Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

KELAINAN REFRAKSI

Pembimbing
Dr. dr. Arti Lukitasari, Sp.M

Disusun Oleh :
Reka Vikaria Anggrelia
202010401011085
I34

SMF ILMU KESEHATAN MATA


RS BHAYANGKARA KEDIRI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2020

1
REFERAT

LEMBAR PENGESAHAN

KELAINAN REFRAKSI

Disusun Oleh :

Reka Vikaria Anggrelia

202010401011085

I34

Hari, Tanggal : September, 2020

Mengetahui dan menyetujui untuk dilakukan presentasi

Pembimbing

Dr. dr. Arti Lukitasari, Sp.M

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat

dan hidayah-Nya, penulisan referat stase Mata ini dapat diselesaikan dengan baik.

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW,

keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.

Referat yang akan disampaikan dalam penulisan ini mengenai “Kelainan

Refraksi”. Penulisan referat ini diajukan untuk memenuhi tugas individu stase

Mata.

Dengan terselesaikannya referat ini kami ucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Dr. dr. Arti Lukitasari, Sp.M selaku pembimbing kami,

yang telah membimbing dan menuntun kami dalam pembuatan referat ini.

Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh

karena itu kami tetap membuka diri untuk kritik dan saran yang membangun.

Akhirnya, semoga referat ini dapat bermanfaat.

Kediri, September 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................4

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................7

2.1 Anatomi Media Refraksi......................................................................................7

2.2 Proses Refraksi Mata............................................................................................10

2.3 Kelainan Refraksi.................................................................................................15

2.3.1 Miopia...............................................................................................................16

2.3.2 Hipermetropia...................................................................................................24

2.3.3 Astigmatisme.....................................................................................................29

2.3.4 Presbiopi............................................................................................................

BAB 3 PENUTUP......................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................38

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan penglihatan sampai hari ini masih menjadi masalah yang serius di
dunia. WHO (World Health Organization) memperkirakan secara global bahwa
sebanyak lebih dari 285 juta orang di dunia mengalami gangguan pada
penglihatannya, dan 42% di antaranya disebabkan oleh kesalahan refraksi yang
tidak dikoreksi (Holden et al., 2017).
Salah satu macam dari kelainan refraksi yang sering terjadi adalah miopia
(Foster dan Jiang, 2014) dan miopia yang tidak terkoreksi merupakan penyebab
utama gangguan penglihatan (Holden et al., 2017), serta dapat terjadi pada anak-
anak, remaja maupun orang dewasa. Pada penelitian lain juga menyebutkan
bahwa miopia yang berkembang pada masa anak-anak dan remaja (usia < 20
tahun) dapat mengakibatkan keparahan miopia di masa dewasa (Wu et al., 2016).
Menurut penelitian Donovan et al (2013), progresivitas miopia pada anak-anak
Asia lebih cepat dibanding anak-anak negara barat (Donovan et al., 2013). Dalam
kelompok etnis tertentu seperti Jepang, atau wilayah tertentu di Asia, misalnya
etnis Cina di Singapura jika dibandingkan dengan orang berkulit putih yang hidup
di Negara-negara barat ternyata masih memiliki prevalensi miopia yang tinggi
(Pan, Dirani dan Cheng, 2015).
Prevalensi kelainan refraksi di Indonesia mencapai 22,1 % dari total
populasi dan 15 % nya diderita oleh anak usia sekolah (Kemenkes RI, 2012).
Menurut laporan riskesdes tahun 2007 dan 2013, propinsi DIY yang
menggunakan kacamata/lensa kontak adalah 6,3% dan 9,2%. Angka tersebut jauh
berada di atas proporsi nasional sebesar 4,6% pada tahun 2013. Menurut Murthy
(2000), kelainan refraksi myopia sudah mulai muncul pada kelompok umur 6-11
tahun dan akan terus berkembang serta menetap pada kelompok umur >12 tahun.
Kelainan refraksi dapat dicegah sejak dini dengan dilakukan skrining
gangguan penglihatan menggunakan kartu snellen (Snellen Chart/ E Chart) yang
berisikan huruf dan angka yang memilik ukuran dari besar ke kecil di tempatkan
pada jarak 6 meter dari orang yang akan dilakukan skrining dengan pencahayaan
yang cukup tetapi tidak menyilaukan (Fauzi,2016).

5
Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar
pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi
dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada
satu titik yang fokus.

1.1 Tujuan Penulisan


Referat ini bertujuan untuk mengetahui tentang kelainan refraksi yang
meliputi definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, gejala klinis, pemeriksaan
penunjang, diagnosis, diagnosis banding, terapi, komplikasi, dan prognosisnya
1.2 Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai penyakit mata khususnya kelainan
refraksi.
2. Sebagai bahan pembelajaran untuk memenuhi salah satu persyaratan
mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik bagi Dokter Muda Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.di SMF Mata RS
Bhayangkara Kediri.

6
BAB 2
TINJAUN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata


Mata adalah organ indra penglihatan yang memiliki reseptor peka cahaya
yang disebut fotoreseptor. Setiap mata mempunyai lapisan reseptor sistem lensa,
dan sistem saraf, indra penglihatan yang terletak pada mata (organ visus) yang
terdiri dari organ okuli assoria (alat bantu mata) dan okulus (bola mata) indra
penglihatan, saraf optikus, muncul dari sel-sel ganglion dalam retina, bergabung
untuk membentuk saraf optikus. Berikut adalah bagian mata yang memegang
peranan penglihatan pada mata:

1. Kornea
Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk dan
difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dan sifatnya yang
transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang
masuk 80% atau dengan kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh
kornea ini. Indeks bias kornea adalah 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai
kekuatan yang berkuatan sebagai lensa hingga 40,0 dioptri.

2. Iris

Iris atau selaput pelangi merupakan bagian yang berwarna pada mata. Iris
menghalangi sinar masuk ke dalam mata dengan cara mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam pupil melalui besarnya pupil.

3. Pupil

Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar
masuk ke dalam bola mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil diserap
sempurna oleh jaringan dalam mata. Tidak ada sinar yang keluar melalui pupil
sehingga pupil akan berwarna hitam. Ukuran pupil dapat mengatur refleks
mengecil atau membesarkan untuk jumlah masuknya sinar. Pengaturan jumlah
sinar masuk ke dalam pupil diatur secara refleks. Pada penerangan yang cerah
pupil akan mengecil untuk mengurangi rasa silau. Pada tepi pupil terdapat

7
m.sfingter pupil yang bila berkontraksi akan mengakibatkan mengecilnya
pupil (miosis). Hal ini terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau dan pada
saat berakomodasi. Selain itu, secara radier terdapat m.dilator pupil yang bila
berkontraksi akan mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis). Midirasis
terjadi ketika berada di tempat gelap atau pada waktu melihat jauh.

4. Badan siliar
Badan siliaris adalah suatu penebalan dibagian anterior lapisan
koroid, yang mengandung pembuluh darah dan otot siliaris. Otot melekat
pada ligamen suspensorik (tempat perlekatan lensa). Otot ini penting dalam
akomodasi penglihatan, atau kemampuan untuk mengubah focus dari objek
berjarak jauh ke objek berjarak dekat di depan mata. Badan siliaris juga
menghasilkan humor aqueous.
5. Lensa
Fungsi utama lensa adalah memfokuskan berkas cahaya ke retina. Untuk
memfokuskan cahaya yang datang dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
menegangkan serat zonula dan memperkecil diameter anteroposterior lensa
sampai ukurannya yang terkecil, daya refraksi lensa diperkecil sehingga
berkas cahaya paralel atau terfokus ke retina.

6. Retina
Retina atau bisa disebut juga tunika nervosa merupakan lapisan yang melapisi
¾ posterior bola mata dan merupakan awal jalur penglihatan. Pada
pemeriksaan menggunakan oftalmoskop retina dapat dilhiat melalui pupil
dimana akan tampak bagian anterior mata yang berisi pembuluh darah, diskus
optikus dan nervus optikus.

7. Saraf optik
Saraf optik yang keluar dari polus posterior bola mata membawa 2 jenis serabut
saraf, yaitu: saraf penglihatan dan serabut pupilomotor. Saraf penglihatan
meneruskan rangsangan listrik dari mata ke korteks visual untuk dikenali
bayangannya. Saraf penglihatan adalah saraf optikus yang merupakan saraf
kranialis ke2. Serabut –serabut N. II adalah akson akson sel di lapisi ganglionik
retina. Serabut tersebut berkonvergensi pada discus opticus dan keluar dari mata,

8
pusatnya sekitar 3 atau 4 mm dari sisi nasal sebagai N II. Serabut-serabut N II
bermielin, namun selubungnya dibentuk oleh sel oligodendrosit bukna sel
schwann. Oleh karena itu N II disamakan dengan traktus saraf disusun saraf pusat.
Saraf otak II meninggalkan rongga oerbita melalui cnalis opticus dan bergabung
dengan nervus opticus sisi kontralateral untuk membentuk chiasma opticus.

Gambar 2.1
Anatomi Dasar Mata

2.2 Proses Refraksi Mata


Cahaya yang masuk melalui kornea diteruskan ke pupil yang lebarnya diatur
oleh iris. Setelah malalui pupil, maka cahaya dibiaskan oleh lensa. Selanjutnya
lensa berakomodasi untuk memfokuskan cahaya keretina melalui badan viterus.
Bayangan atau cahaya yang tertangkap oleh retina adalah terbalik, nyata,
diperkecil, kemudian oleh sel-sel batang dan sel-sel kerucut meneruskan sinyal
cahaya melalui saraf optik. Saraf optik atau dikenal juga dengan nervus optikus
kemudian meneruskan sinyal yang diperolah menuju ke hipofisa posterior melalui
serangkaian proses yang panjang. Setelah sampai di hipofisa tersebut, akhirnya
sinyal yang berupa bayangan seperti yang telihat di retina dibalikkan sehingga
objek yang terlihat sesuai dengan aslinya. Pada lobus oksipital dikenal daerah-

9
daerah fungsional seperti korteks area penglihatan primer (area 17) dan korteks
area asosiasi penglihatan (area 18 dan 19).
Proses visual mata dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina
dan menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi
maksimal, pupil dapat dilalui cahaya sebanyak lima kali lebih banyak
dibandingkan ketika sedang kontraksi maksimal. Diameter pupil ini sendiri diatur
oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri dari
otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epithelial kontraktil
yang telah termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoephitelial cells.
Retina memiliki dua komponen utama yakni pigmented retina dan sensory
retina. Pada pigmented retina, terdapat selapis sel-sel yang berisi pigmen melanin
yang bersama-sama dengan pigmen pada choroid membentuk suatu matriks hitam
yang mempertajam penglihatan dengan mengurangi penyebaran cahaya dan
mengisoloasi fotoreseptor-fotoreseptor yang ada. Pada sensory retina, terdapat
tiga lapis neuron yaitu lapisan fotoreseptor, bipolar dan ganglionic. Badan sel dari
setiap neuron ini dipisahkan oleh plexiform layer dimana neuron dari berbagai
lapisan bersatu. Lapisan pleksiformis luar berada diantara lapisan sel bipolar dan
ganglionic sedangkan lapisan pleksiformis dalam terletak diantara lapisan sel
bipolar dan ganglionic.
Impuls cahaya di ubah menjadi impuls listrik di retina, energi listrik ini
merangsang saraf-saraf yang terdapat tepat dibelakang sel retina. Dengan
demikian bayangan yang ketika mengenai mata berwujud seperti foton cahya ini
meneruskan perjalanannya dalam bentuk sinyal listrik. Sinyal ini berisi listrik
yang dihasilkan dalam retina harus diteruskan dalam pusat penglihatan di otak.
Namun sel-sel saraf tidak berhubungan langsung satu sama lain melainkan ada
celah kecil yang memisah titik-titik sambungan meraka lalu bagaimana sinyal
listrik ini melanjutkan perjalanan disini serangkaian mekanisme rumit terjadi
energi listrik diubah menjadi energi kimia tanpa kehilangan informasi yang
sedang dibawa dengan cara ini informasi diteruskan dari satu sel saraf ke sel saraf
berikutnya. Molekul kimia pengangkut ini yang terletak pada titik sambungan sel-
sel saraf berhasil membawa informasi yang datang dari mata menuju ke satu saraf
dengan saraf yang lain.

10
Ketika dipindahkan ke saraf berikutnya sinyal ini diubah lagi menjadi
sinyal listrik dan melanjutkan perjalanannya ke tempat titik sambungan lainnya
dengan cara ini sinyal berhasil mencapai pusat penglihatan pada otak, di sini
sinyal tersebut dibandingkan informasi yang ada di pusat memori dan bayangan
tersebut ditafsirkan akhirnya kita dapat melihat benda sebagaimana kita saksikan
sebelumnya karena adanya sistem sempurna yang terdiri atas ratusan komponen
kecil ini dan semua rentetan peristiwa ini berjalan dalam waktu kurang dari 1
detik. Secara singkat mekanisme melihat adalah :
1. Cahaya masuk ke dalam mata melalui pupil
2. Lensa mata kemudian memfokuskan cahaya sehingga bayangan benda
yang dimaksud jatuh tepat di retina mata
3. Kemudian ujung saraf penglihatan di retina menyampaikan bayangan
benda tersebut ke otak pada lobus oksipital pada area penglihatan.
Otak kemudian memproses bayangan benda tersebut sehingga kita dapat melihat
benda tersebut.

2.1 Kelainan Refraksi


Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina. Secara umum, terjadi ketidak seimbangan sistem penglihatan pada mata
sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada
retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada satu

11
titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan
kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata
(Morosidi, 2011).
Kelainan refraksi merupakan suatu kondisi yang memerlukan perhatian
khusus terutama pada anak-anak usia sekolah. Apabila masa-masa ini kelainan
refraksi tidak dilakukan koreksi maka dapat menganggu proses belajar mengajar
pada anak dan lebih jauh lagi dapat menyebabkan ambliopia. Angka kejadian
kelainan refraksi cukup tinggi, didunia kelainan refrakasi merupakan penyebab
utama kebutaan ketiga yaitu 0,14%setelah katrak (0,78%) dan glaukoma (0,20%).
Sekitar 80% anak berusia 2-6 tahun memiliki mata hipermetropik, 5% miopi dan
15 % emetrop, sedangkan prevalensi ambliopia adalah 0,5 % dari seluruh kelainan
mata pada anak (WHO,2011).
Hasil pembiasan sinar pada mata dipengaruhi oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata), lensa, badan vitreous (badan
kaca), dan panjangnya bola mata. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh
media penglihatan dan panjang bola mata sedemikian seimbang sehingga
bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah
makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan
menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak
melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar


pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi
dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik
yang fokus. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada
mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Kelainan refraksi dikenal
dalam bentuk miopia, hipermetropia, astigmat, dan presbiopia.

Kelainan refraksi ditandai dengan mengedip yang kurang dibanding mata


normal. Normalnya, seseorang akan mengedip 4-6 kali dalam 1 menit, jika kurang
mengedip maka mata akan melotot atau mulai juling. Seseorang dengan kelainan
refraksi sebaiknya sering mengedip agar tidak timbul penyulit lain. Penderita
dengan kelainan refraksi akan memberikan keluhan sebagai berikut: sakit kepala

12
terutama di daerah tengkuk atau dahi; mata berair; cepat mengantuk; mata terasa
pedas; pegal pada bola mata; dan penglihatan kabur. Untuk mencegah terjadinya
penyulit diusahakan memberikan istirahat pada mata dan mencegah pupil
berkontraksi. Tajam penglihatan penderita kelainan refraksi kurang dari normal.

Hipermetriopia

13
14
15
16
17
Astigmat Miopia

Gambar 2.3
Pembiasaan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi

2.3.1 Miopia
2.3.1.1 Definisi
Miopi atau rabun jauh merupakan suatu kondisi dimana cahaya yang
memasuki mata terfokus didepan retina sehingga membuat objek yang jauh
terlihat kabur (sofiana,2016), menurut Ilyas (2006) miopia atau rabun jauh adalah
cacat mata yang disebabkan oleh diameter anteroposterior bola mata terkaku
panjang sehingga bayangan-bayangan dari benda yang jaraknya jauh akan jatuh di
depan retina. Pada miopia seseorang tidak bisa melihat jarak jauh, karena mereka
hanya dapat melihat benda yang jaraknya dekat. Untuk cacat seperti ini orang
tersebut dapat dibantu dengan lensa cekung (negatif).
Objek yang jaraknya kurang dari 6 meter, bayangan akan bergerak lebih
dekat ke retina dengan fokus yang lebih tajam. Titik yang dicapai, dimana fokus
bayangan tersebut yang paling tajam disebut “far point”. Orang dengan miopia
memiliki keuntungan dari kemampuan membaca pada titik jauh tanpa kacamata
saat mereka berada pada usia yang rata-rata mengalami presbiopi.

18
Gambar 2.4
Penglihatan normal dan penglihatan miopia
2.3.1.2 Etiologi
Miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di dalam mata
untuk panjangnya bola mata yang diakibatkan oleh: kornea terlalu cembung; lensa
mempunyai kecembungan yang kuat sehingga bayangan dibiaskan kuat; dan bola
mata terlalu panjang.
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraktif terlalu kuat. Oleh karena itu dikenal beberapa
bentuk miopia seperti:
a. Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti terjadi
pada katarak intumesen dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga
pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia indeks, miopia
yang tejadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu
kuat
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
Selain itu ada beberapa faktor risiko yang mempengaruhi seseorang untuk
cenderung mengalami miopia. Terdapat pendapat bahwa miopia berhubungan erat
dengan faktor herediter atau keturunan dan faktor lingkungan (Charman,2011).

2.3.1.3 Patofisiologi
Penelitian-penelitian terdahulu mengemukakan bahwa miopia disebabkan
oleh pemanjangan sumbu bola mata, namun penyebab yang mendasarinya masih
belum jelas sepenuhnya. Terdapat dua teori utama tentang terjadinya
pemanjangan sumbu bola mata pada miopia.

19
Yang pertama adalah teori biologik, menganggap bahwa pemanjangan
sumbu bola mata sebagai akibat dari kelainan pertumbuhan retina (overgrowth)
sedangkan teori yang kedua adalah teori mekanik yang mengemukakan adanya
penekanan (stres) sklera sebagai penyebab pemanjangan tersebut. Salah satu
mekanisme pemanjangan sumbu bola mata yang diajukan pada teori mekanik
adalah penekanan bola mata oleh muskulus rektus medial dan obliq superior.
Seperti diketahui, penderita miopia selalu menggunakan konvergensi berlebihan.
Von Graefe mengatakan bahwa otot ekstraokular terutama rektus medial bersifat
miopiagenik karena kompresinya terhadap bola mata pada saat konvergensi.
Jakson menganggap bahwa konvergensi merupakan faktor etiologi yang penting
dalam perkembangan miopia. Dikemukakan juga bahwa muskulus oblik superior
juga menekan bola mata pada waktu melihat atau bekerja terlalu lama.
Konvergensi berlebihan disebabkan oleh karena penderita miopia
memiliki jarak pupil yang lebar. Di samping lebar, orbita juga lebih rendah
sehingga porsi muskulus oblik superior yang menekan bola mata lebih besar. Jadi
di sini ada pengaruh dari anatomi mata terhadap terjadinya miopia. Kebenaran
akan hal ini telah dikonfirmasi oleh beberapa ahli lain. Possey dan Vandergift
mengemukakan bahwa anatomi merupakan faktor yang terpenting dalam
terjadinya miopia. Fox mengidentifikasikan orbita bagian dalam akan lebih
memungkinkan untuk terjadinya pemanjangan sumbu bola mata (Charman,2011)

2.3.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi miopia dibagi menurut derajat dan perjalanan penyakitnya.
Berdasarkan derajat beratnya, miopia dibagi dalam:
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri
Sedangkan menurut perjalanan penyakitnya, miopia dikenal dalam bentuk:
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata

20
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan. Miopia ini dapat juga disebut miopia pernisiosa
atau miopia maligna atau miopia degeneratif. Disebut miopia degeneratif atau
miopia maligna, bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan fundus okuli
dan pada panjangnya bola mata sampai membentuk stafiloma postikum yang
terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi
retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang
terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk
terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch
berupa biperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atrofi lapis sensoris retina
luar, dan dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optik.
2.3.1.5 Manifetasi klinik
Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan
melihat kabur apabila pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh sakit
kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Selain itu,
penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien miopia
mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan
konvergensi. Hal ini yang menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila
kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau
esotropia.
2.3.1.6 Tata laksana
Penatalaksanaan miopia masih merupakan kontra diantara dokter mata.
Sejauh ini yang dilakukan adalah mencoba mencari bagaimana mencegah
kelainan refraksi pada anak atau mencegah jangan sampai menjadi parah.
a. Kacamata
Koreksi miopia dengan kacamata dapat dilakukan dengan menggunakan
lensa konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya yang melewati suatu lensa
cekung akan menyebar. Bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias
terlalu tinggi atau bila bola mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini
dapat dinetralisir dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata.

21
Gambar 2.5
Koreksi Miopia dengan lensa Konkaf

Lensa cekung yang akan mendivergensikan berkas cahaya sebelum masuk


ke mata, dengan demikian fokus bayangan dapat dimundurkan ke arah retina.

b. Lensa kontak
Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa kontak
keras yang terbuat dari bahan plastik polymethacrylate (PMMA) dan lensa kontak
lunak terbuat dari bermacam-macam plastik hydrogen
hydroxymethylmethacrylate (HEMA). Lensa kontak keras secara spesifik
diindikasikan untuk koreksi astigmatisma ireguler, sedangkan lensa kontak lunak
digunakan untuk mengobati gangguan permukaan kornea.
Salah satu indikasi penggunaan lensa kontak adalah untuk koreksi miopia
tinggi, dimana lensa ini menghasilkan kualitas bayangan lebih baik dari kacamata.
Namun komplikasi dari penggunaan lensa kontak dapat mengakibatkan iritasi
kornea, pembentukan pembuluh darah kornea atau melengkungkan permukaan
kornea. Oleh karena itu, harus dilakukan pemeriksaan berkala pada pemakai lensa
kontak.

Gambar 2.6
Koreksi dengan lensa kontak

c. Bedah Refraksi

22
Ketidaknyamanan memakai kacamata bagi banyak pemakai dan
komplikasi yang berkaitan dengan lensa kontak mendorong pencarian solusi
bedah bagi masalah gangguan refraksi.
Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:
i. Radial keratotomy (RK), dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah
diinsisi di parasentral. Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea
dibuat rata. Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka
dan kedalaman dari insisi.  Meskipun pengalaman beberapa orang menjalani
radial keratotomy menunjukan penurunan miopia, sebagian besar pasien
sepertinya menyukai dengan hasilnya. Dimana dapat menurunkan
pengguanaan lensa kontak.  Komplikasi yang dilaporkan pada bedah radial
keratotomy seperti variasi diurnal dari refraksi dan ketajaman penglihatan,
silau, penglihatan ganda pada satu mata, kadang-kadang penurunan permanen
dalam koreksi tajam penglihatan dari yang terbaik, meningkatnya
astigmatisma, astigmatisma irregular, anisometropia, dan perubahan secara
pelan-pelan menjadi hiperopia yang berlanjut pada beberapa bulan atau tahun,
setelah tindakan pembedahan. Perubahan menjadi hiperopia dapat muncul
lebih awal dari pada gejala presbiopia. Radial keratotomy mungkin juga
menekan struktur dari bola mata.
ii. Laser photorefractive keratektomy (PK) adalah prosedur dimana
kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada pusat kornea. Dari
kumpulan hasil penelitian menunjukan 48-92% pasien mencapai visus 6/6
(20/20) setelah dilakukan photorefractive keratectomy. 1-1.5 dari koreksi
tajam penglihatan yang terbaik didapatkan hasil kurang dari 0.4-2.9 % dari
pasien.
d. Lensa Intraokular
Penanaman lensa intraokular telah menjadi metode pilihan untuk koreksi
kelainan refraksi pada afakia. Tersedia sejumlah rancangan, termasuk lensa lipat,
yang terbuat dari plastik hidrogel, yang dapat disisipkan kedalam mata melaui
suatu insisi kecil dan lensa kaku yang paling sering terdiri atas suatu optik terbuat
dari polimetil metakrilat dan lengkungan (haptik) terbuat dari bahan yang sama

23
atau polipropilen. Posisi paling aman bagi lensa intraokuler adalah didalam
kantung kapsul yang utuh setelah pembedahan ekstrakapsular.
Daya lensa intraocular biasanya ditentukan dengan metode regresi empiris
yang menganalisis pengalaman penggunaan salah satu tipe lensa pada banyak
pasien. Dari metode ini diturunkan suatu rumus matematis yang didasarkan pada
suatu konstanta untuk lensa tertentu.
Turunnya adalah rumus SRK II. Namun rumus regresi sekarang jarang
digunakan. Rumus teoritik yang menggunakan konstanta lensa, pembacaan
keratometer dan panjang sumbu , bersama dengan perkiraan kedalaman bilik mata
depan setelah pembedahan meliputi rumus SRK/T,Holladay, dan Hoffer Q dan tak
ada satu pun rumus yang dapat memperkirakan kekuatan lensa setiap pasien.
e. Ekstraksi lensa jernih untuk miopia
Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif miopia
sedang sampai tinggi. Hasil tindakan ini tidak kalah memuaskan dengan yang
dicapai oleh bedah keratorefraktif menggunakan laser. Namun, perlu dipikirkan
komplikasi operasi dan pascaoperasi bedah intraokuler, khususnya pada miopia
tinggi.
2.3.1.7 Pencegahan
Sejauh ini, hal yang dilakukan adalah mencegah kelainan atau mencegah
jangan sampai menjadi parah. Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan
seperti pengobatan laser, obat tetes tertentu untuk membantu penglihatan, operasi,
penggunaan lensa kontak dan penggunaan kacamata.
Pencegahan lainnya adalah dengan melakukan visual hygiene berikut ini:
a. Mencegah terjadinya kebiasaan buruk, meliputi: membiasakan duduk dengan
posisi tegak sejak kecil; memegang alat tulis dengan benar; lakukan istirahat
tiap 30 menit setelah melakukan kegiatan membaca atau melihat TV; batasi
jam membaca; aturlah jarak baca yang tepat (30 sentimeter) dan gunakanlah
penerangan yang cukup; serta tidak membaca dengan posisi tidur atau
tengkurap.
b. Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk berlatih melihat jauh atau
melihat jauh dan dekat secara bergantian dapat mencegah miopia

24
c. Kenali jika ada kelainan pada mata dan perbaiki sejak awal, jangan menunggu
sampai ada gangguan pada mata
d. Anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi
dengan dokter spesialis mata anak agar tidak terjadi juling
e. Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil
tetap perlu memperhatikan nutrisi termasuk vitamin A
f. Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai
kaca mata. Oleh karena itu pahami perkembangan kemampuan melihat bayi
g. Kenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, kemudian
segeralah melakukan pemeriksaan.
h. Sebaiknya dilakukan skrining pada anak-anak di sekolah.
2.3.1.8 Komplikasi
a. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D – (- 4,75)D sekitar 1/6662.
Sedangkan pada (- 5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari
(-10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada
miopia rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.
b. Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air
dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara
perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi.
Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal,
penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut,
dapat terjadi kolaps badan vitreus sehingga kehilangan kontak dengan retina.
Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan
kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya
volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.
c. Miopic makulopaty
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah
kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapang pandang
berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa
menyebabkan kurangnya lapangan pandang. Miopia vaskular koroid/degenerasi

25
makular miopik juga merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal,
dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah
sentral retina.
d. Glaukoma
Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia
sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi
dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat
penyambung pada trabekula.
e. Skotoma
Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi
retina maka akan timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula terkena dan
daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi
dan mencair berkumpul di muscae volicantes sehingga menimbulkan bayangan
lebar diretina sangat menggangu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan
tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu pasien tidak
pernah menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai akhirnya
tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat
atau ablasio retina.

2.3.2 Hipermetropia
2.3.2.1 Definisi
Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat.
Hipermtropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana
sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di
belakang makula lutea.

Gambar 2.7
Refraksi pada mata hipermetropia

26
2.3.2.2 Etiologi
1. Hipermetropia sumbu atau aksial : kelainan refraksi akibat bola mata
pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek (lebih pendek dari ukuran
sumbu anteroposterior normal).
2. Hipermetropia kurvatura : kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina
3. Hipermetropia indeks refraktif : terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata
2.3.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya
hipermetropia, dan status akomodasi mata.
Berdasarkan derajat beratnya, hipermetropia juga dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hipermetropia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang
2. Hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D
3. Hipermetropia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi
Berdasarkan status akomodasi mata, hipermetropia dibagi menjadi empat yaitu:
1. Hipermetropia Laten
a. Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hipermetropia
yang dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata
b. Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia
c. Lebih muda seseorang yang hipermetropia, lebih laten hiperopia yang
dimilikinya
2. Hipermetropia Manifes
a. Hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa
menggunakan sikloplegia
b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif yang
digunakan dalam pemeriksaan subjektif
3. Hipermetropia Fakultatif
a. Hipermetropia yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan
lensa positif, tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien
tanpa menggunakan lensa
b. Semua hipermetropia laten adalah hipermetropia fakultatif

27
c. Akan tetapi, pasien dengan hipermetropia laten akan menolak
pemakaian lensa positif karena akan mengaburkan penglihatannya.
d. Pasien dengan hipermetropia fakultatif bisa melihat dengan jelas tanpa
lensa positif tapi juga bisa melihat dengan jelas dengan menggunakan
lensa positif
4. Hipermetropia Absolut
- Tidak bisa dikoreksi dengan proses akomodasi
- Penglihatan subnormal
- Penglihatan jarak jauh juga bisa menjadi kabur terutama pada usia
lanjut
Hipermetropia Total bisa dideteksi setelah proses akomodasi diparalisis
dengan agen sikloplegia.

Hipermetropia

Hipermetropia
Laten

Hipermetropia
Manifes
Gambar 2.8
Klasifikasi hipermetropia berdasarkan status akomodasi mata

2.3.2.4 Gejala-gejala dan Tanda-tanda Hipermetropia


1. Penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga bisa kabur
2. Asthenopia akomodatif (sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan mata)
3. Strabismus pada anak-anak yang mengalami hipermetropia berat

28
4. Gejala biasanya berhubungan dengan penggunaan mata untuk penglihatan
dekat (cth : membaca, menulis, melukis), dan biasanya hilang jika kerjaan
itu dihindari.
5. Mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara kronis
6. Mata terasa berat bila ingin mulai membaca, dan biasanya tertidur
beberapa saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah.
7. Bisa terjadi ambliopia
2.3.2.5 Diagnosis Hipermetropia
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda hipermetropia
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus – tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan
Snellen Chart
b. Refraksi – retinoskopi merupakan alat yang paling banyak digunakan
untuk pengukuran objektif hipermetropia. Prosedurnya termasuk statik
retinoskopi, refraksi subjektif, dan autorefraksi
c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk
pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes
Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis
d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk
mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan
hipermetropia. Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes
konfrontasi, penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan
menyeluruh tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata
dan adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi
indirect diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior
2.3.2.6 Penatalaksanaan Hipermetropia
1. Sejak usia 5 atau 6 tahun, koreksi tidak dilakukan terutama tidak
munculnya gejala-gejala dan penglihatan normal pada setiap mata.
2. Dari usia 6 atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut hingga waktu
presbiopia, hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif yang terkuat. Bisa
memakai kaca mata atau lensa kontak.

29
Gambar 2.9
Koreksi pada mata hipermetropi

3. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki hipermetropia


dengan membentuk semula kurvatura kornea. Metode pembedahan
refraktif termasuk
a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)
b. Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK)
c. Photorefractive keratectomy (PRK)
d. Conductive keratoplasty (CK)
2.3.2.7 Komplikasi Hipermetropia
1. Strabismus
2. Mengurangi kualitas hidup
3. Kelelahan mata dan sakit kepala

2.3.3 Astigmatisme
2.3.3.1 Definisi
Astigmtisma adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh
sebagai suatu fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di kornea.
Pada astigmatisma, mata menghasilkan suatu bayangan dengan titik atau garis
fokus multiple, dimana berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam
pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi
akibat kelengkungan kornea.
2.3.3.2 Etiologi
Mata mempunyai 2 bagian untuk memfokuskan bayangan – kornea dan
lensa. Pada mata yang bentuknya sempurna, setiap elemen untuk memfokus
mempunyai kurvatura yang rata seperti permukaan bola karet. Kornea atau lensa
dengan permukaan demikian merefraksikan semua sinar yang masuk dengan cara
yang sama dan menghasilkan bayangan yang tajam terfokus pada retina.

30
Jika permukaan kornea atau lensa tidak rata, sinar tidak direfraksikan
dengan cara yang sama dan menghasilkan bayangan-bayangan kabur yang tidak
terfokus pada retina.
Astigmatisme bisa terjadi dengan kombinasi kelainan refraksi yang lain,
termasuk:
1. Miopia.
Ini terjadi bila kurvatura kornea terlalu melengkung atau jika aksis mata lebih
panjang dari normal. Bayangan terfokus di depan retina dan menyebabkan
objek dari jauh terlihat kabur.
2. Hipermetropia.
Ini terjadi jika kurvatura kornea terlalu sedikit atau aksis mata lebih pendek
dari normal. Bayangan terfokus di belakang retina dan menyebabkan objek
dekat terlihat kabur.
Biasanya astigmatisme terjadi sejak lahir. Astigmatisme dipercayai
diturunkan dengan cara autosomal dominan. Astigmatisme juga bisa terjadi
setelah trauma atau jaringan parut pada kornea, penyakit mata yang termasuk
tumor pada kelopak mata, insisi pada kornea atau karena faktor perkembangan.
Astigmatisme tidak menjadi lebih parah dengan membaca di tempat yang kurang
pencahayaan, duduk terlalu dekat dengan layar televisi atau menjadi juling.
Jika distorsi terjadi pada kornea, disebut astigmatisme kornea, sedangkan
jika distorsi terjadi pada lensa, disebut astigmatisme lentikular.
Astigmatisme juga bisa terjadi karena traksi pada bola mata oleh otot-otot
mata eksternal yang merubah bentuk sklera menjadi bentuk astigma, perubahan
indeks refraksi pada vitreous, dan permukaan yang tidak rata pada retina
(Olujic,2012).

2.3.3.3 Klasifikasi
Dikenal 5 macam Astigmatisma : Astigmatisma miopikus simpleks, astigmatisma
miopikus kompositus, astigmatisma hipermetropikus simpleks, astigmatisma
hipermetropikus kompositus, dan astigmatisma mikstus. Berdasarkan posisi garis
fokus dalam retina Astigmatisme dibagi sebagai berikut:

31
1) Astigmatisme Reguler Dimana didapatkan dua titik bias pada sumbu mata
karena adanya dua bidang yang saling tegak lurus pada bidang yang lain
sehingga pada salah satu bidang memiliki daya bias yang lebih kuat dari
pada bidang yang lain. Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa
cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam penglihatan normal.
Tentunya jika tidak disertai dengan adanya kelainan penglihatan yang lain.
Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya, bentuk astigmatisme regular
ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu: i. Astigmatisme With the Rule Bila
pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada
bidang horizontal. ii. Astigmatisme Against the Rule Bila pada bidang
horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari pada bidang vertikal.
2) Astigmatisme Irreguler Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.
Berdasarkan letak titik vertical dan horizontal pada retina, astigmatisme
dibagi sebagai berikut:
1. Astigmatisme Miopia Simpleks Astigmatisme jenis ini, titik A berada
di depan retina, sedangkan titik B berada tepat pada retina (dimana
titik A adalah titik fokus dari daya bias terkuat sedangkan titik B
adalah titik fokus dari daya bias terlemah). Pola ukuran lensa koreksi
astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau Sph -X Cyl +Y di
mana X dan Y memiliki angka yang sama

Gambar 2.10
Astigmatisme Miopia Simplek

32
2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks Astigmatisme jenis ini, titik A
berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di belakang retina

Gambar 2.11
Astigmatisme Hiperopia Simplek

3. Astigmatisme Miopia Kompositus Astigmatisme jenis ini, titik A


berada di depan retina, sedangkan titik B berada di antara titik A dan
retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph -X
Cyl -Y.

Gambar 2.12
Astigmatisme Miopia Kompositus

4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus Astigmatisme jenis ini, titik B


berada di belakang retina, sedangkan titik A berada di antara titik B
dan retina. Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph
+X Cyl +Y.

33
Gambar 2.13
Astigmatisme Hiperopia Kompositus

5. Astigmatisme Mixtus Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan


retina, sedangkan titik B berada di belakang retina. Pola ukuran lensa
koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X Cyl -Y, atau Sph -X Cyl
+Y, di mana ukuran tersebut tidak dapat ditransposisi hingga nilai X
menjadi nol, atau notasi X dan Y menjadi sama - sama + atau -.

Gambar 2.14
Astigmatisme Mixtus

1. Astigmatismus Rendah Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50


Dioptri. Biasanya astigmatis-mus rendah tidak perlu menggunakan koreksi

34
kacamata. Akan tetapi jika timbul keluhan pada penderita maka koreksi
kacamata sangat perlu diberikan.
2. Astigmatismus Sedang Astigmatismus yang ukuran powernya berada
pada 0,75 Dioptri s/d 2,75 Dioptri. Pada astigmatismus ini pasien sangat
mutlak diberikan kacamata koreksi.
3. Astigmatismus Tinggi Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00
Dioptri. Astigmatismus ini sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.
2.3.3.4 Gejala-gejala dan Tanda-tanda
1. Distorsi dari bagian-bagian lapang pandang
2. Tampak garis-garis vertikal, horizontal atau miring yang kabur
3. Memegang bahan bacaan dekat dengan mata
4. Sakit kepala
5. Mata berair
6. Kelelahan mata
7. Memiringkan kepala untuk melihat dengan lebih jelas
2.3.3.5 Diagnosis Astigmatisme
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda astigmatisme
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus – tergantung usia dan proses akomodasi dengan menggunakan
Snellen Chart
b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan. Pasien
diminta untuk memperhatikan kartu tes astigmatisme dan menentukan
garis yang mana yang tampak lebih gelap dari yang lain. Contohnya,
pasien yang miopia pada meridian vertikal dan emmetropia pada
meridian horizontal akan melihat garis-garis vertikal tampak distorsi,
sedangkan garis-garis horizontal tetap tajam dan tidak berubah.
Sebelum pemeriksaan subjektif ini, disarankan menjadikan penglihatan
pasien miopia untuk menghindari bayangan difokuskan lebih jauh ke
belakang retina. Selain itu, untuk pemeriksaan objektif, bisa digunakan
keratometer, keratoskop, dan videokeratoskop

35
c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk
pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes
Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis
d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk
mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan astigmatisme.
Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi,
penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh
tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan
adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect
diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior (Olujic,
2012).

Gambar 2.15
Kartu untuk tes Astigmatisme

2.3.3.6 Penatalaksanaan Astigmatisme


1. Astigmatisme bisa dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder
tergantung gejala dan jumlah astigmatismenya
2. Untuk astigmatisme yang kecil, tidak perlu dikoreksi dengan silinder
3. Untuk astigmatisme yang gejalanya timbul, pemakaian lensa silender
bertujuan untuk mengurangkan gejalanya walaupun kadang-kadang tidak
memperbaiki tajam penglihatan
4. Aturan koreksi dengan lensa silinder adalah dengan meletakkannya pada
aksis 90o dari garis tergelap yang dilihat pasien pada kartu tes

36
astigmatisme. Untuk astigmatisme miopia, digunakan silinder negatif,
untuk astigmatisme hiperopia, digunakan silinder positif
5. Untuk astigmatisme irregular, lensa kontak bisa digunakan untuk
meneutralisasi permukaan kornea yang tidak rata
6. Selain itu, astigmatisme juga bisa dikoreksi dengan pembedahan LASIK,
keratektomi fotorefraktif dan LASEK

2.3.4 PRESBIOPIA
2.3.4.1 Definisi
Presbiopia merupakan keadaan dimana semakin berkurangnya
kemampuan akomodasi mata seiring dengan bertambahnya usia. Kelainan ini
terjadi pada mata normal berupa gangguan perubahan kecembungan lensa yan
dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan
akomodasi yang mengakibatkan pandangan kabur saat melihat dekat.
2.3.4.2 Etiologi
1. Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut
2. Kelemahan otot-otot akomodasi
3. Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elasitasnya akibat
kekakuan (sklerosis) lensa
2.3.4.3 Klasifikasi
1. Presbiopia Insipien – tahap awal perkembangan presbiopia, dari anamnesa
didapati pasien memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak
tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien biasanya akan menolak
preskripsi kaca mata baca
2. Presbiopia Fungsional – Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan
akan didapatkan kelainan ketika diperiksa
3. Presbiopia Absolut – Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia
fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali
4. Presbiopia Prematur – Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun
dan biasanya berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-
obatan

37
5. Presbiopia Nokturnal – Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi
gelap disebabkan oleh peningkatan diameter pupil
2.3.4.4 Gejala-gejala dan Tanda-tanda
1. Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa pedih.
Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika membaca terlalu
lama
2. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca karena tulisan tampak
kabur pada jarak baca yang biasa
3. Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di malam
hari
4. Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca
5. Terganggu secara emosional dan fisik
2.3.4.5 Diagnosis Presbiopia
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda presbiopia
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus – Pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi presbiopia dengan
menggunakan Snellen Chart
b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan.
Pasien diminta untuk memperhatikan kartu Jaeger dan menentukan
kalimat terkecil yang bisa dibaca pada kartu. Target koreksi pada
huruf sebesar 20/30.
c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi – termasuk
pemeriksaan duksi dan versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes
Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan steoreopsis
d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum – untuk
mendiagnosa penyakit-penyakit yang bisa menyebabkan presbiopia.
Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi,
penglihatan warna, tekanan intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh
tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari mata dan
adnexanya. Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi indirect
diperlukan untuk mengevaluasi segmen media dan posterior

38
2.3.4.6 Penatalaksanaan Presbiopia
1. Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopia. Tujuan koreksi adalah
untuk mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-
objek yang dekat
2. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif
sesuai usia dan hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu
membaca tulisan pada kartu Jaeger 20/30
3. Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa positif
terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak
melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm, karena tulisan
yang dibaca terletak pada titik fokus lensa +3.00 D
Kekuatan Lensa Positif yang
Usia (Tahun)
dibutuhkan
40 +1.00 D
45 +1.50 D
50 +2.00 D
55 +2.50 D
60 +3-00 D

39
BAB 3
PENUTUP

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar


pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi
dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak terletak pada satu titik
yang fokus. Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan sistem optik pada
mata sihingga menghasilkan bayangan yang kabur. Kelainan refraksi dapat
diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks
bias, dan kelainan panjang sumbu bola mata.

Kelainan refraksi dapat dengan mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi dengan
pemberian kaca mata. Namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah serius
jika tidak cepat ditanggulangi. Oleh karena itu setiap pasien wajib dilakukan
pemeriksaan visus sebagai bagian dari pemeriksaan fisik mata umum.

40
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalmology, 2011. Clinical Optics. Section 3. PP: 93 –


116.
Charman, N, 2011, Myopia: Its Prevalence, Origins, and Control, Ophthalmic
and Physiological Optics, 31: 3–6. doi: 10.1111/j.1475-
1313.2010.00808.x
Curtin, B.J, 2002, The Myopia, The Philadelphia Harper & Row: pp 348
Depkes, 1992, Buku Pedoman Kesehatan Mata dan Pencegahan Kebutaan untuk
Puskesmas, Ditjen Binkesmas, Jakarta
Dirani, M, Chamberlain, M, Shekar M.N, et all, 2008, Heritability of Refractive
Error and Ocular Biometrics: The Gene in Myopia (GEM) Twin Study,
Investigative Ophthalmology and Visual Science
Guggenhim, J.A, 2007, Correlation in Refraction Errors between Siblings in The
Singapore Cohort Study of Risk Factor for Myopia, British Journal of
Ophtalmology 91(6):781-784
Ilyas, S, 2006, Kelainan Refraksi dan Kacamata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Ilyas, S, 2014, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
James, B, 2006, Lecture Notes Oftalmologi, Jakarta: Erlangga
Jones-Jordan LA, Sinnott LT, Cotter SA, Kleinstein RN, Manny RE, Mutti DO, et
al. Time Outdoors, Visual Activity, and Myopia Progression in Juvenile-
Onset MyopesActivity and Myopia Progression. Investigative
Ophthalmology & Visual Science. 2012;53(11):7169-75.
Khurana, 2007. Comprehensive Ophtalmology. Fourth Edition. New Delhi: New
Age International (P) Limited, Publishers
Mountjoy, E., Davies, N. M., Plotnikov, D., Smith, G. D., Rodriguez, S.,
Williams, C. E., … Atan, D. (2018). Education and myopia: assessing the
direction of causality by mendelian randomisation. BMJ,
k2022. doi:10.1136/bmj.k2022 
Novalinda, Rina. 2020. Akibat Koreksi Yang Tidak Tepat Pada Pasien Yang
Mengalami Kelainan Refraksi Miopia Di Super Optikal Padang. Journal of
Ensiklopedia. Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian
Ensiklopedia. 2020. 2(3). 130-136. E-ISSN 2654-8399
Olujic, SM, 2012. Etiology and Clinical Presentation of Astigmatism. Dalam:
Advances in Ophtalmology; edited by Rumelt S. PP: 167 – 190.
PubMed Central Journal list. Pemeriksaan Refraksi . Diunduh dari :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pemeriksaanrefraksi/PMC170565
9/
Saladin, Kenneth. 2006 Anatomy & Physiology 4th (Fourth) edition, McGraw-
Hill Science/Engineering/Math. Sloane, A.E, 2008, Manual of Refraction,
USA: Brown and Company, pp 39-47
Schiefer, U., Kraus, C., & Baumbach, P. (2016). Refractive Errors (Epidemiology,
Effect, and Treatments options). Journal of Deutsches Ärzteblatt
International, 113, 693-702.
doi:https://dx.doi.org/10.3238%2Farztebl.2016.0693
Sloane, A.E, 2008, Manual of Refraction, USA: Brown and Company, pp 39-47
Vaughan, D, Asbury, T, 2016, Oftalmologi Umum, Jakarta: EGC

41
WHO. Visual impairment and blindeness. 2012. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs282/en/
WHO. Prevalence visual impairment. 2014

42

Anda mungkin juga menyukai