Anda di halaman 1dari 42

Proposal Karya Tulis Ilmiah

“KARAKTERISTIK PENDERITA AMBLIOPIA DI RUMAH SAKIT MATA


BANTA-BANTAENG (BALAI KESEHATAN MATA MASYARAKAT)”

OLEH :
PUTRI YUNAN CHAERUNNISYA
11020160011

PEMBIMBING :
1. dr. Sri Irmandha.K,Sp.M,M.Kes
2. dr. Marzelina Karim

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala

atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan proposal penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini

sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi preklinik di Fakultas

Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Keberhasilan penyusunan proposal karya tulis ini adalah berkat

bimbingan, kerja sama , serta bantuan moril dan materil dari berbagai

pihak yang telah diterima penulis sehingga segala tantangan dan

rintangan yang dihadapi selama penelitian dan penyusunan proposal

karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan

memberikan penghargaan setinggi- tingginya dan secara tulus dan ikhlas

kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. dr. Syarifuddin Wahid, Ph. D, Sp. PA (K), Sp. F, DFM

2. dr. Rachmat Faisal Syamsu, M. Kes selaku Koordinator Karya Tulis

Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia

3. dr. Sri Irmandha K, M.Kes, Sp.M dan dr. Marzelina Karim selaku

pembimbing yang dengan kesediaan , keikhlasan dan kesabaran

senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan

arahan kepada penulis selama ini.

1
4. dr. Marliyanti, M.Kes, Sp. M dan dr. Nurhikmah, M.Kes, Sp.JP

selaku penguji yang telah ikhlas meluangkan waktunya,

memberikan petunjuk dan saran selama penulisan proposal karya

tulis ilmiah ini.

5. Teristimewa kepada orang tua saya, dr. Anton Yahya dan drg.

Yuyun Dwi Wahyuni, saudara- saudara saya dan seluruh keluarga

saya yang telah memberikan semangat, memfasilitasi dan

mengiringi langkah penulis dengan dukungan moriil dan materil

serta do’a restu sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis

Ilmiah ini.

6. Teman- teman sepembimbingan , dan seperjuangan Karya Tulis

Ilmiah yang turut mendukung sehingga penulisan proposal Karya

Tulis Ilmiah ini dapat terselesaikan.

7. Seluruh Keluarga Besar Fakultas Kedokteran Universitas Muslim

Indonesia, teman- teman Meninges angkatan 2016 yang saya

banggakan, teman- teman yang telah menberikan dukungan

selama ini.

8. Serta seluruh pihak terkait yang tidak bisa saya sebutkan satu per

satu yang turut mendukung saya selama ini.

Semoga amal budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan

rahmat yang melimpah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Sebagai manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya akan

keterbatasan baik dalam penguasaan ilmu maupun pengalaman

2
penelitian, sehingga penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh

dari kesempurnaan. Untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun dari

berbagai pihak sangat diharapkan demi penyempurnan Karya Tulis Ilmiah

ini. Akhirnya penulis berharap sehingga Karya Tulis Ilmiah ini memberikan

manfaat bagi pembaca.

Aamiin ya robbal alamain

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Makassar, 29 Januari 2019

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indra penglihatan sangat penting bagi kita. Mata merupakan jalur


informasi utama untuk mengenal proses kehidupan, khususnya pada
masa anak sekolah yang sedang melalui proses pendidikan. Jika
penglihatan telah mengalami kelainan terutama pada anak usia sekolah
dan terlambat melakukan koreksi akan sangat mengganggu prestasi anak.
Oleh karena itu keterlambatan dalam melakukan pemeriksaan mata pada
anak usia dini akan sangat meningkatkan terjadinya gangguan pada mata
contohnya seperti gangguan ambliopia. Meskipun kurang menyebabkan
cacat penglihatan dibanding gangguan lain yang memerlukan deteksi dini
misalnya katarak congenital, ambliopia merupakan gangguan yang
diderita orang awam dan dalam laporan pengelolaan menempati proporsi
yang tinggi dalam hubungan antara dokter mata dengan anak-anak1,2

Ambliopia merupakan gangguan akibat penurunan visus meskipun


dengan koreksi terbaik ketajaman visual (juga disebut sebagai koreksi
ketajaman visual jarak jauh). Gangguan ini bertanggung jawab untuk
onset kasus penurunan visus unilateral dibandingkan semua penyebab
lainnya, dengan prevalensi 2%-4% pada populasi Amerika Utara. Selain
itu, kondisi ini ialah penyebab paling umum dari gangguan penglihatan
unilateral pada orang dewasa yang lebih mudah dari 60 tahun. Prevalensi
ambliopia meningkat pada anak-anak dengan riwayat keluarga ambliopia,
anak yang lahir prematur, dan orang-orang dengan gangguan
perkembangan. 3

Sebuah studi berbasis populasi anak-anak Afrika dan Putih


prasekolah, menemukan prevalensi amblyopia pada bayi 30-71 bulan
adalah (1,8%) dan (0,8%) untuk kulit putih dan Afrika-Amerika, masing-
masing. Prevalensi amblyopia di negara-negara Asia agak mirip dengan

4
AS. Misalnya, prevalensi amblyopia di antara anak-anak Singapura yang
berusia 30-72 bulan adalah (1,19%). Dengan penyebab paling umum
amblyopia adalah kesalahan bias (85%) dan strabismus (15%).
Sementara itu di Vietnam, masih penyebab paling umum dari gangguan
penglihatan adalah kesalahan bias (92,7%), Amblyopia (2,2%), katarak
(0,7%), penyebab lain (1,5%) dan penyebab yang tidak dapat dijelaskan
pada sisanya (2,6%) Dalam 5 tahun penelitian dari tahun 2000 hingga
2004, anak-anak Jepang dari Kota Okayama memiliki tingkat ambliopia
yang lebih rendah dibandingkan dengan yang lain Negara Asia, yang 0%
pada usia 1,5 tahun dan 0,13-0,18% pada usia 3 tahun.)Di Korea,
Amblyopia ditemukan pada (0,4%) anak-anak usia 3 - 5 tahun dan
kesalahan bias masih sebagai etiologi utama dengan tingkat dominan
(82,5%) 4

Di Indonesia, prevalensi ambliopia pada siswa kelas 1 Sekolah Dasar


(SD) di kota Madya Bandung pada tahun 1989 adalah sebesar 1,56%
pada 54.260 siswa SD di 13 kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) pada tahun 2005. Hasil dari penelitian ini ternyata hanya
menemukan prevalensi ambliopia sebesar 0,32%. Penelitian mengenai
ambliopia pada 2.268 siswa SD usia 7-13 tahun di Yogyakarta pada tahun
2008 mendapatkan hasil prevalensi ambliopia sebesar 1,5% di daerah
pedesaan sebesar 0,98% dan di daerah perkotaan sebesar 1,93% dengan
penyebab ambliopia terbanyak pada studi tersebut adalah anisometropia
yaitu sebesar 44,4%.

Program penanggulan masalah kesehatan mata sudah berjalan cukup


lama yaitu sejak tahun 1975, namun sampai saat ini belum memberikan
prioritas yang cukup untuk kesehatan mata. Kelainan ambliopia masih
mempunyai prioritas yang lebih rendah dibandingkan dengan penyakit
menular.5

5
Pengetahuan seseorang akan pentingnya menjaga kesehatan sangat
mempengaruhi perilaku sehatnya. Perilaku yang sehat dan kemampuan
masyarakat untuk memilih dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang
bermutu sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan.
Pengetahuan dan perilaku orang tua disamping berpengaruh terhadap
kesehatan sendiri, juga berpengaruh terhadap anak-anaknya yang belum
mempunyai kesadaran sendiri dan tanggung jawab sediri terhadap
kesehatannya. Pengetahuan orang tua yang baik tentang kelainan
ambliopia, akan dapat mencegah gangguan penglihatan pada anak. 6

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka rumusan


masalah yang ingin diteliti dan dibahas adalah “Bagaimanakah
karakteristik penderita ambliopia di RS Mata Banta-Bantaeng di Kota
Makassar?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum :

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi karakteristik


penderita ambliopia di RS Mata Banta-bantaeng (Balai Kesehatan Mata
Masyarakat) di Kota Makassar

1.3.2 Tujuan Khusus :


1. Untuk mengetahui karakteristik pasien penderita ambliopia

berdasarkan usia.

2. Untuk mengetahui karakteristik pasien penderita ambliopia

berdasarkan jenis kelamin penderita ambliopia

6
3. Untuk mengetahui karakteristik pasien penderita ambliopia

berdasarkan klasifikasi ambliopia.

4. Untuk mengetahui karakteristik penderita ambliopia berdasarkan

riwayat keluarga (Genetik).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Penulis

Dapat menambah pengalaman, wawasan ilmu kedokteran dan

sebagai proses pengembangan diri dalam penelitian di bidang

kesehatan.

1.4.2 Masyarakat

Memberikan informasi mengenai karakteristik penderita ambliopia

sehingga masyarakat mampu memahami dan mengetahui

karakteristik penderita ambliopia.

1.4.3 Bagi Rumah Sakit

Memberikan informasi dan bahan masukan dalam pelaksanaan

manajemen rekam medis penderita ambliopia.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Periode Perkembangan Penglihatan

2.1.1. Perkembangan Penglihatan Monokular (Menggunakan Satu


Mata)

Pada saat lahir, tajam penglihatan berkisar antara gerakan tangan


sampai hitung jari. Hal ini karena pusat penglihatan di otak yang meliputi
nukleus genikulatum lateral dan korteks striata belum matang. Setelah
umur 4-6 minggu, fiksasi bintik kuning atau fovea sentral timbul dengan
pursuit halus yang akurat. Pada umur 6 bulan respon terhadap stimulus
optokinetik timbul. Perkembangan penglihatan yang cepat terjadi pada 2-3
bulan pertama yang dikenal sebagai periode kritis perkembangan
penglihatan. Tajam penglihatan meningkat lebih lambat setelah periode
kritis dan pada saat berumur 3 tahun mencapai 20/30 (Wright et al; 1995;
Xie et al,2007).

2.1.2 Perkembangan Penglihatan Binokular (Penglihatan dengan Dua


Mata Bersamaan)

Perkembangan penglihatan binokular terjadi bersamaan dengan


meningkatnya penglihatan monokular. Kedua saraf dari mata kanan dan
kiri akan bergabung memberikan penglihatan binokular (penglihatan
tunggal dua mata). Di korteks striata jalur aferen kanan dan kiri
berhubungan dengan sel-sel korteks binokular yang mempunyai respon
terhadap stimuli kedua mata, dan sel-sel korteks monokular yang bereaksi
terhadap rangsangan hanya satu mata. Kira- kira 70% sel-sel di korteks

8
striata adalah sel-sel binokular. Sel-sel tersebut berhubungan dengan
saraf di otak yang menghasilkan penglihatan tunggal binokular dan
stereopsis (penglihatan tiga dimensi). Fusi penglihatan binokular
berkembang pada usia 1,5 hingga 2 bulan, sementara stereopsis
berkembang kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan.

2.1.3 Penglihatan binokular tunggal dan stereopsis

Penglihatan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan


di retina dari dua mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga
dimensi. Syarat penglihatan binokular tunggal adalah memiliki sumbu
mata yang tepat sehingga bayangan yang sama dari masing-masing mata
jatuh pada titik di retina yang sefaal, yang akan diteruskan ke sel-sel
binokular korteks yang sama. Obyek di depan atau belakang horopter
akan merangsang titik retina nonkorespondensi. Titik di belakang horopter
empiris merangsang retina binasal, dan titik di depan horopter
merangsang retina bitemporal. Ada daerah yang terbatas di depan dan di
belakang garis horopter tempat obyek merangsang titik-titik retina non
korespondensi sehingga masih dapat terjadi fusi menjadi bayangan
binokular tunggal. Area ini disebut area fusi Panum. Obyek dalam area ini
akan menghasilkan penglihatan binokular tunggal dengan penglihatan
stereopsis atau tiga dimensi. Fovea atau bintik kuning mempunyai resolusi
atau daya pisah ruang yang tinggi, sehingga perpindahan kecil pada garis
horopter pada lapang pandang sentral dapat terdeteksi, menghasilkan
stereopsis derajat tinggi.

2.1.4 Adaptasi sensoris pada gangguan rangsangan penglihatan

Hal ini terjadi karena kedua mata kita terpisah dan masing- masing

9
mata mempunyai perbedaan penglihatan saat melihat obyek.
Perkembangan sistem penglihatan menyesuaikan dengan kekacauan
bayangan retina yang tidak sama dengan menghambat aktivitas korteks
dari satu mata. Hambatan korteks ini biasanya melibatkan bagian sentral
lapang pandang dan disebut supresi kortikal. Bayangan yang jatuh dalam
lapang supresi kortikal tidak akan dirasakan dan area ini disebut skotoma
supresi. Supresi tergantung pada adanya penglihatan binokular,dengan
satu mata berfiksasi sedang mata satunya supresi. Ketika mata fiksasi
ditutup, skotoma supresi hilang. Supresi korteks mengganggu
perkembangan sel-sel kortikal bilateral dan akan menghasilkan
penglihatan binokular abnormal tanpa stereopsis atau stereopsis yang
buruk. Jika supresi bergantian antara kedua mata, tajam penglihatan akan
berkembang sama meskipun terpisah tanpa fungsi binokular normal
sehingga terjadi penglihatan bergantian atau alternating. Supresi terus
menerus terhadap aktivitas korteks pada satu mata akan mengakibatkan
gangguan perkembangan penglihatan binokularitas dan tajam penglihatan
yang buruk.7

2.2 Klasifikasi Kelainan Mata

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan


sinar pada mata sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik
kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang retina dan mungkin tidak
terletak pada satu titik yang fokus. Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik pada mata sihingga menghasilkan
bayangan yang kabur.
Kelainan refraksi ditandai dengan mengedip yang kurang dibanding
mata normal. Normalnya, seseorang akan mengedip 4-6 kali dalam 1
menit, jika kurang mengedip maka mata akan melotot atau mulai juling.
Seseorang dengan kelainan refraksi sebaiknya sering mengedip agar

10
tidak timbul penyulit lain. Penderita dengan kelainan refraksi akan
memberikan keluhan sebagai berikut: sakit kepala terutama di daerah
tengkuk atau dahi; mata berair; cepat mengantuk; mata terasa pedas;
pegal pada bola mata; dan penglihatan kabur. Untuk mencegah terjadinya
penyulit diusahakan memberikan istirahat pada mata dan mencegah pupil
berkontraksi. Tajam penglihatan penderita kelainan refraksi kurang dari
normal.8

Gambar 2.1 Pembiasaan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi.

Sumber : Ilyas, S. 2010. “Ilmu Penyakit Mata”. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta. 64-83.

2.2.1 Miopia

2.2.1.1 Definisi Miopia

Miopia merupakan kesalahan refraksi dengan berkas sinar memasuki


mata yang sejajar dengan sumbu optik dibawa ke fokus di depan retina,
sebagai akibat bola mata yang terlalu panjang atau peningkatan kekuatan
daya refraksi media mata.

11
2.2.1.2 Etiologi Miopia

Miopia disebabkan karena terlalu kuat pembiasan sinar di dalam


mata untuk panjangnya bola mata yang diakibatkan oleh: kornea terlalu
cembung; lensa mempunyai kecembungan yang kuat sehingga bayangan
dibiaskan kuat; dan bola mata terlalu panjang.Pada miopia panjang bola
mata anteroposterior dapat terlalu besar atau kekuatan pembiasan media
refraktif terlalu kuat.

2.2.1.3 Klasifikasi Miopia

Klasifikasi miopia dibagi menurut derajat dan perjalanan


penyakitnya.

Berdasarkan derajat beratnya, miopia dibagi dalam:

a. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri.

b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.

c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.

Sedangkan menurut perjalanan penyakitnya, miopia dikenal dalam


bentuk:

a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.

b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa


akibat bertambah panjangnya bola mata.

c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yangdapat


mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan.

Miopia ini dapat juga disebut miopia pernisiosa atau miopia maligna
atau miopia degeneratif. Disebut miopia degeneratif atau miopia maligna,
bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan fundus okuli dan pada

12
panjangnya bola mata sampai membentuk stafiloma postikum yang
terletak pada bagian temporal papil disertai dengan atrofi korioretina.
Atrofi retina berjalan kemudian setelah terjadinya atrofi sklera dan kadang-
kadang terjadi ruptur membran Bruch yang dapat menimbulkan
rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi subretina. Pada miopia
dapat terjadi bercak Fuch berupa biperplasi pigmen epitel dan
perdarahan, atrofi lapis sensoris retina luar, dan dewasa akan terjadi
degenerasi papil saraf optik.

2.2.1.4 Manifestasi Klinik Miopia

Pasien miopia akan melihat jelas bila dalam jarak pandang dekat dan
melihat kabur apabila pandangan jauh. Penderita miopia akan mengeluh
sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit.
Selain itu, penderita miopia mempunyai kebiasaan mengernyitkan
matanya untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek
pinhole (lubang kecil).

2.2.1.5 Tata Laksana Miopia

Penatalaksanaan miopia masih merupakan kontra diantara dokter


mata. Sejauh ini yang dilakukan adalah mencoba mencari bagaimana
mencegah kelainan refraksi pada anak atau mencegah jangan sampai
menjadi parah.

a. Kacamata
Koreksi miopia dengan kacamata dapat dilakukan dengan
menggunakan lensa konkaf (cekung/negatif) karena berkas cahaya
yang melewati suatu lensa cekung akan menyebar. Bila permukaan
refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila bola
mata terlalu panjang seperti pada miopia, keadaan ini dapat

13
dinetralisir dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata.
Lensa cekung yang akan mendivergensikan berkas cahaya
sebelum masuk ke mata, dengan demikian fokus bayangan dapat
dimundurkan ke arah retina.

Gambar: 2.2 Koreksi Miopia dengan lensa Konkaf.

Sumber : Ilyas, S. 2010. “Ilmu Penyakit Mata”. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Jakarta. 64-83.

b. Lensa kontak

Lensa kontak yang biasanya digunakan ada 2 jenis yaitu, lensa


kontak keras yang terbuat dari bahan plastik polymethacrylate
(PMMA) dan lensa kontak lunak terbuat dari bermacam-macam
plastik hydrogen hydroxymethylmethacrylate (HEMA). Lensa kontak
keras secara spesifik diindikasikan untuk koreksi astigmatisma
ireguler, sedangkan lensa kontak lunak digunakan untuk mengobati
gangguan permukaan kornea.

14
G
a
m
b
a
r

2.3 Koreksi dengan lensa kontak.


Sumber : Ilyas, S. 2010. “Ilmu Penyakit Mata”. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 64-83.

c. Bedah Refraksi
Ketidaknyamanan memakai kacamata bagi banyak pemakai dan
komplikasi yang berkaitan dengan lensa kontak mendorong
pencarian solusi bedah bagi masalah gangguan refraksi.

d. Lensa Intraokular

Penanaman lensa intraokular telah menjadi metode pilihan untuk


koreksi kelainan refraksi pada afakia. Tersedia sejumlah
rancangan, termasuk lensa lipat, yang terbuat dari plastik hidrogel,
yang dapat disisipkan kedalam mata melaui suatu insisi kecil dan
lensa kaku yang paling sering terdiri atas suatu optik terbuat dari
polimetil metakrilat dan lengkungan (haptik) terbuat dari bahan
yang sama atau polipropilen. Posisi paling aman bagi lensa
intraokuler adalah didalam kantung kapsul yang utuh setelah
pembedahan ekstrakapsular.

e. Ekstraksi lensa jernih untuk miopia

Ekstraksi lensa non-katarak telah dianjurkan untuk koreksi refraktif


miopia sedang sampai tinggi. Hasil tindakan ini tidak kalah
memuaskan dengan yang dicapai oleh bedah keratorefraktif
menggunakan laser. Namun, perlu dipikirkan komplikasi operasi

15
dan pascaoperasi bedah intraokuler, khususnya pada miopia
tinggi.8

2.2.2 Hipermetropia

2.2.2.1 Definisi Hipermetropia

Hipermetropia adalah anomali refraksi yang mana tanpa


akomodasi, sinar sejajar akan terfokus di belakang retina. Sinar
divergen dari objek dekat, akan difokuskan lebih jauh di belakang
retina.

Gambar 2.4 Refraksi pada mata hipermetropia.

Sumber : Sloane, A.E, 2011, Manual of Refraction, USA: Brown and Company,
hal 39-47.

2.2.2.2 Etiologi Hipermetropia

a) Panjang axial (diameter bola mata) mata hipermetropia lebih


kurang dari panjang axial mata normal.
b) Berkurangnya konveksitas dari kornea atau kurvatura lensa.
c) Berkurangnya indeks refraktif.
d) Perubahan posisi lensa.

16
2.2.2.3 Klasifikasi Hipermetropia

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan gejala klinis, derajat beratnya


hipermetropia, dan status akomodasi mata.

Berdasarkan gejala klinis, hipermetropia dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Hipermetropia simpleks yang disebabkan oleh variasi biologi


normal, etiologinya bisa axial atau refraktif.
b. Hipermetropia patologik disebabkan oleh anatomi okular yang
abnormal karena maldevelopment, penyakit okular, atau trauma.
c. Hipermetropia fungsional disebabkan oleh paralisis dari proses
akomodasi.

Berdasarkan derajat beratnya, hipermetropia juga dibagi menjadi tiga


yaitu:

a. Hipermetropia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang.


b. Hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga
+5.00D.
c. Hipermetropia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi.

Berdasarkan status akomodasi mata, hipermetropia dibagi menjadi


empat yaitu:

1. Hipermetropia Laten
2. Hipermetropia Manifes
3. Hipermetropia Fakultatif
4. Hipermetropia Absolut

2.2.2.4 Gejala dan Tanda Hipermetropia

1. Penglihatan dekat kabur, penglihatan jauh pada usia lanjut juga


kabur.

17
2. Asthenopia akomodatif (sakit kepala, lakrimasi, fotofobia, kelelahan
mata)
3. Strabismus pada anak-anak yang mengalami hipermetropia berat.
4. Gejala biasanya berhubungan dengan penggunaan mata untuk
penglihatan dekat (cth : membaca, menulis, melukis), dan biasanya
hilang jika kerjaan itu dihindari.
5. Mata dan kelopak mata bisa menjadi merah dan bengkak secara
kronis.
6. Mata terasa berat bila ingin mulai membaca, dan biasanya tertidur
beberapa saat setelah mulai membaca walaupun tidak lelah.
7. Bisa terjadi ambliopia.

2.2.2.5 Penatalaksanaan Hipermetropia

1. Sejak usia 5 atau 6 tahun, koreksi tidak dilakukan terutama tidak


munculnya gejala-gejala dan penglihatan normal pada setiap mata.
2. Dari usia 6 atau 7 tahun hingga remaja dan berlanjut hingga waktu
presbiopia, hipermetropia dikoreksi dengan lensa positif yang
terkuat. Bisa memakai kaca mata atau lensa kontak.
3. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki
hipermetropia dengan membentuk semula kurvatura kornea.

Metode pembedahan refraktif termasuk.9:

a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)


b. Laser-assisted subepithelial keratectomy (LASEK)
c. Photorefractive keratectomy (PRK)
d. Conductive keratoplasty (CK)

18
2.2.3 Astigmatisma

2.2.3.1 Definisi Astigmatisma

Astigmatisma merupakan kondisi dimana sinar cahaya tidak


direfraksikan dengan sama pada semua meridian. Jika mata astigmatisma
melihat gambaran palang, garis vertikal dan horizontalnya akan tampak
terfokus tajam pada dua jarak pandang yang berbeda. Mata astigmatisme
bisa dianggap berbentuk seperti bola sepak yang tidak memfokuskan
sinar pada satu titik tapi banyak titik.

2.2.3.2 Etiologi Astigmatisma

Mata mempunyai 2 bagian untuk memfokuskan bayangan –


kornea dan lensa. Pada mata yang bentuknya sempurna, setiap elemen
untuk memfokus mempunyai kurvatura yang rata seperti permukaan bola
karet. Kornea atau lensa dengan permukaan demikian merefraksikan
semua sinar yang masuk dengan cara yang sama dan menghasilkan
bayangan yang tajam terfokus pada retina.

Jika permukaan kornea atau lensa tidak rata, sinar tidak


direfraksikan dengan cara yang sama dan menghasilkan bayangan-
bayangan kabur yang tidak terfokus pada retina.

2.2.3.3 Klasifikasi Astigmatisma

Ada banyak tipe astigmatisma, tergantung dari kondisi optik.

1. Simple hyperopic astigmatism : Satu meridian prinsipal adalah


emmetropik; yang satu lagi hiperopik.
2. Simple miopic astigmatism : Satu meridian prinsipal adalah
emmetropik; yang satu lagi miopik.

19
3. Compound hyperopic astigmatism : Kedua meridian prinsipal.
4. Compound miopic astigmatism: Kedua meridian prinsipal miopik pada
derajat yang berbeda.
5. Mixed astigmatism: Satu meridian prinsipal adalah hiperopik, yang satu
lagi miopik.

Gambar 2.5 Klasifikasi Astigmatisma.

Sumber : Sloane, A.E, 2008, Manual of Refraction, USA: Brown and Company, hal 39-
47.

2.2.3.4 Gejala dan Tanda

1. Distorsi dari bagian-bagian lapang pandang


2. Tampak garis-garis vertikal, horizontal atau miring yang kabur
3. Memegang bahan bacaan dekat dengan mata
4. Sakit kepala
5. Mata berair
6. Kelelahan mata
7. Memiringkan kepala untuk melihat dengan lebih jelas

2.2.3.5 Penatalaksanaan Astigmatisma:

1. Astigmatisme bisa dikoreksi dengan menggunakan lensa silinder


tergantung gejala dan jumlah astigmatismenya.
2. Untuk astigmatisme yang kecil, tidak perlu dikoreksi dengan silinder.

20
3. Untuk astigmatisme yang gejalanya timbul, pemakaian lensa silender
bertujuan untuk mengurangkan gejalanya walaupun kadang-kadang
tidak memperbaiki tajam penglihatan.
4. Aturan koreksi dengan lensa silinder adalah dengan meletakkannya
pada aksis 90o dari garis tergelap yang dilihat pasien pada kartu tes
stigmatisme. Untuk astigmatisme miopia, digunakan silinder negatif,
untuk astigmatisme hiperopia, digunakan silinder positif.
5. Untuk astigmatisme irregular, lensa kontak bisa digunakan untuk
meneutralisasi permukaan kornea yang tidak rata.
6. Selain itu, astigmatisme juga bisa dikoreksi dengan pembedahan
LASIK, keratektomi fotorefraktif dan LASEK.9

2.2.4 Presbiopia

2.2.4.1 Definisi presbiopia

Presbiopia adalah penglihatan di usia lanjut, merupakan


perkembangan normal yang berhubungan erat dengan usia lanjut dimana
proses akomodasi yang diperlukan untuk melihat dekat perlahan-lahan
berkurang. Biasanya terjadi diatas usia 40 tahun, dan setelah umur itu,
umumnya seseorang akan membutuhkan kaca mata baca untuk
mengkoreksi presbiopianya.

2.2.4.2 Etiologi Presbiopia

1. Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut.


2. Kelemahan otot-otot akomodasi.
3. Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elasitasnya akibat
kekakuan (sklerosis) lensa.

21
2.2.4.3 Klasifikasi Presbiopia

1. Presbiopia Insipien: tahap awal perkembangan presbiopia, dari


anamnesa didapati pasien memerlukan kaca mata untuk membaca
dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes, dan pasien
biasanya akan menolak preskripsi kaca mata baca.
2. Presbiopia Fungsional: Amplitud akomodasi yang semakin menurun
dan akan didapatkan kelainan ketika diperiksa.
3. Presbiopia Absolut: Peningkatan derajat presbiopia dari presbiopia
fungsional, dimana proses akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali.
4. Presbiopia Prematur: Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40
tahun dan biasanya berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit,
atau obat-obatan.
5. Presbiopia Nokturnal: Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada
kondisi gelap disebabkan oleh peningkatan diameter pupil.

2.2.4.4 Gejala dan Tanda Presbiopia

1. Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa


pedih. Bisa juga disertai kelelahan mata dan sakit kepala jika
membaca terlalu lama.
2. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca karena tulisan
tampak kabur pada jarak baca yang biasa.
3. Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di
malam hari.
4. Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca.
5. Terganggu secara emosional dan fisik.

22
2.2.4.5 Penatalaksanaan Presbiopia

1. Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopia. Tujuan koreksi


adalah untuk mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk
memfokuskan objek-objek yang dekat.
2. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif
sesuai usia dan hasil pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu
membaca tulisan pada kartu Jaeger 20/30.
3. Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa
positif terkuat yang dapat diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini,
mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm,
karena tulisan yang dibaca terletak pada titik fokus lensa +3.00 D.8,9

2.3 Komplikasi Kelainan Refraksi

1. Miopia

a. Ablasio retina

Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D – (- 4,75)D sekitar


1/6662. Sedangkan pada (- 5) D – (-9,75) D resiko meningkat
menjadi 1/1335. Lebih dari (10) D resiko ini menjadi 1/148. Dengan
kata lain penambahan faktor resiko pada miopia rendah tiga kali
sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.

b. Vitreal Liquefaction dan Detachment

Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung


98% air dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan
mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat
pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya
struktur normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat

23
bayangan-bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat
terjadi kolaps badan vitreus sehingga kehilangan kontak dengan
retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina
dan menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada
miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat
memanjangnya bola mata.

c. Miopic makulopati

Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh


darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga
lapang pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan
koroid yang bisa menyebabkan kurangnya lapangan pandang.
Miopia vaskular koroid/degenerasi makular miopik juga merupakan
konsekuensi dari degenerasi makular normal, dan ini disebabkan
oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah sentral
retina.

d. Glaukoma

Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada


miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada
miopia terjadi dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta
kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula.

] e. Skotoma

Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi
retina maka akan timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula
terkena dan daerah penglihatan sentral menghilang). Vitreus yang
telah mengalami degenerasi dan mencair berkumpul di muscae
volicantes sehingga menimbulkan bayangan lebar diretina sangat
menggangu pasien dan menimbulkan kegelisahan. Bayangan
tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan selama itu

24
pasien tidak pernah menggunakan indera penglihatannya dengan
nyaman sampai akhirnya tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa
atau sampai terjadi lesi makula berat atau ablasio retina.

2. Hipermetropia

a. Strabismus

Strabismus adalah suatu kondisi dimana kedua mata tampak tidak


searah atau memandang pada dua titik yang berbeda.
1. Mengurangi kualitas hidup
2. Kelelahan mata dan sakit kepala
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma.
Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya
melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi
otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik
mata.

3. Astigmatisma

a. Miopia (Rabun jauh)

Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan


difokuskan di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi
berakomodasi.

b. Hypermetropia (Rabun dekat)

Hipermetropia merupakan anomali perkembangan dan secara praktis


semua mata adalah hipermetropia pada saat lahir. 80% hingga 90%
mata didapati hipermetropia pada 5 tahun pertama kehidupan. Pada
usia 16 tahun, sekitar 48% mata didapati tetap hipermetropia.

25
c. Ambliopia (Lazy eye)
Astigmatisma yang terjadi hanya pada satu mata saja sejak lahir,
dapat memicu ambliopia. Kondisi ini terjadi karena otak terbiasa
mengabaikan sinyal yang dikirim oleh mata.8,9

2.4 Ambliopia

2.4.1 Definisi

Ambliopia berasal dari bahasa Yunani yaitu ambylos (tumpul) dan


opia (penglihatan). Dikenal juga dengan “lazy eye” atau mata malas.
Ambliopia merupakan suatu keadaan dimana pemeriksa tidak melihat
apapun dan pasien melihat sangat sedikit (The observer see nothing and
the patient very little).10,11

Ambliopia adalah penurunan ketajaman penglihatan, walaupun


sudah diberi koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang)
yang tidak dapat dihubungkan langsung dengan kelainan struktural mata
maupun jarak penglihatan posterior.12

2.4.2 Patofisiologi

Pada ambliopia didapati adanya kerusakan penglihatan sentral,


sedangkan daerah penglihatan perifer dapat dikatakan masih tetap
normal. Studi rkdperimental pada binatang serta studi klinis pada bayi dan
balita, mendukung konsep adanya suatu periode kritis yang peka dalam
berkembangnya keadaan ambliopia. Periode kritis ini sesuai dengan
perkembangan sistem penglihatan anak yang peka terhadap masukan
abnormal yang diakibatkan oleh rangsangan deprivasi, strabismus, atau
kelainan refraksi yang signifikan. Secara umum,periode kritis untuk
ambliopia deprivasi terjadi lebih cepat dibanding strabismus maupun
anisometropia.13

26
Periode kritis tersebut adalah:

1. Perkembangan tajam penglihatan dari 20/200 (6/60) hingga


20/20(6/6) yaitu pada saat lahir sampai 3-5 tahun.
2. Periode yang beresiko (sangat) tinggi untuk terjadinya ambliopia
deprivasi,yaitu diusia beberapa bulan hingga usia 7-8 tahun.
3. Periode dimana kesembuhan ambliopia masih dapat dicapai, yaitu
sejak terjadinya deprivasi sampai usia remaja atau bahkan
terkadang usia dewasa.

Penglihatan yang baik harus jernih,bayangan terfokus sama pada


kedua mata. Bila bayangan kabur pada satu mata, atau bayangan
tersebut tidak sama pada kedua mata, maka jarak penglihatan tidak dapat
berkembang dengan baik, bahkan dapat memburuk. Bila hal ini terjadi,
otak akan “mematikan” mata yang tidak fokus dan orang tersebut akan
bergantung pada satu mata untuk melihat.14

2.4.3 Klasifikasi

Ambliopia dibagi kedalam beberapa bagian sesuai dengan


gangguan/kelainan yang mejadi penyebabnya.15

1. Ambliopia Strabismik

Ambliopia yang paling sering ditemui ini terjadi pada mata yang berdeviasi
konstan dalam artian tropia yang tidak bergantian (non
alternating,khususnya esodiviasi) sering menyebabkan ambliopia yang
signifikan. Ambliopia umumnya tidak terjadi bila terdapat fiksasi yang
bergantian, sehingga masing-masing mata mendapat jalan/alses yang
sama ke pusat penglihatan yang lebih tinggi, atau bila deviasi strabismus
berlangsung intermiten maka akan ada suatu periode interaksi binokular
yang normal sehingga kesatuan sistem penglihatan tetap terjaga baik. 17

27
2. Ambliopia Anisometropik

Terbanyak kedua setelah ambliopia strabismik adalah ambliopia


anisometropik, terjadi ketika adanya perbedaan refraksi antara kedua
mata yang menyebabkan lama kelamaan bayangan pada satu retina tidak
fokus. Jika bayangan di fovea pada kedua mata berlainan bentuk dan
ukuran yang disebabkan karena kelainan refraksi yang tidak sama antara
kiri dan kanan, maka terjadi rintangan untuk fusi. Lebih-lebih fovea mata
yang lebih anetropik akan menghalangi pembentukan bayangan (form
vision).12,17

3. Ambliopia Isometropia

Ambliopia isometropia terjadi akibat kelainan refraksi tinggi yang tidak


dikoreksi, yang ukurannya hampir sama pada mata kanan dan mata kiri.
Dimana walaupun telah dikoreksi dengan baik, tidak langsung memberi
hasil penglihatan normal. Tajam penglihatan membaik sesudah koreksi
lensa dipakai pada suatu periode waktu.Khas untuk ambliopia tipe ini
yaitu hilangnya penglihatan ringan dapat di atasi dengan terapi
penglihatan, karena interaksi abnormal binokular bukan merupakan faktor
penyebab13,14

4. Ambliopia Deprivasi

Sering disebabkan oleh kekeruhan media kongenital atau dini, akan


menyebabkan terjadinya penurunan pembentukan bayangan yang
akhirnya menimbulkan ambliopia. Bentuk ambliopia ini sedikit kita jumpai
namun merupakan yang paling sulit diperbaiki. Anak kurang dari 6 tahun,
dengan katarak kongenital padat/total yang menempati daerah sentral
dengan ukuran 3 mm atau lebih, harus dianggap dapat menyebabkan
ambliopia berat.13

28
2.4.4 Gejala dan Tanda
Anak-anak dengan ambliopia mungkin terlalu muda untuk
menjelaskan gejala. Anak-anak ini mungkin menutup satu mata dengan
tangan atau mempunyai satu mata yang tidak melihat ke arah yang sama
dengan mata lainnya, semuanya dapat menunjukkan masalah bahwa
mereka memerlukan pemeriksaan. Pada anak-anak, mesikpun sering
terlihat tidak mempunyai masalah, jika satu mata melihat baik dan yang
lain tidak, anak mengimbangi dengan baik dan tidak melihat fungsi yang
berlainan dari kawan sebaya mereka.

2.4.5 Penatalaksanaan

Ambliopia, pada kebanyakan kasus, dapat ditatalaksana dengan


efektif selama satu dekade pertama. Lebih cepat tindakan terapiutik
dilakukan, maka akan semakin besar pula peluang keberhasilannya. Bila
pada awal terapi sudah berhasil, hal ini tidak menjamin penglihatan
optimal akan tetap bertahan, maka para klinisi harus tetap waspada dan
bersiap untuk melanjutkan penatalaksanaan hingga penglihatan “matang”
(sekitar umur 10 tahun).16

Penatalaksanaan ambliopia meliputi langkah-langkah berikut:

Penatalaksanaan secara umum :

1. Menghilangkan (bila mungkin) semua penghalang penglihatan seperti


katarak.
2. Koreksi kelainan refraksi.
3. Paksakan pengguan mata yang lebih lemah dengan membatasi
penggunaan mata yang baik.

Penatalaksanaan secara khusus :

a. Pengangkatan Katarak

29
Katarak yang dapat menyebabkan ambliopia harus segera dioperasi,
tidak perlu ditunda-tunda. Pengangkatan katarak kongenital pada usia 2-
3 bulan pertama kehidupan, sangat penting dilakukan agar penglihatan
kembali pulihdengan optimal. Pada kasus katarak bilateral, interval
operasi pada mata yang pertama dan kedua sebaiknya tidak lebih dari 1-
2 minggu karena katarak traumatika tersebut memiki sifat
ambliopiogenik.

b. Oklusi

Terapi oklusi sudah dilakukan sejak abad ke 18 dan merupakan


terapi pilihan,yang keberhasilannya baik dan cepat, dapat dilakukan oklusi
penuh waktu (full time) atau paruh waktu.

a) Oklusi Full Time

Pengertian oklusi full time pada mata yang lebih baik adalah oklusi
untuk semua atau setiap saat kecuali 1 jam waktu berjaga. Arti ini sangat
penting dalam penatalaksanaan ambliopia dengan cara penggunaan
mata yang rusak. Biasanya penutuo mata yang digunakan adalah
penutup adesif yang tersedia secara komersial.

Gambar 2.6 Adhesive patch.

Sumber : Noorden,G.K.V. 2009. “Atlas Strabismus”; Edisi 4; EGC; Jakarta; hal


78-93.

30
Penutup (patch) dapat dibiarkan terpasang pada malam hari atau dibuka
sewaktu tidur.

b) Oklusi Part Time

Oklusi part-time adalah oklusi selama 1-6 jam per hari,akan memberi
hasil yang sama dengan oklus full-time. Durasi interval buka dan tutup
patch tergantung dari derajat ambliopia.11,16,17

2.5 Hubungan kasus ambliopia dengan umur


Ketika obstruksi fisik di sepanjang garis pandang mencegah
pembentukan gambar dengan kontras tinggi dan terfokus pada
retina, hasilnya adalah bentuk ambliopia kekurangan. Obstruksi ini
dapat terjadi pada satu atau kedua mata dan harus terjadi sebelum
usia 6-8 tahun untuk berkembangnya ambliopia.18

2.6 Hubungan ambliopia dengan riwayat keluarga

Kejadian amblioia pada anak dapat meningkat dengan adanya


riwayat keluarga menderita anisometropia, isoametropia, strabismus,
ambliopia, atau katarak kongenital.19,20

31
2.7 Kerangka Teori

Usia Jenis Kelamin Riwayat keluarga

P:L Riwayat keluarga


6-8 tahun Terjadi 3: 1 menderita
obstruksi di Mobilitas yang lebih anisometropia,
sepanjang garis tinggi pada isoametropia,
perempuan strabismus,
pandang
ambliopia, atau
katarak kongenital

Ambliopia

Periode kritis

Kerusakan
penglihatan
sentral

Bayangan kabur
pada satu atau
dua mata

Jarak penglihatan
tidak berekmbang
dengan baik

32
2.9 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori diatas, dapat dibuat kerangka konsep


sesuai tujuan penelitian sebagai berikut :

Karakteristik
penderita :
1. Usia
Ambliopia
2. Jenis kelamin
3. Klasifikasi
4. Riwayat
keluarga

Keterangan :

: Variabel Independent

: Variabel Dependent

33
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif

dengan desain cross sectional yang menggambarkan karakteristik

penderita ambliopia di Rumah Sakit Mata Banta-bantaeng (Balai

Kesehatan Mata Masyarakat) berdasarkan data sekunder yang tercatat

dalam rekam medik.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yaitu di RS Banta-Bantaeng Kota Makassar dan


penelitian akan dilakukan pada bulan April 2019.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua rekam medik penderita

ambliopia di Rumah Sakit Mata Banta-bantaeng (Balai Kesehatan

Mata Masyarakat).

34
3.3.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah rekam medik penderita ambliopia di

Rumah Sakit Mata Banta-bantaeng (Balai Kesehatan Mata Masyarakat)

Kota Makassar periode 2016-2017.

3.3.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini


adalah total sampling di mana semua populasi terjangkau yang memenuhi
kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi yang akan diambil
menjadi sampel.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eklusi

3.4.1 Kriteria Inklusi

a. Penderita ambliopia yang ada di Rumah Sakit Mata Banta-

bantaeng (Balai Kesehatan Mata Masyarakat) Makassar periode

2016-2017.

b. Memiliki data rekam medik yang memenuhi kriteria objektif variabel

yang di teliti.

3.4.2 Kriteria Eksklusi

Responden dalam penelitian ini akan dikeluarkan dari penelitian


apabila:

35
a. Rekam medik yang tidak memiliki data yang lengkap.

3.5 Definisi Operasional

3.5.1 Ambliopia

a. Definisi : Data ambliopia diperoleh dari hasil pemeriksaan koreksi


visus oleh dokter spesialis mata.

b. Alat ukur : Kartu snellen dan pemeriksaan visus oleh dokter spesialis
mata

c. Hasil ukur :

(+) Bila terdiagnosis ambliopia

(-) Bila tidak terdiagnosis ambliopia

3.5.2 Karakteristik Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah status gender pasien sesuai yang tercantum di

dalam rekam medk.

Kriteria objektif :

a. laki-laki

b. perempuan

36
3.5.3 Karakteristik Riwayat Keluarga

Kejadian amblioia pada anak dapat meningkat dengan adanya riwayat

keluarga menderita anisometropia, isoametropia, strabismus, ambliopia,

atau katarak kongenital.

Kriteria objektif :

a. Ada

b. tidak ada.

3.5.4 Karakteristik Klasifikasi Ambliopia

1. Ambliopia strabismik

2. Ambliopia Anisometropia

3. Ambliopia Isometropia

4. Ambliopia Deprivasi

3.5.5 Klasifikasi Umur

Umur adalah lamanya hidup seseorang sejak dilahirkan hingga saat

penelitian berlangsung, yang diukur dengan satuan tahun.

Kriteria objektif berdasarkan teori umum penderita ambliopia :

a. usia > 8 tahun

b. usia < 6 tahun

37
3.6 Variabel Penelitian

1. Variabel bebas/dependen : Penyakit Ambliopia


2. Variabel terikat/independen : Penderita penyakit ambliopia

38
3.7 Alur Penelitian

Menyusun proposal Penderita


Ambliopia di Rumah Sakit Mata Banta-
bantaeng (Balai Kesehatan Mata
Masyarakat) Kota Makassar tahun
2016-2017

Melakukan koordinasi dengan lokasi


penelitian berupa izin penelitian, waktu
penelitian dan administrasi

Memilih populasi penelitian,


menentukan jumlah sampel
berdasarkan kriteria inklusi dan eklusi

Memperoleh data dari rekam medik


tahun 2016-2017

Malakukan pengolahan data yang


diperoleh menggunakan Ms. Excel
2013 atau SPSS

Melakukan analisis data dan


membandingkan dengan teori yang
didapat

39
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan Republik indonesia,Direktorat Pendidikan


Luar Biasa.2012.” Kebijakan pelayanan kesehatan untuk low
vision”. Available from URL:http://www.ditpbl.or.id/profile.php?id=4.
(Diakses 12 Juni 2018)
2. Rahi JS & Dezateux C. 2014. “Improving the detection of childhood
visual problem and eye disorder”.Page 1083-1084
3. Paysse EA. 2014-2015. Pediatric Opthalmology and Strabismus.
American Academy of Opthalmology. ”Basic and Clinical Science
Course” section 10.Chapter 4,Amblyopia The Eye
M.D.Association;p. 33-40
4. Ackland, P. (2012 ). “The accomplishments of the global initiative
VISION 2020: The Right to Sight and the focus for the next 8 years
of the campaign”. Indian Journal of Opthalmology, 60(5) 380-386.
5. American Academy of Opthalmology. 2011-2012. ”Basic and
Clinical Sciences Course Section 3”. Clinical Optics. 142-143
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013 .”Riset
Kesehatan Dasar”. Diterima dari Kementerian Kesehatan RI:
Jakarta.
7. Oppenhelmer, S.B. 2013. “Introduction to Embryonic Developmen”.
Allyn and Bacon Inc. Boston. London.
8. Ilyas, S. 2010. “Ilmu Penyakit Mata”. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 64-83.
9. Sloane, A.E, 2011, Manual of Refraction, USA: Brown and
Company, pp 39-47
10. Voughan D. 2010. “Oftalmologi Umum”. Edisi 17. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
11. Ciufrfreda, K.J;Levi,D.M; Selenow, A.2009. “Amblyopia Basic and
Clinical Aspects”. Butterworth Heinemann.

40
12. American Academy of Opthtalmology. 2015. “Pediatric
Ophtalmology; Chapter 5 : Amblyopia; Section 6”. Basic and
Clinical Science Course. Page 63.
13. Yen,K.G.2016.“Amblyopia”.Available:http://www.eyesite.ca/english/
public-information/eye-condition. (Diakses Maret 25, 2018).
14. Barry Lawren. “Treat Lazy Eye” in early childhood. Available at:
http://www.eyesite.ca/english/public-information/eye-condition
/pdfs/amblyopia.pdf#/search=’amblyopia’. Diakses September
01,2018).
15. Greenwald, M.J.Parks,M.M.2014. “Duane’s Clinical Ophtalmology;
Volume 1”. Revised Edition; Lippincott Williams & Wilkins;Chapter
10 – page 1-19; Chapter 11 page 1-8.
16. Noorden,G.K.V. 2009. “Atlas Strabismus”; Edisi 4; EGC; Jakarta;
page 78-93.
17. American academy of Opthalmology. 2011. “Pediatric
Ophtalmology”. Chapter 5: Amblyopia. Section 6. Basic and Clinical
Science Course. P. 63-70.
18. Harrad RA, Graham CM, Collin JRO. 2010. Amblyopia and
strabismus in congenital ptosis eye page 625.
19. Ilyas S. 2006. Penuntun Ilmu Penyakit Mata Edisi ke 3. Jakarta: FK
UI.
20. Hoyt CS, Jastrebski GB, Marg E. 2012. Amblyopia and congenital
esotropia: visually evoked potential measurements. Arch
Ophthalmol; 102:58-61.

41

Anda mungkin juga menyukai