Anda di halaman 1dari 77

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH TEGAL

LAPORAN KASUS ANAK

BAYI BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA SEDANG, INFEKSI


NEONATORUM, HIPERBILIRUBINEMIA, BBLSR, NEONATUS
PRETERM

Pembimbing: dr. Herry Susanto, Sp.A

Disusun oleh: Meita Kusumo Putri


(030.10.174)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


PERIODE 28 DESEMBER 2015 5 MARET 2016

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


NEONATUS PRETERM DENGAN BERAT BAYI LAHIR SANGAT

RENDAH, GANGGUAN PERNAFASAN, NEONATUS INFEKSI


DAN HIPERBILIRUBINEMIA

Penyusun:
Meita Kusumo Putri
030.10.174
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal periode 28
Desember 2015 5 Maret 2016.

Tegal, Februari 2016

dr. Herry Susanto, Sp.A

STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
Nama Mahasiswa : Meita Kusumo Dokter Pembimbing : dr. Herry Susanto, Sp.A
NIM
: 030.10.174
Tanda tangan
:
I.

IDENTITAS PASIEN
DATA

PASIEN

AYAH

IBU

Nama

By. Ny. S

Tn.S

Ny. S

Umur

0 hari

25 tahun

24 tahun

Jenis Kelamin

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Alamat

II.

Kramat 2 / II, Tegal

Agama

Islam

Islam

Islam

Suku Bangsa

Jawa

Jawa

Jawa

Pendidikan

D3

SMA

Pekerjaan

Pegawai hotel

Penjaga warung

Penghasilan

Rp. 4.000.000,00

Rp. 1.500.000,00

Keterangan

Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi

BPJS PBI

No. RM

816120

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu dan ayah kandung
pasien pada tanggal 13 Februari 2016, pukul 15.30 WIB, di Ruang Dahlia
RSUD Kardinah.
A. Keluhan Utama : Sesak napas sesaat setelah lahir.
B. Keluhan tambahan : Merintih, berat badan lahir sangat rendah, lahir
2

kurang bulan.
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien seorang bayi perempuan usia 0 hari, dirujuk dari RS Mitra Siaga
dengan neonatus preterm, lahir spontan, berat badan lahir sangat rendah,
asfiksia sedang, dengan risiko infeksi neonatus. Bayi lahir tanggal 10 Februari
2016 pukul 05.30 WIB secara spontan, ibu G2P1A0 hamil 30+4 minggu, keadaan
bayi saat lahir, yaitu air ketuban keruh dan skor APGAR 4-5-6, dengan berat
lahir 1.250 gram, panjang badan 38 cm. Saat datang, bayi tampak sesak dan
merintih.
Saat usia kehamilan 7 bulan, ibu pasien Ny. S, mengaku pernah
mengalami perdarahan dari jalan lahir, darah yang keluar hanya sedikit,
berwarna merah segar, tanpa disertai rasa nyeri saat perdarahan. Pada saat itu,
ibu pasien berobat ke RS Mitra Siaga dan dilakukan pemeriksaan USG,
dikatakan bahwa ari-arinya berada dibawah, dan hanya diberi obat penguat
rahim.
2 minggu yang lalu, ibu pasien mengalami perdarahan kembali. Darah
yang keluar hanya sedikit, tanpa disertai rasa nyeri. Pada saat itu, ibu pasien
sempat dirawat 4 hari, janin dikatakan baik.
Pada tanggal 8 Februari 2016, pukul 08.00 WIB, ibu pasien kembali
mengalami perdarahan. Namun darah yang keluar kali ini cukup banyak, tanpa
disertai rasa nyeri ataupun keluhan mulas-mulas. Pasien kemudian berobat ke
RS Mitra Siaga dan dirawat disana.
Pada tanggal 9 Februari 2016, pukul 16.00 WIB, pasien mengeluh mulasmulas, namun dirasa tidak begitu parah. Pada pukul 22.00 WIB, mulas dirasa
semakin memberat disertai keluar air-air yang merembes. Sekitar 7 jam
kemudian bayi lahir secara pervaginam (tanggal 10 Februari 2016 pukul 05.30
WIB).
Menurut ayah pasien, pasien menangis tidak kuat setelah lahir, pasien
belum mendapat ASI, gerak kurang aktif, sehingga pasien dipindahkan ke
ruang observasi bayi di RS Mitra Siaga. Selama 30 menit diobservasi,

dikatakan bahwa pasien tampak sesak dan merintih terus-terusan hingga


akhirnya diputuskan untuk dirujuk ke RSUD Kardinah.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pasien, riwayat penyakit dahulu belum dapat dievaluasi.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit tekanan darah tinggi, kencing manis, asma, penyakit
jantung dan paru dalam keluarga disangkal.
F. Riwayat Lingkungan Perumahan
Kepemilikan rumah yaitu rumah kontrak. Rumah berukuran 10 x 6 m,
memiliki 2 kamar tidur, dan 1 kamar mandi. Cahaya matahari dapat masuk
melalui jendela dan rumah tidak pengap dan lembab. Penerangan dengan
listrik. Air minum berasal dari sumur. Jarak septic tank kurang lebih 8 meter
dari sumber air. Air limbah rumah tangga disalurkan melalui selokan di
depan rumah. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah. Jika jendela
dibuka maka udara dalam rumah tidak pengap.
Kesan : Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi cukup baik, ventilasi
dan pencahayaan baik.

G.Riwayat Sosial Ekonomi


Ayah pasien adalah seorang pegawai hotel, sedangkan ibu pasien bekerja
sebagai penjaga warung. Ayah pasien berpenghasilan kurang lebih
Rp.4.000.000,00 per bulan, dan ibu pasien berpenghasilan Rp. 1.500.000,00
per bulan. Ayah menanggung nafkah untuk seorang istri dan 2 orang
anaknya.
Kesan : Status ekonomi cukup.
H.Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal

Ibu memeriksakan kehamilan secara teratur di bidan Puskesmas sebulan


sekali secara rutin. Ibu pasien mengaku sudah dilakukan imunisasi TT. Ibu
pasien pernah mengalami tiga kali perdarahan, perdarahan pertama pada
saat usia kehamilan 28 minggu, tanpa disertai rasa nyeri, dan dilakukan
pemeriksaan USG dikatakan ari-ari letak rendah, perdarahan kedua terjadi 2
minggu sebelum persalinan. Perdarahan kedua juga terjadi tanpa disertai
rasa nyeri, dan dirawat di RS Mitra Siaga selama 4 hari. Perdarahan ketiga
terjadi 2 hari sebelum persalinan, dan kemudian dirawat kembali di RS
Mitra Siaga. Berdasarkan keterangan rujukan medis, selama dirawat, ibu
pasien mendapat terapi konservatif injeksi dexamethasone empat kali.
Riwayat hipertensi, kencing manis, kejang saat kehamilan, riwayat
minum obat tanpa resep dokter dan jamu-jamuan selama hamil disangkal.
Selama hamil ibu makan 3x sehari berupa nasi, lauk pauk, sayur dan buahbuahan.
Kesan : Riwayat plasenta previa dalam kehamilan, perawatan
antenatal baik.

I. Riwayat Kelahiran
Tempat kelahiran

: RS Mitra Siaga

Penolong persalinan

: Bidan

Cara persalinan

: Per vaginam, secara spontan

Penyulit persalinan

: Perdarahan antepartum et causa plasenta previa


dan KPD 7 jam

Masa gestasi

: 30+4 minggu pada G2P1A0

Keadaan bayi
Berat badan lahir

: 1.250 gram
5

Panjang badan lahir

: 38 cm

Lingkar kepala

: 27 cm

Keadaan lahir

: Tidak menangis kuat, merintih, tampak sesak.

Nilai APGAR

: 4-5-6

Kelainan bawaan

: Tidak ada

Air ketuban

: keruh

Kesan: neonatus preterm, lahir secara per vaginam, BBLSR, bayi


dalam keadaan tidak bugar, observasi neonatal infeksi.
J. Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Belum dapat dievaluasi
Kesan : Belum dapat dievaluasi
K.Corak Reproduksi Ibu
Ibu P2A0, anak pertama laki-laki berusia 3 tahun, keadaan fisik sehat,
riwayat kehamilan dengan ari-ari letak rendah juga. Anak kedua perempuan
(pasien), lahir kurang bulan, dengan berat badan lahir sangat rendah.
L. Riwayat Keluarga Berencana
Ibu pasien belum menggunakan alat kontrasepsi saat ini.
M. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir 1.250 gram, panjang badan 38 cm, lingkar kepala 27 cm.
Riwayat perkembangan belum dapat dievaluasi.
Kesan : Berat bayi lahir sangat rendah.
N. Riwayat Makan dan Minum Anak
Riwayat makan dan minum belum dapat dievaluasi.
O.Riwayat Imunisasi
Pasien belum pernah diimunisasi sejak lahir karena keadaannya sejak lahir
tidak sehat, sehingga imunisasi ditunda
Kesan : Belum dilakukan imunisasi dasar.
P. Silsilah/Ikhtisar Keturun

Keterangan :
: laki-laki

: pasien

: perempuan

Kesan : Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit yang
sama.
III.

