BAB I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Mata adalah salah satu dari indera tubuh manusia yang berfungsi untuk
penglihatan. Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun
sering kali kurang terperhatikan, sehingga banyak penyakit yang menyerang mata
tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan penglihatan sampai kebutaan.
Mata juga merupakan jalur informasi utama oleh karena itu keterlambatan melakukan
koreksi terutama pada anak usia sekolah akan sangat mempengaruhi kemampuan
menyerap materi pembelajaran dan berkurangnya potensi untuk meningkatkan
kecerdasan(1).
Gangguan penglihatan yang paling sering dialami adalah rabun, dapat berupa
rabun melihat benda jauh, rabun melihat benda pada jarak dekat, rabun ketika sedang
membaca yang biasanya dialami mereka yang berusia di atas 40 tahun atau campuran
dari rabun melihat benda jauh dan rabun ketika sedang membaca.Semua jenis rabun
mata pada intinya merupakan gangguan memfokuskan bayangan benda yang dilihat
atau kelainan refraksi. Kelainan refraksi merupakan penyebab (0,14%) utama
kebutaan setelah katarak (0,78%) dan glaukoma (0,20%)(3,4).Kelainan Refraksi adalah
keadaan dimana mata tidak mampu membiaskan atau memfokuskan cahaya ke retina
sehingga bayangan benda yang dilihat menjadi kabur(2). Kelainan refraksi merupakan
salah satu penyebab kebutaan yang mudah dideteksi, diobati dan dievaluasi dengan
pemberian kacamata, namun demikian kelainan refraksi menjadi masalah serius jika
tidak cepat ditanggulangi(3,4).
Program penanggulangan masalah kesehatan mata sudah berjalan cukup lama
yaitu sejak tahun 1975, namun sampai saat ini pemerintah belum memberikan
prioritas yang cukup untuk kesehatan mata. Kelainan refraksi masih mempunyai
prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan penyakit menular(4).
Sikap seseorang sangat mempengaruhi perilaku sehatnya. Perilaku yang sehat
dan kemampuan masyarakat untuk memilih dan mendapatkan pelayanan kesehatan
yang bermutu sangat menentukan keberhasilan Pembangunan Kesehatan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, peneliti membuat
suatu rumusan masalah yaitu :
Adakah hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap kelainan
refraksi pada anak ?
I.3
Tujuan Penelitian
I.3.1
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap kelainan refraksi
pada anak.
I.3.2
Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus yang diharapkan adalah :
I.3.2.1 Mengetahui korelasi tingkat pendidikan orang tua terhadap kelainan refraksi
pada anak.
I.3.2.2 Mengetahui korelasi tingkat pendapatan orang tua terhadap kelainan refraksi
pada anak
I.3.2.3 Menjelaskan korelasi tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap
kelainan refraksi pada anak.
I.4
Manfaat Penelitian
I.4.1
Bagi Universitas
I.4.1.1 Memberikan informasi yang benar kepada dunia kedokteran mengenai
hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap kelainan
refraksi pada anak.
I.4.1.2 Dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian selanjutnya tentang
hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua terhadap kelainan
refraksi pada anak.
I.4.2.3 Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan referensi
pembelajaran untuk perpustakaan dari institusi yang terkait.
I.4.2
Bagi Mahasiswa
Membantu mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu kedokteran yang telah
diperoleh selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
I.4.3
Bagi Masyarakat
I.4.3.1 Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan pada
masyarakat mengenai hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua
terhadap kelainan refraksi pada anak.
I.4.3.2 Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi yang menggugah para orang
tua di masyarakat untuk lebih peduli dengan kesehatan anak terutama koreksi
dini dalam mencegah kelainan refraksi pada anak.
I.4.3.3 Menambah pengetahuan tentang pencegahan kelainan refraksi pada anak.
I.4.3.4 Dapat menekan jumlah penderita kelainan refraksi karena kurangnya koreksi
dini dari para orang tua.
I.4.4
Peneliti Lain
Sebagai sumbangan informasi atau referensi yang bisa digunakan sebagai
dasar penelitian selanjutnya tentang hubungan tingkat pendidikan dan pendapatan
orang tua terhadap kelainan refraksi pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1
daripada dewasa. Mata juga relatif lebih pendek dan akan mencapai ukuran yang sebenarnya
sekitar umur 7-8 tahun. Ini akan membuat mata itu sangat hipermetropik. Pada anak yang
normal biasanya ketajaman penglihatannya tidak akan mencapai 20/20 sampai usia 3-6 tahun.
Sebagian besar bayi saat lahir mengalami hipermetropia ringan. Hipermetropia
tersebut secara perlahan-lahan berkurang sampai saat remaja, untuk mencapai emetropia
(mata normal). Kelengkungan kornea jauh lebih curam dan mendatar saat lahir dan
mendekati kelengkungan dewasa pada usia sekitar 1 tahun. Lensa jauh lebih sferis pada saat
lahir dan mencapai bentuk dewasa pada usia sekitar 6 tahun. Panjang sumbu saat lahir adalah
pendek (17,3 mm), kemudian terus memanjang dan stabil pada usia sekitar 10-15 tahun.
Perkembangan normal mekanisme fisiologi retina dan korteks penglihatan ditentukan
oleh pengalaman visual pasca lahir. Penglihatan sentral berkembang sejak lahir sampai usia
6-7 tahun, apabila penglihatan belum juga berkembang sampai saat itu maka kecil
kemungkinan bahwa perkembangan akan terjadi. Gangguan penglihatan seperti kelainan
refraksi selama periode kritis perkembangan (berlangsung kira-kira sampai usia 8 tahun) akan
menghambat pembentukan penglihatan normal sehingga terjadi ambliopia. Pada ambliopia
terjadi penurunan ketajaman penglihatan tanpa penyakit mata organik sehingga tidak dapat
dikoreksi dengan kacamata(5,6).
II.2
Anatomi Mata
Adalah baik mengetahui sedikit anatomi mata yang memegang peranan di dalam
kelainan refraksi. Pada penglihatan terdapat proses yang cukup rumit oleh jaringan yang
dilalui seperti membelokkan sinar, memfokuskan sinar dan meneruskan rangsangan sinar
yang membentuk bayangan yang dapat dilihat.
II.2.1 Kornea
Kornea merupakan selaput bening di bagian luar bola mata yang menerima cahaya
dari sumber cahaya serta meneruskan ke bagian lain dari mata. Peran kornea sangat penting
bagi ketajaman penglihatan kita(7).
II.2.2 Iris
Iris dalam bahasa Yunani memiliki arti pelangi, dan dalam bahasa latin Iris disebut
juga pupil. Iris merupakan alat atau organ yang mampu mengatur jumlah cahaya yang masuk
dalam suatu alat optic. Iris juga disebut selaput pelangi, yaitu selaput di depan lensa mata
yang memiliki sebuah celah (pupil). Iris berfungsi sebagai pengatur intensitas cahaya yang
masuk mata. Warna selaput pelangi ditentukan oleh warna pigmen yang terdapat di dalamnya.
selaput bola mata yang ada di belakang kornea mata, membentuk batas pupil yang
memberikan warna khusus Dalam alat-alat optic, iris berfungsi sebagai diafragma (8).
II.2.3 Pupil
Pupil yang berwarna hitam pekat pada sentral iris mengatur julah sinar masuk ke
dalam bola mata. Seluruh sinar yang masuk melalui pupil diserab sempurna oleh jaringan
dalam mata. Tidak ada sinar yang keluar melalui pupil sehingga pupil akan berwarna hitam.
Seperti diafragma kamera ukuran ppil dapat mengatur refleks mengecil atau
membesarkan untuk jumlah masuknya sinar atau bayangan. Pengaturan julah sinar ke dalam
pupil diatur secara refleks(3).
II.2.4 Badan Siliar
Badan siliar merupakan bagian khusus uvea yang memegang peranan untuk
akomodasi dan menghasilkan cairan mata. Badan siliar merupakan bagian terbesar dari pada
uvea anterior. Badan siliar terbagi atas pars plika dengan 70-80 jonjot dimana dihasilkan
cairan bilik mata dan pars plana merupakan bagian yang memipih ke belakang menuju ora
serata retina.
Mesoderm badan siliar membentuk otot, pembuluh darah dan stroma badan siliar.
Dalam badan siliar didapatkan otot akomodasi dan mengatur besar ruang intertrabekula
melalui insersi otot pada skleral spur(3).
