Anda di halaman 1dari 21

USULAN PENELITIAN

KARAKTERISTIK PASIEN PRESBIOPI


DI RUMAH SAKIT UMUM SANGLAH
TAHUN 2017-2018

Disusun Oleh
dr. Paskalin Yohansyah

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


UNIVERSITAS UDAYAN
DENPASAR
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan penglihatan merupakan salah satu keluhan utama
yang menyebabkan seorang pasien datang ke dokter mata. Gangguan
penglihatan tersebut sebagian sangat erat kaitannya dengan refraksi. Mata
dapat dianggap sebagai kamera, yang terdiri dari media refrakta dengan
retina sebagai filmnya. Media refrakta pada mata dari depan ke
belakang terdiri atas kornea, humour aqueus, lensa, dan vitreus. Semua
media ini bersifat jernih, memiliki permukaannya sendiri, kurvatura dan
indeks bias berlainan, serta melekat satu sama lain sehingga merupakan
satu kesatuan yang jumlah kekuatan refraksi totalnya merupakan jumlah
masing-masing komponennya.
Kelainan refraksi merupakan salah satu penyebab terbanyak gangguan
penglihatan di seluruh dunia dan menjadi penyebab kedua kebutaan
yang dapat diatasi (American Academy of Ophthalmology, 2016).
Estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di seluruh
dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi, sebesar
0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta
orang mengalami low vision. 65% orang dengan gangguan penglihatan
dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau lebih. (WHO,
2012)
Penyebab gangguan penglihatan terbanyak diseluruh dunia
adalah gangguan refraksi yang tidak terkoreksi, diikuti oleh katarak dan
glaukoma. Sebesar 18% tidak dapat ditentukan dan 1% adalah gangguan
penglihatan sejak masa kanak-kanak. (WHO, 2012)
Berdasarkan survei kebutaan tahun 1993, angka kebutaan Indonesia
mencapai 1,5% dari seluruh populasi. Pada tahun 2003 telah dilaporkan
melalui sebuah penelitian di Sumatra bahwa angka kebutaan pada kedua mata
sebesar 2,2%. Dan pada 2007 sebuah survei di Purwakarta, Jawa Barat
mengemukakan angka kebutaan 1,67%. Angka kebutaan yang besar ini
menempatkan angka kebutaan Indonesia menjadi yang tertinggi kedua di

2
dunia setelah Ethiopia, dilaporkan pada Asia Pacific Academy
of Opthalmology di Sydney 2010. Dengan angka kebutaan Indonesia diatas 1
% menjadikan kebutaan tidak hanya menjadi masalah kesehatan tetapi
sudah menjadi masalah sosial. (Riskesdas, 2014)
Hasil kebutaan dan ganguan penglihatan pada Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) 2007 maupun 2013 oleh kalangan profesi kesehatan mata
dinilai tidak menunjukkan gambaran kebutaan dan gangguan
penglihatan di Indonesia karena beberapa hal, antara lain kemampuan
enumerator yang tidak memadai untuk mendeteksi kebutaan dan gangguan
penglihatan beserta penyebabnya. Hal ini diakui pada hasil Riskesdas
2013 yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia bahwa
hasil penilaian enumerator untuk menilai kebutaan dan gangguan kesehatan
tidak valid. Hal ini juga diperkuat dengan validasi penilaian
enumerator Riskesdas 2013 yang dilakukan oleh Perdami yang
mendapatkan hasil kappa 0,3 (penilaian enumerator dianggap valid
apabila kappa ≥ 0,6) (Riskesdas, 2014)
Hal tersebut juga disertai keterbatasan dalam pengumpulan data visus
yaitu tidak dilakukannya koreksi visus, tetapi dilakukan pemeriksaan
visus tanpa pin-hole dan jika visus tidak normal (kurang dari 6/6 atau
20/20) dilanjutkan dengan pemeriksaan pon-hole, seperti yang
dilakukan saat Riskesdas 2007.
Tiga kelainan refraksi yang paling sering dijumpai adalah miopia,
hipermetropia dan astigmatisme. Selain itu terdapat kelainan refraksi lain
yang disebut presbiopi. Presbiopi berbeda dengan ketiga jenis lainnya, yakni
berhubungan dengan proses penuaan dan terjadi hampir pada seluruh individu
(WHO, 2009). Dampak presbiopi terhadap kualitas hidup pada populasi
global telah menempatkan penanganan presbiopi di lini depan penelitian
secara signifikan. Selain itu, presbiopi merupakan tantangan
kesehatan masyarakat yang penting, karena dapat mempengaruhi kualitas
hidup orang tua (Patel dan West, 2007).
Presbiopi merupakan keadaan refraksi mata, dalam hal ini punctum
proksiumum telah begitu jauh, sehingga pekerjaan dekat yang halus
seperti membaca dan menjahit sukar dilakukan. Proses ini merupakan
keadaan