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 13 Januari 2016, pukul 16.00 WIB (hari ketiga
perawatan), di Ruang NICU RSUK.
A. Kesan Umum
Bayi

: tampak kecil, tampak


lemah, tampak sesak
dan kuning

Menangis

: Kurang kuat

Kejang

(-)

Gerak

: Kurang aktif

Pucat

(-)

Retraksi

: Subkostal minimal

Ikterik

(+) kramer IIIII

Sianosis

:-

B. Tanda Vital
- Tekanan darah
- Nadi
- Laju nafas
- Suhu
- Sp.02

: Tidak dilakukan pemeriksaan


: 150x/menit
: 67x/menit
: 36,6C (aksila)
: 95%

C. Data Antropometri
7

Berat badan sekarang


Panjang badan
Lingkar kepala

: 1.250 kg
: 38 cm
: 27 cm

D. Status Internus

Kulit
Inspeksi

: Warna kulit merah muda, ikterik kramer II-III,


lanugo(+) menipis

Palpasi

: Turgor kulit baik

Kepala dan Wajah


Kepala

: Mesosefali, lingkar kepala 27 cm


UUB teraba datar, tegang (-), molase (-)
Kaput suksedaneum (-), sefal hematom (-)
Rambut hitam, tipis, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut

Wajah

: Normal, simetris, tanda dismorfik (-)

Mata

: Mata cekung (-/-), edema palpebra (-/-)


Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Katarak kongenital (-/-), glaukoma kongenital (-/-)

Telinga

: Normotia, sekret (-/-), recoil (lambat/lambat)

Hidung

: Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-) napas cuping


hidung -/- sekret (-/-), darah (-/-)

Mulut

: Kering (+), sianosis (-), pucat (-), trismus (-)


stomatitis (-), bercak putih di lidah dan mukosa (-)
labioschizis (-), palatoschizis (-)

Leher

: Pendek, pergerakan lemah, tumor (-), tanda trauma (-)

Thorax

Pulmo

Inspeksi

: Bentuk dada simetris kanan dan kiri


Sternum dan iga normal
Retraksi subcostal (+) ringan
Gerak napas simetris, tidak ada hemithoraks yang

tertinggal
Palpasi

: Simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal


Areola mammae penuh, papil datar, diameter 1 mm

Perkusi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi

: Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Cor

Inspeksi

: Ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi

: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi

:
: Datar, terpasang infus tali pusat, tampak kemerahan
disekitar tali pusat, abdomen tampak ikterik.

Auskultasi

: Bising usus (+)

Palpasi

: Supel, hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi

: Timpani di ke 4 kuadran abdomen.

Vertebrae

: Spina bifida (-), meningocele (-)

Urogenital

: Laki-laki, testis belum turun sempurna

Anus dan rectum : Anus (+), diaper rash (-)

Ekstremitas

:
Superior
- /- /- /-

Inferior
- /-/- /+/+

Ikterik

-/-

(terbatas hingga

CRT
Tonus

> 2 detik
Hipotonus

lutut bagian atas)


> 2 detik
Hipotonus

Deformitas
Akral dingin
Akral sianosis

Refleks primitif

Refleks Oral

IV.

Refleks Hisap

Refleks Rooting

: (+) lemah
: (-)

Refleks Moro

: Tidak dilakukan

Refleks Palmar Grasp

: (+)

Refleks Plantar Grasp

: (+)

PEMERIKSAAN KHUSUS

Maturitas Bayi (Lubchenko)


Berat badan lahir : 1.250 gr

Usia kehamilan

: 30+4 minggu

Grafik 1. Penilaian Lubchenco pasien

10

Kesan : Neonatus kurang bulan, sesuai untuk masa kehamilan

Ikterik (Krammer Sign)

Pada kasus ini, ikterik terdapat pada dada punggung, abdomen hingga batas atas lutut
(Ikterik kramer II-III)

11

New Ballard Score


Ballard Score = 8 + 8 = 16 30-32 minggu

12

Kurva Fenton
Kurva untuk pertumbuhan neonatus preterm. Dari hasil perhitungan, didapatkan
panjang badan, lingkar kepala, dan berat badan berada tepat di persentil 10.

13

Downe Score
Frekuensi Napas
Retraksi

0
< 60 x/menit
Tidak ada retraksi

Sianosis

Tidak sianosis

Air Entry

Udara masuk

Merintih

Tidak merintih

1
60-80 x/menit
Retraksi ringan
Sianosis hilang

2
> 80 x/menit
Retraksi berat
Sianosis menetap

dengan O2
Penurunan ringan

walaupun diberi O2
Tidak ada udara

udara masuk
Dapat didengar

masuk

dengan
stethoscope

Dapat didengar
tanpa alat bantu

Downe score 4 gangguan pernafasan sedang (O2 dengan CPAP)

Bell Squash Score

Partus tindakan (SC, vakum, sungsang)

Ketuban tidak normal

Kelainan bawaan

Asfiksia sedang

Preterm

BBLR

Infus tali pusat

Riwayat penyakit ibu

Riwayat penyakit kehamilan

Bell Squash score 5 = Neonatal Infeksi

14

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah 10 Februari 2016 pukul 18:42 WIB
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
15.8
g/dl
11.2 15.7
Leukosit
4.8
103/l
13.0 38.0
Hematokrit
42.1
%
37 47
Trombosit
59 ()
103/l
150 521
6
Eritrosit
4.1
10 /l
4.1 5.1
RDW
14.1
%
11.5 14.5
MCV
101.7 ()
U
80 96
MCH
38.2 ()
Pcg
28 33
MCHC
37.5 ()
g/dl
33 36
Glukosa Sewaktu
95
mg/dl
70-160
CRP
(+) 48
Negatif
Laboratorium Darah 13 Februari 2016 pukul 07.00 WIB
Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Bilirubin total
21.65 ()
mg/dl
0.3 1.2
Bilirubin direk
0.67 ()
Mg/dl
0 0.25
Laboratorium Darah 14 Februari 2016 pukul 16:24 WIB
Pemeriksaan AGD
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Temperatur pasien
37.3
C
FiO2
50.0
%
Measured
Temperatur
37.0
C
pH
7.238 ()
No unit
7.350 7.450
pCO2
46.1
mmHg
35.0 48.0
pO2
76.7 ()
mmHg
83 108
Corrected
Temperatur
37.3
C
pH
7.234 ()
No unit
7.350 7.450
pCO2
46.8
mmHg
35.0 48.0
pO2
78.3 ()
mmHg
83 108
Hct
41.0
%
42.0 62.0
Natrium
121.2 ()
mM
136.0 145.0
Kalium
4.29
mM
3.50 145.0
Kalsium Ion
0.21
mM
0.20 5.00
HCO3
19.5
mM
TCO2
20.9
mM
Beb
-8.0
mM
BE ecf
-8.0
mM
15

O2 Sat
tHb

22.5
13.9

%
g/dl

Laboratorium Darah 15 Februari 2016 pukul 19:16 WIB


Pemeriksaan
Hasil
Satuan
Nilai Rujukan
Hemoglobin
14.9
g/dl
12.7 18.7
Leukosit
46.3 ()
103/l
5.0 20.0
Hematokrit
38.4 ()
%
47 75
Trombosit
49 ()
103/l
229 553
6
Eritrosit
4.0
10 /l
3.7 6.1
RDW
14.7
%
11.5 14.5
MCV
95.0
U
84 128
MCH
36.9
Pcg
26 38
MCHC
38.8
g/dl
26 34
Bilirubin total
8.65
mg/dl
1.5 12
Bilirubin direk
0.62 ()
mg/dl
0 0.25

16

Foto Babygram 10 Februari 2016 (Dahlia)

Thorax : Apeks tenang


Corakan bronkovaskular normal
Cor CTR < 0,56
Kesan : Cor dan pulmo normal
V.

VI.

DAFTAR MASALAH
-

Asfiksia sedang

Neonatal infeksi

Hiperbilirubinemia

BBLSR

Neonatal preterm

DIAGNOSIS BANDING
Asfiksia sedang
Infeksi neonatus

Faktor janin

Faktor ibu
Infeksi peri natal

Infeksi post natal

17

Hiperbilirubinemia

Bayi berat lahir sangat rendah

Gangguan Konjugasi

Gangguan Ekskresi

Gangguan Transportasi
Prematuritas murni

Neonatus preterm

VII.

Infeksi ante natal


Gangguan Produksi

Dismaturitas
Bayi sesuai untuk masa kehamilan

Bayi kecil untuk masa kehamilan

Bayi besar untuk masa kehamilan

DIAGNOSIS KERJA
-

Asfiksia sedang

Neonatal infeksi

Hiperbilirubinemia

BBLSR

Neonatal preterm

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
- Pasang O2 CPAP
- IVFD D5% 5 tpm
- Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg
- Inj. Aminophilin 2 x 2 mg
- Inj. Ca Gluconas 1 x 0.3 ml
- Infus aminofusin paed 1 ml/jam
b. Non-medikamentosa
- Rawat intensif, monitor tanda vital, sesak atau kejang
- Pasang OGT
- Diet : tunda
- Fototerapi 2 x 24 jam

18

- Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi


yang mungkin terjadi.
IX. SARAN PEMERIKSAAN
1. Darah rutin
2. Gula darah sewaktu
3. Elektrolit
4. Analisa gas darah
X. PROGNOSIS

Quo ad vitam
Quo ad sanationam
Quo ad fungsionam

: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam

19

FOLLOW UP
10 Februari 2016 pkl. 08.00 WIB
(IGD)
Hari Perawatan ke-0
S
Pasien lahir spontan (10/2/16) pukul S
05.30 WIB di RS Mitra Siaga. Dirujuk
dengan sesak dan merintih. Pasien lahir
dari ibu dengan G2P1A0 hamil 30+4
minggu.
Sesak (+) Merintih (+) Demam (-)
O KU: Menangis kurang kuat, merintih O
(+), gerak kurang aktif, retraksi (+)
subcostal, tampak sesak
TTV: HR: 153x/mnt, RR: 62 x/mnt, S:
36.0 0C, Sp.O2 98%
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase
(-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (+) subcostal berat,
SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2

11 Februari 2016 WIB (IGD)


Hari Perawatan ke-0
Sesak (+), BAK (+), BAB (+),
kejang (-), demam (-), tampak
kuning (-), Refleks hisap (-)

KU: Menangis kurang kuat, gerak


kurang aktif, merintih (+), ikterik
(-), retraksi (+) subcostal, sianosis
(-)
TTV: HR: 130x/m, RR: 64x/m tidak
teratur, S: 37.0C, SpO2 96%,
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar,
molase (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (+) subcostal,
SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
(-/-) CRT <2

