Anda di halaman 1dari 29

CLINICAL SCIENCE SESSION

KELAINAN REFRAKSI

Disusun oleh :
Khaerunnisa A’Yunin Nur H. 130112160707
Muhammad Nuur Fauzi 130112160564
Ulrike Panjaitan 130112160626

Pembimbing :
Dr. Andika Prahasta, dr., Sp.M(K)., M.Kes
Ine Renata Musa., dr.,Sp.M(K)

SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
RUMAH SAKIT PUSAT MATA NASIONAL CICENDO
BANDUNG
2018
A. ANATOMI MEDIA REFRAKSI
Mata memiliki seperangkat komponen optik yang mampu membiaskan sinar yang
melaluinya. Komponen optik tersebut adalah sistem lensa, terdiri atas kornea, Aqueous humour
pada anterior chamber, lensa, dan vitreous humour pada posterior chamber. Pembiasan sistem
lensa bersifat konvergen menuju ke retina. Konvergensi pembiasan sistem lensa menjamin tajam
pengihatan (visus) normal manusia. Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media
refraksi yang terdiri atas kornea, aquous humour, lensa, badan kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media refraksi dan panjangnya bola mata demikian
seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media refraksi dibiaskan tepat didaerah
makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan
bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata yang tidak melakukan akomodasi atau
istirahat melihat jauh.

A. KORNEA
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding dengan kristal
sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan kedalam sklera pada limbus, lekukan melingkar
pada sambungan ini disebut sulcus scleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm di
pusatnya, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.
Saraf sensoris yang mempersarafi kornea yaitu saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V
saraf siliar longus berjalan suprakoroid yang masuk ke dalam stroma kornea menembus
membran Bowman dan melepaskan selubung Schwannya. Kornea terdiri dari beberapa lapis
jaringan yang menutup bola mata bagian depan yaitu epitel, membran bowman, stroma,
membran descement dan endotel.

Lapisan-lapisan kornea adalah sebagai berikut :


a. Epitel
Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih;
satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel
muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya
melalui desmosom dan makula ikluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan
glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren. Epitel berasal dari
ektoderm permukaan
b. Membran Bowman
Membran Bowman merupakan lapisan jernih aseluler yang merupakan bagian stroma yang
berubah, terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun
tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai
daya regenerasi.
c. Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Terdiri atas jaringan lamela serat
kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen yang bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Lamela terletak di dalam suatu zat dasar
proteoglikan terhidrasi bersama dengan keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat dasar.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yan merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen
stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.
d. Membran Descement
Merupakan suatu membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan
sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
e. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal besar 20-40µm. endotel-endotel
pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden. Berperan dalam
mempertahankan deturgesensi stroma korrnea. Reparasi endotel terjadi hanya dalam wujud
pembesaran dan pergeseran sel-sel, dengan sedikit pembelahan sel. Kegagalan fungsi endotel
akan mengakibatkan edema kornea.
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan ‘jendela’ yang dilalui oleh berkas cahaya
saat menuju retina. sifat tembus cahay kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskular, dan deturgesens. Deturgesens, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea
dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan
endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam hal mekanisme dehidrasi, dan kerusakan
pada endotel jauh lebih serius dibandingkan epitel. Kerusakan endotel akan mengakibatkan
edema kornea dan kehilangan sifat transparannya, yang cenderung bertahan lama karena
terbatasnya potensi regenerasi endotel.

B. AQUEOUS HUMOUR
Sudut bilik mata depan terletak pada pertautan antara kornea perifer dan pangkal iris. Ciri-
ciri anatomis utama sudut ini adalah garis Schwalbe, anyaman trabekula dan taji sklera. Sudut
biliki mata depan atau camera oculi anterior bagian anteriornya berbatasan dengan kornea, dan
bagian posteriornya berbatasan dengan iris. Bagian central camera oculi anterior memiliki
kedalaman sekitar 2,5 mm. Camera oculi anterior berisi cairan aqueus ±0.25ml. Aqueous humour
mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya tidak memiliki pasokan darah.
Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan mengganggu lewatnya cahaya ke
fotoreseptor. Aqueous humour dibentuk dengan kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan kapiler di
dalam korpus siliaris, turunan khusus lapisan koroid di sebelah anterior. Cairan ini mengalir ke
suatu saluran di tepi kornea dan akhirnya masuk ke darah.

C. LENSA
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, transparan, dan berbentuk
biconveks. Lensa tergantung pada zonula zinii di belakang iris, zonula menghubungkannya
dengan corpus ciliare. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous humour, disebelah
posteriornya, vitreous. Kapsul lensa adalah membran semipermeabel yang akan
memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular.
Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamelae
konsentris yang panjang. Masing-masing serat lamelar mengandung sebuah inti gepeng. Lensa
ditahan oleh zonula zinii yang tersusun atas banyak fibril yang berasal dari permukaan korpus
siliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa. Tidak ada saraf, serat nyeri atau pembuluh darah
pada lensa.
Diameter dari lensa ±9-10mm, dengan ketebalan yang bervariasi antara ±3,5 – 5mm, dan
mempunyai berat sekitar 135 – 255mg. Lensa mempunyai dua permukaan permukaan
posteriornya(radius curvaturanya 10mm) lebih conveks dibandingkan dengan permukaan
anteriornya (radius curvaturanya 6mm). Kedua permukaan ini kemudian bertemu di equator.
Lensa memiliki indeks refraktif 1.39 dengan kekuatan 15 – 16 dioptri. Kekuatan akomodasi
lensa berbeda – beda berdasarkan usianya.

D. VITREOUS HUMOUR
Vitreous humour merupakan suatu struktur yang lembek, transparan dan berbentuk seperti
jeli, yang mengisi 4/5 bagian posterior cavum bola mata, dan memiliki volume 4ml. vitreous
bersifat hidrofilik dan memiliki fungsi optic. Selain itu vitreous berfungsi untuk menyalurkan
nutrisi kedalam lensa dan retina.Struktur vitreous yang normal terdiri dari serat kolagen dan
diselingi oleh lapisan lapisan asam hialuronat.

B. FISIOLOGI PENGLIHATAN
Mata mempunyai sistem lensa, sistem apertura yang dapat berubah-ubah (pupil), dan retina
yang dapat disamakan dengan film. Sistem lensa mata terdiri atas empat perbatasan refraksi,
yaitu: perbatasan antara permukaan anterior kornea dan udara; perbatasan antara permukaan
posterior kornea dan humor aquosus; perbatasan antara humor aquosus dan permukaan anterior
lensa mata; dan perbatasan antara permukaan posterior lensa dan humor vitreous. Indeks internal
udara adalah 1; kornea 1,38; humor aquous 1,33; lensa kristalina (rata-rata) 1,40; dan humor
vitreous 1,34.

MEKANISME PENGLIHATAN
Proses visual dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan menghasilkan
sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Ketika dilatasi maksimal, pupil dapat dilalui cahaya
sebanyak lima kali lebih banyak dibandingkan ketika sedang konstriksi maksimal. Diameter
pupil ini sendiri diatur oleh dua elemen kontraktil pada iris yaitu papillary constrictor yang terdiri
dari otot-otot sirkuler dan papillary dilator yang terdiri dari sel-sel epitelial kontraktil yang telah
termodifikasi. Sel-sel tersebut dikenal juga sebagai myoepithelial cells (Saladin, 2006). Jika
sistem saraf simpatis teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan pupil sehingga lebih
banyak cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi dimana
intensitas cahaya berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita ke benda atau objek
yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya memasuki mata, pembentukan
bayangan pada retina bergantung pada kemampuan refraksi mata (Saladin, 2006). Beberapa
media refraksi mata yaitu kornea (n=1.38), aqueous humour (n=1.33), dan lensa (n=1.40).
Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa hanya berfungsi untuk
menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh.
Sistem lensa mata membentuk bayangan di retina. Bayangan yang terbentuk di retina terbalik
dari benda aslinya. Namun demikian, persepsi otak terhadap benda tetap dalam keadaan tegak,
tidak terbalik seperti bayangan yang terjadi di retina, karena otak sudah dilatih menangkap
bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal.
Pembentukan bayangan di retina memerlukan empat proses. Pertama, pembiasan sinar/
cahaya. Hal ini berlaku apabila cahaya melalui perantaraan yang berbeda kepadatannya dengan
kepadatan udara, yaitu kornea, humour aquous, lensa, dan humour vitreous. Kedua, akomodasi
lensa, yaitu proses lensa menjadi cembung atau cekung, tergantung pada objek yang dilihat itu
dekat atau jauh. Ketiga, konstriksi pupil, yaitu pengecilan garis pusat pupil agar cahaya tepat di
retina sehingga penglihatan tidak kabur. Pupil juga mengecil apabila cahaya yang terlalu terang
memasukinya atau melewatinya. Hal ini penting untuk melindungi mata dari paparan cahaya
yang tiba-tiba atau terlalu terang. Keempat, pemfokusan, yaitu pergerakan kedua bola mata
sedemikian rupa sehingga kedua bola mata terfokus ke arah objek yang sedang dilihat.
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan dan
kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar
terkuat dibanding bagian mata lainnya. Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama
pada saat melakukan akomodasi atau melihat benda yang dekat. Bila terdapat kelainan
pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih
panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula.
Kemampuan akomodasi lensa membuat cahaya tidak berhingga akan terfokus pada
retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka benda pada jarak yang berbeda-beda
akan terfokus pada retina atau makula lutea. Akibat akomodasi, daya pembiasan bertambah kuat.
Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai dengan kebutuhan, semakin dekat benda makin kuat
mata harus berakomodasi (mencembung). Akomodasi terjadi akibat kotraksi otot siliar. Kekuatan
akomodasi diatur oleh refleks akomodasi. Refleks akomodasi akan meningkat bila mata melihat
kabur dan pada waktu konvergensi atau melihat dekat.
Pada saat seseorang melihat suatu objek pada jarak dekat, maka terjadi trias akomodasi
yaitu: (i) kontraksi dari otot siliaris yang berguna agar zonula Zinii mengendor, lensa dapat
mencembung, sehingga cahaya yang datang dapat difokuskan ke retina; (ii) konstriksi dari otot
rektus internus, sehingga timbul konvergensi dan mata tertuju pada benda itu, (iii) konstriksi otot
konstriksi pupil dan timbullah miosis, supaya cahaya yang masuk tak berlebih, dan terlihat
dengan jelas.

AKOMODASI
Akomodasi adalah kesanggupan mata untuk memperbesar daya pembiasannya. Akomodasi
dipengaruhi oleh serat-serat sirkuler mm.siliaris. Fungsi serat-serat sirkuler adalah mengerutkan
dan relaksasi serat-serat zonula yang berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris. Otot
ini mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai berbagai focus baik
untuk objek dekat maupun yang berjarak jauh dalam lapangan pandang. Ada beberapa teori
mengenai mekanisme akomodasi, antara lain:
a. Teori Helmholtz. Jika mm.siliaris berkontraksi maka iris dan korpus siliaris digerakkan ke
depan bawah, sehingga zonulla Zinnii menjadi kendor, lensa menjadi cembung.
b. Teori Schoen. Terjadi akibat mm.siliaris pada bola karet yang dipegang dengan kedua tangan
dengan jari akan mengakibatkan pencembungan bola di bagian tengah.
c. Teori dari Tichering. Jika mm.siliaris berkontraksi maka iris dan korpus siliaris digerakkan ke
belakang atas/luar, sehingga zonulla Zinnii menjadi tegang, bagian perifer lensa juga menjadi
tegang, sedangkan bagian tengahnya didorong ke sentral dan menjadi cembung.
Gambar 1. Akomodasi lensa

Punctum remotum (R) adalah titik terjauh yang dapat dilihat dengan nyata tanpa akomodasi.
Pada emetrop letak R adalah tak terhingga. Punctum proksimum (P) adalah titik terdekat yang
dapat dilihat dengan akomodasi maksimal. Daerah akomodasi adalah daerah di antara titik R dan
titik P. Lebar akomodasi (A) adalah tenaga yang dibutuhkan untuk melihat daerah akomodasi.
Lebar akomodasi dinyatakan dengan dioptri, besarnya sama dengan kekuatan lensa konfeks yang
harus diletakkan di depan mata yang menggantikan akomodasi untuk punctum proksimum.
A = 1/P–1/R
Kekuatan akomodasi makin berkurang dengan bertambahnya umur dan punctum
proksimumnya (P) semakin menjauh. Hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya elastisitas
dari lensa dan berkurangnya kekuatan otot siliarnya

REFRAKSI
OPTIK dan REFRAKSI
Interpretasi informasi penglihatan yang tepat bergantung pada kemampuan mata
memfokuskan berkas cahaya yang datang ke retina, untuk memahami proses ini diperlukan
penguasaan terhadap konsep optik geometrik yang mendefinisikan efek berkas cahaya sewaktu
melewati berbagai permukaan dan benda berbeda.

A. Kecepatan, frekuensi, dan panjang gelombang cahaya


Kecepatan, frekuensi dan panjang gelombang cahaya saling berhubungan sesuai lambang
berikut :
kecepatan
frekuensi=
panjang gelombang

Di media optis yang bereda, kecepatan dan panjang gelombang cahaya berubah, tetapi
frekuensinya tetap. Warna bergantung pada frekuensi sehingga warna dari seberkas cahaya tidak
diubah sewaktu melewati media optis kecuali oleh fluoresensi atau nontransmittance yang
selektif. Dalam hampa udara, kecepatan frekuensi cahaya sama yakni 299.729,46 kilometer per
detik (186.282,40 statute mile per second).
B. Indeks Refraksi
Jika kecepatan suatu berkas cahaya berubah akibat perubahan medium optis, akan terjadi
pula pembiasan/refraksi berkas cahaya tersebut. Efek suatu bahan optis terhadap kecepatan
cahaya dinyatakan oleh indeks refraksinya (indeks bias), n. Semakin tinggi indeks, semakin
lambat kecepatan, dan semakin besar efek pembiasannya. Dalam hampa udara, n memiliki nilai
1,00000. Indeks refraksi absolut suatu bahan adalah rasio kecepatan cahaya dalam ruang hampa
udara terhadap kecepatan cahaya dalam bahan. Indeks refraksi relatif dihitung dengan mengacu
kepada kecepatan cahaya di udara. Indeks refraksi absolut udara bervariasi, tergantung pada
suhu, tekanan dan kelembaban udara serta frekuensi cahaya, tetapi nilainya adalah sekitar
1,00032. Pada optik, n dianggap sebagai indeks relatif terhadap udara, kecuali dinyatakan
sebagai absolut.

C. Koefisien Termal Indeks Refraksi


Indeks refraksi berubah sesuai suhu mediumnya, nilainya lebih tinggi bila mediumnya lebih
dingin. Labilitas n terhadap suhu berbeda-beda untuk bahan yang berlainan. Perubahan dalam n
per derajad celcius untuk bahan-bahan berikut (semua dikalikan 10 7) adalah sebagai berikut :
kaca 1; fluorit 10; plastik 140; air; aqueous humour dan vitreous 185. Hal ini membuat plastik
kurang memuaskan sebagai perangkat optis yang tepat.

D. Dispersi Cahaya
Dalam hampa udara, kecepatan semua frekuensi cahaya adalah sama, oleh karena itu, indeks
refraksi juga sama untuk semua warna (1,0000). Pada semua bahan, n berbeda untuk tiap warna
atau frekuensi, lebih besar pada ujung biru dan lebih kecil pada ujung merah spektrum.

E. Transmittance Cahaya
Pada frekuensi yang berbeda, bahan optis memiliki transmittance atau transparansi yang
berlainan. Sebagian bahan yang transparan, misal kaca, hampir opak bagi cahaya ultraviolet.
Kaca merah hampir opak bagi frekuensi hijau. Medium optis harus dipilih sesuai dengan panjang
gelombang cahaya spesifik yang akan dikenakan kepadanya.

F. Hukum refleksi dan refraksi


Hukum refleksi (pemantulan) dan refraksi (pembiasan) diformulasikan pada tahun 1621 oleh
ahli astronomi dan matematika Willebord Snell. Hukum ini bersama dengan prinsip Fermat,
membentuk dasar optik geometri terapan :
1. Berkas cahaya yang datang, dipantulkan, dan dibiaskan semua terletak pada bidang yang
dikenal sebagai bidang datang, yang normal (tegak lurus) terhadap permukaan.
2. Sudut datang sama dengan sudut refleksi tetapi memiliki tanda yang berlawanan :
I = -I’.
3. Hasil kali indeks refraksi medium berkas cahaya datang dan sinus sudut datang berkas
cahaya yang datang sama dengan hasil kali besaran-besaran yang sama pada berkas cahaya
biasan. Berkas cahaya yang dibiaskan dinyatakan oleh :
n sin I = n’ sin I’ (huktum Snell).
4. Berkas cahaya yang berjalan dari satu titik ke titik lainnya mengikuti lintasan yang
memerlukan waktu paling singkat untuk dijalani (prinsip Fermat). Panjang lintasan optis
adalah indeks refraksi dikali panjang lintasan sebenarnya.
G. Sudut kritis dan refleksi total
Bila berkas cahaya datang terletak pada medium yang kurang padat maka akan dibiaskan
menuju normal ke dalam medium yang lebih padat. Sebaliknya bila berkas cahaya datang
terletak di medium yang lebih padat, maka akan dibiaskan menjauhi normal. Pada situasi ini bila
sudut datang makin diperbesar, sudut kritis akan dicapai sewaktu cahaya dipantulkan secara tiba-
tiba, total dan sempurna (refleksi internal total) dan sinus berkas cahaya datang di medium yang
lebih padat mencapai nilai –n’/n. Ini adalah salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan indeks refraksi. Refraksi total mengikuti hukum refleksi biasa I = -I’. Hal ini
memungkinkan terjadinya refleksi sempurna tanpa pelapisan dan digunakan secara luas dalam
prisma dan serat optik. Sistem lensa mata yang positif menyebabkan terkumpulnya sinar hasil
pembiasan pada retina. Posisi bintik kuning retina sendiri terletak pada garis median dari sistem
lensa mata. Bila sinar datang sejajar sumbu utama akan dibelokan melalui jari-jari lensa,
sedangkan bila sinar datang melalui pusat kelengkungan lensa akan diteruskan dan bila sinar
datang dari arah selain itu akan dibelokan sejajar sumbu utama.
Konvergensi tepat pada retina hanya diperoleh bila benda yang dilihat berada 6 meter atau
lebih jauhnya dari mata. Bila jarak benda kurang dari 6 meter, maka konvergensi berkurang dan
bayangan yang terbentuk tidak tepat pada retina. Jarak 6 meter adalah jari-jari kelengkungan
lensa mata, sehingga benda harus berada di ruang 3 agar bayangan yang terbentuk tepat pada
retina. Semakin jauh jarak benda, semakin jelas bayangan yang terbentuk.

C. PEMERIKSAAN VISUS
Visus atau visual acuity (VA) merupakan salah satu ukuran dari ambang penglihatan. Kata
acuity berasal dari bahasa Latin yaitu acuitas yang berarti ketajaman. Maka VA berkenaan
dengan ketajaman atau kejelasan penglihatan seseorang. VA menggambarkan kemampuan
seseorang untuk melihat dan mengidentifikasi suatu objek serta untuk melihat fungsi penglihatan
seseorang.

Pemeriksaan Visus Dasar


Pemeriksaan visus merupakan pemeriksaan untuk melihat ketajaman penglihatan.Cara
memeriksa visus ada beberapa tahap. Menggunakan 'chart' yaitu membaca 'chart' dari jarak yang
ditentukan, yaitu 6 meter. Digunakan jarak sepanjang itu karena pada jarak
tersebut mata normal akan relaksasi dan tidak berakomodasi. Kartu yang
digunakan ada beberapa macam :7
a. Snellen chart yaitu kartu bertuliskan beberapa huruf dengan
ukuran yang berbeda untuk pasien yang bisa membaca.
b. E chart yaitu kartu yang bertuliskan huruf E, tetapi arah kakinya
berbeda-beda.
c. Cincin Landolt => Kartu dengan tulisan berbentuk huruf 'c', tapi dengan
arah cincin yang berbeda-beda.
Gambar 2. Snellen Chart, E chart dan Cincin Landolt

Cara memeriksa :
 Kartu diletakkan pada jarak 6 meter dari pasien. Bila berjarak 6 m, berarti visus
normalnya 6/6. Satuan selain meter ada kaki = 20/20.
 Pencahayaan harus cukup
 Bila ingin memeriksa visus mata kanan, maka mata kiri harus ditutup dan pasien diminta
membaca kartu.

Cara menilai visus dari hasil membaca kartu :


- Bila pasien dapat membaca kartu pada baris dengan visus 6/6, maka tidak perlu membaca
pada baris berikutnya, karena visus normal
- Bila pasien tidak dapat membaca kartu pada baris tertentu di atas visus normal, cek pada
1 baris tersebut
- Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti visusnya terletak pada baris tersebut
dengan false 1. 
- Bila tidak dapat membaca 2, berarti visusnya terletak pada baris tersebut dengan false 2.
- Bila tidak dapat membaca lebih dari setengah jumlah huruf yang ada, berarti visusnya
berada di baris tepat di atas baris yang tidak dapat dibaca.
- Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya terdapat pada baris di atasnya.
- Bila terdapat penurunan visus, maka cek dengan menggunakan pinhole (alat untuk
memfokuskan titik pada penglihatan pasien)
- Bila visus tetap berkurang, berarti bukan kelainan refraksi
- Bila visus menjadi lebih baik dari sebelumnya, berarti merupakan kelainan refraksi
- Bila visus sudah mencapai 6/6 setelah dikoreksi, maka lakukan Duke elder test
yaitu test yang bertujuan untuk menghindari over koreksi atau kelebihan ukuran
- di tambah +0.25 secara bersamaan , jika ditambah tambah buram berarti ukuran sudah
cukup

Cara pemeriksaan apabila pasien tidak dapat melihat kartu


- Bila pasien dapat menghitung jari pada jarak 6 m, maka visusnya 6/60.
- Bila tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 m, maka maju 1 m dan lakukan
penghitungan jari. Bila pasien dapat membaca, visusnya 5/60.
- Bila tidak dapat menghitung jari 5 m, di majukan jadi 4 m, 3 m, sampai 1 m di depan
pasien.
- Bila tidak bisa menghitung jari pada jarak 1 m, maka dilakukan pemeriksaan penglihatan
dengan lambaian tangan.
- Lambaian tangan dilakukan tepat 1 m di depan pasien. Dapat berupa lambaian ke kiri dan
kanan, atau atas bawah. Bila pasien dapat menyebutkan adanya lambaian, berarti
visusnya 1/300, dengan proyeksi benar apabila pasien dapat menyebutkan arah lambaian,
atau proyeksi salah apabila pasien tidak dapat menyebutkan arah lambaian.
- Bila tidak bisa melihat lambaian tangan, maka dilakukan penyinaran, dapat menggunakan
'pen light'
- Bila dapat melihat sinar, berarti visusnya 1/~. Tentukan arah proyeksi.
- Bila pasien dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang,berarti visusnya 1/~
dengan proyeksi benar.
- Proyeksi sinar ini di cek dari 4 arah. Hal tersebut untuk mengetahui apakah tangkapan
retina masih bagus pada 4 sisinya, temporal, nasal, superior, dan inferior.
- Bila tak dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang, berarti visusnya 1/~
dengan proyeksi salah.
Bila tidak dapat melihat cahaya, maka dikatakan visusnya = 0 (no light perception)

MIOPIA

Miopia adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk ke mata jatuh di
depan retina pada mata yang istirahat (tanpa akomodasi). Gambaran kelainan pemfokusan
cahaya di retina pada miopia, dimana cahaya sejajar difokuskan didepan retina. Pada miopia,
titik fokus sistem optik
media penglihatan
terletak di depan makula
lutea. Hal ini dapat
disebabkan sistem optik
(pembiasan) terlalu kuat,
miopia refraktif atau bola mata
terlalu panjang. Kelainan ini
menyebabkan penglihatan
buram untuk jarak jauh,
popular dengan istilah
“nearsightness ”.
Ciri – ciri penderita myopia yang suka menyipitkan matanya ketika melihat sesuatu yang
baginya tampak kurang jelas, karena dengan cara ini akan terbentuk debth of focus di dalam bola
mata sehingga titik fokus yang tadinya berada di depan retina, akan bergeser ke belakang
mendekati retina.
Gambar 3. Proses jatuhnya sinar pada pasien miopia

Etiologi
1. Axial myopia. Merupakan akibat dari peningkatan panjang diameter anteriorposterior
bola mata. Merupakan bentuk yang paling sering dijumpai.
2. Curvatural myopia. Terjadi akibat peningkatan lengkung kornea, lensa, atau eduanya.
3. Positional myopia. Akibat dari penempatan lensa di bagian anterior.
4. Index myopia. Akibat dari peningkatan indeks refraksi lensa terkait dengan sklerosis
nukleus.
5. Myopia due to excessive accommodation. Terjadi pada pasien dengan spasme akomodasi.

Klasifikasi Miopia
Miopia dibagi berdasarkan beberapa karakteristik sebagai berikut :
1. Menurut jenis kelainannya, Vaughan membagi miopia menjadi :
 Miopia aksial, dimana diameter antero-posterior dari bola mata lebih panjang dari
normal.
 Miopia kurvatura, yaitu adanya peningkatan curvatura kornea atau lensa.
 Miopia indeks, terjadi peningkatan indeks bias pada cairan mata.
2. Menurut perjalanan penyakitnya,:
 Miopia stasioner yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.
 Miopia progresif, yaitu miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat
bertambah panjangnya bola mata.
 Miopia maligna, yaitu keadaan yang lebih berat dari miopia progresif, yang dapat
mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan.
3. Berdasarkan ukuran dioptri lensa yang dibutuhkan untuk mengkoreksinya.
 Miopia ringan : Lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 Dioptri
 Miopia sedang : Lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 Dioptri.
 Miopia berat : lensa koreksinya > 6,00 Dioptri. Penderita miopia kategori ini
rawan terhadap bahaya pengelupasan retina dan glaukoma sudut terbuka.
a. Berdasarkan umur :
 Juvenile-Onset Myopia (JOM) : JOM didefinisikan sebagai miopia dengan onset antara
7-16 tahun yang disebabkan terutama oleh karena pertumbuhan sumbu aksial dari bola
mata yang fisiologis. Esophoria, astigmatisma, prematuritas, riwayat keluarga dan kerja
berlebihan yang menggunakan penglihatan dekat merupakan faktor-faktor risiko yang
dilaporkan oleh berbagai penelitian. Pada wanita, peningkatan prevalensi miopia terbesar
terjadi pada usia 9-10 tahun, sementara pada laki-laki terjadi pada usia 11-12 tahun.
Semakin dini onset dari miopia, semakin besar progresi dari miopianya. Miopia yang
mulai terjadi pada usia 16 tahun biasanya lebih ringan dan lebih jarang ditemukan.
Progresi dari miopia biasanya berhenti pada usia remaja ( ♂pada usia 16 tahun, ♀ pada
usia 15 tahun)
 Adult-Onset Myopia (AOM) : AOM dimulai pada usia 20 tahun.
a. Youth-onset myopia miopia yang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun
b. Early adult onset myopia miopia yang terjadi pada usia 20 sampai 40 tahun
c. Late adult onset myopiamyopia yang terjadi setelah usia 40 tahun
Kerja mata yang berlebihan pada penglihatan dekat merupakan faktor risiko dari
perkembangan miopia.

b. Klasifikasi secara klinik :


1. Miopia kongenital
Myopia kongenital biasanya ada sejak lahir, namun biasanya baru didiagnosis pada usia 2-3
tahun. Kebanyakan kelainan refraksi yang terjadi unilateral dan jarang bilateral. Anak dapat
sering memicingkan mata untuk melihat lebih jelas titik jauh. Myopia kongenital kadang
berkaitan dengan anomali kongenital lainnya seperti katarak, microthalmos, aniridia,
megalokornea, dan pemisahan retina kongenital. Koreksi dini miopia kongenital disarankan.
2. Miopia simplek
Miopia simplek adalah jenis yang paling sering terjadi. Jenis ini dianggap sebagai kelainan
fisiologis tanpa berkaitan dengan penyakit mata lain. Prevalensinya meningkat dari 2% pada usia
5 tahun menjadi 14% pada usia 15 tahun. Karena peningkatan terjadi pada usia sekolah, yaitu
usia 8 sampai 12 tahun, hal ini disebut juga school myopia.
Etiologi
Miopia ini merupakan variasi biologis normal pertumbuhan mata yang dapat atau tidak berkaitan
dengan genetik. Beberapa faktor yang berkaitan dengan miopia simpel yaitu :
 Miopia simplek tipe aksial hanya merupakan variasi fisiologis panjang bola mata atau dapat
berkaitan dengan pertumbuhan neurologis dini saat usia anak.
 Miopia simplek tipe kurvatura dianggap akibat kurang berkembangnya bola mata
 Peran diet saat usia anak telah dilaporkan tanpa ada hasil konklusif.
 Peran genetik. Genetik berperan pada variasi biologis perkembangan mata, dimana
prevalensi miopia lebih banyak pada anak dengan kedua orang tua miopia (20%) daripada
anak dengan 1 orang tua miopia (10%) dan anak tanpa orang tua miopia (5%).
 Teori pekerjaan jarak dekat berlebihan. Namun teori ini tidak membuktikan adanya
hubungan miopia dengan pekerjaan jarak dekat, menonton televisi dan tidak melakukan
pemakaian kacamata.

Etiologi Miopia
Etiologi miopia belum diketahui secara pasti. Ada beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan timbulnya miopia seperti alergi, gangguan endokrin, kekurangan makanan,
herediter, kerja dekat yang berlebihan dan kekurangan zat kimia (kekurangan kalsium,
kekurangan vitamin) (Desvianita cit Slone, 1997).
Pada mata miopia fokus sistem optik mata terletak di depan retina, sinar sejajar yang
masuk ke dalam mata difokuskan di dalam badan kaca. Jika penderita miopia tanpa koreksi
melihat ke objek yang jauh, sinar divergenlah yang akan mencapai retina sehingga bayangan
menjadi kabur. Ada dua penyebab yaitu : daya refraksi terlalu kuat atau sumbu mata terlalu
panjang (Hoolwich, 1993).
Miopia yang sering dijumpai adalah miopia aksial. Miopia aksial adalah bayangan jatuh
di depan retina dapat terjadi jika bola mata terlalu panjang. Penyebab dari miopia aksial adalah
perkembangan yang menyimpang dari normal yang di dapat secara kongenital pada waktu awal
kelahiran, yang dinamakan tipe herediter. Bila karena peningkatan kurvatura kornea atau lensa,
kelainan ini disebut miopia kurvatura (desvianita cit Slone, 1997).
Penyebab panjangnya bola mata dapat diakibatkan beberapa keadaan :
1. Tekanan dari otot ekstra okuler selama konvergensi yang berlebihan.
2. Radang, pelunakan lapisan bola mata bersama-sama dengan peningkatan tekanan yang
dihasilkan oleh pembuluh darah dari kepala sebagai akibat dari posisi tubuh yang
membungkuk.
3. Bentuk dari lingkaran wajah yang lebar yang menyebabkan konvergensi yang berlebihan
(Desvianita cit Perera, 1997).
Peningkatan kurvatura kornea dapat ditemukan pada keratokonus yaitu kelainan pada
bentuk kornea. Pada penderita katarak (kekeruhan lensa) terjadi miopia karena lensa bertambah
cembung atau akibat bertambah padatnya inti lensa ( Desvianita cit Slone, 1997).
Miopia dapat ditimbulkan oleh karena indeks bias yang tidak normal, misalnya akibat
kadar gula yang tinggi dalam cairan mata (diabetes mellitus) atau kadar protein yang meninggi
pada peradangan mata. Miopia bias juga terjadi akibat spasme berkepanjangan dari otot siliaris
(spasme akomodatif), misalnya akibat terlalu lama melihat objek yang dekat. Keadaan ini
menimbulkan kelainan yang disebut pseudo miopia (Sastradiwiria, 1989).

Gejala klinis
Gejala subjektif :
1. Defek pada visus. Terdapat penurunan fungsi penglihatan karena biasanya kelainannya
berat. Pada tahap lanjut, penurunan visus tidak dapat terkoreksi karena terdapat perubahan
degeneratif.
2. Muscae volitantes yaitu terlihat bintik hitam berterbangan di depan mata yang disebabkan
degenerasi vitreus.
3. Night blindness dapat dikeluhkan yang disebabkan kelainan miopia yang sangat berat
dengan perubahan degeneratif signifikan.
Gejala objektif:
1. Mata yang menonjol. Mata yang mengalami pemanjangan adalah bagian
posterior. Bagian anterior bola mata biasanya normal.
2. Kornea terlihat besat
3. COA dalam
4. Pupil terlihat sedikit membesar dan reaksi terhadap cahaya lambat
5. Pemeriksaan funduskopi:
 Badan kaca: dapat ditemukan kekeruhan berupa perdarahan atau degenerasi yang
terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang mengapung dalam badan kaca. Kadang-
kadang ditemukan ablasi badan kaca yang dianggap belum jelas hubungannya dengan
keadaan miopia.
 Papil saraf optik: terlihat pigmentasi peripapil, kresen miopia, papil terlihat lebih pucat
yang meluas terutama ke bagian temporal. Kresen miopia dapat ke seluruh lingkaran
papil, sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi dan pigmentasi
yang tidak teratur.
 Makula: berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang ditemukan perdarahan
subretina pada daerah makula.
 Retina bagian perifer: berupa degenerasi sel retina bagian perifer.
 Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid dan retina. Akibat
penipisan retina ini maka bayangan koroid tampak lebih jelas dan disebut sebagai
fundus tigroid.
Gejala Klinis
Sebagian kasus-kasus miopia dapat diketahui dengan adanya kelainan pada jarak
pandang.Pada tingkat ringan, kelainan baru dapat diketahui bila penderita telah diperiksa.
 Akibat sinar dari suatu objek jauh difokuskan di depan retina, maka penderita miopia hanya
dapat melihat jelas pada waktu melihat dekat, sedangkan penglihatan kabur bila melihat
objek jauh.
 Keluhan astenopia, seperti sakit kepala yang dengan sedikit koreksi dari miopianya dapat
disembuhkan.
 Kecendrungan penderita untuk menyipitkan mata waktu melihat jauh untuk mendapatkan
efek “pinhole” agar dapat melihat dengan lebih jelas.
 Penderita miopia biasanya suka membaca, sebab mudah melakukannya tanpa usaha
akomodasi

Diagnosis Miopia
Diagnosis miopia dapat ditegakkan dengan cara refraksi subjektif dan objektif, setelah
diperiksa adanya visus yang kurang dari normal tanpa kelainan organik (Sastrawiria, 1989).
A. Cara Subyektif
Cara subyektif ini penderita aktif menyatakan kabur terangnya saat di periksa.
Pemeriksaan dilakukan guns mengetahui derajat lensa negatif yang diperlukan untuk
memperbaiki tajam penglihatan sehingga menjadi normal atau tercapai tajam penglihatan
terbaik. Alat yang digunakan adalah kartu Snellen, bingkai percobaan dan sebuah set lensa coba.
Teknik pemeriksaan :
1. Penderita duduk menghadap kartu Snellen pada jarak 6 meter.
2. Pada mata dipasang bingkai percobaan dan satu mata ditutup.
3. Penderita di suruh membaca kartu Snellen mulai huruf terbesar dan diteruskan sampai
huruf terkecil yang masih dapat dibaca.
4. Lensa negatif terkecil dipasang pada tempatnya dan bila tajam penglihatan menjadi lebih
baik ditambahkan kekuatannya perlahan-lahan hingga dapat di baca huruf pada baris
terbawah.
5. Sampai terbaca basis 6/6.
6. Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama (Ilyas, 2003).

B. Cara Obyektif
Cara ini untuk anomali refraksi tanpa harus menanyakan bagaimana tambah atau
kurangnya kejelasan yang di periksa, dengan menggunakan alat-alat tertentu yaitu retinoskop.
Cara objektif ini dinilai keadaan refraksi mata dengan cara mengamati gerakan bayangan cahaya
dalam pupil yang dipantulkan kembali oleh retina. Pada saat pemeriksaan retinoskop tanpa
sikloplegik (untuk melumpuhkan akomodasi), pasien harus menatap jauh. Mata kiri diperiksa
dengan mata kiri, mata kanan dengan mata kanan dan jangan terlalu jauh arahnya dengan poros
visuil mata. Jarak pemeriksaan biasanya ½ meter dan dipakai sinar yang sejajar atau sedikit
divergen berkas cahayanya. Bila sinar yang terpantul dari mata dan tampak di pupil bergerak
searah dengan gerakan retinoskop, tambahkan lensa plus. Terus tambah sampai tampak hampir
diam atau hampir terbalik arahnya. Keadaan ini dikatakan point of reversal (POR), sebaliknya
bila terbalik tambahkan lensa minus sampai diam. Nilai refraksi sama dengan nilai POR
dikurangi dengan ekivalen dioptri untuk jarak tersebut, misalnya untuk jarak ½ meter dikurangi 2
dioptri (Sastrawiria, 1989).
Cara pemeriksaan subyektif dan obyektif  biasanya dilakukan pada setiap pasien. Cara ini
sering dilakukan pada anak kecil dan pada orang yang tidak kooperatif, cukup dengan
pemeriksaan objektif. Untuk yang tidak terbiasa, pemeriksaan subjektif saja pada umumnya bisa
dilakukan (Sastrawiria, 1989).

Penatalaksanaan Miopia
Penatalaksanaan miopia adalah dengan mengusahakan sinar yang masuk mata difokuskan tepat
di retina. Penatalaksanaan miopia dapat dilakukan dengan cara :
1. Cara optik
2. Cara operasi

Cara optik
Kacamata (Lensa Konkaf)
Koreksi miopia dengan kacamata, dapat dilakukan dengan menggunakan lensa konkaf
(cekung/negatif) karena berkas cahaya yang melewati suatu lensa cekung akan menyebar. Bila
permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu tinggi atau bila bola mata terlalu panjang
seperti pada miopia, keadaan ini dapat dinetralisir dengan meletakkan lensa sferis konkaf di
depan mata. Lensa cekung yang akan mendivergensikan berkas cahaya sebelum masuk ke mata,
dengan demikian fokus bayangan dapat dimundurkan ke arah retina (Guyton, 1997).

Lensa kontak
Lensa kontak dari kaca atau plastik diletakkan dipermukaan depan kornea. Lensa ini tetap
ditempatnya karena adanya lapisan tipis air mata yang mengisi ruang antara lensa kontak dan
permukaan depan mata. Sifat khusus dari lensa kontak adalah menghilangkan hampir semua
pembiasan yang terjadi dipermukaan anterior kornea, penyebabnya adalah air mata mempunyai
indeks bias yang hampir sama dengan kornea sehingga permukaan anterior kornea tidak lagi
berperan penting sebagai dari susunan optik mata. Sehingga permukaan anterior lensa kontaklah
yang berperan penting.

Cara operasi pada kornea


Ada beberapa cara, yaitu :
1. sehingga kornea sentral menjadi datar. Hal ini menyebabkan sinar yang masuk ke mata
menjadi lebih dekat ke retina.
2. Excimer laser (dengan sinar laser) yaitu operasi dengan menggunakan tenaga laser untuk
mengurangi kecembungannya dan dilengketkan kembali.
3. Keratomileusis yaitu bila kornea yang terlalu cembung di insisi kemudian dikurangi
kecembungannya dan dilengketkan kembali.
4. Epiratopati yaitu operasi dengan melakukan penjahitan keratolens yang sesuai dengan
koreksi refraksi ke kornea penderita yang telah di buang epitelnya.
Cara operasi di atas masih mempunyai kekurangan – kekurangan, oleh karena itu para ahli
mencoba untuk mencari jalan lain yang dapat mengatasi kekurangan tersebut dengan jalan
mengambil lensa mata yang masih jernih (clear lens extraction/CLE).

1. Laser photorefractive keratektomy (PRK)


Pada teknik ini zona optik sentral pada stroma kornea anterior difotoablasi dengan
menggunakan laser excimer (193 nm sinar UV) yang bisa menyebabkan sentral kornea menjadi
flat. Sama seperti RK, PRK bagus untuk miopi -2 sampai -6 dioptri.

Kelemahan PRK:
- Penyembuhan postoperatif yang lambat
- Keterlambatan penyembuhan epitel menyebabkan keterlambatan pulihnya penglihatan dan
pasien merasa nyeri dan tidak nyaman selama beberapa minggu.
- Dapat terjadi sisa kornea yang keruh yang mengganggu penglihatan
- PRK lebih mahal dibanding RK
2. Laser in-situ Keratomileusis (LASIK)

Pada teknik ini, pertama sebuah flap setebal 130-160 mikron dari kornea anterior diangkat.
Setelah Flap diangkat, jaringan midstroma secara langsung diablasi dengan tembakan sinar
excimer laser , akhirnya kornea menjadi flat. Sekarang teknik ini digunakan pada kelainan miopi
yang lebih dari - 12 dioptri.
Kriteria pasien untuk LASIK
 Umur lebih dari 20 tahun.
 Memiliki refraksi yang stabil,minimal 1 tahun.
 Motivasi pasien
 Tidak ada kelainan kornea dan ketebalan kornea yang tipis merupakan kontraindikasi
absolut LASIK
Keuntungan LASIK
- Minimimal atau tidak ada rasa nyeri post operatif
- Kembalinya penglihatan lebih cepat dibanding PRK.
- Tidak ada resiko perforasi saat operassi dan ruptur bola mata karena trauma
- Tidak ada gejala sisa kabur karena penyembuhan epitel.
- Baik untuk koreksi miopi yang lebih dari -12 dioptri.
Kekurangan LASIK
- LASIK jauh lebih mahal
- Membutuhkan skill operasi para ahli mata.
- Dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan flap, seperti flap putus saat
operasi, dislokasi flap postoperatif, astigmat irreguler.

3. Ekstraksi lensa jernih (Fucala's operation)


Dianjurkan untuk miopi -16 sampai -18D, terutama pada kasus unilateral. Baru-baru ini,
ekstraksi lensa yang jernih dengan implantasi IOL dengan kekuatan yang sesuai
direkomendasikan untuk mopia lebih dari 12 D.

4. Phakic Intraocular Lens


Atau implantasi intraocular contact lens (ICL) juga dipertimbangkan untuk koreksi miopia
lebih dari 12 D. Pada teknik ini, IOL khusus diimplantasi di COA atau di COP di anterior dari
lensa asli.

5. Orthokeratology
Metode reversibel nonbedah dengan memakai lensa kontak rigid gas permeabel saat malam.
Metode ini dapat dipertimbangkan untuk koreksi miopia hingga -5D dan dapat digunakan untuk
pasien usia kurang dari 18 tahun.

Komplikasi
a. Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0D – (- 4,75)D sekitar 1/6662. Sedangkan pada
(- 5) D – (-9,75) D resiko meningkat menjadi 1/1335. Lebih dari (-10) D resiko ini menjadi
1/148. Dengan kata lain penambahan faktor resiko pada miopia rendah tiga kali sedangkan
miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali.

b. Vitreal Liquefaction dan Detachment


Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98% air dan 2% serat
kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair secara perlahan-lahan, namun proses ini
akan meningkat pada penderita miopia tinggi. Hal ini berhubungan dengan hilangnya struktur
normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-bayangan kecil (floaters).
Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps badan vitreus sehingga kehilangan kontak dengan
retina. Keadaan ini nantinya akan beresiko untuk terlepasnya retina dan menyebabkan kerusakan
retina. Vitreusdetachment pada miopia tinggi terjadi karena luasnya volume yang harus diisi
akibat memanjangnya bola mata.

c. Miopic makulopaty
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh darah kapiler pada mata
yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga lapang pandang berkurang.Dapat juga terjadi
perdarahan retina dan koroid yang bisa menyebabkan kurangnya lapangan pandang.Miopia
vaskular koroid/degenerasi makular miopik juga merupakan konsekuensi dari degenerasi
makular normal, dan ini disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di bawah
sentral retina.

d. Glaukoma
Resiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada miopia sedang 4,2%, dan
pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada miopia terjadi dikarenakan stres akomodasi dan
konvergensi serta kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula.

e. Skotoma
Komplikasi timbul pada miopia derajat tinggi. Jika terjadi bercak atrofi retina maka akan
timbul skotoma (sering timbul jika daerah makula terkena dan daerah penglihatan sentral
menghilang). Vitreus yang telah mengalami degenerasi dan mencair berkumpul di muscae
volicantes sehingga menimbulkan bayangan lebar diretina sangat menggangu pasien dan
menimbulkan kegelisahan. Bayangan tersebut cenderung berkembang secara perlahan dan
selama itu pasien tidak pernah menggunakan indera penglihatannya dengan nyaman sampai
akhirnya tidak ada fungsi penglihatan yang tersisa atau sampai terjadi lesi makula berat atau
ablasio retina.

Prognosis Miopia
Pada tingkat ringan dan sedang dari miopia simple prognosisnya baik bila penderita miopia
memakai kacamata yang sesuai dan mengikuti petunjuk kesehatan. Bila progresif miopia
prognosisnya buruk terutama bila di sertai oleh perubahan koroid dan vitreus, sedangkan pada
miopia maligna prognosisnya sangat jelek.

HIPERMETROPIA
. Hipermetropia (hiperopia) atau long-sightedness adalah suatu keadaan mata dimana sinar
sejajar dari jarak tak terhingga difokuskan di belakang retina tanpa akomodasi. Oleh karena itu,
orang tersebut akan melihat gambaran yang buram. Hipermetropia atau hiperopia merupakan
keadaan dimana fokus bayangan akan jatuh di belakang retina pada mata yang tidak
berakomodasi

Etiologi
Hipermetropia dapat berbentuk aksial, kurvatura, indeks, posisional, atau oleh karena tidak
adanya lensa.
1. Axial hypermetropia merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering
ditemukan. Pada kondisi ini, kekuaran refraksi mata normal, namun terdapat
pemendekan axis dari bola mata. Tiap pemendekan sebanyak 1mm dari diameter
anteroposterior menyebabkan perubahan 3 dioptri.
2. Curvatural hypermetropia merupakan kondisi dimana kornea, lensa, atau keduanya
lebih datar daripada normal, sehingga terjadi penurunan refraksi. Sekitar 1mm
peningkatan radius kurvatura menyebabkan perubahan 6 dioptri.
3. Index hypermetropia terjadi disebabkan menurunnya indeks refraksi dari lensa pada
usia tua. Dapat pula terjadi pada diabetes yang sedang dalam terapi.
4. Positional Hypermetropia akibat dari lensa yang diletakan pada bagian posterior
5. Absence of crystalline lens dapat merupakan kongenital atau dengan dilakukannya
operasi pengangkatan lensa atau dislokasi posterior sehingga orang tersebut menjadi
afakia (terjadi hipermetropia yang tinggi)

Klasifikasi
Terdapat tiga bentuk klasifikasi hipermetropia secara klinis :
1. Hipermetropia simpel
Merupakan bentuk yang paling sering. Hal ini disebabkan oleh variasi biologis normal dari
pertumbuhan bola mata. Hal ini termasuk hipermetropia aksial dan refraktif.
2. Hipermetropia patologis
Disebabkan oleh kongenital ataupun didapat, diluar dari variasi biologis normal pertumbuhan
bola mata, akibat dari maldevelopment, trauma dan penyakit. Hal ini termasuk:
- hipermetropia indeks (akibat sklerosis korteks lensa)
- hipermetropia posisional (akibat subluksasi posterior dari lensa)
- afakia (kongenital ataupun akibat operasi)
- hipermetropia konsekutif (akibat over-koreksi dari miopia)
3. Hipermetropia fungsional
Hal ini merupakan akibat dari paralisisnya kemampuan akomodasi seperti pada paralisa n.3 dan
oftalmoplegia internal

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan derajat beratnya :


1. Hipermetropia ringan, kesalahan refraksi +2.00 D atau kurang
2. Hipermetropia sedang, kesalahan refraksi antara +2.25 D hingga +5.00 D
3. Hipermetropia berat, kesalahan refraksi +5.25 D atau lebih tinggi

Klasifikasi hipermetropia berdasarkan akomodasi mata


1. Hipermetropia Laten
a. Sebagian dari keseluruhan dari kelainan refraksi mata hipermetropia yang
dikoreksi secara lengkap oleh proses akomodasi mata
b. Hanya bisa dideteksi dengan menggunakan sikloplegia
c. Lebih muda seseorang yang hipermetropia, lebih laten hiperopia yang dimilikinya
2. Hipermetropia Manifes
a. Hipermetropia yang dideteksi lewat pemeriksaan refraksi rutin tanpa
menggunakan sikloplegia
b. Bisa diukur derajatnya berdasarkan jumlah dioptri lensa positif yang digunakan
dalam pemeriksaan subjektif
c. Terdiri dari dua komponen :
i. Hipermetropia fakultatif, yang bisa diukur dan dikoreksi dengan menggunakan
lensa positif, tapi bisa juga dikoreksi oleh proses akomodasi pasien tanpa
menggunakan lensa. Semua hipermetropia laten adalah hipermetropia
fakultatif..Akan tetapi, pasien dengan hipermetropia laten akan menolak pemakaian
lensa positif karena akan mengaburkan penglihatannya. Pasien dengan
hipermetropia fakultatif bisa melihat dengan jelas tanpa lensa positif tapi juga bisa
melihat dengan jelas dengan menggunakan lensa positif
ii. Hipermetropia absolut, merupakan residual dari hipermetropia manifes, yang
tidak dapat dikoreksi dengan akomodasi.

Tanda dan Gejala Klinis


Gejala pasien dengan hipermetropia dapat bervariasi tergantung dari usia dan derajat beratnya
kelainan refraksi. Dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Asimtomatik. Biasanya pasien usia muda dengan kelainan refraksi yang kecil dapat
mengkoreksi dengan kemampuan akomodasinya tanpa menimbulkan gejala
2. Gejala astenopia. Hipermetropia dapat terkoreksi secara penuh, namun karena terjadi
akomodasi terus menerus, pasien akan mengalami keluhan astenopia. Keluhannya adalah
mata lelah, nyeri kepala frontal atau fronto-temporal, mata berair, dan fotofobia ringan.
Gejala ini biasanya terjadi saat jam kerja dan meningkat saat malam.
3. Gejala astenopia dengan penurunan penglihatan. Bila kelainan hipermetropia cukup berat,
mata tidak dapat mengkoreksi hanya dengan kemampuan akomodasi. Sehingga pasien
mengeluh gejala astenopia dan penglihatan buram.
4. Penurunan penglihatan saja. Bila kelainan hipermetropia sangat berat, pasien biasanya tidak
melakukan akomodasi (terutama orang dewasa) sehingga terjadi penurunan penglihatan
dekat dan jauh.

Gejala obyektif:
1. Ukuran bola mata yang lebih kecil secara keseluruhan
2. Juling atau esotropia akibat akomodasi terus menerus yang diikuti konvergensi
3. Karena akomodasi yang terus menerus, akan terjadi hipertrofi dari otot–otot akomodasi di
corpus ciliare.
4. Pupil terlihat lebih kecil karena akomodasi
5. Pemeriksaan fundus didapatkan papil yang kecil dan terlihat lebih banyak vaskulardengan
batas tidak tegas atau mungkin menyerupai papilitis (namun tidak ada edema papil,
sehingga disebut pseudopapillitis). Retina mungkin terlihat bercahaya akibat refleksi cahaya
yang lebih besar (shot silk appearance).

Diagnosis
A. Anamnesis
Sebagaimana kondisi lain, pada hipermetropia pemeriksa terlebih dahulu melakukan
anamnesis mengenai keluhan utama, riwayat keluhan sekarang, riwayat keadaan umum dan
kesehatan mata, riwayat keluhan atau penyakit di keluarga, penggunaan obat dan riwayat alergi.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum
2. Tajam penglihatan jauh dan dekat
3. Motilitas ocular, penglihatan binocular, akomodasi
4. Penilaian kesehatan mata dan sistemik (respon papil, lapang pandang, tes warna, TIO,
evaluasi strutur mata dan adnexa)
5. Refraksi
a. Retinoskopi (Static retinoscopy, Nearpoint retinoscopy, Cycloplegic retinoscopy)
b. Subjective refraction
c. Autorefraction

Penatalaksanaan
1. pada anak di bawah 10 tahun koreksi tidak dilakukan terutama tidak munculnya gejala-
gejala dan penglihatan normal pada setiap mata.
2. pada remaja dan berlanjut hingga waktu presbiopia, hipermetropia dikoreksi dengan lensa
positif yang terkuat. Bisa memakai kaca mata atau lensa kontak. Lensa kontak dapat
disarankan dengan hipermetropia unilateral (Anisometropia). Lensa kontak dapat diresepkan
setelah hipermetrop stabil, apabila tidak, harus mengganti lensa kontak berkali-kali.
3. jumlah total hipermetropia diperoleh dengan pemeriksaan refraksi dengan sikloplegik.
4. secara bertahap tingkatkan koreksi lensa sferis dengan interval 6 bulan sampai pasien
menjadi hipermetropia manifes
3. Pembedahan refraktif juga bisa dilakukan untuk membaiki hipermetropia dengan membentuk
semula kurvatura kornea. Metode pembedahan refraktif termasuk
a. Laser-assisted in-situ keratomileusis (LASIK)
Efektif dalam mengkoreksi hipermetropi hingga + 4D
b. Photorefractive keratectomy (PRK)
Dengan menggunakan laser excimer. Namun proses efek regresi dan penyembuhan
epitel yang lama merupakan masalah utama.
c. Conductive keratoplasty (CK)
Merupakan prosedur noninsisional dan nonablasi dimana kornea di pertajam dengan
mengerutkan kolagen dengan energi radiofrekuensi. Teknik ini efektif untuk mengkoreksi
hipermetropi hingga +3 D

ASTIGMATISMA
Definisi
Astigmatisma adalah suatu kelainan refraksi dimana terdapat beberapa perbedaan derajat
refraksi pada beberapa meridian sehingga sinar sejajar yang datang difokuskan pada beberapa
fokus yang berbeda. Fokus sinar dari benda yang jauh tidak terletak pada satu titik di retina.
Astigmatisma terjadi apabila sinar dari tak terhingga yang datang pada mata tidak berakomodasi
dan tidak berkonvergensi di satu titik fokus. Berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik akibat
kelainan kelengkungan permukaan kornea (90%) dan kelainan kelengkungan permukaan lensa
(10%).
Etiologi
Adapaun beberapa penyebab terjadinya astigmatisma, antara lain:
• Herediter
• Kongenital
• Kelainan kornea (90%)
• Perubahan kelengkungan kornea
• Kornea lonjong
• Trauma
• Kelainan lensa
• Tidak samanya pembiasan sinar pada bidang atau sumbu
• Salah satu mata lebih rabun pada salah satu sumbu
• Pasca operasi
• Pasca trauma
• Pasca infeksi

Klasifikasi
Berdasarkan kelainan kelengkungan / asimetri struktur:
 Astigmatisma Kornea (kelainan kelengkungan permukaan kornea)
 Astigmatisma Lensa (kelainan kelengkungan permukaan lensa).

Berdasarkan aksis meridian:


 Astigmatisma reguler:
Letak titik fokus pada tiap meridian teratur, terdiri dari:
o Astigmatisma miopia simplex
o Astigmatisma miopia compositium
o Astigmatisma hipermiopia simplex
o Astigmatisma hipermiopia compositium
o Astigmatisma mixtus

 Astigmatisma irregular:
Letak titik fokus pada tiap meridian tidak teratur.
 Astigmatisma lazim (with the rule):
Astigmatisma dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian vertikal.
 Astigmatisma tak lazim (against the rule):
Astigmatisma dengan daya bias yang lebih besar terletak di meridian horizontal.

Jenis astigmatisma:
 Ast.Myopic Simplex : koreksi Cyl. ( - ).
 Ast.Myopic.Comp. : koreksi Sp (-) & Cyl (-).
 Ast.Hypermetropic.Simp. : koreksi Cyl (+).
 Ast.Hypermetropic.Comp. : koreksi Sp(+) & Cyl(+)
 Astigmatisma Mixtus : koreksi
o Sp(-) & Cyl (+)
o Sp(+) & Cyl (-).

Patofisiologi
Pada mata normal permukaan kornea yang melengkung teratur akan memfokuskan sinar
pada satu titik, sedangkan pada astigmatisma pembiasan sinar tidak difokuskan pada satu titik.
Sinar pada astigmatisma akan dibiaskan tidak sama pada semua arah sehingga pada retina tidak
didapatkan satu titik fokus pembiasan. Sebagian sinar dapat terfokus pada bagian depan retina
sedangkan sebagia sinar difokuskan dibelakang retina, akibatnya penglihatan akan terganggu.

Diagnosis:
Pada anamnesis ditemukan:
• Melihat jauh kabur sedangkan melihat dekat lebih baik
• Melihat ganda dengan satu atau kedua mata
• Sakit kepala
• Mata tegang dan pegal
• Astigmatisma tinggi (4-8D) yang selalu melihat kabur sering mengakibatkan amblyopia.

Pemeriksaan astigmatisma:
• Visus dasar, dengan kacamata, dengan pinhole
• Visus baca dekat
• Pemeriksaan keseimbangan dan posisi bola mata
• Tes Fogging
• Uji Celah stenoptik
• Uji Silinder Silang

Penatalaksanaan
 Penatalaksanaan pasien dengan astigmatisma antara lain koreksi dengan kacamata atau
kontak lens yang sesuai.
 Untuk koreksi astigmatisma dapat dipergunakan lensa silindris yang sering
dikombinasikan dengan lensa sferis.
 Kontak lens yang keras dapat mengatasi kelainan astigmatisma dengan memperbaiki
kelengkungan kornea yang rusak.
 Untuk irreguler astigmatisma: lensa kontak, dan atau tindakan operasi (Penetrating
keratoplasty ).
 Cara koreksi:
o Koreksi dengan sp (+) / (-) sampai dapat visus terbaik.
o Beri lensa fogging untuk menghilangkan akomodasi.
o Kemudian dikoreksi dengan lensa cylindris.
PRESBIOPI

Definisi
Presbiopi merupakan kondisi mata dimana lensa kristalin kehilangan fleksibilitasnya sehingga
membuatnya tidak dapat fokus pada benda yang dekat. Presbiopi adalah suatu bentuk gangguan
refraksi, dimana makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin
meningkatnya umur.
Presbiopi merupakan bagian alami dari penuaan mata. Presbiopi ini bukan merupakan penyakit
dan tidak dapat dicegah. Presbiopi atau mata tua yang disebabkan karena daya akomodasi lensa
mata tidak bekerja dengan baik akibatnya lensa mata tidak dapat menmfokuskan cahaya ke titik
kuning dengan tepat sehingga mata tidak bisa melihat yang dekat. Presbiopi adalah suatu bentuk
gangguan refraksi, dimana makin berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan
makin meningkatnya umur. Daya akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk mencembung
dan memipih (Wikipedia, 2012). Biasanya terjadi diatas usia 40 tahun, dan setelah umur itu,
umumnya seseorang akan membutuhkan kaca mata baca untuk  mengkoreksi presbiopinya.

Epidemiologi
Prevalensi presbiopi lebih tinggi pada populasi dengan usia harapan hidup yang tinggi. Karena
presbiopi berhubungan dengan usia, prevalensinya berhubungan langsung dengan orang-orang
lanjut usia dalam populasinya.
Walaupun sulit untuk melakukan perkiraan insiden presbiopi karena onsetnya  yang lambat,
tetapi bisa dilihat bahwa insiden tertinggi presbiopi terjadi pada usia 42 hingga 44 tahun. Studi di
Amerika pada tahun 1955 menunjukkan 106 juta orang di Amerika mempunyai kelainan
presbiopi.
Faktor resiko utama bagi presbiopi adalah usia, walaupun kondisi lain seperti trauma, penyakit
sistemik, penyakit kardiovaskular, dan efek samping obat juga bisa menyebabkan presbiopi dini.

Etiologi
a.  Terjadi gangguan akomodasi lensa pada usia lanjut
b.  Kelemahan otot-otot akomodasi
c.  Lensa mata menjadi tidak kenyal, atau berkurang elastisitasnya akibat kekakuan (sklerosis)
lensa

Patofisiologi
Pada mekanisme akomodasi yang normal terjadi peningkatan daya refraksi mata karenaadanya
perubahan keseimbangan antara elastisitas matriks lensa dan kapsul sehingga lensa menjadi
cembung. Dengan meningkatnya umur maka lensa menjadi lebih keras (sklerosis)dan kehilangan
elastisitasnya untuk menjadi cembung. Dengan demikian kemampuan melihat dekat makin
berkurang.

Klasifikasi
- Presbiopi Insipien  – tahap awal perkembangan presbiopi, dari anamnesa didapati pasien
memerlukan kaca mata untuk membaca dekat, tapi tidak tampak kelainan bila dilakukan tes, dan
pasien biasanya akan menolak preskripsi kaca mata baca
- Presbiopi Fungsional  – Amplitud akomodasi yang semakin menurun dan akan didapatkan
kelainan ketika diperiksa
- Presbiopi Absolut  – Peningkatan derajat presbiopi dari presbiopi fungsional, dimana proses
akomodasi sudah tidak terjadi sama sekali
- Presbiopi Prematur – Presbiopia yang terjadi dini sebelum usia 40 tahun dan biasanya
berhungan dengan lingkungan, nutrisi, penyakit, atau obat-obatan
- Presbiopi Nokturnal  – Kesulitan untuk membaca jarak dekat pada kondisi gelap disebabkan
oleh peningkatan diameter pupil

Gejala
a.  Kesulitan membaca tulisan dengan cetakan huruf yang halus / kecil
b. Setelah membaca, mata menjadi merah, berair, dan sering terasa pedih. Bisa juga disertai
kelelahan mata dan sakit kepala jika membaca terlalu lama
c. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca atau menegakkan punggungnya karena
tulisan tampak kabur pada jarak baca yang biasa (titik dekat mata makin menjauh)
d. Sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat, terutama di malam hari
e. Memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca
f.  Terganggu secara emosional dan fisik
g. Sulit membedakan warna

 Diagnosis Presbiopi
1. Anamnesa gejala-gejala dan tanda-tanda presbiopi
2. Pemeriksaan Oftalmologi
a. Visus  – Pemeriksaan dasar untuk mengevaluasi presbiopi dengan menggunakan Snellen
Chart
b. Refraksi – Periksa mata satu per satu, mulai dengan mata kanan. Pasien diminta untuk
memperhatikan kartu  Jaeger dan menentukan  kalimat terkecil yang bisa dibaca pada kartu.
Target koreksi pada huruf sebesar 20/30.
c. Motilitas okular, penglihatan binokular, dan akomodasi  – termasuk pemeriksaan duksi dan
versi, tes tutup dan tes tutup-buka, tes Hirschberg, amplitud dan fasilitas akomodasi, dan
steoreopsis
d. Penilaian kesehatan okular dan skrining kesehatan umum  – untuk mendiagnosa penyakit-
penyakit yang bisa menyebabkan  presbiopia.
e. Pemeriksaan ini termasuk reflek cahaya pupil, tes konfrontasi, penglihatan warna, tekanan
intraokular, dan pemeriksaan menyeluruh tentang kesehatan segmen anterior dan posterior dari
mata dan adnexanya.  Biasanya pemeriksaan dengan ophthalmoskopi  indirect diperlukan untuk
mengevaluasi segmen media dan posterior
Penatalaksanaan Presbiopi
1.  Digunakan lensa positif untuk koreksi presbiopi. Tujuan koreksi adalah untuk
mengkompensasi ketidakmampuan mata untuk memfokuskan objek-objek yang dekat
2. Kekuatan lensa mata yang berkurang ditambahan dengan lensa positif sesuai usia dan hasil
pemeriksaan subjektif sehingga pasien mampu membaca tulisan pada kartu Jaeger 20/30
3.  Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi +3.00 D adalah lensa positif terkuat yang dapat
diberikan pada pasien. Pada kekuatan ini, mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada
jarak 33 cm, karena tulisan yang  dibaca terletak pada titik fokus lensa +3.00 D

Usia (tahun) Kekuatan Lensa Positif yang dibutuhkan


40 +1.00 D
45 +1.50 D
50 +2.00 D
55 +2.50 D
60 +3.00 D

4.  Selain kaca mata untuk kelainan presbiopi saja, ada beberapa jenis lensa lain yang digunakan
untuk mengkoreksi berbagai kelainan refraksi yang ada bersamaan dengan presbiopia. Ini
termasuk:
a. Bifokal  – untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bisa yang mempunyai garis
horizontal atau yang progresif
b. Trifokal  – untuk mengkoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh. Bisa yang mempunyai
garis horizontal atau yang progresif
c. Bifokal kontak  - untuk mengkoreksi penglihatan jauh dan dekat. Bagian bawah adalah untuj
membaca. Sulit dipasang dan kurang memuaskan hasil koreksinya
d.  Monovision kontak  – lensa kontak untuk melihat jauh di mata dominan, dan lensa kontak
untuk melihat dekat pada mata non-dominan. Mata yang dominan umumnya adalah mata yang
digunakan untuk fokus pada kamera untuk mengambil foto
e.   Monovision modified – lensa kontak bifokal pada mata non-dominan, dan lensa kontak untuk
melihat jauh pada mata dominan. Kedua mata digunakan untuk melihat jauh dan satu mata
digunakan untuk membaca.

5. Pembedahan refraktif seperti keratoplasti konduktif, LASIK, LASEK, dan keratektomi


fotorefraktif
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas H, Sidarta. Kelainan refraksi dan koreksi penglihatan. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2004.
2. Keputusan menteri kesehatan RI nomor 1473/menkes/SK/x/2005 tentang Rencana
Strategi Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk mencapai
Vision 2020.
3. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta: EGC.
2009. Hal 8, 125.
4. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta: EGC.
2009. Hal 12.
5. Sherwood l. Human Physiology from Cells to System. Ed. 7. Canada : Brooks/Cole.
2010. Page 198-9.
6. Vaughan, Asbury. Optik dan Refraksi dalam Oftalmologi Umum. Ed. 17. Jakarta: EGC.
2009. Hal 382-4.
7. Khurana A.K. comprehensive ophthalmology. Fourth edition. India : New age
international. 2007. P.3-1, 89-92, 167-169, 243 – 245, 249.
8. Mancil GL. Optometric clinical practice guideline care of patient with Presbiopia.
America optometric Association. Reviewed 2010. P. 1-36
9. Patorgis CJ. Presbyopia. In: Amos JF, ed. Diagnosis and management in vision care.
Boston: Butterworths, 1987:203-38.
10. Kleinstein RN. Epidemiology of presbyopia. In: Stark L, Obrecht G, eds. Presbyopia:
recent research and reviews from the third international symposium. New York:
Professional Press Books, 1987:12-8.
11. David AH. Optometric clinical practice guideline care of patient with Hypermetropia.
America optometric Association. Reviewed 2008. P. 1-27
12. Waring GO, Rodrigues MM, Laibson PR. Anterior chamber cleavage syndrome. A
stepladder classification. Surv Ophthalmol 1975; 20:3-27 Thompson HS, Newsome DA,
Lowenfield IE. The fixed dilated pupil. Sudden iridoplegia or mydriatic drops? A simple
diagnostic test. Arch Ophthalmol 1971; 86:21-7.12
13. Amos JF. Optometric clinical practice guideline care of patient with Myopia. America
optometric Association. Reviewed 2008. P. 1-39.
14. Sidarta I. Kelainan Refraksi dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Jakarta. 2007. Hal. 81
15. Sidarta I. Kelainan Refraksi dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Jakarta. 2007. Hal. 82
16. Olujic, SM, 2012. Etiology and Clinical Presentation of Astigmatism. Dalam: Advances
in Ophtalmology; edited by Rumelt S. PP: 167 – 190. Available at:
www.intechopen.com/download/pdf/29985. Accessed: March 26th 2015.

Anda mungkin juga menyukai