PAPER
MIOPIA
Disusun oleh :
BULAN MUQARRAMAH
150100129
Supervisor :
Dr. Marina Yusnita Albar, M.Ked(Oph), Sp.M
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kasih,
berkat, dan penyertaanNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Miopia”. Penulisan makalah ini adalah salah satu syarat untuk
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di
Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Marina Yusnita Albar, M.Ked(Oph), Sp.M selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dalam penyelesaian makalah ini. Dengan demikian
diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem
pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
untuk perbaikan dalam penulisan makalah selanjutnya.
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Menurut World Health Organization (WHO), tanpa ada tindakan pencegahan
dan pengobatan terhadap kelainan refraksi, maka akan mengakibatkan
peningkatan jumlah penderita. Gangguan penglihatan dan kebutaan akibat
kelainan refraksi menjadi masalah yang harus segera ditangani. Apalagi kelainan
refraksi jarang mendapat perhatian oleh masyarakat, padahal ketersediaan koreksi
refraksi sudah memadai di tiap daerah. Salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan gangguan penglihatan di dunia, WHO mencanangkan Global
Action Plan (GAP) Towards Universal Eye Health 2014-2019 yang bertujuan
untuk menurunkan angka kejadian kebutaan dan meningkatkan akses pelayanan
rehabilitasi bagi pasien dengan gangguan penglihatan.5
1.2. Manfaat dan Tujuan
Manfaat dari makalah ini adalah untuk mempelajari kelainan refraksi Miopia
definisi hingga tatalaksana. Makalah ini juga menjadi salah satu syarat untuk
menyelesaikan program P3D pada Departemen Ilmu Kesehatan Mata.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
1.2. Membran Bowman
Lapisan membrane bowman tidak mempunyai daya regenerasi, Terletak di
bawah membran basal epitel kornea. Kolagen yang tersusun tidak teratur
seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
1.3. Stroma
Stroma merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada
permukaan anyaman teratur dan di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang. Stroma menyusun 90% ketebalan kornea.
1.4. Membran Descement
Membran descement mempunyai tebal 40 um, merupakan batas belakang
stroma dan merupakan membran aselular.
1.5. Endotel
Endotel mempunyai ukuran 20-40 um. Endotel melekat pada membran
descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Endotel Berasal
dari mesotelium, berlapis satu dan bentuk heksagonal.
4
Gambar 2.2. Bagian sagittal lensa dan struktur yang terkait.6
3. Aquaeus Humor
Aquaeus humor diproduksi oleh korpus siliare, setelah memasuki kamera
posterior humor aquaeus melalui pupil dan masuk ke kamera anterior. Humor
aquaeus adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera anterior dan posterior
mata. Tekanan intraocular ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor
aquaeus.
4. Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskuler yang membentuk
duapertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang yang
dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus.
5
Proses penglihatan di awali dari pemantulan cahaya oleh benda. Cahaya yang
masuk ke mata sebelum sampai di retina mengalami pembiasan lima kali yaitu
waktu melalui konjungtiva, kornea, aqueus humor, lensa, dan vitreous humor.
Pembiasan terbesar terjadi di kornea.8
Tahap berikutnya adalah timbulnya bayangan akibat pembiasan oleh kornea.
Pada mata yang normal, bayang-bayang benda akan jatuh pada bintik kuning,
yaitu bagian yang paling peka terhadap sinar. Ada dua macam sel reseptor pada
retina, yaitu sel kerucut (sel konus) dan sel batang (sel basilus). Kedua macam
pigmen akan terurai bila terkena sinar, terutama pigmen ungu yang terdapat pada
sel batang.8
Setelah timbul bayangan akibat pembiasan kornea, selanjutnya bayangan
masuk ke dalam melalui aquos humor di kamera okuli anterior. Selanjutnya
cahaya ditangkap oleh pupil dan akan diatur untuk menuju ke kamera okuli
posterior. Kemudian cahaya akan ditangkap oleh lensa selanjutnya akan masuk
menuju retina.8
Retina merupakan lapis ketiga bola mata yang paling dalam dan merupakan
lapisan membran neurosensorik. Artinya bayangan yang sudah terfokus pada
retina akan ditangkap oleh saraf sadar/saraf cranial ke-II (nervus optikus) yang
akan merubah sinar menjadi rangsangan saraf untuk diteruskan ke otak.8
Tahap akhir adalah adanya respon otak untuk menafsirkan dan menjawab dari
stimulus berupa cahaya benda tadi yang menimbulkan respon perilaku manusia
akibat proses melihat benda.8
Pada mata normal (emetropia) sumber cahaya jauh difokuskan di retina
tanpa akomodasi, sementara sumber cahaya dekat dibawa ke fokus dengan
meningkatkan kekuatan lensa. Pada miopia karena bola mata terlalu panjang
atau lensa terlalu kuat, sumber cahaya dekat dibawa ke fokus di retina tanpa
akomodasi (meskipun dalam keadaan normal akomodasi digunakan untuk
melihat benda dekat), sementara sumber cahaya jauh terfokus di depan retina
dan tampak kabur.7
6
Gambar 2.4. Emetropia dan Miopia.9
2.3. Miopia
2.3.1. Definisi
Miopia adalah kelainan refraksi mata, dimana sinar sejajar yang datang dari
jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa
akomodasi, sehingga pada retina didapatkan lingkaran difus dan bayangan kabur.
Cahaya yang datang dari jarak lebih dekat mungkin difokuskan tepat di retina,
tanpa akomodasi.10
7
1. Miopia ringan, dimana miopia kecil daripada 1-3 dioptri
2. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri
3. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri
Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:
1. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
2. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata
Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan.
Tabel 2.1. Klasifikasi Tipe Miopia.3
Klasifikasi Tipe Jenis-jenis Miopia
Klinikal Entitiy Miopia sederhana
Miopia Nokturnal
Pseudomiopia
Miopia Degeneratif
Miopia Didapat
Derajat Miopia Ringan (<3.00 D)
Miopia Sedang (3.00 D-6.00 D)
Miopia Berat (> 600 D)
Onset Pada Usia Miopia Kongenital
Miopia anak-anak (<20 tahun)
Miopia dewasa muda (20-40 tahun)
Miopia dewasa tua (>40 tahun)
2.3.2 Epidemiologi
Menurut data dari World Health Organization tahun 2015 ,diperkirakan lebih
dari 285 juta orang di dunia memiliki gangguan penglihatan dan 42% di antaranya
disebabkan oleh kelainan refraksi yang tidak dapat diperbaiki.3
Perkiraan ini diterbitkan berdasarkan studi epidemiologi menunjukkan bahwa
miopia didapati pada 1,89 miliar orang di seluruh dunia jika tingkat prevalensi
saat ini tidak berubah, proyeksi menunjukkan bahwa miopia akan mempengaruhi
2,56 miliar orang pada tahun 2020. Miopia menyebabkan gangguan penglihatan
tidak hanya oleh kerusakan retina langsung, tetapi juga dengan meningkatkan
risiko kejadian katarak dan timbulnya glaukoma. Prevalensi miopia dan miopia
8
tinggi meningkat secara global pada tingkat yang mengkhawatirkan, dengan
signifikan.12
Miopia dan miopia tinggi diperkirakan mempengaruhi 27% (1893 juta) dan
2,8% (170 juta) dari populasi dunia, masing-masing, di 2010. Menurut penelitian
yang diterbitkan, prevalensi miopia tertinggi di Asia Timur, di mana Cina, Jepang,
Republik Korea dan Singapura memiliki prevalensi sekitar 50%, dan lebih rendah
di Australia, Eropa dan Amerika Utara dan Selatan.12
Prevalensi miopia yang tinggi terdapat di antara anak-anak sekolah di Asia
Timur dan Singapura, yang dilaporkan sekitar 80% siswa sekolah menengah
menderita rabun jauh di Taiwan, beberapa daerah perkotaan di Cina, dan Korea
Selatan.4
Di Indonesia, kejadian kelainan refraksi penyaki mata menempati urutan
pertama dengan ditemukan jumlah penduduk yang menderita kelainan refraksi
hampir 25% populasi penduduk atau sekitar 55 juta jiwa. Angka kelainan refraksi
di Indonesia mencapai 22,1% yang diantaranya dialami oleh anak usia sekolah
sebanyak 10%. Prevalensi miopia di Indonesia berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Sumatera pada tahun 2002 adalah sebesar 26,1%. Laporan Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan prevalensi koreksi refraksi di
Indonesia sebesar 4,6%.13
2.3.3. Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology, faktor etiologi terkait miopia
sangat kompleks, melibatkan faktor genetik dan lingkungan. Mengenai peran
genetik, kembar identik lebih cenderung memiliki derajat miopia yang sama
daripada kembar fraternal, saudara kandung, atau orang tua dan anak. Kembar
identik yang dipisahkan saat lahir dan memiliki kebiasaan kerja yang berbeda
tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kelainan refraksi.2
Bentuk miopia parah menunjukkan pola pewarisan dominan, resesif, dan
bahkan terkait jenis kelamin. Namun, penelitian etnis Tionghoa di Taiwan
menunjukkan peningkatan prevalensi dan keparahan miopia selama rentang 2
generasi, sebuah temuan yang menyiratkan bahwa genetik saja tidak sepenuhnya
bertanggung jawab untuk miopia.2
9
Secara historis, beberapa ahli kesehatan mata mempercayai bahwa miopia
merupakan genetik keturunan, sedangkan yang lain percaya bahwa miopia
disebabkan oleh lingkungan. Namun, penelitian pada manusia dan hewan yang
dilakukan selama empat dekade terakhir menunjukkan bahwa perkembangan
miopia dikendalikan oleh faktor lingkungan dan juga genetik walaupun genetik
tidak sepenuhnya bertanggung jawab untuk miopia. 14
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa pekerjaan dekat tidak terkait
dengan prevalensi yang lebih tinggi dan perkembangan miopia, terutama yang
berkaitan dengan aktivitas jarak menengah seperti tugas yang melibatkan
tayangan video. Prestasi pendidikan yang lebih tinggi sangat terkait dengan
prevalensi miopia yang lebih tinggi. Nutrisi yang buruk juga telah menyebabkan
berkembangnya beberapa kelainan refraksi. Partisipasi dalam olahraga dan waktu
yang dihabiskan di luar ruangan tampaknya melindungi dari miopia remaja.2
Miopia dikaitkan dengan katarak, glaukoma, ablasi retina, dan makulopati
miopia, yang mirip dengan risiko yang terkait dengan hipertensi untuk stroke dan
infark miokard. Miopia secara negatif mempengaruhi persepsi diri, pilihan
pekerjaan / kegiatan, dan kesehatan mata, dan merupakan penyebab keenam
utama kebutaan di dunia.3
Selain itu, ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa miopia lebih
umum di daerah perkotaan, di antara para profesional, pasien berpendidikan,
pengguna komputer, mahasiswa, dan orang-orang dengan kecerdasan tinggi. Ada
bukti bahwa intensitas membaca mungkin lebih penting daripada waktu yang
dihabiskan membaca. Miopia juga terkait pada individu yang melakukan tugas
penglihatan dekat yang berkelanjutan, seperti ahli mikroskop.14
Tugas penglihatan dekat, seperti membaca, dikaitkan dengan peningkatan
keterlambatan akomodasi, yang menyebabkan bidang akomodasi berada di
belakang retina (hyperopic defocus) ketika orang tersebut melakukan tugas dekat
kerja. Telah dipostulatkan bahwa kekaburan optik yang dihasilkan oleh
keterlambatan akomodasi mungkin merupakan sinyal yang mendorong
pertumbuhan mata yang berlebihan dan menyebabkan miopia.3
Karya terbaru oleh Tkatchenko dkk. telah membantu mengkonsolidasikan
dikotomi pandangan yang terkait dengan etiologi miopia, yaitu gen versus
10
lingkungan. Para penulis ini mempelajari interaksi tiga arah antara usia, waktu
yang dihabiskan untuk membaca, dan variasi genetik pada lokus gen APLP2.14
Ditemukan bahwa anak-anak yang menghabiskan banyak waktu untuk
membaca dan yang memiliki versi miopia dari gen APLP2 memiliki
kemungkinan 5 kali lebih besar untuk mengembangkan miopia dibandingkan
dengan anak-anak yang menghabiskan waktu membaca yang "rendah".
Sebaliknya, anak-anak yang menggendong APLP2 versi normal tidak
mengembangkan miopia meskipun mereka terpapar pada tingkat membaca yang
tinggi.14
Untuk mengkonfirmasi temuan pada manusia, mereka mempelajari
perkembangan mata bias pada tikus knockout APLP2 dan menemukan interaksi
serupa antara APLP2 dan pengalaman visual pada tikus. Studi ini menunjukkan
untuk pertama kalinya interaksi gen-lingkungan dalam perkembangan miopia dan
menyarankan bahwa latar belakang genetik seseorang menentukan dampak faktor
lingkungan pada perkembangan mata refraksi.14
Tabel 2.2 Etiologi Miopia berdasarkan jenisnya.3
11
Variasi yang signifikan pada kadar gula dalam darah
12
Hasil dari beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa sedikit tanda-tanda
patologis yang dicatat di mata dengan refraksi dalam kisaran miopia ringan
hingga sedang, tetapi prevalensi patologis tanda-tanda meningkat tajam dengan
miopia lebih parah dari −5 hingga −6 D. Kejadian dan keparahan tanda-tanda
patologis juga meningkat dengan bertambahnya usia.18
Pada miopia karena bola mata terlalu panjang atau lensa terlalu kuat, sumber
cahaya dekat dibawa ke fokus di retina tanpa akomodasi (meskipun dalam
keadaan normal akomodasi digunakan untuk melihat benda dekat), sementara
sumber cahaya jauh terfokus di depan retina dan tampak kabur.7
13
Tipe Klasifikasi Klasifikasi Miopia
Berdasarkan Bentuk Miopia Refraktif
Miopia Aksial
Berdasarkan Derajat Keparahan Miopia Ringan
Miopia Sedang
Miopia Berat atau Tinggi
Berdasarkan Perjalanan Miopia Miopia Stasioner
Miopia Progresif
Miopia Maligna
14
Pasien miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu
melihat dalam posisi konvergensi, dan hal ini menimbulkan (astenopia
konvengersi). Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat
juling kedalam yang disebut strabismus konvergen (esoptropia). Apabila terdapat
miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang lain, dapat terjadi
ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi. Mata ambliopia akan
menggulir ke temporal yang disebut strabismus difergen (eksotropia).19
2.3.8. Diagnosis
Diagnosis pada miopia dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis didapatkan keluhan buram atau kabur saat melihat jarak jauh,
asthenopic (pusing, pandangan ganda, mata lelah, pegal, kesulitan dalam
membaca). Miopia pada anak, orang tua mengeluhkan anak menyipitkan matanya.
Saat usia sekolah, orang tua juga terkadang mendapatkan laporan dari guru
mengenai anaknya yang kesulitan melihat papan tulis saat proses kegiatan belajar
mengajar.
Pada miopia tinggi pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman setelah mata
berakomodasi berlebih, sensitive terhadap cahaya, floaters karena degenerasi
cairan vitreous, dan kilatan cahaya. Faktor risiko seperti riwayat keluarga juga
berperan penting pada miopia, pekerjaan yang sering melihat dekat seperti melihat
monitor yang terlalu lama, dan sering membaca buku. Pada miopia didapatkan
mata tenang sehingga tidak terdapat keluhan mata merah, mata nyeri, terasa ganjal
ataupun tidak nyaman.20,21
Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Pada inspeksi didapatkan mata tenang tanpa kemerahan. Pada miopia tinggi
dapat ditemukan mata tampak seperti proptosis namun bukan proptosis. Temuan
ini dinamakan pseudoproptosis. Hal ini dapat terjadi karena ukuran bola mata
bertambah panjang. Untuk membedekannya dapat dilakukan USG biometri.
15
Juling (esotropia) dapat ditemukan karena punctum remotum dekat sehingga mata
berkonvergensi dan menetap.22
Pemeriksaan tajam penglihatan
a. Pemeriksaan visus pada bayi dan anak usia ≤ 3 tahun: 23
1. Bayi umur 6 minggu
Bayi umur 2 bulan atau lebih dapat diperiksa kemampuan mata untuk
mengfiksasi dan mengikuti benda dengan menggerakkan objek yang menarik
penglihatan.
2. Anak usia 2,5 – 3 tahun
Pemeriksaan menggunakan gambaran skematik tanpa tulisan dilakukan pada
anak usia 2,5–3 tahun. Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata secara terpisah.
Visus sebesar 20/40 dianggap normal.
b. Pemeriksaa visus pada anak usia ≥ 3 tahun dan dewasa: 23
1. Anak umur 3 – 4 tahun
Anak umur 3 – 4 tahun diperiksa dengan kartu E. Visus sebesar 20/30 adalah
normal.
2. Anak umur 5-6 tahun dan dewasa
Anak umur 5-6 tahun dan dewasa bias diperiksa dengan kartu snellen
Tajam penglihatan adalah kemampuan seseorang dalam mengenali dua objek
sebagai objek-objek yang terpisah secara spasial. Tajam penglihatan dapat diukur
dengan menggunakan Snellen chart yang dilihat dari jarak 6 meter. Jarak ini
dianggap paling ideal karena mata tidak berakomodasi. Jarak yang lebih jauh
dianggap tidak praktis dan jarak kurang dari 6 meter mata sudah mulai
berakomodasi.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara sebagai berikut:22,24
1. Mata yang didahulukan adalah mata dengan visus terburuk atau bila dirasa
keduanya sama dilakukan pemeriksaan pada mata kanan terlebih dahulu
2. Mengukur papillary distance yaitu jarak kedua pupil setelah diberikan sinar sejauh
10 cm. Hasil pengukuran dalam satuan millimeter dan ditambah 2 mm bila hasil
genap atau ditambah 3 mm bila hasil ganjil.
16
3. Pasien diminta membaca Snellen chart baris pertama (huruf terbesar) dan
dilanjutkan di baris setelahnya (huruf terkecil). Syarat melanjutkan ke baris
setelahnya ketika sudah dapat membaca minimal setengah baris.
4. Hasil pengukuran dicatat sebagai tajam penglihatan awal
5. Berikan pinhole pada pasien apabila sulit membaca huruf pada baris. Jika visus
maju makan pasien dnegan kelainan refraksi
6. Jika pasien tidak mencapai visus 6/6 setelah diberikan pinhole, tambahkan lensa
sferis +0.50D, apabila penglihatan buram kemungkinan pasien miopia dan
dilakukan koreksi dengan lensa sferis negatif.
7. Koreksi lensa sferis negatif dilakukan dengan penambahan lensa -0.50D. lensa
kemudian ditambahkan hingga mencapai visus 6/6 yang disebut best corrected
visual acuity.
8. Apabila visus sudah mencapai 6/6 dilakukan pemeriksaan Duke-elder test
(fogging) dengan menambahkan lensa +0.25D dengan tujuan mencegah koreksi
negatif berlebih. Jika penglihatan menjadi uram maka Duke-elder negative yang
menandakan koreksi lensa sudah cukup. Jika pasien tidak mengeluhkan buram
dikatakan Duke-elder test positif yang menandakan lensa yang diberikan terlalu
negatif atau kurang positf.
9. Ulangi pada mata lainnya. Apabila pasien tidak dapat melihat huruf terbesar pada
Snellen chart maka dilakukan pemeriksaan hitung jari pada jarak 1m, 2m, 3m, 4m,
5m, dan 6m. Apabila pasien masih tidak dapat melihat hitungan jari dilakukan
pemeriksaan lambaian tangan pada jarak 1 m, jika terlihat dinyatakan visus 1/300.
Apabaila pasien masih tidak mampu melihat pergerakan tangan, dilakukan
persepsi cahaya dan bila terlihat dinyatakan visus 1/∞ .22,24
Pemeriksaan penunjang
Refraktometri
Refraktometri berfungsi memberikan informasi mengenai kelainan refraksi
pasien, termasuk silinder dan jarak antar pupil dengan cepat sering digunakan
untuk skrining massal. Pemeriksaan dilakukan dengan meminta pasien melihat ke
satu objek sehingga mata tidak berakomodasi dan alat akan meresepkan ukuran
lensasesuai hasil pemeriksaan.22,24
17
Retinoskop
Retinoskop diletakan dengan jarak 1 meter, sumber cahaya pada retinoskop
digerakkan di depan pupil , respon yang dilihat adalah refleks cahaya berupa
bintik merah pada pasien. Penilaian dilakukan dengan melihat refleks pupil
bergerak sesuai arah gerakan sumber cahaya (with motion). Hasil ini
menunjukkan titik jauh mata berada di belakang sumber cahaya. Jika melawan
sumber cahaya (against motion), titik jauh berada diantara mata dan sumber
cahaya. Metode ini digunakan untuk menentukan lensa koreksi kelainan refraksi
mata.22,24
Funduskopi
Gambaran yang ditemukan dengan menggunakan funduskopi antara lain
miopik kresen (gambaran bulan sabit pada posterior fundus). Selain itu, dapat
ditemukan degenerasi retina perifer, degenerasi makula, pembesaran optic nerve
head, bercak Foster-Fuchs, dan/atau stafiloma posterior yang dapat ditemukan
pada miopia berat.22,24
Biometri
Biometri merupakan alat untuk mengukur panjang bola mata pada sumbu
aksial dengan prinsip USG. Rata-rata panjang bola mata normal adalah 23,06 mm.
Selain itu, biometri dapat diguanakan untuk mengukur kekuatan kornea.22,24
2.3.9. Penatalaksanaan
Tatalaksana miopia merupakan peresepan lensa konkaf yang tepat sehingga
gambaran jelas terbentuk di retina. Dasar dari koreksi miopia adalah
mengubahnya menjadi hypermetropia. Pada miopia derajat sangat berat selalu
lebih baik untuk mencegah masalah penglihatan dekat dan minifikasi gambar.
Peresepan lensa konkaf berupa kacamata dan lensa kontak. Lensa kontak terutama
digunakan pada kasus miopia tinggi karena mereka menghindari distorsi dan
minifikasi perifer yang dihasilkan lensa kacamata konkaf tinggi.20,22,25
1. Kacamata
Kacamata dapat meringankan usaha akomodasi mata, sehingga dapat
mempengaruhi progresivitas miopia. Jenis kacamata dalam percobaan adalah
lensa bifokus, progresif, dan prisma. Studi selama 2 tahun menggunakan
18
modalitas kacamata menunjukkan bahwa penurunan progresivitas miopia dapat
mencapai 40- 50% lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
menggunakan kacamata plano. Di samping itu, anak yang diberi koreksi di bawah
visus terbaik (+0.50D dibandingkan seharusnya), akan mengalami progresivitas
miopia 10% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol.
2. Lensa Kontak
Walline, et al, melakukan studi acak terkontrol untuk membandingkan efek
penggunaan rigid gas permeable contact lens (RGP) dengan soft contact lens
(SCL). Didapatkan bahwa RGP menurunkan progresivitas miopia lebih besar
dibandingkan mereka yang menggunakan SCL. Meskipun demikian, peneliti
berkesimpulan bahwa perubahan refraksi yang terjadi lebih disebabkan oleh
perubahan kelengkungan kornea pada pengguna RGP. Perubahan tersebut bersifat
sementara dan bukan merupakan penurunan progresivisitas miopia yang
sesungguhnya. Pada penelitian lain, peneliti menggunakan lensa kontak
multifokus dengan zona sentral khusus +2.00D untuk menghilangkan peripheral
myopic retinal defocus. Setelah 10 bulan, didapatkan penurunan progresivitas
miopia sebesar 35% dibandingkan kelompok kontrol. Studi lain yang
menggunakan lensa kontak sejenis selama 12 bulan, menemukan penurunan
progresivitas miopia sebesar 34%. Namun dalam studi ini, 30% anak keluar dari
studi karena lensa tidak nyaman digunakan. Meski demikian, penelitian ini
mendukung hipotesis bahwa penanganan peripheral defocus dapat mengurangi
progresivitas miopia.
3. Pembedahan
Terdapat berbagai metode pembedahan yakni radial keratotomy (RK),
photorefractive keratectomy (PRK), laser in-situ keratomileusis (LASIK),
ekstraksi lensa kristalin, implantasi intraocular contact lens (ICL), implantasi
intercorneal ring (ICR), dan orthokeratologi.
4. Ortokeratologi
Ortokeratologi atau disebut juga ortho-k merupakan lensa kontak khusus yang
didesain untuk mengubah bentuk kornea, sehingga mengeliminasi kelainan
refraksi secara sementara. Lensa kontak ini bersifat gas-permeable untuk
19
memfasilitasi pertukaran oksigen yang baik. Lensa ini juga didesain agar dapat
membantu mengatasi peripheral defocus retina. Reim, et al, dan Kakita, et al,
mendapatkan bahwa ortho-k yang digunakan pada malam hari dapat mengurangi
progresivitas miopia sebesar 40-60% dibandingkan kelompok kontrol.
Kekurangan ortho-k adalah harganya mahal, kurang nyaman, memiliki risiko
infeksi, dan lebih sulit digunakan dibandingkan lensa kontak pada umumnya.
5. Farmokologis
Obat yang digunakan dalam pencegahan FDM (Form Deprivation Myopia) adalah
obat golongan anti muskarinik. Atropin dan pirenzepin merupakan obat anti-
muskarinik yang terbukti kuat dapat mengurangi FDM. Pirenzepin sebagai obat
selektif M1 dapat mengurangi progresivisitas miopia dan pemanjangan aksial bola
mata tanpa efek samping atropin, yaitu midriasis dan sikloplegik. Pirenzepin
mampu mengurangi progresivitas miopia sebesar 40% dibandingkan kelompok
kontrol.
Menurut sejumlah penelitian pada hewan, atropin merupakan obat
antimuskarinik non-selektif yang memiliki efek paling kuat dalam mencegah
FDM. Studi acak prospektif menemukan bahwa pemberian atropin 1% selama 2
tahun dapat mengurangi progresivitas miopia sebesar 77% dibandingkan
kelompok kontrol. Keluhan yang dilaporkan pada penggunaan atropin 1% berupa
rasa kurang nyaman (4,5%), silau (1,5%), dan buramnya penglihatan jarak dekat
(1%). Peneliti menggunakan lensa fotokromik dan lensa progresif pada saat
membaca untuk mengurangi efek samping atropin 1%. Penelitianpenelitian lain
yang menggunakan atropin 0,05% dan 0,025% selama 2 tahun menghasilkan
penurunan progresivitas miopia sebesar 60-70% dibanding kelompok kontrol.
Karena penelitian-penelitian ini menggunakan dosis yang lebih rendah, efek
samping yang ditemukan juga jauh lebih sedikit.
Sebagian besar penelitian menyebutkan efektivitas atropin dalam mencegah
FDM hanya berlangsung selama 2 tahun. Chia et al, melakukan studi acak selama
5 tahun pada 400 anak yang dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu atropin 0,5%,
0,1%, dan 0,01%. Dari penelitian tersebut, ditemukan bahwa apabila atropin
dihentikan mendadak setelah digunakan rutin selama 2 tahun, akan terjadi
20
peningkatan progresivitas miopia dibandingkan kelompok kontrol yang hanya
mendapatkan tetes air mata buatan. Makin tinggi konsentrasi atropin yang
digunakan akan makin besar juga efek rebound obat ini
6. Kombinasi
Shih et al, mengombinasikan atropin dengan kacamata bifokus. Kelompok
pertama diberi atropin 0,5% dengan lensa bifokus add S+2.00D. Kelompok kedua
diberi atropin 0,25% dengan lensa bifokus add S+0.75D. Kelompok kontrol
mendapat lensa plano dan tetes air mata buatan. Didapatkan penurunan
progresivitas miopia sebesar 96% pada kelompok pertama dan 58% pada
kelompok kedua dibandingkan kelompok control.
2.3.10 Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada miopia adalah akibat dari proses degenerasi,
yaitu:25
1. Floaters
Kekeruhan badan kaca yang disebabkan proses pengenceran dan organisasi,
sehingga menimbulkan bayangan pada penglihatan.
2. Skotoma
Defek pada lapang-pandangan yang diakibatkan oleh atrofi retina.
3. Trombosis koroid dan perdarahan koroid
Sering terjadi pada obliterasi dini pembuluh darah kecil. Biasanya terjadi di
daerah sentral, sehingga timbul jaringan parut yang mengakibatkan penurunan
tajam penglihatan.
4. Ablasio retina
Merupakan komplikasi yang tersering. Biasanya disebabkan karena didahului
dengan timbulnya hole pada daerah perifer retina akibat proses-proses degenerasi
di daerah ini.
5. Glaukoma sederhana
Komplikasi ini merupakan akibat atrofi menyeluruh dari koroid.
6. Katarak
21
Merupakan komplikasi selanjutnya dari miopia degeneratif, terjadi setelah
usia 40 tahun. Biasanya adalah tipe pole posterior. Sering dihubungkan pula
dengan adanya degenerasi koroid.
BAB 3
KESIMPULAN
Miopia adalah kelainan refraksi mata, dimana sinar sejajar yang datang dari
jarak tak terhingga difokuskan di depan retina oleh mata dalam keadaan tanpa
akomodasi, sehingga pada retina didapatkan lingkaran difus dan bayangan
kabur. Cahaya yang datang dari jarak lebih dekat mungkin difokuskan tepat di
retina, tanpa akomodasi.
Miopia bukanlah kelainan refraksi sederhana, tetapi penyakit yang
mengancam penglihatan. Menurut American Academy of Ophthalmology,
faktor etiologi terkait miopia sangat kompleks, melibatkan faktor genetik dan
lingkungan. Beberapa faktor lingkungan telah diidentifikasi, termasuk terlalu
banyak waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan, waktu yang tidak cukup
dihabiskan di luar ruangan, tingkat vitamin D yang rendah, paparan cahaya
yang tidak memadai, dan diet yang buruk.
Diagnosis pada miopia dapat dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis didapatkan keluhan buram atau
kabur saat melihat jarak jauh, asthenopic (pusing, pandangan ganda, mata lelah,
pegal, kesulitan dalam membaca). Miopia pada anak, orang tua mengeluhkan
anak menyipitkan matanya. Faktor risiko seperti riwayat keluarga juga
berperan penting pada miopia, pekerjaan yang sering melihat dekat seperti
melihat monitor yang terlalu lama, dan sering membaca buku.
Tatalaksana miopia merupakan peresepan lensa konkaf yang tepat sehingga
gambaran jelas terbentuk di retina. Dasar dari koreksi miopia adalah
mengubahnya menjadi hypermetropia. Pada miopia derajat sangat berat selalu
lebih baik untuk mencegah masalah penglihatan dekat dan minifikasi gambar.
Peresepan lensa konkaf berupa kacamata dan lensa kontak. Lensa kontak
22
terutama digunakan pada kasus miopia tinggi karena mereka menghindari
distorsi dan minifikasi perifer yang dihasilkan lensa kacamata konkaf tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. 2016. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kelima. Jakara: Badan Penerbit FK
UI.
2. American Optometric Association. 2020, ‘Nearsightedness: What is
myopia’, accessed 1 September 2020, Available at:
https://www.aoa.org/healthy-eyes/eye-and-vision-conditions/myopia
3. World Health Organization. 2015. The Impact of Myopia and High Myopia.
University New South Wales, Sydney, Australia.
4. Chiang,SY, et al. 2019. Journal of the Formosan Medical Association: Ethnic
Disparity in Prevalence and Associated Risk Factor of Myopia in Adolescents.
Vol. 119. Issue 1. pp. 134-143.
5. World Health Organization. 2013. Universal eye health: a global action plan
2014-2019. Spain: WHO. p.5-8.
6. Stranding, S. 2016. Gray’s Anatomy: Eye. Forty-First Edition. Chapter 42. pp.
686-708. Elsevier.
7. Sherwood, L. 2015. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta:
EGC.
8. Sunarto, et al. 2019. Modul Ajar Anatomi Fisiologi. Edisi 1. Surabaya : Prodi
kebidanan Magetan Poltekkes Surabaya.
9. Mafee MF and Som PM. 2011. Head and Neck Imaging: Embriology,
Anatomy, and Imaging of the Eye and Orbit. Fifth Edition. Chapter 8. pp. 527-
589. China: Elsevier.
10. Subardjo,S.U. dan Hartono 2012, Ilmu Penyakit Mata Universitas Gajah
Mada,Bagian Ilmu Kesehatan Mata FK UGM, Yogyakarta.
11. Goss, D.A,et al. 2006, Care of the Patient with Myopia, American Optometric
Association, pp. 6,10.
23
12. Cooper J, Tkatchenko AV. 2018. A Review of Current Concepts of the
Etiology and Treatment of Myopia. Eye Contact Lens.;44(4):231-247.
doi:10.1097/ICL.0000000000000499
13. Rifati L, et al. 2013. In: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI; h.231-8.
23
14. Hyman L, et al. 2005. Relationship of age, sex, and ethnicity with myopia
progression and axial elongation in the correction of myopia evaluation trial.
Arch Ophthalmol. Jul;123(7):977–87
15. Vitale S,et al. 2008. Prevalence of refractive error in the United States, 1999–
2004. Arch Ophthalmol. Aug;126(8):1111– 9.
16. French AN, et al. 2013. Risk factors for incident myopia in Australian
schoolchildren: the Sydney adolescent vascular and eye study. Australia :
Ophthalmology. Oct;120(10):2100–8.
17. Recko M, Stahl ED.2015. Childhood myopia: epidemiology, risk factors, and
prevention. Mo Med;112(2):116-121
18. Cooper, J. 2019. Advance in Ophthalmology and Optometry: Etiology and
Managementof Myopia. Vol. 4. pp. 39-64. Philadelphia: Elsevier.
19. Khurana AK, et al. 2015. Comprehensive ophthalmology, 6th ed. New Delhi:
Jaypee Brothers, pp23-44
20. American Optometric Association.2006. Care of the patient with miopia.
American Optometric Association. St. Louis;
21. Sihota R, Tandon R.2011.Refractive errors of the eye. In: Parson’s disease of
the eye. 21th ed.India: Elsevier.
22. Kidd DP, et al.2008. Neuro-opthalmologic anatomy and examination
techniques. Neuroopthalmology. Philadelphia: Elsevier.
23. Halim, A.A., et al. 2017, ‘Modalitas Pencegahan Progresivitas School-age
Myopia’, CDK-251, vol. 44, no. 4, pp. 1-4
24
24. Riordan-Eva, P. 2011, Optics & Refraction. In: Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology, 18th edn, Riordan-Eva, P. & Cunningham Jr., E.T., McGraw-
Hill Companies, U.S.A., pp. 689-695.
25. Widodo, A., Prillia, T. 2007, ‘Miopia Patologi’, JOI, vol. 5, no. 1, pp. 19-26.
25