DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
Telah dilaksanakan kegiatan praktikum mata kuliah epidemiologi mengenai kelainan refraksi di
Sekolah Dasar Griya Bumi Antapani 13 Kota Bandung mulai tanggal Kamis, 17 Januari 2019 s/d
Kamis, 24 Januari 2019
Puji Syukur kehadirat Illahi Robbi atas segala rahmatnya,sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan epidemioligi .Laporan Epidemiologi ini disusun untuk memenuhi tugas
mata kuliah Epidemiologi ,yang diampu oleh Ibu Tri Nurhayati Asih ,S.KM.,M.KM
Laporan Epidemiologi ini berisi tentang kasus kelainan refraksi yang terjadi di SD Griya
Bumi Antapani 13 Kota Bandung pada tahun 2018.
Demikian yang dapat kami sampaikan ,semoga dapat menambah wawasan dan manfaat dari
makalah ini.
PENDAHULUAN
Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati urutan pertama pada penyakit mata.
Kasus kelainan refraksi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah pasien yang
menderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% dari populasi atau sekitar 55 juta
jiwa. Berdasarkan data dari WHO pada 2004 prevalensi kelainan refraksi pada umur 5-
15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%). Dari data tersebut ditemukan bahwa kelainan
yang timbul akibat kelainan refraksi yang tidak di koreksi. Melihat situasi yang ada WHO
merekomendasikan untuk dilakukannya skrining penglihatan dan pelayanan kesehatan
yang ditujukan bagi anak sekolah.
Kelainan refraksi adalah keadaan bayangan tegas tidak dibentuk pada retina, dimana
terjadi ketidakseimbangan sistem penglihatan pada mata sehingga menghasilkan
bayangan yang kabur. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau
di belakang retina dan/ atau tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat
diakibatkan terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias,
dan kelainan panjang sumbu bola mata. Gangguan refraksi masih merupakan salah satu
penyebab kebutaan di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan, terdapat 45
juta orang yang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan low vision.
Diperkirakan gangguan refraksi menyebabkan sekitar 8 juta orang (18% dari penyebab
kebutaan global) mengalami kebutaan. Angka kebutaan anak di dunia masih belum jelas,
namun diperkirakan ada sekitar 1,4 juta kasus kebutaan pada anak, dan 500.000 kasus
baru terjadi tiap tahunnya. Sebagian besar anak-anak ini meninggal beberapa bulan
setelah mengalami kebutaan. Penyebab kebutaan pada anak sangat bervariasi pada tiap
negara. Diperkirakan setiap satu menit terdapat satu anak menjadi buta dan hampir
setengahnya berada di Asia Tenggara. Angka kebutaan di Indonesia menempati urutan
ketiga di dunia. Bahkan kondisi kebutaan di Indonesia merupakan yang terburuk di Asia
dan ASEAN. Hingga saat ini, sekitar 3,1 juta (1,5%) penduduk Indonesia mengalami
kebutaan. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan negara-negara miskin, seperti
Bangladesh, Maladewa, Bhutan, Nepal, dan Myanmar. Angka kebutaan negara lain di
kawasan Asia yang cukup tinggi antara lain Bangladesh (1,0%), India (0,7%), dan
Thailand (0,3%).
Berdasarkan hasil survei Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993- 1996 yang
dilakukan di delapan provinsi menunjukkan prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 1,5
persen dengan penyebabnya katarak 0,78%, glaukoma 0,20%, kelainan refraksi 0,14%,
kelainan retina 0,13%, kelainan kornea 0,10%, dan oleh penyebab lain 0,15%. Kebutaan
pada anak di Indonesia sebesar 0,6 per 1000 anak. Menurut Sirlan F dkk (2009) di Jawa
Barat, hasil survei menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3,6%; dengan angka
kelainan refraksi sebesar 2,8%, namun tidak ditemukan data untuk anak usia 3-6 tahun.
Di Makassar, angka kebutaan dan kelainan mata pada anak belum pernah dilaporkan
sebelumnya. Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) di Indonesia (2007) menunjukkan
angka kebutaan sebesar 0,9%. Dengan angka tertinggi di Provinsi Sulawesi Selatan
(2,6%) dan terendah di Provinsi Kalimantan Timur (0,3%). Ciner dkk tahun 1998
menyatakan, kelainan refraksi berada di urutan ke empat kelainan terbanyak pada anak,
dan merupakan penyebab utama kecacatan pada anak. Pada anak usia 3-6 tahun,
ambliopia, dan faktor resiko ambliopia seperti strabismus, dan kelainan refraksi yang
signifikan merupakan kelainan penglihatan dengan prevalensi terbanyak .Di Indonesia,
gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga
menjadi masalah yang cukup serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah (5-19
tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi
masih sangat rendah, yaitu 12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani
secara menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan kecerdasan
anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya juga mempengaruhi mutu,
kreativitas, dan produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun), yang diperkirakan berjumlah
95 juta orang sesuai data BPS tahun 2000.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 MIOPIA
BATASAN
Kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata dalam keadaan istirahat
(tanpa akomodasi) akan dibias membentuk bayangan di depan retina
PATOFISIOLOGI
Miopia disebabkan karena pembiasan sinar di dalam mata yang terlalu kuat untuk
panjangnya bola mata akibat :
1.Sumbu aksial mata lebih panjang dari normal (diameter antero-posterior yang lebih
panjang, bola mata yang lebih panjang ) disebut sebagai miopia aksial
2.Kurvatura kornea atau lensa lebih kuat dari normal (kornea terlalu cembung atau lensa
mempunyai kecembungan yang lebih kuat) disebut miopia kurvatura/refraktif
3.Indeks bias mata lebih tinggi dari normal, misalnya pada diabetes mellitus. Kondisi ini
disebut miopia indeks
4. Miopi karena perubahan posisi lensa
Posisi lensa lebih ke anterior, misalnya pasca operasi glaukoma
GEJALA KLINIS
Gejala utamanya kabur melihat jauh
Sakit kepala (jarang)
Cenderung memicingkan mata bila melihat jauh (untuk mendapatkan efek pinhole), dan
selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda pada mata
Suka membaca, apakah hal ini disebabkan kemudahan membaca dekat masih belum
diketahui dengan pasti.
BAB III
PEMBAHASAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran