Anda di halaman 1dari 15

I.

LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 61 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan Terakhir : SD
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Cilongok
Agama : Islam

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Gatal dan kulit melepuh diseluruh tubuh
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik kulit RS Margono Soekarjo dengan keluhan
gatal dan kulit yang melepuh diseluruh tubuh, keluhan sudah dirasakan
selama 1 tahun, awalnya pasien didiagnosis oleh dokter terkena penyakit
TB paru dan dianjurkan untuk minum obat selama 6 bulan, namun
setelah beberapa hari meminum obat TB pasien mengeluhkan gatal pada
bagian anggota gerak disertai bentol-bentol kemerahan. Ny. A sering
menggaruk untuk mengurangi rasa gatalnya, lama kelamaan gatal
semakin memberat dan timbul lenting-lenting juga lecet akibat garukan.
Ny A masih terus mengkonsumsi obat TB dan keluhan gatal semakin
meluas, akhirnya Ny.A memeriksaan diri ke dokter kulit dan diputuskan
untuk menghentikan obat TB sementara untuk diobati sakit kulitnya,
setelah keluhan kulit mulai sembuh Ny A melanjutkan kembali minum
obat TB dan keluhan serupa terjadi sampai seluruh tubuh menjadi
melepuh.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya diakui
b. Riwayat alergi obat (antibiotik, dan lain-lain) disangkal
c. Riwayat alergi disangkal

1
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus (kencing manis), hipertensi (darah
tinggi) disangkal
e. Riwayat penyakit asma disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
c. Riwayat penyakit asma disangkal
d. Riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami, anak dan cucunya dirumah sendiri, dan
berprofesi sebagai pedagang.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik, BB: 48 kg, TB: 155 cm
Vital Sign : Tekanan Darah : 130/90 mmHg’
Nadi : 90x/menit
Pernafasan : 16x/menit
Suhu : 36,7°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi
merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge(-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 – T1, tidak hiperemis
Leher : Dalam batas normal
Thorax : Tidak dilakukan
Jantung : Tidak dilakukan
Paru : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan

2
Limfe nodi : tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ), sianosis ( )
2. Status Dermatologis
Lokasi : di seluruh bagian tubuh, kecuali regio facial
Effloresensi : Bula bentuk numular multiple tegang disertai vesikel dan
plakat pada kulit yang eritema, tampak erosi dan ekskoriasi serta
hiperpigmentasi pada bekas lesi sebelumnya tersebar generalisata.

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
E. Resume
Pasien datang ke poliklinik kulit RS Margono Soekarjo dengan keluhan gatal
dan kulit yang melepuh diseluruh tubuh, keluhan sudah dirasakan selama 1 tahun,
awalnya pasien didiagnosis oleh dokter terkena penyakit TB paru dan dianjurkan
untuk minum obat selama 6 bulan, namun setelah beberapa hari meminum obat
TB pasien mengeluhkan gatal pada bagian anggota gerak disertai bentol-bentol
kemerahan. Ny. A sering menggaruk untuk mengurangi rasa gatalnya, lama
kelamaan gatal semakin memberat dan timbul lenting-lenting juga lecet akibat
garukan. Ny A masih terus mengkonsumsi obat TB dan keluhan gatal semakin
meluas, akhirnya Ny.A memeriksaan diri ke dokter kulit dan diputuskan untuk
menghentikan obat TB sementara untuk diobati sakit kulitnya, setelah keluhan
kulit mulai sembuh Ny A melanjutkan kembali minum obat TB dan keluhan
serupa terjadi sampai seluruh tubuh menjadi melepuh. Pada pemeriksaan fisik
tampak bula bentuk numular multiple disertai vesikel dan plakat pada kulit yang

3
eritema, tampak erosi dan ekskoriasi serta hiperpigmentasi pada bekas lesi
sebelumnya tersebar generalisata.

F. Diagnosis Kerja
Pemfigus Bulosa
G. Diagnosis Banding
a. Pemphigus Vulgaris
Bula yang kendur di atas kulit normal dan dapat pula erosi. Membran
mukosa terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya dapat
dibagian tubuh mana saja.
b. Pemphigus Foliaseus
Lesi kulit pada pemfigus foliaseus berupa krusta dan adakalanya
berupa vesikel yang kendur. Membran mukosa jarang terlibat.
Distribusi lesinya pada bagian tubuh yang lebih terbuka dan bagian
tubuh yang memiliki banyak kelenjar sebasea.
H. Penatalaksanaan
Prednisone 40-60 mg/hari, dosis diturunkan perlahan
Tetrasiklin 3x500 mg/ hari dikombinasikan Niasinamid 3x500 mg/ hari
I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
Quo ad kosmetikum : dubia ad malam

4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pemfigoid Bulosa (PB) adalah penyakit umum autoimun kronik yang
ditandai oleh adanya bula subepidermal pada kulit. Penyakit ini biasanya
diderita pada orang tua dengan erupsi bulosa disertai rasa gatal menyeluruh
dan lebih jarang melibatkan mukosa, tetapi memiliki angka morbiditas yang
tinggi (Bernard, 2013).
Pemfigoid Bulosa (PB) ditandai oleh adanya bula subepidermal yang besar
dan berdinding tegang, dan pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3
(komponen komplemen ke-3) pada epidermal basement membrane zone, IgG
sirkulasi dan antibody IgG yang terikat pada basement membrane zone.
Kondisi ini disebabkan oleh antibody dan inflamasi abnormal terakumulasi di
lapisan tertentu pada kulit atau selaput lendir. Lapisan jaringan ini disebut
"membran basal." Antibodi (imunoglobulin) mengikat protein di
membran basal disebut antigen hemidesmosomal PB dan ini menarik sel-sel
peradangan (kemotaksis) (Bernard, 2013).
B. Etiologi
PB adalah contoh dari penyakit yang dimediasi imun yang dikaitkan
dengan respon humoral dan seluler yang ditandai oleh dua self-antigen:
antigen PB 180 (PB180, PBAG2 atau tipe kolagen XVII) dan antigen PB 230
(PB230 atau PBAG1 (Bernard, 2013). Etiologi PB adalah autoimun, tetapi
penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi pada Pemfigoid Bulosa
masih belum diketahui. Sistem imun tubuh kita menghasilkan antibodi untuk
melawan bakteri, virus atau zat asing yang berpotensi membahayakan. Untuk
alasan yang tidak jelas, tubuh dapat menghasilkan antibodi untuk suatu
jaringan tertentu dalam tubuh. Dalam Pemfigoid Bulosa, sistem kekebalan
menghasilkan antibodi terhadap membran basal kulit, lapisan tipis dari serat
menghubungkan lapisan luar kulit (dermis) dan lapisan berikutnya dari kulit
(epidermis). Antibodi ini memicu aktivitas inflamasi yang menyebabkan
kerusakan pada struktur kulit dan rasa gatal pada kulit (fennela, 2010).
Tidak ada penyebab khusus yang memicu timbulnya PB, namun beberapa
faktor dikaitkan dengan terjadinya PB. Sebagian kecil kasus mungkin dipicu

5
obat seperti furosemide, sulphasalazine, penicillamine dan captopril. Suatu
studi kasus menyatakan obat anti psikotik dan antagonis aldosterone termasuk
dalam faktor pencetus Pemfigoid Bulosa. Belum diketahui apakah obat yang
berefek langsung pada sistem imun, seperti kortikosteroid, juga berpengaruh
pada kasus Pemfigoid Bulosa. Sinar ultraviolet juga dinyatakan sebagai faktor
yang memicu PB ataupun memicu terjadinya eksaserbasi PB. Beberapa
faktor fisik termasuk suhu panas, luka, trauma lokal, dan radioterapi
dilaporkan dapat menginduksi PB pada kulit normal (fennela, 2010).
C. Patogenesis

Gambar 1 :Mekanisme pembentukan bula di Pemfigoid Bulosa (PB)

Gambar atas menggambarkan beberapa struktur protein membran


basal epidermis yang berfungsi sebagai autoantigen utama dalam penyakit
kulit autoimun subepidermal bulosa. Autoantigens utama pada pasien PB
adalah antigen PB 230 (PB230) dan antigen PB 180. Autoantibodi PB
terakumulasi dalam jaringan dan mengikat antigen pada membran basal.

Pasien dengan PB mengalami respon sel T autoreaktif untuk PB180 dan


PB230, dan ini mungkin penting untuk merangsang sel B untuk menghasilkan
autoantibodi pathogen (Bernard, 2013).

6
Setelah pengikatan autoantibodi terhadap antigen target, pembentukan
bula subepidermal terjadi melalui rentetan peristiwa yang melibatkan aktivasi
komplemen, perekrutan sel inflamasi (terutama neutrofil dan eosinofil), dan
pembebasan berbagai kemokin dan protease, seperti metaloproteinase matriks-
9 dan neutrofil elastase (Bernard, 2013).
Pemfigoid Bulosa adalah contoh penyakit autoimun dengan respon
imun seluler dan humoral yang bersatu menyerang antigen pada membran
basal. Antigen PB merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel
basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian BMZ (basal membrane
zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel
basal dengan membrane basalis, strukturnya berbeda dengan desmosome
(Djuanda, 2010).
Terdapat dua jenis antigen Pemfigoid Bulosa yaitu dengan berat
molekul 230kD disebut PBAg1 (Pemfigoid Bulosa Antigen 1) atau PB230 dan
180 kD dinamakan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan dari
pada PB180 (Djuanda, 2010).
Terbentuknya bula akibat komplemen yang beraktivasi melalui jalur
klasik dan alternatif, yang kemudian akan mengeluarkan enzim yang merusak
jaringan sehingga terjadi pemisahan epidermis dengan dermis (Djuanda,
2010).
Studi ultrastruktural memperlihatkan pembentukan awal bula pada
pemfigus bulosa terjadi dalam lamina lucida, di antara membrane basalis dan
lamina densa. Terbentuknya bula pada tempat tersebut disebabkan hilangnya
daya tarikan filament dan hemidesmosom (Jhon et al, 2011).
Langkah awal dalam pembentukan bula adalah pengikatan antibodi
terhadap antigen Pemfigoid Bulosa. Fiksasi IgG pada membran basal
mengaktifkan jalur klasik komplemen. Aktifasi komplemen menyebabkan
kemotaksis leukosit serta degranulasi sel mast. Produk-produk sel mas
menyebabkan kemotaksis dari eosinofil melalui mediator seperti faktor
kemotaktik eosinofil anafilaksis. Akhirnya, leukosit dan protease sel mast
mengakibatkan pemisahan epidermis kulit. Sebagai contoh, eosinofil, sel
inflamasi dominan di membran basal pada lesi Pemfigoid Bulosa,

7
menghasilkan gelatinase yang memotong kolagen ekstraselular dari PBAG2,
yang mungkin berkontribusi terhadap pembentukan bula (Jhon et al, 2011).
D. Manifestasi Klinis
1. Fase Non Bulosa
Manifestasi kulit PB bisa polimorfik. Dalam fase prodromal
penyakit non-bulosa, tanda dan gejala sering tidak spesifik, dengan rasa
gatal ringan sampai parah atau dalam hubungannya dengan eksema, papul
dan atau urtikaria, ekskoriasi yang dapat bertahan selama beberapa
minggu atau bulan. Gejala non-spesifik ini bisa ditetapkan sebagai satu-
satunya tanda-tanda penyakit (Bernard, 2013).
2. Fase Bulosa
Tahap bulosa dari PB ditandai oleh perkembangan vesikel dan bula
pada kulit normal ataupun eritematosa yang tampak bersama-sama
dengan urtikaria dan infiltrat papul dan plak yang kadang-kadang
membentuk pola melingkar. Bula tampak tegang, diameter 1 – 4 cm,
berisi cairan bening, dan dapat bertahan selama beberapa hari,
meninggalkan area erosi dan berkrusta. Lesi seringkali memiliki pola
distribusi simetris, dan dominan pada aspek lentur anggota badan dan
tungkai bawah, termasuk perut. Perubahan post inflamasi memberi
gambaran hiper- dan hipopigmentasi serta, yang lebih jarang, miliar.
Keterlibatan mukosa mulut diamati pada 10-30% pasien. Daerah mukosa
hidung mata, faring, esofagus dan daerah anogenital lebih jarang
terpengaruh. Pada sekitar 50% pasien, didapatkan eosinofilia darah perifer
(Bernard, 2013).
Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita
baik. Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul
lagi secara sporadik, dapat generalisata atau tetap setempat sampai
beberapa tahun. Rasa gatal kadang dijumpai, walaupun jarang ada. Tanda
Nikolsky tidak dijumpai karena tidak ada proses akantolisis. Kebanyakan
bula ruptur dalam waktu 1 minggu, tidak seperti pemfigus vulgaris, ia
tidak menyebar dan sembuh dengan cepat (Habif, 2003).

8
3. Lesi Kulit
Eritem, papul atau tipe lesi urtikaria mungkin mendahului
pembentukan bula. Bula besar, tegang, oval atau bulat; mungkin timbul
dalam kulit normal atau yang eritema dan mengandung cairan serosa atau
hemoragik. Erupsi dapat bersifat lokal maupun generalisata, biasanya
tersebar tapi juga berkelompok dalam pola serpiginosa dan arciform (Jhon
et al, 2011). Tempat Predileksi adalah Aksila, paha bagian medial, perut,
fleksor lengan bawah, tungkai bawah (Jhon et al, 2011).
E. Penegakan Diagnosis
Diagnosis pemfigus bulosa berdasarkan gejala klinis, histopatologis,
dan imunofluoresens. Lesi kulit PB ditandai dengan bula besar berdinding
tegang di atas kulit normal atau dasar eritematosa. Lokasi lesi terutama di
perut bagian bawah, paha, lengan, serta dapat menyebar ke seluruh tubuh.
Bula dapat berisi cairan bening atau hemoragik dan dapat disertai dengan
gatal. Erosi kulit akibat bula yang pecah mudah timbul didekat lesi lama
yang mulai sembuh. Bekas lesi tidak meninggalkan parut (Wojnarowska, et
al. 2010).
Pemeriksaan histopatologis pada bula yakni terdapat eosinophil,
limfosit dan histosit tanpa disertai nekrosis epidermis. Pada lesi urtikaria
menunjukan infiltrate dermis superfisial terdiri dari limfosit, histiosit, dan
eosinnofil. Pemeriksaan imunofluoresensi langsung biopsy tepi lesi
menunjukan deposit IgG (Wojnarowska, et al. 2010).
F. Diagnosis Banding
1. Pemfigus vulgaris (PV), adalah sebuah penyakit autoimun yang serius,
dengan bulla, dapat bersifat akut ataupun kronis pada kulit dan membran
mukosa yang sering berakibat fatal kecuali diterapi dengan agen
imunosupresif. Penyakit ini adalah prototype dari keluarga / golongan
pemfigus, yang merupakan sekelompok penyakit bula autoimun
akantolitik. Gambaran lesi kulit pada pemfigus vulgaris didapatkan bula
yang kendur di atas kulit normal dan dapat pula erosi. Membran mukosa
terlibat dalam sebagian besar kasus. Distribusinya dapat dibagian mana
saja pada tubuh. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran

9
akantolisis suprabasalis. Pada pemeriksaan imunopatologi, diperoleh IgG
dengan pola interseluler (Wolf, 2007).
2. Pemfigus foliaseus (PF) adalah bentuk superfisial penyakit pemfigus
dengan akantolisis pada lapisan granulosum epidermis. Lesi kulit pada
pemfigus foliaseus berupa krusta dan adakalanya berupa vesikel yang
kendur. Membran mukosa jarang terlibat. Distribusi lesinya pada bagian
tubuh yang lebih terbuka dan bagian tubuh yang memiliki banyak kelenjar
sebasea. Pada gambaran histopatologi, terlihat gambaran akantolisis pada
stratum granulosum. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG
dengan pola intraseluler (Wolf, 2007).
3. Dermatitis herpetiformis (DH), adalah erupsi pruritus yang kronis,
rekuren, dan intensif yang muncul secara simetris pada ekstremitas dan
pada badan dan terdiri dari vesikel-vesikel kecil, papul, dan plak urtika
yang tersusun berkelompok, serta berkaitan dengan gluten-sensitive
enteropathy (GSE) dan deposit IgA pada kulit. Lesi kulit berupa papul
berkelompok, urtikaria, vesikel serta krusta. Membran mukosa tidak
terlibat. Lesi terdistribusi pada daerah siku, lutut, glutea, sakral dan
skapula. Pada pemeriksaan histopatologi, terlihat gambaran mikroabses di
papilla dermis, dan vesikel subepidermal. Pada pemeriksaan
imunopatologi, didapatkan IgA berbentuk granula pada ujung papilla
(Wolf, 2007).
4. Epidermolisis Bulosa (EB), adalah sebuah penyakit bula subepidermal
kronik yang berkaitan dengan autoimunitas pada kolagen tipe II dalam
fibrin pada zona membrane basal. Lesi kulit berupa bula yang berdinding
tegang dan erosi, gambaran noninflamasi ataupun menyerupai pemfigus
bulosa, Dermatitis herpetiformis, atau Dermatosis IgA linear. Membran
mukosa terlibat pada kasus yang parah. Distribusi lesinya sama dengan
Pemfigoid Bulosa. Pada pemeriksaan histopatologi didapatkan bula
subepidermal. Pada pemeriksaan imunopatologi diperoleh IgG linear pada
zona membrane basal (Wolf, 2007).

10
5. Erupsi obat, misalnya obat furosemide, sulfonamide. Pemeriksaan rutin
dan imunofluoresens dari sample biopsy kulit biasanya dapat
membedakan.
6. Eritema Multiforme Bulosa, lesi-lesi pada eritema multiforme bulosa
berbentuk seperti target, imunofluoresensi IgG linier negative, dan
biasanya terdapat paparan infeksi sebelumnya atau riwayat
mengkonsumsi obat-obatan. Contohnya steven Johnson syndrome.
G. Penatalaksanaan
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam
kombinasi dengan agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau
tetracycline. Obat-obat ini biasanya dimulai secara bersamaan, mengikuti
penurunan secara bertahap dari prednison dan agen steroid setelah remisi
klinis tercapai. Kasus ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid
topikal. Methrotrexate mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat
yang tidak dapat bertoleransi terhadap prednison. Dosis prednisolon 40-60
mg sehari, jika telah tampak perbaikan dosis di turunkan perlahan-lahan.
Sebagian kasus dapat disembuhkan dengan kortikosteroid saja (Jhon et al,
2011).
Terapi steroid sistemik biasanya diperlukan, tetapi tidak seperti Pemfigus,
dimungkinkan untuk menghentikan terapi ini setelah 2 sampai 3 tahun. Dosis
awal 60-100 mg prednisolon atau setara harus secara bertahap dikurangi ke
jumlah minimum yang akan mengendalikan penyakit ini. Azatioprine juga
berpotensi memberikan efek samping yang buruk seperti prednison. Suatu
kajian menjelaskan jika glukokortikoid sistemik diberikan pada penderita
dengan dosis tinggi tanpa dilakukan tapering selama 4 minggu, kombinasi
dengan azatioprine kurang memberi manfaat tetapi sebaliknya penderita
harus menanggung efek samping obat tersebut (Djuanda, 2010).
Pada penderita lanjut usia dengan gejala yang tidak progresif, obat
imunosupresif ini bisa digunakan pada terapi awal tanpa dikombinasikan
dengan prednison. Glukokortikoid sistemik biasanya diperlukan pada
penderita dengan gejala yang berat dan progresif supaya penderita bisa

11
ditangani dengan cepat. Efek pemakaian glukokortikoid sistemik sangat cepat
yaitu hanya beberapa hari (Djuanda, 2010).
Terapi dosis tinggi metilprednisolon intravena juga dilaporkan efektif
untuk mengontrol dengan cepat pembentukan bula yang aktif pada Pemfigoid
Bulosa (Jhon et al, 2011).
Sulfon mungkin efektif pada setengah pasien dengan Pemfigoid Bulosa.
Tidak banyak pasien yang berespon terhadap dapson (Jhon et al, 2011).
f. Prognosis
Pemfigoid Bulosa ialah penyakit kulit kronis yang bisa menetap selama
beberapa bulan atau beberapa tahun, namun secara umum prognosisnya baik..
Walaupun mayoritas pasien yang mendapatkan terapi akan mengalami remisi
spontan, tingkat mortalitas dipertimbangkan pada pasien yang sudah lanjut
usia (Beers et al, 2011). Usia tua dan kondisi umum yang buruk telah terbukti
secara signifikan mempengaruhi prognosis. Secara historis, dinyatakan bahwa
prognosis pasien dengan Pemfigoid Bulosa jauh lebih baik dari pasien dengan
pemfigus, terutama Pemfigus Vulgaris dengan Pemfigoid Bulosa dimana
tingkat mortalitasnya sekitar 25% untuk pasien yang tidak diobati dan sekitar
95% untuk pasien dengan penyakit Pemvigus Vulgaris saja tanpa pengobatan.
Dalam beberapa dekade terakhir, beberapa penilitian di Eropa pada kasus
Pemfigoid Bulosa menunjukkan bahwa bahkan dengan perawatan, pasien
Pemfigoid Bulosa memiliki prognosa seburuk penyakit jantung tahap akhir,
dengan lebih dari 40% pasien meninggal dunia dalam kurun 12 bulan. Dari
studi terbaru, kemungkinan bahwa penyakit penyerta dan pola praktek
(penggunaan kortikosteroid sistemik dan / atau obat imunosupresif) juga
mempengaruhi keseluruhan morbiditas dan mortalitas penyakit ini (Beers et
al, 2011).

12
III. PEMBAHASAN
Pasien datang ke poliklinik kulit RS Margono Soekarjo dengan keluhan gatal
dan kulit yang melepuh diseluruh tubuh, keluhan sudah dirasakan selama 1 tahun,
awalnya pasien didiagnosis oleh dokter terkena penyakit TB paru dan dianjurkan
untuk minum obat selama 6 bulan, namun setelah beberapa hari meminum obat
TB pasien mengeluhkan gatal pada bagian anggota gerak disertai bentol-bentol
kemerahan. Ny. A sering menggaruk untuk mengurangi rasa gatalnya, lama
kelamaan gatal semakin memberat dan timbul lenting-lenting juga lecet akibat
garukan. Ny A masih terus mengkonsumsi obat TB dan keluhan gatal semakin
meluas, akhirnya Ny.A memeriksaan diri ke dokter kulit dan diputuskan untuk
menghentikan obat TB sementara untuk diobati sakit kulitnya, setelah keluhan
kulit mulai sembuh Ny A melanjutkan kembali minum obat TB dan keluhan
serupa terjadi sampai seluruh tubuh menjadi melepuh.
Diagnosis pemfigus bulosa berdasarkan gejala klinis, histopatologis, dan
imunofluoresens. Lesi kulit PB ditandai dengan bula besar berdinding tegang di
atas kulit normal atau dasar eritematosa. Lokasi lesi terutama di perut bagian
bawah, paha, lengan, serta dapat menyebar ke seluruh tubuh. Bula dapat berisi
cairan bening atau hemoragik dan dapat disertai dengan gatal. Erosi kulit akibat
bula yang pecah mudah timbul didekat lesi lama yang mulai sembuh. Bekas lesi
tidak meninggalkan parut.
Pengobatan terdiri dari prednisone sistemik, sendiri atau dalam kombinasi
dengan agen lain yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil atau tetracycline.
Kasus ringan mungkin hanya memerlukan kortikosteroid topikal. Methrotrexate
mungkin digunakan pada pasien dengan penyakit berat yang tidak dapat
bertoleransi terhadap prednison.

13
IV. KESIMPULAN

1. Pasien datang ke poliklinik kulit RSMS dengan keluhan gatal dan tampak
bula bentuk numular multiple disertai vesikel dan plakat pada kulit yang
eritema, tampak erosi dan ekskoriasi serta hiperpigmentasi pada bekas lesi
sebelumnya tersebar generalisata.
2. Manifestasi klinik berupa fase non bulosa diikuti fase bulosa yang berjalan
kronik
3. Perjalanan penyakit biasanya ringan dan keadaan umum penderita baik.
Penyakit PB dapat sembuh spontan (self-limited disease) atau timbul lagi
secara sporadik

14
DAFTAR PUSTAKA

Beers M H, Porter RS, Jones T V, Kaplan J L, Berkwits M. 2012. The Merck


Manual 18th Edition Volume. pp. 947-950

Bernard P. 2013. Bullous pemphigoid in Bolognia. J L Jorizzo, J L Rapini, R P.


Dermatology, vol 1 2nd Edition by Mosby.

Djuanda A. Pemfigoid Bulosa. In: Hamzah M, Aisah S, editors. Buku Ilmu


Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kelima. Jakarta: Balai penerbit FK-UI 2010.
P.210-211.

Fenella Wojnarowska R A J Eady & Susan M Burge.2010. Bullous Eruption in


Champion. RH Burton, J L Burns, D A Breathnach S.M. Journal of
Dermatology

Habif T P. 2003. Clinical Dermatology, a Color Guide to Diagnosis and


Therapy 4th edition : Mosby.

John R Stanley. Pemphigus in Freedberg. I M Eisen, A Z Wolff, K Austen, K


F Goldsmith, L A and Katz S.I. 2011. Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine vol. 1 6th Edition.

Wolff K, Johnson R A. 2007. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical


Dermatology. 6th ed. New York: Mc Graw-Hill.

Wojnarowska, venning, et al. 2010. Imunnobullous disease. Rook’s textbook of


dermatology. Volume two. Edisi ke-8.

15

Anda mungkin juga menyukai