Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

“DEFISIENSI VITAMIN A”

Disusun Oleh:
Yulinar Firdaus Yustisiawandana

Pembimbing :
dr. Yulia Fitriani, Sp. M
G4A016042

SMF ILMU KESEHATAN MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
“DEFISIENSI VITAMIN A”

Disusun Oleh :
Yulinar Firdaus Yustisiawandana
G4A016042

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di bagian Ilmu Penyakit Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo

Disetujui dan disahkan,


pada tanggal Juli 2018

Pembimbing

dr. Yulia Fitriani Sp. M


I. PENDAHULUAN

Kurang Vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar di seluruh


dunia terutama di negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama
pada masa pertumbuhan. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis
penyakit yang merupakan “Nutrition Related Diseases” yang dapat mengenai
berbagai macam anatomi dan fungsi dari organ tubuh seperti menurunkan sistem
kekebalan tubuh dan menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak kurang
vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan -
4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di negara berkembang (American
Academy of Ophthalmology, 2008).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi
Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk
zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah sekali
terserang infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan
infeksi lain karena daya tahan anak tersebut menurun. Namun masalah KVA dapat
juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini terjadi karena
kurangnya pengetahuan orang tua/ ibu tentang gizi yang baik. Gangguan penyerapan
pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang terjadi.
Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan
menyebabkan anak menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan,
dimana keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup.

Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian


yang serius. Meskipun hasil survei Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa
berdasarkan kriteria WHO secara Klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi
masalah kesehatan masyarakat (<0,5%). Namun pada survei yang sama menunjukkan
bahwa 50% balita masih menderita KVA Sub Klinis (serum retinol < 20 ug/dl). Hal
tersebut seyogyanya menjadi perhatian kita bahwa separuh dari jumlah balita di
Indonesia masih terancam kebutaan karena KVA (Depkes RI, 2002).
II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Bola Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan diameter maksimal 24 mm. bagian anterior
bola mata memiliki kelengkungan yang lebih cembung sehingga terdapat 2
kelengkungan yang berbeda. Bola mata dibungkus oleh 3 lapisan jaringan, yaitu
lapisa sclera yang bagian terdepannya disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan
retina. Didalam bola mata terdapat cairan aqueos humor, lensa, dan vitreus humor.

1. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva berbatasan dengan
kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di limbus.

2. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk pada
mata. Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian
terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar
masuk ke dalam bola mata.
3. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya
dam merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan.15 Kornea
ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini
disebut sulcus scleralis.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm di pusatnya (terdapat
variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6
mm.19Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:
1) Epitel
Tebal dari epitel ini adalah 50 μm. Epitel kornea mempunyai lima lapis sel
epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
2) Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea yang
merupakan kolagen yang tersususn tidak teratur seperti stroma dan berasal
dari bagian depan stroma.
3) Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma terdiri atas
lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya.
Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serta
kolagen ini bercabang.
4) Membran Descemet
Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan batas
belakang stroma kornea.
5) Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk heksagonal, dan
tebalnya 20-40 μm. Lapisan ini berperan dalam mempertahankan deturgesensi
stroma kornea.
4. Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh kornea
dan sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1) Iris
Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai permukaan
yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di tengahnya, yang
disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk mengatur banyaknya cahaya
yang masuk ke dalam bola mata secara otomatis dengan mengecilkan (miosis)
atau melebarkan (midriasis) pupil.
2) Badan siliar
Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi mengubah
tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk objek dekat maupun
jauh dalam lapang pandang.15 Badan siliar terdiri atas zona anterior yang
berombak-ombak, pars plicata (2 mm) yang merupakan pembentuk aqueous
humor, dan zona posterior yang datar, pars plana (4 mm).
3) Koroid
Koroid merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina dan
sklerayang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah besar, berfungsi
untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di bawahnya.

5. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di sebelah
anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya terdapat vitreous humor.
Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang akan
memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel
subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks
terbentuk dari lamela konsentris yang panjang.
Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal
sebagai zonula Zinii, yang tersusun dari banyak fibril yang berasal dari permukaan
badan siliar dan menyisip ke dalam ekuator lensa.

6. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik mata
belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke
perifer menuju sudut bilik mata depan.

7. Vitreous Humor
Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Permukaan luar vitreous humor
normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsul lensa posterior, serat-
serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici. Basis vitreous
mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke lapisan epitel pars plana
dan retina tepat di belakang ora serrata.
Vitreous humor mengandung air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua
komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip
gel karena kemampuannya mengikat banyak air.

8. Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor
yang menerima rangsangan cahaya. Lapisan-lapisan retina mulai dari sisi luar yang
berbatas dengan koroid adalah sebagai berikut:
1) Epitel pigmen retina (Membran Bruch)
2) Fotoreseptor
Lapisan fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel kerucut.
3) Membran limitan eksterna
4) Lapisan nukleus luar
Lapisan nukleus luar merupakan susunan nukleus sel kerucut dan sel batang.
Keempat lapisan di atas avaskuler dan mendapat nutrisi dari kapiler koroid.
5) Lapisan pleksiform luar
Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat sinapsis sel fotoreseptor
dengan sel bipolar dan sel horizontal.
6) Lapisan nukleus dalam
Lapisan ini terdiri dari tubuh sel bipolar, sel horizontal, dan sel Muller serta
didarahi oleh arteri retina sentral.
7) Lapisan pleksiform dalam
Lapisan ini merupakan lapisan aselular tempat sinaps sel bipolar dan sel
amakrin dengan sel ganglion.
8) Lapisan sel ganglion
Lapisan ini merupakan lapisan badan sel dari neuron kedua.
9) Serabut saraf
Lapisan serabut saraf berupa akson sel ganglion yang menuju ke arah saraf
optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak sebagian besar pembuluh darah
retina.
10) Membran Limitan Interna
Membran limitan interna berupa membran hialin antara retina dan vitreous
humor (Ilyas, et.al 2005).

2.2 Xeroftalmia
Definisi
Suatu keadaan dimana terjadi keratinisasi pada epitel di konjungtiva dan
kornea bersama-sama akibat defisiensi vitamin A. Kata xeroftalmia berarti “mata
kering“, karena terjadi kekeringan pada selaput lendir (konjungtiva ) dan selaput
bening ( kornea ) mata.

Epidemiologi
Berdasarkan hasil survey WHO tahun 1994 jumlah penderita xeroftalmia di
seluruh dunia pada anak-anak usia 0-4 tahun sebesar 2,8 juta dan angka kejadian
subklinis mencapai 251 juta. Angka kejadian xeroftalmia akibat defisiensi vitamin A
diperkirakan sekitar 20.000 – 100.000 kasus baru di seluruh dunia per tahunnya.
Menurut survey nasional xeroftalmia tahun 1992, prevalensi xeroftalmia nasional
adalah 0,33%.
Hasil penelitian yang dilakukan Survei Pemantauan Status Gizi dan Kesehatan
(Nutrition and Health Surveilance System) selama tahun 1998-2002 menunjukkan,
sekitar 10 juta anak balita yang berusia 6 bulan hingga 5 tahun (setengah dari
populasi anak balita di Indonesia) menderita KVA, sehingga ini menjadi masalah
utama karena akibat dari KVA adalah terganggunya kesehatan mata, kemampuan
penglihatan, maupun kekebalan tubuhnya. Dan yang memprihatinkan, kebutaan yang
disebabkan KVA tidak dapat disembuhkan (Lang et.al, 2010).
Angka kejadian ini semakin meningkat sejalan dengan ditemukannya berbagai
faktor yang dapat mencetuskan terjadinya xeroftalmia. Faktor-faktor tersebut
diantaranya:
1. Umur
Xeroftalmia paling sering ditemukan pada anak-anak usia pra-sekolah, hal ini
berhubungan dengan kebutuhan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan. Di
samping itu, anak-anak usia ini sangat rentan oleh infeksi parasit dan bakteri
usus yang dapat mengganggu penyerapan vitamin A di usus.
2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki 1,2 – 10 kali lebih rentan
untuk menderita xeroftalmia.
3. Status Fisiologis
Wanita hamil dan wanita menyusui cenderung menderita buta senja atau
Bitot’s Spots karena meningkatnya kebutuhan akan vitamin A. Anak-anak usia
sekolah juga memiliki kecenderungan ini karena tingginya kebutuhan vitamin
A untuk pertumbuhan (adolescent growth spurt).
4. Status Gizi
Xeroftalmia sering kali berhubungan atau didapatkan bersama-sama dengan
kondisi malnutrisi (Kurang Energi Protein).
5. Penyakit Infeksi
Penyakit-penyakit yang mengganggu pencernaan, pengangkutan,
penyimpanan, pengikatan metabolisme vitamin A, dapat menimbulkan
manifestasi defisiensi vitamin A. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk
menerangkan penurunan kadar vitamin A selama demam dan infeksi, yaitu:
- Asupan yang rendah karena sakit (anoreksia)
- Gangguan absorpsi karena infeksi pada usus
- Supresi síntesis albumin dan RBP (retinol binding protein) oleh
hepatosit
- Peningkatan katabolisma protein, termasuk RBP
6. Faktor-faktor yang lain
Keadaan yang kurang menguntungkan adalah jumlah keluarga yang besar,
rendahnya pendidikan kepala keluarga, sanitasi yang buruk, serta sosial
ekonomi yang rendah (Olver et.al, 2005).
Etiologi
Dulu xeroftalmia dikatakan sebagai penyakit akibat kekurangan intake
vitamin A. Akan tetapi banyak faktor yang mempengaruhi tubuh menjadi kekurangan
vitamin A. Selain disebabkan oleh kekurangan intake vitamin A, xeroftalmia bisa juga
disebabkan oleh absorpsi yang tidak adekuat ( akibat malfungsi dari sistem
gastrointestinal tubuh ) dan pembuangan yang berlebihan ( dikeluarkan melalui
infeksi dan diare ) (Voughan et.al, 2006).

Faktor Resiko
1. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) (Berat lahir <2,5 kg.).
2. Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2
tahun.
3. Anak tidak mendapat MP-ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya.
4. Anak kurang gizi atau di bawah garis merah (BGM) pada KMS.
5. Anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare, TBC, pnemonia) dan
cacingan.
6. Anak dari keluarga miskin.
7. Anak yang tinggal di daerah pengungsian.
8. Anak yang tinggal di daerah dengan sumber vitamin A yang kurang, dan
adanya pantangan terhadap makanan sumber vitamin A.
9. Anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi di
Posyandu maupun Puskesmas.
10. Anak yang kurang atau jarang makan makanan sumber vitamin A.
11. Anak yang tidak diasuh oleh ibunya sendiri (Nema HV, et.al, 2002).

Patofisiologi
1. Metabolisme Vitamin A
Vitamin A dalam bentuk aktif berupa asam retinoat. Sedangkan secara alami
sumber vitamin A didapatkan dari hewani dalam bentuk pro-vitamin A dan dari
tumbuhan dalam bentuk beta karoten. Dikenal tiga macam karoten yaitu α, β, dan
γ-karoten. β-karoten memilki aktivitas yang paling tinggi. Proses pembentukan
vitamin A dari sumber hewani dan tumbuhan menjadi bentuk aktif (asam retinoat)
dapat diuraikan sebagai berikut :
 Absorbsi pro-vitamin A dan karoten di dinding usus halus, kemudian diubah
menjadi retinol
 Retinol diangkut ke dalam hepar oleh kilomikron, kemudian di dalam
parenkim hati sebagian dari retinol akan diesterifikasi menjadi retinil-palmitat
dan disimpan dalam sel stelat. Sebagian lagi akan berikatan dengan Retinol
Binding Protein (RBP) dan protein lain yang disebut trasthyretin untuk
dibawa ke target sel
 Pada target sel, retinol akan berikatan dengan reseptor yang terdapat pada
membran sel (RBP receptor) kemudian di dalam sel berikatan dengan retinol
binding protein intraseluler, yang akan diubah menjadi asam retinoat oleh
enzim spesifik
 Asam retinoat selanjutnya akan memasuki inti sel dan berikatan dengan
reseptor pada inti. Asam retinoat ini berperan dalam transkripsi gen.
Fungsi vitamin A antara lain :
a. Penglihatan
b. Integritas sel melawan infeksi
c. Respon imun
d. Hemopoiesis
e. Fertilitas
f. Embriogenesis
Kadar vitamin A dan retina binding protein (RBP) dalam darah dapat
ditentukan dengan menggunakan metode kromatografi cair tekanan tinggi (high
pressure liquid chromatography/ HLPC). Metode ini cukup akurat dan cepat. Nilai
Vitamin A dalam plasma adalah 0,7 μmol/l (50 μg/l) sering didapatkan pada orang
dewasa yang sehat, tidak ada batasan yang jelas tentang berapa nilai yang
mengidentifikasikan seseorang mengalami hipervitaminosis, tetapi kemungkinan
diatas 3,5 μmol/l (100 μg/l). Pembagian tingkat status vitamin A berdasarkan kadar
vitamin A darah adalah :
- < 10 μg/l indikasi kekurangan vitamin A
- 10-19 μg/l disebut rendah
- 20-50 μg/l disebut cukup
- > 50 μg/l disebut tinggi (James, et.al., 2006).

2. Fisiologi penglihatan yang berhubungan dengan vitamin A


Salah satu fungsi dari vitamin A adalah berperan dalam proses penglihatan,
dimana retina merupakan salah satu target sel dari retinol. Retinol yang telah
berikatan dengan RBP akan ditangkap oleh reseptor pada sel pigmen epitel retina,
yang akan dibawa ke sel-sel fotoreseptor untuk pembentukan rodopsin. Rodopsin ini
sangat berperan terutama untuk penglihatan pada cahaya redup. Karena itu tanda dini
dari defisiensi vitamin A adalah rabun senja.
Selain itu, vitamin A berperan penting untuk membentuk dan
mempertahankan fungsi sel epitel konjungtiva dan kornea (Khurana et.al, 2007).

3. Beberapa kelainan yang menyebabkan defisiensi vitamin A


1. Gangguan absorbsi karoten karena defisiensi Zn, α dan β lipoproteinemia
2. Beberapa penyakit salurtan cerna yang mempengaruhi absorbsi lemak juga
akan mempengaruhi absorbsi vitamin A, karena vitamin A adalah vitamin
yang larut dalam lemak, contoh :
a. Insufisiensi pankreas
b. Cholestasis
c. Operasi bypass usus kecil
d. Inflamatory Bowel Disease, dll
3. Pecandu alkohol akan terjadi gangguan dalam metabolisme vitamin A. Pada
pencandu alkohol ini afinitas alcohol dehidrogenase pada etanol akan
menghalangi konversi retinol menjadi asam retinoat
4. Penyakit hati yang kronis, terutama sirosis akan menyebabkan defisiensi
vitamin A karena adanya gangguan pada proses transportasi dan penyimpanan
(James et.al, 2006).

Patogenesis Penyakit Defisiensi Vitamin A

Vitamin A memainkan peran yang penting dalam tubuh manusia. Fungsi


vitamin A yang penting antara lain adalah untuk penglihatan, integritas sel epitel,
respons imun, haemopoiesis, pertumbuhan tulang, fertilitas (laki-laki dan perempuan)
dan embriogenesis.
Sel batang dan sel kerucut pada retina mengandung protein opsin yang
bergabung dengan salah satu isomer vitamin A, 11-cis retinal, untuk membentuk
komponen yang sensitif terhadap cahaya, yaitu rodopsin. Dalam defisiensi vitamin A,
suplai retinal menurun dan ini mengganggu fungsi penglihatan retina.
Sejak tahun 1920an, telah diketahui adanya hubungan antara defisiensi vitamin
A dengan perubahan fungsi sistem imun. Perubahan-perubahan ini termasuk
gangguan fungsi barrier seperti metaplasia sel gepeng dan keratinisasi jaringan epitel
yang biasanya mensekresi mukus yang terdapat di konjungtiva, sistem respirasi,
gastrointestinal dan genitourinari. Selain itu, defisiensi vitamin A juga berkaitan
dengan gangguan pembentukan respons antibodi terhadap sebagian antigen. Secara
khusus, defisiensi vitamin A berkaitan dengan penurunan dalam respons antibodi sel
T dependen dan sel T independen tipe 2. Defisiensi vitamin A juga mengganggu
berbagai subkelas respons imun seluler yang lain, seperti sitotoksisitas yang
dimediasi sel NK (natural killer) dan transformasi blastogenik limfosit.
Gangguan dan limitasi pada fungsi-fungsi imun kemungkinan besar
bertanggungjawab terhadap peningkatan mortalitas pada anak muda yang mengalami
defisiensi vitamin A. Ini didukung dengan penelitian terapi dan pencegahan di
negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Nepal, Tanzania, Ghana dan
Afrika Selatan. Meta-analisis penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa
suplemen vitamin A kepada anak-anak bisa menurunkan mortalitas keseluruhan
sebanyak 20% - 50%.
Campak merupakan suatu komorbiditas yang penting pada defisiensi vitamin A.
Defisiensi vitamin A adalah faktor resiko yang dapat memperparah penyakit
campaknya dan dapat menimbulkan komplikasi ke mata. Pada populasi yang
mengalami defisiensi vitamin A, kebutuhan yang sangat besar terhadap vitamin A
akibat katabolisme yang berkaitan dengan infeksi campak dapat mengakibatkan
xeroftalmia korneal yang berat. Status vitamin A juga berhubungan dengan
komplikasi sistemik campak yang lain. Dalam fase akut infeksi campak, vitamin A
dalam sirkulasi menurun secara signifikan. Ini karena efek peningkatan kebutuhan
yang diakibatkan respons katabolik infeksi campak dan gangguan pelepasan dan
transportasi vitamin A dari cadangan hati. Infeksi campak dan defisiensi vitamin A
bertindak secara sinergik dan meningkatkan komplikasi campak seperti diare. Diare
pula akan menurunkan asupan dan absopsi vitamin A dalam diet (Ilyas et.al,. 2005).

Klasifikasi dan Gambaran Klinis


Klasifikasi menurut WHO:
1. Buta senja (XN)
a. Penglihatan penderita buta senja menurun pada senja hari, bahkan
tidak dapat melihat di lingkungan yang kurang cahaya
b. Buta senja terjadi karena sel-sel batang pada retina membutuhkan
vitamin A untuk menjalankan fungsinya melihat pada waktu malam
c. Di daerah-daerah yang masih sering ditemukan defisiensi vitamin A,
sering dijumpai istilah-istilah lokal yang menggambarkan
ketidakmampuan melihat dalam gelap, contoh istilah rabun senja :
- Jawa barat : kotokeun
- Jawa tengah : kotok ayam, cado

2. Xerosis konjungtiva (X1A)


a. Xerosis konjungtiva adalah kelainan berupa selaput lendir atau bagian
bola mata yang tampak kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan
permukaan yang terlihat kasar dan kusam. Bila mata digerakkan maka
akan terlihat lipatan yang timbul pada konjungtiva bulbi
b. Xerosis akan terjadi karena adanya perubahan dalam sel penghasil
mukus pada sel penghasil epitel menjadi sel penghasil keratin pada
defisiensi vitamin A
c. Gejala yang sering timbul pada xerosis konjungtiva adalah keluhan
mata yang tampak kering atau berubah warna menjadi kecoklatan

Xerosis Konjungtiva

Bercak Bitot (X1B)


a. Bercak bitot merupakan bercak putih dengan bentuk segitiga
yang terletak pada celah kelopak temporal maupun nasal. Diatas bercak
ini terdapat bentuk busa yang diakibatkan terlepasnya epitel konjungtiva
yang tertimbun di daerah fornix konjungtiva bawah. Di sekitar bercak
bitot terdapat pigmen. Pada kerokan konjungtiva pada bercak bitot
didapatkan banyak hasil xerosis saprofitik (Corynebacterium xerosis)
dan sel-sel epitel berkeratin
b. Gejala yang paling sering timbul pada bercak bitot adalah mata yang
tampak bersisik atau timbul busa. Gejala bercak bitot dalam keadaan
berat adalah :
1. Tampak kekeringan meliputi seluruh permukaan konjungtiva
2. Konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan berkerut-kerut
c. Pada kasus xeroftalmia dengan gejala bercak bitot harus segera
diberikan vitamin A karena penderita bisa menjadi buta dalam waktu
yang sangat cepat

3. Xerosis kornea (X2)


a. Xerosis kornea adalah kekeringan pada konjungtiva yang berlanjut
sampai pada derah kornea (merupakan kelanjutan dari xerosis
konjungtiva)
b. Gejala yang sering timbul adalah kornea yang tampak menjadi suram
dan kering dan permukaan kornea tampak kasar. Keadaan umum
penderita biasanya buruk
4. Keratomalacia (X3A/X3B)
a. Menurut klasifikasi WHO, xeroftalmia dibagi menjadi 2 bagian
menurut luasnya daerah kornea yang terkena. Klasifikasi WHO
adalah:
- tahap X3A, yaitu bila kelainan mengenai < 1/3 permukaan
kornea
- tahap X3B, yaitu bila kelainan mengenai > 1/3 permukaan
kornea
b. Keratomalacia merupakan kekeruhan pada kornea yang disertai
dengan infiltrasi ke dalam stroma kornea sehingga terlihat kornea
menjadi nekrosis dan melunak (seperti bubur) sehingga dapat terjadi
perlukaan dan ulkus kornea. Pada keadaan ini biasanya tidak tampak
tanda-tanda peradangan dan umumnya mengenai kedua mata
c. Bila ditemukan keratomalacia maka akan terjadi kebutaan yang tidak
dapat disembuhkan
d. Pada tahap keratomalacia dapat terjadi perforasi kornea (kornea pecah)

5. Sikatriks kornea (XS)


a. Gejala klinis sikatriks kornea berupa parut pada bagian bawah kornea
(kornea mata tampak menjadi putih atau bola mata tampak
mengempis) dan biasanya pada posisi pukul 6
b. Diagnosis sikatriks kornea dapat ditegakkan bila terbentuk sikatriks
yang berhubungan dengan keadaan malnutrisi
c. Bila ditemukan sikatriks kornea maka akan terjadi kebutaan yang tidak
dapat disembuhkan

6. Xeroftalmia Fundus (XF)


a. Xeroftalmia fundus disebabkan adanya defisiensi vitamin A yang
berkepanjangan dimana terjadi gangguan fungsi sel batang karena
rusaknya struktur retina
b. Bila ditemukan xeroftalmia fundus maka akan terjadi kebutaan yang
tidak dapat disembuhkan (Depkes RI, 2010).

Pemeriksaan
Pemerikasaan yang dapat dilakukan dalam membantu penegakkan diagnosa
buta senja adalah :
1. Dark adaptometri (tes adaptasi gelap)
2. Rod scotometri
3. Elektroretinografi
4. Conjunctival impression citology (CIC)
5. Pemerikasaan kadar serum retinol atau Serum Retinol Binding Protein

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada xeroftalmia adalah pemberian vitamin A


sebagai berikut :

Tabel. Dosis IVAGa Rekomendasi Vitamin A untuk Terapi dan Preventif

Usia Terapi Oral saat Dosis Preventif Frekuensi


diagnosisb
< 6 bulan 50.000 IU 50.000 IU 3 kali, 1 bulan
kemudianc
6-12 bulan 100.000 IU 100.000 IU Tiap 4-6 bulan
≥ 1 tahun 200.000 IU 200.000 IU Tiap 4-6 bulan
d e
Wanita 200.000 IU 400.000 IU 6 minggu setelah
dikirim

Keterangan:

a. International Vitamin A Consultative Group


b. Terapi semua kasus xeroftalmi dan campak dengan dosis yang sama hari
berikutnya dan 1-4 minggu kemudian
c. Dosis untuk anak baru lahir. Alternatifnya 25.000 atau 50.000 IU pada setiap
kunjungan untuk vaksinasi Difteri-Pertusis-Polio pada umur 6, 10, 14 minggu
d. Untuk wanita usia reproduktif, pemberian 200.000 IU hanya untuk xeroftalmi
kornea, untuk gejala yang lebih ringan (rabun senja atau bercak Bitot)
diberikan 100.000 IU perhari atau 25.000 IU perminggu selama ≥ 4 minggu
e. Dengan 2 dosis sebesar 200.000 IU ≥ 1 hari
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam 1-2 minggu, berupa :

 mikrovili kornea akan timbul kembali sesudah 1-7 hari


 keratinisasi yang terjadi menghilang
 sel Goblet konjungtiva kembali normal 2-4 minggu
 tukak kornea memperlihatkan perbaikan, sehingga dapat direncanakan
keratoplasti.

Pencegahan
Pencegahan secara umum yang harus dilakukan adalah :
1. Modifikasi diet
Mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin A seperti sayur
yang berwarna hijau, buah-buahan yang berwarna orange
2. Suplementasi
Bayi berumur 6-11 bulan  Tiap 3-6 bulan diberikan
vitamin A secara oral dengan dosis
100.000 IU
Anak 1-6 tahun  Tiap 3-6 bulan diberikan
vitamin A secara oral dengan dosis
200.000 IU
Wanita menyusui Diberikan secara oral dosis tunggal
sebanyak 200.000 IU dengan waktu
pemberian :
 Saat bersalin
 8 minggu pertama setelah
persalinan pada wanita yang
menyusui
 6 minggu pertama setelah
persalinan pada wanita yang tidak
menyusui
3. Fortifikasi
- Penambahan vitamin A pada beberapa jenis makanan yang
secara alami kandungan vitamin A-nya tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan tubuh per harinya contohnya gandum, beras, teh, margarin
- Ditambahkan juga mikronutrien seperti preparat besi dan
seng yang membantu absorbsi vitamin A

Pencegahan yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yaitu:


1. Mengetahui jumlah sasaran dan menghitung kebutuhan kapsul vitamin A,
hitung sisa (stok) dan megusulkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Mengupayakan cakupan distribusi kapsul vitamin A 100%
- Melakukan promosi di bulan pemberian kapsul vitamin A
- Sweeping atau kunjungan rumah untuk mencari anak yang tidak
datang ke Posyandu pada bulan pemberian kapsul vitamin A
3. Melaporkan kasus xeroftalmia kepada kepala Puskesmas untuk koordinasi
lintas program dan lintas sektor.
4. Melakukan pelacakan ke daerah yang dilaporkan terdapat kasus xeroftalmia.
5. Menindaklanjuti laporan bila ditemukan kasus:
- Balita kurang gizi atau BGM
- Penyakit infeksi, seperti campak, diare, TBC, pneumonia, dll.
- Kelainan mata yang dicurigai sebagai tanda-tanda xeroftalmia.
6. Semua anak dengan kasus BGM, infeksi/campak, harus dilakukan:
- Anamnesa pola makan
- Anamnesa gejala awal KVA: buta senja
- Periksa matanya
7. Memberikan perhatian khusus kepada balita yang:
- Tinggal di keluarga miskin
- Diasuh bukan oleh ibunya
- Tinggal di daerah pengungsian
- Jarang ke posyandu/puskesmas (Depkes RI, 2010).
Prognosa
Prognosa pada stadium XN, X1A, X1B, X2 adalah baik, dengan syarat:
1. Pengobatan harus dilakukan secara dini
2. Pengobatan harus dilakukan dengan tepat
Sedangkan pada stadium yang lebih lanjut dimana telah terjadi kerusakan kornea dan
dapat menyebabkan kebutaan yang tidak dapat disembuhkan lagi, maka prognosisnya
jauh lebih buruk (Friedman, et.al, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Orbit, Eyelids, and Lacrimal Systems.


The Eye MD Ass. 2008;141-147, 201-213.
2. Azar, Dimitri T., et al. The Manual of Ocular Diagnosis and Therapy. Sixth
Edition. Massachusetts: Lippincott Williams; 2008. 54.
3. Friedman, Neil J., Kaiser, Peter K., Pineda II, Roberto. The Massachusets Eye
and Ear infirmary illustrated Manual of Ophtalmology. China: Saunders
Elsevier; 2009. 89-91.
4. Galloway, N.R., Galloway, P.H., Amoaku, W.M.K., Browning, A.C. Common
Eye Diseases and their Management. Third Edition. London: Springer-Verlag
London Limited; 2006. 38.
5. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran UI. 2005
6. Indonesia Sehat 2010. Deteksi Dini Xeroftalmia. Departemen Kesehatan RI.
2002
7. James, Bruce, Chew, Chris, Bron, Anthony. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi
Kesembilan. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006. 61.
8. Khaw, P.T., Shah, P., Elkington, A.R., ABC of Eyes. Fouth Edition. London:
BMJ Publishing Group; 2005.25.
9. Khurana, AK. Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Ltd; 2007. 339-341, 351-353.
10. Lang, GK. Ophthalmology A Short Textbook. New York: Thieme; 2000. 28-
29.
11. Nema, H.V., Nema, Nitin. Textbook of Ophtalmology. India: Jaypee Brothers;
2002. 328-329.
12. Olver, Jane, Cassidy, Lorraine. Ophtalmology At a Glance. Oxford: Blackwell
Science Ltd; 2005. 56-57.
13. Voughan, Daniel, dkk. 2006. Oftalmologi Umum. Edisi ke-14. Jakarta:Widya
Medika. 2006

Anda mungkin juga menyukai