Downe score : 5
GDS: 95 mg/dl

A BBLSR preterm, Susp. respiratory A


distress syndrome, Risiko infeksi
neonatorum
P O2 CPAP
P
IVFD D5% 5 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV

Lab tgl. 10/2/16


Hb 15,8 g/dl
Ht 42,1%
3
L 4,8 x 10 /L T 59 x 103/L ()
CRP +48
Asfiksia sedang, observasi neonatal
infeksi, BBLSR, neonatal preterm
O2 CPAP
IVFD D10% 5 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV

20

Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Perawatan di NICU
12 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB
(NICU)
Hari Perawatan ke-2
S Sesak (+), BAK (+), BAB (+), kejang S
(-), demam (-), tampak kuning (+),
Refleks hisap ()
O KU: Menangis kurang kuat, gerak O
kurang aktif, ikterik (+) kramer II,
retraksi (+), sesak (+), sianosis (-)
TTV: HR: 134x/mnt, RR: 72x/mnt
tidak teratur, S: 36,8C, SpO2 98%,
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase
(-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (+) subcostal, SNV
(+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler,
m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2

A Asfiksia sedang, neonatal


BBLSR, neonatal preterm
P

infeksi, A

O2 CPAP
IVFD D10% 5 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV

Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Diet : tunda
13 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB
(NICU)
Hari Perawatan ke-3
Sesak (+), BAK (+), BAB (+),
kejang (-), demam (-), tampak
kuning (+), Refleks hisap ()
KU: Menangis kurang kuat, gerak
kurang aktif, ikterik (+) kramer IIIII, retraksi (+), sianosis (-)
TTV: HR: 150x/m, RR: 67x/m
tidak teratur, S: 36.6C, SpO2
95%,
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar,
molase (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (+) subcostal,
SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2
reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE
(-/-) CRT <2
Lab tgl. 13/2/16
Bilirubin total 21,65% ()
Bilirubin direk 0,67% ()
Asfiksia sedang, neonatal infeksi,
Hiperbilirubinemia, BBLSR,
neonatal preterm
O2 CPAP
IVFD D10% 5 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV

21

Dicoba diet : ASI 8 x 2,5 5 ml


(sonde)
Cek bilirubin

13 Februari 2016 pkl. 21.30 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-3
S Napas tersengal-sengal (+) Sianosis
(+)
O KU: Apnoe (+) Sianosis (+)
TTV: RR: apnoe, HR: 140x/m, SpO2
87%.
Status generalis:
Mulut: sianosis (+)
Toraks: Retraksi (+) subcostal berat,
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2
A Apnoe
P Terpasang ETT mode SiMV
Sp.O2 99% (stabil), HR: 151 x/mnt
Terapi lain lanjut

Diet : tunda
Infus aminofusin paed 1 ml/jam
Fototerapi 2 x 24 jam

13 Februari 2016 pkl. 23.00 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-3
Kejang (+)

KU: Kejang (+)


TTV: HR: 156x/m, SpO2 96%,

A
P

Obs. Konvulsi
Terpasang O2 ventilator SiMV
Inj. Fenobarbital 20 mg IV
Cek AGD

14 Februari 2016 pkl. 09.00 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-4
S Tampak lemah, kejang (-)
S
O KU: Tampak lemah, retraksi (+), O
sianosis (+)
TTV: HR: 114x/m, SpO2 93%.
Status generalis:
Mulut: sianosis (+)
Toraks: Retraksi (+) intercostal dan
subcostal berat, SNV (+/+), rh (-/-),
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)

14 Februari 2016 pkl. 10.45 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-4
Kejang (+)
KU: Kejang (+) Sianosis (+)
TTV: HR: 183x/m, SpO2 63%.

22

Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)


CRT >2
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2
A Asfiksia sedang, neonatal infeksi, A
BBLSR, neonatus preterm
P Terpasang O2 ventilator mode CMV P
IVFD D10% 5 tpm
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 9 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Diet : tunda
Fototerapi 2 x 24 jam
Syringe pump : Asam amino 1
ml/jam

15 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-5
S Sesak (+) Tampak kuning (+), Kejang S
(-) Sianosis (-) BAK (+) BAB (+) R.
Hisap (-)
O KU: Tampak lemah, gerakan (-), O
retraksi (+) subcostalis, ikterik (+)
kramer II, sianosis (-)
TTV: RR: 60x/mnt, HR: 170x/mnt, S:
37,2C, SpO2 100%.
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase
(-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (+) intercostal dan
subcostal berat, SNV (+/+), rh (-/-),
wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-)
CRT <2
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)

Obs. Konvulsi
Terpasang O2 ventilator CMV
Inj. Fenobarbital 20 mg IV
Terapi lain lanjut

16 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-6
Sesak (-) Kejang (-) Demam (-)
Tampak kuning (+) Sianosis (-)
BAK (+) BAB (+) R. Hisap (-)
KU: Tampak lemah, gerakan (-),
retraksi (-), ikterik (+) kramer II,
sianosis (-)
TTV: RR: 47x/mnt, HR: 178x/mnt,
S: 36.0C, SpO2 100%.
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar,
molase (-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (-)
Toraks: Retraksi (-), SNV (+/+), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g
(-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE

23

CRT <2
AGD tgl. 14/2/16 pkl. 16:24 WIB
pH 7,234 ()
pO2 78,3 mmHg ()
Natrium 121,2 mM ()
GDS 377 mg/dl ()
A Distress
respirasi,
BBLSR, A
Hiperbilirubinemia, neonatus preterm
P Terpasang O2 ventilator mode CMV P
IVFD D10% 5 tpm + loading NaCl
15 ml
Inj. Cefotaxim 2 x 75 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Diet : tunda
Syringe pump : Asam amino 1
ml/jam

17 Februari 2016 pkl. 06.00 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-7
S Napas tersengal-sengal (+) Sianosis S
(+) BAK (-) BAB (-) R. Hisap (-)
O KU: Tampak lemah, gerakan (-), O
retraksi
(+)
intercostal
dan
subcostalis berat, sianosis (+)
TTV: RR: 36x/mnt, HR: 186x/mnt, S:
35,6C, SpO2 68%.
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar, molase
(-)
Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Mulut: sianosis (+)
Toraks: Retraksi (+) intercostal dan

(-/-) CRT >2


Lab tgl. 15/2/16 pkl. 19:16 WIB
Hb 14,9 g/dl
L 46,3 x 103/L ()
Ht 38,4%%
T 49 x 103/L ()
Bilirubin total 8,65 mg/dl
Bilirubin direk 0,62 mg/dl
Distress respirasi, Sepsis, BLSR,
Neonatal preterm
Terpasang O2 ventilator mode
CMV
IVFD NaCL 0,9 12 ml KaEn
1B 6 tpm
Inj. Meropenem 3 x 50 mg IV
Inj. Gentamicin 2 x 4 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Siring pump : Asam amino 1
cc/jam
Siring pump : Dopamine 5 meq
Diet : tunda

17 Februari 2016 pkl. 14.55 WIB


(NICU)
Hari Perawatan ke-7
Sianosis (+)
KU: Coma, Sianosis (+)
TTV: RR: (-), denyut jantung (-),
S: 35.5C, SpO2 (-)
Status generalis:
Kepala: Mesosefali, UUB datar,
molase (-)
Mata: pupil midriasis maksimal (+/
+)
Mulut: sianosis (+)
Toraks: Retraksi (-), SNV (-/-), rh
(-/-), wh (-/-), BJ 1-2 (-), m (-), g (-)

24

subcostal berat, SNV (+/+), rh (-/-),


wh (-/-), BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)
Abdomen: Supel, BU (+)
Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)
CRT >2
A Sepsis berat
A
P Terpasang O2 ventilator mode CMV P
IVFD NaCL 0,9 12 ml KaEn 1B
6 tpm
Inj. Meropenem 3 x 50 mg IV
Inj. Gentamicin 2 x 4 mg IV
Inj. Aminofilin 2 x 2 mg IV
Inj. Ca glukonas 1 x 0,3 ml IV
Siring pump : Asam amino 1 cc/jam
Siring pump : Dopamine 5 meq
Diet : tunda

Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)


CRT >2
Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE
(-/-) CRT >2

Pasien dinyatakan meninggal

25

ANALISA KASUS
Pasien bayi perempuan usia 0 hari, didiagnosis asfiksia sedang, neonatal infeksi,
hiperbilirubinemia, BBLSR, neonatus preterm. Dasar diagnosis ditegakkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Masalah

Interpretasi

Anamnesis
Bayi lahir tanggal 10 Februari 2016 (0 Keadaan pasien saat datang, yaitu sesak
hari SMRS) secara spontan, penyulit dan terdapat retraksi dinding dada, hal ini
perdarahan

antepartum

et

causa mengindikasikan

tidak

adekuatnya

plasenta previa, dan KPD 7 jam, ibu oksigenasi di dalam tubuh, selain itu
G2P1A0 hamil 30+4 minggu, keadaan didapatkan pula bayi tidak menangis
bayi saat lahir, yaitu air ketuban keruh, dengan kuat, merintih, gerakan tidak aktif,
menangis tidak kuat, merintih, gerakan dengan Skor APGAR 2-3-5 bermakna
tidak aktif, dengan skor APGAR 4-5-6, asfiksia sedang.
dan berat lahir 1.250 gram.
Asfiksia neonatorum dapat disebabkan
Saat datang di IGD, keadaan bayi
oleh beberapa faktor, yaitu:
tampak sesak, terpasang O2 CPAP,
menangis tidak kuat, merintih, terdapat
retraksi dinding dada.

Faktor plasenta
Dalam kasus ini didapatkan faktor dari
plasenta, yaitu plasenta previa. Plasenta
previa

menyebabkan

perdarahan

abnormal pada ibu. Pada kasus ini,


diketahui

bahwa

telah

terjadi

perdarahan berulang sebanyak tiga kali


selama

kehamilan,

kejadian

dua

perdarahan terakhir terjadi mendekati


persalinan. Perdarahan yang terjadi
menyebabkan

perfusi

ke

jaringan

menurun, kapasitas oksigen maternal

26

menurun, sehingga terjadi hipoksia


pada ibu yang berujung hipoksia pada
janin.

