Anda di halaman 1dari 52

H U B U N G A N A K T I F I TA S M E L I H AT

D E K AT D E N G A N K E J A D I A N
KELAINAN REFRAKSI PADA
M A H A S I S W A F A K U LTA S
KEDOKTERAN PENDIDIKAN
DOKTER UMUM UNIVERSITAS
H A S A N U D D I N A N G K ATA N 2 0 1 7

OLEH : M U H . F AT H A N M U B I N A N
PEMBIMBING :
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
• Mata adalah salah satu dari indera tubuh manusia yang penting dan berfungsi untuk penglihatan.
Berdasarkan data WHO terdapat 285 juta orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan,
dimana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta orang mengalami berpenglihatan kurang (low
vision). Tajam penglihatan sudah dikatakan low vision dengan visus 6/18. Secara global gangguan
penglihatan tersebut disebabkan oleh kelainan refraksi 43%.

• Dalam hal ini dari semua kelainan refraksi yang ada, angka kejadian miopia di dunia terus meningkat
dan puncak terjadinya miopia adalah pada usia remaja yaitu pada tingkat SMA dan miopia paling
banyak terjadi.

• Ada peningkatan prevalensi kelainan refraksi seiring dengan peningkatan umur, dari 4% umur 6 tahun
sampai sampai 40% pada umur 12 tahun. Lebih dari 70% dari umur 17 tahun dan lebih dari 75% dari
umur 18 tahun. (Saw, 2002). Di Indonesia, dari seluruh kelompok umur (berdasarkan sensus
penduduk tahun 1990), kelainan refraksi (12,9%) merupakan penyebab low visison/penglihatan terbatas
terbanyak kedua setelah katarak (61,3%).
Oleh karena itu, hal ini yang membuat penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang :

“Hubungan Aktifitas Melihat Dekat dengan Kejadian


Kelainan Refraksi Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Pendidikan Dokter Umum Universitas Hasanuddin
Angkatan 2017.”
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana pengaruh aktifitas melihat dekat (Membaca/Mengerjakan
tugas kuliah, Menonton TV, Menggunakan Komputer/Gadget, Bermain
Video Game) dengan kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin Angkatan 2017.
TUJUAN PENELITIAN

T U J UA N U M U M T U J UA N K H U S U S

• Untuk mengetahui frekuensi kejadian • Untuk mengetahui pengaruh aktifitas


kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas melihat dekat (Membaca/Mengerjakan
Kedokteran Universitas Hasanuddin tugas kuliah, Menonton TV, Menggunakan
Angkatan 2017. Komputer/Gadget) dengan kejadian
kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin
Angkatan 2017.
MANFAAT PENELITIAN

• Dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat


mengaplikasikan dan mensosialisasikan teori yang telah diperoleh
selama perkuliahan.
• Sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa dan sumber dan sumber
pustaka tentang kejadian kelainan refraksi
• Sebagai bahan referensi atau bahan pertimbangan bagi peneliti lain
yang ingin melakukan penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
TINJAUAN
PUSTAK A
ANATOMI BOLA MATA
• Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian anterior bola mata
mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat bentuk dengan dua
kelengkungan berbeda. (Ilyas S, 2015)
• Bola mata dibungkus oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya
disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat cairan aqueous
humor, lensa dan vitreous humor. (Ilyas S, 2015)
FISIOLOGI PROSES MELIHAT
• Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil, kemudian difokuskan oleh lensa ke
bagian belakang mata, yaitu retina. Fotoreseptor pada retina mengumpulkan informasi yang
ditangkap mata, kemudian mengirimkan sinyal informasi tersebut ke otak melalui saraf optik.
Semua bagian tersebut harus bekerja simultan untuk dapat melihat suatu objek. (Ilyas S, 2015)
• Keadaan mata dengan kemampuan refraksi normal disebut emetropia, sedangkan mata dengan
kelainan refraksi disebut ametropia. Ametropia dapat dibagi menjadi:
• Miopia (penglihatan dekat), terjadi bila kekuatan optik mata terlalu tinggi, biasanya karena bola
mata yang panjang, dan sinar cahaya paralel jatuh pada fokus di depan retina;
• Hipermetropia (penglihatan jauh), terjadi apabila kekuatan optik mata terlalu rendah, biasanya
karena mata terlalu pendek, dan sinar cahaya paralel mengalami konvergensi pada titik di
belakang retina;
• Astigmatisme, di mana kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya
paralel yang melewati bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda. (Ilyas Saksi,
2015)
ETIOLOGI
• Faktor genetik dapat menurunkan sifat miopia ke keturunannya, baik secara autosomal dominan
maupun autosomal resesif.
• Penurunan secara sex linked sangat jarang terjadi, biasanya terjadi pada miopia yang berhubungan
dengan penyakit mata lain atau penyakit sistemik.
• Ada 2 mekanisme dasar yang menjadi penyebab miopia yaitu:
• Hilangnya bentuk mata (hilangnya pola mata), terjadi ketika kualitas gambar dalam retina
berkurang
• Berkurangnya titik fokus mata maka akan terjadi ketika titik fokus cahaya berada di depan atau di
belakang retina.
• Dikatakan bahwa semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka
semakin besar kemungkinan mengalami miopia
PATOFISIOLOGI
◦ Dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi pada miopia yaitu :
1. Menurut tahanan sklera
• a. Mesodermal Abnormalitas Mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas dapat
mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat membuktikan hal ini, dimana
pembuangan sebagian mesenkim sklera dapat menyebabkan terjadi ektasia pada daerah ini
karena adanya perubahan tekanan dinding okular (Sativa, 2003).
• b. Ektodermal-Mesodermal Vogt awalnya memperluasnya konsep bahwa miopia adalah hasil
ketidakharmonisan pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina yang berlebihan
dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid maupun sklera menghasilkan
peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti
ulang dalam hubungannya dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera
dibawah pengaruh epitel pigmen retina
• Teori Biologi
Teori ini timbul setelah pengamatan bahwa miopia aksial adalah herediter.Vogt mengatakan bahwa
faktor timbulnya miopia terdapat pada jaringan ektodermal yaitu retina, sedangkan jaringan
mesodermal di sekitarnya tetap normal. Retina tumbuh lebih menonjol dibanding dengan koroid
dan sklera. Pertumbuhan retina yang abnormal ini diikuti dengan penipisan sklera dan peregangan
koroid. Koroid yang peka terhadap regangan akan menjadi atrofi. Seperti diketahui pertumbuhan
sklera berhenti pada janin berumur 5 bulan sedangkan bagian posterior retina masih tumbuh terus
sehingga bagian posterior sklera menjadi paling tipis.
FAKTOR RESIKO
• 1. FAKTOR HEREDITER ATAU KETURUNAN
• Faktor risiko terpenting adalah riwayat keluarga. Beberapa penelitian menunjukan 33-60%
prevalensi kelainan refraktif pada anak-anak yang kedua orang tuanya memiliki kelainan refraktif,
sedangkan pada anak-anak yang salah satu orang tuanya memiliki kelainan refraktif
prevalensinya adalah 23-40%.
• 2. FAKTOR LINGKUNGAN
• Tingginya angka kejadian kelainan refraktif pada beberapa pekerjaan, aktivitas melihat dekat,
dan pendidikan, telah banyak dibuktikan sebagai akibat dari pengaruh lingkungan terhadap
terjadinya kelainan refraktif.
GAMBARAN KLINIS

• Tanda-tanda mata miopia antara lain adalah bola mata memanjang, kamera okuli anterior dalam,
dan pupil melebar. Pada pemeriksaan dengan funduskopi, pembuluh darah koroid terlihat jelas,
atrofi sebagian koroid sehingga sklera tampak terbayang putih, cakram optik lebar dan pucat,
pada sisi temporal terdapat tanda myopic crescent, sedangkan pada sisi nasal terdapat
supertraction crescent.
DIAGNOSIS
• ultrasonografi (USG) untuk mengukur panjang aksis bola mata sehingga dapat dipastikan
bahwa miopia yang terjadi bersifat aksial

• Visual acuity sentral diukur dengan pemberian target dengan ukuran yang berbeda yang
diperlihatkan pada jarak standar dari mata. Sebagai contoh, Snellen Chart

