Anda di halaman 1dari 42

BAGIAN ILMU MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020

UNIVERSITAS HALU OLEO

RETINOBLASTOMA

Oleh:

Habri Tri Sakti

K1A1 14 017

Pembimbing

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
1

Retinoblastoma
Habri Tri Sakti, Nevita Yonnia Ayu Soraya

A. PENDAHULUAN

Retinoblastoma merupakan tumor ganas primer intraokuler terbanyak

pada anak-anak. Secara genetik tumor ini berkembang karena mutasi lengan

panjang kromosom pada lokus 13q14 dan mutasi pada kedua alel gen Rb1. 1

Mutasi ini dapat disebabkan oleh adanya kesalahan acak selama proses

pengopian DNA saat terjadi pembelahan sel.2 Tumor ini dapat diturunkan

secara herediter atau sporadik, dan dapat unilateral (70-75% kasus), maupun

bilateral (25-30% kasus).1

Insiden retinoblastoma cenderung konstan di seluruh dunia yaitu satu

kasus setiap 15.000-20.000 kelahiran hidup dan sekitar 9000 kasus baru

setiap tahunnya. Namun dari data di Indonesia yang membahas mengenai

kasus retinoblastoma masih sedikit.2

Di Amerika Serikat, kasus retinoblastoma diperkirakan ditemukan

pada 1 dari 18000 anak di bawah umur 5 tahun. Tidak terdapat predileksi sex

dan ras. Umur yang sering dikenai rata-rata usia 18 bulan dan 90% pasien

didiagnosis sebelum usia 5 tahun. Insiden tertinggi terjadi dinegara

berkembang. Insiden retinoblastoma di Victoria yaitu 1:17.500 kelahiran pada

periode 1976-2000. Di negara maju, survival rate mencapai 90%, sedangkan

pada negara berkembang survival rate nya masih rendah. Hal ini dilihat dari

angka kematian cukup tinggi. Masalah ini disebabkan tingkat pendidikan dan

sosial budaya yang relatif masih rendah serta tenaga dan fasilitas kesehatan

yang belum cukup.1


2

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Anatomi Mata

Mata merupakan organ visual yang terdiri dari bola mata (Bulbus

oculi) dan struktur tambahan (Structurae oculi accessorae). Bola mata

terletak di suatu cavitas yang menyerupai piramid segi empat berongga

dengan dasar yang mengarah ke anteromedial dan apeks ke posteromedial.

Bola mata terdiri atas kornea dan nervus opticus.3

Bola mata orang dewasa normal memiliki diameter anteroposterior

sekitar 24,2 mm. Bola mata terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan luar

(fibrosa), lapisan tengah (vaskular), dan lapisan dalam. Lapisan fibrosa

terdiri dari sklera dan kornea. Lapisan vaskular yang kaya pembuluh darah

terdiri dari koroid, korpus siliaris, dan iris. Lapisan dalam terdiri atas

retina yang memiliki bagian optik dan non-visual Bola mata memiliki

media refraksi yaitu media yang dapat membiaskan cahaya yang masuk ke

mata, yaitu lensa, kornea, aqueous humor, dan vitreous humor.3


3

Gambar 1. Anatomi Mata.3


a. Sklera

Sklera merupakan lapisan luar berwarna opak yang menutupi

lima perenam posterior bola mata. Sklera memiliki ketebalan 0,5 mm,

terdiri atas jaringan ikat padat, dan relatif avaskular. Di bagian posterior

sklera akan menebal dan bergabung dengan epineurium yang melapisi

nervus opticus.3

b. Kornea

Kornea adalah selaput bening yang menutupi seperenam

anterior bola mata. Kornea memiliki lima lapisan yaitu :

1) Epitel

Epitel pada kornea memiliki ketebalan 50 mm dan terdiri

atas lima lapis epitel tidak bertanduk; sel basal, sel poligonal, dan

sel gepeng.3

2) Membran Bowman

Membran bowman terletak di bawah membran basal epitel

kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur.3

3) Stroma

Stroma menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma

tersusun atas jalinan lamella serat serat kolagen yang memiliki

tinggi 1-2 µm dan lebar sekitar 10-250 µm.3

4) Membran Descement
4

Membran descement merupakan membran aselular yang

sangat elastis. Saat lahir tebalnya sekitar 3 µm dan terus menebal

hingga 10-12 µm.3

5) Endotel

Endotel berasal dari mesotelium, berbentuk heksagonal, dan

hanya memiliki satu lapis sel.3

c. Koroid

Koroid merupakan lapisan yang sangat vaskular pada dua

pertiga posterior mata yang tersusun atas jaringan ikat longgar

bervaskular yang banyak mengandung fibroblast, melanosit, serat

kolagen dan elastin, limfosit, makrofag, sel mast, dan sel plasma.

Koroid memiliki banyak pembuluh darah yang berfungsi untuk

memberi nutrisi pada retina bagian terluar yang terletak di bawahnya.3

d. Korpus Siliaris

Korpus siliaris membentang ke depan dari ujung anterior koroid

ke pangkal iris. Korpus siliaris terdiri atas pars plicata dan pars plana.

Processus siliaris berasal dari pars plicata yang merupakan pembentuk

aqueous humor.3

e. Iris

Iris merupakan perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Di

dalam stroma iris terdapat sfingter dan otot otot dilator. Iris

mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata dengan

mengecilkan (miosis) atau melebarkan (midriasis) pupil.3


5

f. Retina

Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang

menerima rangsangan cahaya dan terdiri atas sembilan lapisan, yaitu :

1) Membran Limitans Interna

Merupakan membran hialin antara retina dan corpus vitreum.3

2) Lapisan Serat Saraf

Mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus

opticus.3

3) Lapisan Sel Ganglion

4) Lapisan Pleksiform Dalam

Merupakan tempat sinaps sel ganglion dengan sel bipolar dan sel

amakrin.3

5) Lapisan Inti Dalam (Nukleus Dalam)

Merupakan tubuh sel muller, sel horizontal, dan sel bipolar.3

6) Lapisan Pleksiform Luar

Merupakan tempat sinaps sel fotoreseptor dengan sel horizontal dan

sel bipolar.3

7) Lapisan Inti Luar (Nukleus Luar)

8) Membran Limitans Eksterna

9) Lapisan Fotoreseptor

Terdiri atas sel batang dan sel kerucut.3

10) Epitel Pigmen Retina

g. Lensa
6

Lensa merupakan struktur bikonkaf yang transparan dan

avaskular dengan tebal sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Terletak di

posterior iris dan anterior vitreous humor. Lensa ditahan ditempatnya

oleh ligamentum suspensorium atau zonula zinni yang tersusun atas

banyak fibril. Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air dan sekitar

tiga puluh lima persennya terdiri atas protein.3

h. Aqueous Humor

Aqueous humor diproduksi oleh korpus siliaris. Aqueous humor

memberi nutrisi untuk kornea dan lensa yang tidak memiliki pembuluh

darah. Aqueous humor akan masuk ke camera oculi posterior, berjalan

melalui pupil ke dalam camera oculi anterior, dan bermuara ke dalam

sinus venosus sklera atau canalis sclem.3

i. Vitreous Humor

Vitreous humor merupakan cairan yang berada di dalam corpus

viterum. Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola

mata agar tetap bulat. Berfungsi untuk mentransmisi cahaya, menahan

retina, dan menopang lensa.3

j. Otot Ekstraokuler Orbita

Bola mata memiliki 2 kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan

otot ekstrinsik. Otot intrinsik bersifat involunter, terdiri dari otot siliaris

(sfingter dan dilator iris) dan otot-otot yang terdapat di dalam bola mata

yang berperan dalam mengatur gerakan struktur internal bola mata. Otot

ekstrinsik bersifat volunter, terdiri dari otot-otot ekstraokular yang


7

berperan dalam mengatur gerakan bola mata. Otot ekstraokular terdiri

dari 7 otot, yaitu 4 otot rektus, 2 otot oblik dan 1 otot levator palpebra.

Secara umum otot ekstraokular berperan dalam menggerakkan bola

mata, tetapi otot levator palpebral memiliki fungsi yang berbeda. Otot

ini berfungsi untuk elevasi palpebra superior.4

Otot ekstra okuler orbita terdiri dari:

1) Levator palpebrae superioris

Levator palpebrae superioris melebar menjadi bilaminar

aponeurosis. Bagian superfisial lamina melekat pada kulit palpebra

superior dan lamina profundus pada superior tarsus. Otot ini setiap

saat melawan gravitasi dan merupakan antagonis setengah bagian

superior musculus orbicularis oculi (sphincter palpebral

fissure).Lamina profundus bagian distal otot terdiri dari ototo polos,

yaitu superior tarsal muscle, yang menghasilkan pelebaran

tambahan fisura palpebralis, terutama selama respon simpatis,

misalnya saat ketakutan.Walaupun demikian, otot ini berfungsi

secara terus menerus walau tidak ada respon simpati.5

2) Empat recti (superior, inferior, medial, and lateral)5

3) Dua obliques (superior daninferior)5

Semua otot ini bergerak bersama untuk menggerakkan

palpebra superior dan bulbus okuli.5

Otot ekstraokular terdiri dari 6 otot utama yaitu rektus superior,

rektus medial, rektus inferior, rektus lateral dan 2 otot oblik yaitu oblik
8

superior dan oblik inferior. Otot-otot ini terletak di dalam rongga orbita

dan dikelilingi oleh lemak serta jaringan ikat fibroelastik.Otot

ekstraokular membentuk kerucut otot (musclecone) pada bagian

posterior dari garis ekuator bola mata. Jaringan lemak mengisi bagian

dalam kerucut tersebut.4

Gambar 2.Otot ekstraokuler.4

Empat otot rektus memiliki origo di cincin tendon yang

terletak di apeks orbita dan disebut Annulus of Zinn.Insersi otot-otot

ini terletak di sklera pada bagiananterior tepatnya 4-8 mm di

belakang limbus. Insersi otot rektus medial, rektusinferior, rektus

lateral, dan rektus superior, secara berurutan terletak semakin

menjauh dari limbus membentuk spiral imajiner yang disebut Spiral

of Tillaux.4
9

Gambar 3.Spiral of Tillaux.4

Otot oblik superior berasal dari periosteum tulang sfenoid di

bagian superomedial foramen optik.Otot tersebut memanjang ke

troklea di superonasal rima orbita dan masuk ke sklera di bagian

superior, di bawah insersi otot rektus superior.Otot oblik inferior

berasal dari cekungan dangkal di lempeng orbita tulang maksila, di

sudut anteromedial lantai tulang orbita dekat fossa lakrimalis.Otot

tersebut memanjang ke posterior, lateral dan superior lalu masuk ke

sklera di kuadran posterior inferior temporal.4

2. Fisiologi Penglihatan

a. Proses Refraksi

Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada media

transparan lain misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium

dengan densitas tinggi, berkas cahaya melambat (yang sebaliknya juga


10

berlaku). Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai

permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak lurus.

Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Pada

permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan,

semakin besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa. Ketika suatu

berkas cahaya mengenai permukaan lengkung suatu benda dengan

densitas lebih besar maka arah refraksi bergantung pada sudut

kelengkungan. Permukaan konveks melengkung keluar (cembung,

seperti permukaan luar sebuah bola), sementara permukaan konkaf

melengkung ke dalam (cekung, seperti gua). Permukaan konveks

menyebabkan konvergensi berkas sinar, membawa berkas-berkas

tersebut lebih dekat satu sama lain. Karena konvergensi penting untuk

membawa suatu bayangan ke titik fokus, maka permukaan refraktif

mata berbentuk konveks. Permukaan konkaf membuyarkan berkas sinar

(divergensi). Lensa konkaf bermanfaat untuk mengoreksi kesalahan

refraktif tertentu mata, misalnya berpenglihatan dekat.6

b. Struktur Refraktif Mata

Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif

mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung,

struktur pertama yang dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut masuk

mata, berperan paling besar dalam kemampuan refraktif total mata

karena perbedaan dalam densitas pada pertemuan udara-kornea jauh

lebih besar daripada perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan
11

di sekitarnya. Pada astigmatisme, kelengkungan kornea tidak rata

sehingga berkas sinar mengalami refraksi yang tidak sama.

Kemampuan refraktif kornea seseorang tidak berubah, karena

kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan

refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya

sesuai kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh.6

Berkas cahaya dari sumber sinar berjarak lebih dari 20 kaki (= 6

meter) dianggap paralel pada saat berkas tersebut mencapai mata.

Sebaliknya, berkas cahaya yang berasal dari benda dekat masih tetap

berdivergensi ketika mencapai mata. Untuk kemampuan refraktif

tertentu mata, diperlukan jarak lebih jauh di belakang lensa untuk

membawa berkas divergen suatu sumber cahaya yang dekat ke titik

fokus daripada membawa berkas paralel suatu sumber cahaya yang jauh

ke titik fokus. Akan tetapi, pada mata tertentu, jarak antara lensa dan

retina selalu sama. Karena itu, tidak terdapat jarak yang lebih jauh

setelah lensa untuk membawa bayangan benda dekat ke fokus. Namun,

agar penglihatan jelas maka struktur-struktur refraktif mata harus

membawa bayangan dari sumber cahaya jauh atau dekat ke fokus di

retina. Jika suatu bayangan sudah terfokus sebelum mencapai retina

atau belum terfokus ketika mencapai retina, maka bayangan tersebut

akan terlihat kabur. Untuk membawa bayangan dari sumber cahaya

dekat dan jauh jatuh di titik fokus di retina (yaitu dalam jarak yang
12

sama) maka harus digunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber

cahaya dekat.6

C. DEFINISI

Retinoblastoma adalah neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel

batang dan kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat

kongenital yang timbul pada anak-anak berumur 3 tahun yang berbahaya,

meskipun dapat di jumpai pada usia lebih lanjut (40 tahun). Dapat mengenai

kedua mata, yang merupakan kelainan yang diturunkan secara autosomal

dominant, dapat pula mengenai satu mata yang bersifat mutasi somatik.

Secara genetik tumor ini berkembang karena mutasi lengan panjang

kromosom pada lokus 13q14 dan mutasi pada kedua alel gen Rb1.7

D. EPIDEMIOLOGI

Retinoblastoma terjadi di seluruh dunia, dengan perkiraan angka 1

dari 16.000-18.000 kelahiran hidup, dengan sekitar 8000 kasus baru

diprediksi setiap tahun. Usia rata-rata saat diagnosis adalah 27 bulan untuk

unilateral dan 15 bulan untuk retinoblastoma bilateral di Kanada, tetapi

masing-masing 36 dan 25 bulan, di Kenya, di mana banyak anak yang

menderita penyakit ekstraokular. Tidak ada kecenderungan etnis atau seksual

dan tidak ada hubungan geografis atau lingkungan dengan retinoblastoma.8

Sebanyak 60-75% penyakit ini terjadi unilateral dan terdiagnosis pada

usia 24-30 bulan. Retinoblastoma bilateral terjadi pada 25-40% kasus dan

terdiagnosis lebih muda dengan median usia 12 bulan. Pasien retinoblastoma


13

bilateral dan unilateral dengan riwayat keluarga retinoblastoma (herediter)

menempati 30-40% kasus. Pasien retinoblastoma unilateral tanpa riwayat

keluarga (nonherediter) menempati 60-70% kasus. Sedangkan 6-10% kasus

memiliki riwayat keluarga dengan retinoblastoma (familial herediter) dan bila

tidak terdapat riwayat keluarga, disebut sporadik namun belum tentu

nonherediter, karena pasien anak dengan kasus bilateral yang seluruhnya

herediter seringkali tidak memiliki riwayat keluarga menderita

retinoblastoma. Sebanyak 6% pasien dengan retinoblastoma bilateral

mengalami keterlibatan intrakranial, biasanya kelenjar pineal dengan

karakteristik histologi yang sama dengan di kedua mata, disebut

retinoblastoma trilateral.9

E. ETIOLOGI

Retinoblastoma dapat terjadi secara herediter dan non herediter, untuk

terbentuknya retinoblastoma, kedua kopi gen pada lokus 13q14 harus

mengalami mutasi berupa delesi, inaktivasi, atau hilang. Dua mutasi ini

disebut dengan teori dua “hit” yang pertama kali dikemukakan oleh Knudson

dan Hethcote pada tahun 1971. Pada kasus herediter, hit pertama diwariskan

dari sel germinal orang tua dan terdapat pada semua sel somatik anak dan hit

kedua/sekunder terjadi setelah konsepsi pada sel somatik retina dan

menyebabkan hilangnya alel lain yang normal. Telah diketahui bahwa 85%

mutasi germinal primer pada retinoblastoma bilateral terjadi di alel ayah.

Pada retinoblastoma non-herediter, kedua hit ini terjadi pada satu sel retina

setelah fertilisasi, yang menyebabkan retinoblastoma lebih sering bersifat


14

unilateral. Bila mutasi gen RB1 teridentifikasi pada pasien, saudara kandung,

anak, dan relasi lain perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya

mutasi gen RB1.9

F. PATOGENESIS

Retinoblastoma adalah penyakit genetik; merupakan inaktifasi kedua

alel gen RB (RB1). Penyakit ini di kategorikan dalam hereditary dan non-

hereditary (sporadik). Retinoblastoma hereditary adalah penyakit autosomal

dominant dengan mutasi germline, terhitung sekitar 6% pada penderita baru

yang terdiagnosis retinoblastoma. Pada tipe hereditary, 85% tumor terdeteksi

pada onset awal, bilateral, dan multifokal. Pada retinoblastoma inhereditary

atau sporadik kedua alel gen RB1 tidak aktif secara somatik pada sel-sel

retina. Retinoblastoma sporadik terdeteksi pada onset yang lambat, unilateral,

dan unifokal. Knudson membuat dua pernyataan tentang penjelasan

perkembangan tumor retinoblastoma. Knudson menyatakan bahwa untuk

menjadi retinoblastoma, diperlukan dua kromosom yang mengalami mutasi.7

Dari segi molekuler, hipotesis Knudson berbunyi:

a. Dua mutasi melibatkan alel dari RB pada kromosom 13q14

dibutuhkan untuk membentuk retinoblastoma.

b. Kasus herediter, anak-anak menerima salah satu kopian gen RB yang

defek (first hit) dan kopian lainnya normal. Retinoblastoma berkembang

ketika alel RB normal bermutasi di retinoblast sebagai akibat dari

mutasi somatik spontan (second hit). Dikarenakan second hit tidak dapat

dihindari di bagian kecil pada retinoblast, mayoritas individu


15

mewariskan salah satu alel RB yang defek membentuk retinoblastoma

unilateral atau bilateral, dan retinoblastoma herediter diwariskan dalam

dominan autosom.

c. Kasus non herediter, baik alel RB normal harus bermutasi somatik pada

retinoblast yang sama (two hits). Probabilitas kejadian tersebut rendah

(menjelaskan mengapa retinoblastoma merupakan tumor yang jarang pada

populasi secara umum), tapi pada akhirnya tetap sama: sel retina yang

kehilangan fungsi RB dan menjadi kanker

Pada beberapa dekade lalu, para ilmuwan telah mempelajari

perubahan-perubahan DNA seseorang yang dapat menyebabkan sel-sel di

retina berubah menjadi tumor. Setiap DNA pada tiap-tiap selmembentuk gen,

yang menentukan fungsi dari sel-sel tubuh. Setiap kita mirip seperti orangtua

kita karena mereka adalah sumber dari DNA tubuh kita. Pengaruh DNA yang

banyak mempengaruhi bagaimana tampilan seseorang.7

Beberapa gen terkontrol saat masa pertumbuhan, membelah menjadi

sel baru, dan mati pada saatnya. Gen-gen tertentu yang membantu

pertumbuhan sel, membelah, atau tetap hidup disebut oncogen. Gen-gen yang

menghambat sel membelah atau menyebabkan sel mati pada saatnya disebut

gen tumor supressor. Tumor dapat disebabkan oleh perubahan DNA yang

mengaktifkan oncogen atau menekan gen tumor supressor.7

Gen yang paling penting pada retinoblastoma adalah gen tumor

supressor RB1. Gen ini membentuk protein (pRB) yang dapat membantu

menghentikan pertumbuhan sel-sel yang terlalu cepat. Setiap sel normalnya


16

memiliki 2 gen RB1. Selama sel-sel retina masih memiliki salah satu gen RB1

maka sel-sel dapat tumbuh sebagaimana mestinya, tidak menyebabkan

retinoblastoma. Tapi pada saat kedua gen RB1 mengalami mutasi atau

kehilangan, pertumbuhan sel dapat tidak terkontrol. Hal ini dapat

menyebabkan perubahan-perubahan gen, yang akhirnya dapat berubah

menjadi tumor.7

G. GAMBARAN KLINIS

Tanda retinoblastoma yang paling sering dan jelas adalah leukocoria,

yaitu refleksi putih pupil seperti mata kucing saat terkena cahaya. Tanda dan

gejala lain adalah penurunan visus, mata merah atau iritasi, strabismus serta

gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Dapat terjadi neovaskularisasi,

glaukoma neovaskular, hifema, pseudohipopion, dan perdarahan vitreus pada

pasien dengan penyakit intraokular stadium lanjut. Pada retinoblastoma yang

meluas ekstraokular, dapat terjadi proptosis.9

Presentas klinis yang paling sering pada retinoblastoma adalah

leukocoria sekitar 60% dan diikuti strabismus sekitar 20%. Presentasi klinis

retinoblastoma tergantung pada tahap penyakit. Berikut data presentasi klinis

dan gejala retinoblastoma tergantung pada stadium penyakit.7


17

Tabel 1. Manifestasi klinis yang tersering.7

Dapat dibagi menjadi 4 tahap :

1. Tahap diam : berlangsung selama sekitar 6 bulan hingga satu tahun.

Selama tahap ini, anak mungkin memiliki salah satu dari:

- Leukocoria atau refleks pupil putih kekuningan (juga disebut

penampilan mata kucing amaurotik) adalah fitur yang paling umum

ditemukan pada tahap ini (Gambar 4).10

- Juling, biasanya konvergen, dapat berkembang dalam beberapa

kasus.10
18

- Nystagmus adalah gambaran yang jarang ditemukan pada kasus

bilateral.10

- Pengelihatan yang rusak. Sangat jarang, saat tumor muncul terlambat

(usia 3-5 tahun), anak mungkin mengeluh penglihatan yang rusak.10

- Oftalmoskopik tumor. Pada tahap awal, sebelum munculnya

leukocoria, pemeriksaan fundus setelah midriasis penuh dapat

mengungkapkan pertumbuhan.10

Gamabar 4. Leukocoria pada mata kanan pasien dengan retinoblastoma.10


19

Tanda-tanda oftalmoskopik pada dua jenis retinoblastoma adalah

sebagai berikut:

1) Retinoblastoma endofit : Tumbuh ke dalam dari retina ke dalam

rongga vitreous. Pada pemeriksaan oftalmoskopik, tumor tampak

seperti massa polipoid berbatas tegas berwarna putih atau merah

muda pearly. Pembuluh darah halus dan terkadang perdarahan

mungkin ada di permukaannya. Terlihat kalsifikasi, ini

memberikan gambaran khas 'keju cottage'. Mungkin ada beberapa

pertumbuhan yang diproyeksikan ke dalam vitreous (Gambar

5A).10

2) Retinoblastoma eksofit : Tumbuh keluar dan memisahkan retina

dari koroid. Pada pemeriksaan fundus terlihat adanya ablasi retina

eksudatif (Gambar 5B).10

Gambar 5. Gambar penampang bola mata yang menunjukkan: A, retinoblastoma

endofit; B, retinoblastoma eksofit.10


20

2. Tahap Glaucomatous : Ini berkembang ketika retinoblastoma dibiarkan

tidak diobati selama tahap diam. Tahap ini ditandai dengan rasa sakit

yang parah, kemerahan, dan berair.

Tanda-tanda. Bola mata membesar dengan proptosis yang jelas,

konjungtiva tersumbat, kornea menjadi kabur, tekanan intraokular

meningkat. Kadang-kadang, pada akut uveitis akut dan memberikan

gambaran pseudohypopyon dan/atau hyphemia (retinoblastoma yang

mirip sebagai iridosiklitis).10

3. Tahap ekstensi ekstraokular : karena pembesaran yang progresif, tumor

bola mata keluar melalui sklera, biasanya di dekat limbus atau dekat

diskus optik. Ini diikuti dengan keterlibatan jaringan ekstraokular yang

mengakibatkan proptosis yang nyata (Gambar 6).10

Gambar 6.

Retinoblastoma yang melibatkan orbita.10

4. Tahap metastasis jauh. Hal ini ditandai dengan keterlibatan struktur yang

jauh sebagai berikut:


21

- Penyebaran limfatik pertama kali terjadi pada kelenjar getah bening

preauricular dan tetangga.10

- Perpanjangan langsung oleh kontinuitas ke saraf optik dan otak.10

- Metastasis oleh aliran darah melibatkan tulang tengkorak dan tulang

lainnya. Metastasis di organ lain, biasanya hati, relatif jarang.10

H. DIAGNOSIS

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.9 11

1. Anamnesis

Retinoblastoma sering di temukan pada usia anak-anak, atau usia

yang lebih muda. terdapat bintik putih pada mata, yang tampak seperti

mata kucing. Benjolan pada mata, mata menonjol keluar, mata merah, dan

gangguan penglihatan. Riwayat retinoblastoma pada keluarga juga harus

ditanyakan.11

2. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : Leukocoria, proptosis, pertumbuhan massa tumor pada mata,

strabismus, ataupun dapat ditemukan uveitis, endoftalmitis, glaukoma,

panoftalmitis, selulitis orbita, dan hifema.11

3. Pemeriksaan Penunjang

d. Funduskopi/Oftalmoskopi : Pada funduskopi/oftalmoskopi, lesi tumor

tampak berwarna putih/putih kekuningan atau merah muda dengan

pembuluh darah yang berkelok-kelok.11


22

Gamabar 7.
(A) Leukocoria
pada

retinoblastoma mata kiri, (B)


Pemeriksaan funduskopi retinoblastoma.9

a. Darah Perifer Lengkap (DPL) : Terutama untuk melihat keadaan

umum pasien dan kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah,

radiasi, ataupun kemoterapi).11

2. Pemeriksaan Radiologi

Meskipun retinoblastoma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan

funduskopi, modalitas radiologi sangat membantu untuk konfirmasi

diagnosis dan perluasan penyakit tersebut, termasuk keterlibatan ke

retrobulbar atau intrakranial. Modalitas radiologi dapat digunakan untuk

kofirmasi dan menentukan staging. Secara umum tipe RB non-diffuse

terlihat sebagai nodul dengan kalsifikasi, dan adanya kalsifikasi ini dapat

membedakannya dengan lesi intra-okuler lain pada retina.7

a. Ultrasonography (USG) Orbita : USG dapat membantu menegakkan

diagnosis retinoblastoma dengan kalsifikasi di dalam tumor. Kalsifikasi

ini juga dapat dilihat pada pemeriksaan Computed Tomography (CT),


23

Magnetic Resonance Imaging (MRI) saat ini menjadi modalitas

diagnostik yang lebih disukai untuk evaluasi keterlibatan saraf optik,

bola mata dan otak. MRI tidak hanya menawarkan resolusi jaringan

lunak yang lebih baik, tapi juga menghindari paparan radiasi yang

berpotensi membahayakan.7

Gambar 8. Pemeriksaan USG mata kanan menunjukkan internal echo


dari tumor.7
b. CT Scan/MRI Orbita : CT Scan atau MRI mata untuk melihat

perluasan tumor dan keterlibatan jaringan di sekitar mata. Pada CT

Scan tampak lesi padat heterogen dengan fokus densitas tinggi yang

sesuai dengan kalsifikasi Pada MRI tampak gambaran hiperintense (T1,

densitas proton), hipointense (T2). Kalsifikasi fokus hipointense CT

Scan atau MRI kepala, terutama pada kasus yang dicurigai herediter,

untuk melihat adanya massa intrakranial.11


24

Gambar 9. CT menunjukkan massa intra-okuler pada kedua mata


disertai kalsifikasi dan setelah pemberian kontras menunjukkan
penyangatan ringan hingga sedang pada lesi.7

c. Bopsi : Tindakan biopsi atau aspirasi vitreus justru tidak dianjurkan

karena risiko terjadinya implantasi ke koroid.9

Pemeriksaan Histopatologi (PA)

Histopatologi, berperan dalam :

• Menentukan prognosis

• Menentukan resiko terjadinya kekambuhan :

- Faktor resiko rendah : Sel tumor menginvasi retina, koroid minor


(hanya 1 fokus dan , 3mm) dan nervus optikus prelaminer.11

- Faktor resiko menengah : Sel tumor telah menginvasi koroid mayor

(invasi koroid minor multiple atau invasi > 3 mm), intrasklera,

segmen anterior dan nervus optikus post laminar.11

- Faktor resiko tinggi : Sel tumor telah menginvasi transklera dan

batas sayatan nervus optikus positif.11


25

Gambar 9. Gambaran histopatologi retinoblastoma. (a) Rossetes Flexner


Wintersteiner; (b) Rossetes Hormer Wright/Pseudorossete; (c) Fleurete:
diferensiasi sel fotoreseptor pada retina; (d) infiltrasi nervus optikus:
adanya pewarnaan biru gelap pada nervus optikus; (e) nekrosis dan
pendarahan pada retiniblastoma. Panah hitam adalah retiniblastoma
residual, panah merah adalah retina; (f ) area nekrosis (pink) disertai
dengan area kalsifikasi (putih).2

Pemeriksaan untuk mendeteksi metastasis terutama untuk tumor

ekstraokular adalah sitologi cairan serebrospinal dan biopsi aspirasi

sumsum tulang. Pemeriksaan bone scan disarankan pada penyakit

ekstraokular dan/atau terdapat tanda dan gejala penyebaran penyakit ke

tulang..9

a. CT Scan/ MRI Kepala : Untuk melihat apakah ada penyebaran ke

intrakranial/trilateral retinoblastoma.11
26

b. BMP/LP Biopsi sumsum tulang atau pungsi lumbal : Pemeriksaan

ini tidak rutin, dikerjakan bila terdapat indikasi perluasan tumor keluar

dari bola mata.11

c. Bone Scan : Untuk menunjukkan bila retinoblastoma telah menyebar

ke tulang tengkorak atau tulang lainnya. Pemeriksaan ini tidak rutin dan

dilakukan hanya bila ada indikasi kuat kecurigaan penyebaran

ekstraokuler.11

I. KLASIFIKASI STADIUM

Terdapat beberapa cara pembagian penyakit, terpraktis untuk

kepentingan terapi, retinoblastoma dibagi menjadi: intraokular dan

ekstraokular.11

- Intraokular : retinoblastoma terlokalisir di dalam mata, dapat terbatas pada

retina saja atau melibatkan bola mata; namun demikian tidak berekstensi

keluar dari mata kearah jaringan lunak sekitar mata atau bagian lain dari

tubuh. Angka bebas penyakit (DFS) selama 5 tahun : >90%.11

- Ekstraokular : retinoblastoma telah melakukan ekstensi keluar dari mata.

Dapat terbatas pada jaringan lunak di sekitar mata, atau telah menyebar,

umumnya ke sistem saraf pusat, sumsum tulang, atau kelenjar getah bening.

Angka bebas penyakit selama 5 tahun : <10%.11

Klasifikasi menurut Reese-Ellsworth untuk Tumor Intraokular.11

Grup I : penglihatan sangat memungkinkan untuk dipertahankan

- Tumor soliter, ukuran lebih kecil dari 4 diameter disk (DD), pada atau di

belakang ekuator bola mata.


27

- Tumor multipel, tidak ada yang lebih besar dari 4 DD, seluruhnya pada atau

di belakang ekuator.

Grup II: penglihatan memungkinkan untuk dipertahankan

- Tumor soliter, 4-10 DD pada atau di belakang ekuator.

- Tumor multipel, 4-10 DD di belakang ekuator.

Grup III: penglihatan mungkin dapat dipertahankan

- Setiap lesi yang terletak di depan ekuator.

- Tumor soliter, >10 DD di belakang ekuator.

Grup IV: penglihatan sulit untuk dipertahankan

- Tumor multipel, beberapa >10 DD.

- Setiap lesi yang meluas ke anterior kepada ora serrata

Grup V: penglihatan tidak mungkin untuk dipertahankan

- Tumor massif meliputi lebih dari setengah retina.

- Terdapat penyebaran kearah vitreus.

Klasifikasi retinoblastoma lainnya yang lebih baru adalah The

International Classification for Intraocular Retinoblastoma:

Grup A: Tumor intraretina kecil, terletak jauh dari fovea dan diskus.

- Seluruh tumor berukuran < 3 mm, terbatas pada retina

- Seluruh tumor berlokasi = 3 mm dari fovea

- ≥ 1.5 mm dari diskus optikus

Grup B: Seluruh tumor lainnya yang berukuran kecil dan terbatas pada retina

- Seluruh tumor yang terbatas di retina dan tidak memenuhi kategori grup A.
28

- Tumor berkaitan dengan cairan subretina berukuran = 3mm dari tumor

tanpa penyebaran sub retina.

Group C: Tumor local dengan penyebaran minimal pada sub retina atau

vitreus.

Group D: Penyakit difus dengan penyebaran signifikan pada sub retina atau

vitreus.

- Tumor dapat bersifat masif atau difus.

- Terdapat cairan sub retina, saat ini atau masa lampau, tanpa penyebaran,

yang maksimal dapat meliputi hingga seluruh retina.

- Tumor pada vitreus bersifat difus atau masif yang dapat mencakup

manifestasi “greasy” atau massa tumor avaskular

- Tumor diskrit

- Terdapat cairan sub retina, saat ini atau lampau, tanpa penyebaran, yang

meliputi maksimal hingga seperempat retina.

- Terdapat penyebaran lokal pada vitreus yang terletak dekat pada tumor

diskrit.

- Penyebaran lokal sub retina < 3 mm (2 DD) dari tumor.

- Penyebaran difus subretina dapat mencakup bentuk plak sub retina atau

nodul tumor.

Grup E: Terdapat satu atau lebih dari prognosis buruk dibawah ini:

- Tumor mencapai lensa.

- Tumor mencapai permukaan anterior vitreus mencakup badan siliar atau

segmen anterior mata


29

- Diffuse infiltrating retinoblastoma

- Glukoma neovaskular

- Media opak dikarenakan perdarahan.

- Tumor nekrosis dengan selulitis orbital aseptik.

- Phthisis bulbi.

Sistem klasifikasi stadium lain yang memperhitungkan penyebaran

ekstraokuler digunakan khususnya di negara dimana kanker lebih sering

ditemukan saat sudah terjadi penyebaran, yaitu dengan klasifikasi dari

American Joint Commission on Cancer (AJCC) edisi ke 7 tahun 2009.11

T : Ukuran tumor primer dengan ekstensinya

T1 : Tidak lebih dari 2/3 volume mata, tanpa penyebaran subretinal atau

vitreus

T2 : Tidak lebih dari 2/3 volume mata disertai penyebaran subretinal atau

vitreus dan ablasi retina

T3 : Penyakit intraokuler berat

T4 : Penyebaran ekstraokuler (invasi ke nervus opticus, chiasma opticus,

orbita)

N : Keterlibatan Kelenjar Getah Bening regional atau jauh

M1: Penyebaransistemik

Klasifikasi berdasarkan International Staging System for

Retinoblastoma (ISSRB):

Stadium 0 : Pasien diterapi secara konservatif (klasifikasi preoperatif);

Stadium I : Enukleasi mata, reseksi komplit secara histopatologik;


30

Stadium II : Enukleasi mata, terdapat residu tumor mikroskopik;

Stadium III : Ekstensi regional

(a) melebih iorbita

(b) terdapat pembesaran KGB preaurikular atau KGB servikal;

Stadium IV : Terdapat metastasis

(a) metastasis hematogen : (1) lesitunggal, (2) lesimultipel

(b) perluasanke SSP: (1) lesi prechiasma, (2) massa intracranial/

SSP, (3) tumor mencapai leptomeningeal

J. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa lesi yang mirip dengan RB, dapat dibedakan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan tambahan yang sesuai.

1. Penyakit Coats

Penyakit Coats secara klinis terjadi pada dekade pertama

kehidupan dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Lesi biasanya

ditandai dengan permeabilitas pembuluh darah retina yang abnormal dan

telangiektasis, unilateral dengan eksudasi intra-retinal, bisa terjadi ablasi

retina dan glaukoma neovaskuler. Pada stadium awal tampak normal. Pada

pemeriksaan USG dapat menunjukkan tumor retina dan konveksi

kolesterol dalam cairan sub-retinal. Angiografi fluorosensi menunjukkan

telangiektasis klasik pembuluh darah. Pada CT menunjukkan lesi

hiperdens wing-shaped atau hiperdensitas yang diffuse pada vitreous. Pada

MRI, cairan sub-retinal tampak hiperintens pada T1 dan T2. Tampak

heterogen disebabkan kolesterol, perdarahan dan jaringan parut. Setelah


31

pemberian gadolinium, tampak linear enhancement pada bagian sub-

retinal. Diidentifikasi dalam beberapa hari atau beberapa minggu setelah

kelahiran. Biasanya unilateral pada dua per tiga kasus dan berkaitan

dengan mikroftalmus, hipoplastik pada iris dan pembuluh darah yang

prominen. Bola mata tampak kecil. Sisa pembuluh darah hyaloid tampak

sebagai struktur linier hipointens yang meluas ke arah saraf optik, yang

mengalami enhance setelah pemberian kontras. Pada pemeriksaan USG

menunjukkan hyaloid yang persisten, tidak adanya kalsifikasi diyakini

sebagai panduan untuk mendiagnosis PHPV.7

2. Retinopathy of Prematurity (ROP)

Retinopathy of prematurity lebih sering dikenal dengan retrolental

fibroplasia, adalah gangguan vaskuloproliferatif yang terjadi pada bayi

preterm dengan berat lahir rendah. Komplikasi dari penyakit ini bervariasi

mulai dari ringan sampai kehilangan penglihatan yang berat. Penyebabnya

masih belum jelas. Kemungkinan disebabkan mekanisme insufisiensi

vaskularisasi pada perkembangan retina yang menyebabkan hipoksia, hal

ini mencetuskan faktorfaktor stimulasi baru dan pertumbuhan pembuluh

darah yang abnormal. Bayi prematur yang menderita ROP diketahui

memiliki nilai serum insulin-like growth factor-I (IGF-I). Di samping berat

badan lahir yang rendah, apnea, penggunaan ventilator yang lama, terapi

surfaktan, penurunan level vitamin E merupakan faktorfaktor resiko

terjadinya ROP.7
32

Biasanya bilateral, asimetris, dan bola mata kecil. Pada

pemeriksaan CT tidak ditemukan kalsifikasi. Pada MRI tampak cairan

sub-retinal hiperintens pada T2 dan hipointens setelah pemberian kontras

pada T1.7

K. TATALAKSANA

Tujuan utama penatalaksanaan retinoblastoma adalah untuk

menyelamatkan nyawa pasien. Penyelamatan organ (mata) dan fungsi

(penglihatan) masing-masing adalah tujuan sekunder dan tersier. Manajemen

retinoblastoma memerlukan pendekatan tim multidisiplin termasuk onkologi

okular, ahli onkologi pediatrik, ahli onkologi radiasi, ahli fisika radiasi, ahli

genetika dan ahli onkologi spesialis mata. Strategi manajemen tergantung

pada stadium penyakit seperti retinoblastoma intraokular, retinoblastoma

dengan karakteristik risiko tinggi, retinoblastoma orbital, dan retinoblastoma

metastatik.12

Manajemen retinoblastoma sangat individual dan didasarkan pada

beberapa pertimbangan termasuk, usia saat presentasi, lateralitas, lokasi

tumor, pementasan tumor, prognosis seksual, kondisi sistemik, persepsi

keluarga dan masyarakat, dan, sampai batas tertentu, prognosis keseluruhan

dan efektivitas biaya pengobatan dalam situasi ekonomi tertentu. Mayoritas

anak-anak dengan retinoblastoma bermanifestasi pada tahap ketika tumor

terbatas pada mata. Sekitar 90-95% anak-anak di negara maju menderita

retinoblastoma intraokular sementara 60-70% hadir pada tahap ini di negara

berkembang. Diagnosis retinoblastoma pada tahap ini dan penatalaksanaan


33

yang tepat sangat penting untuk mengurangi mortalitas, menyelamatkan mata,

dan mungkin menyelamatkan penglihatan yang tersisa.12

Ada beberapa metode untuk mengelola intraokular retinoblastoma -

focal (cryotherapy, laser fotokoagulasi, termoterapi transketer, termoterapi

transkleral, plak brachytherapy), lokal (radioterapi sinar eksternal, enukulasi),

dan sistemik (kemoterapi). Sementara langkah-langkah fokus primer terutama

dicadangkan untuk tumor kecil, modalitas lokal dan sistemik digunakan untuk

mengobati retinoblastoma lanjut.12

1. Cryotherapy 

Cryotherapy dilakukan untuk tumor retina ekuatorial kecil dan

perifer berukuran hingga 4 mm dengan diameter basal dan 2 mm. Triple

freeze thaw cryotherapy diterapkan pada interval 4-6 minggu sampai

pemulihan tumor lengkap. Cryotherapy menghasilkan bekas luka yang

jauh lebih besar daripada tumor. Komplikasi cryotherapy termasuk ablasi

retina serosa transien, robekan retina dan ablasi retina rhegmatogenous.

Krioterapi yang diberikan 2-3 jam sebelum ibu dapat meningkatkan

pengiriman agen kemoterapi di sawar retina darah dan dengan demikian

memiliki efek sinergis.12

2. laser Fotokoagulasi 

Laser digunakan untuk tumor posterior kecil 4 mm dengan

diameter basal dan 2 mm. Perawatan diarahkan untuk membatasi tumor

dan membekukan suplai darah ke tumor dengan mengelilinginya dengan

dua baris luka bakar laser yang tumpang tindih. Komplikasi meliputi ablasi
34

retina serosa transien, oklusi vaskular retina, lubang retina, traksi retina,

dan fibrosis preretinal. Ini jarang digunakan sekarang dengan munculnya

termoterapi. Faktanya, fotokoagulasi primer dikontraindikasikan ketika

pasien menggunakan protokol kemoreduksi aktif.12

3. Termoterapi 

Dalam termoterapi, panas terfokus yang dihasilkan oleh radiasi

inframerah diterapkan untuk jaringan di tingkat subphotocoagulation untuk

menginduksi tumor necrosis. Tujuannya adalah untuk mencapai kisaran

suhu yang lambat dan berkelanjutan dari 40 hingga 60 °C di dalam

populasi, sehingga menghemat kerusakan pada pembuluh retina.

Perawatan standar untuk termoterapi transpupillary melibatkan

penggunaan.12

Radiasi infra merah dari laser dioda semikonduktor yang disajikan

dengan sistem pengiriman ophthalmoscope tidak langsung berukuran 1300

mikron. Alternatifnya, pengiriman transpupillary dapat dilakukan melalui

mikroskop operasi atau melalui rute transscl- eral dengan probe diopexy.

Termoterapi memberikan kontrol yang memuaskan untuk tumor kecil - 4

mm dengan diameter basal dan 2 mm. Regresi tumor lengkap dapat

dicapai pada lebih dari 85% tumor menggunakan 3-4 sesi terapi termo.

Komplikasi umum adalah atrofi iris fokal, opacity lensa paraxial fokal,

traksi retina dan ablasi retina serosa.12 

4. Plak brachytherapy 
35

Plak brachytherapy melibatkan penempatan implan radioaktif pada

sklera yang sesuai dengan pangkal tumor untuk iradiasi trans-scleral

tumor. Bahan radioaktif yang umum digunakan termasuk Ruthenium 106

dan Iodine 125. Keuntungan brachytherapy plak adalah penyaluran fokus

radiasi dengan kerusakan minimal pada struktur normal di sekitarnya,

kerusakan jaringan periorbital minimal, tidak adanya kelainan kosmetik

karena pertumbuhan tulang terbelakang di bidang iradiasi seperti yang

terjadi dengan terapi sinar eksternal, mengurangi risiko neoplasma ganas

kedua dan durasi pengobatan yang lebih pendek. Brachytherapy plak

membutuhkan lokalisasi tumor yang tepat dan pengukuran dimensi

basalnya. Ketebalan tumor diukur dengan ultrasonografi. Data tersebut

digunakan untuk dosimetri pada sistem pemodelan tumor terkomputerisasi

tiga dimensi. Desain plak dipilih tergantung pada dimensi tumor basal,

lokasi, dan konfigurasinya. Dosis ke puncak tumor berkisar antara 4000

hingga 5000cGy. Plak dijahit ke sklera setelah mengkonfirmasikan

konsentrasi tumor dan dibiarkan selama durasi paparan, umumnya berkisar

antara 36 hingga 72 jam. Komplikasi yang umum adalah radiasi papilopati

dan retinopati radiasi.12

5. Radioterapi Sinar Eksternal

eksternal adalah bentuk yang disukai dari penatalaksanaan

retinoblastoma tingkat lanjut pada akhir 1900-an. Saat ini diindikasikan di

mata di mana kemoterapi primer dan terapi lokal gagal, atau jarang ketika

kemoterapi dikontraindikasikan.12
36

6. Enukleasi 

primer terus menjadi pengobatan pilihan untuk retinoblastoma

intraokular lanjut dengan neovaskularisasi iris, glaukoma sekunder, invasi

tumor bilik anterior, tumor menempati >75% volume vitreous, tumor

nekrotik dengan inflamasi orbital sekunder, dan tumor yang berhubungan

dengan hyphema atau perdarahan vitreous di mana karakteristik tumor

tidak dapat divisualisasikan, terutama ketika hanya satu mata yang

terlibat.12

7. Kemoterapi 

Kemoreduksi, didefinisikan sebagai proses pengurangan volume

tumor dengan kemoterapi, telah menjadi bagian integral dari manajemen

retinoblastoma saat ini.12

Rejimen kemoterapi dan dosis untukintraokular retinoblastoma

Hari 1: Vincristine + Etoposide + Carboplatin

Hari 2: Etoposide

Dosis standar (3 mingguan, 6 siklus): Vincristine 1,5 mg / m22 (0,05 mg /

kg untuk anak-anak <36 bulan dan dosis maksimum <2 mg), Etoposide

150 mg / m (5 mg / kg untuk anak-anak <36 bulan), Carboplatin 560 mg /

m2 (18,6 mg / kg untuk anak-anak <36 bulan)

Dosis tinggi (3 mingguan, 6–12 siklus): Vincristine 0,025 mg /

kg, Etoposide 12 mg / kg, Carboplatin 28 mg / kg 

8. Terapi ajuvan 
37

Studi tentang kemanjuran terapi ajuvan untuk meminimalkan risiko

metastasis yang dimulai pada 1970-an ditandai dengan hasil yang beragam

dan tidak tersedia rekomendasi tegas. Sebuah penelitian terbaru dengan

tindak lanjut jangka panjang memberikan informasi yang bermanfaat. Ini

termasuk bagian dari pasien dengan retinoblastoma sporadis unilateral

yang menjalani enukleasi primer. Penelitian ini menggunakan karakteristik

histologis patologis spesifik yang telah ditentukan untuk pemilihan pasien.

Minimum tindak lanjut 1 tahun diizinkan untuk memasukkan peristiwa

metastasis yang umumnya terjadi pada rata-rata 9 bulan setelah enukleasi.

Insiden metastasis adalah 4% pada mereka yang menerima terapi ajuvan

dibandingkan dengan 24% pada mereka yang tidak. Studi ini menemukan

bahwa pemberian terapi ajuvan secara signifikan mengurangi risiko

metastasis pada pasien dengan karakteristik histopatologi risiko tinggi.

Terapi tambahan mungkin termasuk kemoterapi sistemik dan radioterapi

sinar eksternal orbital.12

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor risiko

yang memprediksi metastasis, dan ketersediaan rejimen kemoterapi yang

efektif untuk retinoblastoma intraokular, akan tampak logis untuk

mempertimbangkan kemoterapi ajuvan setelah enukleasi untuk mencegah

metastasis pada kasus-kasus berisiko tinggi. Namun, kegunaan kemoterapi

ajuvan dalam kasus-kasus seperti itu masih bisa diperdebatkan, dan

perannya masih belum jelas. Radioterapi eksternal orbital berkas tambahan

mengikuti enukleasi direkomendasikan pada pasien dengan invasi tumor


38

transeksi saraf optik, ekstensi skleral dan ekstrasleral, perforasi okular

spontan atau tidak disengaja, dan operasi intraokular untuk retinoblastoma

yang tidak dikenali. Peran terapi tersebut, bagaimanapun, tidak mapan.

Kontroversi mengenai terapi ajuvan diperparah oleh ketidaksepakatan atas

faktor prognostik histopatologis yang mendefinisikan "risiko tinggi" untuk

mengembangkan metastasis. Kelangkaan retinoblastoma, termasuk temuan

keterlibatan ekstraretinal yang tidak biasa, telah membatasi pengalaman

dengan terapi ajuvan.12

Pilihan terapi multimodal untuk retinoblastoma intraokular pada tahun 2018

termasuk kemoterapi yang dikombinasikan dengan terapi fokus dan pendekatan

bedah. "Bobot" relatif dari nilai masing-masing terapi untuk mata dan pasien

disarankan oleh ukuran font dan lebar kotak. Terapi yang disorot dalam warna

abu-abu saat ini dicadangkan untuk menyelamatkan tumor yang sulit

disembuhkan dengan modalitas lain.8

L. KOMPLIKASI
39

Komplikasi sistemik dan okular jarang terjadi. Komplikasi sistemik

termasuk kateterisasi yang gagal, stroke atau komplikasi neurologis (jarang),

hematoma pangkal paha, demam, neutropenia, bronkospasme, mual, dan

muntah. Komplikasi okular termasuk oklusi arteri retina sentral, atrofi optik,

disfungsi otot ekstraokular, ablasi retina, perdarahan vitreous, ptosis,

enophthalmos, dan phthisis bulbi. Edema periorbital transien dan hilangnya

bulu mata juga dapat diamati. Yang tidak dilaporkan secara lengkap adalah

tumor ekstraokuler dan metastasis.8

Komplikasi utama termasuk perdarahan vitreous, robekan

retina/terlepas, kerusakan lensa yang menyebabkan katarak, dan

endophthalmitis. Perubahan epitel pigmen fokal retina mencerminkan

toksisitas retina langsung ketika obat tidak terdispersi dengan baik melalui

cairan vitreus.8

M. PROGNOSIS

Prognosis retinoblastoma berhubungan dengan perluasan tumor ke

arah luar dan atau keterlibatan sub-arakhnoid. Klasifikasi Reese-Ellsworth

adalah metode untuk memprediksi prognosis. Perluasan tumor hingga

ekstraokuler memiliki prognosis yang buruk, keterlibatan saraf optik yang

luas juga dikaitkan dengan peningkatan angka kematian.7


DAFTAR PUSTAKA

1. Rahman A. 2014. Dilema Dalam Manajemen Retinoblastoma. Bagian

Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 37(2):

Hal. 101-103.

2. Pawana M N I, Ekawati N P, Maker L P L I. 2019. Karakteristik pasien

retinoblastoma di RSUP Sanglah pada bulan April 2015 – Desember

2017. Intisari Sains Medis. 10(1): Hal. 65-69.

3. Sukamto ADN. 2018. Hubungan Faktor Keturunan, Aktivitas Jarak

Dekat, dan Aktivitas di luar Ruangan dengan Kejadian Miopia pada

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Angkatan 2014.

[Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung Bandar Lampung.

Hal. 6-11.

4. Hayyi I N. 2019 Gerak Bola Mata. Pusat Mata Nasional Rumah Sakit

Mata Cicendo. Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjadjaran. Bandung.

Hal. 1-4.

5. Yuliana. 2010. Hand Out, Anatomy Visual System. Bagian Anatomi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Denpasar. Hal. 30-31.

6. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Ed. 8. Department of Physiology and

Pharmacology School of Medicine West Virginia University:

Brooks/Cole.2013. Hal. 210,211.

7. Napitupulu E, Choridah L. 2016. Retinoblastoma Heritable: Laporan

Kasus. Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah

Mada. 2(1): Hal. 39-45.


8. AlAli A, Kletke S, Gallie B, Lam W C. 2018. Retinoblastoma for

Pediatric Ophthalmologists. Department of Ophthalmology & Vision

Sciences, University of Toronto. Asia-Pac J Ophthalmol. 7(3): Hal. 160–

168.

9. Aurika S. 2017. Peran Radioterapi dalam Tatalaksana Retinoblastoma.

Jakarta. Radioterapi & Onkologi Indonesia. 8(2): Hal. 77-83.

10. Khurana A K. 2007. Comprehensive Opthalmology Ed. 4. Regional

institute of Opthalmology. India. Hal. 280-283.

11. KPKN. 2015. Panduan Nasional Penanganan Kanker Retinoblastoma.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1-8.

12. Pandey A N. 2014. Retinoblastoma:AnOverview. Saudi Journal of

Ophtalmology. 28: Hal. 310-315.

Anda mungkin juga menyukai