3
fisiologis, terjadi pada setiap mata, dan tidak dianggap sebagai
suatu penyakit. Sepanjang hidup terjadi pergeseran sedikit demi
sedikitpada lensa dimulai dari nukleus. Ini menyebabkan lensa mendapat
kesukaran dalam mengubah bentuknya pada penglihatan dekat untuk
menambah daya biasnya karena lensa tidak kenyal lagi. Dengan
demikian daya akomodasinya erkurang akibat proses pengendoran dari
zonula zinii menjadi tidak sempurna.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan suatu masalah yaitu:
Bagaimanakah Karakteristik Pasien Presbiopi di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Tahun 2017-2018

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Karakteristik Pasien
Presbiopi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi tentang
Karakteristik Pasien Presbiopi di Rumah Sakit Umum Sanglah Periode
2017-2018.
2. Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini akan menjadi sumber bacaan untuk
penelitian berikutnya.
3. Bagi peneliti sendiri, dapat dijadikan bahan masukan dan
pembelajaran yang bermanfaat untuk perkembangan keilmuan peneliti.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Presbiopi


Lensa merupakan bangunan bikonveks, tersusun oleh epitel
yang mengalami diferensiasi yang tinggi. Lenda terdiri dari 3 bagian, yaitu
kapsul, yang bersifat elastis; epitel yang merupakan asal serabut lensa; dan
substansia lensa yang lentur dan pada orang muda dapat berubah,
tergantung tegangan kapsul lensa. Lensa berfungsi sebagai media refrakta
(alat dioptri). Lensa terus-menerus mengalami perkembangan sejak
indidu dilahirkan. Saat dewasa bentuk lensa berubah menjadi lebih
kurva, ketebalan korteks lensa bertambah, dan ukuran lensa berubah
menjadi 9mm antar ekuatur, 5 mm anteroposterior dan berat 255 mg.
Oleh karena itu, kekuatan refraaksi lensa juga semakin bertambah seiring
dengan bertambahnya usia, namun indeks refraksi justru menurun yang
mungkin disebabkan oleh munculnya partikel protein yang tidak larut
(Buku Ajar Ilmu Penyakit Mata FK UGM Edisi 3)
Presbiopi merupakan gangguan penglihatan yang berkaitan dengan usia
(American Academy of Ophthalmology, 2016). Hilangnya daya
akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada semua
orang disebut presbiopi. Di Indonesia, presbiopi biasanya mulai terjadi oada
umur 4o tahun. Kekuatan akomodasi pada berbagai umur menurut Duane
adalah sebagai berikut. Anak umur 10 tahun 13,4 D; 15 tahun 12,3 D; 20
tahun 11,2 D; 25 tahun 10D; 30 tahun8,7 D; 35 tahun 7,3 D; 40 tahun 5,7 D;
45 tahun 3,9 D;
50 tahun 2,1 D; 55 tahun 1,4 D; dan 60 tahun 1,2 D (Buku Ilmu Kesehatan
mata FK UGM Edisi 3).
Gagal penglihatan dekat akibat usia, berhubungan dengan penurunan
amplitudo akomodasi atau peningkatan punctum proximum (Khurana, 2005)

2.2 Epidemiologi
Prevalensi presbiopi lebih tinggi pada populasi dengan usia
harapan hidup yang tinggi. Karena presbiopi berhubungan dengan usia,

5
prevalensinya berhubungan langsung dengan orang-orang lanjut usia dalam
populasinya.

6
Estimasi jumlah orang dengan gangguan penglihatan di seluruh
dunia pada tahun 2010 adalah 285 juta orang atau 4,24% populasi, sebesar
0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 3,65% atau 246 juta
orang mengalami low vision. 65% orang dengan gangguan penglihatan
dan 82% dari penyandang kebutaan berusia 50 tahun atau lebih. (WHO,
2012)
Walaupun sulit untuk melakukan perkiraan insiden presbiopi karena
onsetnya yang lambat, namun dapat dilihat bahwa insiden tertinggi presbiopi
terjadi pada usia 42 hingga 44 tahun. Studi di Amerika pada tahun
2006 menunjukkan 112 juta orang di Amerika mempunyai kelainan
presbiopi. (American Academy of Ophthalmology, 2016)

2.3 Etiologi
Yang menjadi etiologi presbiopi adalah:
- Kelemahan otot akomodasi
- Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa
(Ilyas, 2010).
2.4 Patofisiologi
Presbiopi merupakan keadaan refraksi mata, dalam hal ini punctum
proksimum telah begitu jauh, sehingga pekerjaan dekat yang halus seperti
membaca dan menjahit sukar dilakukan. Proses ini merupakan keadaan
fisiologis, terjadi pada stiap mata, dan tidak dianggap sebagai suatu penyakit.
Sepanjang hidup terjadi pengerasan lensa sedikit demi sedikit pada lensa
dimulai dari nukleus. Ini menyebabkan lensa mendapat kesukaran dalam
mengubah bentuknya pada penglihatan dekat untuk menambah daya
biasnya karena lensa tak kenyal lagi. Dengan demikian daya akomodasinya
berkurang akibat proses sklerosis ini. Ditambah lagi dengan adanya kontraksi
dari otto siliar yang berkurang sehingga pengendoran dari zonula Zinii
menjadi tidak sempurna (Buku Ilmu Kesehatan Mata FK UGM Edisi 3)
Pada presbiopi, sifat fisiologik lensa yang berupa kelenturan berkurang,
mengakibatkan lensa tidak dapat mencembung sebagaimana fungsinya dalam
memfokuskan objek (Ilyas, 2010). Kelenturan lensa berkurang seiring
meningkatnya usia. Hal ini disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada

7
protein lensa seiring bertambahnya usia, sehingga menyebabkan
lensa menjadi keras dan kurang elastis. Keadaan ini menimbulkan
manifestasi berupa gangguan akomodasi. Selain berkurangnya
kelenturan lensa, gangguan akomodasi pada usia lanjut juga disebabkan
oleh kelemahan otot akomodasi (Ilyas, 2010). Kelenturan lensa dan
kelemahan otot akomodasi yang menurun menyebabkan semakin
jauhnya titik dekat penglihatan sehingga kemampuan akomodasi
berkurang (Ganong, 2002).
Titik dekat penglihatan adalah titik terdekat ke mata yang masih dapat
memfokuskan suatu benda dengan jelas oleh akomodasi. Titik dekat
akan semakin jauh seiring dengan pertambahan usia, dari sekitar 9 cm pada
usia 10 tahun menjadi 83 cm pada usia 60 tahun. Kelengkungan
lensa dapat ditingkatkan, namun sifatnya terbatas (batas akomodasi
maksimum). Hal tersebut menyebabkan berkas sinar dari suatu benda
yang letaknya kurang dari titik penglihatan yang dimiliki tidak dapat
difokuskan di retina walaupun telah dilakukan akomodasi maksimum
(Ganong, 2002).

2.5 Faktor Risiko


Usia merupakan faktor risiko utama penyebab presbiopi. Namun
pada kondisi tertentu dapat terjadi presbiopi prematur sebagai hasil dari
faktor- faktor seperti trauma, penyakit sistemik, penyakit jantung, atau efek
samping obat.
- Usia, terjadi pada atau setelah usia 40 tahun
- Hiperopia (Hipermetropia), kerusakan akomodasi tambahan jika tidak di
koreksi
- Jenis kelamin, onset awal terjadi pada wanita
- Penyakit atau trauma pada mata, kerusakan pada lensa, zonula, atau
otot siliar
- Penyakit sistemik: diabetes mellitus, multipel sklerosis, kejadian
kardiovaskular, anemia, influenza, campak.
- Obat-obatan, penurunan akomodasi adalah efek samping dari obat
non- prescription dan prescription (contoh: alkohol,

8
klorpromazin, hidroklorotiazid, antidepresan, antipsikotik, antihistamin,
diuretik).

