Anda di halaman 1dari 54

LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi kasus dengan judul Respiratory Distress Syndrom ini diajukan untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Periode 5 September 12 November 2016

Oleh:
Nama: Atrya Iga Amanda
NIM: 030.11.049

Telah diterima dan disetujui oleh penguji,


Jakarta,

Prof. dr. H. Widagdo, Sp.A, MBA

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus dengan judul Respiratory Distress Syndrom tepat pada waktunya.
Laporan Kasus ini disusun sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih periode 5 September 12 November 2016.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. H. Widagdo,

Sp.A, MBA sebagai pembimbing dalam pembuatan laporan kasus ini dan pembimbing selama
kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan anak RSUD Budhi Asih.
Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna dan banyak
kekurangan yang harus diperbaiki, oleh karena itu diharapkan bantuan dari dokter pembimbing
serta semua pihak untuk memberikan kritik dan saran yang membangun untuk penyempurnaan
laporan kasus ini

dan sebagai bekal untuk penulis dalam menyusun tugas-tugas lainnya di

kemudian hari.
Akhir kata, penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membutuhkan.

Jakarta, September 2016


Penulis

DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................................
BAB III ANALISIS KASUS .................................................................................................
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................
BAB IV PENUTUP ...............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................

1
2
3
4
5
22
25
53
54

BAB I
PENDAHULUAN
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD),
merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang
lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli,
edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan. 1
Respiratory Distress Sydnrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua
kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. RDS pada bayi prematur
bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir.
Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu,
5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur. Insiden pada bayi
prematur kulit putih lebih tinggi dari pada kulit hitam dan lebih sering terjadi pada bayi laki-laki
dari pada perempuan. Selain itu kenaikan frekuansi juga sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu
yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita penyakit
diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio sesarea serta perdarahan antepartum. 2
Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran, karena
pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangikonsentrasi oksigen
yang tinggi. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit
pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan. 2

BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama
: By. SW
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 0 Hari
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 1 September 2016
Alamat
: Jl. Tipar cakung, kp baru RT 003/RW 005, Cakung Barat, Jakarta
IDENTITAS ORANG TUA/ WALI
Ayah:
Nama

Ibu :
Nama

: Tn. I

Alamat

: Jl. Tipar cakung , kp baru RT Alamat

: Jl. Tipar cakung , kp baru RT

003/RW 005, Cakung Barat,

003/RW

: Ny. TS
005,

Cakung

Barat,

Jakarta
Jakarta
Pekerjaan
: Wiraswasta
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Penghasilan : Rp 2.000.000/bulan
Penghasilan : Pendidikan
: SMA
Pendidikan
: SMP
Suku Bangsa : Betawi
Suku Bangsa : Betawi
Agama
: Islam
Agama
: Islam
Hubungan dengan orang tua: Pasien merupakan anak kandung.
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua kandung pasien
Lokasi
: Ruangan Perinatologi
Tanggal masuk
: 1 September 2016
Tanggal anamnesis : 6 September 2016
Keluhan utama

: Neonatus usia 10 menit dengan sesak.

A. Riwayat Penyakit Sekarang


Neonatus lahir pada tanggal 1 September 2015 pukul 16.20 WIB secara SC atas indikasi
PEB , Plasenta Previa Totalis dan letak lintang di RSUD Budhi Asih, dibawa ke perina dan
nilai APGAR 7/8. Keadaan setelah lahir bayi tidak merintih, tidak sianosis, tidak ada letargi,
tidak ada retraksi, tidak ada sesak, akral dingin , tidak ada muntah, telah dilakukan injeksi Neo
K dan pemberian salep mata, tidak terdapat sisa ketuban, tidak IMD, belum diberi ASI ataupun

susu formula, ada BAB dan BAK, tidak ada muntah, tidak ada kembung, tidak ada kulit
kuning, tidak ada kejang.
Keadaan 10 menit setelah lahir, neonatus tampak sesak disertai suara merintih , retraksi
ringan dan gerak kurang aktif. Sesak tidak disertai sainosis perifer ataupun sentral, namun
terlihat letargi.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Berikut merupakan tabel ringkasan riwayat penyakit yang diderita oleh OS:
Penyakit
Alergi
Cacingan
DBD
Demam

Umur
(-)
(-)
(-)

Penyakit
Difteria
Diare
Kejang

Umur
(-)
(-)
(-)

Penyakit
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
Radang paru/ TBC

Umur
(-)
(-)
(-)

(-)
Morbili
(-)
Penyakit darah
(-)
tifoid
Parotitis
(-)
Operasi
(-)
Lain-lain:
(-)
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita : OS tidak pernah menderita suatu
penyakit sebelumnya.
C. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal

Tidak ada
Ibu G3P2AO , Rutin di bidan. Usia kehamilan 07 bulan: 1x/bulan, 8 bulan: 2x/bulan, 9 bulan:
1x/minggu. USG 1 kali di SpOG saat usia
kehamilan 7 bulan, dikatakan kondisi janin baik
namun plasenta letak rendah. Taksiran maturitas

KEHAMILAN

35-36 minggu. Riwayat demam ada namun tidak


diobati. Riwayat diabetes mellitus tidak ada.
Riwayat hipertensi tidak terkontrol selama hamil.
Tidak terdapat riwayat keputihan selama hamil.
KELAHIRAN

Tempat persalinan
Penolong persalinan

Tidak mengkonsumsi rokok, jamu, alkohol (-)


Rumah sakit
Dokter
Sectio caesaria a/I PEB , PPT dan Letak lintang

Cara persalinan

dengan plasenta lengkap, air ketuban jernih.

