Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL

HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT MIOPIA DI KELUARGA DAN


LAMA AKTIVITAS MEMBACA BUKU CETAK DALAM JARAK
DEKAT DENGAN KEJADIAN MIOPIA PADA MAHASISWA FK
UNDANA ANGKATAN 2011-2014

Irvan Josua Blegur


1108012008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2014
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelainan refraksi yang paling sering terjadi adalah miopia. (1).

Menurut Fredrick, prevalensi miopia dilaporkan 70-90 % di beberapa negara

Asia , 30-40 % di Eropa dan Amerika Serikat , 10-20 % di Afrika dan 17 %

di Australia. (2)(3)

Penelitian yang dilakukan oleh Vitale di Amerika Serikat pada

tahun 2008 terhadap 12.010 subjek menyimpulkan prevalensi miopia di

Amerika Serikat sebesar 33.1 %. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rahi

pada tahun 2011 di Inggris terhadap 2487 subyek memperoleh hasil

prevalensi miopia sebesar 49,0 %. (1)

Di beberapa negara Asia , miopia sangat umum terjadi . Di Jepang

diperkirakan lebih dari satu juta orang menderita gangguan penglihatan yang

terkait dengan miopia tinggi.(2) Prevalensi miopia di Cina adalah 31 % dimana

400 juta dari 1,3 miliar penduduk Cina menderita miopia . Singapura

memiliki prevalensi miopia tertinggi di dunia; hingga 80% dari penduduknya

mengalami miopia.(4)

Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1993-

1996, menunjukkan angka kebutaan di Indonesia 1,5% dari jumlah penduduk

dan 0.14% disebabkan oleh kelainan refraksi. (5) Miopia sebagai kelainan
refraksi, hampir selalu menduduki urutan teratas dibandingkan dengan

kelainan refraksi lainnya. (6)

Menurut Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013

prevalensi kebutaan di Indonesia sebesar 0,4 % dari jumlah penduduk, severe

low vision 0,9 % dan penggunaan kacamata atau lensa kontak 4,6%.

Prevalensi kebutaan penduduk tertinggi ditemukan di Gorontalo (1,1%)

diikuti Nusa Tenggara Timur (1,0%),Sulawesi Selatan, dan Bangka Belitung

(masing-masing 0,8%). (7)

Penelitian yang dilakukan oleh Saw pada tahun 2002 di Sumatera

dengan jumlah subyek 1043 pria dan wanita berusia 21 tahun ke atas

menunjukkan prevalensi miopia mencapai 26.1% dengan miopia derajat berat

sebesar 0.8%. Prevalensi miopia paling tinggi dijumpai pada usia 21-29

tahun. (8)

Faktor resiko yang berhubungan dengan timbulnya miopia antara

lain faktor genetik, faktor lingkungan dan nutrisi.(9) - (10) Salah satu faktor

risiko penting miopia adalah riwayat keluarga dengan miopia. (11)(12)

Dalam studi yang dilakukan oleh Mitchell et al diperoleh hasil anak

dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia. Prevalensi

miopia pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, sedangkan

18,2% pada anak dengan salah satu orang tua yang miopia dan kurang dari

6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia. (12)

Studi cross sectional lain yang dilakukan oleh Hasibuan di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU) di tahun 2009 dengan

judul Hubungan Faktor Keturunan, Lamanya Bekerja Jarak Dekat

Dengan Miopia memperoleh hasil mahasiswa yang mempunyai ayah dan


ibu yang menderita miopia cenderung mengalami miopia (p=0,010)

sedangkan lama waktu yang dihabiskan untuk melakukan pekerjaan jarak

dekat tidak signifikan (p>0,05). (13)

Faktor resiko lain yang berhubungan dengan miopia adalah lama

aktivitas jarak dekat, seperti membaca, menulis, menggunakan komputer dan

bermain video game. (14)(15) Pada penelitian Jones tentang riwayat miopia

orang tua, efek olahraga dan aktivitas di luar rumah terhadap kejadian

miopia, didapatkan hasil bahwa jumlah olahraga dan aktivitas di luar rumah

yang rendah meningkatkan kejadian miopia pada anak yang mempunyai

kedua orang tua miopia daripada anak yang hanya mempunyai salah satu atau

tidak satupun orangtua dengan riwayat miopia.(16)

Tingkat pendidikan sering digunakan untuk menghubungkan lamanya

waktu bekerja dalam jarak dekat dengan miopia pada orang-orang yang

berpendidikan tinggi. Wensor pada tahun 2009 mengemukakan bahwa

orang-orang yang berpendidikan tinggi lebih banyak mengalami miopia.


(3)
Sebuah penelitian cross sectional di Yunani menunjukkan prevalensi

miopia meningkat pada orang yang memiliki pendidikan tinggi. (17)

Laporan Riskesdas 2013 memperlihatkan bahwa terdapat

kecenderungan, makin tinggi tingkat pendidikan formal, maka makin

tinggi pula proporsi penduduk yang memakai kaca mata atau lensa

kontak untuk melihat jauh. Keadaan tersebut dapat berkaitan dengan

kebutuhan penduduk akan tajam penglihatan optimal yang makin besar

sesuai dengan prioritas subjektif penduduk dalam memenuhi kebutuhan

sosial sehari-hari mereka.(7)


Kurikulum pendidikan dokter di Indonesia adalah Kurikulum

Berbasis Kompetensi (KBK) dengan menggunakan pendekatan belajar

model SPICES yaitu Student-Centered, Problem Based, Integrated,

Comunnity-based, Elective/Early Clinical Exposure dan Systematic. (18)

Dalam kurikulum KBK dipakai strategi pendidikan PBL (Problem Based

Learning) yaitu model pembelajaran yang menyajikan suatu masalah

nyata bagi siswa sebagai awal pembelajaran kemudian diselesaikan atau

dipecahkan dengan penyelidikan metode pendekatan pemecahan

masalah. (19) Dengan diberlakukannya model PBL maka mahasiswa

kedokteran dituntut untuk banyak melakukan studi mandiri (Self Study)

yang salah satu caranya dengan membaca banyak buku cetak (Text

Book) kedokteran.

Penelitian di Fakultas Kedokteran Grant Norwegia, juga

menunjukkan bahwa 78% mahasiswa kedokteran tahun pertama

mengalami miopia, dan prevalensi miopia pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran dua kali lebih tinggi daripada populasi biasa di lingkungan

yang sama. (20)

Penelitian analitik observasional jenis potong lintang (crosssectional)

yang dilakukukan oleh Arianti pada mahasiswa PSPD FK Untan

angkatan 2010-2012 sebanyak 70 orang mendapat hasil terdapat

hubungan yang bermakna antara riwayat miopia di keluarga dengan

kejadian miopia pada mahasiswa PSPD angkatan 2010-2012 dan tidak

terdapat hubungan bermakna antara lama aktivitas jarak dekat dengan


kejadian miopia pada mahasiswa PSPD angkatan 2010-2012. (21)

Di Provinsi Nusa Tenggara Timur sendiri, belum ada penelitian sejenis

dan penelitian di bidang kedokteran dengan topic miopia dirasa masih belum

memadai. Melihat adanya kecenderungan mahasiswa kedokteran untuk

mengalami miopia mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dengan

judul Hubungan Antara Riwayat Miopia Di Keluarga Dan Lama Aktivitas

Membaca Buku Cetak Kedokteran Dalam Jarak Dekat Dengan Kejadian

Miopia Pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana

Angkatan 2011-2014.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan antara riwayat miopia di keluarga dan lama aktivitas

membaca buku cetak kedokteran dalam jarak dekat dengan kejadian miopia

pada mahasiswa fk undana angkatan 2011-2014?

1.3 Batasan masalah

Masalah yang akan diteliti oleh peneliti hanya terbatas pada hubungan

riwayat miopia di keluarga dan lama aktivitas membaca buku cetak

kedokteran dalam jarak dekat dengan miopia pada mahasiswa fk undana

angkatan 2011-2014.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara riwayat miopia di keluarga dan lama aktivitas


membaca buku cetak kedokteran dalam jarak dekat dengan miopia pada

mahasiswa fk undana angkatan 2011-2014.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui hubungan anatar riwayat miopia di keluarga terhadap kejadian

miopia di mahasiswa fk undana angkatan 2011-2014

2. Mengetahui hubungan lama aktivitas membaca buku cetak

kedokteran dalam jarak dekat dengan kejadian miopia di mahasiswa fk

undana angkatan 2011-2014

1.5.1 Manfaat Penelitian

1.5.2 Manfaat Ilmu

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi di bidang

kedokteran khususnya bidang optalmology dan menjadi sumber acuan

bagi penelitian-penelitan selanjutnya

1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan diharapkan dapat menambah bahan bacaan

dan dapat dijadikan sebagai data untuk penelitian selanjutnya di bidang

kesehatan mata.

1.5.2 Bagi peneliti

Bagi peneliti dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman

dalam meneliti.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Miopia

Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan

difokuskan di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi.

Ini juga dapat dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar

dari suatu objek yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa

akomodasi. Miopia berasal dari bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti

menutup mata. Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah

populernya adalah “nearsightedness”. (22)

Sidarta mendefinisikan miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh

sebagai jenis kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang

terlalu panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu cekung. Definisi lain

dari miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan

sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan di depan

retina (bintik kuning). Pada miopia, titik fokus sistem optik media
penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem

optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata terlalu

panjang. (23)

2.2 Etiologi Dan Faktor Resiko Miopia

Miopia adalah penyakit kompleks dengan etiologi yang

multifaktorial. Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi seseorang

untuk cenderung mengalami miopia. Diantaranya ialah faktor genetik,

lingkungan, tingkat intelegensi, dan faktor sosial. (22)

Ada dua hipotesis yang berkembang untuk menunjukkan hubungan

antara miopia pada orang tua dan miopi pada anak. Yang pertama adalah

teori dari kondisi lingkungan yang diwariskan. Tendensi untuk miopia dalam

suatu keluarga lebih mungkin disebabkan linkungan yang mendorong untuk

melakukan kegiatan yang berjarak dekat dengan intens dalam keluarga, dari

pada karena faktor genetik. Orang tua dengan miopia biasanya akan

menetapkan standar akademik yang tinggi atau mewariskan kesukaan

membaca pada anak-anak mereka daripada mewariskan gen itu sendiri.

Suatu penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa orang tua yang

memiliki status pendidikan tinggi, terutama ayahnya, lebih banyak

mempunyai anak yang menderita miopia. (24) Selain itu, teori mengenai

adanya faktor lingkungan yang mempengaruhi miopia didukung melalui

penelitian yang dilakukan di Australia. Pada penelitian tersebut dibandingkan

gaya hidup 124 anak dari etnis Cina yang tinggal di Sidney, dengan 682 anak

dari etnis yang sama di Singapura. Didapati prevalensi miopia di Singapura


ada 29%, dan hanya 3,3% di Sidney. Padahal, anak-anak di Sidney membaca

lebih banyak buku tiap minggu dan melakukan ativitas dalam jarak dekat

lebih lama dari pada anak di Singapura. Tetapi, anak-anak di Sidney juga

menghabiskan waktu di luar rumah lebih lama (13,75 jam per minggu)

dibandingkan dengan anak anak di Singapura (3,05 jam). Hal ini adalah

faktor yang paling signifikan berhubungan dengan miopia antara kedua grup.
(3)

Hipotesis yang lain menyatakan bahwa ada pengaruh genetik yang

membawa sifat miopia. Orang yang melakukan pekerjaan dekat secara intens

tetapi tidak mengalami miopia mungkin tidak mempunyai gen tersebut. Anak

dengan orang tua yang miopia cenderung mengalami miopia (P= 0,001). Hal

ini cenderung mengikuti pola dose-dependent pattern. Prevalensi miopia

pada anak dengan kedua orang tua miopia adalah 32,9%, namun jika anak

dengan salah satu orang tua yang miopia berkurang menjadi 18,2%, dan

kurang dari 6,3% pada anak dengan orang tua tanpa miopia (25)

Sekarang ini, adanya lokus genetik telah dibuktikan berhubungan

dengan miopia patologi, didapatkan bahwa orang yang mempunyai

polimorfisme gen PAX6 akan mengalami miopia yang ekstrem (≥10 D),

sedangkan orang yang tidak mempunyai gen ini hanya mengalami miopia

tinggi (6-10 D). (26)

2.3 Klasifikasi Miopia


Menurut American Optometric Association, miopia dapat

diklasifikasikan berdasarkan klinis, derajat dan umur onset terjadinya miopia.

(22)

Miopia secara klinis dapat dibagi menjadi lima yaitu:

1) Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang

terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina yang

terlalu tinggi.

2) Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di

sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang

bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya

penyebabnya adalah pupil yang membuka terlalu lebar untuk memasukkan

lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan menambah

kondisi miopia.

3) Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap

mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot – otot siliar

yang memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan miopia

palsu, karena memang sifat miopia ini hanya sementara sampai

kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak

boleh buru – buru memberikan lensa koreksi.

4) Miopia Degeneratif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia

maligna atau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia derajat

tinggi dan tajam penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah


mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke

waktu.

5) Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat –

obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada

nukleus lensa dan sebagainya

Sistem klasifikasi Miopia (Classification Systems for Miopia) dikutip

dari (22)

Tipe klasifikasi Jenis-jenis miopia

Klinis (Clinical Entity) Simple miopia

Nocturnal miopia

Pseudomiopia

Degenerative miopia

Induced miopia

Derajat (Degree) Low miopia (<3.00 D)

Medium miopia (3.00 D-6.00 D)

High miopia (>6.00 D)

Onset (Age of Onset) Congenital miopia (present at birth

and persisting

through infancy)

Youth-onset miopia
(<20 years of age)

Early adult-onset miopia

(2-40 years of age)

Late adult-onset miopia

(>40 years of age)

Sidarta menggolongkan miopia berdasarkan terjadinya, derajat dan

perjalanan miopia. Berdasarkan terjadinya dikenal beberapa jenis miopia

seperti:

a. Miopia refraktif, miopia yang terjadi akibat bertambahnya indeks bias

media penglihatan, seperti terjadi pada katarak intumesen dimana

lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama

dengan miopia refraktif ini, miopia bias atau miopia indeks adalah

miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea dan

lensa yang terlalu kuat.

b. Miopia aksial, miopia yang terjadi akibat memanjangnya sumbu bola

mata, dibandingkan dengan kelengkungan kornea dan lensa yang

normal.

Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :

a. Miopia ringan (< 3,0 dioptri)

b. Miopia sedang (3-6 dioptri)


c. Miopia berat (>6,0 dioptri)

Menurut perjalanan penyakitnya, miopia dibagi menjadi:

a. Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.

b. Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa

akibat bertambah panjangnya bola mata.

c. Miopia maligna, yaitu miopia yang berjalan progresif, dan dapat

mengakibatkan ablasi retina serta kebutaan. Miopia ini dapat juga disebut

miopia pernisiosa atau miopia maligna atau miopia degenerative. Disebut

miopia degeneratif atau miopia maligna, bila miopia lebih dari 6 dioptri

disertai kelainan pada fundus okuli dan panjang bola mata sehingga terbentuk

stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai dengan

atrofi karioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi

sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat

menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada

miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen epitel dan

perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar, dan degenerasi papil saraf optic.

(27)

Klasifikasi miopia berdasarkan umur adalah :

a. Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.

b. Miopia onset anak-anak : di bawah umur 20 tahun.


c. Miopia onset awal dewasa : di antara umur 20 sampai 40 tahun.

d. Miopia onset dewasa : di atas umur 40 tahun (> 40 tahun). (22)

2.4 Patogenesis Miopia

Proses terjadinya miopia beragam sesuai dengan penyebabnya.Miopia

dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif panjang dan disebut

sebagai miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias media refraktif yang

tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat. Dalam

hal ini disebut sebagai miopia refraktif. (27)

Miopia degeneratif atau miopia maligna biasanya apabila miopia lebih

dari - 6 dioptri (D) disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya

bola mata sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian

temporal papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina terjadi

kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur

membran Bruch yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya

neovaskularisasi subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa

hiperplasi pigmen epitel dan perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar dan

dewasa akan terjadi degenerasi papil saraf optic. (23)

2.5 Diagnosis Miopia

Menurut American Optometric Association evaluasi pasien dengan miopia

mencakup:

1. Anamnesis

Komponen utama dari anamnesis mencakup penelaahan terhadap sifat

masalah yang diajukan dan keluhan utama , visual, mata , dan


riwayat kesehatan umum , riwayat keluarga , penggunaan

obat dan alergi obat , dan penggunaan alat bantu penglihatan.

a. Simple Miopia

Satu-satunya gejala yang khas pada miopia sederhana adalah penglihatan

jauh kabur. Penting untuk melihat apakah penglihatan jauh kabur

berlangsung konstan atau transien . Pada miopia sederhana, penglihatan jauh

yang kabur (blurred vision) berlangsung konstan . Penglihatan dekat bisa jadi

normal.

b. Miopia nocturnal

Gejala utama dari miopia nokturnal adalah jarak penglihatan kabur di

pencahayaan redup . Pasien mungkin mengeluhkan kesulitan melihat

tanda-tanda jalan

saat berkendara di malam hari.

c. Pseudomiopia

Penglihatan jarak jauh kabur berlangsung sementara (transient).

d. Miopia degenerative

Pada miopia degeneratif , ada blur yang cukup besar pada penglihatan

jarak jauh karena tingkat miopia biasanya signifikan . Pasien harus

terus mendekat hingga objek cukup dekat dengan mata , karena

besarnya

miopia yang tidak dikoreksi . Pasien mungkin melihat kilatan cahaya

atau floaters terkait dengan perubahan vitreoretinal . Jika segmen

posterior patologis bearti perubahan telah mempengaruhi fungsi retina


, pasien mungkin memiliki riwayat kehilangan penglihatan dan ,

mungkin , melaporkan penggunaan alat bantu penglihatan.Pasien

dengan miopia degeneratif juga dapat mengungkapkan kekhawatiran

tentang

tingginya koreksi optik mereka , dan mereka sering memiliki

beberapa

ketidaknyamanan karena koreksi.

e. Miopia terinduksi

Pasien dengan miopia terinduksi juga melaporkan penglihatan

kabur .Penglihatan kabur pada miopia terinduksi tergantung pada

agen atau kondisi

yang telah memicu miopia tersebut misalnya pupil menyempit ketika

penyebab miopia terinduksi adalah paparan obat golongan agonis

kolinergik.

Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat

malahan melihat terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur atau disebut

pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan

sakit kepala, mata berair sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang

sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan memicingkan matanya

untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek lubang kecil.

(23)

Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata

selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan


keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka

penderita akan terlihat juling ke dalam atau esoptropia. Pada pemeriksaan

funduskopi terdapat miopik kresen yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat

pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada daerah papil

saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid. Pada mata dengan

miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti

degenerasi makula dan degenerasi retina bagian perifer. (23)

2. Pemeriksaan pada mata

Pengujian atau test yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan mata

secara umum atau standar pemeriksaan mata, terdiri dari :

1. Uji ketajaman penglihatan pada kedua mata dari jarak jauh

(Snellen) dan jarak dekat (Jaeger).

2. Uji pembiasan, untuk menentukan benarnya resep dokter dalam

pemakaian kaca mata.

3. Uji penglihatan terhadap warna, uji ini untuk membuktikan

kemungkinan ada atau tidaknya kebutaan.

4. Uji gerakan otot-otot mata.

5. Pemeriksaan celah dan bentuk tepat di retina.

6. Mengukur tekanan cairan di dalam mata.


7. Pemeriksaan retina. (23)

2.6 Manifestasi Klinis Miopia

Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan

melihat kabur jika pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh sakit

kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Selain

itu, penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan matanya unuk

mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil).

Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih dilihat

jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam keadaan konvergensi. Hal ini

yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan

mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau

esoptropia. (23)

2.7 Penatalaksanaan Miopia

Tujuan pengelolaan pasien dengan miopia adalah tercpainya

penglihatan binocular yang jelas ,nyaman , dan efisien serta kesehatan mata

yang baik. (22)

Modalitas terapi untuk pasien miopia antara lain:

1. Koreksi optik

Koreksi optik dalam bentuk kacamata atau lensa kontak dapat memberikan

Penglihatan jarak jauh yang jelas . Apakah kacamata atau lensa kontak lebih

disukai
dalam kasus tertentu tergantung pada banyak faktor , termasuk usia pasien ,

motivasi untuk memakai lensa kontak , sesuai dengan perawatan lensa kontak

prosedur , fisiologi kornea , dan pertimbangan keuangan . hal-hal tersebut

adalah

tanggung jawab dokter mata untuk memberi saran dan nasihat pada pasien

mengenai

pilihan koreksi optik yang tersedia dan untuk membimbing pasien dalam

pemilihan kacamata dan / atau lensa kontak yang tepat. (22)

Kacamata dan lensa kontak masing-masing memiliki kelebihan tertentu .

beberapa

keuntungan kacamata untuk pasien dengan miopia adalah:

• Kacamata mungkin lebih ekonomis dalam banyak kasus .

• Kacamata menyediakan beberapa keamanan mata , terutama ketika lensa

adalah bahan polycarbonate .

• Kacamata mudah memungkinkan penggabungan optik lainnya

perawatan ( misalnya , prisma , kacamata , atau lensa tambahan progresif )

yang dapat digunakan untuk pengelolaan esophoria atau

Gangguan akomodatif atas miopia .

• Kacamata memerlukan akomodasi kurang dari lensa kontak untuk

miopia , sehingga kemungkinan asthenopia akomodatif atau

nearpoint blur pada pasien mendekati presbiopia mungkin kurang .

•Kacamata memberikan koreksi yang lebih baik dari beberapa jenis

astigmatisme .
Beberapa keuntungan dari lensa kontak untuk pasien dengan miopia adalah:

• Lensa kontak memberikan cosmetic lebih baik .

• Lensa kontak memberikan ukuran gambar retina yang lebih besar dan

sedikit

ketajaman visual yang lebih baik di miopia parah .

• Lensa kontak menghasilkan kurang aniseikonia di anisometropia.

• Lensa kontak mengurangi masalah berat badan, bidang visual

pembatasan , dan kemungkinan disebabkan ketidakseimbangan prismatik

dari kemiringan frame tontonan dialami oleh beberapa tontonan

pemakai lensa .

• Lensa kontak ( lensa misalnya , kaku gas - permeable ) dapat mengurangi

laju perkembangan miopia karena seluruhnya atau sebagian ke kornea

perataan. (28)

2. Pengobatan ( Farmakologi )

Agen cycloplegic kadang-kadang digunakan untuk mengurangi

respon akomodatif sebagai bagian dari pengobatan pseudomiopia.

(29) Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa pemberian topikal

harian atropine dan

cyclopentolate mengurangi laju pertambahan derajat miopia pada

anak-anak dengan onset miopia pada remaja. (30)(31)(32)

Namun , manfaat ini tampaknya tidak lebih besar daripada

ketidaknyamanan dan risiko yang terkait dengan penggunaan


cycloplegia kronis . Dilatasi pupil yang timbul menyebabkan

sensitivitas terhadap cahaya meningkat. Karena

inaktivasi otot siliaris , penambahan lensa plus tinggi ( yaitu , 2.50 D )

diperlukan untuk penglihatan dekat . Selain reaksi alergi yang

potensial ,

reaksi idiosinkratik , dan toksisitas sistemik , aplikasi kronis

atropin dapat memiliki efek buruk pada retina. (33)

3. Bedah refraktif

Ada beberapa metode bedah refraktif digunakan; lain di

berbagai

tahapan penelitian dan development. Salah satu prosedur adalah radial

keratotomi ( RK ) , di mana sayatan dengan pola radial di

kornea paracentral melemahkan sebagian dari kornea . Bagian paling

lemah menjadi lebih curam sedangkan kornea sentral merata .

besarnnya perubahan bias yang dihasilkan tergantung pada ukuran

zona optik dan jumlah serta kedalaman sayatan . RK memiliki

prediktabilitas terbatas, terutama pada kasus miopia berat . Meskipun

semua orang yang menjalani RK mengalami penurunan miopia ,

pasien yang paling mungkin

senang dengan hasil dari prosedur ini adalah mereka yang ingin

mengurangi ketergantungan mereka pada kacamata atau lensa kontak.

(22)
Prosedur bedah refraktif lain untuk terapi miopia adalah Excimer

laser photorefractive keratectomy (PRK), automated lamellar keratomileusis

(ALK), dan laser in situ keratomileusis (LASIK). PRK adalah prosedur

dimana kekuatan kornea (corneal power) diturunkan dengan cara ablasi pada

central kornea menggunakan laser.

Dalam ALK , lapisan epitel kornea dan stroma superfisial dengan

ketebalan yang telah ditentukan dihapus dengan microkeratome kecuali untuk

bagian kecil memberikan lampiran ke kornea. Microkeratome kemudian

digunakan untuk menghapus jumlah tertentu stroma kornea untuk meratakan

kornea. Setelah itu , flap jaringan kornea superfisial diganti. LASIK mirip

dengan ALK , kecuali bahwa jaringan stroma kornea akan dihapus oleh laser

bukan oleh microkeratome . Komplikasi LASIK dan ALK belum dipelajari

secara mendalam seperti prosedur RK dan PRK. (22)

2.8 Komplikasi Miopia

Komplikasi Miopia adalah :

1. Ablasio retina

Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D sekitar

1/6662.Sedangkan pada (- 5) sampai (-9,75) D risiko meningkat menjadi

1/1335.Lebih dari (-10) D risiko ini menjadi 1/148. Dengan kata lain

penambahan
faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali sedangkan miopia tinggi

meningkat menjadi 300 kali. (23)

1. Vitreal Liquefaction dan Detachment

Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air

dan 2%

serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-

lahan,

namun proses ini akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Halini

berhubungan dengan hilangnya struktur normal kolagen. Pada tahap awal,

penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan

lanjut,

dapat terjadi kolaps badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina.

Keadaan ini nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan

menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi

terjadi

karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya bola mata.

(23)

3. Miopik makulopati

Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah

kapiler

pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapangan pandang

berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan koroid yang bisa

menyebabkan berkurangnya lapangan pandang. Miopi vaskular koroid atau


degenerasi makular miopia juga merupakan konsekuensi dari degenerasi

makular

normal dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh

di

bawah sentral retina. (23)

4. Glaukoma

Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia

sedang

4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi

dikarenakan

stres akomodasi dan konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat

penyambung pada trabekula. (27)

5. Katarak

Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada orang

dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat. (23)

BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep

Faktor genetic: Faktor lingkungan


Miopia
Riwayat myopia di Lama aktivitas membaca
keluarga buku cetak kedokteran
dalam jarak dekat

Faktor nutrisi

Keterangan :

: Variabel bebas yang diteliti

: Variabel terikat yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

3.2 Identifikasi Variabel

Variabel dependen : Miopia

Variabel independen : Riwayat miopia di keluarga dan lama aktivitas

membaca buku cetak kedokteran dalam jarak

dekat.

3.3 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Pengukuran Kriteria Skala

. Operasional Objektif

1. Riwayat

miopia di

keluarga

2. Lama
aktivitas

membaca

buku

cetak

kedoktera

n dalam

jarak

dekat

3. Miopia Miopia adalah Miopia diukur Berdasarkan Ordina

kesalahan refraksi dengan uji tajam derajat miopia l

dengan berkas penglihtan dibedakan

sinar memasuki menggunakan menjadi :

mata yang sejajar kartu snellen. a. Miopia

dengan sumbu render :

optic dibawa ke <1D–

focus di depan 3D

retina sebagai b. Miopia

akibat bola mata sedang :

terlalu panjang > 3 – 6D

dari depan ke c. Miopia

belakang atau tinggi :

peningkatan >6D

kekuatan daya

refraksi mata
3.4 Jenis dan Rancangan

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian analitik

observasional dengan pendekatan cross sectional yang dimaksudkan

untuk mengetahui hubungan antara riwayat miopia di keluarga dan lama

aktivitas membaca buku cetak kedokteran dalam jarak dekat dengan

kejadian miopia pada mahasiswa fakultas kedokteran universitas nusa

cendana angkatan 2011-2014.

3.5 Lokasi dan Waktu

Lokasi : Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang

Waktu : Oktober – Desember 2014

3.6 Populasi dan Sampel

3.6.1 Populasi

3.6.2 Sampel

3.7 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.7.1 Kriteria Inklusi

3.7.2 Kriteria Eksklusi


3.8 Alur penelitian dan Cara kerja

3.8.1 Alur Penelitian

3.8.2 Cara Kerja

3.8.2.1 Pra Penelitian

3.8.2.2 Saat Penelitian

3.8.2.3 Setelah Penelitian


3.9 Analisis Data

3.9.1 Identifikasi data

3.9.2 Jenis pengelolaan data

Data yang dikumpulkan akan diolah, dianalisis dan diinterpretasi

untuk menguji hipotesis menggunakan program analisis statistik dengan

metode sebagai berikut :

a) Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran

distribusi frekuensi subjek penelitian dan distribusi proporsi

kasus dan kontrol menurut masing-masing variable bebas (faktor

risiko) yang diteliti.

b) Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan asosiasi

faktor risiko utama dengan kematian ibu dan bayi dengan

menggunakan uji Chi-square dan untuk menginterpretasikan

hubungan risiko pada penelitian ini digunakan Odds Ratio (OR).

c) Analisis multivariate digunakan untuk melihat hubungan

variable bebas (faktor risiko) dengan variable terikat (kematian

ibu dan bayi), kemudian di nilai variable bebas mana yang


paling besar pengaruhnya terhadap variable terkait. Analisis

multivariate dilakukan dengan cara menghubungkan beberapa

variable bebas dengan satu variable terikat secara bersamaan.

Variable bebas bersifat dikotomis (kategori), maka digunakan

analisis regresi logistic. Prosedur regresi logistic bila uji bivariat

menunjukkan nilai p < 0,05, maka variable tersebut dapat

dilanjutkan dengan model multivariat.

3.10 Jadwal Kegiatan Penelitian

Tabel 3.2 Jadwal Kegiatan Penelitian

Kegiatan 2014 2015


Bulan
3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1
Usulan

penelitian
Seminar

proposal
Persiapan

penelitian
Pengumpulan

data
Pengelolaan

data
Seminar hasil

penelitian
Persiapan

ujian skripsi
Ujian skripsi

3.11 Rencana Anggaran

Tabel 3.3 Rencana Anggaran

No Uraian Volume Biaya Satuan Total


Biaya

1. Kertas 4 rim Rp. 35.000 Rp.

140.000

2. Tinta 4 buah Rp. 35.000 Rp.

140.000

3. Fotokopi proposal 400 Lbr Rp. 150 Rp.

60.000

4. Fotokopi kuisioner 100 Lbr Rp. 150 Rp.

15.000
5. Transportasi Rp. 600.000 Rp.

800.000

6. Fotokopi skripsi 200 Lbr Rp. 150 Rp.

30.000

7. Penjilidan 6 buah Rp. 5000 Rp.

30.000

8. Ballpoint 1 dos Rp. 30.000 Rp.

30.000

9. Kaji etik 1 kali Rp. 200.000 Rp.

200.000

Total Rp.

1.445.000

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian adalah bidang oftalmologi. Penelitian ini


dilakukan selama bulan September 2012 sampai selesai di Universitas
Muhammadiyah Semarang.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitik dengan


pendekatan cross sectional yang dimaksudkan untuk mengetahui hubungan
antara faktor perilaku dengan derajat miopia pada mahasiswa kedokteran
Universitas Muhammadiyah Semarang.

1) Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa fakultas kedokteran


Universitas Muhammadiyah Semarang angkatan 2009-2011.

Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
2
n= Z α/2 * p (1 - p) N
2
d2 (N – 1) + Z α/2 * p (1 - p)

http://digilib.unimus.ac.id
Keterangan:
n : besar sampel

Z α/2 : nilai Z pada derajat kepercayaan 1-/2 (95 %) =


1,96 p : proporsi hal yang diteliti (40 %)
d : presisi
N : jumlah populasi

2
1,96 * 0,4 ( 1- 0,4 ) 149
n=
2 2
0,1 (149 - 1) + 1,96 * 0,4 (1- 0,4)

n= 137,375
2,401984

n= 57,19 n= 57

Berdasarkan perhitungan, besar sampel minimal dalam penelitian ini


adalah 57 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dengan
menggunakan metode purposive sampling. Pemilihan sampel berdasarkan
kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

Mahasiswa kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang angkatan


2009, 2010, dan 2011 yang menderita miopia atau menggunakan kacamata minus.

b. Kriteria eksklusi

Mahasiswa yang mempunyai riwayat glaukoma, atau cacat mata lain


seperti strabismus dan mahasiswa yang tidak bersedia untuk menjadi responden
pada penelitian ini.

38
D. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas

Variabel bebas pada penelitian ini adalah :

a. Intensitas menggunakan komputer secara terus menerus pada


penderita miopia.

b. Total menggunakan komputer dalam sehari pada penderita miopia.

c. Intensitas menonton televisi secara terus menerus pada penderita


miopia.

d. Total menonton televisi dalam sehari pada penderita miopia.

e. Jarak menonton televisi pada penderita miopia.

f. Lama membaca buku dalam sekali baca secara terus menerus pada
penderita miopia.

g. Jarak membaca buku pada penderita miopia.

2. Variabel Terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah derajat miopia pada mahasiswa
kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa pemeriksaan dengan kartu snellen dan


lembar pertanyaan.

39
F. Data Yang Dikumpulkan

1. Data primer : data ini didapatkan langsung dari sampel melalui


kuesioner.

Data sekunder : data ini adalah jumlah populasi mahasiswa fakultas


kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang angkatan 2009, 2010,
2011 yang didapatkan melalui bagian tata usaha Universitas
Muhammadiyah Semarang.

G. Prosedur Pengambilan Data

1. Memberikan lembar kuesioner pada responden

2. Melakukan pengecekan setelah responden mengisi kuosioner

3. Koreksi jawaban dari responden

40
H. Alur Penelitian

Pengajuan surat permohonan penelitian

Survey pendahuluan ke lokasi

Penyusunan proposal

Melakukan penelitian

Populasi

Kriteria inklusi kriteria eksklusi


Sampel

Menjelaskan tujuan, cara pengisian, dan


pembagian kuosioner pada responden

Mencatat data

Pengolahan data

Menyimpulkan hasil penelitian

41
I. Definisi Operasional

1. Derajat miopia adalah besarnya ukuran miopia pada mahasiswa yang


memakai kacamata minus dan mengalami gangguan melihat jauh yang
diperiksa dengan menggunakan kartu Snellen. Derajat miopia dibagi
dalam :

1) Miopia ringan = < 1 – 3 dioptri

2) Miopia sedang = > 3 – 6 dioptri


2
3) Miopia berat = > 6 dioptri

Skala : ordinal

2. Faktor perilaku adalah kebiasaan mahasiswa dalam melakukan aktivitas


jarak dekat yang diperiksa dengan menggunakan lembar pertanyaan.
Pada kasus ini yang dinilai adalah :

a. Intensitas menggunakan komputer ialah faktor lamanya menggunakan


komputer yang dihitung dalam jam.

Beban kerja pengguna komputer atas dasar lama waktu kerja sekali
pemakaian adalah sebagai berikut :

1) Beban kerja ringan, lama waktu kerja kurang dari 2 jam secara
terus menerus.

2) Beban kerja sedang, lama waktu kerja 2-4 jam secara terus
menerus.

3) Beban kerja berat, lama waktu kerja lebih dari 4 jam secara terus
26
menerus.

Skala : ordinal

42
b. Pengelompokan beban kerja pengguna komputer atas dasar lama
waktu kerja dalam sehari adalah sebagai berikut :

1) Pengguna komputer dengan beban kerja ringan adalah pengguna


komputer dengan lama waktu kerja 1 – 3 jam dalam sehari.

2) Pengguna komputer dengan beban kerja sedang adalah pengguna


komputer dengan lama waktu kerja 4 – 8 jam dalam sehari.

3) Pengguna komputer dengan beban kerja berat adalah pengguna


27
komputer dengan lama waktu kerja 9 - 16 jam dalam sehari.

Skala : ordinal

c. Intensitas menonton televisi ialah faktor lamanya menggunakan tv


yang dihitung dalam jam atas dasar lama waktu kerja sekali
pemakaian, dengan ketentuan :

1) Intensitas rendah : menonton televisi selama < 1 jam secara terus


menerus.

2) Intensitas tinggi : menonton televisi selama > 1 jam secara terus


29
menerus.

Skala : ordinal

d. Total menonton televisi ialah faktor lamanya menonton televisi total


dalam sehari yang dihitung dalam jam, dengan ketentuan :

1) Intensitas rendah: menonton televisi selama < 2 jam dalam sehari.

2) Intensitas sedang: menonton televisi selama 2-4 jam dalam sehari.

3) Intensitas tinggi : menonton televisi selama > 4 jam dalam sehari.


25

Skala : ordinal

43
40. Jarak menonton tv ialah jarak yang digunakan penderita miopia
untuk menonton tv yang dinilai dalam satuan meter sesuai dengan
ukuran diagonal layar tv. Perhitungannya adalah sebagai berikut :

Jarak menonton televisi ideal = 6 x diagonal layar tv (dihitung dalam meter


29
dimana 1” = 0,0254 meter)

Sesuai : jarak menonton tv sesuai dengan jarak ideal

Jauh : jarak menonton tv lebih dari jarak ideal


29
Dekat : jarak menonton tv kurang dari jarak ideal

Skala : ordinal

f. Lama membaca buku ialah seberapa lama penderita miopia membaca


buku dalam sekali baca secara terus menerus.

1) Baik : ≤ 30 menit

2) Tidak baik : > 30


menit Skala : ordinal

g. Jarak membaca buku ialah jarak yang digunakan penderita miopia


untuk membaca buku yang dinilai dalam sentimeter (cm).

1) Cukup : 30 cm
23
2) Dekat : < 30 cm

Skala : ordinal

Aktivitas-aktivitas ini dianalisa terpisah dan berfungsi sebagai bagian


dari variabel faktor perilaku.

44
J. Pengolahan Data

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan menggunakan bantuan


komputer. Langkah-langkah pengolahan data meliputi :

1. Editing

Merupakan kegiatan untuk mengetahui kelengkapan data pada lembar


obeservasi yang akan diolah.

2. Coding

Merupakan kegiatan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan


kategorinya masing-masing. Pemberian kode dilakukan setelah data di
edit untuk mempermudah pengolahan data.

3. Processing

Merupakan kegiatan memproses data yang dilakukan dengan cara


mengentry (memasukkan data) ke dalam program komputer.

4. Cleaning

Merupakan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry


apakah ada kesalahan atau tidak.

Data diuji statistik dengan uji Chi Square. Analisis data menggunakan
analisis univariat yaitu analisis yang menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik masing-masing variabel serta analisis bivariat yaitu menganalisis
42
hubungan dua variabel.

45
K. Jadwal Penelitian

Tahun 2012
No Kegiatan Bulan
Maret April Mei Juni Juli Agst Sep Okt Nop Des
1 Penyusunan
Pendahuluan skripsi
2 Penyusunan tinjauan
pustaka
3 Penyusunan metode
penelitian
4 Penyusunan instrument
penelitian
5 Pengambilan data
6 Pengolahan da ta
7 Analisa data
8 Penyelesaian Skripsi
9 Presentasi

46

DAFTAR PUSTAKA

1. Pan CW, Ramamurthy D, Saw SM. Worldwide prevalence and risk factors
for myopia. Ophthalmic Physiol Opt [Internet]. 2012 Jan [cited 2014 Oct
5];32(1):3–16. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22150586

2. Fredrick DR. Clinical review Myopia. 2002;324(May):1195–9.

3. Wensor M, Mccarty CA, Taylor HR. M ©1999. 1999;117(May):658–63.

4. Discovery of Gene May Provide Treatment for Nearsightedness - Disabled


World [Internet]. [cited 2014 Oct 5]. Available from: http://www.disabled-
world.com/disability/types/vision/nearsighted-gene.php
5. KMK No. 1473 ttg Rencana Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan
Penglihatan Untuk Mencapai Vision 2020.pdf.

6. Utara US. Universitas Sumatera Utara. 2010;1–4.

7. Penelitian B, Pengembangan DAN, Pengantar K. RISET KESEHATAN


DASAR. 2013;

8. Saw S, Gazzard G, Koh D, Farook M, Widjaja D, Lee J, et al. Prevalence


Rates of Refractive Errors in Sumatra , Indonesia. 2002;43(10):3174–80.

9. Rose KA, Morgan IG, Smith W, Burlutsky G, Mitchell P, Saw S. Myopia,


Lifestyle, and Schooling in Students of Chinese Ethnicity in Singapore and
Sydney. 2008;126(4):527–30.

10. Lim LS, Gazzard G, Low Y-L, Choo R, Tan DTH, Tong L, et al. Dietary
factors, myopia, and axial dimensions in children. Ophthalmology
[Internet]. 2010 May [cited 2014 Oct 5];117(5):993–7.e4. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20079928

11. Keller JT. A comparison of the refractive status of myopic children and
their parents. Am J Optom Arch Am Acad Optom [Internet]. 1973 Mar
[cited 2014 Oct 5];50(3):206–11. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/4511813

12. Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML, Jones LA, Zadnik K. Children
’ s Refractive Error. 2002;43(12).

13. Dekat BJ, Pada DM. Hubungan faktor keturunan, lamanya bekerja jarak
dekat, dengan miopia pada mahasiswa fk usu. 2010;1–39.

14. Tan DTH. The future is near: focus on myopia. Singapore Med J [Internet].
2004 Oct [cited 2014 Oct 5];45(10):451–5. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15455164

15. Guggenheim JA, Pong-wong R, Haley CS, Gazzard G, Saw SM.


Correlations in refractive errors between siblings in the. 2007;781–4.

16. Jones L a, Sinnott LT, Mutti DO, Mitchell GL, Moeschberger ML, Zadnik
K. Parental history of myopia, sports and outdoor activities, and future
myopia. Invest Ophthalmol Vis Sci [Internet]. 2007 Aug [cited 2014 Sep
4];48(8):3524–32. Available from:
http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?
artid=2871403&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

17. Konstantopoulos A, Yadegarfar G, Elgohary M. Near work , education ,


family history , and myopia in Greek conscripts. 2008;(January 2007):542–
6.

18. Council IM. Standar pendidikan profesi dokter indonesia. 2012.

19. Ii BAB. Pengertian Problem Based Learning. 2009;9–30.


20. Midelfart A, Aamo B, Sjøhaug KA, Dysthe BE. Myopia among medical
students in Norway. Acta Ophthalmol [Internet]. 1992 Jun [cited 2014 Oct
6];70(3):317–22. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1636390

21. MELITA PERTY ARIANTI. NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN


ANTARA RIWAYAT MIOPIA DI KELUARGA DAN LAMA
AKTIVITAS JARAK DEKAT DENGAN MIOPIA PADA MAHASISWA
PSPD UNTAN ANGKATAN 2010-2012. 2013;

22. Primary THE, Care EYE. Care of the Patient with.

23. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia; 2008.

24. Turner E. Myopia in secondary school students in Mwanza City, Tanzania:


the need for a national screening programme. 2002;(1):1200–6.

25. Mutti DO, Zadnik K. Age-Related Decreases in the Prevalence of Myopia :


Longitudinal Change or Cohort Effect ? 1971;

26. Mrugacz M. Role of the Genetic Factors in the Development of Myopia.

27. Ilyas S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI; 2008.

28. Perrigin J, Perrigin D, Quintero S, Grosvenor T. Silicone-acrylate contact


lenses for myopia control: 3-year results. Optom Vis Sci [Internet]. 1990
Oct [cited 2014 Oct 6];67(10):764–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2247299

29. Rutstein RP, Daum KM, Amos JF. Accommodative spasm: a study of 17
cases. J Am Optom Assoc [Internet]. 1988 Jul [cited 2014 Oct
6];59(7):527–38. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3403901

30. Bedrossian RH. The effect of atropine on myopia. Ophthalmology


[Internet]. 1979 May [cited 2014 Oct 6];86(5):713–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/545205

31. Yen MY, Liu JH, Kao SC, Shiao CH. Comparison of the effect of atropine
and cyclopentolate on myopia. Ann Ophthalmol [Internet]. 1989 May [cited
2014 Oct 6];21(5):180–2, 187. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2742290

32. Brodstein RS, Brodstein DE, Olson RJ, Hunt SC, Williams RR. The
treatment of myopia with atropine and bifocals. A long-term prospective
study. Ophthalmology [Internet]. 1984 Nov [cited 2014 Oct
6];91(11):1373–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6514306

33. Izazola-Conde C, Zamora-de la Cruz D, Tenorio-Guajardo G. Ocular and


systemic adverse effects of ophthalmic and non ophthalmic medications.
Proc West Pharmacol Soc [Internet]. 2011 Jan [cited 2014 Oct 6];54:69–72.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22423585

Anda mungkin juga menyukai