Anda di halaman 1dari 19

JOURNAL READING

“A cross sectional clinical study on correlation between myopia and


intraocular pressure and ocular biometric values among adults in
tertiary eye care in Palakkad, Kerala, India”

OLEH:

Indrayani 013.06.0026
Siska Putri Utami 016.06.0011
Nadhillah Hibaturrahman 016.06.0023

PEMBIMBING
dr. Dewa Gede Benny Raharja P., Sp.M

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI


BAGIAN STASE MATA RSUD BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM 2020
BAB I
ISI JURNAL
1.1. Judul
Sebuah studi klinis cross sectional tentang korelasi antara miopia dan
tekanan intraokular dan nilai biometrik okuler pada orang dewasa dalam
perawatan mata tersier di Palakkad, Kerala, India
1.2. Abstrak
Latar Belakang
Untuk mengetahui apakah ada korelasi antara tekanan intra okuler
dan nilai biometrik okuler seperti kelengkungan kornea, kedalaman bilik
mata depan, ketebalan lensa dan kedalaman ruang vitreous pada mata
rabun.
Metode
Studi klinis cross sectional dilakukan di RS Karuna Medical
College Palakkad Kerala, India dari September 2015 hingga Agustus
2017. 1000 mata dari 500 pasien miopia dilibatkan dalam penelitian ini.
Tonometri Applanasi Goldman digunakan untuk mengukur tekanan intra
okuler. Keratometer Bausch dan Lomb digunakan untuk mengukur
kelengkungan kornea dan mesin A-Scan Biometry digunakan untuk
mengukur kedalaman bilik mata depan, ketebalan lensa, kedalaman ruang
vitreous dan panjang aksial.
Hasil
Pada penelitian ini mayoritas kelompok umur pasien adalah 16-20
tahun. Rata-rata tekanan intra okuler rata-rata adalah 15 mmhg dan radius
rata-rata kelengkungan kornea adalah 44,12D. Dalam penelitian ini rata-
rata kedalaman bilik mata depan adalah 3,55 mm dan ketebalan lensa
rata-rata adalah 3,56 mm. Rata-rata kedalaman ruang vitreous adalah
18,40 Dalam penelitian ini panjang aksial rata-rata adalah 24,60 mm.
Kesimpulan
Jumlah miopia dan variasi kelengkungan kornea tidak signifikan
secara statistik. Tidak ada korelasi antara tekanan intra okuler dan derajat
miopia. Tetapi kedalaman bilik mata depan, ketebalan lensa, kedalaman
ruang vitreous dan panjang aksial secara statistik sangat signifikan dengan
jumlah miopia.
Kata kunci: Kedalaman bilik mata depan, kelengkungan kornea, TIO,
Miopia

1.3. Pendahuluan
Secara fisiologis pada mata normal, sinar cahaya sejajar berkumpul
di retina untuk membentuk lingkaran dengan difusi paling sedikit saat
mata sedang istirahat, kondisi ini disebut emetropia dan kondisi
sebaliknya disebut ametropia di mana sinar cahaya sejajar tidak terfokus
pada retina saat mata sedang istirahat. Pada dasarnya ametropia atau
kelainan refraksi memiliki tiga jenis seperti miopia, hipermetropia dan
astigmatisme. Pada miopia, sinar cahaya difokuskan di depan retina dan
pada hipermetropia, sinar cahaya difokuskan di belakang retina saat mata
sedang istirahat. Astigmatisme adalah jenis kesalahan bias di mana garis
fokus dibentuk sebagai pengganti titik fokus.
Miopia (penglihatan dekat) pertama kali dijelaskan oleh Johannes
Kepler, pendiri dioptri pada abad ke-17. Dalam klarifikasi awal tentang
dioptri oftalmik, dia dengan tepat mengasumsikan bahwa pada miopia
cahaya yang datang dibawa fokus di depan retina. Miopia (Penglihatan
dekat) adalah kelainan refraksi yang paling umum terjadi di dunia.
Prevalensi miopia di India adalah 6,9% pada populasi umum. Kira-kira
25% orang yang berusia antara 12 dan 54 tahun menderita rabun jauh di
Amerika Serikat.
Secara etiologis miopia dapat diklasifikasikan sebagai miopia
aksial (karena peningkatan panjang antero posterior bola mata),
curvatural myopia (karena peningkatan kelengkungan kornea, lensa atau

