Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PERKEMBANGAN VISUS PADA ANAK

2.3. Perkembangan Dimensi Bola mata


Mata secara normal mengalami perkembangan anatomi dan fisiologi mulai dari masa
embriologi hingga masa kanak-kanak. Sebagian besar pertumbuhan bola mata terjadi
pada tahun pertama kehidupan. Perubahan panjang aksial bola mata terjadi dalam tiga
fase. Fase pertama terjadi pada enam bulan pertama kehidupan dimana panjang aksial
bola mata bertambah hingga sekitar 4 mm. Selama fase kedua (usia 2-5 tahun) dan
fase ketiga (usia 5-13 tahun), pertumbuhan melambat, sekitar 1 mm untuk masingmasing fase.

Kornea juga mengalami pertumbuhan cepat pada beberapa bulan pertama


kehidupan. Perubahan nilai pada keratometri pada tahun 1 adalah 52 D saat lahir,
mulai mendatar menjadi 46 D pada 6 bulan, dan mencapai kekuatan 42-44D saat usia
12 tahun dan menetap hingga dewasa. Diameter horizontal kornea pada bayi baru
lahir adalah sekitar 9.5-10.5, dan meningkat hingga 12 mm pada dewasa dimana
sebagian besar terjadi pada tahun pertama kehidupan.
Kekuatan lensa berkurang secara drastis pada beberapa tahun pertama
kehidupan, hal ini menjadi faktor penting sebagai pertimbangan pemasangan lensa
intraokular (IOL) pada anak post operasi ekstraksi katarak. Kekuatan refraksi mata
berubah sejalan dengan pertambahan panjang aksial bola mata, kornea dan lensa yang

semakin mendatar (berkurang kecembungannya). Ketika lahir, mata neonatus lebih


hiperopia dan sedikit meningkat hingga usia 7 tahun, kemudian akan mengalami
pergeseran ke myopia hingga mencapai ukuran bolamata dewasa, biasanya dicapai
pada usia 16 tahun.Perubahan refraksi dapat bervariasi secara luas, tapi apabila
myopia timbul sebelum umur 10 tahun, maka resiko myopia progresif atau myopia >
6 D akan lebih tinggi. Pada bayi baru lahir astigmat oblik biasa sering dijumpai dan
biasanya dapat menghilang. Istilah emetropisasi mengacu pada proses perkembangan
bola mata dimana kekuatan refraksi segmen anterior dan panjang aksial bola mata
mencapai kondisi yang emetrop. Hilangnya astigmat dan hiperopia pada anak setelah
usia 6-8 tahun merupakan proses emetropisasi.

2.1 Refractive Developmentand Emmetropization


Human infants are typically hyperopic at birth, with
an average axial length of almost 17 mm, corneal
power of 5055 diopters, and crystalline lens power
of 34 diopters; however, the range of resulting refractive
error in the infant eye is significant, typically
ranging from low myopic to moderate hyperopic errors,
with or without astigmatism. The majority of
ocular growth occurs during the first 1824 months
of life, manifested by both corneal flattening and
axial elongation, and resulting in a shift from hyperopia
toward emmetropia. Emmetropization continues
after 2 years of age, albeit at a slower pace, such that
most eyes are nearly emmetropic by 68 years of age.
In some children, emmetropization fails and results
in significant hyperopia, while in others emmetropia
is overshot and myopia is the result.
It appears that emmetropization is guided by genetics
but is modified by environmental influences.
Support for genetically guided processes comes from
fraternal and identical twin cohort studies, as well
as from differences in refractive errors observed in
prevalence studies of pediatric populations in different
countries. Direct comparison of these prevalence
studies is complicated by differences in methodology
and definitions, but still, general patterns have
emerged. It appears that there is a bias toward myopia
in eastern Asian populations, particularly among
the urban Chinese (as high as 75% in some studies).

In comparison, Chilean children have an increased


prevalence (14.5%) of significant hyperopia. Austra lian
children of Caucasian origin also seem to have
an increased prevalence of hyperopia, though not as
dramatic as demonstrated in the Chilean study. In addition
to hyperopia or myopia, certain populations
seem to have an increased prevalence of astigmatism
significant enough to cause ametropic amblyopia [1].
Genetic biases are further supported by studies that
demonstrate a predictive effect of parental myopia
upon the development of myopia in their offspring.
The COMET study reported that children who developed
high myopia during 7 years of post-study followup were younger and had more myopia at baseline.
Children who developed high myopia were also
more likely to have two myopic parents [2].
Studies of environmental influences on the devel opment
of refractive errors have primarily focused on
the development of myopia, and some of the potential
aggravating factors identified include sustained near
work, accommodative variability, accommodative
lag, and decreased time spent outdoors [3]. Urban
environment [4] and increased night-time ambient
lighting [5] may also have an effect on the development
of myopia. In one recent report [6], parental
cigarette smoking was associated with less prevalent
myopia and a more hyperopic mean refraction with
both prenatal and childhood exposure to tobacco
smoke. Thus, the eventual refractive state of the
eye depends upon both genetic and environmental
influences. In addition, certain ocular and systemic
disorders are commonly associated with ametropia
(Table 2.1).

