D E K AT D E N G A N K E J A D I A N
KELAINAN REFRAKSI PADA
M A H A S I S W A F A K U LTA S
KEDOKTERAN PENDIDIKAN
DOKTER UMUM UNIVERSITAS
H A S A N U D D I N A N G K ATA N 2 0 1 7
OLEH : M U H . F AT H A N M U B I N A N
PEMBIMBING :
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
• Mata adalah salah satu dari indera tubuh manusia yang penting dan berfungsi untuk penglihatan.
Berdasarkan data WHO terdapat 285 juta orang di dunia yang mengalami gangguan penglihatan,
dimana 39 juta orang mengalami kebutaan dan 246 juta orang mengalami berpenglihatan kurang (low
vision). Tajam penglihatan sudah dikatakan low vision dengan visus 6/18. Secara global gangguan
penglihatan tersebut disebabkan oleh kelainan refraksi 43%.
• Dalam hal ini dari semua kelainan refraksi yang ada, angka kejadian miopia di dunia terus meningkat
dan puncak terjadinya miopia adalah pada usia remaja yaitu pada tingkat SMA dan miopia paling
banyak terjadi.
• Ada peningkatan prevalensi kelainan refraksi seiring dengan peningkatan umur, dari 4% umur 6 tahun
sampai sampai 40% pada umur 12 tahun. Lebih dari 70% dari umur 17 tahun dan lebih dari 75% dari
umur 18 tahun. (Saw, 2002). Di Indonesia, dari seluruh kelompok umur (berdasarkan sensus
penduduk tahun 1990), kelainan refraksi (12,9%) merupakan penyebab low visison/penglihatan terbatas
terbanyak kedua setelah katarak (61,3%).
Oleh karena itu, hal ini yang membuat penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang :
T U J UA N U M U M T U J UA N K H U S U S
• Tanda-tanda mata miopia antara lain adalah bola mata memanjang, kamera okuli anterior dalam,
dan pupil melebar. Pada pemeriksaan dengan funduskopi, pembuluh darah koroid terlihat jelas,
atrofi sebagian koroid sehingga sklera tampak terbayang putih, cakram optik lebar dan pucat,
pada sisi temporal terdapat tanda myopic crescent, sedangkan pada sisi nasal terdapat
supertraction crescent.
DIAGNOSIS
• ultrasonografi (USG) untuk mengukur panjang aksis bola mata sehingga dapat dipastikan
bahwa miopia yang terjadi bersifat aksial
• Visual acuity sentral diukur dengan pemberian target dengan ukuran yang berbeda yang
diperlihatkan pada jarak standar dari mata. Sebagai contoh, Snellen Chart
• Ablasio retina
• Vitreal Liquefaction dan Detachment
• Miopic maculopaty
• Glaukoma
• Katarak
• Skotomata
TATALAKSANA
• Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk tepat di retina,
melainkan di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik yang
tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia, hipermetropia, dan
astigmatisma (Ilyas, 2013).
METODE PENELITIAN
• Sampel
◦ Kriteria Inklusi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
angkatan 2017 yang menderita kelainan refraksi baik untuk salah satu mata atau kedua mata.
◦ Kriteria Eksklusi
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Hasanudin
angkatan 2017 dengan penglihatan normal dan tidak mengisi kuisioner secara lengkap.
POPULASI DAN SAMPEL
• Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memperoleh izin penelitian dari Komisi Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
• Sebelum penelitian dilakukan, responden diberi penjelasan mengenai prosedur dan tujuan
penelitian, serta kerahasiaan dari data yang akan diterima dari responden
• Responden diberi lembar informed consent dan dapat mengisi lembar tersebut jika responden
bersedia untuk ikut serta dalam penelitian
• Penelitian dibiayai secara pribadi
HASIL
PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Interpretasi
Total
Aktivitas Kriteria Normal Kelainan refraksi p-value
N % N % N %
Total waktu menonton TV Sedang (2-4 jam) 8 16.0 13 26.0 21 42.0 0.024
• Berdasarkan hasil penelitian Jones et al status refraktif selama 5 tahun dan menanyakan tentang
waktu yang dihabiskan untuk berbagai aktivitas jarak dekat. Hasil dari penelitian menemukan
bahwa anak-anak dalam kelompok kelainan refraksi tidak menghabiskan lebih banyak waktu
dalam aktivitas dekat daripada kelompok berpenglihatan normal (p = 0,90).Hal yang sama
dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Abdul Kadir, kebiasaan membaca walaupun secara
statistik hubungannya tidak bermakna (p=0,45), namun ada kecenderungan bahwa perilaku
membaca berbaring atau tiduran, bertambah umur mempunyai resiko kejadian kelainan refraksi
BERDASARKAN JARAK BACA
• Dari 17 sampel yang membaca dengan jarak cukup (30cm), didapatkan 9 sampel (18%) dengan
pengelihatan normal, sedangkan 8 sampel (16%) menderita kelainan refraksi. 33 sampel (66%)
yang membaca dengan jarak cukup (30cm) didapatkan 18 sampel (36%) dengan pengelihatan
normal dan 15 sampel lainnya (30%) menderita kelainan refraksi (p=1.0).
• Berdasarkan hasil survey dan pemelitian oleh Rose et al pada 4118 remaja dari umur 12-18
tahun, prevalensi anak kelainan refraksi yang membaca dengan jarak cukup (30cm) dan dekat
(<30 cm) tidak berbeda jauh (p=0.08). Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta jumlah responden yang memiliki kebiasaan membaca
dengan jarak <30 cm sebanyak 85 responden yang terdiri dari 21 responden dengan status
penglihatan normal (tanpa kelainan refraksi atau kelainan refraksi lain) dan 64 responden
dengan status penglihatan kelainan refraksi (p = 0.032) memiliki hubungan yang bermaka antara
jarak membaca dengan kejadian kelainan refraksi. Hasil analisis data menunjukan korelasi yang
positif antara jarak membaca dan lama membaca dengan kejadian kelainan refraksi pada
seseorang.
• Sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kebiasaan membaca dalam waktu lama dapat
menyebabkan tonus siliaris menjadi tinggi sehingga lensa menjadi cembung yang mengakibatkan
bayangan objek jatuh di depan retina dan menimbulkan kelainan refraksi. Seseorang yang
melakukan aktivitas jarak dekat berlebihan mungkin mengalami kelainan refraksi palsu atau
pseudokelainan refraksi. Penglihatan jauh mereka kabur lebih disebabkan oleh menggunakan
mata untuk fokus secara berlebihan.
• Setelah melakukan aktivitas jarak dekat dalam waktu lama mata mereka tidak dapat kembali
fokus untuk melihat dengan jelas dari kejauhan. Gelaja ini biasanya sementara dan penglihatan
akan menjadi jelas setelah mata beristirahat beberapa menit. Namun, penggunaan mata untuk
melihat dekat yang lama dan konstan dapat menyebabkan penurunan penglihatan jauh
permanen
BERDASARKAN WAKTU
MENGGUNAKAN KOMPUTER
• 26 sampel (52%) menggunakan computer selama 1 – 3 jam (normal) ,21 sampel (42%)
menggunakan computer selama 4 – 8 jam (sedang), 3 sampel (6%) menggunakan computer
selama 9 - 16 jam (berat). Dari 26 sampel yang menggunakan computer selama 1 – 3 jam
(normal), didapatkan 14 sampel (28%) dengan pengelihatan normal, sedangkan 12 sampel (24%)
menderita kelainan refraksi. 21 sampel (42%) yang menggunakan computer selama 4 - 8 jam
(sedang) didapatkan 12 sampel (24%) dengan pengelihatan normal dan 9 sampel lainnya (18%)
menderita kelainan refraksi. Dan 3 sampel (6%) yang menggunakan computer 9 – 16 jam
(berat), didapatkan 1 sampel (2%) dengan pengelihatan normal sedangkan 2 sampel (4%) lainnya
menderita kelainan refraksi (p=0.74).
• Penelitian yang dilakukan oleh Imam dan kawan kawan Program Studi Pendidikan Kedokteran
Universitas Tanjungpura tentang hubungan aktivitas jarak dekat dengan kelainan refraksi juga
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0,05) untuk
lama menggunakan computer dengan kejadian kelainan refraksi. Berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Saw et al yang menyatakan bahwa ada hubungan bermakna antara lama
menggunakan computer dengan kejadian kelainan refraksi (p=0.0027).
• Penggunaan waktu dengan aktifitas visual seperti menggunakan komputer meningkatkan risiko
untuk terjadinya kelainan refraksi berupa kelainan refraksi. Sinar biru yang dihasilkan oleh layar
komputer bersifat miopigenik. Sinar biru adalah sinar dengan panjang gelombang 400-500 nm
(nanometer). Sumber terdekatnya adalah lampu neon, layar televisi serta komputer. Efek
sampingnya pada mata tergantung dari panjang cahaya, intensitas serta durasi paparan. Individu
tanpa faktor predisposisi kelainan refraksi dapat mengalami kelainan refraksi ringan jika terpajan
oleh faktor miopigenik secara terus menerus. Menurut Zulkarnain, penggunaan komputer
berlebihan dapat mempercepat angka kejadian kelainan refraksi, dimana posisi duduk di depan
komputer untuk jangka waktu beberapa jam dapat memperberat kerja otot mata untuk
mengatur fokus dan menimbulkan ketegangan mata.