Hipoksia

pada

janin

menyebabkan gangguan pertukaran O2


dan CO2 dan terjadilah asfiksia.
Faktor janin
Pada kasus ini, pasien lahir belum
cukup

bulan

atau

preterm

atau

prematur, yang merupakan risiko besar


untuk terjadinya asfiksia. Pada bayi
lahir yang belum cukup bulan, produksi
surfaktan

pada

paru-paru

kurang,

tekanan permukaan paru meningkat.


Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum: Menangis kurang kuat, Menangis kurang kuat dan gerak kurang
gerak

kurang

aktif,

subcostal dan intercostal


Napas cuping hidung (-)

retraksi

(+) aktif menunjukkan respirasi yang tidak


adekuat. Adanya retraksi dan napas cuping
hidung menunjukkan penggunaan otot
napas tambahan yaitu menandakan adanya
sesak.

Neonatus infeksi
Masalah

Interpretasi

27

Anamnesis
Faktor risiko neonatal infeksi dinilai dari Bell Squash score didapatkan hasil 5,
Bell Squash score, ditemukan adanya:

menunjukkan observasi neonatal infeksi.

Ketuban tidak normal

Faktor yang menyebabkan neonatal infeksi

Asfiksia sedang

di antaranya:

Preterm

BBLR

Perinatal
Dalam kasus ini didapatkan masalah,

Infus tali pusat

yaitu ketuban pecah dini (KPD) 6 jam.

Bell Squash score 5 = Neonatal


Infeksi

Ketuban

pecah

dini

menyebabkan

mikroorganisme dari vagina naik dan


masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah yang memicu terjadinya
infeksi.
Postnatal
Dalam kasus ini didapatkan masalah
yaitu asfiksia neonatorum, BBLR, dan
infus tali pusat.
Antenatal
Tidak ada

Pemeriksaan Fisik + Penunjang


Pada pemeriksaan fisik, didapatkan Infeksi

pada
berat

neonatus
ringannya

dapat

dibagi

tanda klinis berupa:

menurut

dalam

dua

- Reflek hisap lemah

golongan besar, yaitu berat dan infeksi

- Bayi tampak sakit, tidak aktif, dan ringan.


- Infeksi berat ( major infections ) : sepsis

tampak lemah
- Hipotermia

neonatal, meningitis, pneumonia, diare

- Merintih

epidemik, plelonefritis, osteitis akut,

- Suhu tubuh yang semakin lama

tetanus neonatorum.

semakin mengalami hipotermia


- Peningkatan

kebutuhan

oksigen, - Infeksi ringan ( minor infection ) :

dimana pada saat awal perawatan

infeksi pada kulit, oftalmia neonaturum,


28

pasien mengalami takipnoe dan pada

infeksi

akhir perawatan pasien mengalami

moniliasis.

bradipoe
Pada

pemeriksaan

didapatkan hasil :

umbilikus

omfalitis

),

Pada Sepsis Neonatorum


penunjang,

Sepsis neonatorum sering didahului


oleh

keadaan

hamil

dan

persalinan

- CRP +96 mg/dL

sebelumnya seperti dan merupakan infeksi

- Trombosit 59 x 103/L

berat pada neonatus dengan gejala-gejala

- BE -8,0

sistemik.
Faktor risiko :
- Persalinan (partus) lama
- Persalinan dengan tindakan
- Infeksi/febris pd ibu
- Air ketuban bau, warna hijau
- KPD lebih dr 18 jam
- Prematuritas & BBLR
- Fetal distres
Tanda & gejala :
- Reflek hisap lemah
-

Bayi tampak sakit, tidak aktif,


dan tampak lemah

- Hipotermia atau hipertermia


- Merintih
- Dapat disertai kejang, pucat, atau
ikterus

Adapun kriteria sepsis secara klinis


(minimal dua dari tanda-tanda berikut):
- Temperatur >38 C atau <36.5 C
- Takikardia >200/menit

29

- Peningkatan frekuensi, bradikardia,


-

atau apnoe
Hiperglikemia >140 mg/dl
BE <-10 mval/L
Perubahan warna kulit
Peningkatan kebutuhan oksigen
Secara
laboratoris
(minimal

menemukan 1 tanda berikut):


CRP >2 mg/dl
I/T ratio >0.2
Leukosit <5 x 103/L atau >30 103/L
Trombosit <100 x 103/L

Pada awalnya, pasien menunjukan tandatanda infeksi neonatorum. Tanda-tanda


infeksi neonatus kemudian berkembang
menjadi sepsis, hingga sepsis berat.

30

Hiperbilirubinemia
Masalah
Anamnesis
Pada perawatan hari ke-2, didapatkan

Interpretasi
Hiperbilirubin pada neonatus biasanya

kuning pada bagian dada, punggung,

disebabkan oleh 4 hal, faktor produksi,

abdomen, hingga bagian atas dari lutut.

faktor

uptake

dan

konjugasi,

faktor

transportasi, faktor ekskresi. Namun, pada


OS belum dapat ditentukan secara pasti
karena belum sempat dilakukan berbagai
pemeriksaan.

Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum: ikterik (+)
Krammer Score grade II-III
Bilirubin total 21,67 mg/dL
Bilirubin direk 0,67 mg/dL

Tubuh

OS

tampak

ikterik

dengan

Krammer score grade II-III menunjukkan


adanya peningkatan bilirubin dalam tubuh.
Dibuktikan dengan pemeriksaan bilirubin
total, direk, indirek yang meningkat.

31

BBLSR
Masalah
Interpretasi
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Bayi lahir dengan usia kehamilan 30+4 Pasien lahir dengan berat lahir pasien
minggu, dengan berat badan lahir 1.250 dibawah 1.500 gram, yaitu 1.250 gram.
gram.

Bayi dikelompokkan berdasarkan berat


lahirnya, sebagai berikut:

Pemeriksaan Fisik
Kesan Umum: Tampak kecil
Berat badan lahir 1.250 gram.

Bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu


berat lahir -- < 2500 gram.
Bayi
berat lahir sangat rendah
(BBLSR), yaitu berat lahir 1000- <
1500 gram.

Bayi berat lahir amat sangat rendah


(BBLASR), yaitu berat lahir < 1000
gram.

Berdasarkan penjelasan tersebut, bayi


dalam kasus ini digolongkan ke dalam bayi
berat lahir sangat rendah (BBLSR).
Neonatal preterm
Masalah

Interpretasi

Anamnesis+pemeriksaan fisik

Pasien lahir usia kurang bulan (30+4 Usia gestasi ibu saat bayi lahir adalah 30+4
minggu)

minggu,

hal

ini

sesuai

dengan

new
ballard
score,
Berat bayi lahir sangat rendah, yaitu pemeriksaan
didapatkan usia gestasi antara 30-32
1.250 gram
New ballard score didapatkan hasil 16
Kurva lubchenko didapatkan bayi

minggu. Pasien adalah neonatus preterm,


sesuai untuk masa kehamilan.

kurang bulan, sesuai masa kehamilan

32

33

TINJAUAN PUSTAKA

1. BAYI BERAT LAHIR SANGAT RENDAH (BBLSR)


Bayi berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) merupakan bayi lahir hidup
dengan berat badan lahir 1000 1500 gr. Penyebab dari BBLSR adalah kelahiran
prematur dan intrauterine growth restriction (IUGR). Faktor-faktor yang mempengaruhi
sehingga bayi lahir dengan BBLSR yaitu ras, usia maternal, faktor maternal yaitu
penyakit yang dialami ibu selama mengandung, komplikasi persalinan seperti plasenta
previa, perdarahan, serviks inkompeten, dan infeksi maternal sedangkan faktor fetal
adalah kehamilan ganda.1,2,3
Morbiditas neonatal BBLSR meliputi sepsis, nekrotik enterokolitis, retinopati
prematuritas, penyakit paru kronik dan perdarahan intraventrikular. Angka kejadian
sepsis pada bayi dengan BBLSR sekitar 14% 48% yang merupakan penyebab
kematian.
Di Negara industri, sekitar 1% - 3% bayi lahir dengan BBLSR, tingkat
mortalitas 40% 50% dan lebih dari separuhnya harus dirawat di rumah sakit bagian
unit intensif. Di Amerika Serikat, sekitar 1,4% atau sekitar 56.270 bayi lahir dengan
BBLSR setiap tahun. Angka kejadian BBLR di Indonesia secara nasional berdasarkan
analisa lanjut SDKI 1991 angka BBLR sekitar 7,5 %. BBLR bervariasi menurut
propinsi dengan rentang 2,0 %-15,1% terendah di propinsi Sumatera utara dan tertinggi
di Sulawesi Selatan. Berdasarkan umur kehamilan ditemukan 20,8% BBLR yang
dilahirkan kurang bulan dan sebagian besar (79,2%) adalah BBLR pada kehamilan
cukup bulan proporsi terbesar yaitu di daerah pedesaan.2,3

34

Bayi dengan BBLSR merupakan salah satu faktor risiko terhadap kematian bayi
khususnya pada masa perinatal. Tahun 2006, Indonesia menduduki peringkat 10
diantara 18 negara ASEAN dan SEARO dengan angka kematian bayi yaitu 35 per 1000
kelahiran hidup. Kalimantan Selatan pada tahun 2007, angka kematian bayi yaitu 58 per
1000 kelahiran hidup.
Bayi berat berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) adalah bayi baru lahir yang
berat badan pada saat kelahiran 1000 - 1.500 gram.
Berikut adalah definisi mengenai istilah-istilah penting:

Bayi kurang bulan adalah bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu
(259 hari)

Bayi cukup bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 37 minggu sampai
42 minggu (259 sampai 293 hari)

Bayi lebih bulan adalah bayi dengan masa kehamilan mulai 42 minggu atau
lebih (294 hari atau lebih).3,5,6

Klasifikasi Bayi Berat Lahir Rendah


Menurut Rukiyah (2010) bayi berat lahir rendah (BBLR) dapat dikelompokkan
menjadi 2 yaitu:
1) Bayi prematur sesuai masa kehamilan (SMK) terdapat derajat prematuritas di
golongkan menjadi 3 kelompok:
a. Bayi sangat prematur (extremely prematur ): 24-30 minggu.
b. Bayi prematur sedang (moderately prematur ) : 31-36 minggu.
c. Borderline Premature : 37-38 minggu. Bayi ini bersifat premature dan
mature.