II.2.5 Lensa
Lensa kristalin merupakan lensa mata yang terbuat dari bahan bening, berserat, dan
kenyal. Lensa mata berbeda dengan lensa kamera, tetapi memiliki fungsi yang sama. Pada
kamera, untuk memfokuskan bayangan pada pelat film, lensa kamera harus dimajukan atau
dimundurkan. Pada mata, untuk memfokuskan bayangan pada retina, yaitu dengan
mencembungkan atau memipihkan lensa. Daya untuk membuat lensa mata cembung dan
memipih
sesuai
dengan
jarak
benda
yang
dilihat
disebut
daya
akomodasi (9).
II.2.6 Retina
Retina merupakan bungkus bola mata sebelah dalam dan terletak di belakang pupil.
Retina akan meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai
rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal.
Susunan retina :
Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk apada retina .
pada kelainan refraksi terjadi ketidak seimbangan sistem optik pada mata sehingga
menghasilkan bayangan yang kabur. Pada mata normal kornea dan lensa membelokkan sinar
pada titik fokus yang tepat pada sentral retina. Keadaaan ini memerlukan susunan kornea dan
lensa yang sesuai dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi sinar tidak dibiaskan
tepat pada bintik kuning, akan tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan
malahan tidak terletak pada suatu tititk yang tajam . kelainan refraksi dikenal dalam bentuk
miopia, hipermetropia dan astigmat(3).
II.3.1 Adaptasi
Adaptasi adalah kemampuan mata untuk menyesuaikan diri pada intensitas cahaya
yang berubah-ubah.
Ada 3 macam proses adaptasi yaitu :
Adaptasi gelap-skotofik
Adaptasi terang-fotopik
Adaptasi redup-mesopik
Bila seseorang pindah dari tempat terang ke tempat gelap maka akan terjadi
regenerasi rodopsin dan dianggap dibutuhkan waktu 30 menit untuk regenerasi rodopsin
secara maksimal. Rodopsin ini dibutuhkan untuk pengelihatan didalam gelap. Proses ini
disebut adaptasi gelap. Apabila seseorang yang sudah adaptasi gelap pindah ketempat yang
terang dan kemudian kembali lagi ketempat yang gelap waktu yang dibutuhkan untuk
adaptasi gelap lebih pendek karena rodopsin belum terurai seluruhnya. Apabila mata yang
beradaptasi gelap pindah ketempat terang maka terjadi regenerasi iodopsin dan penguraian
rodopsin. Iodopsin berfungsi dalam penglihatan terang.
Bila mata yang beradaptasi gelap pindah ketempat terang maka kepekaannya
berkurang.pada mata yang beradaptasi gelap, dibutuhkan rangsangan cahaya yang sangat
kecil untuk dapat melihat suatau objek. Sedangkan bila mata yang berdaptasi gelap ini
dipindahkan ketempat yang terang maka dibutuhkan rangsangan yang lebih besar supaya
objek tersebut dapat dilihat(10).
II.3.2 Akomodasi
Definisi daya akomodasi adalah kemampuan mata untuk mencembungkan atau
memipihkan lensa mata. Pada proses melihat, lensa mata akan cembung jika melihat benda
yang dekat dan akan memipih jika melihat benda yang jauh. Hal ini sebenarnya adalah usaha
menempatkan bayangan yang dilihat agar tepat pada retina sehingga dapat jelas.
Kekuatan akomodasi dinyatakan dalam dioptri, dapat diukur dengan kartu akomodasi yang
mempunyai garis tegak tunggal ukuran 0,2 x 3 mm. kartu diletakkan di depan mata,
kemudian dilihat sampai batas kabur. Jika jarak antara mata dengan kartu itu diketahui, dapat
ditentukan daya akomodasi mata tersebut. Misalnya jarak antara mata dan kartu adalah 15
cm, maka daya akomodasi mata adalah 100 per 15 = 6,67 dioptri. Jika daya akomodasi
berkurang, mata akan cepat lelah untuk membaca. Hal ini dapat terjadi karena bertambahnya
usia sehingga menimbulkan kesulitan untuk melihat(11).
II.3.3 Hipermetropia
Hipermetropia adalah suatu bentuk kelainan refrkasi di mana sinar-sinar sejajar akan
dibiaskan pada suatu titik di belakang retina pada mata dalam keadaan istirahat.
Hipermetropia sebesar 2-3 dioptri biasa ditemukan pada bayi baru lahir yang akan bertambah
pada tahun-tahun pertama namun akan berangsur-angsur berkurang pada usia remaja menjadi
emetrop.dalam keadaan normal otot-otot siliar mempunyai sejumlah tonus yang tidak dapat
direlaksasikan sehingga untuk mendapatkan derajat hipermetropia penuh harus digunaka
sikloplegik. Bagian yang ditemukan dengan sikloplegik disebut sebagai hipermetropia laten.
Sedangkan bagian yang ditemukan tanpa sikloplegik disebut hipermetropia manifesta(10).
II.3.4 Miopia
Miopia adalah bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar, pada mata yang
istirahat, akan dibiaskan pada suatu titikdi depan retina.miopia dapat terjadi karen aukuran
sumbu bola mata yang relatif panjang dan disebut sebagai miopia aksial. Dapat juga karen
aindeks bias media yang tinggi, atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat.
Dalam hal ini disebut sebagai miopia refraktif(10).
II.4
penapisan sedini mungkin dan teratur untuk mendeteksi adanya kelainan refraksi. Pada 3-4
tahun pertama, perkiraan penglihatan sangat bergantung pada pengamatan mengenai perilaku
anak sewaktu bermain atau berinteraksi dengan orangtua. Pada usia 4 tahun keatas telah dapat
dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan grafik E buta huruf. Biasanya pada tingkat
sekolah dasar kelas 1 atau kelas 2, dapat digunakan grafik Snellen. Cara terbaik untuk
mencegah ambliopia adalah dengan deteksi dini dengan menguji ketajaman penglihatan
semua anak prasekolah.
Mata ametrop memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik. Lensa kacamata
masih merupakan metode paling aman untuk memperbaiki refraksi. Kacamata berguna untuk
memfokuskan bayangan ke retina. Koreksi miopia dengan menggunakan lensa konkaf
(minus), hipermetropi dengan menggunakan lensa konveks (plus), sedangkan astigmatisma
dengan lensa silindris(3).
II.5
rendah dan menengah. Makin tinggi tingkat pendidikannya dari sisi intelektualitas makin
tinggi derajat sosialnya di dalam masyarakat biasanya keluaran dari pendidikan formal.
Masyarakat yang dimaksud di dalam penelitian adalah keluarga. Keluarga adalah kelompok
manusia terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak termasuk juga anak
yang diangkat (adopsi) serta anak tiri yang dianggap anak kandung.
Menurut Undang-
Undang no.2 tahun 1999, pengukuran tingkat pendidikan formal digolongkan menjadi 4
yaitu:
1.
Tingkat pendidikan sangat tinggi, yaitu minimal pernah menempuh pendidikan tinggi.
2.
3.
4.
Golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari
Rp. 3.500.000,00 per bulan.
2.
Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp. 2.500.000,00
s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan.
3.
4.
II.5.3 Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pendapatan orang tua terhadap kelainan
refraksi pada anak
Setiap individu sejak lahir terkait didalam suatu kelompok, terutama kelompok
keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini membuka kemungkinan untuk
dipengaruhi dan mempengaruhi anggota-anggota kelompok lain. Dalam kelompok keluarga
misalnya, secara tidak langsung sikap dan prilaku orang tua akan mempengaruhi anaknya.
Dalam hal ini tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua berpengaruh untuk menentukan
sikap apa yang akan diambil dalam mencegah kelainan refraksi yang terjadi pada anak. Orang
tua dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi secara tidak langsung akan memiliki
pengetahuan yang lebih tentang kelainan refraksi pada anak. Sehingga orang tua dapat
melakukan deteksi dini dan koreksi terhadap kelainan refraksi pada anaknya. selain tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan juga berpengaruh terhadap prilaku orang tua dalam memilih
pelayanan kesehatan yang bermutu untuk anaknya. sudah jelas dengan tingkat pendapatan
yang lebih tinggi para orang tua dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu
dan terjamin pada anaknya (12). Sehingga
pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi memiliki resiko terkena kelainan refraksi lebih
kecil daripada anak dari orang tua yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan yang
lebih rendah.
BAB III
KERANGKA KONSEP
Berdasarkan tinjauan pustaka yang diuraikan, dapat dibuat kerangka konsep sebagai berikut :
Pengetahuan
Pertumbuhan dan
perkembangan mata
Faktor Faktor :
1.
2.
3.
Kelainan refraksi
pada anak
Faktor Risiko Lain
Genetik / keturunan
Asupan gizi yang tidak seimbang
Koreksi
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
Gambar . : kerangka konsepsional penelitian
hubungan
tingkat
BAB IV
METODE PENELITIAN
pendidikan
dan
IV.1.
Rancangan Penelitian
Rancangan dari penelitian ini termasuk penelitian cross sectional study karena data
diambil dalam satu kali pengukuran, termasuk juga penelitian analitik karena dalam
analisis menggunakan uji hipotesis.
IV.2.
IV.2.1. Populasi Target: semua orangtua yang memiliki anak usia 9-11 tahun di Surabaya.
IV.2.2. Populasi Terjangkau: orangtua yang memiliki anak usia 9-11 tahun yang terdaftar
sebagai siswa SD Surabaya kelas 4,5 dan 6 tahun ajaran 2012/2013
IV.2.3. Sampel: semua orang tua siswa SD Surabaya kelas 4,5 dan 6 tahun ajaran 2012/2013.
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan non probability
dengan consecutive sampling , yaitu penelitian turun ke lapangan dan mendekati
semua orang yang memenuhi criteria inklusi, serta menawari atau mengundang
mereka untuk menjadi responden.
a. Kriteria inklusi:
b. Kriteria eksklusi:
Variabel Penelitian
IV.4.2. Lokasi:
Penelitian dilakukan di SD Surabaya.
IV.4.3. Waktu:
Pengumpulan data dilakukan pada tahun 2012
IV.5.
Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan (kuesioner)
yang telah diuji validitasnya.
IV.6.
Definisi Istilah
Istilah yang sering dipakai dalam penelitian ini adalah kelainan refraksi yaitu keadaan
dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina . pada kelainan refraksi terjadi
ketidak seimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan yang
kabur.
IV.7.
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer yang
dikumpulkan adalah data karakteristik responden, data tingkat pendidikan terhadap kelainan
refraksi dan data tingkat pendapatan orangtua terhadap kelainan refraksi. Data karakteristik
responden meliputi identitas orang tua, tingkat pendidikan orang tua, tingkat ekonomi
keluarga, dan sumber biaya kesehatan.
IV.8.
dengan kuesioner pada orangtua siswa SD Surabaya kelas 4, 5 dan 6 tahun ajaran 2012/2013
Pembuatan koesioner
Pengumpulan data
Analisis data
IV.9. Pengolahan Data dan Analisis Data
Data yang telah terkumpul, ditabulasi dan dikelompokkan dalam table sesuai dengan
variable yang diteliti. Langkah selanjutnya dilakukan analisis data secara deskriptif
maupun analitik. Penelitian ini menggunakan desain kasus cross sectional, untuk
mempelajari besarnya resiko maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan uji chikuadrat dilanjutkan dengan menggunakan uji kontingensi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
kesehatan
untuk
low
vision.
Available
from
URL:
http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=74
2.
3.
Ilyas,S. (2006) Kelainan Refraksi dan Kacamata, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
4.
Somahita, titi. (2009) Hubungan Sikap dan Prilaku Orang Tua Terhadap Kelainan
Refraksi Pada Anak
5.
6.
Levine DA. Growth and development. In : Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB,
Behrman RE. (2007) Nelson-essentials of pediatrics 5th edition.Philadelphia: Elsevier
7.
http://health.kompas.com/read/2011/05/18/06353930/Melihat.dengan.Kornea.
Artifisial
8.
http://id.shvoong.com/exact-sciences/physics/2116460-pengertian-iris/
9.
http://www.g-excess.com/4674/pengertian-dan-bagian-bagian-mata/
10.
Ilyas,S. (2006) Sari Ilmu Penyakit Mata, Jakarta : Balai Penerbit FKUI
11.
http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2105095-pengertian-daya
akomodasi/#ixzz1XwDIOtlv
12.
http://ridwan-belitung.blogspot.com/2009/10/keterkaitan-tingkat-pendidikan-dan.html
13.