(030.10.174)
0
LEMBAR PENGESAHAN
Penyusun:
Meita Kusumo Putri
030.10.174
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 28
Desember 2015 – 5 Maret 2016.
1
STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
Nama Mahasiswa : Meita Kusumo Dokter Pembimbing : dr. Herry Susanto, Sp.A
NIM : 030.10.174 Tanda tangan :
I. IDENTITAS PASIEN
Pendidikan - D3 SMA
No. RM 816120
2
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan ayah kandung
pasien pada tanggal 13 Februari 2016, pukul 15.30 WIB, di Ruang Dahlia
RSUD Kardinah.
3
Pada tanggal 9 Februari 2016, pukul 16.00 WIB, pasien mengeluh mulas-
mulas, namun dirasa tidak begitu parah. Pada pukul 22.00 WIB, mulas dirasa
semakin memberat disertai keluar air-air yang merembes. Sekitar 7 jam
kemudian bayi lahir secara pervaginam (tanggal 10 Februari 2016 pukul 05.30
WIB).
Menurut ayah pasien, pasien menangis tidak kuat setelah lahir, pasien
belum mendapat ASI, gerak kurang aktif, sehingga pasien dipindahkan ke
ruang observasi bayi di RS Mitra Siaga. Selama 30 menit diobservasi,
dikatakan bahwa pasien tampak sesak dan merintih terus-terusan hingga
akhirnya diputuskan untuk dirujuk ke RSUD Kardinah.
4
G.Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien adalah seorang pegawai hotel, sedangkan ibu pasien bekerja
sebagai penjaga warung. Ayah pasien berpenghasilan kurang lebih
Rp.4.000.000,00 per bulan, dan ibu pasien berpenghasilan Rp. 1.500.000,00
per bulan. Ayah menanggung nafkah untuk seorang istri dan 2 orang
anaknya.
Kesan : Status ekonomi cukup.
5
I. Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran : RS Mitra Siaga
Penolong persalinan : Bidan
Cara persalinan : Per vaginam, secara spontan
Penyulit persalinan : Perdarahan antepartum et causa plasenta previa
dan KPD 7 jam
Masa gestasi : 30+4 minggu pada G2P1A0
Keadaan bayi
Berat badan lahir : 1.250 gram
Panjang badan lahir : 38 cm
Lingkar kepala : 27 cm
Keadaan lahir : Tidak menangis kuat, merintih, tampak sesak.
Nilai APGAR : 4-5-6
Kelainan bawaan : Tidak ada
Air ketuban : keruh
Kesan: neonatus preterm, lahir secara per vaginam, BBLSR, bayi
dalam keadaan tidak bugar, observasi neonatal infeksi.
6
M. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir 1.250 gram, panjang badan 38 cm, lingkar kepala 27 cm.
Riwayat perkembangan belum dapat dievaluasi.
Kesan : Berat bayi lahir sangat rendah.
O.Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah diimunisasi sejak lahir karena keadaannya sejak lahir
tidak sehat, sehingga imunisasi ditunda
Kesan : Belum dilakukan imunisasi dasar.
P. Silsilah/Ikhtisar Keturun
Keterangan :
: laki-laki : pasien
: perempuan
Kesan : Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang
sama.
7
III. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 13 Januari 2016, pukul 16.00 WIB (hari ketiga
perawatan), di Ruang NICU RSUK.
A. Kesan Umum
Bayi : tampak kecil, tampak
lemah, tampak sesak
dan kuning
Sianosis :-
B. Tanda Vital
- Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
- Nadi : 150x/menit
- Laju nafas : 67x/menit
- Suhu : 36,6ºC (aksila)
- Sp.02 : 95%
C. Data Antropometri
Berat badan sekarang : 1.250 kg
Panjang badan : 38 cm
Lingkar kepala : 27 cm
D. Status Internus
Kulit
Inspeksi : Warna kulit merah muda, ikterik kramer II-III,
lanugo(+) menipis
8
Palpasi : Turgor kulit baik
Kepala dan Wajah
Kepala : Mesosefali, lingkar kepala 27 cm
UUB teraba datar, tegang (-), molase (-)
Kaput suksedaneum (-), sefal hematom (-)
Rambut hitam, tipis, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut
Wajah : Normal, simetris, tanda dismorfik (-)
Mata : Mata cekung (-/-), edema palpebra (-/-)
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Katarak kongenital (-/-), glaukoma kongenital (-/-)
Telinga : Normotia, sekret (-/-), recoil (lambat/lambat)
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-) napas cuping
hidung -/- sekret (-/-), darah (-/-)
Mulut : Kering (+), sianosis (-), pucat (-), trismus (-)
stomatitis (-), bercak putih di lidah dan mukosa (-)
labioschizis (-), palatoschizis (-)
Leher : Pendek, pergerakan lemah, tumor (-), tanda trauma (-)
Thorax :
Pulmo :
Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan dan kiri
Sternum dan iga normal
Retraksi subcostal (+) ringan
Gerak napas simetris, tidak ada hemithoraks yang
tertinggal
Palpasi : Simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal
Areola mammae penuh, papil datar, diameter 1 mm
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
9
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, terpasang infus tali pusat, tampak kemerahan
disekitar tali pusat, abdomen tampak ikterik.
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani di ke 4 kuadran abdomen.
Vertebrae : Spina bifida (-), meningocele (-)
Urogenital : Laki-laki, testis belum turun sempurna
Anus dan rectum : Anus (+), diaper rash (-)
Ekstremitas :
Superior Inferior
Deformitas - /- - /-
Akral dingin - /- -/-
Akral sianosis - /- - /-
+/+
Ikterik -/- (terbatas hingga
lutut bagian atas)
CRT > 2 detik > 2 detik
Tonus Hipotonus Hipotonus
Refleks primitif
Refleks Oral
- Refleks Hisap : (+) lemah
- Refleks Rooting : (-)
Refleks Moro : Tidak dilakukan
Refleks Palmar Grasp : (+)
Refleks Plantar Grasp : (+)
10
IV. PEMERIKSAAN KHUSUS
Maturitas Bayi (Lubchenko)
Berat badan lahir : 1.250 gr
Usia kehamilan : 30+4 minggu
11
Pada kasus ini, ikterik terdapat pada dada punggung, abdomen hingga batas atas lutut
(Ikterik kramer II-III)
12
13
Kurva Fenton
Kurva untuk pertumbuhan neonatus preterm. Dari hasil perhitungan, didapatkan
panjang badan, lingkar kepala, dan berat badan berada tepat di persentil 10.