2.2.2 Akomodasi pada Anak


Akomodasi muncul saat lahir tetapi belum akurat hingga usia 4 bulan. Pada

mata anak anak, sudah sewajarnya bahwa objek yang dekat bisa difokuskan ke
retina dengan akomodasi. Pasien anak - anak jarang dicurigai mengalami disfungsi
akomodasi, walaupun kemungkinan karena dokter mata jarang memikirkan untuk
menilai akomodasi pada pasien anak. Kebanyakan dokter mata menilai amplitude
akomodasi dengan metode gradient tradisional (lensa minus) atau stimulus (titik
dekat) dan membatasi uji tersebut kepada dewasa dan anak dengan usia lebih tua.
Semakin diketahui bahwa anak anak tertentu dengan resiko insufisiensi
akomodasi; lebih dari setengah anak dengan trisomi 21 dan serebral palsi mengalami

insufisiensi akomodasi. Anak anak yang mengkonsumsi baclofen untuk kandung


kemih dan spastic musculoskeletal juga bisa mengalami masalah yang serupa, dan
insufisiensi akomodasi farmakologik serung diikuti dengan midriasis. Obat obatan
lainnya juga bisa mengakibatkan insufisiensi akomodatif. Insufisiensi akomodasi
monocular juga bisa ditemukan pada beberapa mata dengan ambliopia dan
membutuhkan suatu tambahan untuk membantu pengobatan ambliopia tersebut.
Untungnya, akomodasi bisa dinilai secara cepat dan mudah pada kebanyakan anak
anak dengan menggunakan retinoskopi dinamis, yang akan dibahas nanti.
Ketika lahir, makula belum berkembang sempurna, namun perubahan cepat
terjadi hingga umur 4 tahun. Perubahan yang terjadi adalah pigmentasi di makula,
refleks fovea dan diferensiasi dari fotoreseptor. Peningkatan visus terjadi seiring
dengan perkembangan. Prosesnya terjadi dalam tiga tahap, yakni diferensiasi dari sel
kerucut, pengurangan diameter zona bebas sel batang dan peningkatan densitas sel
kerucut di fovea. Vaskularisasi retina terus berjalan mulai dari nervus optikus dan
berakhir di temporal ora serata pada usia kehamilan 40 minggu.
Secara sistematis, perkembangan visus pada anak dapat dibagi berdasarkan
umur.

1. Bayi Baru Lahir

BBL sudah dapat melihat,tapi untuk penglihatan jarak kurang dari 8 inci (20
cm) atau lebih jauh dari 18 inci (45 cm) penglihatan akan kabur dan tidak fokus. Pada
tahap ini bayi lebih mudah melihat wajah manusia dan objek yang terang seperti pola
hitam putih dan warna warna yang cerah.
BBL tidak dapat melihat secara detail. Diperkirakan bahwa visus pada 75%
BBL mencapai 20/300. Koordinasi mata pada BBL masih lemah dan belum bisa
memfiksasi sebuah objek pada kedua mata. BBL kurang dapat melihat pada malam

hari, ini disebabkan karena lensa lebih cembung dibanding lensa dewasa, selain itu
BBL belum memiliki cukup pigmen dalam fotoreseptor.
2. 3 8 minggu.
Pada tahap ini penglihatan mulai memperhatikanobjek yang bergerak terutama
yang berwarna cerah. Penglihatan binokuler mulai berkembang dan juga koordinasi
kedua mata mulai meningkat.
3. 2 3 Bulan
Mulai mengenal detail seperti pengenalan wajah dan mata.
4. 3 4 Bulan
Pada tahap ini mata mulai dapat melakukan akomodasi karena lensa mulai mendatar
dan otot siliaris mulai menguat. Penglihatan binokuler menjadi lebih baik, dan telah
dapat memfiksasi objek dengan kedua mata secara bersamaan. Selain itu bayi juga
telah dapat menggabungkan informasi visual dengan indera lainnya seperti suara dan
sentuhan.Mereka mulai menggengam benda yang mereka lihat dan melihat ke arah
suara yang mereka dengar. Pada tahap ini makula telah mulai matur.
5. 5 7 Bulan
Di usia ini koordinasi mata dan tangan mulai berkembang. Biasanya bayi telah
mampu untuk mempertahankan fiksasi mata pada benda yang diam untuk beberapa
detik. Visus pada usia 6 bulan telah mencapai 50/200 dan terus berkembang seiring
dengan perkembangan makula di retina. Pada tahap ini penglihatan malam mulai
sensitif sudah seperti penglihatan pada orang dewasa.
6. 8 9 Bulan
Usia 8 bulan makula telah matang dan penglihatan mulai jernih. Bayi juga mulai
menggunakan jari untuk menunjuk benda yang ada di lapangan penglihatan mereka.
7. 1 tahun