9
- Lain-lain: Kurang gizi, penyakit dekompresi. (American Academy of
Ophthalmology, 2016)

2.6 Klasifikasi
2.6.1. Presbiopi Insipien
Presbiopi insipien merupakan tahap awal di mana gejala
atau temuan klinis yang mulai menunjukkan gejala awal
gangguan penglihatan dekat. Pada presbiopi insipien dibutuhkan
usaha yang lebih untuk membaca tulisan kecil. Biasanya, pasien
membutuhkan bantuan kacamata, namun tidak tampak kelainan
bila dilakukan pemeriksaan dan pasien lebih memilih untuk
menolak diberikan kacamata baca.
2.6.2. Presbiopi Fungsional
Ketika dihadapkan dengan amplitudo akomodasi yang
berangsur–angsur menurun, pasien dewasa mengeluhkan adanya
gangguan penglihatan serta ditemukan kelainan pada saat
dilakukan pemeriksaan.
2.6.3. Presbiopi Absolut
Sebagai akibat dari penurunan akomodasi yang bertahap dan
terus menerus, presbiopi fungsional dapat berkembang menjadi
presbiopi absolut. Presbiopi absolut adalah kondisi di
mana kemampuan mata unduk berakomodasi.
2.6.4. Presbiopi Prematur
Presbiopi premature adalah berkurangnya kemampuan
akomodasi penglihatan jarak dekat mata yang lebih cepat
dari perkiraan. Presbiopi ini terjadi dini pada usia sebelum 40 tahun,
dan berhubungan dengan lingkungan, gizi, penyakit atau obat–
obatan, hipermetropia yang tidak terkoreksi, prematur sklerosis
dari lensa kristalin, dan glaukoma simpleks kronik.
2.6.5. Presbiopi Nokturnal
Presbiopi nokturnal adalah kondisi dimana terjadi kesulitan
untuk melihat jarak dekat yang disebabkan oleh penurunan amplitudo
akomodasi pada saat cahaya redup. Peningkatan ukuran pupil, dan

10
penurunan kedalaman menjadi penyebab berkurangnya jarak
penglihatan dekat dalam cahaya redup (American Academy of
Ophthalmology, 2016).

2.7 Tanda dan Gejala


Penderita presbiopi mengeluhkan gejala awal berupa penglihatan kabur
dan ketidakmampuan melihat dengan jelas benda-benda yang letaknya dekat.
Gejala lainnya berupa keterlambatan memfokuskan benda-benda
dekat, ketidaknyamanan pada mata, nyeri kepala, kelelahan mata (astenopia),
lelah dan mengantuk pada saat bekerja yang membutuhkan penglihatan dekat
terus- menerus, diplopia, dan membutuhkan cahaya terang untuk membaca
(Mancil O.D., et al., 2011)
Presbiopi terjadi secara bertahap. Penglihatan yang kabur, dan
ketidakmampuan melihat benda–benda yang biasanya dapat dilihat pada jarak
dekat merupakan gejala dari presbiopi. Gejala lain yang umumnya
terjadi pada presbiopi adalah:
- Keterlambatan saat memfokuskan pada jarak dekat.
- Mata terasa tidak nyaman, berair, dan sering terasa pedas.
- Sakit kepala.
- Astenopia karena kelelahan pada otot siliar.
- Menyipitkan mata saat membaca.
- Kelelahan atau mengantuk saat membaca dekat.
- Membutuhkan cahaya yang lebih terang untuk membaca.
(Ilyas, 2010)

2.8 Penatalaksanaan
2.8.1. Kacamata
Presbiopi dikoreksi dengan menggunakan lensa plus untuk
mengatasi daya fokus otomatis lensa yang hilang. Pada pasien
presbiopi, kacamata atau adisi diperlukan untuk membaca dekat
yang berkekuatan tertentu:
+ 1.0 D untuk usia 40 tahun

11
+ 1.5 D untuk usia 45 tahun
+ 2.0 D untuk usia 50 tahun
+ 2.5 D untuk usia 55 tahun
+ 3.0 D untuk usia 60 tahun
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3.0 dioptri
adalah lensa positif terkuat yang dapat diberikan pada
seseorang. Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan
kebutuhan jarak kerja pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat
subjektif sehingga angka–angka di atas bukan merupakan angka yang
tetap.
Kacamata baca memiliki koreksi-dekat di seluruh aperture
kacamata sehingga kacamata tersebut baik untuk membaca,
tetapi membuat benda-benda jauh menjadi kabur. Untuk mengatasi
gangguan ini, dapat digunakan kacamata yang bagian atasnya
terbuka dan tidak terkoreksi untuk penglihatan jauh. Kacamata
bifokus melakukan hal serupa tetapi memungkinkan untuk koreksi
kalainan refraksi yang lain. Kacamata trifokus mengoreksi
penglihatan jauh disegmen atas, penglihatan sedang di segmen
tengah, dan penglihatan dekat di segmen bawah. Lensa progresif juga
mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh tetapi dengan
perubahan daya lensa yang progresif dan bukan bertingkat (Whitcher
dan Paul, 2009)

2.8.2. Pembedahan
Terdapat beberapa teknik bedah untuk mengoreksi presbiopi,
namun keselamatan, keberhasilan dan kepuasan pasien masih belum
bisa ditetapkan:
o Multifocal intraocular lens implants
o Accommodating intraocular lens implants
o Small-diameter corneal inlays
o Modified corneal surface techniques to create multifocal corneas
o Conductive keratoplasty (CK)
o Moldable intraocular lens implants (IOLs) to develop pseudophakic
accommodation. (American Academy of Opthalmology, 2016)

12
2.9 Prognosis
Hampir semua pasien presbiopi dapat berhasil dalam menggunakan
salah satu pilihan penatalaksanaan. Dalam beberapa kasus (misalnya, pasien
presbiopi yang baru menggunakan kacamata, pemakai lensa kontak,
pasien yang memiliki riwayat kesulitan beradaptasi dengan koreksi
visual), tambahan kunjungan untuk tindak lanjut mungkin diperlukan.
Selama kunjungan tersebut, dokter mata dapat memberikan anjuran kepada
pasien, verifikasi resep lensa dan penyesuaian bingkai. Kadang-kadang,
perubahan dalam desain lensa diperlukan. (American Academy of
Opthalmology, 2010)

13
BAB III
KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Jenis Kelamin

Usia

Presbiopi Hiperopia

Penyakit Sistemik

Trauma

Skema 3.1 variabel dependen dan variabel independen

Keterangan:

= Variabel Dependen

= Variabel Independen

3.2 Definisi Operasional


3.2.1. Presbiopi
Definisi : Presbiopi adalah gangguan penglihatan jarak dekat akibat
melemahnya otot akomodasi dan/atau
berkurangnya elastisitas lensa kristalin yang pada
umumnya berhubungan dengan pertambahan usia.

Alat Ukur : 1. Snellen Chart

14
2. Kartu baca dekat
3. Satu set lensa coba

Cara Ukur : Pemeriksaan Oftalmologi (Visus)

Hasil Ukur : 1. Penilaian tajam penglihatan.


2. Koreksi kelainan refraksi. Diberikan lensa mulai
+1 dinaikkan perlahan-lahan sampai terbaca huruf
terkecil pada kartu baca dekat dan kekuatan lensa ini
ditentukan.

3.2.2. Jenis kelamin


Definisi : Perbedaan jenis kelamin dari pasien sesuai dengan yang
tercatat dalam rekam medis.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.

Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:


1. Laki-laki
2. Perempuan

3.2.3. Usia
Definisi : Lamanya penderita hidup, sejak dilahirkan sampai
sekarang yang dinyatakan dalam satuan tahun.
Umur dalam penelitian ini adalah umur yang tercatat
dalam rekam medik pasien.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.

Hasil Ukur : Berupa data kategorik yaitu:


1. 40-45 tahun
2. 46-50 tahun
3. 51-55 tahun
4. 56-60 tahun

15
5. > 60 tahun

3.2.4. Hiperopia
Definisi : Hiperopia (Hipermetropia) atau long-sightedness
adalah suatu keadaan mata dimana sinar sejajar dari
jarak tak terhingga difokuskan di belakang retina tanpa
akomodasi. Oleh karena itu, orang tersebut akan
melihat gambaran yang buram.

Alat Ukur : 1. Snellen Chart


2. Gagang lensa coba
3. Satu set lensa coba

Cara Ukur : Pemeriksaan Oftalmologi (Visus)

Hasil Ukur :
1. Lensa positif terkecil ditambah pada mata yang diperiksa
dan bila tampak lebih jelas oleh pasien lensa positif
tersebut ditambah kekuatannya perlahan-lahan dan
diminta membaca huruf-huruf pada baris lebih bawah.
2. Pada pasien hipermetropia selamanya diberikan lensa sferis
positif terbesar yang memberikan tajam penglihatan
terbaik.

3.2.5. Penyakit Sistemik


Definisi : Penyakit sistemik adalah penyakit yang berkaitan
dengan adanya kelainan kondisi sistem metabolisme
tubuh manusia, khususnya berkaitan dengan presbiopi.

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.

Hasil Ukur : 1. Diabetes Mellitus


2. Penyakit Kardiovaskular
3. Multipel Sklerosis

16
3.2.6. Trauma
Definisi : Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola
mata, kelopak mata, saraf mata dan atau rongga orbita
karena adanya benda tajam atau tumpul yang mengenai
mata dengan keras/cepat ataupun lambat

Alat Ukur : Rekam medis

Cara Ukur : Pencatatan status pasien melalui rekam medis pasien.

Hasil Ukur : 1. Kerusakan pada lensa


2. Kerusakan pada zonula
3. Kerusakan pada otot siliar

17
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif retrospektif
untuk memberikan gambaran fakta mengenai beberapa karakteristik
pasien presbiopi di Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah yang terletak di Kecamatan Denpasar barat, Kota Denpasar .

4.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari hingga
Maret 2019.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien presbiopi di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Kota Denpasar Periode 2017-2018.

4.3.2 Sampel Penelitian


Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
total sampling, yaitu semua pasien presbiopi di Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah Kota Denpasar Periode 2017-2018.

4.4 Metode Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari pencatatan pada rekam medik pasien di Rumah Sakit Umum Pusat
Sanglah Kota Denpasar. Rekam medik pasien dengan penderita presbiopi

18
yang dipilih sebagai sampel, dikumpul dan dilakukan pencatatan tabulasi sesuai
dengan variabel yang akan diteliti.

4.5 Pengolahan dan Penyajian Data


4.5.1 Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan
komputer dan kemudian dianalisa menggunakan program SPSS dan
Microsoft Excel secara statistik deskriptif yaitu dalam bentuk
tabulasi berisi frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel
yang diteliti.

4.5.2 Penyajian Data


Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk
tabel distribusi proporsi, diagram pie dan diagram batang yang
disertai dengan penjelasan yang disusun dan dikelompokkan sesuai
dengan tujuan penelitian.

4.6 Etika Penelitian


1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak Rumah
Sakit Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Kota Denpasar sebagai
permohonan izin untuk melakukan penelitian.
2. Menjaga kerahasiaan identitas pribadi pasien yang terdapat pada data
rekam medik, sehingga diharapkan tidak ada pihak yang merasa dirugikan
atas penelitian yang dilakukan.
3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophthalmology, 2009. Frequency of


Ocular Examination. http://www.aao.org/clinical-statement/frequency-of-
ocular- examinations-- november-2009 diakses pada tanggal 28 April 2017.

American Academy of Opthalmology. 2010. Care of the patient with


Presbyopia. USA.

Borish I.M. (1975). Clinical Refraction. 3rd ed. The Professional


Press, Inc., Chicago, Illinois. 5-694

Ganong. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Global data on visual impairment 2010. WHO 2012

Holden A.B. (2007). Uncorrected refractive error: The major and


most easily avoidable cause of vision loss. Community Eye Health J 20 (63):37-9

Ilyas S. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.. 1:3-74

Ilyas, Sidarta, 2005. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit
Mata Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.

Ilyas, Sidarta, 2006. Kelainan Refraksi dan Kacamata Edisi


Kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Khurana AK. Opthalmologi. New Delhi: New Age International


Publishers. 2005. 3: 60-65

Mancil, O.D., et al. Optometric Clinical Practice Guideline Care Of The


Patient With Presbyopia. American Optometric Association. 2011

Patel I, West SK. Presbyopia: prevalence, impact, and interventions.


Community Eye Health. 2007;20(63):40–1.

Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 6th ed.


Belmont: Thomson Brooks/Cole. 2007. P 192-206

20
Waring GO. Correction of presbyopia with a small aperture corneal inlay.
J Refract Surg Thorofare NJ 1995. 2011;27(11):8425.doi:10.3928/1081597X-
20111005-04.

Whitcher JP, Paul RE. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: EGC.;20:392-393

WHO. 2009. What is refractive error?http//www.who.int/feature/qa/45/en/.


[diakses 28 April 2017].

21

Anda mungkin juga menyukai