14
Downe Score
0 1 2
Frekuensi Napas < 60 x/menit 60-80 x/menit > 80 x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis hilang Sianosis menetap
Sianosis Tidak sianosis
dengan O2 walaupun diberi O2
Penurunan ringan Tidak ada udara
Air Entry Udara masuk
udara masuk masuk
Dapat didengar
Dapat didengar
Merintih Tidak merintih dengan
tanpa alat bantu
stethoscope
Bell Squash Score
Partus tindakan (SC, vakum, sungsang)
Ketuban tidak normal
Kelainan bawaan
Asfiksia sedang
Preterm
BBLR
Infus tali pusat
Riwayat penyakit ibu
Riwayat penyakit kehamilan
Bell Squash score 5 = Neonatal Infeksi
15
PEMERIKSAAN PENUNJANG
16
Corrected
Temperatur 37.3 ºC
pH 7.234 (↓) No unit 7.350 – 7.450
pCO2 46.8 mmHg 35.0 – 48.0
pO2 78.3 (↓) mmHg 83 – 108
Hct 41.0 % 42.0 – 62.0
Natrium 121.2 (↓) mM 136.0 – 145.0
Kalium 4.29 mM 3.50 – 145.0
Kalsium Ion 0.21 mM 0.20 – 5.00
HCO3 19.5 mM
TCO2 20.9 mM
Beb -8.0 mM
BE ecf -8.0 mM
O2 Sat 22.5 %
tHb 13.9 g/dl
17
Foto Babygram 10 Februari 2016 (Dahlia)
V. DAFTAR MASALAH
- Asfiksia sedang
- Neonatal infeksi
- Hiperbilirubinemia
- BBLSR
- Neonatal preterm
18
VI. DIAGNOSIS BANDING
Asfiksia sedang
Faktor janin
Faktor ibu
Infeksi neonatus
Infeksi peri natal
Infeksi post natal
Infeksi ante natal
Hiperbilirubinemia
Gangguan Produksi
Gangguan Konjugasi
Gangguan Ekskresi
Gangguan Transportasi
Bayi berat lahir sangat rendah
Prematuritas murni
Dismaturitas
Neonatus preterm
Bayi sesuai untuk masa kehamilan
Bayi kecil untuk masa kehamilan
Bayi besar untuk masa kehamilan
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
- Pasang O2 CPAP
- IVFD D5% 5 tpm
- Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg
- Inj. Aminophilin 2 x 2 mg
19
- Inj. Ca Gluconas 1 x 0.3 ml
- Infus aminofusin paed 1 ml/jam
b. Non-medikamentosa
- Rawat intensif, monitor tanda vital, sesak atau kejang
- Pasang OGT
- Diet : tunda
- Fototerapi 2 x 24 jam
X. PROGNOSIS
20
FOLLOW UP
10 Februari 2016 pkl. 08.00 WIB 11 Februari 2016 WIB (IGD)
(IGD) Hari Perawatan ke-0
Hari Perawatan ke-0
S Pasien lahir spontan (10/2/16) pukul S Sesak (+), BAK (+), BAB (+),
05.30 WIB di RS Mitra Siaga. Dirujuk kejang (-), demam (-), tampak
dengan sesak dan merintih. Pasien lahir kuning (-), Refleks hisap (-)
dari ibu dengan G2P1A0 hamil 30+4
minggu.
Sesak (+) Merintih (+) Demam (-)
O KU: Menangis kurang kuat, merintih O KU: Menangis kurang kuat, gerak
(+), gerak kurang aktif, retraksi (+) kurang aktif, merintih (+), ikterik
subcostal, tampak sesak (-), retraksi (+) subcostal, sianosis
TTV: HR: 153x/mnt, RR: 62 x/mnt, S: (-)
36.0 0C, Sp.O2 98% TTV: HR: 130x/m, RR: 64x/m
Status generalis: tidak teratur, S: 37.0°C, SpO2 96%,
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase Status generalis:
(-) Kepala: Mesosefali, UUB datar,
Mata: CA (-/-), SI (-/-) molase (-)
Mulut: sianosis (-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: Retraksi (+) subcostal berat, Mulut: sianosis (-)
SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 Toraks: Retraksi (+) subcostal,
reguler, m (-), g (-) SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2
Abdomen: Supel, BU (+) reguler, m (-), g (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) Abdomen: Supel, BU (+)
CRT <2” Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2”
CRT <2” Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
(-/-) CRT <2”
Downe score : 5
Lab tgl. 10/2/16
GDS: 95 mg/dl Hb 15,8 g/dl Ht 42,1%
ΔL 4,8 x 10 /µL ΔT 59 x 103/µL (↓)
3
CRP +48
A BBLSR preterm, Susp. respiratory A Asfiksia sedang, observasi neonatal
distress syndrome, Risiko infeksi infeksi, BBLSR, neonatal preterm
neonatorum
P O2 CPAP P O2 CPAP
IVFD D5% 5 tpm IVFD D10% 5 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV
21
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Perawatan di NICU Diet : tunda
12 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB 13 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB
(NICU) (NICU)
Hari Perawatan ke-2 Hari Perawatan ke-3
S Sesak (+), BAK (+), BAB (+), kejang S Sesak (+), BAK (+), BAB (+),
(-), demam (-), tampak kuning (+), kejang (-), demam (-), tampak
Refleks hisap (↓) kuning (+), Refleks hisap (↓)
O KU: Menangis kurang kuat, gerak O KU: Menangis kurang kuat, gerak
kurang aktif, ikterik (+) kramer II, kurang aktif, ikterik (+) kramer II-
retraksi (+), sesak (+), sianosis (-) III, retraksi (+), sianosis (-)
TTV: HR: 134x/mnt, RR: 72x/mnt TTV: HR: 150x/m, RR: 67x/m
tidak teratur, S: 36,8°C, SpO2 98%, tidak teratur, S: 36.6°C, SpO2
Status generalis: 95%,
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase Status generalis:
(-) Kepala: Mesosefali, UUB datar,
Mata: CA (-/-), SI (-/-) molase (-)
Mulut: sianosis (-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Toraks: Retraksi (+) subcostal, SNV Mulut: sianosis (-)
(+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, Toraks: Retraksi (+) subcostal,
m (-), g (-) SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2
Abdomen: Supel, BU (+) reguler, m (-), g (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) Abdomen: Supel, BU (+)
CRT <2” Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) CRT <2”
CRT <2” Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
(-/-) CRT <2”
22
Dicoba diet : ASI 8 x 2,5 – 5 ml Diet : tunda
(sonde) Infus aminofusin paed 1 ml/jam
Cek bilirubin Fototerapi 2 x 24 jam
13 Februari 2016 pkl. 21.30 WIB 13 Februari 2016 pkl. 23.00 WIB
(NICU) (NICU)
Hari Perawatan ke-3 Hari Perawatan ke-3
S Napas tersengal-sengal (+) Sianosis S Kejang (+)
(+)
O KU: Apnoe (+) Sianosis (+) O KU: Kejang (+)
TTV: RR: apnoe, HR: 140x/m, SpO2 TTV: HR: 156x/m, SpO2 96%,
87%.
Status generalis:
Mulut: sianosis (+)
Toraks: Retraksi (+) subcostal berat,
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2”
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2”
A Apnoe A Obs. Konvulsi
P Terpasang ETT mode SiMV P Terpasang O2 ventilator SiMV
Sp.O2 99% (stabil), HR: 151 x/mnt Inj. Fenobarbital 20 mg IV
Terapi lain lanjut Cek AGD
14 Februari 2016 pkl. 09.00 WIB 14 Februari 2016 pkl. 10.45 WIB
(NICU) (NICU)
Hari Perawatan ke-4 Hari Perawatan ke-4
S Tampak lemah, kejang (-) S Kejang (+)
O KU: Tampak lemah, retraksi (+), O KU: Kejang (+) Sianosis (+)
sianosis (+) TTV: HR: 183x/m, SpO2 63%.
TTV: HR: 114x/m, SpO2 93%.
Status generalis:
Mulut: sianosis (+)
Toraks: Retraksi (+) intercostal dan
subcostal berat, SNV (+/+), rh (-/-),
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
23
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2”
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2”
A Asfiksia sedang, neonatal infeksi, A Obs. Konvulsi
BBLSR, neonatus preterm
P Terpasang O2 ventilator mode CMV P Terpasang O2 ventilator CMV
IVFD D10% 5 tpm Inj. Fenobarbital 20 mg IV
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV Terapi lain lanjut
Inj. Aminofilin 2 x 9 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Diet : tunda
Fototerapi 2 x 24 jam
Syringe pump : Asam amino 1
ml/jam
15 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB 16 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB
(NICU) (NICU)
Hari Perawatan ke-5 Hari Perawatan ke-6
S Sesak (+) Tampak kuning (+), Kejang S Sesak (-) Kejang (-) Demam (-)
(-) Sianosis (-) BAK (+) BAB (+) R. Tampak kuning (+) Sianosis (-)
Hisap (-) BAK (+) BAB (+) R. Hisap (-)
O KU: Tampak lemah, gerakan (-), O KU: Tampak lemah, gerakan (-),
retraksi (+) subcostalis, ikterik (+) retraksi (-), ikterik (+) kramer II,
kramer II, sianosis (-) sianosis (-)
TTV: RR: 60x/mnt, HR: 170x/mnt, S: TTV: RR: 47x/mnt, HR: 178x/mnt,
37,2ºC, SpO2 100%. S: 36.0ºC, SpO2 100%.
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase Kepala: Mesosefali, UUB datar,
(-) molase (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-) Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (+) intercostal dan Toraks: Retraksi (-), SNV (+/+), rh
subcostal berat, SNV (+/+), rh (-/-), (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-),
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) g (-)
Abdomen: Supel, BU (+) Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
CRT <2” CRT >2”
24
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE
CRT <2” (-/-) CRT >2”
AGD tgl. 14/2/16 pkl. 16:24 WIB Lab tgl. 15/2/16 pkl. 19:16 WIB
pH 7,234 (↓) Hb 14,9 g/dl
pO2 78,3 mmHg (↓) ΔL 46,3 x 103/µL (↑)
Natrium 121,2 mM (↓) Ht 38,4%%
ΔT 49 x 103/µL (↓)
GDS 377 mg/dl (↑) Bilirubin total 8,65 mg/dl
Bilirubin direk 0,62 mg/dl
A Distress respirasi, BBLSR, A Distress respirasi, Sepsis, BLSR,
Hiperbilirubinemia, neonatus preterm Neonatal preterm
P Terpasang O2 ventilator mode CMV P Terpasang O2 ventilator mode
IVFD D10% 5 tpm + loading NaCl CMV
15 ml IVFD NaCL 0,9 12 ml KaEn
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV 1B 6 tpm
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV Inj. Meropenem 3 x 50 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV Inj. Gentamicin 2 x 4 mg IV
Diet : tunda Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Syringe pump : Asam amino 1 Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
ml/jam Siring pump : Asam amino 1
cc/jam
Siring pump : Dopamine 5 meq
Diet : tunda
17 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB 17 Februari 2016 pkl. 14.55 WIB
(NICU) (NICU)
Hari Perawatan ke-7 Hari Perawatan ke-7
S Napas tersengal-sengal (+) Sianosis S Sianosis (+)
(+) BAK (-) BAB (-) R. Hisap (-)
O KU: Tampak lemah, gerakan (-), O KU: Coma, Sianosis (+)
retraksi (+) intercostal dan TTV: RR: (-), denyut jantung (-),
subcostalis berat, sianosis (+) S: 35.5ºC, SpO2 (-)
TTV: RR: 36x/mnt, HR: 186x/mnt, S: Status generalis:
35,6ºC, SpO2 68%. Kepala: Mesosefali, UUB datar,
Status generalis: molase (-)
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase Mata: pupil midriasis maksimal
(-) (+/+)
Mata: CA (-/-), SI (-/-) Mulut: sianosis (+)
Mulut: sianosis (+) Toraks: Retraksi (-), SNV (-/-), rh
25
Toraks: Retraksi (+) intercostal dan (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 (-), m (-), g (-)
subcostal berat, SNV (+/+), rh (-/-), Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) CRT >2”
Abdomen: Supel, BU (+) Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-) (-/-) CRT >2”
CRT >2”
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2”
A Sepsis berat A
P Terpasang O2 ventilator mode CMV P Pasien dinyatakan meninggal
IVFD NaCL 0,9 12 ml KaEn 1B
6 tpm
Inj. Meropenem 3 x 50 mg IV
Inj. Gentamicin 2 x 4 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Siring pump : Asam amino 1 cc/jam
Siring pump : Dopamine 5 meq
Diet : tunda
26
ANALISA KASUS
Pasien bayi perempuan usia 0 hari, didiagnosis asfiksia sedang, neonatal infeksi,
hiperbilirubinemia, BBLSR, neonatus preterm. Dasar diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Masalah Interpretasi
Anamnesis
Bayi lahir tanggal 10 Februari 2016 (0 Keadaan pasien saat datang, yaitu sesak
hari SMRS) secara spontan, penyulit dan terdapat retraksi dinding dada, hal ini
perdarahan antepartum et causa mengindikasikan tidak adekuatnya
plasenta previa, dan KPD 7 jam, ibu oksigenasi di dalam tubuh, selain itu
G2P1A0 hamil 30+4 minggu, keadaan didapatkan pula bayi tidak menangis
bayi saat lahir, yaitu air ketuban keruh, dengan kuat, merintih, gerakan tidak aktif,
menangis tidak kuat, merintih, gerakan dengan Skor APGAR 2-3-5 bermakna
tidak aktif, dengan skor APGAR 4-5-6, asfiksia sedang.
dan berat lahir 1.250 gram.
Asfiksia neonatorum dapat disebabkan
Saat datang di IGD, keadaan bayi
oleh beberapa faktor, yaitu:
tampak sesak, terpasang O2 CPAP,
menangis tidak kuat, merintih, terdapat Faktor plasenta
retraksi dinding dada. Dalam kasus ini didapatkan faktor dari
plasenta, yaitu plasenta previa. Plasenta
previa menyebabkan perdarahan
abnormal pada ibu. Pada kasus ini,
diketahui bahwa telah terjadi
perdarahan berulang sebanyak tiga kali
selama kehamilan, kejadian dua
perdarahan terakhir terjadi mendekati
persalinan. Perdarahan yang terjadi
menyebabkan perfusi ke jaringan
27
menurun, kapasitas oksigen maternal
menurun, sehingga terjadi hipoksia
pada ibu yang berujung hipoksia pada
janin. Hipoksia pada janin
menyebabkan gangguan pertukaran O2
dan CO2 dan terjadilah asfiksia.
Faktor janin
Pada kasus ini, pasien lahir belum
cukup bulan atau preterm atau
prematur, yang merupakan risiko besar
untuk terjadinya asfiksia. Pada bayi
lahir yang belum cukup bulan, produksi
surfaktan pada paru-paru kurang,
tekanan permukaan paru meningkat.
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum: Menangis kurang kuat, Menangis kurang kuat dan gerak kurang
gerak kurang aktif, retraksi (+) aktif menunjukkan respirasi yang tidak
subcostal dan intercostal adekuat. Adanya retraksi dan napas cuping
Napas cuping hidung (-) hidung menunjukkan penggunaan otot
napas tambahan yaitu menandakan adanya
sesak.
28
Neonatus infeksi
Masalah Interpretasi
Anamnesis
Faktor risiko neonatal infeksi dinilai dari Bell Squash score didapatkan hasil 5,
Bell Squash score, ditemukan adanya: menunjukkan observasi neonatal infeksi.
Ketuban tidak normal Faktor yang menyebabkan neonatal infeksi
Asfiksia sedang di antaranya:
Preterm
Perinatal
BBLR
Dalam kasus ini didapatkan masalah,
Infus tali pusat yaitu ketuban pecah dini (KPD) 6 jam.
Bell Squash score 5 = Neonatal Ketuban pecah dini menyebabkan
Infeksi
mikroorganisme dari vagina naik dan
masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah yang memicu terjadinya
infeksi.
Postnatal
Dalam kasus ini didapatkan masalah
yaitu asfiksia neonatorum, BBLR, dan
infus tali pusat.
Antenatal
Tidak ada
29
- Hipotermia sepsis neonatal, meningitis, pneumonia,
- Merintih diare epidemik, plelonefritis, osteitis
- Suhu tubuh yang semakin lama akut, tetanus neonatorum.
- BE -8,0 sistemik.
Faktor risiko :
- Persalinan (partus) lama
- Persalinan dengan tindakan
- Infeksi/febris pd ibu
- Air ketuban bau, warna hijau
- KPD lebih dr 18 jam
- Prematuritas & BBLR
- Fetal distres
Tanda & gejala :
- Reflek hisap lemah
- Bayi tampak sakit, tidak aktif,
dan tampak lemah
- Hipotermia atau hipertermia
- Merintih
- Dapat disertai kejang, pucat, atau
ikterus
30
Adapun kriteria sepsis secara klinis
(minimal dua dari tanda-tanda berikut):
31
Hiperbilirubinemia
Masalah Interpretasi
Anamnesis
Pada perawatan hari ke-2, didapatkan Hiperbilirubin pada neonatus biasanya
kuning pada bagian dada, punggung, disebabkan oleh 4 hal, faktor produksi,
abdomen, hingga bagian atas dari lutut. faktor uptake dan konjugasi, faktor
transportasi, faktor ekskresi. Namun, pada
OS belum dapat ditentukan secara pasti
karena belum sempat dilakukan berbagai
pemeriksaan.
Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum: ikterik (+) Tubuh OS tampak ikterik dengan
Krammer Score grade II-III Krammer score grade II-III menunjukkan
32
BBLSR
Masalah Interpretasi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Bayi lahir dengan usia kehamilan 30+4 Pasien lahir dengan berat lahir pasien
minggu, dengan berat badan lahir 1.250 dibawah 1.500 gram, yaitu 1.250 gram.
gram. Bayi dikelompokkan berdasarkan berat
lahirnya, sebagai berikut:
Neonatal preterm
Masalah Interpretasi
Anamnesis+pemeriksaan fisik
Pasien lahir usia kurang bulan (30+4 Usia gestasi ibu saat bayi lahir adalah 30+4
minggu) minggu, hal ini sesuai dengan
Berat bayi lahir sangat rendah, yaitu pemeriksaan new ballard score,
1.250 gram didapatkan usia gestasi antara 30-32
New ballard score didapatkan hasil 16 minggu. Pasien adalah neonatus preterm,
Kurva lubchenko didapatkan bayi sesuai untuk masa kehamilan.
kurang bulan, sesuai masa kehamilan
33
34
TINJAUAN PUSTAKA
Bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) merupakan bayi lahir hidup
dengan berat badan lahir 1000 – 1500 gr. Penyebab dari BBLSR adalah kelahiran
mempengaruhi sehingga bayi lahir dengan BBLSR yaitu ras, usia maternal, faktor
maternal yaitu penyakit yang dialami ibu selama mengandung, komplikasi persalinan
seperti plasenta previa, perdarahan, serviks inkompeten, dan infeksi maternal sedangkan
sepsis pada bayi dengan BBLSR sekitar 14% – 48% yang merupakan penyebab
kematian.
mortalitas 40% – 50% dan lebih dari separuhnya harus dirawat di rumah sakit bagian
unit intensif. Di Amerika Serikat, sekitar 1,4% atau sekitar 56.270 bayi lahir dengan
BBLSR setiap tahun. Angka kejadian BBLR di Indonesia secara nasional berdasarkan
analisa lanjut SDKI 1991 angka BBLR sekitar 7,5 %. BBLR bervariasi menurut
propinsi dengan rentang 2,0 %-15,1% terendah di propinsi Sumatera utara dan tertinggi
dilahirkan kurang bulan dan sebagian besar (79,2%) adalah BBLR pada kehamilan
35
Bayi dengan BBLSR merupakan salah satu faktor risiko terhadap kematian bayi
diantara 18 negara ASEAN dan SEARO dengan angka kematian bayi yaitu 35 per 1000
kelahiran hidup. Kalimantan Selatan pada tahun 2007, angka kematian bayi yaitu 58 per
Bayi berat berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) adalah bayi baru lahir yang
(259 hari)
Bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 37 minggu sampai
36
Beratnya seperti bayi matur akan tetapi sering timbul masalah seperti yang
dialami bayi prematur, seperti gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia dan
daya hisap lemah.
2) Bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK) terdapat banyak istilah untuk
menunjukkan bahwa bayi KMK dapat menderita gangguan pertumbuhan di dalam
uterus (intra uterine growth retardation / IUG)seperti pseudo premature, small for
dates, dysmature, fetal malnutrition syndrome, chronis fetal distress, IUGR dan small
for gestasional age ( SGA ).
Masa gestasinya kurang dari 37 minggu, dan berat badannya sesuai dengan berat
badan untuk masa gestasi itu, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk
masa kehamilan. Masa gestasi yang kurang dari 37 minggu ini dihitung dari mulai
37
Dismaturitas
Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa
Untuk menaksir masa gestasi pada neonatus dapat digunakan cara, antara lain:
Menggunakan HPHT
Penilaian ukuran antropometrik
Pemeriksaan radiologik
Mengukur motor conduction velocity
Pemeriksaan EEG
Penilaian karakteristik fisik
Penilaian kriteria neurologist
Penilaian menurut Dubowitz
Penilaian masa gestasi menurut Monintja, dan kawan-kawan
merupakan pengukur langsung pertumbuhan otak. Lingkar kepala pada bayi dengan
KMK dapat menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan otak akibat adanya restriksi
Abnormalitas karyotipe
Abnormalitas kromosom
38
Penyakit genetik
Anomali kongenital
Faktor maternal
Penyakit ibu (hipertensi,penyakit ginjal, diabetes, SLE, dan penyakit jantung
Infeksi (TORCH)
Status nutrisi
Penggunaan obat-obat terlarang, rokok dan alkohol
Faktor plasenta dan uterus
Kelainan plasenta
Insufisiensi perfusi uteroplasenta
Plasenta previa
Faktor demografi
Usia ibu (kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun)
Tinggi dan berat badan ibu
Ras
Paritas
zat antara janin dan ibu. Pada beberapa kasus, bayi kembar merupakan faktor risiko
karena bayi kembar sehingga zat makanan yang diberikan ibu sewaktu hamil terbagi
dua, yang mengakibatkan nutrisi pada masing-masing janin menjadi lebih sedikit
dibandingkan pada kehamilan tunggal. Ini mengakibatkan berat badan yang rendah pada
janin.3,5,6
39
Menetapkan bayi kembar monozigot atau dizigot sangat penting. Penyebab
kematian yang umum terjadi adalah saling membelitnya tali pusat kedua janin tersebut
Akibatnya darah akan dipompakan dari arteri ke dalam vena, keluar dari janin yang satu
masuk ke arteri janin yang lain. Sehingga janin kembar monozigot yang satu dapat
Semakin rendah berat lahir bayi maka komplikasi yang dapat terjadi semakin
Hal ini karena luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar perbandingannya
Menyelimuti bayi dengan selimut untuk mencegah hilangnya panas melalui
Hipoglikemi
Akibat berkurangnya simpanan glikogen dan lemak. Hipotermi dan hipoksia dapat
anaerobik.
Asfiksia perinatal
40
Masalah respirasi
hipermagnesia.
Hiperbilirubinemia
Anemia
Ketidakseimbangan nutrisi
Imaturitas usus dengan penurunan motilitas disertai rendahnya enzim sehingga
Infeksi
Resiko infeksi lebih tinggi karena imaturitas imunologi dan perawatan invasif yang
lama.
Masalah neurologi
Perdarahan intraventrikular
Leukomalasia periventrikular
Jangka panjang meningkatkan resiko terjadinya serebral palsy, keterlambatan
41
Sudden infant death syndrome (SIDS)
Berikut adalah pembagian permasalahan yang timbul pada bayi dengan BBLSR
Bayi BBLSR berisiko mengalami gagal nafas, yang dapat disebabkan oleh:
Defisiensi surfaktan
Kelemahan dinding dada
Alveoli yang lebih kecil sehingga meningkatkan resiko terjadinya atelektasis
Kelemahan otot respirasi
Penurunan kemampuan sentral sistem pernafasan6,8
pernapasan lebih dari 60 kali/menit dibuat foto thoraks. Hal ini untuk
42
Pemeriksaan kadar gula darah setiap 8-12 jam. Cairan infus yang diberikan yaitu
D10%.
Pencegahan terhadap infeksi, karena bayi sangat rentan terhadap infeksi, karena
Pemberian ASI lebih baik selain pemberian nutrisi juga dapat mencegah
nekrosis enterokolitis.
Terapi oksigen
Menjaga saturasi oksigen kisaran 85% - 92%. Saturasi oksigen tidak harus
Pada hari pertama perawatan, bayi BBLSR mendapatkan cairan sekitar 60-80
ml/KgBB. Harus dilakukan pengawasan terhadap cairan yang masuk dan yang
keluar.
Elektrolit
bayi BBLSR dapat menurunkan resiko sepsis dan NEC. ASI mengandung beberapa
43
Pemberian antibiotik sangat penting pada bayi BBLSR terutama sebagai
sepsis merupakan faktor resiko utama penyebab mortalitas dan morbiditas pada bayi
golongan aminoglikosida
Meningitis neonatal digunakan ampicillin dikombinasikan dengan antibiotik
Infeksi pada neonates paling sering melalui kontak dengan kulit. Pada bayi BBLSR dan
KMK memiliki lapisan kulit yang lebih tipis. Sehingga mudah mengalami kerusakan
44
dan menjadi jalur infeksi. Oleh karena itu, selama perawatan dilakukan tindakan
minimal handling. Selama perawatan di rumah sakit, infeksi juga dapat terjadi melalui
kateter infus dan pemasangan orogastric tube (OGT). Bakteri penyebab sepsis akibat
2. ASFIKSIA NEONATORUM
1) DEFINISI
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis (IDAI). Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir (WHO).1
2) ETIOLOGI
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi
berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang
dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui
dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya
adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini:
1. Faktor ibu
Preeklampsia dan eklampsia
Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
Partus lama atau partus macet
Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat
Lilitan tali pusat
Tali pusat pendek
Simpul tali pusat
Prolapsus tali pusat
45
3. Faktor Bayi
Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
Kelainan bawaan (kongenital)
Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
3) KLASIFIKASI
Asfiksia dapat dibagi berdasarkan skor APGAR.
Asfiksia Ringan : skor APGAR 7 – 9, tidak memerlukan tindakan khusus
Asfiksia Sedang : skor APGAR 4 – 6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat
frekuensi napas meningkat, adanya retraksi dinding dada, tonus otot kurang
baik dan sianosis.
Asfiksia Berat : skor APGAR 0 – 3, pada pemeriksaan fisik ditemukan
frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan
mengarah ke pucat, pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung bayi
menghilang tidak lebih dari 10 menit setelah lahir.1,9
4) PATOFISIOLOGI
Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat
sementara, proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat
pernafasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan
pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena
46
reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan perafasan mengakibatkan
gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, diikuti asidosis respiratorik.
Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana
aerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen
terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi
akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi
perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa diantaranya:
Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi
jantung
Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan
termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung
Pengisian udara aveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya
resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem
sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan
Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai
dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode hiperapne)
diikuti dengan apneu primer kira-kira satu menit di mana pada saat ini denyut
jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas
(gasping) 8-10 kali/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah
sehingga akhirnya timbul apneu skunder. Pada keadaan normal fase-fase ini
tidak jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan nafas bayi maka bayi akan
segera bernafas dan menangis kuat.
Pemakaian sumber glikogen unutk energi dalam metabolisme anaerob
menyebabkan tubuh bayi akan menderita hipoglikemia. Pada asfiksia berat
menyebabkan kerusakan membran sel terutama sel susunan saraf pusat sehingga
mengakibatkan gangguan elektrolit, berakibat menjadi hiperkalemia dan
pembengkakakn sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah asfiksia berlangsung
selama 8-15 menit.9
5) DIAGNOSIS
47
Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat
gangguan lahir, lahir tidak bernafas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur
mekoneum. Temuan klinis yang didapatkan pada neonatus dengan asfiksia
neonatorum dapat berupa lahir tidak bernafas/megap-megap, denyut jantung
<100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot melemah. Secara klinis
dapat digunakan skor APGAR pada menit ke 1, 5 dan 10 unutk mendiagnosa
dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat. Skor APGAR merupakan
metode objektif untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan berguna untuk
memberikan informasi mengenai keadaan bayi secara keseluruhan dan
keberhasilan tindak resusitasi. Walaupun demikian, tindakan resusitasi harus
dimulai sebelum perhitungan pada menit pertama. Jadi skor APGAR tidaklah
digunakan untuk menentukan apakah seorang bayi memerlukan resusitasi,
langkah mana yang dibutuhkan atau kapan kita menggunakannya. Ada tiga
tanda utama yang digunakan untuk menentukan bagaimana dan kapan
melakukan resusitasi (pernafasan, frekuensi jantung, warna kulit) dan ini
merupakan bagian dari APGAR skor.dua tanda tambahan (tonus otot dan refleks
rangsangan) menggambarkan keadann neurologis. Skor APGAR biasanya
dinilai pada menit 1 kemudian pada menit ke 5. Jika nilainya pada menit ke 5
kurang dari 7, tambahan penilaian harus dilakukan setiap 5 menit sampai 20
menit. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisis gas darah,
dimana pada neonatus dengan asfiksia neonatorum didapatkan PaO2 < 50
mmH2O, PaCO2 > 55 mmH2O, pH < 7,3. WHO pada tahun 2008 sudah
menambahkan kriteria dalam penegakan diagnosis asfiksia berdasarkan skor
APGAR dan adanya asidosis metabolik, ditambah adanya gangguan fungsi
organ berupa gejala neurologis berupa HIE, akan tetapi penegakan diagnosis
HIE tidak dapat dilakukan dengan segera dan terdapat berbagai keterbatasan
dalam aplikasinya di komunitas. Hal ini membuat diagnosis asfiksia secra cepat
di komunitas menggunakan kriteria penilaian adanya gengguan pada pernafasan,
frekuensi jantung dan warna kulit ditunjang dengan hasil analisa gas darah yang
menunjukan asidosis metabolik.9,10
6) PENATALAKSANAAN
48
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul
dikemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi
bayi baru lahir.
a. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan:
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah bayi bernapas atau menangis?
c. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?
Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk
menjaga suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di
atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi.9,10
7) PENCEGAHAN
49
situasi gawat.14 Pada bayi dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid
untuk meningkatkan maturitas paru janin.
PROGNOSIS
Pada keadaan yang berat angka kematianya dilaporkan sekitar 25-50%.
Kematian biasanya terjadi pada minggu – minggu awal kehidupan. Disebabkan
karena kerusakan multiorgan. Bayi dengan disabilitas neurologi yang berat
biasanya meninggal karena pneumonia aspirasi atau disebabkan oleh infeksi
sistemik.