35

Beratnya seperti bayi matur akan tetapi sering timbul masalah seperti yang
dialami bayi prematur, seperti gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia dan
daya hisap lemah.
2) Bayi prematur kecil untuk masa kehamilan (KMK) terdapat banyak istilah untuk
menunjukkan bahwa bayi KMK dapat menderita gangguan pertumbuhan di dalam
uterus (intra uterine growth retardation / IUG)seperti pseudo premature, small for
dates, dysmature, fetal malnutrition syndrome, chronis fetal distress, IUGR dan small
for gestasional age ( SGA ).
Ada dua bentuk IUGR yaitu : (Rustam, 1998)
a. Propornitinate IUGR: janin menderita distress yang lama, gangguan
pertumbuhan terjadi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan sebelum bayi
lahir. Sehingga berat, panjang dan lingkaran kepala dalam proporsi yang
seimbang, akan tetapi keseluruhannya masih di bawah masa gestasi yang
sebenarnya.
b. Disproportinate IUGR : terjadi akibat distress sub akut. Gangguan terjadi
beberapa Minggu dan beberapa hari sebelum janin lahir. Pada keadaan ini
panjang dan lingkaran kepala normal, akan tetapi berat tidak sesuai dengan masa
gestasi. Tanda-tanda sedikitnya jaringan lemak dibawah kulit, kulit kering,
keriput dan mudah diangkat, bayi kelihatan kurus dan lebih panjang

Berdasarkan pengertian di atas, bayi BBLSR dapat digolongkan menjadi 2, yaitu:

Prematuritas murni

Masa gestasinya kurang dari 37 minggu, dan berat badannya sesuai dengan berat
badan untuk masa gestasi itu, atau biasa disebut neonatus kurang bulan sesuai untuk
masa kehamilan. Masa gestasi yang kurang dari 37 minggu ini dihitung dari mulai
hari pertama menstruasi terakhir, dan dianggap sebagai periode kehamilan
memendek. Prematur sering juga digunakan untuk mangatakan imaturitas.

36

Dismaturitas

Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa
gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dan
merupakan bayi yang kecil untuk masa kehamilannya. 3
Untuk menaksir masa gestasi pada neonatus dapat digunakan cara, antara lain:

Menggunakan HPHT

Penilaian ukuran antropometrik

Pemeriksaan radiologik

Mengukur motor conduction velocity

Pemeriksaan EEG

Penilaian karakteristik fisik

Penilaian kriteria neurologist

Penilaian menurut Dubowitz

Penilaian masa gestasi menurut Monintja, dan kawan-kawan


Lingkar kepala dapat menunjukkan status pertumbuhan bayi. Lingkar kepala

merupakan pengukur langsung pertumbuhan otak. Lingkar kepala pada bayi dengan
KMK dapat menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan otak akibat adanya restriksi
pertumbuhan intrauteri (intrauterin growth restriction) atau kelainan neurologi.3,5
Faktor yang meningkatkan insidensi KMK, yaitu:

Faktor fetus

Abnormalitas karyotipe

Abnormalitas kromosom
37

Penyakit genetik

Anomali kongenital

Faktor maternal

Penyakit ibu (hipertensi,penyakit ginjal, diabetes, SLE, dan penyakit jantung

Infeksi (TORCH)

Status nutrisi

Penggunaan obat-obat terlarang, rokok dan alkohol

Faktor plasenta dan uterus

Kelainan plasenta

Insufisiensi perfusi uteroplasenta

Plasenta previa

Faktor demografi

Usia ibu (kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun)

Tinggi dan berat badan ibu

Ras

Paritas
Adapun penyebab dismaturitas ialah setiap keadaan berupa gangguan pertukaran

zat antara janin dan ibu. Pada beberapa kasus, bayi kembar merupakan faktor risiko
karena bayi kembar sehingga zat makanan yang diberikan ibu sewaktu hamil terbagi
dua, yang mengakibatkan nutrisi pada masing-masing janin menjadi lebih sedikit

38

dibandingkan pada kehamilan tunggal. Ini mengakibatkan berat badan yang rendah pada
janin.3,5,6
Menetapkan bayi kembar monozigot atau dizigot sangat penting. Penyebab
kematian yang umum terjadi adalah saling membelitnya tali pusat kedua janin tersebut
(>50% kasus). Pada kembar monozigot sering timbul anastomosis arteriovenosa.
Akibatnya darah akan dipompakan dari arteri ke dalam vena, keluar dari janin yang satu
masuk ke arteri janin yang lain. Sehingga janin kembar monozigot yang satu dapat
berukuran jauh lebih kecil daripada janin lainnya.

Semakin rendah berat lahir bayi maka komplikasi yang dapat terjadi semakin
besar. Masalah yang dihadapi pada bayi BBLSR, yaitu:

Hipotermi
Hal ini karena luas permukaan tubuhnya relatif lebih besar perbandingannya
terhadap

berat

badan,

sehingga

terjadi

peningkatan

kehilangan

panas.

Penatalaksanaan yang dilakukan untuk mencegah hipotermi, yaitu:

Mengeringkan tubuh bayi untuk mencegah hilangnya panas melalui evaporasi

Menyelimuti bayi dengan selimut untuk mencegah hilangnya panas melalui


konveksi dan radiasi

Rawat inkubator

Hipoglikemi
Akibat berkurangnya simpanan glikogen dan lemak. Hipotermi dan hipoksia dapat
mengakibatkan hipoglikemi karena peningkatan kebutuhan metabolik dan glikolisis
anaerobik.
39

Asfiksia perinatal
Terjadi karena gangguan transporasi O2 dalam uterus.

Masalah respirasi
Dapat berupa respiratory distress syndrome (RSDS) yang disebabkan oleh
defisiensi surfaktan dan apneu.

Gangguan cairan dan elektrolit


Berkaitan dengan imaturitas ginjal. Sehingga memiliki resiko dehidrasi, kelebihan
cairan,

hipernatremia,

hiponatremia,

hiperkalemia,

hipokalsemia,

dan

hipermagnesia.

Hiperbilirubinemia

Anemia

Ketidakseimbangan nutrisi

Imaturitas usus dengan penurunan motilitas disertai rendahnya enzim sehingga


meningkatkan resiko terjadinya nekrotik enterokolitis (NEC)

Peningkatan kebutuhan kalori

Infeksi
Resiko infeksi lebih tinggi karena imaturitas imunologi dan perawatan invasif yang
lama.

Masalah neurologi

Perdarahan intraventrikular

Leukomalasia periventrikular

40

Jangka panjang meningkatkan resiko terjadinya serebral palsy, keterlambatan


pertumbuhan dan kemampuan belajar

Komplikasi oftalmologi

Sudden infant death syndrome (SIDS)

Berikut adalah pembagian permasalahan yang timbul pada bayi dengan BBLSR
menurut sistem organ:

Bayi BBLSR berisiko mengalami gagal nafas, yang dapat disebabkan oleh:

Defisiensi surfaktan

Kelemahan dinding dada

Alveoli yang lebih kecil sehingga meningkatkan resiko terjadinya atelektasis

Kelemahan otot respirasi

Penurunan kemampuan sentral sistem pernafasan6,8

41

Mengenai penatalaksanaan BBLR yang tergolong dismaturitas adalah:

Pengawasan frekuensi pernapasan terutama dalam 24 jam pertama. Bila


pernapasan lebih dari 60 kali/menit dibuat foto thoraks. Hal ini untuk
mengetahui jika ada sindroma gangguan pernapasan idiopatik.

Pemeriksaan kadar gula darah setiap 8-12 jam. Cairan infus yang diberikan yaitu
D10%.

Pencegahan terhadap infeksi, karena bayi sangat rentan terhadap infeksi, karena
pemindahan Ig G dari ibu ke janin terganggu.

Pengelolaan temperatur agar jangan sampai kedinginan karena bayi dismatur


lebih mudah menjadi hipotermi.

Pemberian makanan dini (early feeding) untuk mencegah hipoglikemi.


Pemberian ASI lebih baik selain pemberian nutrisi juga dapat mencegah
nekrosis enterokolitis.

Terapi oksigen

Menjaga saturasi oksigen kisaran 85% - 92%. Saturasi oksigen tidak harus
maksimal untuk melindungi kerusakan paru akibat oksigen.

Cairan

Pada hari pertama perawatan, bayi BBLSR mendapatkan cairan sekitar 60-80
ml/KgBB. Harus dilakukan pengawasan terhadap cairan yang masuk dan yang
keluar.

Elektrolit

Untuk mencegah hipokalsemia berikan Ca glukonas. Perlu dilakukan pemeriksaan


kadar elektrolit darah.
42

Berdasarkan penelitian Lydia F et al, disimpulkan bahwa pemberian ASI pada


bayi BBLSR dapat menurunkan resiko sepsis dan NEC. ASI mengandung beberapa
imunomodulator termasuk sekresi IgA, laktoferin, lisozim, dan asetilhidrolase.6,8
Pemberian antibiotik sangat penting pada bayi BBLSR terutama sebagai
antibiotik profilaksis. Berdasarkan penelitian Stoll BJ et al, disimpulkan bahwa latesepsis merupakan faktor resiko utama penyebab mortalitas dan morbiditas pada bayi
BBLSR. Regimen antibiotik yang digunakan pada neonatus yaitu:

Sepsis neonatal digunakan ampicillin dikombinasikan dengan antibiotik


golongan aminoglikosida

Meningitis neonatal digunakan ampicillin dikombinasikan dengan antibiotik


sefalosporin generasi ketiga

43

Infeksi pada neonates paling sering melalui kontak dengan kulit. Pada bayi BBLSR dan
KMK memiliki lapisan kulit yang lebih tipis. Sehingga mudah mengalami kerusakan
dan menjadi jalur infeksi. Oleh karena itu, selama perawatan dilakukan tindakan
minimal handling. Selama perawatan di rumah sakit, infeksi juga dapat terjadi melalui
kateter infus dan pemasangan orogastric tube (OGT). Bakteri penyebab sepsis akibat
pemasangan OGT terbanyak yaitu Staphylococcus dan Enterobacteriaceae.

