Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang

datang dari jarak tak terhingga oleh mata yang dalam keadaan tidak berakomodasi

dibiaskan pada satu titik di depan retina. Hal ini terjadi karena kornea atau lensa

yang terlalu cembung atau karena diameter bola mata terlalu panjang. Mata

dianggap normal atau emmetropia jika sinar sejajar dari objek jauh difokuskan

tepat di retina dan pada keadaan dimana otot siliaris relaksasi total atau ketika

mata dalam keadaan tidak berakomodasi.1

Orang yang mengalami miopia biasanya mengeluhkan tidak dapat melihat

dengan jelas benda yang jauh tanpa menggunakan alat bantu optik seperti kaca

mata atau lensa kontak. Kelainan miopia dapat dikoreksi dengan menggunakan

lensa sferis negatif atau lensa cekung (concave1lens) sehingga cahaya yang

datang akan disebarkan oleh lensa koreksi sebelum masuk kedalam mata,

sehingga cahaya yang masuk dapat jatuh ke titik fokus lebih posterior atau tepat

pada retina.1

WHO (World Health Organization) dalam Global Data on Visual

Impairments 2010 mengatakan bahwa 285 juta penduduk di dunia mengalami

gangguan penglihatan dengan penyebab terbanyak adalah kelainan refraksi miopia

yang tidak segera diatasi, yaitu berkisar 43% dan yang menjadi penyebab

kebutaan sekitar 3%. Prevalesi miopia ditemukan bervariasi sesuai dengan

kelompok etnis dan letak geografis. Dilaporkan setinggi 70%-90% di beberapa

negara Asia, 30%-40% di Eropa dan Amerika Serikat serta 10%-20% di Afrika.2

1
Prevalensi miopia pada anak-anak meningkat seiring dengan pertambahan

umur. Frekuensi miopia pada anak-anak usia 5-7 tahun di Amerika adalah 3%,

pada usia 8-10 tahun 8%, pada usia 11-12 tahun 14%, dan pada usia 12-17 tahun

25%.3 Penelitian di Taiwan menemukan frekuensi miopia sebesar 12% pada anak-

anak usia 6 tahun dan 84% pada usia 16-18 tahun. 3 Data di Jepang mendapatkan

peningkatan prevalensi miopia pada anak usia 12 tahun sebesar 43,5% menjadi

66% pada anak usia 17 tahun.4 Penelitian lain di Hongkong mendapatkan insiden

miopia pada anak usia sekolah kira-kira 37%, dengan perbandingan yang sama

antara anak laki-laki dan perempuan.5

Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukan prevalensi

koreksi refraksi miopia di Indonesia sebesar 4,6%. Sekitar 10% dari 66 juta anak

usia sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi miopia. 6 Penelitian di

Poliklinik Mata Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin Husada Bandar Lampung

diperoleh hasil paling banyak usia pasien miopia adalah 17-25 tahun yaitu (80%).7

Penelitian lain pada penderita miopia di SMA 01 Muhammadiyah Medan

diperoleh hasil usia terbanyak mengalami miopia adalah >17 tahun yaitu

(59,9%).8 Menurut data provinsi, prevalensi miopia di Sumatra Barat sebesar

6,6%, dan di kota Padang memiliki prevalensi koreksi refraksi miopia lebih tinggi

yaitu sebesar 11%.6

Penyebab miopia diduga terdiri dari faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan miopia adalah genetik. Faktor

ekstrinsik yang diduga berkaitan dengan miopia adalah lama aktivitas mata

melihat dekat, status gizi, tingkat pendidikan, sosioekonomi, dan radiasi.9

Faktor risiko terjadinya miopia erat hubungannya dengan gaya hidup

2
seseorang terutama lamanya serta kebiasaan seseorang beraktivitas melihat dalam

jarak dekat. Seseorang yang beraktivitas melihat dekat menggunakan kemampuan

matanya untuk berakomodasi. Normalnya mata sesorang mulai berakomodasi

ketika melihat sebuah objek yang jauhnya kira-kira 5-6 meter. Semakin lama

seseorang memfokuskan penglihatannya untuk melihat dekat semakin lama pula

mata seseorang melakukan akomodasi, sehingga lama kelamaan mata akan lelah

dan kondisi ini akan memicu pengaburan di retina dan persepsi penglihatan

menjadi tidak fokus.10

Berdasarkan derajat keparahannya, miopia dibagi menjadi miopia ringan,

miopia sedang, dan miopia berat. Miopia ringan derajatnya kurang dari 3 dioptri,

miopia sedang derajatnya 3 sampai 6 dioptri, dan miopia berat derajatnya lebih

dari 6 dioptri.9 Komplikasi dapat timbul pada miopia pada miopia derajat berat

dan bahayanya kalau tidak segera ditangani akan mengakibatkan terjadinya

ablatio retinae, vitreal liquefaction and detachment, glaukoma, trombosis

pendarahan koroid, dan katarak.12

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti

bagaimana profil pasien miopia dengan sampel usia 12-25 tahun di Poli Mata RSI

Siti Rahmah Padang tahun 2018

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran karakteristik pasien miopia pada usia 12-25 tahun di

Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang tahun 2018

3
1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mampu mengetahui, mengidentifikasi dan mengumpulkan data gambaran

karakterisitik pasien miopia pada usia 12-25 tahun di Poli Mata RSI Siti Rahmah

Padang tahun 2018

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan usia

antara 12-25 tahun

2. Mengetahui gambaran karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan jenis

kelamin

3. Mengetahui gambaran karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan

pekerjaan

4. Mengetahui gambaran karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan derajat

keparahan

4
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Masyarakat

1. Sebagai informasi tentang prevalensi pasien miopia pada usia 12-25 tahun di

Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang tahun 2018.

2. Sebagai sarana edukasi kesehatan kepada masyarakat sehingga diharapkan

dapat meningkatkan kepedulian terhadap kesehatan mata

1.4.2 Manfaat bagi Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

1. Sebagai data penelitian bagi institusi dan civitas akademika Fakultas

Kedokteran Universitas Baiturrahmah.

2. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa mengenai kelainan refraksi yaitu

miopia

1.4.3 Manfaat bagi Penulis

1. Meningkatkan wawasan dan keilmuan peneliti mengenai miopia

2. Memenuhi syarat skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran

3. Menjadi dasar untuk penelitian selanjutnya

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Struktur Anatomi Bola Mata

Pemahaman yang menyeluruh tentang anatomi dan fisiologi mata adalah

syarat untuk mendiagnosis berbagai penyakit yang ada pada mata dengan tepat

serta dapat menentukan jenis terapi dan pembedahan yang aman. Berikut adalah

struktur utama , otot-otot, serta organ aksesoris mata:13

Gambar 2.1 Anatomi bola mata13

2.2 Media Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media refraksi yang terdiri

atas kornea, aquos humor, lensa, corpus vitreus. Pada orang normal susunan

pembiasan oleh media penglihatan sangat seimbang sehingga bayangan benda

setelah melalui media penglihatan akan dibiaskan tepat di daerah makula lutea.

6
Mata yang normal disebut sebagai mata emmetropia dan akan menempatkan

bayangan benda tepat di retinanya.14

2.2.1 Kornea

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding

dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea berfungsi sebagai membran

pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas cahaya saat menuju retina. Sifat

tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform, avaskular, dan

deturgesensi.13

2.2.2 Aquos Humor

Aquos humor adalah suatu jaringan jernih yang dihasilkan di corpus siliaris

yang mengalir melalui pupil untuk mengisi ruang anterior mata. Fungsi aquos

humor adalah untuk memberi makanan pada kornea dan lensa dan mengangkut

hasil-hasil metabolisme. Cairan ini dalam keadaan normal diserap kembali

melalui suatu jaringan trabekula ke dalam canalis schlemm, suatu saluran venosa

antara iris dan kornea.13

2.2.3 Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, elastis, tak berwarna, dan

hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm.

Lensa tergantung zonula dibelakang iris yang menghubungkannya dengan corpus

ciliare. Karna keelastisannya yang alami, lensa memiliki daya akomodasi yaitu

kemampuan untuk mengubah bentuknya berdasarkan objek yang terlihat jauh

maupun objek yang terlihat dekat.13

7
2.2.4 Corpus Vitreus

Corpus vitreus adalah badan gelatin yang jernih dan avaskular yang

membentuk 2/3 volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi

oleh lensa, retina dan diskus opticus. 98% dari corpus vitreus tersusun atas air,

sedikit kolagen, dan molekul asam hialuronat.13

2.3 Proses Melihat

Proses melihat harus diawali dengan masuknya sinar kedalam mata, dimana

akan terjadi beberapa tahapan, yaitu tahap pembiasan, tahap sintesa fotokimia,

tahap pengiriman sinyal sensoris dan tahap persepsi di pusat penglihatan. Tahap

pembiasan terjadi di kornea, lensa, vitreous humor dengan titik hasil pembiasan

tergantung pada panjang sumbu bola mata. Proses fotokimia terjadi di retina.

Retina memiliki sel fotoreseptor yang terdiri dari sel batang dan sel kerucut yang

terutama terdapat pada fovea di makula.15

Fotoreseptor yang terdiri dari sel batang dan sel kerucut terdiri dari tiga

bagian. Pertama adalah segmen luar yang terletak paling dekat dengan bagian

eksterior mata dan menghadap ke koroid, bagian ini berfungsi untuk mendeteksi

adanya cahaya yang masuk. Kedua adalah segmen dalam yang terletak di bagian

tengah fotoreseptor, bagian ini mengandung perangkat metabolik sel. Ketiga yaitu

terminal sinaps yang terletak paling dekat dengan bagian interior mata yang

berfungsi untuk menyalurkan sinyal yang dihasilkan fotoreseptor dan berperan

dalam pelepasan neurotransmitter. Tahap pengiriman sinyal adalah lanjutan dari

proses kimia yang merangsang dan menimbulkan impuls listrik potensial dan

kemudian sinyal ini dikirimkan ke otak melalui saraf optik.15

Melalui serangkaian tahap perubahan yang dipicu oleh cahaya dan

8
pengaktifan fotopigmen yang menyebabkan terbentuknya impuls listrik dan

menghasilakn potensial aksi di sel ganglion yang kemudian akan diantarkan oleh

serabut saraf ke pusat penglihatan di otak untuk mengalami pemrosesan visual

sehingga terjadi persepsi penglihatan.15

Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibandingkan media

penglihatan lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat melakukan

akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Bayangan difokuskan tepat pada

retina, lalu mata melakukan sebuah mekanisme akomodasi dimana mata dapat

mengubah kekuatan refraksi dengan cara merubah bentuk dari lensa sehingga

bayangan benda pada jarak yang dikehendaki dapat difokuskan di retina.16

Pada mata yang normal atau emmetropia dengan media penglihatan dan

panjang bola mata yang seimbang, ketika mata tidak berakomodasi atau otot

siliaris berelaksasi ketika melihat jauh, mata akan tetap menempatkan bayangan

benda tepat di retina dan mata akan meningkatkan kekuatan refraksi dari kornea

dan lensa ketika difokuskan pada objek sehingga bayangan tetap akan tepat jatuh

di retina.17

2.4 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi adalah suatu keadaan yang bayangan tegasnya tidak jatuh

pada retina. Secara umum terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada

mata sehingga menghasilkan bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat

pada retina, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan tidak terletak pada

satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan terjadinya kelainan

kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang

sumbu bola mata.17

9
Kelainan refraksi dapat terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain umur, jenis kelamin, ras, dan lingkungannya. Penelitian mengenai pengaruh

genetik dan lingkungan terhadap pasangan-pasangan kembar yang tinggal di

lingkungan yang berbeda menyatakan genetik memegang peranan besar pada

miopia dan hipermetropia.17,18,19

Berikut adalah jenis-jenis kelainan refraksi, yaitu:10

1. Miopia

2. Hipermetropia

3. Astigmatisma

Gambar 2.2 Letak bayangan jatuh13

10
2.5 Miopia

2.5.1 Definisi

Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang

datang dari jarak tak terhingga oleh mata yang dalam keadan tidak berakomodasi

dibiaskan pada satu titik di depan retina. Hal ini dapat timbul karena kornea atau

lensa yang terlalu melengkung atau karena diameter bola mata terlalu panjang.

Mata akan dianggap normal atau emmetropia jika sinar sejajar dari objek jauh

difokuskan tepat di retina pada keadaan dimana otot siliaris relaksasi total atau

ketika mata dalam keadaan tidak berakomodasi.1

2.5.2 Etiologi

Miopia disebabkan karena pembiasan sinar yang terlalu kuat akibat bola

mata yang terlalu panjang atau kornea dan lensa yang terlalu cembung. Akibatnya

cahaya yang masuk ke mata tidak difokuskan tepat di retina, melainkan di depan

retina. Objek dekat dapat terlihat dengan jelas, sedangkan objek yang jauh akan

buram.20

2.5.3 Klasifikasi

Secara klinis dan berdasarkan kelainan patologi yang terjadi pada mata,

miopia dapat dibagi menjadi dua yaitu:16

1. Miopia simpleks : Terjadinya kelainan fundus yang ringan dan berkembang

sangat lambat. Biasanya tidak terjadi kelainan organik dan dengan koreksi yang

sesuai bisa mencapai tajam penglihatan yang normal. Berat kelainan refraksi yang

terjadi biasanya kurang dari 6 dioptri. Keadaan ini disebut juga dengan miopia

fisiologi.

11
2. Miopia patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia maligna

atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada semua usia dan terjadi

sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna adalah adanya progresifitas kelainan

fundus yang khas pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan refraksi yang terdapat

pada miopia patologi biasanya melebihi 6 dioptri.

American Optometric Association membagi miopia secara klinis menjadi

lima yaitu:21

1. Miopia simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang

terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa yang terlalu tinggi.

2. Miopia nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di sekeliling

kurang cahaya. Fokus titik jauh mata seseorang bervariasi terhadap tahap

pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya penyebabnya adalah pupil yang

membuka terlalu lebar untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga

menimbulkan aberasi dan menambah kondisi miopia.

3. Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap

mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot–otot siliaris yang

memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia palsu, karena

memang sifat miopia ini hanya sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat

direlaksasikan.

4. Miopia degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia

maligna atau miopia progresif. Merupakan miopia derajat tinggi dan tajam

penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah mendapat koreksi. Miopia

jenis ini bertambah buruk dari waktu ke waktu.

5. Miopia induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat – obatan,

12
naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada nukleus lensa dan

sebagainya.

Ilyas Sidarta membagi miopia berdasarkan derajat beratnya yaitu:16

a. Miopia ringan, dimana miopia kurang dari 3 dioptri

b. Miopia sedang, dimana miopia antara 3-6 dioptri

c. Miopia berat, dimana miopia lebih dari 6 dioptri

Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:16

a. Miopia stasioner adalah miopia yang menetap setelah dewasa

b. Miopia progresif adalah miopia yang bertambah terus pada usia dewasa

akibat bertambah panjangnya bola mata

c. Miopia maligna adalah miopia yang berjalan progresif, yang dapat

mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa

miopia degeneratif.

2.5.4 Faktor Risiko

Faktor-faktor yang diduga menjadi faktor risiko terjadinya miopia antara

lain:

1. Faktor keturunan

Faktor yang penting pada miopia yaitu faktor keturunan. Anak dengan orang

tua yang mengalami kelainan refraksi cenderung juga mengalami kelainan

refraksi. Prevalensi miopia pada anak yang kedua orang tuanya miopia adalah

32,9%, sedangkan pada anak dengan hanya salah satu orang tuanya yang

mengalami miopia adalah sekitar 18,2%, dan kurang dari 8,3% pada anak dengan

orang tua tanpa miopia.22

2. Aktifitas melihat jarak dekat

13
Aktivitas melihat jarak dekat yang terlalu berlebihan akan menyebabkan

mata menjadi mudah lelah, sayu, dan kadang berair. 23 Anak-anak yang banyak

menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas aktivitas jarak dekat seperti

membaca, menggunakan komputer, bermain video games, menonton televisi akan

lebih berisiko untuk terjadi miopia. Semakin banyak waktu yang dihabiskan untuk

aktivitas jarak dekat, maka semakin besar risiko terjadinya miopia.24

Aktivitas melihat jarak dekat menjadi faktor penyebab terjadinya miopia

melalui efek fisik langsung akibat akomodasi yang terjadi secara terus menerus

sehingga menyebabkan tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa menjadi

cembung. Jarak yang semakin dekat akan menyebabkan semakin kuatnya

akomodasi mata.23

Aktivitas melihat jarak dekat pada monitor dengan jarak yang tidak sesuai

akan memberikan dampak buruk akibat pajanan sinar ultraviolet. Lamanya

aktivitas melihat jarak dekat akan menyebabkan terbentuknya bayangan buram di

retina. Bayangan buram ini akan memulai proses kimia pada retina untuk

menstimulasi perubahan perubahan biokimia dan struktural pada sklera dan

koroid yang menyebabkan elongasi aksial.25

2.5.5 Patogenesis

Miopia dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif panjang

disebut sebagai miopia aksial dan dapat pula karena indeks bias media refraktif

yang tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat yang

disebut sebagai miopia refraktif.12

Terdapat dua teori utama tentang terjadinya pemanjangan sumbu bola mata

pada miopia. Teori biologik menganggap bahwa pemanjangan sumbu bola mata

14
sebagai akibat dari pertumbuhan retina (overgrowth). Teori biologik menjelaskan

pada saat bayi baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia namun saat

pertumbuhan mata menjadi emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetropia

ini disebut emetropisasi. Anak dengan predisposisi miopia, proses ini berlanjut

dan mengakibatkan bola mata lebih panjang dari ukuran umum. Gangguan

pertumbuhan mata yang tidak terkontrol untuk mencapai emetrop berkembang

menjadi miopia aksial.12

Teori yang kedua adalah teori mekanik yang mengemukakan adanya

penekanan sklera sebagai penyebab pemanjangan bola mata. Teori ini menyatakan

bayangan buram di retina mencetuskan proses biokimia pada retina untuk

menstimulasi perubahan biokimia dan struktural pada sklera yang menyebabkan

elongasi aksial.12

Indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat maksudnya adalah

cahaya yang dibiaskan kuat, dapat disebabkan oleh lensa yang terlalu cembung

sehingga bayangan jatuh didepan retina. Lensa yang cembung berhubungan

dengan proses akomodasi. Akomodasi mengakibatkan otot siliaris berkontraksi,

tegangan ligamentum suspensorium mengendur dan kurang mendapat tarikan

sehingga lensa berbentuk lebih cembung dengan kekuatan refraksi maksimal.12

Melihat dekat dalam waktu yang lama menyebabkan peningkatan

kontraksi otot siliaris yang lama kelamaaan mengakibatkan otot melemah

sehingga lensa dalam keadaan cembung terus menerus. Semakin dekat benda yang

dilihat dan semakin lama waktu yang digunakan mengakibatkan semakin kuat

mata berakomodasi.12

2.5.6 Gejala Klinis

15
Penderita miopi keluhan utamanya adalah penglihatan yang kabur saat

melihat jauh, tetapi jelas untuk melihat dekat. Pasien akan memberikan keluhan

sakit kepala atau mata terasa lelah, sering disertai dengan juling dan celah

kelopak mata sempit.26 Pasien miopia mempunyai punctum remotum yang dekat

sehingga mata selalu dalam konvergensi yang akan menimbulkan astenopia (mata

lelah) konvergensi dan bila menetap akan terlihat mata juling kedalam atau

esotropia.16

2.5.7 Penegakan Diagnosis

1. Pemeriksaan Pinhole

Uji lubang kecil dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam

penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan pada media

penglihatan, atau kelainan retina lainnya. Apabila ketajaman penglihatan

bertambah setelah dilakukan pemeriksaan pinhole, berarti pada pasien tersebut

terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Apabila ketajaman

penglihatan berkurang berarti pada pasien terdapat kekeruhan media penglihatan

ataupun retina yang mengganggu penglihatan.16

2. Uji Refraksi

a. Subjektif

- Optotipe dari Snellen dan Trial Lens

Metode yang digunakan adalah dengan metode “trial and error”. Jarak

pemeriksaan 6 meter / 20 kaki. Kartu snellen diletakan setinggi mata penderita.

Mata diperiksa satu persatu dibiaskan dengan mata kanan terlebih dahulu setelah

itu mata kiri. Visus / tajam penglihatan masing-masing mata ditentukan. Visus

tidak 6/6 kemudian dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila dengan lensa sferis

16
positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 6/6 atau 20/20 maka pasien

dikatakan hipermetropia. Apabila dengan pemberian lensa sferis positif

menambah kabur penglihatan kemudian diganti dengan lensa sferis negatif dan

memberikan tajam penglihatan 6/6 atau 20/20 maka pasien menderita miopia.

Apabila setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai tajam penglihatan

maksimal mungkin pasien mempunyai kelainan refraksi astigmatisma.16

b. Objektif

- Autorefraktometer

Menentukan miopia atau besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan

komputer. Penderita duduk didepan autorefraktor, cahaya dihasilkan oleh alat dan

respon mata terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa besar kelainan

refraksi yang harus dikoreksi dan pengukurannya hanya memerlukan waktu

beberapa detik.16

2.5.8 Penatalaksanaan

Orang yang terkena miopia dapat diberikan kacamata dengan lensa cekung

atau dapat juga menggunakan lensa kontak. Kacamata dan lensa kontak akan

memfokuskan kembali cahaya tepat pada retina. Kacamata juga dapat membantu

melindungi mata dari sinar UV yang berbahaya.27

Bedah refraktif dilakukan setelah pasien berhenti tumbuh, biasanya sekitar

usia 20 tahun. Bedah keratorefraktif menggunakan laser untuk membentuk

kembali kornea sehingga mata dapat kembali normal. Jika operasi berhasil maka

pasien akan memiliki ketajaman visual yang sangat baik tanpa kacamata atau

lensa kontak. Bedah refraktif yang paling sering dilakukan adalah photorefractive

keratectomy (PRK), laser in situ keratomileusis (LASIK), dan laser epithelial

17
keratomileusis.27

2.5.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul pada penderita miopia yaitu:

1. Ablasio retina

Pada pasien dengan miopia tinggi yang mencapai sekitar 2% dari populasi,

lebih mungkin untuk menderita penyakit mata tertentu seperti ablasio retina ,

degenerasi retina sentral, dan yang lainnya. Dr. Carlos Mateo mengatakan 40%

dari pasien miopia dengan lebih dari 8 dioptri akan mengalami risiko beberapa

jenis gangguan di pusat retina, dengan kehilangan penglihatan yang signifikan.

Karakteristik dari ablasio retina adalah adanya pencairan sebagian dari jeli

vitreus, tarikan yang kuat menciptakan robekan pada retina dan dengan adanya

robekan akan memberikan aliran dari corpus vitreus yang mencair ke dalam ruang

subretina. Perubahan biokimia pada vitreus gel akan menyebabkan pencairan

progresif (syneresis) dari pusat. Setelah mencair sehingga terjadi PVD (posterior

vitreous detachment) parsial dan complete akan menyebabkan retinal break.

Meskipun terjadi pada 10% dari polpulasi umum, mata miopia secara signifikan

dikaitkan dengan 42% dari semua ARR (ablatio retinal regmatogen). 28

2. Vitreal Liquefaction and Detachment

Corpus vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan

2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-

lahan, namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini

berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal,

penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut,

dapat terjadi kolaps corpus viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina.

18
Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan

menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi terjadi

karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.29

BAB III

19
KERANGKA TEORI

3.1 Kerangka Teori

Kelainan refraksi

Miopia Hipermetropia Astigmatisma

Daya akomodasi yang


Derajat miopia: berlebihan
Miopia ringan : < 3 dioptri
Miopia sedang : 3-6 dioptri
Miopia berat : > 6 dioptri
Peningkatan kontraksi
M.Siliaris

Aktivitas mata terlalu Peningkatan


Usia Pekerjaan kecembungan lensa
dekat

Jenis kelamin
Bayangan jatuh
didepan retina

Bedah refraktif laser in situ


Penggunaan lensa sferis negatif
keratomileusis (LASIK)

Ket :

Yang Diteliti
Gambar 3.1 Kerangka Teori

BAB IV

20
METODE PENELITIAN

4.1 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup ilmu penelitian ini adalah ilmu penyakit mata pada usia

remaja.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di bagian Poli Mata RSI. Siti Rahmah Padang

Sumatera Barat.

Waktu penelitian ini dilakukan dari bulan Mei 2019 sampai Januari 2020,

mulai dari pembuatan proposal sampai dengan penulisan hasil penelitian.

4.3 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif katagorik dengan

menggunakan data sekunder yang berasal dari rekam medis pasien miopia yang

ada di RSI Siti Rahmah Padang

4.4 Populasi dan Sampel

4.4.1 Populasi Target

Populasi target adalah seluruh pasien yang terdiagnosis miopia

4.4.2 Populasi Terjangkau

Populasi terjangkau adalah seluruh pasien miopia pada rentang usia 12 – 25

tahun di RSI Siti Rahmah Padang pada tahun 2018

4.4.3 Sampel

21
Sampel pada penelitian ini adalah pasien miopia yang memenuhi kriteria

inklusi dan ekslusi.

A. Kriteria Inklusi:

1. Pasien menderita miopia usia 12-25 tahun di Poli Mata RSI. Siti Rahmah

pada tahun 2018

2. Pasien dengan data rekam medis yang lengkap, yaitu : usia, jenis kelamin,

pekerjaan, derajat keparahan.

B. Kriteria Eksklusi:

1. Pasien penderita miopia dengan usia < 12 tahun atau > 25 tahun di Poli

Mata RSI Siti Rahmah pada tahun 2018

2. Pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap

3. Pasien penderita miopia yang didiagnosa dengan penyakit lain

4. Pasien astigmatisma

4.4.4 Cara Sampling

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling

(menetapkan ciri khusus subjek sesuai dengan tujuan penelitian) di bagian rekam

medis polimata RSI Siti Rahmah tahun 2018

4.4.5 Besar Sample

Penentuan besarnya sampel dalam penelitian ini dihitung dengan

menggunakan rumus deskriptif kategorik Sopiyudin Dahlan yaitu :

Z α 2 PQ
n=
d2

Keterangan:

22
n : Jumlah sampel minimal

Zα : Ketetapan Alpha = 1,64

P : Nilai prevalensi = 62%

d : Presisi = 10%

Q : 1- P = 1 – 0,62 = 0,38

Z α 2 PQ
n=
d2

1,6 4 2 x 0,62 x 0,38


n= 2
0,1

0,63
n=
0,01

n = 63

Dari perhitungan ini didapatkan jumlah sampel sebanyak 63 orang, namun untuk
mengurangi bias sampel ditambah menjadi 65 orang.

23
4.6 Definisi Operasional
Tabel Definisi Operasional
Alat Ukur
Definisi
Variabel dan Cara Hasil Ukur Nilai
Operasional
Pengukuran
Umur adalah a. Remaja Awal
lama waktu (12-16 tahun)
Usia30 Rekam Medis Ordinal
hidup atau ada b. Remaja Akhir
sejak dilahirkan (17-25 tahun)

Jenis kelamin
Jenis dengan kategori a. Laki-laki
Rekam Medis Nominal
Kelamin laki-laki atau b. Perempuan
perempuan

a. Pedagang
Jenis pekerjaan b. PNS
Status
rutin yang Rekam Medis c. Pelajar Nominal
Pekerjaan31
dilakukan d. Mahasiswa
e. IRT

a. Ringan < 3 D
Derajat Berdasarkan
Rekam Medis b. Sedang 3-6 D Ordinal
Keparahan16 Klasifikasi
c. Berat > 6 D

Tabel 4.1 Definisi operasional

4.7 Cara Pengumpulan Data

24
Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data

sekunder yang diperoleh dari data rekam medis penderita miopia di Poli Mata RSI

Siti Rahmah pada Tahun 2018

4.8 Cara Kerja

1. Penelitian ini dimulai dari meminta surat permohonan izin ke bagian

penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah.

2. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menentukan data dan tempat

penelitian.

3. Selanjutnya memberikan surat permohonan izin ke bagian rekam medis

RSI Siti Rahmah untuk melakukan penelitian.

4. Setelah itu dari bagian rekam medis RSI Siti Rahmah memberikan surat

balasan mengenai ketersediaan informasi data yang dibutuhkan peneliti

5. Peneliti diminta melengkapi persyaratan administrasi dengan melakukan

pembayaran kepada pihak RSI Siti Rahmah.

6. Mengumpulkan dan mengelompokan data dari rekam medis pasien yang

telah diberikan pihak rekam medis RSI Siti Rahmah.

7. Data yang telah dikumpulkan dapat diolah secara statistik

4.9 Alur Penelitian


Izin dari Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

25
Persetujuan Etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah

Pengajuan izin penelitian di RSI Siti Rahmah

Pengambilan data di Poli Mata dan bagian rekam medis


medis

Kriteria penelitian

Kriteria inklusi (sesuai) Kriteria eksklusi


(tidak sesuai)

Data dikumpulkan dan dikelompokan

Hasil penelitian

Pembahasan hasil penelitian

Gambar 4.1 Alur penelitian

4.10 Etika Penelitian

26
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti telah memperhatikan prinsip etika

penelitian, yaitu :

1. Persetujuan Etik dari Fakultas Kedokteran Universitas Baiturrahmah.

2. Persetujuan dari pihak RSI Siti Rahmah Padang.

3. Peneliti telah menjunjung tinggi privasi rekam medis pasien dengan menjaga

kerahasiaan dari informasi yang diperoleh selama penelitian.

4. Data yang digunakan hanya untuk kepentingan penelitian.

5. Biaya yang diperlukan selama penelitian merupakan tanggung jawab dari

peneliti.

BAB V

27
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Pasien Miopia Pada Usia 12-25 Tahun di RSI Siti Rahmah

Padang

Penelitian ini dilakukan pada 65 sampel yang dipilih dengan teknik

purposive sampling dan telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penelitian

ini telah mendapat izin etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas

Baiturrahmah dengan nomor surat 108/ETIK-FKUNBRAH/03/11/2019.

Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisa terhadap data yang telah didapat,

maka penulis dapat uraikan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini:

5.1.1 Usia

Hasil penelitian mengenai karakteristik pasien miopia di RSI Siti Rahmah

berdasarkan usia antara 12-25 tahun dapat diuraikan sebagai berikut :

Tabel 5.1 Karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan usia antara

12-25 tahun di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang tahun 2018

Usia F %
Remaja Awal (12-16 tahun) 35 53.8
Remaja Akhir (17-25 tahun) 30 46.2
Jumlah 65 100

Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa dari 65 pasien miopia,

usia terbanyak adalah remaja awal (12-16 tahun) yaitu 35 orang (53,8%)

5.1.2 Jenis Kelamin

Hasil penelitian didapatkan karakteristik pasien miopia ditinjau

berdasarkan jenis kelamin dapat diuraikan sebagai berikut :

28
Tabel 5.2 Karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan jenis kelamin

di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang tahun 2018

Jenis Kelamin F %
Laki-laki 23 35.4
Perempuan 42 64.6
Jumlah 65 100

Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa dari 65 pasien miopia,

jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 42 orang (64,6%)

5.1.3 Pekerjaan

Hasil penelitian didapatkan karakteristik pasien miopia ditinjau

berdasarkan pekerjaan dapat diuraikan sebagai berikut :

Tabel 5.3 Karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan pekerjaan

di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang tahun 2018

Pekerjaan F %
IRT 2 3.1
Mahasiswa 14 21.5
Pedagang 5 7.7
Pelajar 39 60.0
PNS 5 7.7
Jumlah 65 100

Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa dari 65 pasien miopia,

pekerjaan terbanyak adalah sebagai pelajar yaitu 39 orang (60%)

5.1.4 Derajat Keparahan

Hasil penelitian didapatkan karakteristik pasien miopia ditinjau

berdasarkan derajat keparahan dapat diuraikan sebagai berikut :

29
Tabel 5.4 Karakteristik pasien miopia ditinjau berdasarkan derajat

keparahan di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang tahun 2018

Derajat Keparahan F %
OD
Ringan (< 3 Dioptri) 54 83.1
Sedang (3-6 Dioptri) 10 15.4
Berat (>6 Dioptri) 1 1.5
OS
Ringan (< 3 Dioptri) 53 81.5
Sedang (3-6 Dioptri) 11 16.9
Berat (>6 Dioptri) 1 1.5
Jumlah 65 100

Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa dari 65 pasien miopia,

derajat keparahan OD paling banyak derajat ringan yaitu 54 orang (83,1%) dan

derajat keparahan OS paling banyak ringan yaitu 53 orang (81,5%)

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Karakteristik Pasien Miopia Berdasarkan Usia

Berdasarkan penelitian dari 65 pasien miopia, usia terbanyak adalah

remaja awal (12-16 tahun) yaitu 35 orang (53,8%) di Poli Mata RSI Siti Rahmah

Padang tahun 2018.

Hasil penelitiaan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

30
oleh Guo L membuktikan prevalensi miopia pada siswa rentang usia 12-13 tahun

sebesar 0,2% kemudian meningkat menjadi 38,8% pada siswa rentang usia 13-14

tahun dan tertinggi sebesar 68,4% pada siswa 15-16 tahun. 32 Penelitian oleh

Halim Muhammad dapat dilihat bahwa responden penderita miopia terbanyak di

usia 13 tahun yaitu 59,3%.33

Anak-anak pada usia sekolah yang memiliki minat belajar yang tinggi

cenderung menggunakan matanya untuk membaca dengan jarak yang tidak

proporsional ditambah lagi dengan perkembangan zaman modern dan mengenal

gadget. Gadget merupakan faktor miopiogenik yaitu faktor yang dapat

menyebabkan miopia apabila penggunaannya salah dan secara terus menerus.

Usia terbanyak pada hasil penelitian yaitu 12-16 tahun ini sesuai dengan data

WHO yang menyatakan terjadi peningkatan miopia diatas usia 12 tahun dan

memasuki masa sekolah.34

6.2 Karakteristik Pasien Miopia Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan penelitian dari 65 pasien miopia, jenis kelamin terbanyak

adalah perempuan yaitu 42 orang (64,6%) di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang

tahun 2018.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Sofiani pada remaja di SMAN 2 Temanggung diperoleh hasil paling banyak

miopia terjadi pada perempuan yaitu (52,5%).35 Hal ini dikarenakan perempuan

memiliki aktifitas di luar ruangan yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki,

sehingga perempuan memiliki risiko miopia lebih besar daripada laki-laki.

Aktivitas yang dilakukan diluar ruangan seperti olahraga dapat memberikan

intensitas cahaya yang lebih banyak sehingga mengurangi daya akomodasi dan

31
mengurangi pelepasan dopamin oleh retina untuk mengurangi elongasi mata,

sehingga dapat menurunkan risiko miopia.36

Hal ini juga dapat dihubungkan dengan aktivitas diluar ruangan yang

cenderung lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Olahraga diluar ruangan dan

mendapatkan paparan cahaya matahari yang cukup dapat mencegah terjadinya

pemanjangan bola mata dan dapat mencegah terjadinya gangguan tajam

penglihatan. Penelitian dari Usman S juga memperlihatkan kasus miopia atau

gangguan tajam penglihatan lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan,

yaitu 47 orang (75,9%) dari total 64 responden di Pekanbaru.37

Gong F Juan menjelaskan dalam penelitiannya bahwa miopia lebih banyak

terjadi pada wanita. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa prevalensi miopia laki-

laki berbeda dari perempuan di tahap perkembangan awal pertumbuhan dan

perbedaannya menjadi minimalisir pada usia dewasa muda. Dalam penelitiannya,

jenis kelamin adalah faktor risiko tingginya prevalensi miopia pada remaja.

Setelah pubertas di bawah pengaruh hormon pertumbuhan (growth hormone) dan

hormon estrogen, pertumbuhan dan perkembangan perempuan muda mencapai

puncaknya. Pada titik ini perubahan disfungsi organ rawan menyebabkan

perubahan struktur jaringan termasuk jaringan yang ada di mata. Miopia

perempuan terjadi lebih awal daripada laki-laki karena pubertas perempuan

dimulai lebih awal daripada pubertas laki-laki. Derajat keparahannya juga secara

bertahap meningkat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuh.38

Gong mengonfirmasi bahwa reseptor estrogen (ER) mRNA diekspresikan

dalam kornea, kelenjar meibom, sel epitel pigmen retina. Hormon estrogen

mempunyai pengaruh pada ketebalan kornea dan berkorelasi dengan derajat

32
keparahan miopia. Ini membuktikan bahwa terdapat perubahan penglihatan

seiring dengan perubahan estrogen dalam siklus menstruasi.38

6.3 Karakteristik Pasien Miopia Berdasarkan Status Pekerjaan

Berdasarkan penelitian dari 65 pasien miopia, status pekerjaan terbanyak

adalah sebagai pelajar yaitu 39 orang (60%) di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang

tahun 2018.

Pelajar yang banyak mengalami miopia pada umumnya terjadi pada

pelajar berprestasi. Hal tersebut juga dibuktikan dari penelitian yang dilakukan

oleh Juneti pada anak sekolah dasar kelas 5 dan kelas 6 di SDN 17 Bukit Raya

Pekanbaru membuktikan bahwa banyaknya responden yang berprestasi dapat

meningkatkan aktivitas melihat dekat dan lama, dimana siswa yang berprestasi

lebih banyak mengalami gangguan tajam penglihatan yaitu sebanyak 23 orang

(60,53%) dan siswa yang tidak berprestasi mengalami gangguan tajam

penglihatan sebanyak 15 orang (38, 47).39

Responden pada penelitian ini paling banyak adalah pelajar yang pada usia

mereka banyak menghabiskan waktu bermain atau terpapar pada beberapa faktor

seperti kebiasaan beraktivitas dalam jarak dekat termasuk membaca,

menggunakan komputer dan bermain video game. Hal ini memiliki peranan yang

besar terhadap terjadinya kelainan refraksi. Beberapa penelitian menyebutkan

faktor lingkungan memiliki peran yang besar terhadap miopia. Faktor lingkungan

yang dimaksud adalah aktivitas didalam ruangan dan diluar ruangan. Aktivitas

didalam ruangan yang lebih banyak meningkatkan kejadian miopia.39

Jones dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pada anak kelas III SD

dengan penglihatan normal kemudian menderita kelainan refraksi miopia pada

33
kelas VI berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan aktivitas luar ruangan selama

7,98 jam per minggu (1,14 jam per hari). Sementara anak kelas III dengan

penglihatan tetap normal dikelas VI berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan

aktivitas luar ruangan selama 11,65 jam per minggu (1,66 jam per hari).