• Retinoskopi memungkinkan pemeriksa secara objektif menentukan kesalahan refraktif


spherosilindris. Prinsip retinoskopi adalah berdasarkan fakta bahwa pada saat cahaya
dipantulkan dari cermin ke mata, maka arah bayangan tersebut akan berjalan melintasi pupil
bergantung pada keadaan refraktif mata.
KOMPLIKASI

• Ablasio retina
• Vitreal Liquefaction dan Detachment
• Miopic maculopaty
• Glaukoma
• Katarak
• Skotomata
TATALAKSANA

Miopia dapat dikoreksi dengan:


• 1) Lensa negatif, dapat berupa: Kaca mata dan Lensa kontak
• 2) Tindakan operatif
• Keratotomi radial
• Keratotekmi fotorefraktif
Laser assisted in situ interlamelar keratomilieusis (LASIK) Clear Lens Extraction (CLE)
PENCEGAHAN
• Mengatur jarak aktivitias melihat dekat tepat
• Beberapa penelitian melaporkan bahwa usaha untuk melatih jauh atau melihat jauh dan dekat
secara bergantian dapat mencegah terjadinya miopia
• Jika ada kelainan pada mata, kenali dan perbaiki sejak awal. Jangan menunggu sampai ada
gangguan mata.
• Untuk anak dengan tingkat miopia kanan dan kiri tinggi, segera lakukan konsultasi dengan
dokter spesialis mata anak supaya tidak terjadi juling.
• Walaupun sekarang ini sudah jarang terjadi defisiensi vitamin A, ibu hamil tetap perlu
memperhatikan nutrisi, termasuk pasokan vitamin A selama hamil
• Periksalah mata anak sedini mungkin jika dalam keluarga ada yang memakai kacamata
• Dengan mengenali keanehan, misalnya kemampuan melihat yang kurang, maka segeralah
melakukan pemeriksaan
KERANGKA TEORI
KERANGKA KONSEP
HIPOTESIS PENELITIAN
• Kejadian kelainan refraksi, aktivitas jarak pandang dekat (Membaca/Mengerjakan tugas kuliah,
Menonton TV, Menggunakan Komputer/Gadget, Bermain Video Game) merupakan salah satu
faktor risiko kelainan refraksi pada mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin angkatan 2017.
DEFINISI OPERASIONAL

• Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat di retina,
melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang
tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia, dan
astigmatisma (Ilyas, 2013).
METODE PENELITIAN

• RUANG LINGKUP PENELITIAN


Ruang lingkup penelitian adalah bidang oftalmologi
• JENIS DAN RANCANGAN PENELITIAN
Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dengan pendekatan cross-sectional dengan
menggunakan kuisioner dan pemeriksaan visus.
• TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian bertempat di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Penelitian dilakukan pada
bulan September 2017 sampai November 2017.
POPULASI DAN SAMPEL
• Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin angkatan 2017

• Sampel
◦ Kriteria Inklusi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
angkatan 2017 yang menderita kelainan refraksi baik untuk salah satu mata atau kedua mata.
◦ Kriteria Eksklusi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
angkatan 2017 dengan penglihatan normal dan tidak mengisi kuisioner secara lengkap.
POPULASI DAN SAMPEL

• Cara Sampling • Besar Sampel


• Pengambilan sampel menggunakan cara • Penelitian ini menggunakan teknik total
consecutive sampling, di mana semua sampling. Dimana pengambilan sampel
mahasiswa yang memenuhi kriteria inklusi didasarkan jumlah total populasi atau
dan tidak memenuhi kriteria eksklusi sampel yang ada.Yaitu semua Mahasiswa
menjadi sampel penelitian sampai jumlah Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
sampel terpenuhi. Universitas Hasanuddin Angkatan 2017
yang menderita gangguan refraksi.
VARIABEL PENELITIAN

• VARIABEL PENELITIAN • Variabel Terikat


Variabel Bebas Variabel terikat penelitian ini adalah
Aktivitas jarak pandang dekat, meliputi: gangguan refraksi
Intensitas menggunakan komputer
Total menggunakan komputer dalam sehari
Intensitas menonton televisi
Total menonton televisi dalam sehari
Lama membaca buku dalm sekali baca Jarak
membaca buku
CARA PENGUMPULAN DATA

