Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelainan refraksi merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat pembiasan sinar
pada mata. Sinar dalam hal ini tidak akan difokuskan pada retina maupun bitnik
kuning, tapi dapat di depan atau di belakang bitnik kuning dan mungkin tidak terletak
pada suatu titik fokus (Ilyas, 2004; Hael, 2006). Factor radiasi cahaya yang
berlebihan atau kurang yang diterima oleh mata dapat menyebabkan otot yang
membuat akomodasi pada mata akan bekerja Bersama. Hal ini merupakan salah
satu penyebab mata cepat Lelah sehingga terjadi kelainan refraksi mata (Rosenfield,
2010).
Prevalensi kelainan refraksi di Indonesia menempati urutan pertama dalam
penyakit mata, meliputi 25% penduduk atau sekitar 55 juta jiwa (Usman dkk, 2014).
Salah satu kelainan refraksi adalah berupa penyakit miopia. Miopia merupan suatu
penyakit dimana sinar sejajar yang datang dari sebuah benda akan difokuskan di
depan retina pada saat mata dalam kondisi ataupun keadaan tidak berakomodasi
(American Academy of Ophthalmology, 2011). Miopia diklasifikasikan menjadi
miopia tinggi (lebih dari -6.00D), miopia sedang (-3.25D s/d -6.00D), dan miopia
rendah (-0.25D s/d -3.00D) (American Optometrist Association, 2006).
Pasien yang terkena miopia tinggi memiliki risiko lebih besar untuk terkena
atrofi korioretina, lacquer cracks, retinal detachment dan abnormalitas lainnya. Oleh
karena itu, hal ini akan mempengaruhi angka kejadian meningkatnya risiko
terjadinya kebutaan (Saw et al., 2005; Foster and Jiang, 2014). Penyakit miopia juga
dapat menyebabkan perbedaan keadaan refraksi antara mata kiri dan mata kanan
(anisometropia). Anisometropia dapat menyebabkan gangguan pada pengelihatan
ambliopia dan binokuler sehingga mempengaruhi pilihan pengobatan ataupun terapi
yang diperlukan (American Academy of Ophthalmology, 2011).
Miopia merupakan salah satu kelainan mata yang dapat dijumpai hamper di
seluruh dunia. Kejadian miopia mengalami peningkatan dalam 50 tahun terakhir, dan
diperkirakan angka penderita dalam kisaran 1,6 milyar penduduk seluruh dunia.
Menurut perhitungan WHO ( World Health Organization), jika kasus ini tidak
dilakukan tindakan pengobatan dan pencegahannya, maka jumlah penderita miopia
akan semakin meningkat. Institute of Eye Research memperkirakan pada tahun
2020 jumlah penderita miopia akan mencapai angka sekisar 2,5 milyar (Yu dkk,
2011).
Prevalensi miopia di Indonesia dengan spherical equivalent (SE) dijumpai
lebih dari -0.5D, dan pada usia dewasa muda diatas 21 tahun sebesar 48,1% (Pan
et al., 2012). Reiskesdas pada tahun 2013 melaporkan angka kebutaan sebesar
0,4% dijumpai di Sumatera Barat dengan gangguan refraksi dan katarak sebagai
dua penyebab utamanya. Adapun kasus miopia yang terjadi di RSUP Dr. M. Djamil
sebanyak 148 kasus pada tahun 2014 dan 154 kasus pada tahun 2015. Sementara
itu, kelainan refraksi di daerah Bali di identifikasi 0,14% sehingga menjadi penyebab
utama kebutaan ketiga setelah katarak tang mencapai 0,78% dan disusul oleh
glaucoma yang mencapai angka 0,2%. Oleh karena itu, kelainan refraksi tetap
menjadi masalah serius jika tidak cepat diatasi. Pada penderita yang lebih muda,
kejadian miopia ditemukan meningkat seiring dengan pertambahan umur. Pada
orang tua terdapat penurunan prevalensi miopia. Hal ini terlihat dari prevalensi
miopia pada kelompok umur 43-54 tahun sebesar 42,9% yang menurun menjadi
25,1% pada kelompok umur 55-64 tahun (Foster and Jiang, 2014). Dari jenis
kelamin dijumpai prevalensi miopia pada perempuan cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan pada laki-laki. National eye institute melaporkan prevalensi
kasus miopia pada tahun 2010 sebesar 54% pada perempuan dan 46% kasus pada
laki-laki.
Berbagai penelitian menyatakan bahwa miopia merupakan gabungan dari
factor genetic dan lingkungan (foster and Jing, 2014). Peran factor. Genetic telah
dibuktikan dengan ditemukannya gen – gen terkait miopia. Selain itu, peran faktor
genetic juga didukung oleh teori yang mengatakan anak yang lahir dari orang tua
dengan miopia lebih beresiko untuk menderita miopia dibandingkan dengan anak
yang lahir dari orang tua tanpa miopia (Pan et al., 2012; Beuerman, 2014).
Faktor – faktor lingkungan yang ikut berperan untuk terjadinya miopia yakni
Pendidikan, pekerjaan, kerja jarak dekat, aktivitas di luar ruangan, dan pencahayaan
ruang kerja. Faktor diatas yang telah disebutkan tidaklah berdiri sendiri melainkan
alaing tekait satu sama lainnya. Jenis pekerjaan yang melibatkan kerja jarak dekat
lebih beresiko terhadap terjadinya miopia. Pekerjaan seseorang berkaitan dengan
tingkat Pendidikan yang diraihnya, semakin tinggi tingkat Pendidikan seseorang
maka semakin akan terpapar dengan kegiatan jarak dekat seperti membaca
(Beuerman, 2014).
Dengan perkembangan zaman, terjadi perubahan dalam gaya belajar juga
berpotensi menyebabkan miopia. Saat ini pelajar dituntut mendapatkan informasi
sebanyak-banyaknya., sehingga terjadi peningkatan penggunaan komputer, yang
merupakan salah satu kerja jarak dekat (Matheos dkk., 2015). Selain itu pelajar dan
jenis pekerjaan tertentu akan membatasi jumlah waktu yang dihabiskan seseorang
untuk beraktivitas diluar ruangan, padahal beraktivitas diluar ruangan dapat
memberikan efek proteksi terhadap perkembangan miopia (Pan et al., 2012;
Beuerman, 2014).
Pencahayaan ruangan khususnya di tempat kerja juga diwajibkan memenuhi
persyaratan tertentu. Sebagai contoh adalah persyaratan Kesehatan lingkungan
rumah sakit. Menurut PERMENKES No. 1204/MENKES/SK/X Tahun 2004 tentang
persyaratan Kesehatan lingkungan rumah sakit, Adapun tingkat pencahayaan di
rumah sakit, adapun tingkat pencahayaan di rumah sakit ditetapkan minimal 100
Lux. Pencahayaan ruangan yang tidak memenuhi syarat dapat memperburuk dan
menambah resiko terjadinya pengelihatan yang buruk. Pencahayaan yang terlalu
besar ataupun yang terlalu minim dari yang dibutuhkan dapat menyebabkan pupil
mata harus berusaha menyesuaikan Kembali cahaya yang diterima atau diperoleh
oleh mata. Akibatnya mata harus memicing silau atau berkontraksi berat dan juga
respon dari pupil mata akan berlebihan. Sehingga pencahayaan lebih besar ataupun
lebih kecil dari yang dibutuhkan akan menyebabkan pupil mata harus berusaha
menyesuaikan dengan cahaya yang dapat diterima oleh mata. Pupil akan mengecil
jika menerima cahaya yang besar dan sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu
penyebab mata cepat lelah dan dapat menyebabkan terjadinya penyakit refraksi
yang dialami oleh mata yang kebanyakan diderita oleh anak umur sekolah pada
umur 5 – 19 tahun (Depkes, 2004).
Kelainan refraksi berupa miopia menjadi salah satu penyebab kebutaan yang
mudah dideteksi, diobati, dan dievaluasi dengan pemberian kacamata. Namun
demikian, sekitar 10% dari anak umur sekolah yang berumur 5-19 tahun menderita
kelainan refraksi yang sangat tinggi dan angka pemakaian kacamata koreksi sampai
saat ini masih rendah yaitu 12,5% dari kebutuhan yang semestinya 2,3%. Oleh
karena itu, penelitian dengan judul “ Karakteristik Penderita Kelainan Refraksi Pada
Anak Umur 6-12 tahun di RSUP Prof IGNG Ngoerah pada Tahun 2022” menjadi
menarik untuk dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka adapun permasalahan
yang akan diteliti melalui penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kelainan refraksi pada anak berdasarkan usia, jenis kelamin,
dan jenis tipe kelainan refraksi ?
2. Berapakah prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh
RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022 ?

1.3 Tujuan Penelitian


Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
mendeskripsikan penderita kelainan refraksi pada anak di RSUP Prof. IGNG
Ngoerah Denpasar pada tahun 2022. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini
adalah :
1. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi kelainan refraksi pada anak
berdasarkan usia, jenis kelamin, dan jenis tipe kelainan refraksi di RSUP
Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022.
2. Untuk menganalisis prevalensi kelainan refraksi pada anak yang ditangani
oleh RSUP Prof. IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022.

1.4 Manfaat Penelitian


Berdasarkan tujuan diatas, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan
manfaat sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi kepada pengembang keilmuan di bidang Ilmu Kesehatan Mata mengenai
kasus kelainan refraksi pada anak yang dirawat di RSUP Prof IGNG Ngoerah
Denpasar. Melalui tambahan pengetahuan tersebut dapat ditemukan secara teori
mengenai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap kelainan refraksi pada
anak.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
peneliti dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kelainan refraksi
yang terjadi terhadap mata anak. Kepada masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi mengenai kasus kelainan refraksi pada anak.
Sedangkan kepada Pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi terkait penderita kelainan refraksi pada anak sebagai pedoman
penanganan Kesehatan masyarakat.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Sesuai dengan permasalahan yang dikaji, maka mengenai ruang lingkup
penelitian ini dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Mencari kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh RSUP Prof. IGNG
Ngoerah Denpasar pada tahun 2022.
2. Menghitung kelainan refraksi pada anak yang ditangani oleh RSUP Prof.
IGNG Ngoerah Denpasar pada tahun 2022.
Melalui pembatasan yang ditetapkan pada kedua ruang lingkup penelitian
tersebut pada akhirnya penelitian ini dapat mengetahui penderita kelainan refraksi
itu sendiri yang dialami pada anak yang berobat di RSUP Prof. IGNG Ngoerah
Denpasar dengan batas waktu pengukuran yaitu tahun 2022. Melalui batasan waktu
tersebut nantinya dapat memberikan suatu informasi yang valid kepada masyarakat
mengenai kelainan refraksi itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai