Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

TRAUMA KIMIA PADA MATA

Disusun Oleh:
Benedictus Pratama (112019200)
Jessica Nathalia (112019144)
Siti Mariam Narastitian Pambudi (112019007)
Vincensiana HKD Irwanto (112019150)

Pembimbing :
dr. Rossada Adiarti, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT MATA “DR. YAP” YOGYAKARTA
PERIODE 23 NOVEMBER – 9 DESEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA
2020
1
A. PENDAHULUAN

Organ visual terdiri atas bola mata dengan berat 7,5 gram dan panjang 24 mm, adneksa, serta
otot-otot ekstraokular. Mata merupakan organ perifer system penglihatan, kerenanya perlindungan
organ ini amat penting.1 Manusia memiliki 5 indera, salah satunya adalah mata yang berfungsi
untuk melihat apa saja yang ada disekitar kita. Mata menangkap pola iluminasi dalam lingkungan
menjadi sebuah gambaran optik. Mata adalah sistem optik yang memfokuskan berkas cahaya pada
fotoreseptor, dan mengubah energi cahaya menjadi impuls saraf. Secara konstan mata
menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada objek yang dekat dan jauh
serta menghasilkan gambaran yang kontinu dan dengan segera dihantarkan ke otak. 2

Trauma yang mengenai mata akan berakibat fatal pada visus maupun kosmetik penderita.
Trauma yang mengenai mata dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Trauma mata secara
garis besar dikelompokan menjadi trauma fisis, trauma mekanis, dan trauma kimia. Sesuai dengan
pengelompokanya, trauma fisis berkaitan dengan trauma mata akibat suhu ekstrim maupun cahaya,
trauma mekanis merupakan trauma yang diakibatkan gaya mekanis benda tumpul maupun tajam,
dan trauma kimia merupakan trauma mata akibat zat kimia yang bersifat asam maupun basa.1

Pembahasan kali ini akan secara khusus membahas mengenai gangguan mata akibat trauma
kimia. Penulis akan merinci mengenai epidemiologi dari trauma kimia, etiologi trauma kimia,
tanda dan gejala yang ditimbulkan akibat trauma kimia, derajat keparahan akibat rauma kimia,
tatalaksana yang sesuai dengan jenis trauma kimia, dan komplikasiyang mungkin ditimbulkan
akibat rauma kimia.

B. ANATOMI MATA

Mata termasuk dalam organ visual yang amat dibutuhkan, kareanya perlindungan bola mata
sangatlah penting. Untuk itu bola mata emmiliki structural yang mampu melindungi mata dari jejas
tanpa mengurangi bahkan mengoptimalkan fungsinya. Bola mata terletak di dalam rongga skeletal
yang disebut orbita. Didalam rongga skeletal terdapat tulang yang keras, kumpulan lemak sebagai
bantalan peredam getaran yang mungkin mencederai mata. 1

Bola mata berhubungan dengan dunia luar melalui tepi bawah kelopak mata bagian atas dan
bawah; celah ini disebut rima palpebral. Walau demikian rima palpebral ditutupu oleh palpebral
agar bola mata tidak secara langsung terhubung dengan dunia luar. Mata sebagai saraf optikus

2
yang merupakan saraf sensoris, menira rangsangan sinar dan merubahnya menjadi inmpuls saraf
yang beralan sepanjang lintasan visual (retina, nervus optikus, khiasma optikus, traktus optikus,
dan radiasio optika) dan akhirnya akan mencapai korteks visual di fissure kalkarina sehingga
timbul sensasi melihat.1

1. Palpebra
Palpebra berfungsi melindungi diri dari segala trauma, mencegah penguapan airi mata,
menjaga kelembapan mata, dan sebagai estetika. Palpebral termasuk kelompuk eksternal
mata yang berupa lipatan jaringan yang mudah bergerak dan berperan melindungi bile mata
dari depan. Kulit palpebral sangat tipis sehingga mudah membengkak pada keadaan
tertentu. Tepi palpebral terdapat buu mata yang berguna untuk ptoteksi mata terhadap sinar
dan trauma minor. Jumlah bulu mata sekitar 200 helai. Pada folikel bulu mata terdapat
sarah dengan akhiran yang berfungsi sebagai mekanoreseptor, apabila ada benda asing
yang mengenai kelopak mata/bulu mata maka akan mucul reflex berkedip.1,2
Pada palpebral terdapat emapat macam kelenjar yaitu, kelenjar meibom, zeis, moll, dan
aksesoria. Kelenjar meibom dan zeis menghasilkan minyak, sedangkan kelenjar moll
merupakan kelenjar keringat. Kelenjar aksesoria terdiri dari kelenjar Krause dan kelenjar
wolfering yang terdepat di bawah konjungtiva palpebral dan berfungsi menghasilkan
kompinen air mata.1,2
2. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan lapisan mukosa yang melapisi palpebral bagian dalam dan sklera.
Konjungtiva dibagi menjadi konjungtiva palpebral, forniks, dna bulbi. Konjungtiva
palpebral melapisi bagian dalam palpebral dan melekat erat pada traktus sehingga tidak
dapat digerakkan. .Konjungtiva bulbi melapisi bagain depan sklera berupa lapisan tipis,
transparan, dan pembuluh darahnya tampak. Konjungtiva forniks terletak diantara
konjungtiva palpebral dan bulbi. Pembuluh darah yang menuju konjungtiva berasal dari
arteri siliaris anterior dan arteri palpebralis. Saraf konjungtiva berasal dari nervus
iftalmikus.1
3. Sklera dan Episklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luat, yang hamper seluruhnya
terdiri aras kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putik serta berbatasan dengan kornea
disebelah anterior dan duramater nervus opticus di posterior. Permukaan luar sklera

3
anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis jaringan elastic halus, episklera, yang
mengandung banyak pembuluh darah yang mendarahi sklera.3
4. Kornea
Kornea adalah jaringan transparan. Kornea ini disisipkan didalam sklera pada limbus,
lekukan melingkar pada sambungan ini disebut sulcus skleralis. Kornea memilik lapisan
yang berveda-beda. Lapisan epitel (bebatasan dengan epitel konjungtiva dan bulbaris),
lapisan bowman, strima, membrane descement, dan lapisan endotel. Lapisan epiter
mempunyai 5-6 lapisan sel. Lapisan bowman merupakan lapisan jernih aselular, yang
merupakan bagian stroma yang berubah. Stroma kornea menyususn 90% ketebalan kornea.
Membran Descemet merupakan lamina basalis endotel korneam memiliki tampilan yang
homogen dengan mikroskop cahaya tetapi berlapis-lapis dengan mikroskop electron
karena perbedaan struktur antara pra dan pasca basalnya. Endotel hanya memiliki satu
lapisan sel tetapilapisan ini berperan besar salam mempertahankan deturgesensi stroma
kornea. Endoter kornea cukup rentan trauma dan kehilangan sel-selnya seiringa dengan
penuaan. Reparasi endoter terhadi hanya dalam widus pembesaran dan pergeseran sel-sel,
dengan sedikit pembelajan sel. Kegagalan fungsi endotel akan menimbulkan edema
kornea.3
5. Aqueous Humor
Diproduksi oleh corpus ciliare. Setelah memasuki bilik mata belakang, aqueous himor
melalui pupil dan msuk ke bilik mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata
depan.3
6. Traktur Uvealis
Traktus uvealis terdiri atas iris, corpus ciliare, dan koroid.3
a. Iris Adalah perpanjangan corpus ciliare ke anterior.iris berupa permukaan pipih dengan
apetura bulat yang terletak ditengah, pupil. Iris terletak bersambungan dengan
permukaan anterior lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang
masing-masing berisi aqueous humor. Di dalam stroma iris terda[at sfingter dan otot-
otot dilator. Kedua apisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan
perluasan neurotika dan lapisan epitel pigmen retina ke arak anterior. Iris
mengendalikan banyak cahaya yang masuk kedalam mata.

4
b. Corpus ciliare, yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). corpus
ciliare terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata, dan zona posterior
yang datar yaitu pasrs plana. Corpus ciliare dan epitel pembungkusnya berfungsi
memproduksi aqueous humour.
c. Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid tersusun atas 3
lapis pembuluh darah koroid besar, sedang dan kecil, semakin dalam pembuluh didalam
korid semakin besar lumennya. Koroid melekat erat pada tepi-tepi nervus opticus. Di
sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare. Kumpulan pembuluh darah
koroid akan mendarahi bagian luar retina yang menyokongnya.
7. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonvenks, avascular, tak berwarna, dan hampir transparan
sempurna. tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa tergantung pada zonula di
belakang iris; zonula menghubungkannya dengan corpus ciliare. Disebelah anterior lensa
terdapat aqueous humor, disebelah posteriornya terdapat vitreus body. Kapsul lensa adalah
suatu membrane semipermeable yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk.
Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal sebagai zonula
zinnia yang terususn atas banyak fibril. Fibril ini berasal dari permukaan corpus ciliare dan
menyisip ke dalam ekuator lensa. 60% lensa terdiri atas air dan 35% protein., sedikit
mineral. Kandungan kalium di lensa lebih tinggi dibandingkan jaringan lainnya. Asam
askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. 3
8. Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis tipis dan semitransparan yang melapisi
bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior
sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora serata dengan tepi yang tidak rata. Lapisan
epitel pada permukaan corpus ciliare dan permukaan posterior iris merupakan perluasan
retina dna epitel p1en retina kea rah anterior. Permukaan dalam retina berhadapan dengan
vitreus.3
Lapisan retina mulai dari sisi dalam sebagai berikut; (1) membran liminans interna, (2)
lapisan serat saraf yang mengandung aksin-akson sel ganglion yang berjalan menuju
nervus opticus, (3) lapisan sel ganglion, (4) lapisan pleksiform dalam yang mengandung

5
sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar, (5) lapisan inti dalam badan
se bipolar, amakrin dan horizontal, (6) lapisan pleksiform luar yang mengandung
sambungan sel bipolar dan hotisontal dengan fotoreseptor, (7) lapisan inti luar sel
fotoreseptor, (8) membrane liminans ekstra, (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar
- batang dan kerucut, (10) epitel pigmen retina.3
Suatu objek dapat dilihar paling jelas kalua cahaya dari objek tepat jatuh (terfokus) pada
retina, tepatnya di macula lutea. Terjadinya bayangan diretina serta timbulnya impuls saraf
untuk dikirim ke fisura kalkarina menyangkut perubahan kimia fotoreseptor di sel konus
dan basilus. Bayangan yang terjadi diretina adalah : lebih kecil, terbalik, hitam dan dua
dimensi (pajang dan lebar / datar).1
9. Vitreus
Vitreus merupakan badan gelatin yang jernih dan avascular yang membentuk dua per tiga
volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh lensea, retina, dan
diskus optikus. Vitrus mengandung air sekitar 99% dna 1% meliputi kolagen dana dam
hialuronat yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena
kemampuannya mengikat banyak air.3

C. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat mengalami
gangguan penglihatan akibat trauma.75% dari kelompok tersebut buta pada satu mata, dan sekitar
50.000 menderita cedera serius yang mengancam penglihatan setiap tahunnya.Setiap hari lebih
dari 2000 pekerja di amerika Serikat menerima pengobatan medis karena trauma mata pada saat
bekerja.Lebih dari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi setiap
tahunnya.Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma mata 4 kali lebih
besar. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta
orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan bilateral
akibat cedera mata. Sebagian besar (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi
trauma asam:basa antara 1:1 sampai 1:4. Secara international, 80% dari trauma kimiawi
dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan. Menurut United States Eye Injury Registry (USEIR),
frekuensi di Amerika Serikat mencapai 16 % dan meningkat di lokasi kerja dibandingkan dengan
di rumah. Lebih banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur rata-rata 31 tahun.4-7

6
Sekitar 20 % trauma kimia menyebabkan gangguan penglihatan dan kosmetik, hanya 15 %
pasien dengan trauma kimia berat yang dapat mencapai penglihatan fungsionalnya setelah
dilakukan rehabilitasi. Trauma kimia dapat terjadi pada seluruh usia, namun kebanyakan terjadi
pada usia 16-45 tahun. Pria tiga kali lebih sering terkena dari wanita, hal ini mungkin akibat
predominasi pria dalam pekerjaan perindustrian, seperti konstruksi dan pertambangan yang risiko
tinggi untuk trauma okular.8,9

D. ETIOLOGI

Substansi kimia yang biasanya menyebabkan trauma pada mata digolongkan menjadi 2
kelompok:

1. Alkali/basa Bahan alkali yang biasanya menyebabkan trauma kimia adalah:


a. Amonia (NH3), zat ini banyak ditemukan pada bahan pembersih rumah tangga, zat
pendingin, dan pupuk.
b. NaOH, sering ditemukan pada pembersih pipa.
c. Potassium hydroxide (KOH), seperti caustic potash
d. Magnesium Hydroxide (Mg(OH)2) seperti pada kembang api
e. Lime(Ca(OH)2), seperti pada perekat, mortar, semen dan kapur. 10-14
2. Acid/asam Bahan asam yang menyebabkan trauma adalah:
a. Sulfuric acid (H2SO4), contohnya aki mobil, bahan pembersih (industry).
b. Sulfurous acid (H2SO3), pada pengawet sayur dan buah.
c. Hydrofluoric acid (HF), efeknya sama bahayanya dengan trauma alkali. Ditemukan
pada pembersih karat, pengilat aluminium, penggosok kaca.
d. Acetic acid (CH3COOH), pada cuka.
e. Hydrochloric acid (HCl) 31-38%, zat pembersih.10-14

7
E. GEJALA KLINIS

Terdapat gejala klinis utama yang muncul pada trauma kimia yaitu, epifora, blefarospasme,
dan nyeri berat. Trauma akibat bahan yang bersifat asam biasanya dapat segera terjadi penurunan
penglihatan akibat nekrosis superfisial kornea. Sedangkan pada trauma basa, kehilangan
penglihatan sering bermanifestasi beberapa hari sesudah kejadian. Namun sebenarnya kerusakan
yang terjadi pada trauma basa lebih berat dibanding trauma asam. 15

F. PATOFISIOLOGI

Bahan asam dan basa menyebabkan trauma dengan mekanisme yang berbeda. Kerusakan
jaringan akibat trauma kimia ini secara primer akibat proses denaturasi dan koagulasi protein
selular, dan secara sekunder melalui kerusakan iskemia vaskular. Bahan asam menyebabkan
terjadinya nekrosis koagulasi dengan denaturasi protein pada jaringan yang berkontak. Hal ini
disebabkan karena bahan asam cenderung berikatan dengan protein jaringan dan menyebabkan
koagulasi pada epitel permukaaan. Timbulnya lapisan koagulasi. ini merupakan barier terjadinya
penetrasi lebih dalam dari bahan asam sehingga membatasi kerusakan lebih lanjut. Oleh karena
itu trauma asam sering terbatas pada jaringan superfisial. 17
Terdapat pengecualian yaitu asam hidrofluorik yang dapat menyebabkan nekrosis
likuefaksi yang mirip pada alkali. Bahan asam hidrofluorik ini dapat dengan cepat menembus
kulit sampai ke pembuluh darah sehingga terjadi diseminasi ion fluoride. Ion fluoride ini
kemudian mempresipitasi kalsium sehingga menyebabkan hipokalsemi dan metastasis kalsifikasi
yang dapat mengancam jiwa. Bahan alkali dapat menyebabkan nekrosis likuefaksi yang potensial
lebih berbahaya dibandingkan bahan asam. Larutan alkali mencairkan jaringan dengan jalan
mendenaturasi protein dan saponifikasi jaringan lemak. 17 Larutan alkali ini dapat terus
mempenetrasi lapisan kornea bahkan lama setelah trauma terjadi.
Kerusakan jangka panjang pada konjungtiva dan kornea meliputi defek pada epitel
kornea, simblefaron serta pembentukan jaringan sikatriks. Penetrasi yang dalam dapat
menyebabkan pemecahan dan presipitasi glikosaminoglikan dan opasitas lapisan stroma kornea.
Jika terjadi penetrasi pada bilik mata depan, dapat terjadi kerusakan iris dan lensa. Kerusakan
epitel silier dapat menggangu sekresi asam askorbat yang diperlukan untuk produksi kolagen dan
repair kornea. Selain itu dapat terjadi hipotoni dan ptisis bulbi. Proses penyembuhan dapat terjadi
pada epitel kornea dan stroma melalui proses migrasi sel epitel dari stem cells pada daerah limbus,

8
Kolagen stroma yang rusak akan difagositosis dan dibentuk kembali.17

F. KLASIFIKASI
Trauma kimia pada mata dapat diklasifikasikan sesuai dengan derajat keparahan yang
ditimbulkan akibat bahan kimia penyebab trauma. Klasifikasi ini juga bertujuan untuk
penatalaksaan yang sesuai dengan kerusakan yang muncul serta indikasi penentuan prognosis.
Klasifikasi ditetapkan berdasarkan tingkat kejernihan kornea dan keparahan iskemik limbus.
Selain itu klasifikasi roper-hall ( perhatikan gambar.1 Klasifikasi Trauma kimia menurut ropper-
hall ) ini juga untuk menilai patensi dari pembuluh darah limbus (superfisial dan profunda).14
1. Derajat 1: kornea jernih dan tidak ada iskemik limbus (prognosis sangat baik)
2. Derajat 2: kornea berkabut dengan gambaran iris yang masih terlihat dan terdapat
kurang dari 1/3 iskemik limbus (prognosis baik)
3. Derajat 3: epitel kornea hilang total, stroma berkabut dengan gambaran iris tidak jelas
dan sudah terdapat ½ iskemik limbus (prognosis kurang)
4. Derajat 4: kornea opak dan sudah terdapat iskemik lebih dari ½ limbus (prognosis
sangat buruk)14
Kriteria lain yang perlu dinilai adalah seberapa luas hilangnya epitel pada kornea dan
konjungtiva, perubahan iris, keberadaan lensa dan tekanan intra okular.

Gambar.1 Klasifikasi Trauma Mata ( Ropper-Hall ).14

Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi :

9
Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata

Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea


Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea
Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.16

G. TRAUMA ASAM
Trauma yang disebabkan oleh bahan kimia yang bersifat asam menyebabkan kerusakan
superfisial dan umumnya menyebabkan cedera mata yang tidak terlalu parah bila dibandingkan
dengan alkali. Hal ini terjadi karena pengendapan langsung protein epitel menjadi perlindungan
atau barrier penetrasi intraokular. Namun, asam yang sangat kuat atau pekat dapat menembus
mata sama mudahnya dengan larutan alkali. Sulfur (H2SO4), belerang (H2SO3), asam klorirda
(HCl), nitrat (HNO3), asetat (CH3COOH), format (CH2O2), dan asam hidrofluorat (HF) sering
menjadi penyebab cedera atau trauma asam pada mata. Penyebab paling umum adalah asam sulfat,
yang biasanya ditemukan di pembersih industri dan baterai mobil. Asam hidrofluorat
menyebabkan cedera asam paling serius karena berat molekulnya yang rendah, yang
memungkinkan penetrasi lebih mudah melalui stroma.18

H. TRAUMA BASA
Cedera kimia pada mata dapat terjadi dengan berbagai tingkat keparahan mulai dari yang
ringan hingga berpotensi menyebabkan kebutaan. Trauma basa adalah salah satu cedera atau
trauma kimia paling parah yang dapat terjadi pada mata manusia. Bahan alkali umum yang dapat
menyebabkan cedera pada mata adalah amonia (NH3), natrium hidroksida (NaOH), kalium
hidroksida (KOH), magnesium hidroksida (Mg [OH]2), dan kapur (Ca [OH]2).19 Mayoritas trauma
basa karena kecelakaan, tetapi beberapa kasus terjadi karena disengaja atau penyerangan. Trauma
basa dua kali lebih umum dibandingkan trauma asam, karena alkali lebih banyak digunakan baik
di rumah maupun di industri. Tingkat kerusakan yang ditimbulkan bergantung dari sifat bahan
kimia, area permukaan mata yang terkena, dan durasi pemaparan.5

Trauma basa lebih berbahaya dibandingkan dengan trauma asam karena pada basa terjadi
reaksi penyabunan, sehingga sel dan jaringan menjadi rusak atau nekrosis. Sel yang nekrosis ini
menghasilkan enzim kolagenase. Enzim ini menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Membran sel
rusak sehingga terjadi nekrosis sel karena penetrasi melalui membran sel yang rusak. Akibatnya

10
kornea keruh dalam beberapa menit, terjadi simblefaron sehingga gerakan mata terbatas, terbentuk
jaringan parut palpebra dan kelenjar air mata. Tekanan intraokular bisa berubah dan lensa dapat
menjadi keruh.20

I. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

Semua cedera akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kegawatdaruratan mata.
Pembilasan dengan air keran harus segera dilakukan di lokasi cedera sebelum pasien dibawa ke
rumah sakit. Apabila mungkin, semua benda asing yang tampak jelas juga harus diirigasi.
Pemeriksaan fisik yang cermat harus ditunda setelah dilakukan irigasi yang cukup pada mata yang
terkena dan pH mata telah netral. Pemeriksaan mata lengkap diperlukan untuk mengetahui luasnya
cedera dan merencanakan perawatan lebih lanjut. Pemeriksaan visus harus dilakukan, bila perlu
dalam kondisi berbaring. Beberapa pemeriksaan obyektif dapat dilakukan. Pemeriksaan pada
pasien trauma mata harus dilakukan secara hati-hati dan teliti. Anestesi topikal akan membuat
pasien merasa nyaman, sehingga dianjurkan untuk memberikan tetrakain atau pantokain tetes mata
agar saat pemeriksaan penderita tidak merasakan nyeri.6,20

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman penglihatan. Bila
gangguan penglihatannya parah, maka dapat diperiksa dengan mennggunakan proyeksi cahaya,
diskriminasi dua-titik, dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit
periorbita, dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada
pemeriksaan bedside, adanya enoftalmos dapat ditentukan dengan melihat profil kornea dari atas
alis. Bila tidak tersedia slitlamp di ruang gawat darurat, senter, kaca pembesar, atau oftalmoskop
dapat digunakan untuk memeriksa adanya cedera di permukaan tarsal palpebra dan segmen
anterior. Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka, dan abrasi. Inspeksi
konjungtiva bulbaris dilakukan untuk mencari adanya perdarahan, benda asing, atau laserasi.
Kedalaman dan kejernihan, apakah ada hifema, benda asing di bilik mata depan juga perlu dicatat.
Ukuran dan bentuk pupil, serta reaksi pupil terhadap cahaya harus dibandingkan dengan mata yang
Iain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferen di mata yang cedera. Bila bola mata
tidak rusak, palpebra, konjungtiva palpebralis, dan forniks dapat diperiksa secara lebih teliti,
termasuk inspeksi dengan eversi palpebra superior. Oftalmoskop direk dan indirek digunakan
untuk mengamati lensa, vitreus, diskus optikus, dan retina. Dokumentasi dengan foto bermanfaat

11
untuk kepentingan medikolegal pada semua kasus trauma eksternal. Pada semua kasus trauma
mata, mata yang tampak tidak cedera juga harus diperiksa dengan teliti.20,21

Pemeriksaan visus harus dilakukan dalam semua kasus, karena dapat berpengaruh pada
berbagai gangguan mata. Pemeriksaan visus jarak jauh menggunakan kartu Snellen yang terdiri
atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan pemeriksaan pinhole yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat kelainan
refraksi atau tidak. Pemeriksaan tekanan bola mata dilakukan menggunakan pemeriksaan
tonometri. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur tekanan cairan intraokular dengan memakai
alat-alat yang terkalibrasi. Tekanan yang normal berkisar dari 10 sampai 21 mmHg. Pemeriksaan
lapang pandang dapat dinilai secara cepat dengan uji konfrontasi. Pemeriksaan gerak bola mata
bertujuan untuk melihat kecepatan, kelancaran, rentang jarak, dan simetri gerakan serta mencatat
adanya ketidakstabilan fiksasi. Kedua mata pasien diminta mengikuti objek saat objek tersebut
digerakkan ke salah satu dari empat arah pandangan utama. 6,19

J. DIAGNOSIS

Diagnosis pada kasus trauma mata didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Tingkat keparahan cedera mata bergantung pada empat faktor yaitu
toksisitas bahan kimia, berapa lama bahan kimia tersebut bersentuhan dengan mata, kedalaman
penetrasi, dan area yang terkena. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanyakan kepada pasien
mengenai faktor-faktor ini. Pasien harus ditanyai kapan cedera terjadi, apakah pasien membilas
mata setelah terkena bahan kimia tersebut dan berapa lama waktu pembilasan. Hal lain yang perlu
ditanyakan yaitu mekanisme cedera, jenis bahan kimia yang terciprat ke mata, dan apakah
memakai pelindung mata. Sebaiknya dapatkan kemasan bahan kimia tersebut untuk mengetahui
komposisi bahan kimia yang terkena. Gejala yang paling umum adalah nyeri hebat, epifora,
blefarospasme, dan penurunan ketajaman penglihatan.22

Pemeriksaan fisik lengkap hanya dapat dilakukan apabila pH mata sudah netral. Penting
untuk memastikan bahwa tidak ada benda asing yang tertanam di bagian mana pun dari struktur
mata. Pemeriksaan fisik yang biasanya ditemukan pada trauma kimia adalah adanya tanda-tanda
cedera periokular akut termasuk edema periorbital dan eritema, hilangnya bulu mata dan alis.
Tanda awal termasuk defek epitel kornea dan konjungtiva, chemosis, inflamasi konjungtiva,
iskemik limbal kekeruhan kornea, ulserasi edema, dan kadang-kadang perforasi. Tekanan

12
intraokular juga dapat meningkat yang dapat terjadi akibat kerusakan dan atau peradangan pada
trabekular. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan untuk mendiagnosis trauma kimia adalah
dengan pemeriksaan pH. pH permukaan mata diperiksa dengan meletakkan secarik kertas
indikator di forniks.23

K. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana Emergensi24
1. Irigasi
Merupakan hal yang krusial dan harus dilakukan sesegera mungkin untuk meminimalkan
durasi kontak mata dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada saccus konjungtiva.
Larutan normal saline (atau yang setara) harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 15-30
menit sampai pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi lebih
lama, paling sedikit 2.000 ml dalam 30 menit. Makin lama makin baik. Jika perlu dapat diberikan
anastesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%, dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama
lebih baik menggunakan irigasi dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul
untuk mengirigasi mata dengan aliran yang konstan.
2. Double eversi pada kelopak mata
Dilakukan untuk memindahkan material yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan
ini dapat menghindarkan terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi,
dan konjungtiva forniks.
3. Debridemen
Pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik dapat terjadi re-epitelisasi pada
kornea. Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obat-obatan seperti
steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7 hari. Sedangkan pada trauma kimia
berat, pemberian obat-obatan bertujuan untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel
dan mencegah terjadinya ulkus kornea.

Medikamentosa24
1. Steroid
Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun pemberian steroid
dapat menghambat penyembuhan stroma dengan menurunkan sintesis kolagen dan menghambat

13
migrasi fibroblas. Untuk itu steroid hanya diberikan secara inisial dan di-tappering off setelah 7-
10 hari. Deksametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam. Bila diperlukan
dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg.
2. Sikloplegik
Siklopegik diberikan untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis, dan sinekia posterior. Atropin
1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
3. Asam askorbat
Asam askorbat dapat mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan meningkatkan penyembuhan
luka dengan membantu pembentukan kolagen matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10%
topikal diberikan setiap 2 jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
4. Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor
Beta blokter digunakan untuk menurunkan tekanan intra okular dan mengurangi resiko terjadinya
glaukoma sekunder. Diberikan secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
5. Antibiotik
Antibiotik profilaksis diberikan untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis. Tetrasiklin efektif
untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas netrofil, dan mengurangi pembentukan
ulkus. Dapat diberikan bersamaan antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
Pembedahan24,25
1. Pembedahan Segera
Sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi limbus, mengembalikan populasi sel limbus, dan
mengembalikan kedudukan forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan:
 Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus, bertujuan untuk mengembalikan
vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus kornea.
 Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau dari
donor (allograft), bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea menjadi normal.
 Graft membran amnion, untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
2. Pembedahan Lanjut
Pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut:
 Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands dan simblefaron.
 Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
 Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.

14
 Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik. Hal ini untuk
memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
 Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat dikarenakan hasil dari
graft konvensional sangat buruk.

L. KOMPLIKASI
Komplikasi dari trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis trauma
yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lain:25
1. Simblefaron (Gambar 2), adalah gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga
kornea dan penglihatan terganggu,
2. Kornea keruh, edema, neovaskuler,
3. Sindroma mata kering,
4. Katarak traumatik, trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak.
Komponen basa yang mengenai mata menyebabkan peningkatan pH cairan akuos dan
menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi akut ataupun perlahan-lahan.
Trauma kimia asam sukar masuk ke bagian dalam mata maka jarang terjadi katarak traumatik.
5. Glaukoma sudut tertutup, atau
6. Entropion dan ptisis bulbi (Gambar 3).

Gambar 2. Simblefaron.

15
Gambar 3. Ptisis bulbi.

M. PROGNOSIS
Prognosis trauma kimia pada mata sangat ditentukan oleh bahan penyebab trauma tersebut.
Derajat iskemik pada pembuluh darah limbus dan konjungtiva merupakan salah satu indikator
keparahan trauma dan prognosis penyembuhan. Iskemik yang paling luas pada pembuluh darah
limbus dan konjungtiva memberikan prognosis yang buruk. Bentuk paling berat pada trauma kimia
ditunjukkan dengan gambaran “cooked fish eye” yang memiliki prognosis paling buruk, dapat
terjadi kebutaan (Gambar 4).

Gambar 4. Cooked fish eye.


Trauma kimia sedang sampai berat pada konjungtiva bulbi dan palpebra dapat
menyebabkan simblefaron (adhesi anatara palpebra dan konjungtiva bulbi). Reaksi inflamasi pada
kamera okuli anterior dapat menyebabkan terjadinya glaukoma sekunder.

16
N. KESIMPULAN

Trauma kimia pada mata dapat berasal dari bahan yang bersifat asam dengan pH < 7 atau
bahan yang bersifat basa dengan pH > 7. Trauma basa biasanya memberikan dampak yang lebih
berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa memiliki dua sifat, yaitu hidrofilik dan
lipolifik, sehingga zat basa dapat masuk secara cepat untuk penetrasi ke sel membran dan masuk
ke sudut mata depan, bahkan sampai retina. Sementara trauma asam akan menimbulkan koagulasi
protein permukaan yang merupakan suatu pelindung, sehingga zat asam tidak dapat penetrasi lebih
dalam lagi. Gejala utama yang muncul pada trauma mata adalah epifora, blefarospasme, dan nyeri
yang hebat. Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis trauma yang tidak memerlukan anamnesa
dan pemeriksaan yang lengkap.
Penatalaksanaan yang terpenting pada trauma kimia adalah irigasi mata dengan segera
sampai pH mata kembali normal dan diikuti dengan pemberian obat terutama antibiotik,
multivitamin, dan antiglaukoma. Selain itu dilakukan juga upaya promotif dan preventif kepada
pasien. Menurut data statistik, 90% kasus trauma dapat dicegah apabila dalam menjalankan suatu
pekerjaan menggunakan pelindung yang tepat.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Suhardjo dan Agni AN. Buku ilmu kesehatan mata. Ed 3.Yogyakarta; Departemen Ilmu
Kesehatan Mata fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta; 2017.h.1-24,413-6.
2. Sherwood L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Ed 9. Jakarta: EGC; 2018.h.160-7.
3. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s general ophthalmology. New York: The McGraw-
Hill Companies; 2008. h. 5-14, 28-60, 372-82.
4. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. External eye disease and cornea. San Francisco: American
Academy of Ophthalmology; 2018. h. 102-5, 342-50.
5. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology a systematic approach. Philadelphia: Saunders
Elvesier; 2016. h. 881-5.
6. Riordan-Eva P, Cunningham Jr ET. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology. Ed 18. San
Francisco: McGraw Hill Medical; 2011. h. 373, 380.
7. Napitupulu NBY. Trauma kimia basa yang dilakukan amnion membrane graft [laporan kasus].
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung; 2019.
8. Yani D, Gatut S. The comparison of tetracycline and doxycycline treatment in corneal epithelial
wound healing in the rabbit acid burn model. J Opthalmologi Indonesia. 2007; 5(3): 222-7.
9. Subagio S, Yusran M, Himayani R. Trauma kimia asam okuli dextra. Agromedicine 2019 6(1):
221-4.
10. American Academy of Ophthalmology. Clinical aspects of toxic and traumatic onjuries of
the anterior segment: external disease and cornea. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology. 2012; h. 353-359.
11. Tsai, James C. Denniston, Alastair K. Murray, Philip I. Oxford American handbook of
ophthalmology. Oxford: Oxford University Press Inc. 2011; h.84-5.
12. Schlote, T. Rohrbach, J. Grueb, M. Mielke, J. Pocket Atlas of ophthalmology. New York:
George Theime Verlag. 2006; h.105-7.
13. James B, Chew C, Bron A. Lecture notes on ophthalmology. Ed 9. New Jersey: Blackwell
scientific. 2003; h. 1-16, 194-5.
14. Lubis RR. Trauma Kimia [laporan kasus]. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2014.

18
15. American College of Emergency Phycisians. Management of ocular complaints [internet].
2014 [diakses pada 27 November 2020]. Tersedia di:
http://www.acep.org/content.aspx?id=26712.
16. Randleman, J.B. Bansal, A. S. Opthalmologic approach to chemical burns. eMedicine
Journal. March 2015.
17. Cohlmia Eye Center. Chemical eye burns emergency care [internet]. 2015 [diakses pada 28
November 2020]. Tersedia di: http://www.samcohlmia.com/wichita-chemical-eyeburns.php.
18. Yanoff M, Duker J. Ophthalmology. Ed 4. Philadelphia: Saunders Elvesier; 2014. h. 296-8.
19. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. New Delhi: New Age International (P) Ltd;
2007. h. 414-99.
20. Suhardjo, Hartono. Buku ilmu kesehatan mata. Yogyakarta: bagian ilmu penyakit mata
fakultas kedokteran UGM; 2007. h.263-78.
21. Mutle D, Mwangi N. Assessing an eye injury patient. Community eye health journal 2018
18(91): 46-8.
22. Trief D, Chodosh J, Colby K, Chang A. Chemical (alkali and acid) injury of the conjunctiva
and cornea [internet]. 2020 [diakses pada 28 November 2020]. Tersedia di:
https://eyewiki.aao.org/Chemical_(Alkali_and_Acid)_Injury_of_the_Conjunctiva_and_Corne
a
23. Eslani M, Rafii AB, Movahedan A, Djalilian AR. The ocular surface chemical burns.
Hindawi Jul 2014 : 1-5.
24. Randleman JB.2006. Chemical department of ophtalology. diakses dari
http://www.emedicine.com
25. Vaughan DG, Taylor A, and Paul RE. Oftalmologi Umum.Widya medika. Jakarta. 2000.

19

Anda mungkin juga menyukai