Cara Kerja ◦ Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah lembar kuisioner, optotype Snallen,
• Responden dijelaskan mengenai tujuan penelitian dan cara Trial frame, dan trial lens.
pengisian kuesioner
• Responden penelitian diberi kuesioner untuk diisi
◦Jenis Data
• Responden dipersilakan mengisi lembar informed consent
Data primer berupa data dari kuesioner yang telah diisi oleh subjek
• Responden diminta mengisi kuesioner dengan jujur dan penelitian dan dari pemeriksaan visus menggunakan optotype
objektif Snellen, trial frame, dan trial lens.
• Kuesioner yang telah diisi dikumpulkan dan diteliti
kelengkapannya
• Jawaban dalam kuesioner dikoreksi oleh peneliti
• Visus responden diperiksa menggunakan optotype Snellen
kemudian dicocokan dengan data dari kuesioner.
T E K N I K P E N G O L A H A N DA N
A N A L I S A DATA P E N YA J I A N DATA
• Data diolah secara manual dengan bantuan • Penyajian data secara deskriptif dalam
sistem pencatatan SPSS 16.0 dan Microsoft bentuk tekstural dan tubular.
Excel untuk memperoleh hasil statistik
deskriptif yang diharapkan. Data yang telah
diperoleh dan diolah secara statistik lalu
dilanjutkan dengan analisis univariat.
ALUR PENELITIAN
ETIKA PENELITIAN

• Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memperoleh izin penelitian dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
• Sebelum penelitian dilakukan, responden diberi penjelasan mengenai prosedur dan tujuan
penelitian, serta kerahasiaan dari data yang akan diterima dari responden
• Responden diberi lembar informed consent dan dapat mengisi lembar tersebut jika responden
bersedia untuk ikut serta dalam penelitian
• Penelitian dibiayai secara pribadi
HASIL
PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Interpretasi

Total
Aktivitas Kriteria Normal Kelainan refraksi p-value

N % N % N %

≤ 30 menit 13 26.0 14 28.0 27 54.0


Lama Membaca Buku 0.539
> 30 menit 14 28.0 9 18.0 23 46.0

Cukup (30 cm) 9 18.0 8 16.0 17 34.0


Jarak Membaca Buku 1.000
Dekat (<30 cm) 18 36.0 15 30.0 33 66.0

Ringan (1-3 jam) 14 28.0 12 24.0 26 52.0


Waktu Menggunakan
Sedang (4-8 jam) 12 24.0 9 18.0 21 42.0 0.740
Komputer
Berat (9-16 jam) 1 2.0 2 4.0 3 6.0