2. ASFIKSIA NEONATORUM
1) DEFINISI
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,

44

hiperkarbia dan asidosis (IDAI). Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas


secara spontan dan teratur segera setelah lahir (WHO).1
2) ETIOLOGI
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi
berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang
dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui
dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya
adalah faktor ibu, tali pusat clan bayi berikut ini:
1. Faktor ibu
Preeklampsia
Pendarahan
Partus

dan eklampsia

abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

lama atau partus macet

Demam

selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

Kehamilan

Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

2. Faktor Tali Pusat

Lilitan tali pusat

Tali pusat pendek

Simpul tali pusat

Prolapsus tali pusat

3. Faktor Bayi
Bayi

prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

Persalinan

dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,

ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)


Kelainan
Air

bawaan (kongenital)

ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)

Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi


untuk menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut
maka hal itu harus dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan
perlunya tindakan resusitasi. Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit
45

dikenali atau (sepengetahuan penolong) tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi.
Oleh karena itu, penolong harus selalu siap melakukan resusitasi bayi pada setiap
pertolongan persalinan.
3) KLASIFIKASI
Asfiksia dapat dibagi berdasarkan skor APGAR.

Asfiksia Ringan : skor APGAR 7 9, tidak memerlukan tindakan khusus

Asfiksia Sedang : skor APGAR 4 6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat


frekuensi napas meningkat, adanya retraksi dinding dada, tonus otot kurang
baik dan sianosis.

Asfiksia Berat : skor APGAR 0 3, pada pemeriksaan fisik ditemukan


frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan
mengarah ke pucat, pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung bayi
menghilang tidak lebih dari 10 menit setelah lahir.1,9

4) PATOFISIOLOGI
Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat
sementara, proses ini dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat
pernafasan agar terjadi primary gasping yang kemudian berlanjut dengan
pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh buruk karena
reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan perafasan mengakibatkan
gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida, diikuti asidosis respiratorik.
Apabila proses berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana
aerobik yang berupa glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen
terutama pada jantung dan hati akan berkurang dan asam organik yang terjadi
akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi
perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa diantaranya:

Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi


jantung

46

Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan


termasuk otot jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung

Pengisian udara aveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya


resistensi pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem
sirkulasi tubuh lain mengalami gangguan
Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai

dengan pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode hiperapne)
diikuti dengan apneu primer kira-kira satu menit di mana pada saat ini denyut
jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian bayi akan mulai bernafas
(gasping) 8-10 kali/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin melemah
sehingga akhirnya timbul apneu skunder. Pada keadaan normal fase-fase ini
tidak jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan nafas bayi maka bayi akan
segera bernafas dan menangis kuat.
Pemakaian sumber glikogen unutk energi dalam metabolisme anaerob
menyebabkan tubuh bayi akan menderita hipoglikemia. Pada asfiksia berat
menyebabkan kerusakan membran sel terutama sel susunan saraf pusat sehingga
mengakibatkan gangguan elektrolit, berakibat menjadi hiperkalemia dan
pembengkakakn sel. Kerusakan sel otak terjadi setelah asfiksia berlangsung
selama 8-15 menit.9
5) DIAGNOSIS
Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat
gangguan lahir, lahir tidak bernafas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur
mekoneum. Temuan klinis yang didapatkan pada neonatus dengan asfiksia
neonatorum dapat berupa lahir tidak bernafas/megap-megap, denyut jantung
<100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot melemah. Secara klinis
dapat digunakan skor APGAR pada menit ke 1, 5 dan 10 unutk mendiagnosa
dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat. Skor APGAR merupakan
metode objektif untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan berguna untuk
memberikan informasi mengenai keadaan bayi secara keseluruhan dan
keberhasilan tindak resusitasi. Walaupun demikian, tindakan resusitasi harus
47

dimulai sebelum perhitungan pada menit pertama. Jadi skor APGAR tidaklah
digunakan untuk menentukan apakah seorang bayi memerlukan resusitasi,
langkah mana yang dibutuhkan atau kapan kita menggunakannya. Ada tiga tanda
utama yang digunakan untuk menentukan bagaimana dan kapan melakukan
resusitasi (pernafasan, frekuensi jantung, warna kulit) dan ini merupakan bagian
dari APGAR skor.dua tanda tambahan (tonus otot dan refleks rangsangan)
menggambarkan keadann neurologis. Skor APGAR biasanya dinilai pada menit
1 kemudian pada menit ke 5. Jika nilainya pada menit ke 5 kurang dari 7,
tambahan penilaian harus dilakukan setiap 5 menit sampai 20 menit.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisis gas darah, dimana
pada neonatus dengan asfiksia neonatorum didapatkan PaO2 < 50 mmH2O,
PaCO2 > 55 mmH2O, pH < 7,3. WHO pada tahun 2008 sudah menambahkan
kriteria dalam penegakan diagnosis asfiksia berdasarkan skor APGAR dan
adanya asidosis metabolik, ditambah adanya gangguan fungsi organ berupa
gejala neurologis berupa HIE, akan tetapi penegakan diagnosis HIE tidak dapat
dilakukan dengan segera dan terdapat berbagai keterbatasan dalam aplikasinya
di komunitas. Hal ini membuat diagnosis asfiksia secra cepat di komunitas
menggunakan kriteria penilaian adanya gengguan pada pernafasan, frekuensi
jantung dan warna kulit ditunjang dengan hasil analisa gas darah yang
menunjukan asidosis metabolik.9,10
6) PENATALAKSANAAN
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan
hidup bayi dan membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul
dikemudian hari. Tindakan yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi
bayi baru lahir.
a. Resusitasi
Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3
pertanyaan:
a. apakah bayi cukup bulan?
b. apakah bayi bernapas atau menangis?

48

c. apakah tonus otot bayi baik atau kuat?


Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk
menjaga suhu. Bila terdapat jawaban tidak dari salah satu pertanyaan di
atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi.9,10
7) PENCEGAHAN
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan menghilangkan
atau meminimalkan faktor risiko penyebab asfiksia. Derajat kesehatan wanita,
khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi saat kehamilan, persalinan dan
melahirkan harus dihindari. Upaya peningkatan derajat kesehatan ini tidak
mungkin dilakukan dengan satu intervensi saja karena penyebab rendahnya
derajat kesehatan wanita adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk
itu dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling terkait.
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar
tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan
situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap
anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang
dapat menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada
situasi gawat.14 Pada bayi dengan prematuritas, perlu diberikan kortikosteroid
untuk meningkatkan maturitas paru janin.

PROGNOSIS
Pada keadaan yang berat angka kematianya dilaporkan sekitar 25-50%.
Kematian biasanya terjadi pada minggu minggu awal kehidupan. Disebabkan
karena kerusakan multiorgan. Bayi dengan disabilitas neurologi yang berat
biasanya meninggal karena pneumonia aspirasi atau disebabkan oleh infeksi
sistemik.

49

Pada

bayi

yang dapat
bertahan
hidup
dalam
jangka
waktu yang
lama
biasanya

akan mengalami komplikasi bergantung dari keparahan penyakit. Pada 80% bayi
mengalami komplikasi yang serius, 10 20% mengalami disabilitas yang serius
dan sekitar 10% diantaranya sehat. Pada bayi yang mengalami asfiksia sedang
30 50% diantaranya mengalami komplikasi jangka panjang yang serius, 10
20% mengalami gangguan neurologis. Sedangkan pada bayi yang mengalami
serangan ringan hampir semuanya tidak mengalami gangguan saraf pusat.9,10

50

3.

NEONATAL INFEKSI
51

1) DEFINISI
Infeksi neonatorum adalah infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua
yaitu: early infection (infeksi dini) dan late infection (infeksi lambat). Disebut
infeksi dini karena infeksi diperoleh dari si ibu saat masih dalam kandungan
(perinatal) yang terjadi segera dalam periode post-natal

(< 72 jam) dan

biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. sementara infeksi
lambat adalah infeksi post-natal (> 72jam) yang diperoleh dari lingkungan luar,
atau sekitar rumah sakit (nosokomial) bisa lewat udara atau tertular dari orang
lain
2) PATOFISIOLOGI
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya dalam 3
golongan, yaitu:

Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi umbilikus dan
masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin melalui jalan ini ialah :
- Virus,

yaitu

rubella,

polyomyelitis,

covsackie,

variola,

vaccinia,

cytomegalic inclusion
- Spirokaeta, yaitu treponema palidum ( lues )
- Bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. Coli dan listeria
monocytogenes.
- Tuberkulosis kongenital dapat terjadi melalui infeksi plasenta. Fokus pada
plasenta pecah ke cairan amnion dan akibatnya janin mendapat
tuberkulosis melalui inhalasi cairan amnion tersebut.

Infeksi Perinatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah
ketuban pecah. Ketubah pecah lama ( jarak waktu antara pecahnya ketuban
dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam), mempunyai peranan penting terhadap
timbulnya plasentisitas dan amnionitik. Infeksi dapat pula terjadi walaupun

52

ketuban masih utuh misalnya pada partus lama dan seringkali dilakukan
manipulasi vagina. Infeksi janin terjadi dengan inhalasi likuor yang septik
sehingga terjadi pneumonia kongenital selain itu infeksi dapat menyebabkan
septisemia. Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan
kuman yang berasal dari vagina misalnya blenorea dan oral trush .

Infeksi Postnatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang
berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat
penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat
infeksi silang. Infeksi pasacanatal ini sebetulnya sebagian besar dapat
dicegah. Hal ini penting sekali karena mortalitas sekali karena mortalitas
infeksi pascanatal ini sangat tinggi.

3) DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat ditegakkan
dengan observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti dan
akhirnya dengan pemeriksaan fisik dan laboratarium.
Infeksi lokal pada nonatus cepat sekali menjalar menjadi infeksi umum,
sehingga gejala infeksi lokal tidak menonjol lagi. Walaupun demikian diagnosis
dini dapat ditegakkan kalau kita cukup waspada terhadap kelainan tingkah laku
neonatus yang seringkali merupakan tanda permulaan infeksi umum. Neonatus
terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam pertama dan bayi tersebut tidak
menderita penyakit atau kelainan kongenital tertentu, namun tiba-tiba tingkah
lakunya berubah, hendaknya harus selalu diingat bahwa kelainan tersebut
mungkin sekali disebabkan oleh infeksi.
Menegakkan kemungkinan infeksi pada bayi baru lahir sangat penting,
terutama pada bayi BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan
menimbulkan angka kematian yang tinggi. Disamping itu, gejala klinis infeksi
pada bayi tidak khas. Adapun gejala yang perlu mendapat perhatian yaitu :

Malas minum

Bayi tertidur
53

Tampak gelisah

Pernapasan cepat

Berat badan turun drasti

Terjadi muntah dan diare

Panas badan bervariasi yaitu dapat meningkat, menurun atau dalam batas
normal

Pergerakan aktivitas bayi makin menurun

Pada pemeriksaan mungkin dijumpai : bayi berwarna kuning, pembesaran


hepar, purpura (bercak darah dibawah kulit) dan kejang-kejang

Terjadi edema

Sklerema

Ada 2 skoring yang digunakan untuk menentukan diagnosis neonatal infeksi :

Bell Squash score


-

Partus tindakan (SC, forcep, vacum, sungsang)

Ketuban tidak normal

Kelainan bawaan

Asfiksia

Preterm

BBLR

Infeksi tali pusat

Riwayat penyakit ibu

Riwayat penyakit kehamilan

Gupte score
Prematuritas
Cairan amnion berbau busuk
Ibu demam
Asfiksia
Partus lama
Vagina tidak bersih
KPD

3
2
2
2
1
2
1

54

4) KLASIFIKASI DAN TATALAKSANA


Infeksi pada neonatus dapat dibagi menurut berat ringannya dalam dua golongan
besar, yaitu berat dan infeksi ringan.

Infeksi berat ( major infections ) : sepsis neonatal, meningitis, pneumonia,


diare epidemik, plelonefritis, osteitis akut, tetanus neonaturum.

Infeksi ringan ( minor infection ) : infeksi pada kulit, oftalmia neonaturum,


infeksi umbilikus ( omfalitis ), moniliasis.

a) Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatorum sering didahului oleh keadaan hamil dan persalinan
sebelumnya seperti dan merupakan infeksi berat pada neonatus dengan
gejala-gejala sistemik.
Faktor risiko :
-

Persalinan (partus) lama

Persalinan dengan tindakan

Infeksi/febris pd ibu

Air ketuban bau, warna hijau

KPD lebih dr 18 jam

Prematuritas & BBLR

Fetal distres

Tanda & gejala :


-

Reflek hisap lemah

Bayi tampak sakit, tidak aktif, dantampaklemah

Hipotermia atau hipertermia

Merintih

Dapat disertai kejang, pucat, atau ikterus

Prinsip pengobatan:
-

Pengobatan antibiotika secara empiris dan terapeutik

Pemeriksaan laboratorium rutin

Biakan darah dan uji resistensi

Pemeriksaan lain dapat dilakukan atas indikasi

b) Meningitis pada Neonatus


55

Tanda dan gejala :


-

Sering didahului atau bersamaan dengan sepsis

Kejang

UUB menonjol

Kaku kuduk

Pengobatan :
-

Gunakan antibiotic yang dapat menembus sawar otak dan diberikan


dalam minimal 3 minggu

Pungsi lumbal (atas indikasi)

c) Sindrom Aspirasi Mekonium (SAM)


SAM terjadi pada intrauterin karena inhalasi mekonium dan sering
menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex menelan
dan batuk yang belum sempurna.
Gejala :
-

Pada waktu lahir ditemukan meconium staining

Letargia

Malas minum

Terjadi serangan apnea (Apneu neonatal)

Dicurigai bila ketuban keruhdan bau

Rhonki (+)

Pengobatan :
-

Laringoskop direct segera setelah lahir bila terdapat meconium staining


dan lakukan suction bila terdapat mekonium pada jalan napas

Bila setelah di suction rhonki masih (+), pasang ET

Bila setelah di suction rhonki (-) dilakan resusitasi

Terapi antibiotika secara empiris dan terapeutik

Cek darah rutin, BGA, GDS dan foto baby gram

d) Tetanus neonatorum
Etiologi
-

Perawatan tali pusat yang tidak steril

56

Pembantu persalinan yang tidak steril

Gejala
-

Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena kejang
otot rahang dan faring (tenggorok)

Mulut mencucu seperti mulut ikan (trismus)

Kekakuan otot menyeluruh (perut keras seperti papan) dan epistotonus

Tangan mengepal (boxer hand)

Kejang terutama apabila terkena rangsang cahaya, suara dan sentuhan

Kadang-kadang disertai sesak napas dan wajah bayi membiru

Tindakan
-

Segera berikan antikonvulsan dan bawa ke Rumah Sakit (hindari


pemberian IM karena dapat merangsang muscular spasm)

Pasang O2 saat serangan atau bila ada tanda-tanda hipoksia

Pasang IV line dan OGT

Pemberian ATS 3000 6000 unit IM

Beri penisilin prokain G 200.000 unit / KgBB / 24 jam IV selama 10 hari

Rawat tali pusat

Observasi dilakukan dengan mengurangi sekecil mungkin terjadinya


rangsangan

e) Oftalmia Neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseriagonorrhoeae
saat bayi lewat jalan lahir. Dibagi menjadi 3 stadium :
- Stadium infiltrative
Berlangsung 1-3 hari. Palpebra bengkak, hiperemi, blefarospasme,
mungkit terdapat pseudomembran
- Stadium supuratif
Berlangsung 2 3 minggu. Gejala tidak begitu hebat, terdapat secret
bercampur darah, yang khas secret akan keluar dengan mendadak
(muncrat) saat palpebra dibuka
- Stadium konvalesen

57

Berlangsung 2-3 minggu. Secret jauh berkurang, gejala lain tidak


begitu hebat lagi.
Penatalaksanaan
- Bayi harus diisolasi
- Bersihkan mata dengan larutan garam fisiologis setiap jam
disusul dengan pemberian salep mata penisilin
- Berikan salep mata penisilin setiap jam selama 3 hari
- Penisilin prokain 50.000 unit/kgbb IM
5) PENCEGAHAN
Prinsip pencegahan infeksi antara lain:
-

Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir.

Pertimbangkan setiap orang ( termasuk bayi dan staf ) berpotensi menularkan


infeksi.

Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol.

Pakai pakaian pelindung dan sarung tangan.

Gunakan teknik aseptik.

Pegang instrumen tajam dengan hati hati dan bersihkan dan jika perlu
sterilkan atau desinfeksi instrumen dan peralatan.

Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan buang
sampah.

Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi nosokomial. 3

58

HIPERBILIRUBINEMIA
Pengertian Ikterus Neonatorum
Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus pada bayi baru lahir. Ikterus adalah
pewarnaan kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya
kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5
mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya
kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya
produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa
normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan
usianya lebih pendek. Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi
baru lahir, terutama pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Penyebab yang sering terjadi
adalah belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Pada bayi, usia sel
darah merah sekitar 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati. Saat
lahir, hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit
disebut biliruibn, bilirubin inilah yang menyebabkan pewarnaan kuning pada bayi.

Metabolisme Bilirubin
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh
tubuh. Sebagian besar (80%) bilirubin berasal dari degradasi hemoglobin darah dan
sebagian lagi (20%) dari hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan
bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta
beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin
bebas. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat
lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan
sawar darah otak. Bilirubin tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa
ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh

59

reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel
hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein Y) protein Z dan glutation hati lain
yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian
menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada
kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang
terkonjugasi ini diekskresikan melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan
dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dengan feses sebagai sterkobilin.
Dalam usus sebagian diabsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses
absorbsi enterohepatik.

60

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada


hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu
pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun
biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada
bayi kurang bulan, pada keadaan ini peninggian bilirubin masih dianggap normal dan
karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul apabila produksi bilirubin ini
61

terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga terakumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh,
misal kerusakan sel otak yang akan menyebebabkan gejala sisa di kemudian hari.
Etiologi Ikterus Neonatorum
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena :
a. Meningkatnya kadar bilirubin
Hemolisis disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan umur lebih
pendek.
b. Penurunan eksresi bilirubin
Hal ini dapat terjadi karena :
-

Fungsi hepar yang belum sempurna sehingga terjadi penurunan ambilan dalam
hati dan penurunan konjugasi oleh hati

Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatik meningkat karena masih


berfungsinya enzim glukoronidase di usus, penurunan motilitas usus halus, dan
penurunan bakteri flora normal.
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau frekuensi menyusu yang sering

dan bayi dengan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang
rendah untuk terjadinya ikerus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari
pertama kehidupan dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI,
kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.

62

Gambar Etiologi Ikterus neonatorum fisiologis


Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
yang berhubungan dengan breast feeding dan late berhubungan dengan ASI. Bentuk
early onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset
diyakini dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan
eksresi bilirubin. Faktor spesifik dari ASI tersebut kemungkinan adanya peningkatan
asam lemak unsaturated yang menghambat proses konjugasi atau adanya beta
glukorunidase yang menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.

Gambar Distribusi level maksimal bilirubin selama 1 minggu pertama pada bayi yang
mendapat ASI dan susu formula
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum adalah :

63

a.

Faktor maternal

Ras atau kelompok etnik tertentu

Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI

b.

Faktor perinatal

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

Infeksi (bakteri, virus)

c.

Faktor neonatus

Prematuritas

Faktor genetik

Polisitemia

Obat (sterptomisin, kloramfenikol, benzyl alkohol, sulfisoxazol)

Rendahnya asupan ASI

Hipoglikemia

Hipoalbuminemia

Klasifikasi Ikterus Neonatorum


Ada 2 macam ikterus neonatorum :
1.

Ikterus fisiologis
a.

Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga

b.

Tidak mempuyai dasar patologis

c.

Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak


berpotensi menjadi kern ikterus

d.

Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi

e.

Ikterus tampak jelas pada hari kelima dan keenam dan menghilang pada
hari kesepuluh

2.

Ikterus patologik
Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah ;
a.

Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

64

b.

Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih per 24


jam

c.

Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi


G6PD, atau sepsis)

d.

e.

Ikterus yang disertai oleh :

Berat lahir kurang dari 2000 gram

Masa gestasi 36 minggu

Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat nafas pada neonatus (SGNN)

Infeksi

Trauma lahir pada kepala

Hipoglikemia, hiperkarbia

Hiperosmolaritas darah
Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia lebih dari 8 hari pada

neonatus cukup bulan atau lebih dari 14 hari pada neonatus kurang bulan

Penegakan Diagnosis
Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan
pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus
untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan
itu ialah menggunakan saat timbulnya ikterus.
a.

Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

inkompatibilitas darah AB0, Rh atau golongan lain

infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)

defisiensi G6PD

b.

Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir

Biasanya ikterus fisiologis

Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0, Rh atau gol lain

Hal ini dapat diduga dari jika terdapat peningkatan kadar bilirubin cepat,
misalnya melebihi 5 mg% per 24 jam

65

Defisiensi enzim G6PD

Polisitemia

Hemolisis perdarahan tertutup

Hipoksia

Sferositosis, elipsitosis

Dehidrasi asidosis

Defisiensi enzim eritrosit lainnya

c.

Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama

Biasanya karena infeksi (sepsis)

Dehidrasi asidosis

Defisiensi enzim G6PD

Pengaruh obat

Sindrom Crigler-Najjar

Sindrom Gilbert

d.

Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

Biasanya karena obstruksi

Hipotiroidisme

Breast milk jaundice

Infeksi

Neonatal hepatitis

Adapun pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah :

Pemeriksaan bilirubin berkala; direk dan indirek

Pemeriksaan darah tepi

Pemeriksaan penyaring G6PD

Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

66

Gambar Pendekatan Skematis untuk Mendiagnosis Neonatal Jaundice

67

Ikterus dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan lanjut tidak


menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern
ikterus.
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan serum bilirubin adalah tindakan ini
merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus.3
Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan
pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total lebih 20 mg/dl atau usia bayi lebih
2 minggu.
Tabel Hubungan kadar bilirubin (mg/dl) dengan daerah ikterus menurut Kramer
Daerah
ikterus

Penjelasan

Kadar bilirubin (mg/dl)


Prematur

Aterm

Kepala dan leher

4-8

4-8

Dada sampai pusat

5-12

5-12

Pusat bagian bawah sampai lutut

7-15

8-16

9-18

11-18

>10

>15

Lutut sampai pergelangan kaki dan


bahu sampai pergelangan tangan
Kaki dan tangan termasuk telapak
kaki dan telapak tangan

Penatalaksanaan Ikterus Neonatorum


Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi
sehat, aktif, minum kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan
terjadinya kern ikterus sangat kecil. Untuk mengatasi ikterus pada bayi sehat, dapat
dilakukan beberapa cara berikut :

Minum ASI dini dan sering


68

Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan
kontrol lebih cepat (terutama bila tampak kuning).
Bilirubin serum total 24 jam pertama lebih dari 4,5 mg/dl dapat digunakan

sebagai faktor prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu
pertama kehidupannya. Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak
praktis dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Tatalaksana awal ikterus neonatorum :

Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat

Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko ; berat lahir kurang dari 2500 gram,
lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs

Jika kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar

Jika kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar

Jika faktor Rhesus dan golongan darah AB0 bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan

Hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengatasi hiperbilirubinemia. Adapun hal yang
dapat dilakukan antara lain :

Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat


ini bekerja sebagai enzyme inducer sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan
dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi
penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu
kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.

Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi.


Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin

69

dapat diganti dengan plasma dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan
sebelum transfusi tukar dilakukan karena albumin akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih
mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi
hepar sebagai sumber energi.
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat

menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan
transfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra
dan pasca transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah :
-

Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar alb lebih
dari 10 mg/dl

Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin lebih dari 15 mg/dl

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus menerus, istirahat 12 jam, bila perlu
dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.
Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :

Kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl

Kadar bilirubin tali pusat lebih dari 4 mg/dl dan Hb kurang dari 10 mg/dl

Peningkatan bilirubin lebih dari 1 mg/dl

Tabel Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin
Bilirubin
serum

< 24 jam

24-48 jam

49-72 jam

>72 jam

<2500

<2500

<2500

(mg/dl)
<2500

>2500

>2500

<5

Tidak perlu terapi observasi

5-9

Terapi sinar bila hemolisis

10-14

Transfusi tukar

15-19

Transfusi tukar

>2500

>2500

Terapi sinar
Terapi sinar

70

>20

Transfusi tukar

Terapi suportif, antara lain :

Minum ASI atau pemberian ASI perah

Infus cairan dengan dosis rumatan

Monitoring yang dilakukan antara lain :

Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak
dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama
bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

Pulangkan bayi jika terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan
baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS

Strategi pencegahan yang dapat dilakukan meliputi :


a. Pencegahan primer
Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali/hari

untuk beberapa hari pertama


Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada

bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi


b. Pencegahan sekunder

Wanita hamil harus diperiksa golongan darah AB0 dan rhesus serta
penyaringan serum utnuk antibodi isoimun yang tidak biasa

Memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya


ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus
dinilai saat memeriksa tanda-tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap
8-12 jam

Terapi Sinar

71

Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya
terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL
dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada
hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar
dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar
bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada
jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi
untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah
lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala.
Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area
sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke
arah bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluasluasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap
6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup
namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan
hemoglobin bayi dipantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin
<10 mg/dL (<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek
samping terapi sinar.

72

Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis,


hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat
diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.

Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan
cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit
yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya
yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila
ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar
bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia
yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai
adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan
proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi.
Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel

73

dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan
titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar
berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:

Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat

mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 %mengganti Hb bayi.
Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat

mengganti 65 % Hb bayi.
Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.

Komplikasi
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern ikterus. Kern ikterus atau ensefalopati
bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak
terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan batang
otak. Patogenesis kern ikterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interakasi antara
kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat,
kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera.
Keruskan sawar darah otak, asfiksia dan perubahan permeabilitas sawar darah otak
mempengaruhi risiko terjadinya kern ikterus.
Pada bayi sehat yang menyusu, kern ikterus terjadi saat kadar bilirubin lebih dari
30 mg/dl dengan rentang antara 21-50 mg/dl. Onset umumnya pada minggu pertama
kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 miggu.
Gambaran klinis kern ikterus, antara lain :
a.

Bentuk akut

Fase 1 (hari 1-2) : menetek tidak kuat, hipotonia, kejang

Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstesor, opistotonus,


retrocollis, demam

74

b.

Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni


Bentuk kronis

Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck
reflexes, keterampilan motorik yang lambat

Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),


gangguan pendengaran

Oleh karena itu, pada bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak
lanjut sebagai berikut :

Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan

Penilaian berkala pendengaran

Fisioterapi dan rehabilitasi bila terjadi gejala sisa

75

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasan R, Alatas H. Perinatologi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak 3; edisi ke-4.


Jakarta : FKUI, 1985;1051-7.
2. Wiknjosastro H, Saifuddin AB. Bayi Berat Lahir Redah. Dalam: Ilmu Kebidanan;
edisi ke-3. Jakarta : yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002;771-83.
3. Arifuddin J, Palada P. BBLR-LBW. Dalam : Perinatologi dan Tumbuh Kembang.
Jakarta : FKUI, 2004;9-11.
4. Behrman, RE, Kliegman RM. The Fetus and the Neonatal Infant, In : Nelson
Textbook of pediatrics; 17 th ed. California: Saunders. 2004; 550-8.
5. Saifuddin, AB, Adrianz, G. Masalah Bayi Baru Lahir. Dalam : Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal; edisi ke-1. Jakarta : yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2000;376-8.
6. Gomella, TL, Cunningham MD. Management of the Extremely Low Birth Infant
During the First Weekof Life. In : Lange Neonatology; 5 th ed. New York : Medical
Publishing Division, 2002; 120-31.
7. Current : Pediatric Diagnosis and Treatment: Neonatal Intensive Care, page 22-30.
Edition 15 Th 2001 Mc Graw Hill Companies.
8. Damanik, Sylviati M. Klasifikasi Berat Badan dan Usia Kehamilan.In: Kosim MS,
Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, Usman A (editors). Buku Ajar Neonatologi. 1st ed.
Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2014.p.11-7
9. Kosim, MS. Gangguan Napas pada Bayi Baru Lahir. In: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A (editors). Buku Ajar Neonatologi. 1st ed. Jakarta: Balai
Penerbit IDAI; 2014.p.126-35
10. Hermasen CL, Lorah KN. Respiratory Distress in the Newborn. Pennsylvania:
American

Academy

of

Family

Physicians;

2007.

Available

at:

http://www.aafp.org/afp/2007/1001/p987.pdf Accessed on: June 2015.

76

Anda mungkin juga menyukai