Pada bayi yang dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama
biasanya akan mengalami komplikasi bergantung dari keparahan penyakit. Pada
80% bayi mengalami komplikasi yang serius, 10 – 20% mengalami disabilitas
yang serius dan sekitar 10% diantaranya sehat. Pada bayi yang mengalami
asfiksia sedang 30 – 50% diantaranya mengalami komplikasi jangka panjang
yang serius, 10 – 20% mengalami gangguan neurologis. Sedangkan pada bayi
yang mengalami serangan ringan hampir semuanya tidak mengalami gangguan
saraf pusat.9,10
50
51
3. NEONATAL INFEKSI
1) DEFINISI
Infeksi neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua
yaitu: early infection (infeksi dini) dan late infection (infeksi lambat). Disebut
infeksi dini karena infeksi diperoleh dari si ibu saat masih dalam kandungan
(perinatal) yang terjadi segera dalam periode post-natal (< 72 jam) dan
biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. sementara infeksi
lambat adalah infeksi post-natal (> 72jam) yang diperoleh dari lingkungan luar,
atau sekitar rumah sakit (nosokomial) bisa lewat udara atau tertular dari orang
lain
2) PATOFISIOLOGI
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya dalam 3
golongan, yaitu:
Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan
masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin melalui jalan ini ialah :
- Virus, yaitu rubella, polyomyelitis, covsackie, variola, vaccinia,
cytomegalic inclusion
- Spirokaeta, yaitu treponema palidum ( lues )
- Bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. Coli dan listeria
monocytogenes.
- Tuberkulosis kongenital dapat terjadi melalui infeksi plasenta. Fokus pada
plasenta pecah ke cairan amnion dan akibatnya janin mendapat
tuberkulosis melalui inhalasi cairan amnion tersebut.
Infeksi Perinatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketubah pecah lama ( jarak waktu antara pecahnya ketuban
dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam), mempunyai peranan penting terhadap
52
timbulnya plasentisitas dan amnionitik. Infeksi dapat pula terjadi walaupun
ketuban masih utuh misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan
manipulasi vagina. Infeksi janin terjadi dengan inhalasi likuor yang septik
sehingga terjadi pneumonia kongenital selain itu infeksi dapat menyebabkan
septisemia. Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan
kuman yang berasal dari vagina misalnya blenorea dan ” oral trush ”.
Infeksi Postnatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang
berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat
penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat
infeksi silang. Infeksi pasacanatal ini sebetulnya sebagian besar dapat
dicegah. Hal ini penting sekali karena mortalitas sekali karena mortalitas
infeksi pascanatal ini sangat tinggi.
3) DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat ditegakkan
dengan observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti dan
akhirnya dengan pemeriksaan fisik dan laboratarium.
Infeksi lokal pada nonatus cepat sekali menjalar menjadi infeksi umum,
sehingga gejala infeksi lokal tidak menonjol lagi. Walaupun demikian diagnosis
dini dapat ditegakkan kalau kita cukup waspada terhadap kelainan tingkah laku
neonatus yang seringkali merupakan tanda permulaan infeksi umum. Neonatus
terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam pertama dan bayi tersebut tidak
menderita penyakit atau kelainan kongenital tertentu, namun tiba-tiba tingkah
lakunya berubah, hendaknya harus selalu diingat bahwa kelainan tersebut
mungkin sekali disebabkan oleh infeksi.
Menegakkan kemungkinan infeksi pada bayi baru lahir sangat penting,
terutama pada bayi BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan
menimbulkan angka kematian yang tinggi. Disamping itu, gejala klinis infeksi
pada bayi tidak khas. Adapun gejala yang perlu mendapat perhatian yaitu :
Malas minum
53
Bayi tertidur
Tampak gelisah
Pernapasan cepat
Berat badan turun drasti
Terjadi muntah dan diare
Panas badan bervariasi yaitu dapat meningkat, menurun atau dalam batas
normal
Pergerakan aktivitas bayi makin menurun
Pada pemeriksaan mungkin dijumpai : bayi berwarna kuning, pembesaran
hepar, purpura (bercak darah dibawah kulit) dan kejang-kejang
Terjadi edema
Sklerema
54
Vagina tidak bersih 2
KPD 1
55
- Biakan darah dan uji resistensi
- Pemeriksaan lain dapat dilakukan atas indikasi
b) Meningitis pada Neonatus
Tanda dan gejala :
- Sering didahului atau bersamaan dengan sepsis
- Kejang
- UUB menonjol
- Kaku kuduk
Pengobatan :
- Gunakan antibiotic yang dapat menembus sawar otak dan diberikan
dalam minimal 3 minggu
- Pungsi lumbal (atas indikasi)
c) Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM)
SAM terjadi pada intrauterin karena inhalasi mekonium dan sering
menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex menelan
dan batuk yang belum sempurna.
Gejala :
- Pada waktu lahir ditemukan meconium staining
- Letargia
- Malas minum
- Terjadi serangan apnea (Apneu neonatal)
- Dicurigai bila ketuban keruhdan bau
- Rhonki (+)
Pengobatan :
- Laringoskop direct segera setelah lahir bila terdapat meconium staining
dan lakukan suction bila terdapat mekonium pada jalan napas
- Bila setelah di suction rhonki masih (+), pasang ET
- Bila setelah di suction rhonki (-) dilakan resusitasi
- Terapi antibiotika secara empiris dan terapeutik
- Cek darah rutin, BGA, GDS dan foto baby gram
56
d) Tetanus neonatorum
Etiologi
- Perawatan tali pusat yang tidak steril
- Pembantu persalinan yang tidak steril
Gejala
- Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena kejang
otot rahang dan faring (tenggorok)
- Mulut mencucu seperti mulut ikan (trismus)
- Kekakuan otot menyeluruh (perut keras seperti papan) dan epistotonus
- Tangan mengepal (boxer hand)
- Kejang terutama apabila terkena rangsang cahaya, suara dan sentuhan
- Kadang-kadang disertai sesak napas dan wajah bayi membiru
Tindakan
- Segera berikan antikonvulsan dan bawa ke Rumah Sakit (hindari
pemberian IM karena dapat merangsang muscular spasm)
- Pasang O2 saat serangan atau bila ada tanda-tanda hipoksia
- Pasang IV line dan OGT
- Pemberian ATS 3000 – 6000 unit IM
- Beri penisilin prokain G 200.000 unit / KgBB / 24 jam IV selama 10 hari
- Rawat tali pusat
- Observasi dilakukan dengan mengurangi sekecil mungkin terjadinya
rangsangan
e) Oftalmia Neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseriagonorrhoeae
saat bayi lewat jalan lahir. Dibagi menjadi 3 stadium :
- Stadium infiltrative
Berlangsung 1-3 hari. Palpebra bengkak, hiperemi, blefarospasme,
mungkit terdapat pseudomembran
- Stadium supuratif
57
Berlangsung 2 – 3 minggu. Gejala tidak begitu hebat, terdapat secret
bercampur darah, yang khas secret akan keluar dengan mendadak
(muncrat) saat palpebra dibuka
- Stadium konvalesen
Berlangsung 2-3 minggu. Secret jauh berkurang, gejala lain tidak
begitu hebat lagi.
Penatalaksanaan
- Bayi harus diisolasi
- Bersihkan mata dengan larutan garam fisiologis setiap ¼ jam
disusul dengan pemberian salep mata penisilin
- Berikan salep mata penisilin setiap jam selama 3 hari
- Penisilin prokain 50.000 unit/kgbb IM
5) PENCEGAHAN
Prinsip pencegahan infeksi antara lain:
-
Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir.
-
Pertimbangkan setiap orang ( termasuk bayi dan staf ) berpotensi menularkan
infeksi.
-
Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol.
-
Pakai – pakaian pelindung dan sarung tangan.
-
Gunakan teknik aseptik.
-
Pegang instrumen tajam dengan hati – hati dan bersihkan dan jika perlu
sterilkan atau desinfeksi instrumen dan peralatan.
-
Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan buang
sampah.
-
Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi nosokomial.3
58
HIPERBILIRUBINEMIA
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya
kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi (20%) dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin
bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa
ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh
reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel
59
hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain
yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang
terkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan
dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin.
Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.
60
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada
hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu
pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun
biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada
bayi kurang bulan, pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini
terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terakumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh,
misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian hari.
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :
- Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan dalam
hati dan penurunan konjugasi oleh hati
- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih
berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus, dan
penurunan bakteri flora normal.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering
dan bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
61
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat
ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi
yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk
early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset
diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan
eksresi bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan
asam lemak unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta
glukorunidase yang menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
62
Gambar Distribusi level maksimal bilirubin selama 1 minggu pertama pada bayi yang
mendapat ASI dan susu formula
Faktor Risiko
a. Faktor maternal
Ras atau kelompok etnik tertentu
Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI
b. Faktor perinatal
Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
Infeksi (bakteri, virus)
c. Faktor neonatus
Prematuritas
Faktor genetik
Polisitemia
Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)
Rendahnya asupan ASI
Hipoglikemia
Hipoalbuminemia
Klasifikasi Ikterus Neonatorum
1. Ikterus fisiologis
a. Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Tidak mempuyai dasar patologis
c. Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak
berpotensi menjadi kern ikterus
d. Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi
e. Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada
hari kesepuluh
63
2. Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;
Penegakan Diagnosis
64
Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau gol lain
Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam
Defisiensi enzim G6PD
Polisitemia
Hemolisis perdarahan tertutup
Hipoksia
Sferositosis, elipsitosis
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim eritrosit lainnya
c. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
Biasanya karena infeksi (sepsis)
Dehidrasi asidosis
Defisiensi enzim G6PD
Pengaruh obat
Sindrom Crigler-Najjar
Sindrom Gilbert
d. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
Biasanya karena obstruksi
Hipotiroidisme
Breast milk jaundice
Infeksi
Neonatal hepatitis
Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :
65
Gambar Pendekatan Skematis untuk Mendiagnosis Neonatal Jaundice
66
Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak
menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
ikterus.
Tabel Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer
Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
67
terjadinya kern ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat
dilakukan beberapa cara berikut :
68
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.
Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.
Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin
dapat diganti dengan plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum transfusi tukar dilakukan karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk
konjugasi hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat
menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan
transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah :
- Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar alb lebih
dari 10 mg/dl
- Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl
Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
Tabel Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubin
serum < 24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
(mg/dl)
69
<5 Tidak perlu terapi – observasi
Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama
bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.
Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS
Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :
a. Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari
untuk beberapa hari pertama
Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta
penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa
70
Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya
ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap
8-12 jam
Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya
terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL
dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada
hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar
dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke
arah bayi.
71
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan
hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin
<10 mg/dL (<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar.
Transfusi Tukar
72
ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar
bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia
yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai
adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan
proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi.
Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel
dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar
berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb bayi.
‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
Komplikasi
73
Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari
30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.
a. Bentuk akut
Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang
Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus,
retrocollis, demam
Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni
b. Bentuk kronis
Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang lambat
Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),
gangguan pendengaran
Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak
lanjut sebagai berikut :
74
DAFTAR PUSTAKA
1. Hasan R, Alatas H. Perinatologi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak 3; edisi ke-4. Jakarta
: FKUI, 1985;1051-7.
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu Kebidanan;
edisi ke-3. Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002;771-83.
3. Arifuddin J, Palada P. BBLR-LBW. Dalam : Perinatologi dan Tumbuh Kembang.
Jakarta : FKUI, 2004;9-11.
4. Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant, In : Nelson
Textbook of pediatrics; 17 th ed. California: Saunders. 2004; 550-8.
5. Saifuddin, AB, Adrianz, G. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam : Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1. Jakarta : yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8.
6. Gomella, TL, Cunningham MD. Management of the Extremely Low Birth Infant
During the First Weekof Life. In : Lange Neonatology; 5 th ed. New York : Medical
Publishing Division, 2002; 120-31.
7. Current : Pediatric Diagnosis and Treatment: Neonatal Intensive Care, page 22-30.
Edition 15 Th 2001 Mc Graw Hill Companies.
8. Damanik, Sylviati M. Klasifikasi Berat Badan dan Usia Kehamilan.In: Kosim MS,
Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (editors). Buku Ajar Neonatologi. 1st ed.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2014.p.11-7
9. Kosim, MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. In: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A (editors). Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2014.p.126-35
10. Hermasen CL, Lorah KN. Respiratory Distress in the Newborn. Pennsylvania:
American Academy of Family Physicians; 2007. Available at:
http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.pdf Accessed on: June 2015.
75