0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
9 tayangan5 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang kelainan refraksi pada anak, termasuk faktor-faktor penyebab dan prevalensinya.
2. Rumusan masalah penelitian adalah mengenai karakteristik dan prevalensi kelainan refraksi pada anak di rumah sakit tertentu.
3. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan karak
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang kelainan refraksi pada anak, termasuk faktor-faktor penyebab dan prevalensinya.
2. Rumusan masalah penelitian adalah mengenai karakteristik dan prevalensi kelainan refraksi pada anak di rumah sakit tertentu.
3. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan karak
Ringkasan dokumen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dokumen tersebut membahas tentang latar belakang kelainan refraksi pada anak, termasuk faktor-faktor penyebab dan prevalensinya.
2. Rumusan masalah penelitian adalah mengenai karakteristik dan prevalensi kelainan refraksi pada anak di rumah sakit tertentu.
3. Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi dan mendeskripsikan karak
Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat pembiasan sinar pada mata. Sinar dalam hal ini tidak akan difokuskan pada retina maupun bitnik kuning, tapi dapat di depan atau di belakang bitnik kuning dan mungkin tidak terletak pada suatu titik fokus (Ilyas, 2004; Hael, 2006). Factor radiasi cahaya yang berlebihan atau kurang yang diterima oleh mata dapat menyebabkan otot yang membuat akomodasi pada mata akan bekerja Bersama. Hal ini merupakan salah satu penyebab mata cepat Lelah sehingga terjadi kelainan refraksi mata (Rosenfield, 2010). Prevalensi kelainan refraksi di Indonesia menempati urutan pertama dalam penyakit mata, meliputi 25% penduduk atau sekitar 55 juta jiwa (Usman dkk, 2014). Salah satu kelainan refraksi adalah berupa penyakit miopia. Miopia merupan suatu penyakit dimana sinar sejajar yang datang dari sebuah benda akan difokuskan di depan retina pada saat mata dalam kondisi ataupun keadaan tidak berakomodasi (American Academy of Ophthalmology, 2011). Miopia diklasifikasikan menjadi miopia tinggi (lebih dari -6.00D), miopia sedang (-3.25D s/d -6.00D), dan miopia rendah (-0.25D s/d -3.00D) (American Optometrist Association, 2006). Pasien yang terkena miopia tinggi memiliki risiko lebih besar untuk terkena atrofi korioretina, lacquer cracks, retinal detachment dan abnormalitas lainnya. Oleh karena itu, hal ini akan mempengaruhi angka kejadian meningkatnya risiko terjadinya kebutaan (Saw et al., 2005; Foster and Jiang, 2014). Penyakit miopia juga dapat menyebabkan perbedaan keadaan refraksi antara mata kiri dan mata kanan (anisometropia). Anisometropia dapat menyebabkan gangguan pada pengelihatan ambliopia dan binokuler sehingga mempengaruhi pilihan pengobatan ataupun terapi yang diperlukan (American Academy of Ophthalmology, 2011). Miopia merupakan salah satu kelainan mata yang dapat dijumpai hamper di seluruh dunia. Kejadian miopia mengalami peningkatan dalam 50 tahun terakhir, dan diperkirakan angka penderita dalam kisaran 1,6 milyar penduduk seluruh dunia. Menurut perhitungan WHO ( World Health Organization), jika kasus ini tidak dilakukan tindakan pengobatan dan pencegahannya, maka jumlah penderita miopia akan semakin meningkat. Institute of Eye Research memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita miopia akan mencapai angka sekisar 2,5 milyar (Yu dkk, 2011). Prevalensi miopia di Indonesia dengan spherical equivalent (SE) dijumpai lebih dari -0.5D, dan pada usia dewasa muda diatas 21 tahun sebesar 48,1% (Pan et al., 2012). Reiskesdas pada tahun 2013 melaporkan angka kebutaan sebesar 0,4% dijumpai di Sumatera Barat dengan gangguan refraksi dan katarak sebagai dua penyebab utamanya. Adapun kasus miopia yang terjadi di RSUP Dr. M. Djamil sebanyak 148 kasus pada tahun 2014 dan 154 kasus pada tahun 2015. Sementara itu, kelainan refraksi di daerah Bali di identifikasi 0,14% sehingga menjadi penyebab utama kebutaan ketiga setelah katarak tang mencapai 0,78% dan disusul oleh glaucoma yang mencapai angka 0,2%. Oleh karena itu, kelainan refraksi tetap menjadi masalah serius jika tidak cepat diatasi. Pada penderita yang lebih muda, kejadian miopia ditemukan meningkat seiring dengan pertambahan umur. Pada orang tua terdapat penurunan prevalensi miopia. Hal ini terlihat dari prevalensi miopia pada kelompok umur 43-54 tahun sebesar 42,9% yang menurun menjadi 25,1% pada kelompok umur 55-64 tahun (Foster and Jiang, 2014). Dari jenis kelamin dijumpai prevalensi miopia pada perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pada laki-laki. National eye institute melaporkan prevalensi kasus miopia pada tahun 2010 sebesar 54% pada perempuan dan 46% kasus pada laki-laki. Berbagai penelitian menyatakan bahwa miopia merupakan gabungan dari factor genetic dan lingkungan (foster and Jing, 2014). Peran factor. Genetic telah dibuktikan dengan ditemukannya gen – gen terkait miopia. Selain itu, peran faktor genetic juga didukung oleh teori yang mengatakan anak yang lahir dari orang tua dengan miopia lebih beresiko untuk menderita miopia dibandingkan dengan anak yang lahir dari orang tua tanpa miopia (Pan et al., 2012; Beuerman, 2014). Faktor – faktor lingkungan yang ikut berperan untuk terjadinya miopia yakni Pendidikan, pekerjaan, kerja jarak dekat, aktivitas di luar ruangan, dan pencahayaan ruang kerja. Faktor diatas yang telah disebutkan tidaklah berdiri sendiri melainkan alaing tekait satu sama lainnya. Jenis pekerjaan yang melibatkan kerja jarak dekat lebih beresiko terhadap terjadinya miopia. Pekerjaan seseorang berkaitan dengan tingkat Pendidikan yang diraihnya, semakin tinggi tingkat Pendidikan seseorang maka semakin akan terpapar dengan kegiatan jarak dekat seperti membaca (Beuerman, 2014). Dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan dalam gaya belajar juga berpotensi menyebabkan miopia. Saat ini pelajar dituntut mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya., sehingga terjadi peningkatan penggunaan komputer, yang merupakan salah satu kerja jarak dekat (Matheos dkk., 2015). Selain itu pelajar dan jenis pekerjaan tertentu akan membatasi jumlah waktu yang dihabiskan seseorang untuk beraktivitas diluar ruangan, padahal beraktivitas diluar ruangan dapat memberikan efek proteksi terhadap perkembangan miopia (Pan et al., 2012; Beuerman, 2014). Pencahayaan ruangan khususnya di tempat kerja juga diwajibkan memenuhi persyaratan tertentu. Sebagai contoh adalah persyaratan Kesehatan lingkungan rumah sakit. Menurut PERMENKES No. 1204/MENKES/SK/X Tahun 2004 tentang persyaratan Kesehatan lingkungan rumah sakit, Adapun tingkat pencahayaan di rumah sakit, adapun tingkat pencahayaan di rumah sakit ditetapkan minimal 100 Lux. Pencahayaan ruangan yang tidak memenuhi syarat dapat memperburuk dan menambah resiko terjadinya pengelihatan yang buruk. Pencahayaan yang terlalu besar ataupun yang terlalu minim dari yang dibutuhkan dapat menyebabkan pupil mata harus berusaha menyesuaikan Kembali cahaya yang diterima atau diperoleh oleh mata. Akibatnya mata harus memicing silau atau berkontraksi berat dan juga respon dari pupil mata akan berlebihan. Sehingga pencahayaan lebih besar ataupun lebih kecil dari yang dibutuhkan akan menyebabkan pupil mata harus berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang dapat diterima oleh mata. Pupil akan mengecil jika menerima cahaya yang besar dan sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu penyebab mata cepat lelah dan dapat menyebabkan terjadinya penyakit refraksi yang dialami oleh mata yang kebanyakan diderita oleh anak umur sekolah pada umur 5 – 19 tahun (Depkes, 2004). Kelainan refraksi berupa miopia menjadi salah satu penyebab kebutaan yang mudah dideteksi, diobati, dan dievaluasi dengan pemberian kacamata. Namun demikian, sekitar 10% dari anak umur sekolah yang berumur 5-19 tahun menderita kelainan refraksi yang sangat tinggi dan angka pemakaian kacamata koreksi sampai saat ini masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan yang semestinya 2,3%. Oleh karena itu, penelitian dengan judul “ Karakteristik Penderita Kelainan Refraksi Pada Anak Umur 6-12 tahun di RSUP Prof IGNG Ngoerah pada Tahun 2022” menjadi menarik untuk dilakukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka adapun permasalahan yang akan diteliti melalui penelitian ini adalah : 1. Bagaimana kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin, dan jenis tipe kelainan refraksi ? 2. Berapakah prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022 ?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan penderita kelainan refraksi pada anak di RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin, dan jenis tipe kelainan refraksi di RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022. 2. Untuk menganalisis prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan diatas, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pengembang keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan Mata mengenai kasus kelainan refraksi pada anak yang dirawat di RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar. Melalui tambahan pengetahuan tersebut dapat ditemukan secara teori mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap kelainan refraksi pada anak. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kelainan refraksi yang terjadi terhadap mata anak. Kepada masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kasus kelainan refraksi pada anak. Sedangkan kepada Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait penderita kelainan refraksi pada anak sebagai pedoman penanganan Kesehatan masyarakat.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka mengenai ruang lingkup penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. Mencari kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022. 2. Menghitung kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022. Melalui pembatasan yang ditetapkan pada kedua ruang lingkup penelitian tersebut pada akhirnya penelitian ini dapat mengetahui penderita kelainan refraksi itu sendiri yang dialami pada anak yang berobat di RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar dengan batas waktu pengukuran yaitu tahun 2022. Melalui batasan waktu tersebut nantinya dapat memberikan suatu informasi yang valid kepada masyarakat mengenai kelainan refraksi itu sendiri.