BERDASARKAN TOTAL WAKTU
MENONTON TV
• 25 sampel (50%) menonton TV selama <2 jam (rendah), 21 sampel (42%) selama 2-4 jam
(sedang) dan 4 sampel (8%) selama >4 jam. Dari 25 sampel terdapat 15 sampel dengan
penglihatan normal dan 10 sampel menderita kelainan refraksi, dari 21 sampel yang menonton
selama 2-4 jam terdapat 8 sampel dengan penglihatan normal dan 13 sampel mengalami
kelainan refraksi dan 4 sampel yang menonton lebih dari 4 jam terdapat 4 sampel yang
berpenglihatan normal. Berdasarkan hasil penelitian ini dengan uji chi square total waktu
menonton TV (p = 0.064) dari hasil didapatkan hubungan yang bermakna antara lama
menonton TV dengan kejadian kelainan refraksi
• hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Collaborative Longitudinal Evaluation of Ethnicity and
Refractive Error (CLEERE) dengan 1329 anak berusia 12-18 tahun tidak menjukan hubungan yang
bermakna antara lama aktivitas menonton TV dengan kejadia kelainan refraksi pada anak
(p=0.42). Hasil penelitian dari Saw et al berdasarkan 994 anak di china dari umur 9-17 tahun,
penelitian tersebut menemukan bahwa kelompok anak yang menderita kelainan refraksi tidak
banyak menghabiskan waktu didepan layar TV dibandingkan dengan anak normal (p=0.90).
• Aktivitas melihat dekat dalam jangka panjang membuat akomodasi terus menerus sehingga
tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung sehingga kelelahan mata lebih
cepat timbul dan risiko timbulnya kelainan refraksi lebih besar. Orang yang mengalami kelainan
refraksi tidak mempunyai mekanisme untuk memfokuskan bayangan dari objek jauh dengan
tegas di retina (makula lutea). Namun, bila objek di dekatkan ke mata, bayangan akhirnya akan
menjadi cukup dekat sehingga dapat di fokuskan ke makula lutea.
BERDASARKAN LAMA MENGGUNAKAN
HP
• 13 sampel (26%) menggunakan HP selama< 2 Jam (ringan) ,24 sampel (48%) menggunakan HP
selama 2 – 4 jam (sedang), 13 sampel (26%) menggunakan HP selama >4 jam (berat). Dari 13
sampel yang menggunakan HP selama < 2 jam (ringan), didapatkan 9 sampel (18%) dengan
pengelihatan normal, sedangkan 4 sampel (8%) menderita kelainan refraksi. 24 sampel yang
menggunakan HP selama 2 – 4 jam (sedang) didapatkan 10 sampel (20%) dengan pengelihatan
normal dan 14 sampel lainnya(28%) menderitakelainan refraksi. Dan 13 sampel (26%) yang
menggunakan HP >4 jam (berat), didapatkan 8 sampel (16%) dengan pengelihatan normal dan
5 sampel (10%) menderita kelainan refraksi dengan hasil (p=0.225).
• Hasil penelitian dari Unnes Journal of Publis Health (p=0.295) menyatakan bahwa tidak ditemukan
hubungan yang bermakna antara lama menggunakan HP (gadget) dengan kejadian kelainan refraksi
pada seseorang. Berbeda dengan hasl penelitiam di SMA Negeri 3 Klanten. Berdasarkan analisis nilai
pvalue = 0,023. Arah korelasi positif yang berarti bahwa semakin tinggi lama penggunaan telepon
genggam maka angka kejadian kelainan refraksi di SMA Negeri 3 Klaten semakin tinggi. Angka
signifikan antara lama penggunaan telepon genggam dengan kelelahan mata didapatkan hasil 0,023
(p<0,05).
• Walaupun hasil dari penelitian ini tidak bermakna tetapi hasilnya memilliki korelasi yang positif.
Telepon genggam memiliki efek radiasi yang dapat berakibat kurang baik terhadap kesehatan bagi
pengguna. Radiasi memiliki arti pemancaran atau penyinaran. Radiasi adalah penyebaran partikel-
partikel elementer dan energi radiasi dari sumber radiasi ke medium atau tujuan sekitarnya. Sinyal
yang dipancarkan akan menghasilkan dua macam bidang radiasi yaitu jarak dekat dan jarak jauh
(Carlo, 2007). Saat ini remaja menggunakan telepon genggam dengan durasi yang lama dalam sehari,
maka semakin lama pula terpaparnya terhadap layar telepon genggam. Penggunaan telepon genggam
yang terlalu lama akan berakibat buruk terhadap kelelahan mata seperti sakit mata atau mata merah,
mata kering dan mata lelah. Setiap pemakaian ponsel lebih dari empat jam dapat menimbulkan mata
pedih, tampak kemerahan, pusing.
• Banyak faktor resiko terjadinya penurunan visus pada anak. Jones dan kawan-kawan melaporkan
bahwa setelah melakukan kontrol terhadap olahraga, jumlah aktivitas luar rumah per minggu,
dan riwayat kelainan refraksi orang tua, jumlah membaca dalam jam per minggu bukanlah faktor
signifikan secara statistik, Adanya perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan oleh ertekin terbilang relatif karena terjadinya penurunan tajam penglihatan pada anak
bisa di sebabkan penyakit karena faktor genetik atau Acquired ( bukan turunan orang tua), dan
apabila penyebabnya karena Acquired, maka hal ini tergantung sejak umur berapa seorang anak
terpapar faktor resiko yang dapat menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan seperti
contohnya yaitu lama membaca buku, jarak membaca buku, penggunaan telepon genggam,
lamanya menonton TV, maupun riwayat trauma pada mata.
• Perbedaan yang tidak signifikan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
bisa diakibatkan oleh proses pertumbuhan dan perkembangan bola mata setiap anak baik laki-
laki ataupun perempuan yang mempengaruhi refraksi penglihatan yang belum diketahui lebih
dalam, riwayat genetik orang tua yang belum diketahui secara pasti serta masih banyak hal lain
yang kemungkinan mempengaruhi seperti perbedaan ras dan budaya, perbedaan status gizi, dan
• keterbatasan dan kekurangan dalam penelitian ini adalah peneliti tidak memasukkan semua
faktor risiko lain yang berhubungan dengan kelainan refraksi, antara lain genetik, aktivitas di luar
ruangan, dan tingkat sosioekonomi, sehingga tidak semua faktor perancu dapat dikendalikan.
• Adanya keterbatasan waktu dalam penelitian ini juga menjadi kelemahan sehingga tidak semua
data dapat terkumpul. Pengumpulan data hanya dengan menggunakan kuesioner dan tes visus
dengan snellen chart sehingga mungkin didapatkan bias penelitian dalam pengisian kuesioner
ini.Selain itu, tidak dilakukan koreksi pada subjek penelitian sehingga hasil dari sampel yang
menderita kelainan refraksi tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan refraksinya.
• Kelemahan lain penelitian ini adalah rancangan penelitian yang menggunakan cross sectional.
Penelitian cross sectional merupakan penelitian yang mempunyai kesimpulan korelasi faktor
risiko dengan efek paling lemah dibandingkan case control dan cohort. Pada penelitian cross
sectional variabel bebas dan variabel terikat diukur dalam waktu yang bersamaan
(Taufiqurrahman, 2004). Peneliti tidak mencoba untuk menggunakan lensa +0,5 Dioptri, yang
artinya tidak bisa dihilangkan kemungkinan sampel itu sebenarnya hipermetropia, karena orang
dengan hipermetropia fakultatif masih bisa visus 20/20 dengan bantuan akomodasi lensanya.
KESIMPUL AN
DAN SARAN
• Berdasarkan hasil penelitian mengenai HubunganAntara Lamanya
Aktivitas Melihat Dekat Dengan Kejadian Kelainan Refraksi Pada
Mahasiswa Angkatan 2017 Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin, dari total 50 sampel terdapat 27 sampel berpenglihatan
normal dan 23 sampel menderita kelainan refraksi. Maka dapat
disimpulkan bahwa aktivitas melihat dekat seperti lama membaca
buku, jarak membaca buku, waktu menggunakan computer, total
waktu menonton TV dan menggunakan HP mempunyai korelasi
yang positif dengan kejadian kelainan refraksi pada individu.
Khususnya total waktu menonton TV yang memiliki hubungan yang
bermakna dengan kejadian kelainan refraksi.
• Pentingnya dilakukan screening gangguan penglihatan pada usia kritis pertumbuhan anak
sehingga menghindari terjadinya low vision hingga kebutaan pada anak yang dapat menurunkan
kualitas hidup di kemudian hari
• Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik pada penelitian yang akan datang maka perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih lanjut agar penyebab penurunan visus dalam hal kelainan refraksi, dapat
di diagnosis sehingga hasil penelitian yang didapatkan lebih spesifik.
• Pentingnya penyuluhan dini tentang factor resiko kejadian kelainan refraksi pada usia kritis
pertumbuhan anak.
• Untuk peneliti yang akan datang agar meneliti hubungan antara variabel yang belum sempat di
teliti di penelitian ini
TERIMAKASIH