Pada usia 1 tahun visus telah mencapai 20/100. Fusi pada kedua mata juga telah
berkembang baik, tapi reflek tersebut masih mudah diganggu. Pada usia ini bayi
sudah dapat membedakan bentuk seperti kotak, bulat, dll.
8. 2 tahun
Visus balita usia 2 tahun telah mencapai visus 20/40. Balita usia ini sangat tetarik
dengan benda benda kecil.
9. 3 tahun
Visus

balita

tahun

rata

rata

20/300.

Kedua

mata

telah

mampu

mengkonvergensikan lensa ketika melihat dekat.


10. 4 tahun
Visus telah mampu mencapai 20/20. Pada usia ini, balita telah siap untuk membaca.
11. 5 tahun
Pada usia 5 tahun telah memiliki penglihatan yang berkembang sempurna.
12. 6 tahun
Pada usia ini penglihatan sentral telah sempurna. Visus normalnya 20/20. Anak ini
dapat memperhatikan banyak aktivitas di sekitarnya selama +_ 20 menit.
13. 8 tahun
Pada usia ini ukuran bola mata telah mencapai ukuran dewasa.
PEMERIKSAAN
Uji penglihatan pada bayi dan anak anak telah dilakukan terpisah dari uji dewasa
karena bayi dan anak sering tidak bisa diuji dengan materi dan teknik yang sama
dengan dewasa. Sebagai tambahan, course perkembangan kognitif dan visual harus
dipertimbangkan dalam mengevaluasi kemampuan penglihatan bayi dan anak, dan

teknik khusus sering harus digunakan, terutama untuk menguji bayi dan anak anak
usia pra sekolah, yang tidak bisa menggunakan standar yang sama dengan dewasa.
Bayi
Kesulitan utama dalam penilaian penglihatan bayi adalah mereka tidak bisa diuji
dengan peralatan standar yang digunakan oleh dewasa. Kesulitan kedua bahwa
penelitian telah menunjukkan bahwa bahkan penglihatan pada bayi normal sangat
inferior dibandingkan dengan dewasa normal. Sehingga, sandar dewasa tidak cocok
digunakan untuk bayi. Kesulitan ketiga dalam menentukan status visual bayi adalah
penglihatan mereka tidak statis; secara umum akan berkembang dengan cepat selama
tahun pertama setelah kelahiran. Pada bayi normal dan beresiko gangguan
penglihatan, waktu course perkembangan terukur pada penglihatan bergantung
kepada teknik penilaian yang digunakan dan aspek penglihatan yang dinilai.
Akhirnya, asesmen penglihatan pada bayi dilengkapi dengan fakta bahwa bukti
penglihatan normal dan abnormal pada satu usia tidak dapat memprediksi status
visual di usia selanjutnya. Oleh karena itu, perkembangan visual selama masa bayi
dapat dipengaruhi oleh factor lingkungan eksternal atau internal.
Karena system visual bayi belum matur dan kedinamisan perkembangan mata selama
bulan bulan pertama setelah kelahiran, program apapun untuk menilai status visual
bayi harus mengingat dua hal penting. Pertama, hasil penilaian visual harus
dibandingkan dengan dara normative dari bayi dengan usia yang sama, diuji dengan
menggunakan perangkat penilaian yang sama. Membandingkan hasil normal
berdasarkan data dewasa atau anak anak usial yang lebih tua atau dengan bayi yang
diuji dengan prosedur berbeda dapat menyebabkan kesalahan diagnosis gangguan
penglihatan. Kedua, hasil penilaian penglihatan yang dilakukan selama bayi tidak
pasti memprediksi status visual di kemudian hari. Seorang bayi dengan penglihatan
yang tampak normal pada kehidupan awalnya bisa saja kemudian menunjukkan
gangguan penglihatan jika system penglihatannya gagal untuk berkembang yang
biasanya terjadi antara masa bayi dan dewasa. Sama halnya, beberapa bayi yang

tampak mengalami gangguan pada kehidupan awal kemudian menunjukkan respon


normal setelah beberapa minggu atau bulan kemudian.
Usia Pra sekolah
Antara masa bayi, dimana terhitung setelah usia1 tahun, dan seorang anak memasukin
sekolah usia 5 hingga 6 tahun, ini merupakan periode dimana anak menunjukkan
perkembangan yang signifikan, pada kemampuan penglihatan dan kognitif. Hasilnya,
peralatan yang bisa digunakan untuk menillai penglihatan pada anak usia pra sejilah
bervariasi, tergantung pada usia dan kemampuan kognitif. Pada balita, biasanya
dibutuhkan untuk menggunakan peralatan serupa dengan yang digunakan pada bayi,
tetapi diadaptasi dengan sifat balita yang memiliki perhatian dalam waktu singkat.
Kebalikannya, anak anak pra sekolah yang paling tua bisa diuji dengan peralatan
ang serupa atau identik dengan alat dewasa.
Seperti pada bayi, perubahan status visual dan kognitif pada anak muda menyebabkan
pentingnya hasil asesmen visual anak anak pra sekolah dibandingkan terhadap hasil
anak anak normal dengan usia yang sama dan menggunakan teknik uji yang sama.
Hal ini dikeahui oleh peraturan Social Security Administration seperti yang
dinyatakan di atas. Membandingkan status vsual dengan berdasarkan usia dan
instrument penting untuk anak pra sekolah yang lebih tua serta untuk balita, karena
bahkan pada anak anak ini, yang dapat menyelesaikan asesmen visual untuk
dewasa, biasanya menunjukkan hasil yan normal di bawah dewasa tertentus
Anak Usia Sekolah
Secara umum, anak anak dengan kecerdasan normal yang telah berusia 5 6 tahun
dapat diuji dengan prosedur yang sama dengan yang digunakan untuk menilai
penglihatan dewasa. Akan tetapi, hasilnya biasanya lebih rendah dibandingkan
dewasa, sehingga penting untuk membandingkan hasil pada anak anak usia sekolah
dengan data anak anak normal dengan usia yang sama. Sebagai tambahan, lebih
baik menguji anak anak usia sekolah yang paling muda untuk menggunakan

prosedur yang sudah dimodifikasi sehingga anak anak bisa merespon terhadap sikap
non-verbal.
Penilaian pada bayi
Fiksasi dan following
Pada kebanyakan praktek klinis, dokter mata menilai penglihatan bayi secara
kualitatif, berdasaran pada kemampuan menunjukkan fiksasi yang stabil pada suatu
target dan mengikuti target melalui pergerakan yang halus. Namun, kemampuan
untuk fiksasi dan mengikuti tidak selalu mengindikasikan ketajaman penglihatan
yang normal, karena banyak anak anak lainnya yang lebih tua dengan ketajaman
penglihatan 20/200 atau lebih buruk namun dapat memfiksasi dan mengikuti dengan
baik (Day,1990). Sama halnya, kegagalan untuk menunjukkan fiksasi normal dan
megikuti target langsung setelah kelahiran juga tidak selalu prediktif terhadap deficit
penglihatan di kemudian hari tetapi dapat menjadi indicator sederhana untuk maturasi
penglihatan yang terlambat (Fielder et al.,1985; Illingworth, 1961).
Visual Evoked Potensial
Visual Evoked Potensial (VEP, atau disebut juga visual evoked response atau VER)
merupakan suatu sinyal elektrik yang diperoleh dari oksipital korteks otak dalam
merespin stimulasi penglihatan. Hal ini tercatat melalui satu atau lebih electrode yang
ditempatkan pada scalp di atas korteks visual. Ketajaman penglihtatan dapat
diperkirakan dengan merekam respon VEP pada stimuli yang terpola, seperti fasealternatif, grating hitam putih, dimana keseluruan luminans target akan konstan
tetapi konfigurasi spasial pada pola akan berubah. Saat ukuran elemen pola
berkurang, amplitude VEP menurun, dengan hasil bahwa ketajaman visual dapat
diperkirakan saat grating terhalus atau terkecil yang menghasilkan VEP yang bisa
diukur. Data normative tersedia untuk ketajaman VEP pada bayi baru lahir hingga
usia 1 tahun (McCulloch et al., 1999; Norcia & Tyler,1985). Akan tetapi, penggunaan
VEP untuk pengukuran ketajaman penglihatan bayi telah terbatas pada sejumlah kecil

praktik klinis, yang disebabkan oleh mahalnya peralatan dan ekspertise teknik yang
dibutuhkan untuk melakukan tes tersebut.
Keuntungan menggunakan pola VEP untuk menilai ketajaman penglihatan
pada bayi :(1) pengukuran dapat dilakukan secara cepat dalam kurun waktu dimana
kebanyakan bayi masih kooperatif dan akan merespon stimuklus;(2) prosedur hanya
membutuhkan respon bayi yang minimal;(3) VEP dapat menjadi indicator yang baik
untuk fungsi macular, karena diperoleh dari area korteks visual yang menerima inpot
dari region macular; dan (4) data distribusi hasil penglihatan bayi normal pada usia
yang berbeda tersedia, sehingga memungkinkan untuk menginterpretasi skor
ketajaman penglihatan bayi dalam bentuk angka standar deviasi di bawah normal,
seperti yang terdapat pada regulasi SSA.
Terdapat beberapa keterbatasan pada pola VEP untuk menilai ketajaman penglihatan
pada bayi: (1) mahalnya peralatan uji dan tidak tersedia secara luas; (2) ekspertise
teknik dibutuhkan untuk melakukan prosedur dan menginterpretasikan respon; (3)
akan sulit untuk mendapatkan respon yang bisa diukur dari bayi dengan abnormalitas
okulomotorik seperti nistagmus dan abnormalitas neuromotor seperti serebral palsi;
yang dapat menyebabkan artifak otot yang mempertahankan sinyal penglihatan; dan
(4) bayi usia lebih dari 9 bulan akan menolak dipasangkan elektroda.

Forced-Choice Preferential Looking (FPL)


Dasar dari prosedur FPL adalah bayi diminta untuk menunjukkan fiksasi pilihan
suatu stimulus berpola sebagai perbandingan terhadap suatu lapangan homogen.
Sehingga, ketajaman penglihatan dapat diukur dengan mengobservasi respon
pergerakan mata bayi terhadap garis garis putih hitam yang dipasangkan dengan
stimulus abu abu yang serasi dengan ruang luminans grating.
Prosedur yang secara komersial tersedia dan digunakan secara luas untuk
mengukur ketajaman visual pada bayi adalah menggunakan kartu. Pada prosedur
ini, penguji menunjukkan bayi serangkaian kartu abu abu, masing masing
terdiri dari jeruji hitam dan putih pada kiri atau kanan pada lubang intip di tengah.
Sebelum uji, kartu kartu disusun pada suatu tumpukan, menghadap ke bawah,
diproses dari kisi yang tebal ke yang lebih halus. Penguji menunjukan setiap kartu

ke bayi beberapa kali, biasanya memutar kartu 180 untuk mengubah posisi kiri
kanan dari presentasi satu ke yang lain. Penguji yang tidak tahu lokasi kisi tiap kartu
melihat respon bayi melalui lubang intip dan memutuskan, berdasarkan pergerakan
mata bayi dan sikap melihat sebagai respon untuk kartu yang muncul berulang,
apakah bayi bisa menentukan lokasi kisi. Setelah itu, penguji akan melihat kartu
untuk mengkonfirmasi lokasi kisi. Ketajaman penglihatan bayi dinilai dari jeruji
paling halus yang dapat dilihatnya. Data normatd telah ditunjukkan untuk prosedur
ini untuk uji binokular dan monokular pada bayi baru lahir hingga 1 tahun serta anak
anak usia 3 hingga 4 tahun. Keuntungan prosedur ini adalah : (1) pengukuran bisa
dilakukan dengan cepat, (2) prosedur ini memudahkan penguji untuk berinteraksi
dengan bayi secara visual antara presentasi kartu yang membantu mempertahankan
ketertarikan bayi dalam prosedur pengujian;(3) prosedur dilakukan berdasarkan
pergerakan alami mata bti sebagai respon terhadap stimulus; (4) prosedur dapat
dilakukan dengan mudah; (5) biaya rendah; (6) prosedur dapat dilakukan dengan bayi
pada semua usia; (7) dengan modifikasi posisi kartu, prosedur dapat dilakukan untuk
menguji bayi engan gangguan okulomotorik seperti nistagmus dan (8) data tersedia
dengan distribusi hasil penglihatan bayi normal pada usia berbeda, sehingga
memungkinkan untuk menginterpretasi tajam penglihatan sesuai standar deviasi di
bawah normal seperti yang terdapat pada regulasi SSA.

Assessment in Preschool-Age Children


While it is difficult to test children under 5 years of age with adult
letter visual acuity charts, such as the ETDRS charts (Ferris et al.,
1982), tests have been developed that are more child friendly yet
meet many of the requirements set forth by the Committee on Vision
(National Research Council, 1980) for assessment of visual acuity in
adults. A recent report from the Maternal and Child Health Bureau/
National Eye Institute-sponsored task force on preschool vision
screening (Hartmann et al., 2000) illustrates three of these tests: the
HOTV letter chart, the Lea symbols chart (which uses four symbols:
house, heart, square, and circle), and the tumbling E chart.
In the illustrations shown in the task force report, each of the charts
contains lines of five letters or symbols each, with the distances
between symbols and between lines spaced in logarithmic steps,
similar to the ETDRS charts. An advantage of both the HOTV and Lea
symbols charts is that they use left-right symmetric optotypes, which
overcome the young childs difficulty with horizontal laterality
(Graham et al., 1960; Rudel & Teuber, 1963; Wohlwill, 1960). In
addition, a near visual acuity version of the Lea symbols chart is
available, which permits assessment of visual acuity at 40 cm.
Two other tests that use left-right symmetric letters, with a logMAR progression in
letter size, are the Glasgow acuity cards (McGraw &
Winn, 1993) and the BVAT (Mentor, Inc.) crowded HOTV test. Each

Glasgow acuity card contains four of six letters (X, V, O, H, U, and Y),
with the four letters surrounded by a crowding bar. In the BVAT
crowded HOTV test, single letters (H, O, T, and V) are presented
surrounded by crowding bars, with logarithmic steps between letter
size presentations. The crowding bars surrounding the single letters in
the HOTV test help to prevent the overestimation of visual acuity that occurs in
certain types of visual abnormality, such as amblyopia, when
acuity is tested with single letters (Flom, 1991).
Another advantage of the HOTV and Lea symbols tests, as well as the
Glasgow acuity cards, is that a lap card is available for each test, so
that the child who is reluctant to identify the letters or symbols
verbally can identify the symbols by pointing to them on the lap card.
This same strategy can be used with neurodevelopmentally delayed
older children and adults whose cognitive or literacy skills prevent
them from being tested with standard adult letter acuity charts.
Success rates for 3- and 4-year-old children have been reported to be
poor for the tumbling E test (Friendly, 1978), higher for the HOTV
chart (Friendly, 1978; Hered et al., 1997), and highest for the Lea
symbols charts (Hered et al., 1997). Unfortunately, however, largescale normative data are not available for preschool-age children
tested with any of these logMAR tests, although published screening
recommendations state that children in this age range should be able
to identify optotypes on the 20/40 line (American Academy of
Pediatrics Committee on Practice and Ambulatory Medicine, Section
on Ophthalmology, 1996; Hartmann et al., 2000). Success rates for assessment of
recognition acuity in children less than
3 years of age are very low (McDonald, 1986), due to the inability of
young children to identify or match letters or symbols. In addition, it
is difficult to get children in this age range to sit still and cooperate for
electrophysiological (VEP) measurement of resolution (grating) acuity.
The only quantitative methods that have been used successfully for
assessing visual acuity in substantial numbers of children between
1 and 2 years of age are rapidly conducted forced-choice preferential
looking measures of resolution (grating) acuity, such as the Teller
acuity card procedure (McDonald et al., 1986). Normative data for
children between 1 and 4 years of age have been published by several
groups (Heersema & van Hof-van Duin, 1990; Courage & Adams,
1990; Mayer et al., 1995; Salomo & Ventura, 1995), making it
possible to interpret a childs visual acuity score in terms of number of
standard deviations below normal, as suggested in the current SSA
regulations.

Assessment in School-Age Children


As discussed in Chapter 2, the standard method of visual acuity

assessment in adults is a logMAR chart, such as the Bailey-Lovie chart


(Bailey & Lovie, 1976) and the Early Treatment for Diabetic Retinopathy
Study (ETDRS) charts (Ferris et al., 1982). These tests have also been
used successfully in studies of school-age children.
In a study of 106 10-year-old children with no ocular abnormalities
who were tested with ETDRS charts, Myers et al. (1999) reported a
mean monocular distance visual acuity of 0.009 logMAR (20/19.6) in
the right eye and 0.004 (20/19.8) in the left eye, with a standard
deviation of approximately one logMAR line (0.082 and 0.090 log unit
for the right and left eyes, respectively). In a study of younger children
(n = 31, 5.5 to 7 years of age) with no ocular or cerebral pathology
who were tested with the Bailey-Lovie chart, Dowdeswell et al. (1995)
reported a mean monocular acuity of 0.10 logMAR (20/25.2), with a
standard deviation of 0.08 log unit.
The multicenter CRYO-ROP study reported successful use of ETDRS
charts in a group of over 200 5.5- to 6-year-old very low birthweight
children (mean birthweight, 800 g, SD 165; mean gestational age
26.3 weeks, SD 1.8), who were at risk for visual deficits due to severe
retinopathy of prematurity (Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity
Cooperative Group, 1996). After excluding 56 cryotherapy-treated
eyes and 85 control eyes judged to have no quantifiable pattern
vision, an ETDRS acuity score was obtained for 116/177 (65.5 percent)
of treated eyes and 90/145 (62.1 percent) of control eyes in this group
of very premature children, many of whom had significant
developmental delay (Msall et al., 2000). At age 10 years, ETDRS
monocular distance acuity scores were obtained for 144 (91.7 percent)
of 157 treated eyes and 106 (90.6 percent) of 117 control eyes that
were sighted (Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity Cooperative
Group, 2001c).
Dowdeswell et al. (1995) also used a logMAR (Bailey-Lovie) chart to
measure distance visual acuity in young, school-age children (5.5 to
7 years) who were born prior to term (<32 weeks gestation).
Monocular acuity results were successfully obtained in 65 (95.6 percent)
of the sample of 68 children.
For near acuity, versions of both the Bailey-Lovie and ETDRS charts are
available for assessment. Myers et al. (1999), who tested 106 healthy,
full-term 10-year-old children with the near ETDRS charts, reported a
mean monocular near visual acuity of 0.011 logMAR (20/19.5) in the
right eye and 0.018 (20/19.2) in the left eye, with a standard deviation
of approximately one logMAR line (0.10 and 0.11 log unit for the
right and left eyes, respectively). In their study of 5.5- to 7-year-old
healthy children tested with the near Bailey-Lovie chart, Dowdeswell

et al. (1995) reported a mean monocular near acuity of 0.045 logMAR


(20/18), with a standard deviation of 0.12 log unit.
Dowdeswell et al. (1995) reported that out of their group of 68 children
5.5 to 7 years of age who were born more than 8 weeks prior to term,
59 (86.8 percent) were able to complete near acuity testing of each eye.
Among very low birthweight children with severe retinopathy of
prematurity who were tested at age 10 years in the CRYO-ROP study,
ETDRS monocular near acuity scores were obtained in 144 (91.7 percent)
of 157 treated eyes and 105 (90.5 percent) of 116 control eyes that
were sighted (Cryotherapy for Retinopathy of Prematurity Cooperative
Group, 2001c).

VISUAL ACUITY DEVELOPMENT


There are at least two types of visual acuity, recognition
acuity and resolution acuity.9 Recognition acuity relates to the detail in the smallest letter, number or
other shape that can be recognised and resolution acuity is the smallest
separation between dots or between bars in a grating that
can be resolved. The data available on either resolution or
recognition acuity in children are minimal. There are two
main methods that can be used to measure the visual acuity
in children; 1. Psychophysical/ behavioural methods, which
require some response from the child and 2. Objective
methods, such as patternVEP (pVEP).

INTROOO
In illiterate individuals or children unable to read letters,
acuity can be tested with tumbling Es8 (Fig. 24), Allen or
Lea figures9,10 (Fig. 25A), or HOTV letters11 (Fig. 25B,C).
In younger preverbal patients, assessment of fixing on and
following a light or toy by each eye separately in most
instances is sufficient. Caution should be applied when
examining small infants, since visual fixation normally may
be inconsistent or absent until 816 weeks of age.12 When
quantification of visual acuities is required in very young
children (for serial examinations, for instance), preferential
looking tests (Teller acuities13,14) may be used (Fig. 26).
These tests are based on the principle that a child would
rather look at objects with a pattern stimulus (alternating
black and white lines of specific widths) than at a homogeneous
field. The frequency of the smallest pattern that
the child seems to prefer is termed the grating acuity,
which can be converted to Snellen equivalents. Visual acuity
in a newborn is roughly 20/400 to 20/600, improves to approximately 20/60 by 12 months of age, and then
reaches

the 20/20 level by 35 years of age. (buku no diagnosis and management)

Vision assessment
Vision can be assessed no matter the age or cognitive ability of the patient if an
age-appropriate or cognitive-appropriate test is used. There are many parameters of
vision, such as visual acuity, color vision, contrast sensitivity, peripheral vision,
night (scotopic) vision, light (photopic) vision, and motion detection, but in general
the pediatricians assessment is limited to light responses, fixation responses, and
visual acuity, depending on the age and cognitive ability of the patient.
From a premature infant of 28 weeks postconceptual age, to a term infant up
to 4 weeks of age, vision assessment will be limited to a uniocular reaction to
light, either withdrawal, blinking, or pupil constriction. At 4 to 6 weeks of age, a
term infant will develop central fixation, followed within a few weeks by visual
following. Thus, in children from 4 weeks of age to approximately 2.5 years of
age, or in nonverbal older children, the pediatrician must assess the quality of
visual fixation, one eye at a time. Common notations for this assessment include
fix and follow (F & F), or central, steady, and maintained (CSM) fixation. The
visual fixation pattern must be judged as to age-appropriateness, a process
learned from the experience of examining many children in this age range.
For instance, a normal 6-week-old will look at a face or light for just a few
seconds before shifting focus. One-year-olds will consistently gaze at an
interesting object, attentively follow the object as it is moved into peripheral
gaze, and reach for the object. Thus, some notation as to the quality of the
fixation should be recorded in the medical chart, addressing the age-appropriateness
of the childs fixation.
At about 2.5 years of age, most normally developing children will cooperate for
visual acuity testing, provided an age-appropriate test is utilized. Figure 1 reviews
some of the visual acuity tests that are commercially available. In general, the most
sophisticated test that the child is capable of performing should be used. Picture
cards can be used with the typical 2.5- to 3-year-old. Three-year-old children (or the
older child too shy to talk) can play the matching game HOTV, commercially
available from optical equipment distributors. For children who are 4 years old, try
the tumbling C or E game. The childs ability to advance to Snellen numbers or
letters depends on the educational milieu within the home, but most developmentally
normal children should be ready at 5 to 6 years of age. The visual acuity tests
are best administered with a wall chart at a 10- to 20-foot distance, with the chart
properly calibrated.
When space for at least a 10-foot lane to measure visual acuity is unavailable,
many pediatricians turn to a tabletop visual acuity instrument, such as the Titmus
Vision Screener or the Topcon Screenoscope. Rather than requiring the child to
look across a room or down a hallway, these compact devices optically simulate
the proper testing distance. A visual acuity with all the symbols mentioned can be reliably obtained,
either monocularly or binocularly, provided the child cooperates
with the testing by viewing into the device. Most of these tabletop instruments
include additional features to test other vision parameters, such as color
vision, visual field, and binocular vision. (eye exam in pedis office)

Occasionally, avoidance movements can be demonstrated when the good eye is occluded.
The patient may attempt to maneuver around the occluder when the good eye is
occluded but not when the poorly seeing eye is covered. A child with poor vision in the

right eye, for example, might be noted to "fIX and follow" (F and F) more poorly using that
eye and to object to occlusion of the left eye.
The visual acuity of preschool-aged and older children can be tested using the illiterate
E test (the E-game), letters, numbers, or symbols, all generically referred to as optotypes.
Ch ildren being tested with the E-game are asked to point their hand or fingers in
the direction of the E. This test can be difficult to use because of developmental status and
confusion of right versus left even among children with good acuity. Visual acuity testing
with Snellen letters or numbers requires the child to narne each letter or number, whereas
visual acuity testing with the HOTV test or with LEA symbols can be done by matching,
a cognitively easier task. Whenever possible, a line of optotypes or single optotypes surrounded
by contour interaction bars ("crowding bars") should be used to prevent the overestimation
of visual acuity of an amblyopic eye that often occurs with isolated optotypes
(see Chapter 5, Fig 5-2). Isolated optotypes should be used only if the ch ild cannot be
tested with any other class of optotype; Allen pictures do not provide any contour interaction,
and their overall size and the width of their underlying components fail to conform
to accepted parameters of optotype design.
In addition to recording the resuits, the clinician should identify the type of test
used in order to facilitate comparisons with measurements taken at other times. Most
pediatric ophthalmologists consider Snellen acuity most reliable, followed by HOTV,
LEA symbols, the illiterate E test, Allen pictures, and fixation behavior. The most reliable
test that the child can perform should be used. Preferential looking techniques
using Teller acuity cards can be a useful adjunctive test for comparing visual ac uity between
fellow eyes in infants and preverbal children. The Cardiff Acuity Test, which uses
vanishing optotypes and preferential looking techniques, is popular in Europe. (AAO)

Anda mungkin juga menyukai