Peningkatan aktivitas olahraga diperlukan apabila aktivitas melihat dekat dan

lama tinggi.40

6.4 Karakteristik Pasien Miopia Berdasarkan Derajat Keparahan

Berdasarkan penelitian dari 65 pasien miopia didapatkan hasil miopia pada

mata kanan (OD) paling banyak dengan tingkat derajat keparahan ringan yaitu 54

orang (83,1%) dan miopia pada mata kiri (OS) paling banyak dengan derajat

keparahan ringan yaitu 53 orang (81,5%) di Poli Mata RSI Siti Rahmah Padang

tahun 2018.

Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Ihsanti di RS Mata Cicendo Bandung diperoleh hasil derajat

miopia derajat ringan sebanyak (92,6%).41 Ini juga sejalan dengan penelitian

Purwanto pada pelajar di SMA Negeri 2 Palembang diperoleh hasil paling banyak

adalah miopia dengan derajat keparahan ringan yaitu (61%).42 Penelitian oleh

Fauziah di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas juga menemui 93 orang

mengalami derajat ringan (76,9%) dan 28 orang mengalami derajat sedang

(23,1%).43 Penelitian oleh Aemsina Hayatillah juga menyatakan hasil bahwa

terbanyak adalah derajat miopia ringan yaitu 76,67%.44

Sebagian besar peneliti setuju bahwa status refraktif manusia diturunkan

secara genetik, namun berkembang berbagai penelitian di dunia yang

mengungkapkan lingkungan dan perilaku visual dalam kehidupan dapat

34
memengaruhi pertumbuhan bola mata dan mengakibatkan kesalahan bias.

Individu tanpa faktor predisposisi miopia yang terpajan secara terus menerus oleh

faktor miopiogenik pada akhirnya akan mengalami miopia ringan.45

Faktor genetik dan faktor lingkungan merupakan faktor risiko yang

memegang peranan penting pada terjadinya miopia. Faktor genetik meliputi usia,

jenis kelamin, riwayat keluarga dan riwayat kelahiran prematur. Faktor genetik

dapat menurunkan sifat kelainan refraksi ke keturunannya baik secara autosomal

dominan maupun autosomal resesif.46

Aktivitas melihat dekat jangka panjang menyebabkan miopia melalui efek

fisik langsung akibat akomodasi terus-menerus sehingga tonus otot siliaris

menjadi tinggi dan lensa menjadi cembung. Namun berdasarkan teori terbaru,

aktivitas melihat dekat dan lama menyebabkan miopia melalui terbentuknya

bayangan buram di retina (retina blur) yang terjadi selama fokus dekat. Bayangan

buram di retina ini memulai proses biokimia pada retina untuk menstimulasi

perubahan biokimia dan struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan

elongasi aksial.47

Adapun patofisiologi kejadian miopia dan paling banyak adalah ringan,

pada saat bayi baru lahir, kebanyakan bayi memiliki mata hiperopia namun saat

pertumbuhan mata kurang menjadi hiperopia dan pada usia 5-8 tahun menjadi

emetropia. Proses untuk mencapai ukuran emetropia ini disebut emetropisasi.

Pada anak dengan predisposisi miopia, proses ini berlanjut namun mereka

menderita miopia derajat ringan pada awal kehidupan. Orang yang tidak

mempunyai faktor predisposisi miopia yang kuat juga dimulai dengan hiperopia

dan emetropisasi sampai bayangan difokuskan tepat di retina, saat proses tersebut

35
berhenti. Faktor miopiogenik seperti membaca dalam waktu lama atau pekerjaan

yang membutuhkan aktivitas melihat dekat secara ekstensif mungkin

menyebabkan miopia dejarat ringan nantinya.47

BAB 7

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian yang berjudul

prevalensi pasien penderita miopia pada usia 12-25 tahun di Poli Mata RSI Siti

Rahmah Padang tahun 2018, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Persentase pasien penderita miopia dengan usia terbanyak adalah remaja

36
awal (12-16 tahun) yaitu 35 orang (53,8%).

2. Persentase pasien penderita miopia dengan jenis kelamin terbanyak adalah

perempuan yaitu 42 orang (64,6%).

3. Persentase pasien penderita miopia dengan status pekerjaan terbanyak

adalah sebagai pelajar yaitu 39 orang (60%).

4. Persentase pasien penderita miopia dengan derajat keparahan OD paling

banyak ringan yaitu 54 orang (83,1%) dan derajat keparahan OS paling

banyak ringan yaitu 53 orang (81,5%).

7.2 Saran

1. Berkaitan dengan banyaknya penderia miopia pada usia remaja sehingga

sosialisasi tentang kelainan refraksi atau khususnya miopia sangat

diperlukan di lingkungan pendidikan untuk mencegah kerusakan lebih

lanjut dan pemeriksaan tajam penglihatan secara rutin sangat dianjurkan

sehingga setiap kelainan refraksi dapat diketahui lebih awal dan terapi

dapat memberikan hasil yang lebih baik.

2. Bagi pasien yang mengalami miopia khususnya para pelajar agar mampu

merubah kebiasaan buruk di rumah seperti tidak membaca buku dengan

jarak baca yang sangat dekat, tidak bermain game di gadget dan

smartphone terus menerus sehingga diharapkan miopia tidak semakin

parah.

3. Bagi pihak rumah sakit agar memberikan edukasi bagi penderita miopia

agar menghindari melakukan aktifitas yang bisa memicu keparahan

kerusakan mata atau kejadian miopia dan mengkonsumsi makanan yang

37
bisa menyehatkan mata.

4. Bagi peneliti selanjutnya diperlukan penelitian lebih lanjut dalam jumlah

sampel yang jauh lebih besar dengan mengevaluasi kelainan miopia pada

anak usia sekolah.

38

Anda mungkin juga menyukai