Rendah (<2 jam) 15 30.0 10 20.0 25 50.0

Total waktu menonton TV Sedang (2-4 jam) 8 16.0 13 26.0 21 42.0 0.024

Tinggi (>4 jam) 4 8.0 0 0.0 4 8.0

Ringan (<2 jam) 9 18.0 4 8.0 13 26.0

Sedang (2-4 jam) 10 20.0 14 28.0 24 48.0


Menggunakan HP 0.225

Berat (>4 jam) 8 16.0 5 10.0 13 26.0

• Uji chi square positif jika p value > 0.05


• Data yang didapatkan adalah sebanyak 50 kasus dimana terdapat 27
sample dengan penglihatan normal sebagai kontrol dan 23 sample
yang menderita kelainan refraksi, yang diperoleh dari data primer
melalui kuisioner yang dibagikan kepada mahasiswa yang bersedia
dan bersedia menjalani pemeriksaan visus menggunakan Snellen
Chart.
Yang memiliki pengaruh yang bermakna secara statistik yaitu total waktu menonton TV (p =
0.024).Variabel lainnya yaitu lama membaca buku (p = 0.539), waktu menggunakan komputer (p
= 0.740) dan waktu menggunakan HP (0.225) menunjukkan korelasi yang positif antara aktivitas
melihat dekat dengan kelainan refraksi. Berarti semakin lama seseorang membaca buku,
menggunakan komputer dan menggunakan HP semakin tinggi pula faktor resiko kelainan refraksi
pada individu tersebut. Selain itu terdapat satu variabel yang mempunyai korelasi negatif yaitu
jarak membaca buku (p = 1.0) yang berarti tidak terdapat hubungan bermakna antara jarak
membaca buku dengan kelainan refraksi.
• Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart dengan cara kartu diletakkan pada jarak 5 atau 6 meter
dari pasien dengan posisi lebih tinggi atau sejajar dengan mata pasien.
• Bila jarak 5 meter, maka visus normal akan bernilai 5/5 artinya mata normal dapat melihat pada
jarak 5 meter, pasien juga dapat melihat pada jarak 5 meter. Bila berjarak 6 m, berarti visus
normalnya 6/6. Satuan selain meter ada kaki = 20/20.Pastikan cahaya harus cukup. Bila ingin
memeriksa visus mata kanan, maka mata kiri harus ditutup dan pasien diminta membaca kartu.
• Cara menilai visus dari hasil membaca kartu :
Bila pasien dapat membaca kartu pada baris dengan visus 5/5 atau 6/6, maka tidak usah membaca
pada baris berikutnya => visus normal
• Bila pasien tidak dapat membaca kartu pada baris tertentu di atas visus normal, cek pada 1 baris
tersebut
• Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti visusnya terletak pada baris tersebut dengan false
1.
• Bila tidak dapat membaca 2, berarti visusnya terletak pada baris tersebut dengan false 2.
• Bila tidak dapat membaca lebih dari setengah jumlah huruf yang ada, berarti visusnya berada di
baris tepat di atas baris yang tidak dapat dibaca.
• Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya terdapat pada baris di atasnya
BERDASARKAN WAKTU LAMA
MEMBACA
• Pada penelitian ini didaptkan 27 sampel (54%) membaca kurang dari 30 menit dan 23 sampel
(46%) membaca lebih dari 30 menit. Dari 27 sampel yang membaca kurang dari 30 menit,
didapatkan 13 sampel (26%) dengan pengelihatan normal, sedangkan 14 sampel (28%)
menderita kelainan refraksi. 23 sampel (46%) yang membaca lebih dari 30 menit didapatkan 14
sampel (28%) dengan pengelihatan normal dan 9 sampel lainnya (18%) menderita miopi (p=
0,539).

• Berdasarkan hasil penelitian Jones et al status refraktif selama 5 tahun dan menanyakan tentang
waktu yang dihabiskan untuk berbagai aktivitas jarak dekat. Hasil dari penelitian menemukan
bahwa anak-anak dalam kelompok kelainan refraksi tidak menghabiskan lebih banyak waktu
dalam aktivitas dekat daripada kelompok berpenglihatan normal (p = 0,90).Hal yang sama
dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Abdul Kadir, kebiasaan membaca walaupun secara
statistik hubungannya tidak bermakna (p=0,45), namun ada kecenderungan bahwa perilaku
membaca berbaring atau tiduran, bertambah umur mempunyai resiko kejadian kelainan refraksi
BERDASARKAN JARAK BACA
• Dari 17 sampel yang membaca dengan jarak cukup (30cm), didapatkan 9 sampel (18%) dengan
pengelihatan normal, sedangkan 8 sampel (16%) menderita kelainan refraksi. 33 sampel (66%)
yang membaca dengan jarak cukup (30cm) didapatkan 18 sampel (36%) dengan pengelihatan
normal dan 15 sampel lainnya (30%) menderita kelainan refraksi (p=1.0).

• Berdasarkan hasil survey dan pemelitian oleh Rose et al pada 4118 remaja dari umur 12-18
tahun, prevalensi anak kelainan refraksi yang membaca dengan jarak cukup (30cm) dan dekat
(<30 cm) tidak berbeda jauh (p=0.08). Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jumlah responden yang memiliki kebiasaan membaca
dengan jarak <30 cm sebanyak 85 responden yang terdiri dari 21 responden dengan status
penglihatan normal (tanpa kelainan refraksi atau kelainan refraksi lain) dan 64 responden
dengan status penglihatan kelainan refraksi (p = 0.032) memiliki hubungan yang bermaka antara
jarak membaca dengan kejadian kelainan refraksi. Hasil analisis data menunjukan korelasi yang
positif antara jarak membaca dan lama membaca dengan kejadian kelainan refraksi pada
seseorang.
• Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kebiasaan membaca dalam waktu lama dapat
menyebabkan tonus siliaris menjadi tinggi sehingga lensa menjadi cembung yang mengakibatkan
bayangan objek jatuh di depan retina dan menimbulkan kelainan refraksi. Seseorang yang
melakukan aktivitas jarak dekat berlebihan mungkin mengalami kelainan refraksi palsu atau
pseudokelainan refraksi. Penglihatan jauh mereka kabur lebih disebabkan oleh menggunakan
mata untuk fokus secara berlebihan.

• Setelah melakukan aktivitas jarak dekat dalam waktu lama mata mereka tidak dapat kembali
fokus untuk melihat dengan jelas dari kejauhan. Gelaja ini biasanya sementara dan penglihatan
akan menjadi jelas setelah mata beristirahat beberapa menit. Namun, penggunaan mata untuk
melihat dekat yang lama dan konstan dapat menyebabkan penurunan penglihatan jauh
permanen
BERDASARKAN WAKTU
MENGGUNAKAN KOMPUTER
• 26 sampel (52%) menggunakan computer selama 1 – 3 jam (normal) ,21 sampel (42%)
menggunakan computer selama 4 – 8 jam (sedang), 3 sampel (6%) menggunakan computer
selama 9 - 16 jam (berat). Dari 26 sampel yang menggunakan computer selama 1 – 3 jam
(normal), didapatkan 14 sampel (28%) dengan pengelihatan normal, sedangkan 12 sampel (24%)
menderita kelainan refraksi. 21 sampel (42%) yang menggunakan computer selama 4 - 8 jam
(sedang) didapatkan 12 sampel (24%) dengan pengelihatan normal dan 9 sampel lainnya (18%)
menderita kelainan refraksi. Dan 3 sampel (6%) yang menggunakan computer 9 – 16 jam
(berat), didapatkan 1 sampel (2%) dengan pengelihatan normal sedangkan 2 sampel (4%) lainnya
menderita kelainan refraksi (p=0.74).
• Penelitian yang dilakukan oleh Imam dan kawan kawan Program Studi Pendidikan Kedokteran
Universitas Tanjungpura tentang hubungan aktivitas jarak dekat dengan kelainan refraksi juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05) untuk
lama menggunakan computer dengan kejadian kelainan refraksi. Berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Saw et al yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara lama
menggunakan computer dengan kejadian kelainan refraksi (p=0.0027).

• Penggunaan waktu dengan aktifitas visual seperti menggunakan komputer meningkatkan risiko
untuk terjadinya kelainan refraksi berupa kelainan refraksi. Sinar biru yang dihasilkan oleh layar
komputer bersifat miopigenik. Sinar biru adalah sinar dengan panjang gelombang 400-500 nm
(nanometer). Sumber terdekatnya adalah lampu neon, layar televisi serta komputer. Efek
sampingnya pada mata tergantung dari panjang cahaya, intensitas serta durasi paparan. Individu
tanpa faktor predisposisi kelainan refraksi dapat mengalami kelainan refraksi ringan jika terpajan
oleh faktor miopigenik secara terus menerus. Menurut Zulkarnain, penggunaan komputer
berlebihan dapat mempercepat angka kejadian kelainan refraksi, dimana posisi duduk di depan
komputer untuk jangka waktu beberapa jam dapat memperberat kerja otot mata untuk
mengatur fokus dan menimbulkan ketegangan mata.
BERDASARKAN TOTAL WAKTU
MENONTON TV
• 25 sampel (50%) menonton TV selama <2 jam (rendah), 21 sampel (42%) selama 2-4 jam
(sedang) dan 4 sampel (8%) selama >4 jam. Dari 25 sampel terdapat 15 sampel dengan
penglihatan normal dan 10 sampel menderita kelainan refraksi, dari 21 sampel yang menonton
selama 2-4 jam terdapat 8 sampel dengan penglihatan normal dan 13 sampel mengalami
kelainan refraksi dan 4 sampel yang menonton lebih dari 4 jam terdapat 4 sampel yang
berpenglihatan normal. Berdasarkan hasil penelitian ini dengan uji chi square total waktu
menonton TV (p = 0.064) dari hasil didapatkan hubungan yang bermakna antara lama
menonton TV dengan kejadian kelainan refraksi
• hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Collaborative Longitudinal Evaluation of Ethnicity and
Refractive Error (CLEERE) dengan 1329 anak berusia 12-18 tahun tidak menjukan hubungan yang
bermakna antara lama aktivitas menonton TV dengan kejadia kelainan refraksi pada anak
(p=0.42). Hasil penelitian dari Saw et al berdasarkan 994 anak di china dari umur 9-17 tahun,
penelitian tersebut menemukan bahwa kelompok anak yang menderita kelainan refraksi tidak
banyak menghabiskan waktu didepan layar TV dibandingkan dengan anak normal (p=0.90).

• Aktivitas melihat dekat dalam jangka panjang membuat akomodasi terus menerus sehingga
tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung sehingga kelelahan mata lebih
cepat timbul dan risiko timbulnya kelainan refraksi lebih besar. Orang yang mengalami kelainan
refraksi tidak mempunyai mekanisme untuk memfokuskan bayangan dari objek jauh dengan
tegas di retina (makula lutea). Namun, bila objek di dekatkan ke mata, bayangan akhirnya akan
menjadi cukup dekat sehingga dapat di fokuskan ke makula lutea.
BERDASARKAN LAMA MENGGUNAKAN
HP
• 13 sampel (26%) menggunakan HP selama< 2 Jam (ringan) ,24 sampel (48%) menggunakan HP
selama 2 – 4 jam (sedang), 13 sampel (26%) menggunakan HP selama >4 jam (berat). Dari 13
sampel yang menggunakan HP selama < 2 jam (ringan), didapatkan 9 sampel (18%) dengan
pengelihatan normal, sedangkan 4 sampel (8%) menderita kelainan refraksi. 24 sampel yang
menggunakan HP selama 2 – 4 jam (sedang) didapatkan 10 sampel (20%) dengan pengelihatan
normal dan 14 sampel lainnya(28%) menderitakelainan refraksi. Dan 13 sampel (26%) yang
menggunakan HP >4 jam (berat), didapatkan 8 sampel (16%) dengan pengelihatan normal dan
5 sampel (10%) menderita kelainan refraksi dengan hasil (p=0.225).
• Hasil penelitian dari Unnes Journal of Publis Health (p=0.295) menyatakan bahwa tidak ditemukan
hubungan yang bermakna antara lama menggunakan HP (gadget) dengan kejadian kelainan refraksi
pada seseorang. Berbeda dengan hasl penelitiam di SMA Negeri 3 Klanten. Berdasarkan analisis nilai
pvalue = 0,023. Arah korelasi positif yang berarti bahwa semakin tinggi lama penggunaan telepon
genggam maka angka kejadian kelainan refraksi di SMA Negeri 3 Klaten semakin tinggi. Angka
signifikan antara lama penggunaan telepon genggam dengan kelelahan mata didapatkan hasil 0,023
(p<0,05).

• Walaupun hasil dari penelitian ini tidak bermakna tetapi hasilnya memilliki korelasi yang positif.
Telepon genggam memiliki efek radiasi yang dapat berakibat kurang baik terhadap kesehatan bagi
pengguna. Radiasi memiliki arti pemancaran atau penyinaran. Radiasi adalah penyebaran partikel-
partikel elementer dan energi radiasi dari sumber radiasi ke medium atau tujuan sekitarnya. Sinyal
yang dipancarkan akan menghasilkan dua macam bidang radiasi yaitu jarak dekat dan jarak jauh
(Carlo, 2007). Saat ini remaja menggunakan telepon genggam dengan durasi yang lama dalam sehari,
maka semakin lama pula terpaparnya terhadap layar telepon genggam. Penggunaan telepon genggam
yang terlalu lama akan berakibat buruk terhadap kelelahan mata seperti sakit mata atau mata merah,
mata kering dan mata lelah. Setiap pemakaian ponsel lebih dari empat jam dapat menimbulkan mata
pedih, tampak kemerahan, pusing.
• Banyak faktor resiko terjadinya penurunan visus pada anak. Jones dan kawan-kawan melaporkan
bahwa setelah melakukan kontrol terhadap olahraga, jumlah aktivitas luar rumah per minggu,
dan riwayat kelainan refraksi orang tua, jumlah membaca dalam jam per minggu bukanlah faktor
signifikan secara statistik, Adanya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh ertekin terbilang relatif karena terjadinya penurunan tajam penglihatan pada anak
bisa di sebabkan penyakit karena faktor genetik atau Acquired ( bukan turunan orang tua), dan
apabila penyebabnya karena Acquired, maka hal ini tergantung sejak umur berapa seorang anak
terpapar faktor resiko yang dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan seperti
contohnya yaitu lama membaca buku, jarak membaca buku, penggunaan telepon genggam,
lamanya menonton TV, maupun riwayat trauma pada mata.

• Perbedaan yang tidak signifikan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
bisa diakibatkan oleh proses pertumbuhan dan perkembangan bola mata setiap anak baik laki-
laki ataupun perempuan yang mempengaruhi refraksi penglihatan yang belum diketahui lebih
dalam, riwayat genetik orang tua yang belum diketahui secara pasti serta masih banyak hal lain
yang kemungkinan mempengaruhi seperti perbedaan ras dan budaya, perbedaan status gizi, dan
• keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini adalah peneliti tidak memasukkan semua
faktor risiko lain yang berhubungan dengan kelainan refraksi, antara lain genetik, aktivitas di luar
ruangan, dan tingkat sosioekonomi, sehingga tidak semua faktor perancu dapat dikendalikan.

• Adanya keterbatasan waktu dalam penelitian ini juga menjadi kelemahan sehingga tidak semua
data dapat terkumpul. Pengumpulan data hanya dengan menggunakan kuesioner dan tes visus
dengan snellen chart sehingga mungkin didapatkan bias penelitian dalam pengisian kuesioner
ini.Selain itu, tidak dilakukan koreksi pada subjek penelitian sehingga hasil dari sampel yang
menderita kelainan refraksi tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan refraksinya.

• Kelemahan lain penelitian ini adalah rancangan penelitian yang menggunakan cross sectional.
Penelitian cross sectional merupakan penelitian yang mempunyai kesimpulan korelasi faktor
risiko dengan efek paling lemah dibandingkan case control dan cohort. Pada penelitian cross
sectional variabel bebas dan variabel terikat diukur dalam waktu yang bersamaan
(Taufiqurrahman, 2004). Peneliti tidak mencoba untuk menggunakan lensa +0,5 Dioptri, yang
artinya tidak bisa dihilangkan kemungkinan sampel itu sebenarnya hipermetropia, karena orang
dengan hipermetropia fakultatif masih bisa visus 20/20 dengan bantuan akomodasi lensanya.
KESIMPUL AN
DAN SARAN
• Berdasarkan hasil penelitian mengenai HubunganAntara Lamanya
Aktivitas Melihat Dekat Dengan Kejadian Kelainan Refraksi Pada
Mahasiswa Angkatan 2017 Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, dari total 50 sampel terdapat 27 sampel berpenglihatan
normal dan 23 sampel menderita kelainan refraksi. Maka dapat
disimpulkan bahwa aktivitas melihat dekat seperti lama membaca
buku, jarak membaca buku, waktu menggunakan computer, total
waktu menonton TV dan menggunakan HP mempunyai korelasi
yang positif dengan kejadian kelainan refraksi pada individu.
Khususnya total waktu menonton TV yang memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian kelainan refraksi.
• Pentingnya dilakukan screening gangguan penglihatan pada usia kritis pertumbuhan anak
sehingga menghindari terjadinya low vision hingga kebutaan pada anak yang dapat menurunkan
kualitas hidup di kemudian hari
• Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik pada penelitian yang akan datang maka perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih lanjut agar penyebab penurunan visus dalam hal kelainan refraksi, dapat
di diagnosis sehingga hasil penelitian yang didapatkan lebih spesifik.
• Pentingnya penyuluhan dini tentang factor resiko kejadian kelainan refraksi pada usia kritis
pertumbuhan anak.
• Untuk peneliti yang akan datang agar meneliti hubungan antara variabel yang belum sempat di
teliti di penelitian ini
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai