata sebesar 1mm akan menyebabkan perbedaan
sekitar 3 dioptri pada kekuatan refraksi. Umumnya perbedaan panjang
sumbu bola mata tidak lebih dari 2 mm, sehingga hipermetropia yang umum
terjadi juga kurang dari 6 dioptri. Jika lebih dari itu, kemungkinan terdapat
keadaan patologis lain.
2. Hipermetropia kurvantura, yaitu radius kurvantura kornea dan lensa yang
lebih kecil dari normal. Keadaan ini menyebabkan kemampuan mata untuk
memfokuskan sinar yang masuk mejadi berkurang sehingga sinar yang
masuk akan jatuh di titik focus di belakang retina. Setiap penurunan radius
kurvantura sebesar 1 mm menyebabkan hipermetropia sebesar 6 dioptri.
3. Perubahan posisi lensa. Jika posisi lensa berubah lebih ke balakang, maka
sinar yang masuk akan jatuh di satu titik di belakang retina. Hal ini
seringkali terjadi pada keadaan luksasi lensa ke posterior pada kasus trauma
atau afakia paska operasi katarak.
4. Perubahan indeks bias refraksi. Keadaan ini biasanya didapatkan pada
penderita usia tua, dimana terjadi kekeruhan dan perubahan konsistensi dari
korteks dan nucleus lensa sehingga indeks bias menjadi bertambah dan sinar
yang masuk akan dibiaskan di titik focus di belakang retina. Namun pada
keadaan dimana sklerotik nucleus yang umumnya terjadi di awal
perkembangan katarak, yang terjadi adalah sebaliknya perubakan kea rah
myopia. Perubahan indeks bias juga dapat terjadi pada penderita dengan
diabetes mellitus yang dalam pengobatan. Sehingga tidak dianjurkan untuk
mengganti kacamata jika kadar gula darah belum terkontrol.
13

5. Tidak adanya lensa, baik dikarenakan kongenital ataupun setelah operasi


dapat menyebabkan afakia yang menimbulkan hipermetropia berat. (Suryani,
Saleh, Aritonang, & Deneska, 2013) (Khurana, 2015) (AIMU, 2017)

2.5. Bentuk Hipermetropia

Hipermetropia dapat digolongkan menjadi 2 berdasarkan kemampuan


akomodasi yaitu hipermetropia laten dan manifes. Penjumlahan dari keduanya
disebut sebagai hipermetropia total. Hipermetropia total hanya dapat muncul dengan
pemberian sikloplegik komplit dengan atropin.
1. Hipermetropia latent
Hipermetropia laten hanya dapat dideteksi dengan sikloplegik karena dapat
disamarkan oleh akomodasi. Kondisi ini berhubungan dengan tonus otot siliaris
dan terdapat pada semua mata hipermetropia tanpa dirasakan oleh penderita.
Besarnya antara +0.50 hingga +1.00 D dan berkurang sesuai usia. Besarnya
didapatkan dengan mengurangi hipermetropia total dengan hipermetropia manifes.
2. Hipermetropia manifes
Hipermetorpia manifest dapat dideteksi tanpa sikloplegik dengan memfiksasi
pasien pada objek yang jauh. Hipermetropia manifes merupakan penjumlahan dari
hipermetropia absolut dan fakultatif. Pada kondisi ini sebagian akan terkoreksi
oleh kemampuan akomodasi dan sisanya oleh lensa sferis positif. Kondisi ini
dibedakan menjadi 2:
 Hipermetropia fakultatif
Kondisi ini dapat dikoreksi oleh efek akomodasi. Penderita memiliki
penglihatan jauh 6/6 dan tetap 6/6 dengan menambahkan lensa sferis positif
hingga penglihatan mulai berkurang.
 Hipermetropia absolut
14

Kondisi ini tidak dapat dikoreksi dengan daya akomodasi dimana penglihatan
jauh penderita sudah berkurang. Hampir semua hipermetropia fakultatif akan
menjadi hipermetropia absolut setelah usia 60 tahun.
Jadi, secara singkat: Total Hipermetropia = Hipermetropia latent + Hipermetropia
manifest (fakultatif + absolut). (Ilyas, 2015) (Khurana, 2015)

2.6. Derajat Hipermetropia

American Optometric Association (AOA) telah mendefinisikan 3 derajat


hipermetropia seperti di bawah ini:
a. Hipermetropia ringan, ketika kesalahan < +2D
b. Hipermetropia sedang, ketika kesalahan antara +2D hingga +5D
c. Hipermetropia berat, ketika kesalahan > +5D. (Moore, Augsburger, Ciner, Cockrell, Fern, &

Harb, 2008)

2.7. Manifestasi Klinis

Keterkaitan antara struktur dan fungsi pada sistem pengelihatan menjadi dasar
dari banyak tanda dan gejala yang dialami pada hipermetropia. Pada usia muda secara
umum hipermetropia memiliki akomodasi yang cukup untuk mempertahankan
gambaran yang jelas tanpa menghasilkan astenopia. Ketika tingkat hipermetropia
terlalu besar atau daya akomodasi tidak cukup karena usia ataupun kelelahan, maka
akan menyebabkan pengelihatan kabur dan astenopia. Diantara tanda dan gejala
hipermetropia adalah mata merah atau berair, kesulitan saat membaca, kelelahan mata
atau astenopia, pengelihatan kabur, sering berkedip, susah untuk fokus, penurunan
pengelihatan binokular, dan penurunan koordinasi antara tangan dan mata. (AIMU, 2017)

(Moore, Augsburger, Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)


Komplikasi utama hipermetropia sedang atau berat pada anak-anak adalah
ambliopia dan strabismus. Anak-anak yang memiliki hipermetropia yang signifikan
selama masa bayi jauh lebih mungkin mengalami amblyopia dan strabismus pada
15

usia 4 tahun. Mayoritas pasien dengan esotropia onset dini adalah pasien
hipermetropik, sehingga deteksi dan pengobatan dini hipermetropia dapat mengurangi
insidensi dan keparahan komplikasi ini. (Moore, Augsburger, Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)

2.8. Penegakkan Diagnosis

a. Riwayat Pasien
Komponen utama dari riwayat pasien adalah keluhan utama, okular, dan
riwayat kesehatan, perkembangan, riwayat keluarga, penggunaan obat-obatan dan
alergi obat-obatan. Anak-anak dapat dicurigai memiliki gangguan pengelihatan jika
mata merah, iritasi mata, mati berair, pengelihatan tidak jelas dan tidak nyamannya
pengelihatan. Pada dewasa dengan hipermetropia sedang terjadi gangguan
pengelihatan setelah setelah menggunakan mata dalam penerangan yang kurang.
Mayoritas pasien mengeluhkan kesulitan untuk melihat dekat, meskipun kaburnya
pengelihatan jarak dekat dan ketidaknyamanan pengelihatan adalah keluhan yang
paling sering, tetapi tidak ada tanda patognomonik dari hipermetropia. Riwayat
keluarga dengan positif hipermetropia, ambliopia, atau strabismus dapat
meningkatkan kemungkinan pasien mengelami masalah yang serupa. (Moore, Augsburger,

Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)

b. Pemeriksaan Mata
1) Pemeriksaan Visus
Efek dari hipermetropia pada ketajaman visual tergantung pada beratnya
hipermetropia, usia pasien, dan daya akomodasi. Pasien usia muda dengan
hipermetropia fakultatif ringan sampai sedang umumnya memiliki ketajaman
visual yang normal, tetapi kebutuhan visual yang berat, mereka mungkin
mengalami pengelihatan kabur dan astenopia. Pemeriksaan visus dapat
dilakukan dengan menggunakan snellen’s chart pada jarak 6 meter.
2) Pemeriksaan Refraksi
16

Retinoskopi adalah prosedur yang paling banyak digunakan untuk tujuan


pengukuran hipermetropia.
• Retinoskopi statis
Pemeriksaan ini menghasilkan ukuran hipermetropia nyata yang akurat,
namun fiksasi dan relaksasi akomodasi pasien yang stabil penting untuk
mendapatkan hasil yang akurat.
• Retinoskopi nearpoint
Pemeriksaan ini bermanfaat sebagai pemeriksaan alternatif bagi anak-
anak yang tidak bisa dilakukan retinoskopi statis karena perhatian anak
hanya fokus pada satu sumber cahaya dari retinoskopi. Kesalahan refraksi
dapat dihitung dengan hasil temua dengan 1,25D
• Retinoskopi siklopegik
Prosedur ini mengukur total hipermetropia, termasuk komponen laten.
Penggunaan siklopegia penting dalam menilai kesalahan refraksi
hipermetropia pada anak-anak.
• Refraksi Subjektif
Pemeriksaan ini lebih dipilih untuk menentukan koreksi refraksi yang
akan diresepkan, terutama untuk pasien dewasa karena didasarkan pada
kondisi nyata pasien itu sendiri.
• Autorefraksi
Dapat digunakan sebagai alternatif retinoskopi statis, autorefraksi dapat
menghasilkan hasil yang dapat diikuti, tetapi reliabilitas dan validitas
prosedurnya lebih rendah dibandingkan refraksi subjektif.
3) Motilitas okular, Pengelihatan binokular, dan Akomodasi
Seiring dengan penilaian keselahan refraksi, pasien dengan hipermetropia
juga harus dievaluasi motilitas okuler, pengelihatan binokular, dan
akomodasi. Kelainan dari salah satu fungsi visual ini dapat menyebabkan
penurunan kinerja dan ketajaman pengelihatan. Pemeriksaan yang dapat
17

dilakukan seperti tes versions, tes cover, tes konvergensi, tes akomodasi, dan
tes stereoskopi.
4) Penilaian kesehatan mata dan pemeriksaan kesehatan tubuh
Dokter harus menilai kesehatan mata untuk menyingkirkan ataupun
mendiagnosis penyakit apapun yang dapat menyebabkan hipermetropia.
Pemeriksaan dapat berupa respons pupil, lapangan pandang, tes buta warna,
pemeriksaan tekanan intra-okular bila sesuai usia dan riwayat, penilaian
segmen anterior dan posterior. (Moore, Augsburger, Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)

(Riordan-Eva, Vaughan, & Asbury, 2018)

2.9. Tatalaksana

a. Dasar Penatalaksanaan
Hipermetropi yang berat apabila tidak dikoreksi, dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman dalam penglihatan, penglihatan kabur, ambliopia, dan disfungsi binokular
seperti strabismus yang menyebabkan gangguan dalam proses pembelajaran.
Penatalaksanaan harus diinisiasi terhadap kedua mata untuk mengurangi keluhan dan
risiko masalah penglihatan di masa depan akibat hipermetropia. Faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam merencanakan tatalaksana antara lain besarnya
hipermetropia, adanya astigmatisme atau anisometropia, usia pasien, adanya esotropia
dan atau ambiopia, status akomodasi dan gejala pada pasien.
b. Pilihan Terapi yang Tersedia
Diantara beberapa terapi yang tersedia untuk gejala yang berhubungan dengan
hipermetropia, koreksi optik untuk kesalahan refraksi dan lensa kontak adalah alat
yang paling umm digunakan. Tanggung jawab dokter mata adalah untuk menasihati
pasien dan memberi saran mengenai pilihan pasien dalam memilih kacamata atau
lensa kontak mana yang sesuai. Terapi penglihatan dan modifikasi kebiasaan dan
lingkungan pasien dapat menjadi hal penting untuk mencapai perbaikan gejala dalam
18

waktu yang cukup panjang. Medikamentosa atau pembedahan refraktif mungkin juga
berguna dalam terapi pasien
1. Koreksi Optik
Modalitas utama untuk mengobati hipermetropia yang signifikan adalah koreksi
dengan kacamata. Lensa spherical atau spherocylindrical berkekuatan plus
diresepkan untuk menggeser fokus cahaya dari belakang mata ke titik di retina.
(Moore, Augsburger, Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)

2. Terapi Pengelihatan
Terapi penglihatan dapat efektif dalam pengobatan disfungsi akomodatif dan
binokular yang dihasilkan dari hipermetropia. Respons akomodatif pada orang
dengan hipermetropia sering tidak menanggapi koreksi lensa saja, dan terapi
penglihatan mungkin diperlukan untuk memulihkan disfungsi akomodatif.
Esotropia akomodatif yang disebabkan oleh hiperometropia sedang-berat dapat
mengurangi pengelihatan binokular, yang dapat ditingkatkan dengan memakai
koreksi lensa yang ditentukan dan terapi penglihatan. (Moore, Augsburger,
Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)
3. Medikamentosa
19

Miosis dapat diindikasikan untuk pasien tertentu yang tidak dapat mentolerir
memakai kacamata. Agen antikolinesterase seperti diisopropylfluorophosphate
(DFP) dan echothiophate iodide (Phospholine Iodide, PI) telah digunakan pada
beberapa pasien dengan esotropia akomodatif dan hipermetropia untuk
mengurangi rasio accommodative convergence-to-accomodation (AC / A) dan
meningkatkan alignment mata. Obat ini memberik efek akomodatif dari lensa
plus tanpa menggunakan kacamata atau lensa kontak. (Moore, Augsburger,
Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)
4. Modifikasi Kebiasaan dan Lingkungan Pasien
Pengurangan visual demand tidak akan menyembuhkan kondisi hipermetropia,
tetapi dapat mengurangi gejala, bahkan pada pasien dengan koreksi optik.
Dengan demikian, modifikasi kebiasaan pasien dan lingkungan terkadang
berguna sebagai terapi tambahan. Modifikasi yang dapat dilakukan seperti
melihat pada kondisi cahaya yang cukup, memastikan kebersihan mata, dan
menjaga jarak saat menggunakan komputer. (Moore, Augsburger, Ciner,
Cockrell, Fern, & Harb, 2008)
5. Bedah Refrakti
Beberapa teknik terapi bedah untuk memperbaiki hipermetropia masih dalam
pengembangan. Diantara prosedur yang dapat digunakan dalam terapi
hipermetropia antara lain adalah Holmium: YAG laser termal keratiplasty,
automated lamellar keratoplasty, spiral hexagonal keratotomy, excimer laser,
dan ekstraksi lensa dengan implantasi lensa intraokular. (Moore, Augsburger,
Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)
c. Edukasi Pasien
Edukasi dan promosi kesehatan pada pasien gangguan refraksi penting untuk
mencegah komplikasi. Dokter harus mengedukasi pasien, dan orang tua dari anak-
anak dengan hipermetropia mulai dari diagnosis, tanda, gejala, perjalanan klinis dan
pilihan tatalaksananya. Kondisi hipermetropia ini berdampak pada kualitas
pengelihatan dan kenyamanan pengelihatan pasien. Pasien juga harus diedukasi
20

tentang kebiasaan pribadi yang dapat memengaruhi pengelihatan mereka. (Moore,

Augsburger, Ciner, Cockrell, Fern, & Harb, 2008)


21

BAB III

RINGKASAN

1. Hipermetropia adalah kondisi mata di mana daya pembiasan mata


menyebabkan sinar cahaya yang masuk ke mata memiliki titik fokus yang
berada di posterior retina saat mata dalam keadaan istirahat tanpa akomodasi
2. Penderita hipermetropia dapat mengalami pandangan kabur baik dekat
maupun jauh karena mata tidak mampu memfokuskan bayangan benda-benda
dekat sekaligus benda-benda jauh
3. Gejala utama hipermetropia adalah pandangan tidak jelas, mata mudah lelah,
disertai nyeri kepala frontal atau frontotemporal
4. Diagnosis penyakit mata kering dapat ditegakkan dengan kombinasi gejala,
penurunan visus, dan pengukuran hipermetropia dengan retinoskopi. Seiring
dengan penilaian keselahan refraksi, pasien dengan hipermetropia juga harus
dievaluasi motilitas okuler, pengelihatan binokular, dan akomodasi.
5. Pilihan terapi yang tersedia diantaranya koreksi optic dengan kacamata
berkekuatan plus, terapi penglihatan dalam pengobatan disfunfsi akomodatif
dan binocular, medikamentosa bagi pasien tertentu yang tidak dapat
mentolerir pemakaian kacamata, modifikasi kebiasaan dan lingkungan pasien
dengan pengurangan visual demand, dan bedah refraksi.
6. Edukasi dan promosi kesehatan pada pasien gangguan refraksi penting
untuk mencegah komplikasi.
22

DAFTAR PUSTAKA

1. AIMU. (2017, December 17). Hypermetropia: Symptoms, Causes, Diagnosis,


management, and Ccomplications. Retrieved Agustus 15, 2020, from
International American Medical University:
https://www.aimu.us/2017/12/05/hypermetropia-symptoms-causes-diagnosis-
management-and-complications/

2. Basyir S I, A. P. (2016). Perbedaan Pengelihatan Stereoskopis Pada


Penderita Anisometropia Ringan-Sedang dan Berat. Semarang: Universitas
Diponegoro.

3. Gupta, A., & Krisna, V. (2020). Contemporary prespective ophthalmology


10th edition. Haryana, India: Elsevier.

4. Ilyas, H. (2015). Ilmu Kesehatan Mata. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Karagos, I., Bayram, G., & Algun, Z. (2020). Investigation of The Effect of
Different Eye Exercises on Hypermetropia in School-Aged Children: A
Randomized Single-Blind Trial. 25.

6. Khurana, A. (2015). Errors of Refraction and Accommodation. In A.


Khurana, Comprehensive Ophthalmology (pp. 34-58). Jaypee Brothers
Medical Publishers.

7. Moore, B., Augsburger, A., Ciner, E., Cockrell, D., Fern, K., & Harb, E.
(2008). Optometric Clinical Practice Guideline: Care of The Patient with
Hyperopia. American Ophthalmology Association.

8. Nurwinda, S. S. (2013). Hubungan Antara Ketaatan Berkacamata Dengan


Progresivitas Derajat Miopia Pada Mahasiswa FK Universitas Islam
Indonesia. 5.

9. Riordan-Eva, P., Vaughan, D., & Asbury, T. (2018). Vaughan & Asbury’s
General Ophthalmology 19th ed. McGraw Hill Education.
23

10. Siddique, U., Abid, F., & Ali, S. N. (2018). Prevalence of Hypermetropia in
Presbyopic age of 40-60 Years. 16(Ophthalmology Update).

11. Suryani, P. T., Saleh, T. T., Aritonang, C., & Deneska, R. S. (2013). Refraksi.
In S. Budiono, T. T. Saleh, Moestidjab, & Eddyanto, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata. Surabaya: Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai