OLEH :
PUTRI YUNAN CHAERUNNISYA
11020160011
PEMBIMBING :
1. dr. Sri Irmandha.K,Sp.M,M.Kes
2. dr. Marzelina Karim
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
bimbingan, kerja sama , serta bantuan moril dan materil dari berbagai
1. Prof. Dr. dr. Syarifuddin Wahid, Ph. D, Sp. PA (K), Sp. F, DFM
3. dr. Sri Irmandha K, M.Kes, Sp.M dan dr. Marzelina Karim selaku
1
4. dr. Marliyanti, M.Kes, Sp. M dan dr. Nurhikmah, M.Kes, Sp.JP
5. Teristimewa kepada orang tua saya, dr. Anton Yahya dan drg.
Ilmiah ini.
selama ini.
8. Serta seluruh pihak terkait yang tidak bisa saya sebutkan satu per
Semoga amal budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
2
penelitian, sehingga penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun dari
ini. Akhirnya penulis berharap sehingga Karya Tulis Ilmiah ini memberikan
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
AS. Misalnya, prevalensi amblyopia di antara anak-anak Singapura yang
berusia 30-72 bulan adalah (1,19%). Dengan penyebab paling umum
amblyopia adalah kesalahan bias (85%) dan strabismus (15%).
Sementara itu di Vietnam, masih penyebab paling umum dari gangguan
penglihatan adalah kesalahan bias (92,7%), Amblyopia (2,2%), katarak
(0,7%), penyebab lain (1,5%) dan penyebab yang tidak dapat dijelaskan
pada sisanya (2,6%) Dalam 5 tahun penelitian dari tahun 2000 hingga
2004, anak-anak Jepang dari Kota Okayama memiliki tingkat ambliopia
yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lain Negara Asia, yang 0%
pada usia 1,5 tahun dan 0,13-0,18% pada usia 3 tahun.)Di Korea,
Amblyopia ditemukan pada (0,4%) anak-anak usia 3 - 5 tahun dan
kesalahan bias masih sebagai etiologi utama dengan tingkat dominan
(82,5%) 4
5
Pengetahuan seseorang akan pentingnya menjaga kesehatan sangat
mempengaruhi perilaku sehatnya. Perilaku yang sehat dan kemampuan
masyarakat untuk memilih dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan.
Pengetahuan dan perilaku orang tua disamping berpengaruh terhadap
kesehatan sendiri, juga berpengaruh terhadap anak-anaknya yang belum
mempunyai kesadaran sendiri dan tanggung jawab sediri terhadap
kesehatannya. Pengetahuan orang tua yang baik tentang kelainan
ambliopia, akan dapat mencegah gangguan penglihatan pada anak. 6
berdasarkan usia.
6
3. Untuk mengetahui karakteristik pasien penderita ambliopia
1.4.1 Penulis
kesehatan.
1.4.2 Masyarakat
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
striata adalah sel-sel binokular. Sel-sel tersebut berhubungan dengan
saraf di otak yang menghasilkan penglihatan tunggal binokular dan
stereopsis (penglihatan tiga dimensi). Fusi penglihatan binokular
berkembang pada usia 1,5 hingga 2 bulan, sementara stereopsis
berkembang kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan.
Hal ini terjadi karena kedua mata kita terpisah dan masing- masing
9
mata mempunyai perbedaan penglihatan saat melihat obyek.
Perkembangan sistem penglihatan menyesuaikan dengan kekacauan
bayangan retina yang tidak sama dengan menghambat aktivitas korteks
dari satu mata. Hambatan korteks ini biasanya melibatkan bagian sentral
lapang pandang dan disebut supresi kortikal. Bayangan yang jatuh dalam
lapang supresi kortikal tidak akan dirasakan dan area ini disebut skotoma
supresi. Supresi tergantung pada adanya penglihatan binokular,dengan
satu mata berfiksasi sedang mata satunya supresi. Ketika mata fiksasi
ditutup, skotoma supresi hilang. Supresi korteks mengganggu
perkembangan sel-sel kortikal bilateral dan akan menghasilkan
penglihatan binokular abnormal tanpa stereopsis atau stereopsis yang
buruk. Jika supresi bergantian antara kedua mata, tajam penglihatan akan
berkembang sama meskipun terpisah tanpa fungsi binokular normal
sehingga terjadi penglihatan bergantian atau alternating. Supresi terus
menerus terhadap aktivitas korteks pada satu mata akan mengakibatkan
gangguan perkembangan penglihatan binokularitas dan tajam penglihatan
yang buruk.7
10
tidak timbul penyulit lain. Penderita dengan kelainan refraksi akan
memberikan keluhan sebagai berikut: sakit kepala terutama di daerah
tengkuk atau dahi; mata berair; cepat mengantuk; mata terasa pedas;
pegal pada bola mata; dan penglihatan kabur. Untuk mencegah terjadinya
penyulit diusahakan memberikan istirahat pada mata dan mencegah pupil
berkontraksi. Tajam penglihatan penderita kelainan refraksi kurang dari
normal.8
Gambar 2.1 Pembiasaan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi.
2.2.1 Miopia
11
2.2.1.2 Etiologi Miopia
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Miopia ini dapat juga disebut miopia pernisiosa atau miopia maligna
atau miopia degeneratif. Disebut miopia degeneratif atau miopia maligna,
bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan fundus okuli dan pada
12
panjangnya bola mata sampai membentuk stafiloma postikum yang
terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina.
Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-
kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan
rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia
dapat terjadi bercak Fuch berupa biperplasi pigmen epitel dan
perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi
degenerasi papil saraf optik.
Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan
melihat kabur apabila pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh
sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit.
Selain itu, penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan
matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek
pinhole (lubang kecil).
a. Kacamata
Koreksi miopia dengan kacamata dapat dilakukan dengan
menggunakan lensa konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya
yang melewati suatu lensa cekung akan menyebar. Bila permukaan
refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila bola
mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat
13
dinetralisir dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata.
Lensa cekung yang akan mendivergensikan berkas cahaya
sebelum masuk ke mata, dengan demikian fokus bayangan dapat
dimundurkan ke arah retina.
b. Lensa kontak
14
G
a
m
b
a
r
c. Bedah Refraksi
Ketidaknyamanan memakai kacamata bagi banyak pemakai dan
komplikasi yang berkaitan dengan lensa kontak mendorong
pencarian solusi bedah bagi masalah gangguan refraksi.
d. Lensa Intraokular
15
dan pascaoperasi bedah intraokuler, khususnya pada miopia
tinggi.8
2.2.2 Hipermetropia
Sumber : Sloane, A.E, 2011, Manual of Refraction, USA: Brown and Company,
hal 39-47.
16
2.2.2.3 Klasifikasi Hipermetropia
1. Hipermetropia Laten
2. Hipermetropia Manifes
3. Hipermetropia Fakultatif
4. Hipermetropia Absolut
17
2. Asthenopia akomodatif (sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan
mata)
3. Strabismus pada anak-anak yang mengalami hipermetropia berat.
4. Gejala biasanya berhubungan dengan penggunaan mata untuk
penglihatan dekat (cth : membaca, menulis, melukis), dan biasanya
hilang jika kerjaan itu dihindari.
5. Mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara
kronis.
6. Mata terasa berat bila ingin mulai membaca, dan biasanya tertidur
beberapa saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah.
7. Bisa terjadi ambliopia.
18
2.2.3 Astigmatisma
19
3. Compound hyperopic astigmatism : Kedua meridian prinsipal.
4. Compound miopic astigmatism: Kedua meridian prinsipal miopik pada
derajat yang berbeda.
5. Mixed astigmatism: Satu meridian prinsipal adalah hiperopik, yang satu
lagi miopik.
Sumber : Sloane, A.E, 2008, Manual of Refraction, USA: Brown and Company, hal 39-
47.
20
3. Untuk astigmatisme yang gejalanya timbul, pemakaian lensa silender
bertujuan untuk mengurangkan gejalanya walaupun kadang-kadang
tidak memperbaiki tajam penglihatan.
4. Aturan koreksi dengan lensa silinder adalah dengan meletakkannya
pada aksis 90o dari garis tergelap yang dilihat pasien pada kartu tes
stigmatisme. Untuk astigmatisme miopia, digunakan silinder negatif,
untuk astigmatisme hiperopia, digunakan silinder positif.
5. Untuk astigmatisme irregular, lensa kontak bisa digunakan untuk
meneutralisasi permukaan kornea yang tidak rata.
6. Selain itu, astigmatisme juga bisa dikoreksi dengan pembedahan
LASIK, keratektomi fotorefraktif dan LASEK.9
2.2.4 Presbiopia
21
2.2.4.3 Klasifikasi Presbiopia
22
2.2.4.5 Penatalaksanaan Presbiopia
1. Miopia
a. Ablasio retina
23
bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat
terjadi kolaps badan vitreus sehingga kehilangan kontak dengan
retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina
dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada
miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat
memanjangnya bola mata.
c. Miopic makulopati
d. Glaukoma
] e. Skotoma
Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi
retina maka akan timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula
terkena dan daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang
telah mengalami degenerasi dan mencair berkumpul di muscae
volicantes sehingga menimbulkan bayangan lebar diretina sangat
menggangu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan
tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu
24
pasien tidak pernah menggunakan indera penglihatannya dengan
nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa
atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina.
2. Hipermetropia
a. Strabismus
3. Astigmatisma
25
c. Ambliopia (Lazy eye)
Astigmatisma yang terjadi hanya pada satu mata saja sejak lahir,
dapat memicu ambliopia. Kondisi ini terjadi karena otak terbiasa
mengabaikan sinyal yang dikirim oleh mata.8,9
2.4 Ambliopia
2.4.1 Definisi
2.4.2 Patofisiologi
26
Periode kritis tersebut adalah:
2.4.3 Klasifikasi
1. Ambliopia Strabismik
Ambliopia yang paling sering ditemui ini terjadi pada mata yang berdeviasi
konstan dalam artian tropia yang tidak bergantian (non
alternating,khususnya esodiviasi) sering menyebabkan ambliopia yang
signifikan. Ambliopia umumnya tidak terjadi bila terdapat fiksasi yang
bergantian, sehingga masing-masing mata mendapat jalan/alses yang
sama ke pusat penglihatan yang lebih tinggi, atau bila deviasi strabismus
berlangsung intermiten maka akan ada suatu periode interaksi binokular
yang normal sehingga kesatuan sistem penglihatan tetap terjaga baik. 17
27
2. Ambliopia Anisometropik
3. Ambliopia Isometropia
4. Ambliopia Deprivasi
28
2.4.4 Gejala dan Tanda
Anak-anak dengan ambliopia mungkin terlalu muda untuk
menjelaskan gejala. Anak-anak ini mungkin menutup satu mata dengan
tangan atau mempunyai satu mata yang tidak melihat ke arah yang sama
dengan mata lainnya, semuanya dapat menunjukkan masalah bahwa
mereka memerlukan pemeriksaan. Pada anak-anak, mesikpun sering
terlihat tidak mempunyai masalah, jika satu mata melihat baik dan yang
lain tidak, anak mengimbangi dengan baik dan tidak melihat fungsi yang
berlainan dari kawan sebaya mereka.
2.4.5 Penatalaksanaan
a. Pengangkatan Katarak
29
Katarak yang dapat menyebabkan ambliopia harus segera dioperasi,
tidak perlu ditunda-tunda. Pengangkatan katarak kongenital pada usia 2-
3 bulan pertama kehidupan, sangat penting dilakukan agar penglihatan
kembali pulihdengan optimal. Pada kasus katarak bilateral, interval
operasi pada mata yang pertama dan kedua sebaiknya tidak lebih dari 1-
2 minggu karena katarak traumatika tersebut memiki sifat
ambliopiogenik.
b. Oklusi
Pengertian oklusi full time pada mata yang lebih baik adalah oklusi
untuk semua atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga. Arti ini sangat
penting dalam penatalaksanaan ambliopia dengan cara penggunaan
mata yang rusak. Biasanya penutuo mata yang digunakan adalah
penutup adesif yang tersedia secara komersial.
30
Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari atau dibuka
sewaktu tidur.
Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari,akan memberi
hasil yang sama dengan oklus full-time. Durasi interval buka dan tutup
patch tergantung dari derajat ambliopia.11,16,17
31
2.7 Kerangka Teori
Ambliopia
Periode kritis
Kerusakan
penglihatan
sentral
Bayangan kabur
pada satu atau
dua mata
Jarak penglihatan
tidak berekmbang
dengan baik
32
2.9 Kerangka Konsep
Karakteristik
penderita :
1. Usia
Ambliopia
2. Jenis kelamin
3. Klasifikasi
4. Riwayat
keluarga
Keterangan :
: Variabel Independent
: Variabel Dependent
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.3.1 Populasi
Mata Masyarakat).
34
3.3.2 Sampel
2016-2017.
yang di teliti.
35
a. Rekam medik yang tidak memiliki data yang lengkap.
3.5.1 Ambliopia
b. Alat ukur : Kartu snellen dan pemeriksaan visus oleh dokter spesialis
mata
c. Hasil ukur :
Kriteria objektif :
a. laki-laki
b. perempuan
36
3.5.3 Karakteristik Riwayat Keluarga
Kriteria objektif :
a. Ada
b. tidak ada.
1. Ambliopia strabismik
2. Ambliopia Anisometropia
3. Ambliopia Isometropia
4. Ambliopia Deprivasi
37
3.6 Variabel Penelitian
38
3.7 Alur Penelitian
39
DAFTAR PUSTAKA
40
12. American Academy of Opthtalmology. 2015. “Pediatric
Ophtalmology; Chapter 5 : Amblyopia; Section 6”. Basic and
Clinical Science Course. Page 63.
13. Yen,K.G.2016.“Amblyopia”.Available:http://www.eyesite.ca/english/
public-information/eye-condition. (Diakses Maret 25, 2018).
14. Barry Lawren. “Treat Lazy Eye” in early childhood. Available at:
http://www.eyesite.ca/english/public-information/eye-condition
/pdfs/amblyopia.pdf#/search=’amblyopia’. Diakses September
01,2018).
15. Greenwald, M.J.Parks,M.M.2014. “Duane’s Clinical Ophtalmology;
Volume 1”. Revised Edition; Lippincott Williams & Wilkins;Chapter
10 – page 1-19; Chapter 11 page 1-8.
16. Noorden,G.K.V. 2009. “Atlas Strabismus”; Edisi 4; EGC; Jakarta;
page 78-93.
17. American academy of Opthalmology. 2011. “Pediatric
Ophtalmology”. Chapter 5: Amblyopia. Section 6. Basic and Clinical
Science Course. P. 63-70.
18. Harrad RA, Graham CM, Collin JRO. 2010. Amblyopia and
strabismus in congenital ptosis eye page 625.
19. Ilyas S. 2006. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi ke 3. Jakarta: FK
UI.
20. Hoyt CS, Jastrebski GB, Marg E. 2012. Amblyopia and congenital
esotropia: visually evoked potential measurements. Arch
Ophthalmol; 102:58-61.
41