keduanya), positional myopia (karena penempatan anterior lensa) dan


index myopia (karena peningkatan indeks bias lensa pada sklerosis
nukleus). American Optometric Association (AOA) telah
mengklasifikasikan miopia menjadi miopia rendah saat kekuatan ≤ - 3D
hingga -6D, dan miopia tinggi saat kekuatan ≥ -6D. Secara klinis miopia
diklasifikasikan menjadi miopia sederhana dan miopia patologis. Miopia
sederhana adalah kesalahan fisiologis dan tidak terkait dengan penyakit
mata. Ini hasil dari variasi biologis normal dalam perkembangan mata
yang mungkin ditentukan secara genetik atau tidak. Genetika memainkan
beberapa peran dalam variasi biologis dalam perkembangan mata dan
prevalensi miopia yang lebih banyak pada anak-anak dengan kedua orang
tua yang rabun (20%) dibandingkan pada anak-anak dengan satu orang
tua rabun. Penglihatan yang kurang baik untuk melihat jarak jauh (rabun
dekat) dan setengah menutup mata adalah gejala umum pada miopia
sederhana. Bilik mata depan sedikit lebih dalam dari biasanya dan
pemeriksaan fundus normal pada miopia sederhana.
Miopia patologis atau degeneratif adalah kelainan refraksi
progresif cepat yang dimulai pada masa kanak-kanak pada usia 5-10
tahun dan mengakibatkan miopia tinggi (kekuatan > 6D) selama masa
dewasa awal yang biasanya dikaitkan dengan perubahan degeneratif
retina, koroid, dan cairan vitreus. Faktor genetik berperan dalam etiologi
miopia patologis. Miopia patologis dominan autosomal telah dikaitkan
dengan gen 18p11 31 dan 21 23 12q. Selain penglihatan yang rusak,
muscae volitantes (opasitas hitam melayang) di depan mata dan rabun
senja adalah gejala utamanya. Tanda-tandanya adalah bola mata
menonjol, kornea besar, dan bilik mata depan yang dalam. Pemeriksaan
fundus menunjukkan bulan sabit temporal, atrofi chorio retinal, muncul
bintik-bintik di makula, degenerasi kisi, staphyloma posterior dan
detasemen vitreus posterior. Ablasi Retina, Katarak Komplikata,
Neovaskularisasi kornea adalah beberapa komplikasi umum dari miopia
patologis.
Tekanan Intra Okular (TIO) diukur dengan tonometer Schiotz,
tonometer applanasi, tonometer Perkins hand held, dan tonometer non
kontak. Tonometer aplanasi Goldmans adalah metode Gold standart
untuk mengukur TIO. Tekanan intra okuler pada individu normal adalah
10-21 mmHg. Peningkatan tekanan intra okuler menyebabkan Glaukoma
yang disebabkan oleh penyumbatan di jalur aliran keluar trabekuler
meshwork atau sekresi aqueous humor yang berlebihan. Insiden
glaukoma sudut terbuka primer (POAG) sedikit lebih tinggi di miopia.
Panjang aksial atau diameter antero posterior bola mata pada individu
normal adalah 22-24 mm. Panjang aksial diukur dengan A scan Biometry.
Pemendekan sekitar 1mm dari diameter antero posterior mata
menghasilkan 3 dioptri miopia. Kelengkungan kornea diukur dengan
keratometer. Dua jenis keratometer tersebut adalah Javal-schiotz
keratometer dan Bausch dan lomb keratometer. Keratometer mengukur
jari-jari kelengkungan kornea pada meridian horizontal dan meridian
vertikal secara terpisah, kemudian menghitung kelengkungan kornea total
dengan menggunakan rumus ini
K = 0,5 [K1 + K2]
Dimana,
K = kelengkungan kornea total
K1 = kelengkungan horizontal
K2 = kelengkungan vertikal.
Peningkatan kelengkungan sekitar 1 mm menghasilkan 6 dioptri miopia
1.4. Metode
Penelitian cross sectional ini dilakukan di bagian oftalmologi RS
Karuna Palakkad, Kerala. Seribu mata dari 500 pasien miopia dari
berbagai wilayah di Kecamatan Palakkad, Kerala yang mengikuti rawat
jalan oftalmologi dilibatkan dalam penelitian ini. Rincian termasuk usia,
jenis kelamin, durasi dan jumlah miopia dicatat. Ketajaman visual di
kedua mata diukur dengan Snellen Chart. Bahan lain yang digunakan
adalah
 Pemeriksaan slitlamp untuk pemeriksaan segmen anterior
 Tonometer Aplanasi Goldmann untuk mengukur tekanan intra
okuler di kedua mata
 Bausch dan lomb keratometer untuk mengukur kelengkungan
kornea pada kedua mata
 Ultrasonografi Biometer Sebuah mesin dengan tampilan digital
digunakan untuk menilai kedalaman bilik mata depan, panjang
aksial, ketebalan lensa dan kedalaman ruang vitreous
 Oftalmoskopi langsung dan tidak langsung digunakan untuk
pemeriksaan fundus.
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

 Miopia sederhana,  Miopia kongenital,


 Miopia patologis,  Astigmatisme miopik
 Rabun antara 7-35 majemuk,
tahun.  Presbiopia dengan
miopia

1.5. Hasil
Mayoritas pasien (28,6%) berasal dari kelompok usia 16-20 tahun
dalam penelitian ini. 137 pasien (27,4%) dalam kelompok usia 21-25
tahun berpartisipasi dalam penelitian ini (Tabel 1).
Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Usia
Kelompok usia minimal 7 tahun dan maksimal 35 tahun untuk
penelitian ini. Dari 500 pasien, 276 pasien adalah perempuan dan 224
laki-laki (Tabel 2).

Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin

Dalam penelitian ini mayoritas (44,8%) pasien mengalami miopia


antara nilai Dioptri -2,25 hingga -4. Sekitar 81 pasien mengalami rabun
jauh lebih dari 10 Diopter (Tabel 3).
Tabel 3. Persentasi Pasien Dalam Jumlah Miopia

Sekitar 223 pasien (44,6%) mengalami tekanan intra okular (TIO)


16mmHg. 14 pasien mengalami TIO 14mmHg dan 8 pasien mengalami
TIO 20mmHg (Tabel 4).
Tabel 4. Perbedaan Tekanan Intra Okular dan Jumlah Miopia

Sekitar 223 pasien memiliki nilai kelengkungan kornea jari-jari


43,75D, 147 pasien memiliki nilai kelengkungan kornea 43,25D dan 122
pasien memiliki nilai kelengkungan kornea 45D (Tabel 5).
Tabel 5. Perbedaan Jarak Kelengkungan Kornea (K-reading) dan
Jumlah Miopia

Nilai minimum kedalaman ruang anterior yang diperoleh pada


penelitian ini adalah 3,04mm dan nilai maksimum yang diperoleh adalah
3,96mm. Mayoritas kedalaman ruang anterior pasien adalah 3,36 mm
(Tabel 6).
Tabel 6. Perbedaan Kedalaman Bilik Mata Depan (ACD) dan
Jumlah Miopia

Nilai ketebalan lensa maksimal yang didapat pada penelitian ini


adalah 3.74mm dan nilai minimum yang didapat pada penelitian ini
adalah 3.43mm. Nilai rata-rata ketebalan lensa untuk semua mata adalah
3.56mm (Tabel 7).
Tabel 7. Perbedaan Ketebalan Lensa (LT) dan Jumlah Miopia
Nilai kedalaman ruang vitreous minimum yang diperoleh pada
penelitian ini adalah 16.66mm dan nilai maksimum 19.72mm. Nilai rata-
rata untuk seluruh rentang nilai kedalaman ruang dalam vitreous adalah
18,40 mm (Tabel 8).
Tabel 8. Perbedaan Kedalaman Ruang Vitreous (VCD) dan Jumlah
Miopia

Sekitar 8 pasien memiliki nilai kedalaman ruang vitreous 19,72


mm yang tinggi. Nilai panjang aksial minimum yang diperoleh dalam
penelitian ini adalah 21.74mm dan nilai maksimum 26.74mm. Nilai rata-
rata panjang aksial untuk semua mata adalah 24.60mm (Tabel 9)
Tabel 9. Perbedaan Panjang Aksial dan Jumlah Miopia

1.6. Diskusi
Prevalensi miopia pada populasi umum di India telah dilaporkan
6,9%. Sekitar 25% orang berusia antara 12 dan 54 tahun di AS menderita
rabun jauh. Dalam studi ini mayoritas (28,6%) dari pasien berpartisipasi
dalam kelompok usia 16-20 tahun. 55,2% pasien perempuan dan 44,8%
pasien laki-laki berpartisipasi dalam penelitian ini. Prevalensi miopia
patologis mungkin melibatkan 1,7 hingga 2,1% populasi Kaukasia. Dalam
penelitian ini 419 pasien (83,8%) mengalami miopia sederhana (kekuatan
<6D) dan 81 pasien (16,2%) mengalami miopia patologis (kekuatan >
6D). Tekanan intraokular rata-rata (TIO) keseluruhan pada miopia adalah
15mmHg dalam penelitian ini. Rata-rata TIO pada mata rabun mirip
dengan penelitian ini di sebagian besar penelitian sebelumnya. Becker et
al, dalam penelitian mereka melaporkan bahwa rata-rata TIO adalah
15,35 mmHg. Dalam penelitian ini rata-rata TIO meningkat seiring
bertambahnya usia. Studi yang dilakukan oleh Abdulla MI dan Hamdi M,
juga sepakat bahwa tekanan intra okuler meningkat pada miopia yang
lebih tua. Dalam penelitian ini, rata-rata TIO ditemukan tinggi
(15.33mmHg) pada miopia sederhana daripada miopia patologis
(14.66mmHg). Tetapi tidak ada korelasi antara derajat miopia dan
tekanan intra okular dalam penelitian ini. Abdulla MI dan Hamdi M,
memiliki observasi serupa dalam studi mereka. Brien Mc dan Millodot M,
menemukan bahwa nilai jari-jari kornea horizontal dan kelengkungan
vertikal antara miopia dan emetropia adalah sama. Biasanya jarak
kelengkungan kornea adalah 43,25 D di emetropia tetapi dalam penelitian
ini jari-jari kelengkungan kornea rata-rata adalah 44,12D.
Tien yin Wong et al, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan pada kelengkungan kornea antara emetropia dan kelainan
refraksi. Grosvenor T dan Scott R, menemukan bahwa kekuatan kornea
rata-rata secara signifikan lebih besar untuk miopia daripada untuk
emetropia. Kekuatan kornea serta panjang aksial meningkat secara
signifikan dengan meningkatnya jumlah miopia. Setiap kornea menjadi
lebih curam (peningkatan kekuatan kornea atau peningkatan
kelengkungan kornea) pada mata rabun terjadi sangat awal dalam
perkembangan miopia. Bai-chuan Jiang dan Woessner WM, Mereka
berhipotesis bahwa penebalan kornea terjadi pada awal perkembangan
miopia atau bahkan sebagai pendahulu miopia tetapi perkembangan
miopia disebabkan terutama oleh pemanjangan aksial. Pada penelitian ini
370 pasien memiliki jarak kelengkungan kornea kurang dari 44 D dan 130
pasien memiliki jarak kelengkungan lebih dari 44D. Variasi radius
kelengkungan kornea secara statistik tidak signifikan. Calmettes L et al,
menyarankan bahwa kedalaman bilik mata depan meningkat secara
teratur hingga usia 20 tahun dan mencapai maksimum 3,76mm antara 20
dan 30 tahun dan kemudian menurun secara perlahan seiring
bertambahnya usia untuk mencapai maksimum 3,23mm.19 Dia
menemukan bahwa maksudnya nilai kedalaman bilik mata depan adalah
3.62mm pada mata rabun dibandingkan dengan 3.58mm pada kedalaman
bilik mata depan di emetropia.
Namun, nilai yang diperoleh tidak signifikan secara statistik.
Mereka menemukan korelasi positif antara kedalaman bilik mata depan
dan diameter kornea. Stenstrom dalam memeriksa diagram
penyebarannya menyatakan bahwa nilai maksimum untuk kedalaman
bilik mata depan ditemukan untuk miopia dengan urutan 5D. Di luar ini,
kedalaman bilik mata depan berhenti meningkat. Tapi dalam penelitian
ini kedalaman bilik mata depan rata-rata adalah 3.55mm. McBries dan
Adams, menemukan bahwa perubahan utama pada komponen okuler pada
mata yang menunjukkan progresi adalah peningkatan panjang aksial dan
komponen lainnya termasuk kedalaman bilik mata depan dan ketebalan
lensa tetap sama.
Erickson mengemukakan pengaruh perubahan kedalaman bilik
mata depan dan kesalahan bias bergantung pada struktur penyebabnya.
Jika kedalaman bilik mata depan 0.1mm terjadi akibat tumbuhnya kornea
menjauh dari lensa, maka 0.14D miopia terjadi. Tetapi jika peningkatan
disebabkan oleh pergeseran lensa ke posterior maka terjadi hipermetropia
0,13D. Kedalaman bilik mata depan rata-rata adalah 3,55mm untuk
semua miopia dalam penelitian ini. Bilik mata depan yang lebih dalam
terlihat pada miopia di kisaran 8-9D dalam penelitian ini.
Ketebalan normal lensa manusia adalah 4mm pada usia 20 tahun,
4.3mm pada usia 40 tahun, 4.45mm pada usia 50 tahun dan 4.7mm pada
usia 60 tahun. Kenneth J dan Hoffer, menemukan bahwa mata dengan
panjang sumbu <23mm memiliki rata-rata ketebalan lensa 4.76mm,
sedangkan mata dengan panjang sumbu 24mm atau lebih memiliki
ketebalan lensa rata-rata 4.54mm. Ketebalan lensa minimum bervariasi di
semua kelompok panjang aksial tetapi nilai maksimum menurun seiring
bertambahnya panjang aksial. McBrien et al, menemukan bahwa miopia
memiliki lensa yang jauh lebih tipis, biasanya lensa yang lebih tipis
menyiratkan lensa daya yang lebih lemah. Penjelasan yang mereka ajukan
adalah bahwa mata rabun mengalami displasia zonular dan mengurangi
perkembangan lensa. Sanjeewa et al, mengemukakan bahwa ketebalan
lensa lebih berpengaruh daripada kedalaman bilik mata depan dalam
menentukan refraksi. Fledelius HC dkk, menyarankan bahwa lensa yang
lebih tebal tidak selalu berarti kekuatan lensa yang lebih tinggi karena
ketebalan lensa yang terus menerus sepanjang hidup tidak menyebabkan
banyak perubahan secara umum. Zadnik K et al, menemukan bahwa mata
rabun berhubungan dengan panjang aksial yang berlebihan, kornea yang
curam dan lensa yang tipis dan kurang kuat. Fledlius HC dan Stubgaars
M, menemukan bahwa ketebalan lensa meningkat dan kedalaman bilik
mata depan menurun seiring bertambahnya usia. Barbura E et al,
menemukan bahwa ketebalan lensa sangat terkait dengan usia orang
dewasa yang menunjukkan peningkatan dalam usia. Nilai rata-rata
ketebalan lensa dalam penelitian ini untuk semua mata rabun adalah 3,56.
Lensa yang lebih tebal diamati pada miopia derajat rendah dan sedang
dan miopia derajat lebih tinggi memiliki lensa lebih tipis.
Lensa tipis yang signifikan secara statistik terlihat pada miopia
dengan derajat yang lebih tinggi dalam penelitian ini. Sanjeewaw et al,
mencatat bahwa panjang aksial dan kedalaman ruang vitreous adalah
penentu terkuat dari kesalahan bias. Tien Yin Wong dkk, menemukan
bahwa miopia memiliki panjang aksial yang lebih panjang, kedalaman
bilik mata depan yang dalam, dan kedalaman ruang vitreus yang lebih
panjang dari pada hipermetropi. Grosvenor T dan Scott R, menyimpulkan
bahwa miopia berkembang sebagai akibat dari pemanjangan antero-
posterior mata sehingga mata rabun memiliki kornea yang lebih curam,
ruang vitreous yang lebih dalam, panjang aksial yang lebih panjang dan
lensa yang sedikit berbeda. Mereka menyarankan bahwa peningkatan
panjang aksial yang tidak sepenuhnya dikompensasi oleh penurunan
kekuatan lensa yang menentukan miopia. BaiChuan-Jiang dan WM
Woessner, menemukan korelasi yang tinggi antara kesalahan bias dan
panjang aksial. Perpanjangan aksial merupakan konsekuensi dari
perubahan kedalaman ruang vitreous. Nilai rata-rata panjang aksial untuk
semua mata adalah 24,60 mm dalam penelitian ini. Mc Brien dan Adams
DW, menyimpulkan bahwa satu-satunya perbedaan dalam perubahan
dimensi komponen okuler untuk mata rabun adalah pemanjangan
kedalaman ruang vitreous. Goss DA et al, menyimpulkan dalam
penelitian mereka bahwa kedalaman vitreous lebih besar di miopia
daripada di emetropia. Nilai rata-rata untuk kedalaman ruang vitreous
adalah 18,40mm dalam penelitian ini. Tanja RM dkk, mengamati bahwa
panjang aksial pada mata rabun 4mm lebih panjang dari pada
emmetropia. Mereka menemukan bahwa kedalaman ruang anterior pada
mata emmetropia rata-rata 3,61 mm tetapi pada mata rabun 3,73 mm.
Tetapi dalam penelitian ini rata-rata kedalaman ruang anterior adalah
3.55mm dan panjang aksial rata-rata adalah 24.60mm.
Kesimpulan
Kesalahan bias tidak dapat ditentukan oleh komponen optik
sederhana, itu adalah hasil dari efek interaktif gabungan. Berdasarkan
temuan kami tidak ada korelasi antara kelengkungan kornea, tekanan intra
okuler dan jumlah miopia. Tetapi panjang aksial, ketebalan lensa,
kedalaman ruang anterior, dan kedalaman ruang kaca adalah penentu
terkuat dari kesalahan bias.
BAB II
KRITISI JURNAL

2.1 Kreabilitas Jurnal


2.1.1 Umum
Sumber : International Journal of Research in Medical Sciences
August 2018 Vol 6 Issue 8
Judul : Judul jurnal pada penelitian ini “A cross sectional clinical
study on correlation between myopia and intraocular
pressure and ocular biometric values among adults in
tertiary eye care in Palakkad, Kerala, India”
Pada judul jurnal ini sudah spesifik, jelas, dan menarik
minat untuk dibaca. Namun, jumlah kata yang digunakan
terlalu banyak yaitu 27 kata, sebaiknya jumlah kata yang
digunakan untuk judul penelitian tidak lebih dari 15 kata.
Penulis : Raja A. M.*, Rajendraprasad A., Seema G.
Peneliti sudah mencantumkan juga tempatnya bekerja
(Department of Ophthalmology, Karuna Medical College
and Hospital, Palakkad, Kerala, India) dan e-mail
(amraja83@gmail.com).
Abstrak : Abstrak pada jurnal ini sudah cukup baik karena sudah
menggambarkan secara garis besar bagaimana isi dari
jurnal dan mengandung IMRAD (Introduction, Methods,
Result dan Discussion). Terdapat Kata Kunci dalam
penelitian ini
Jumlah kata yang digunakan pada abstrak sudah memenuhi
kriteria jurnal <250 kata yaitu sebanyak 219 kata dalam
bahasa inggris dan 206 kata dalam bahasa Indonesia.
Pendahuluan : Pendahuluan sudah cukup baik karena dapat
menggambarkan bagaimana latar belakang dalam jurnal
dan sudah menunjukan angka besar masalah dan
menjelaskan teori yang mendasari penelitian
Desain : Cross-sectional
penelitian Lebih baik menggunakan Cohort Study karena desain
penelitian cross sectional adalah desain penelitian yang
sangat lemah.
Tempat : Bagian oftalmologi RS Karuna Palakkad, Kerala, India
penelitian
Waktu : Penelitian ini dilakukan dari bulan September 2015 hingga
penelitian Agustus 2017, untuk tanggal pasti dimulainya penelitian ini
tidak diketahui. Waktu untuk melakukan penelitian ini
cukup baik karena melakukan penelitian sekitar 2 tahun.
Sampel : - Pada penelitian ini menggunakan 500 pasien dengan
penelitian memakai kriteria inklusi dan esklusi untuk menetukan
sampel penelitian
- Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah Miopia
sederhana, Miopia patologis, Rabun antara 7-35 tahun
- Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah Miopia
kongenital, Astigmatisme miopik majemuk, Presbiopia
dengan miopia
Hasil :
Penyajian data pada hasil penelitian dijelaskan dalam
bentuk tabel dengan baik namun tidak dijelaskan dijelaskan
uji statistic apa yang digunakan dalam penelitian ini.
Diskusi : Penjelasan mengenai diskusi pada penelitian ini sudah
dijelaskan dengan bahasa yang mudah di mengerti.
Kesimpulan Kesimpulan dibuat dengan kalimat yang singkat, jelas,dan
mudah dimengerti.
Ucapan Pada jurnal ini tidak terdapat ucapan terimakasih kepada
terima kasih pihak-pihak yang telah membantu atau berparstisipasi pada
penelitian.
Daftar : - Jurnal ini menggunakan 31 daftar pustaka, namun 27
pustaka literatur diterbitkan lebih dari 10 tahun terakhir
(terhitung dari masa terbitnya jurnal ini) sebaiknya
dalam daftar pustaka jurnal lebih baik menggunakan
literature yang terbaru atau < 10 tahun.
- Teknik penulisan daftar pustaka pada jurnal ini
menggunakan Vancouver style.

2.2 Mengkaji PICO


Populasi : 500 pasien miopia di RS Karuna Palakkad Kerala, India
Intervensi : Pemeriksaan kelainan refraksi, TIO, kedalaman bilik mata
depan, ketebalan lensa, kedalaman ruang vitreous, dan
panjang aksis
Comparation : -
Outcome : Miopia berhubungan dengan kedalaman bilik mata depan,
ketebalan Lensa, kedalaman ruang vutreous, dan panjang axis

