Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar belakang

Permasalahan yang terkait kesehatan mata di Indonesia cukup banyak dimulai dari
kelainan kongenital pada mata, infeksi / peradangan pada mata, hingga tingginya angka kebutaan
di Indonesia. Keratitis atau peradangan pada kornea adalah permasalahan mata yang cukup
sering dijumpai mengingat lapisan kornea merupakan lapisan yang berhubungan langsung
dengan lingkungan luar sehingga rentan terjadinya trauma atau infeksi. Hampir seluruh kasus
keratitis akan mengganggu penglihatan seseorang yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas
hidup seseorang. Karena itu penting sebagai dokter umum untuk dapat mengenali dan
menanggulangi kasus keratitis sejauh kompetensi sebagai dokter umum yang terjadi
dimasyarakat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis membuat pembahasan referat
mengenai keratitis khususnya yang disebabkan oleh virus Herpes – Zoster, disertai anatomi
kornea dan persarafan nervus trigeminus beserta percabangannya yang berhubungan dengan
herpes zoster oftalmikus.(1)
Herpes zoster adalah suatu penyakit infeksi virus yang ditandai dengan adanya nyeri
radicular unilateral dan erupsi vesicular dengan dasar yang eritematous pada dermatom yang
diinervasi oleh ganglion sensori cranial maupun spinal. (2)
Virus herpes zoster dapat memberikan infeksi pada ganglion Gaseri saraf trigeminus.
Bila yang terkena cabang pertama dari nervus trigeminus yaitu ganglion cabang oftalmik maka
akan terlihat gejala – gejala herpes zoster pada mata. Gejala ini tidak akan melampaui garis
median kepala. Biasanya herpes zoster akan mengenai orang dengan usia lanjut. (3)
Pada varicella jarang terjadi manifestasi di mata, pada herpes zoster sering terjadi
manifestasi pada mata. Berbeda dari lesi kornea varicella yang jarang dan jinak, zoster oftalmik
yang relative banyak dijumpai kerap kali disertai dengan keratouveitis yang bervariasi beratnya
tergantung status kekebalan pasien. Meskipun keratouveitis zoster pada anak umumnya
tergolong penyakit jinak, penyakit ini tergolong berat pada dewasa bahkan dapat menimbulkan
kebutaan. (4)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Kornea
a. Anatomi

Kornea merupakan jaringan yang avascular, bersifat transparan, berukuran 11 – 12 mm


horizontal dan 10 – 11 mm vertical, serta memiliki indeks refraksi 1, 37. Kornea memberikan
konstribusi 74 % atau setara dengan 43, 25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata
manusia. Kornea juga merupakan sumber astigmatisme pada sistem optik. Dalam nutrisinya,
kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueos humor dan oksigen yang berdifusi melalui
lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea
adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung – ujung saraf terbanyak dan
sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dipersarafi oleh
banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V, saraf
siliar longus yang berjalan suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane
Bowman melepas selubung Schwannya. Kornea terdiri sari 5 lapis, yaitu :

Gambar 1. Anatomi Kornea


Sumber : www.scribd.com

2
1. Epitel
Tebalnya 550 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih.
Satu lapis sel basal, sel polygonal, dan sel gepeng. Pada sel batang sering terlihat mitosis sel,
dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
polygonal didepannya melalui desmosome dan macula okludens. Ikatan ini menghambat
pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier. Sel basal menghasilkan
membrane basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan
erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.(5)
2. Membrane Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak
teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai
daya regenerasi. (5)
3. Stroma
Menyusun 90 % ketebalan kornea. Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang
sejajar satu dengan yang lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang. Terbentuknya kembali serat kolagen memakan
waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
(5)

4. Membrane descement
Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel
endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat sangat elastic dan berkembang terus
seumur hidup, mempunyai tebal 40 μm. (5)
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20 – 40 μm. Endotel
melekat pada membrane descement melalui hemidesmosos dan zonula okluden. (5)

3
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid, masuk kedalam stroma
kornea, menembus membrane bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. (5)
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem pompa endotel
terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai
daya regenerasi. Kornea merupakan bagian mata tembus cahaya dan menutup bola mata dibagian
depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri
pembiasan sinar, masuk kornea. (5)

b. Fisiologi

Kornea sebagai membrane pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju
retina. Kornea merupakan komponen utama sistem optik mata dimana 70% pembiasan sinar
dilakukannya. Untuk fungsinya ini, kornea harus mempunyai permukaan yang licin. Permukaan
ini akan lebih licin bila terdapat film air mata didepan kornea. Sinar yang masuk dibiaskan oleh
kornea untuk difokuskan pada macula lutea. (1)
Sifat tembus cahaya karena struktur yang uniform, avaskuler, dan deturgenses.
Deturgenses atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa”
bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.
Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi dan fisik
pada endotel jauh lebih berat daripada cedera epitel. Kerusakan sel – sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan
edema local sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel – sel epitel itu telah
beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea berakibat film air mata menjadi
hipertonik. Proses itu dan penguapan langsung adalah factor-faktor yang menarik air dari stroma
kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi. (1)
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut lemak dapat melalui
epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya agar dapat melalui
kornea, obat harus larut lemak dan larut air sekaligus. (1)

4
II. Nervus Trigeminus

Nervus trigeminus merupakan nervus cranial terbesar, sensorik pada leher dan kepala
serta merupakan nervus motorik pada otot-otot pengunyahan. Nervus trigeminus muncul dari
pons, dekat dengan batas sebelah atas dengan radiks motorik kecil yang terletak di depan dan
radiks sensorik besar yang terletak di medial. Nervus trigeminus terdiri atas tiga cabang (rami)
utama yang menyatu pada ganglion Gasseri. Ketiga cabang tersebut adalah: (8)

1. Nervus opthalmicus
2. Nervus maxillaris
3. Nervus Mandibularis

Gambar 2. Cabang – cabang nervus trigeminus


Sumber : www.wikipedia.org

a). Nervus Opthalmicus

Nervus opthalmicus merupakan divisi pertama dari trigeminus dan merupakan saraf
sensorik. Nervus opthalmicus adalah nervus terkecil dari ketiga divisi trigeminus. Nervus

5
opthalmicus muncul dari bagian atas ganglion semilunar sebagai berkas yang pendek dan rata
kira-kira sepanjang 2.5 cm yang melewati dinding lateral sinus cavernous, di bawah nervus
occulomotor (N III) dan nervus trochlear (N IV). Saraf ini memasuki cavum orbita melalui
fissura orbitalis superior kemudian bercabang menjadi tiga cabang : (8)
1. N. Lacrimalis
2. N. Frontalis dan
3. N. Nasociliaris
Cabang-cabang n. opthalmicus menginervasi kornea, corpus ciliaris, iris, glandula
lacrimalis, konjunctiva, bagian membran mukosa cavum nasal, kulit palpebral, alis, dahi, hidung,
selaput otak, dan sinus paranasalis. (8)

Gambar 3. cabang – cabang nervus oftalmikus


Sumber : www.wikipedia.org

6
Nervus Lacrimalis
Merupakan nervus terkecil dari cabang-cabang opthalmicus. Nervus lacrimalis
menginervasi glandula lacrimalis dan konjunctiva. Akhirnya, nervus ini menembus septum
orbital dan berakhir pada palpebra superior bergabung dengan cabang-cabang nervus facialis. (8)

Nervus Frontalis
Merupakan cabang terbesar dari opthalmicus. Nervus ini memasuki cavum orbita
melewati fissura orbitalis superior dan masuk diantara palpebra levator superioris dan
periosteum. Di pertengahan perjalanan diantara apeks dan basis orbita bercabang menjadi dua
cabang yaitu nervus supratrochlear dan supraorbital. (8)

Nervus Nasociliaris
Nervus ini juga menginervasi kornea, korpus siliaris, iris, dan konjungtiva. Nervus
nasosiliaris terdiri dari 3 cabang, yaitu : (8)
 Ganglion ciliaris radiks longi
 Nervus ciliaris longi
 Nervus ethmoidalis

b). Nervus maxillaries

Nervus maxillaris merupakan divisi dua dan merupakan nervus sensorik. Ukuran dan
posisinya berada di tengah-tengah nervus opthalmicus dan mandibularis. Mempersarafi rahang
atas serta gigi-gigi rahang atas, bibir atas, pipi, palatum durum, sinus maxillaries dan selaput
lendir hidung. Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui foramen rotundum. (8)

c). Nervus mandibularis

Nervus mandibularis disebut juga nervus maxillaris inferior. Merupakan nervus terbesar
dari ketiga divisi dan terdiri atas dua radiks : 1. radiks sensorik mayor, keluar dari sudut inferior
ganglion semilunar dan 2. radiks motorik minor. Mempersarafi rahang bawah, bibir bawah,
mukosa pipi, lidah, sebagian dari meatus accusticus externus, meatus accusticus internus dan
selaput otak. Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui foramen ovale. (8)

7
BAB III

KERATITIS HERPES ZOSTER

I. Definisi

Keratitis Herpes Zoster adalah peradangan pada kornea yang disebabkan karena infeksi
virus varisela zoster. (2)

II. Epidemiologi

Herpes zoster memiliki insiden paling tinggi dari seluruh penyakit neurologi. Sekitar 95%
orang dewasa di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap virus varicella-zoster dan rentan
terhadap munculnya reaktivasi. Seseorang dengan usia berapapun dapat menderita zoster, namun
insidensnya meningkat seiring dengan usia akibat menurunnya kekebalan. Sekitar 4% pasien
dengan zoster akan mengalami episode berulang atau kekambuhan di kemudian hari.(6)
Penelitian terhadap pasien di sebuah health maintenance organization (HMO) di Amerika
menunjukkan 1075 kasus sejak tahun 1990-1992. Berikut karakteristik yang tercatat:
- Indisen saat itu 215 per 100.000 orang per tahun
- Pasien lanjut usia memiliki risiko lebih besar (1424 kasus per 100.000 orang per tahun
uuntuk usia >75 tahun)
- 3 dari 4 pasien dengan zoster yang rekuren atau kambuh menderita HIV positif
Diantara kasus penyakit okular eksternal, insiden herpes zoster oftalmikus adalah 2,4%
sedangkan insiden kelainan mata pada herpes zoster, yaitu kelainan pada daerah yang diinervasi
oleh cabang pertama nervus trigeminus berkisar antara 8,2 % - 56 %. Meskipun herpes zoster
adalah suatu penyakit yang lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan varisela, tapi lebih sering
mengenai mata. (6)

III. Etiologi

Virus Varisela-Zoster termasuk famili herpes virus dan merupakan salah satu dari
delapan virus yang diketahui virus herpes yang menginfeksi manusia. Diameter virus ini kurang
lebih adalah 150-200 nm dan memiliki berat molekul sekitar 80 juta. Ciri khas pada strukturnya

8
adalah memiliki nukleokapsid isosahedral dengan dikelilingi lipid envelop. DNA double
stranded  terletak ditengah-tengah struktur virus tersebut. Genome VZV mengkode kurang lebih
70 gen yang unik, kebanyakan memiliki susunan DNA dan fungsi yang homolog dengan virus
herpes lainnya. Early gene products meregulasi replikasi DNA, misalnya polymerase DNA virus
dan virus-specific tymidine kinase. Late genes mengkode protein structural yang menjadi target
oleh antibody dan respon imun selular. (2)

Gambar 4. Struktur Virus Varicella - Zoster


Sumber : journals of Cambridge

IV. Patofisiologi

Varicella Zoster Virus (VZV) terdapat dimana-mana dan sangat menular, dengan paparan
pertama secara khas terjadi pada masa anak-anak. Pada paparan pertama (infeksi varisella), virus
masuk ke host melalui system respiratori bagian atas, kemudian bereplikasi diperkirakan pada
nasofaring. Paparan pertama ini dapat juga menyebabkan keratitis zoster, walaupun sangat jarang
terjadi. Virus menginfiltrasi sistem retikuloendotelial, dan akhirnya menuju ke
sistemik (viremia). Selama serangkaian terjadinya varisela, VZV melewati lesi pada permukaan
kulit dan mukosa menuju saraf ending sensoris yang berdekatan dan pindah secara sentripetal ke
atas serabut sensoris pada ganglion sensoris (ganglion dorsalis). Pada ganglia, virus menjadi
infeksi laten yang tetap ada selama kehidupan. (2)
Virus ini dapat reaktivasi menjadi infeksius oleh karena adanya gangguan pada host-
parasit dalam waktu beberapa tahun sampai puluhan tahun setelah infeksi primer dan biasanya
terjadi pada orang tua atau dewasa. Infeksi primer merupakan penyakit yang self-limiting. (7)

9
Pada reaktivasi herpes zoster laten, sering timbul ganglionitis nekrotik dan virus infeksius
akan bergerak kembali menuju akson dan menimbulkan dermatitis vesikularis yang infeksius
pada dermatom yang terkena. Infeksi virus varisela zoster pada mata dapat terjadi melalui satu
atau dua mekanisme dibawah ini : (7)
1. Reaktivasi virus laten pada ganglion sensoris trigeminal
2. Masuknya virus eksogen melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan penderita
herpes zoster atau varisella, walaupun infektivitasnya rendah.
Dermatom yang paling sering terkena adalah yang diinervasi oleh n.trigeminus, dimana
cabang pertama (oftalmik) terkena 20 kali lebih sering dari pada cabang kedua atau ketiga.
Herpes zoster yang timbul pada daerah yang diinervasi oleh cabang oftalmik n.trigeminus
disebut sebagai herpes zoster oftalmikus tanpa mempertimbangkan apakah mata tersebut
mengalami inflamasi atau tidak. (7)
Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi virus secara
langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis. Komplikasi yang paling umum dari
herpes zoster ke okula adalah inflamasi kornea, beberapa vesikel kecil yang tumbuh di epitel
kornea dan hal tersebut diikuti dengan bengkaknya stroma kornea. Selain itu, suplai saraf yang
terganggu di kornea sebagaimana yang sering muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan
kornea berkembang menjadi keratitis dengan erosi epitelial yang berbentuk pungtat
(Neuroparalitik keratitis). (2)

Gambar 5. Distribusi sensorik dari n.oftalmika cabang dari n.trigeminal


Sumber : Journal of the American Academy of Family Physicians

10
Pada cabang oftalmik yang juga paling sering terkena adalah n.frontalis yang
menginervasi palpebral superior, dahi, dan konjungtiva superior melalui cabang supratroklear
dan supraorbital. Cabang nasosiliaris dan lakrimal dari n.oftalmikus juga bisa terserang bersama-
sama maupun sesudahnya, dan bisa disertai dengan kelainan cabang maksilaris n.trigeminus. bila
cabang nasosiliaris terkena, disebut Hutchinson sign, ini menunjukkan bahwa mata terinfeksi
virus varisela zoster melalui cabang dari nasosiliaris. Hutchinson sign merupakan indikasi untuk
risiko lebih tinggi terkena gangguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan tanda
ini mempunyai gangguan penglihatan. (7)

Gambar 6. Hutchinson sign


Sumber : www.emedicine.medscape.com

V. Manifestasi klinis

Infeksi virus varicella – zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk : (4)
1. Primer (varicella)
2. Rekurens (herpes zoster)
Pada varicella jarang terjadi manifestasi di mata, pada herpes zoster oftalmik sering
terjadi manifestasi pada mata. Pada varicella (cacar air), lesi mata umumnya berupa lesi cacar di
palpebral dan tepian palpebral. Jarang timbul keratitis (khasnya, lesi stroma perifer dengan
vaskularisasi) dan lebih jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrit. (4)

11
Adapun gejala pada Herpes zoster oftalmika antara lain adalah : (9)
a. Stadium prodromal : nyeri lateral sampai mengenai mata, demam, malaise, dan sakit kepala
b. Dermatitis
c. Nyeri pada mata
d. Lakrimasi
e. Penurunan visus
f. Mata merah unilateral
Bagian - bagian pada mata yang terkena dan dapat menimbulkan gejala pada infeksi VZV
adalah : (9)
1. Kelopak mata : blefaritis
2. Konjungtiva : konjungtivitis yang ditandai dengan injeksi konjungtiva dan edema
3. Sklera : Skelritis atau episkleritis mungkin berupa nodul yang biasa menetap selama
beberapa bulan
4. Kornea : keratitis
5. Traktus uvea : uveitis
6. Retina : retinitis
Komplikasi pada kornea terjadi 65 % dari kasus herpes zoster oftalmik. Keratitis Herpes
Zoster menimbulkan gejala yang umum terjadi pada keratitis seperti nyeri, mata merah, dan
dapat menyebabkan penurunan visus. Pada kelopak akan terlihat vesikel dan infiltrate pada
kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi saraf trigeminus yang dapat
progresif dengan terbentuknya jaringan parut. Daerah yang terkena tidak melewati garis media.
(3,9)

Gambar 7. Keratitis Herpes Zoster


Sumber : www.emedicine.medscape.com

12
Herpes Zoster keratitis bermanifestasi dalam bentuk klinis yaitu : (2)
 Keratitis epithelial akut
Gejala awal mulai muncul dua hari setelah onset kemerahan di kulit dan sembuh secara
spontan beberapa hari kemudian. Ditandai dengan adanya lesi dendritik kecil dan halus
(pseudodendrit) yang positif jika di tes fluoresen. (2)

Gambar 8. A.Lesi Dendritik pada Keratitis Herpes Zoster, B. dengan tes Fluoresen
Sumber : Journal of the American Academy of Family Physicians

 Keratitis nummular

Keratitis nummular mungkin mengikuti keratitis epitelial akut, biasanya sepuluh hari
setelah onset kemerahan di kulit. Ditandai dengan adanya multiple granular infiltrat pada stroma
anterior dikelilingi oleh “ halo of stromal haze” pada daerah yang sebelumnya terkena punctate
epitel dan pseudodendrit. Biasanya lesi ini hanya bersifat sementara, tetapi dapat pula
meninggalkan jaringan parut yang samar-samar. Lesi memberi respon pada pemberian steroid
tapi dapat “recurrence” jika pemberian dihentikan terlalu cepat. (2)

Gambar 9. Keratitis Nummularis


Sumber : Journal of the American Academy of Family Physicians

13
 Keratitis Disciform

Keratitis Disciform adalah infiltrasi stroma yang mendalam biasanya berkembang 3-4
bulan setelah fase akut awal, dan biasanya didahului olehkeratitis stroma akut epitel atau anterior
keratitis stroma. Pada pemeriksaanakan tampak disk shaped, well defined, disertai edema stromal
difus tanpadisertai vaskularisasi. Pada tahap ini akan tampak jelas edema pada kornea dan
inflamasi pada bilik mata depan. Edema disciformik ini dapat mengakibatkan jaringan parut,
neovaskularisai atau kadang ditemukan adanya deposisi lemak. (2)

Gambar 10. Keratitis Disciform


Sumber : Wills Eye Hospital Atlas of Clinical Ophthalmology

 Keratitis Neurotropik 

Neurotropik keratitis ditandai dengan kehilangan sensasi kornea bisa disertaidengan


adanya perforasi pada kornea, dimana jika sudah terjadi perforasi, maka proses epitelisasi akan
sulit. Hal ini akan menyebabkan mudahnya terjadi infeksi sekunder pada mata. (2)

14
Gambar 11. Tipe – tipe Keratitis Herpes – Zoster : A. Punctate Ephitelial Keratitis,
B. Microdendritic Epithelialulcer, C.Nummular Keratitis, D. Disciform Keratitis
Sumber : www.scribd.com

VI. Pemeriksaan Penunjang (2)


Diagnosa laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan :
1. Pemeriksaan langsung secara mikroskopik
Percobaan Tzanck : Kerokan pada palpebral diwarnai dengan Giemsa dan akan didapati sel
dantia berinti banyak. Namun tes ini tidak dapat membedakan antara lesi akibat herpes zoster
dengan herpes simpleks.
2. Immunofloresensi direk dapat membedakan infeksi akibat varicella zoster atau herpes
simpleks
3. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik PRC ( Polymerase Chain Reaction )

VII. Diagnosis banding


1. Keratitis Herpes Simpleks

Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi virus
herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Penyakit ini dapat merupakan infeksi primer dan bentuk
kambuhan. Kelainan akibat infeksi primer biasanya bersifat epithelial dan ringan. Berbeda
dengan keratitis Herpes Simplex Virus (HSV) rekurens yang umumnya hanya mengenai epitel,
keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior sejak awal terjadinya. Lesi epitelnya amorf dan
berbercak, sesekali terdapat pseudodendrit linear yang agak mirip dendrit-sejati pada keratitis
HSV.(2)
Dari ketidakseimbangan imunitas penderita dapat menyebabkan terjadinya aktivasi virus
herpes dan selanjutnya dapat menimbulkan keratitis. Kondisi imunosupresi dapat terjadi akibat

15
penggunaan kortikosteroid sistemik yang menimbulkan aktivasi keratitis herpes simpleks. Mula-
mula kadar IgM meningkat, kemudian kadar IgG juga meningkat dan akhirnya tampak antibodi
IgA dalam sekresi mukosa. Selanjutnya dikatakan bahwa antibodi menghancurkan virus
ekstraseluler.Virus yang bergabung dengan antibodi terutama dengan IgA akan dicegah
perlekatannya dengan sel membran dan menginfeksi jaringan. (2)
Reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik) yang ditingkatkan oleh IgG antibody
memudahkan fagositosis dan netralisasi virus. Virus herpes simpleks yang stromal disertai reaksi
tipe IV dapat terjadi pada penderita yang mengalami depresi imun akibat penggunaan
kortikosteroid, karena usia lanjut, atau karena penyakit sistemik. Keratitis desciformis dapat
merupakan hasil reaksi tipe terhadap antigen virus herpes. (2)
lnfeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer. Dengan
mekanisme yang tidak jelas, virus menjadi inaktif dalam neuron sensorik atau ganglion otonom.
Dalam hal ini ganglion servikalis superior, ganglion n.trigeminus,dan ganglion siliaris berperan
sebagai penyimpan virus. (2)
Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi : lakrimasi, fotofobia, injeksi
perikornea, dan penglihatan kabur (tergantung lokasi dan luasnya lesi). Berat ringannya gejala-
gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi epitel karena adanya hipestesi atau
insensibilitas kornea. Perlu dibedakan dengan keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea,
misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
penggunaan lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik pada keratitis
herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fototobia. (2)
Keratitis herpes simpleks kambuhan dibedakan atas bentuk superfisiaI,profunda, dan
bersamaan dengan uveitis atau keratouveitis. Keratitis superfisial dapat berupa punctata,
dendritik, dan geografik. Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis punctata
yang diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel serta
membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat berkembang menjadi
keratitis geografika, akibat bentukan ulkus bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid.
Dengan demikian gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang
mengelilingi ulkus. (2)

16
Gambar 12. Keratitis Dendritika
Sumber : www.scribd.com

2.
3.
4.
5.

Gambar 13. Keratitis Geografik


Sumber : www.scribd.com

Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes zoster,
pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang dikelilingi mucus
plaques. Selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. Tirosinemia juga sering menimbulkan lesi
dendriform, tetapi biasanya bilateral dan terjadi pada anak-anak. Lesi semacam ini pernah pula
dilaporkan sebagai akibat infeksi Acanthamoeba, trauma kimia, dan akibat toksisitas
thiornerosal.(2)

Tabel 1. Perbedaan Keratitis herpes simplex dan Keratitis herpes zoster (2)
Keratitis Herpes Simplex Keratitis Herpes Zoster
Usia Primary : 5 tahun Usia tua
Kekambuhan : usia Immunosupresi

17
pertengahan
Manifestasi pada mata
 Nyeri Ringan Lebih berat
 Dendritic keratitis Sentral Disekitar lokasi
Besar Kecil
Well-defined dendrite Berbentuk bintang
Ulkus sentral Plak yang meninggi
 Spectrum 1. Blefarokonjungtivitis Herpes Zoster Akut :
- Folikular 1. Skleritis
- Siktrik 2. Konjungtivitis
3. Keratitis
- Pungtat epiteliat
keratitis
- Mikrodendrit
- Keratitis nummular
- Keratitis disciform
4. Uveitis anterior
5. Akut retinal necrosis
2. Kelainan epitel Herpes Zoster Kronik :
- Ulkus dendrit 1. Konjungtivitis
3. Keratitis stroma 2. Keratitis
- Keratitis nekrosis - Keratitis nummular
- Keratitis non nekrosis - Keratitis disciform
- Keratitis disiform - Keratitis neurotropic
- Keratitis intersisial - Mukosa plak keratitis
4. Komplikasi pada kornea
- Stromal vaskularisasi
konjungtivitis, skar
- Keratitis trophic
- Keratopaty lipid
5. Uveitis akut

18
6. Skleritis
7. Acute retinal necrosis
Terapi - Debridement - Obat antivirus oral
- Terapi obat dengan - Analgetik
antiviral - Steroid sistemik dan
- Terapi bedah topical
- Pengendalian mekanisme - Antibiotic topical
pemicu yang mereaktifasi - Terapi bedah
infeksi HSV

VIII. Penatalaksanaan

Pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatis. Pengobatan dengan


memberikan asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid. (3)

Terapi sistemik

1. Obat antivirus oral


Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi timbulnya vesikel,
menghentikan perkembangan virus, dan mengurangi kejadian serta komplikasi lebih lanjut. Agar
efektif, pengobatan harus dimulai segera setelah timbulnya ruam, namun hal ini tidak
berpengaruh pada post herpetik neuralgia. Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis
800 mg, 5 kali sehari selama10 hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama 10
hari, famciclovir, 500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam sejak timbulnya
kemerahan. (2)

2. Analgetik
Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan. Sehingga harus
diberikan pengobatan dengan analgesik seperti kombinasi dari mefenamic acid dengan
paracetamol atau pentazocin atau petidin ( ketika sangat berat). (2)

19
3. Steroid sistemik
Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan penyakit pada post
herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada lansia harus dipertimbangkan. Steroid
pada umumnya digunakan untuk menangani komplikasi dari kasus neurologis seperti
kelumpuhan nervus okulomotorius dan neuritis optik. Pemakaian steroid sistemik masih
kontroversial. (2)

Terapi lokal untuk mata (2)

1. Untuk keratitis zoster :.


a. Tetes mata steroid 4 kali sehari.
b. Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate atau salep mata
atropin.
c. Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu.
2. Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal.
3. Apabila terdapat glaukoma sekunder
a. Obat tetes mata Timolol 0,5 % atau Betaxolol 0,5%
b. Acetazolamide oral 250mg diberikan 4 kali sehari.
4. Untuk ulkus kornea neuroparalisis yang disebabkan oleh herpes zoster, dilakukan
Tarsorrhaphy lateral.
5. Kerusakan epitel yang menetap digunakan :
a. Tetes air mata buatan
b. Soft contact lens bandage
6. Keratoplasti
Tindakan ini diperlukan untuk rehabilitasi pengelihatan pasien herpes zoster dengan jaringan
parut yang tebal. Namun hal ini beresiko tinggi.

IX. Komplikasi

Penyulit yang terjadi adalah uveitis, parase otot penggerak mata, glaucoma, dan neuritis
optic. (2,3)

20
X. Prognosis

Prognosis penyakit pada umumnya baik tergantung pada tindakan perawatan. Tingkat
kesembuhan penyakit ini umumnya tinggi pada dewasa dan anak – anak dengan perawatan
secara dini. Prognosa penyakit menjadi baik kerena pemberian asiklovir yang dapat mencegah
komplikasi ke mata sampai ke arah penurunan visus dan pencegahan terjadinya paralisis motoric.
Selain itu, bengkak dan merah pada mata dapat hilang. Namun pada kulit dapat menimbulkan
macula hiperpigmentasi atau sikatrik. (2)
Pengobatan antiviral iv seharusnya di administrasi seperti yang telah disebutkan dalam
pengobatan di atas. Prognosa juga ditentukan dari waktu pemberian antiviral yang sebaiknya
diberikan 72 jam pertama setelah onset. Pasien yang dirawat jalan seharusnya mempunyai tindak
lanjut yang adekuat untuk penanganan pada keratitis herpes zoster. Pemeriksaan ulang setelah
maksimum 1 minggu haruslah dijadwalkan pada stadium awal. Begitu juga dengan pengobatan
menggunakan antiviral haruslah dipraktikkan dan diteruskan seperti di atas. (2)

BAB IV
KESIMPULAN

21
Keratitis Herpes Zoster adalah peradangan pada kornea yang disebabkan karena infeksi
virus varisela zoster yang ditandai oleh gejala pada mata yaitu rasa sakit pada daerah yang
terkena dan badan terasa hangat, penglihatan berkurang dan merah, pada palpebra akan terlihat
vesikel dan infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom yang dipersarafi
saraf trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan parut. Daerah yang terkena
tidak melewati garis media.
Cara masuknya virus varicella zoster biasanya melalui droplet pernapasan. Lalu
kemudian masuk ek aliran darah dan menempati ganglion, dapat juga masuk ek ujung-ujung
saraf pada kulit dan membrane mukosa setelah kontak dengan permukaan kulit yang terinfeksi.
Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi virus secara
langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis. Komplikasi yang paling umum dari
herpes zoster ke okula adalah inflamasi kornea, beberapa vesikel kecil yang tumbuh di epitel
kornea dan hal tersebut diikuti dengan bengkaknya stroma kornea. Selain itu, suplai saraf yang
terganggu di kornea sebagaimana yang sering muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan
kornea berkembang menjadi keratitis dengan erosi epithelial.
Keratitis herpes zoster bisa bermanifestasi dalam bentuk keratitis epithelial, keratitis
nummularis, keratitis disciform, dan keratitis neurotropic. Keratitis herpes zoster harus
dibedakan dengan keratitis yang disebabkan oleh herpes simpleks.
Prognosis penyakit pada umumnya baik tergantung pada tindakan perawatan. Tingkat
kesembuhan penyakit ini umumnya tinggi pada dewasa dan anak – anak dengan perawatan
secara dini. Prognosa penyakit menjadi baik kerena pemberian asiklovir yang dapat mencegah
komplikasi ke mata sampai ke arah penurunan visus dan pencegahan terjadinya paralisis motoric.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hendrawan,E. Keratitis. Available at http://www.scribd.com/doc/59034562/KERATITIS

22
2. Hendrawan, E. Herpes Zoster. Available at http://www.scribd.com/doc/98742169/herpes -
zoster
3. Ilyas, SH. Infeksi Herpes Zoster. Ilmu Penyakit Mata. Ed keempat cetakan kedua. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012. Hal.151-2
4. Biswell, MD . Kornea. In : Vaughan DG, Asbury T. Oftalmologi Umum. 17 th ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran, 2012. Hal : 134-5
5. Ilyas, SH. Anatomi dan Fisiologis Mata. Ilmu Penyakit Mata. Ed keempat cetakan kedua.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012. Hal.5-6
6. Anonim. Herpes Zoster. Available at http://www.medispot.blogspot.com/2008/10/herpes-
zoster.html
7. S. Anny. Pengelolaan Komplikasi Herpes Zoster Oftalmikus. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Rumah Sakit Dokter Kariyadi. Semarang, 1998
8. Anonim. Trigeminal Nerve. Available at http://www.gudangmateri.com/2010/03/
trigeminal-nerve.html
9. Wahyuningtias, W. Herpes Zoster Oftalmikus. Available at http://www.scribd.com/doc
/76265944/Herpes-Zoster-Oftalmikus

23

Anda mungkin juga menyukai