2.3 Analisis VIA


2.3.1 Validity
a. Apakah rancangan penelitian yang dipilih sesuai dengan
pertanyaan peneliti?
Ya, Karena dalam jurnal ini bertujuan untuk mengetahui apakah
ada korelasi antara tekanan intra okuler dan nilai biometrik okuler
seperti kelengkungan kornea, kedalaman bilik mata depan, ketebalan
lensa dan kedalaman ruang vitreous pada mata rabun.
b. Apakah dijelaskan cara menentukan sampel ?
Ya, Dalam jurnal ini menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi
untuk menentukan sampel penelitian
c. Apakah dijelaskan mengenai kriteria inklusi dan eksklusi?
Ya, dijelaskan untuk kriteria inklusi dan esklusi
d. Apakah dalam penelitian sampel dilakukan randomisasi?
Tidak, Dalam penelitian ini tidak dilakukan randomisasi
e. Apakah dijelaskan jenis uji hipotesis yang dilakukan dalam
penelitian ini?
Tidak , tidak dijelaskan uji hipotesis apa yang digunakan pada
penelitian
2.3.2 Importance
a. Subjek penelitian
Ya, 500 pasien dengan miopia
b. Drop Out
Tidak, dalam penelitian ini tidak dijelaskan mengenai drop out
sampel penelitian.
c. Analisis
Ya, dalam penelitian ini dijelaskan mengenai analisa didalam
diskusi.
d. Nilai P
Ya, Terdapat nilai p dalam penelitian ini.
e. Confidence interval
Tidak, dalam penelitian ini tidak dicantumkan nilai Confidence
Interval oleh peneliti.
2.3.3 Aplikabilitas
a. Apakah subjek penelitian sesuai dengan karakteristik yang akan
dihadapi?
Ya, karena subjek penelitian yang digunakan sesuai dengan
karakteristik yang diinginkan oleh peneliti yaitu sampel pasien dengan
miopia.
b. Apakah setting lokasi penelitian dapat diaplikasikn disituasi kita?
Ya, karena masalah ini juga terdapat di indonesia sehingga bisa
dijadikan acuan penerapan di lapangan.
c. Apakah hasil penelitian dapat diaplikasikan pada pasien di
institusi kita?
Ya, penelitian ini dapat diaplikasikan pada kondisi institusi saat
ini.
d. Apakah terdapat kemiripan pasien di tempat praktik atau
institusi dengan hasil penelitian?
Ya, karena subjek penelitian yang digunakan sama dengan di
Indonesia.
2.4 Kelebihan dan Kekurangan Jurnal
2.4.1 Kelebihan Jurnal
1. Jurnal ini dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya karena
merupakan penelitian awal yang masih bisa dikembangkan lagi
2. Waktu yang digunakan dalam penelitian sudah cukup baik sekitar 2
tahun
3. Dalam penelitian ini juga sudah menggunakan kriteria inklusi dan
eksklusi sehingga dapat meminimalkan dari bias yang mungkin saja
bisa terjadi dalam penelitian ini
2.4.2 Kekurangan Jurnal
1. Pada abstrak kurang menuliskan tujuan pemeriksaan yaitu untuk
menilai panjang aksis.
2. Tidak dijelaskan bagaimana cara pengambilan data, apakah data
tersebut data primer atau data sekunder
3. Dalam penelitian ini juga tidak dijelaskan uji analisis statistik apa yang
digunakan
4. Interprestasi tabel 8 (nilai minimun dan maximun) tidak sesuai dengan
isi tabel.
5. Hasil pengukuran TIO, kelengkungan kornea, kedalaman bilik mata
depan, panjang aksis, dll hanya ditampilkan 1 hasil. Dan tidak
dijelaskan apakah hasil yang dilampirkan menggunakan mata
kanan/kiri atau rata-rata dari hasil pengukuran mata kanan dan kiri
BAB III
KESIMPULAN
Pada kritisi jurnal ini penulis dapat memberikan gambaran secara lengkap
mengenai analysis dari isi jurnal yang dimana dapat disimpulkan bahwa isi jurnal
kurang maksimal dalam kriteria PICO VIA, sehingga diharapkan pada
pembahasan ini dapat memberikan manfaat pada peneliti selanjutnya dan dapat
diaplikasikan oleh tenaga medis di Indonesia maupun di dunia sebagi acuan
evidence based medicine.

Anda mungkin juga menyukai