Masa gestasi
Keadaan bayi

Kurang Bulan (35 minggu)


Berat lahir : 2099 gram

Panjang lahir : 46 cm
Lingkar kepala : 31,5 cm
Lingkar dada : 30 cm
Langsung menangis lemah (+)
Pucat (-)
Nilai APGAR : 7/8
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ kelahiran : Neonatus Kurang Bulan, Kecil Masa Kehamilan.
D. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : Belum
Gangguan perkembangan mental : Tidak diperiksa.
Psikomotor :
Tengkurap
: Tidak diperiksa.
Duduk
: Tidak diperiksa.
Berdiri
: Tidak diperiksa.
Berjalan
: Tidak diperiksa.
Bicara
: Tidak diperiksa.

(Normal: 3-4 bulan)


(Normal: 6-9 bulan)
(Normal: 9-12 bulan)
(Normal: 13 bulan)
(Normal: 9-12 bulan)

Perkembangan Pubertas :
Rambut pubis : Tidak diperiksa.
Payudara : Tidak diperiksa.
Menarche : Tidak diperiksa.
Kesimpulan riwayat perkembangan : Tidak diperiksa karena belum berkembang.
E. Riwayat Makanan
Umur (Hari)

ASI/PASI

Buah / Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

07
Kesulitan makan : Belum ada asupan makanan.
Kesimpulan riwayat makanan : Belum ada asupan makanan.

F. Riwayat Imunisasi
Vaksin
BCG
DPT / PT

Polio

0 bulan

Campak
Hepatitis B

0 bulan

Dasar ( umur )
-

Ulangan ( umur )
-

Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar belum dilakukan


G. Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi

No
1.
2.
3.

Umur

Jenis

7 tahun
5 tahun
0 hari

kelamin
Laki-laki
Perempuan
Perempuan

Hidup

Lahir

+
+
+

mati
-

Abortus

Mati

Keterangan

(sebab)
-

kesehatan
sehat
sehat
pasien

H. Riwayat Pernikahan
Nama
Perkawinan keUmur saat menikah
Pendidikan terakhir
Agama
Suku bangsa
Keadaan kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit, bila ada

Ayah / Wali
Tn. I
1
27 tahun
SMA
Islam
Betawi
Sehat
-

Ibu / Wali
Ny. TS
1
22 tahun
SMP
Islam
Betawi
Sehat
Hipertensi

I. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit keluarga, Anggota keluarga pasien dalam keadaan sehat, tidak memiliki
riwayat penyakit apapun.
Riwayat anggota keluarga lain yang serumah: Anggota keluarga pasien yang tinggal satu
rumah tidak memiliki riwayat penyakit yang sama dengan pasien.
J. Riwayat Lingkungan Perumahan
Perumahan
: milik sendiri
Keadaan rumah : antara rumah satu dengan rumah lainnya saling berdekatan, terdapat jendelan
di depan rumah dan setiap kamar yang setiap pagi selalu dibuka, pencahayaan cukup baik, air
yang digunakan dari air PAM. Di dalam satu rumah, ada 3 orang yang tinggal didalamnya.
Daerah/lingkungan : cukup padat penduduk, sampah dibuang didepan rumah, lingkungan di
sekitar rumah bersih, tidak ada sampah berserakan di lingkungan tempat tinggal OS.
Kesimpulan keadaan lingkungan : lingkungan tempat pasien tinggal memiliki sirkulasi udara
yang cukup, pencahayaan baik, dan lingkungan yang kebersihannya cukup terjaga.

II. PEMERIKSAAN FISIK ( Tanggal 1 September 2016)


A. Status Generalis
Keadaan Umum :
Kesan Sakit
Kesadaran
Keadaan lain
Data Antropometri :

: Tampak sakit sedang


: Letargi.
: Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), akral dingin (-)

Berat badan
: 2099 gr
Panjang Badan
: 43 cm
Lingkar Kepala
: 31,5 cm
Lingkar Dada
: 30 cm
Lingkar Lengan Atas : 12 cm
Tanda Vital
:
Tekanan darah : Nadi
: 172 x/menit,regular
Napas
: 76 x/menit
Suhu
: 36.8C (aksila)

Ballad Score :

Maturitas Neuromuscular score : 14


Maturitas Fisik Score : 14
Berdasarkan total ballad skor 28, taksiran maturitas 34-36 minggu.

10

Grafik Lubchenko :

Berdasarkan grafik diatas disimpulkan neonatus kurang bulan dan kecil masa kehamilan.

11

Down Score :
Pemeriksaan

Skor
0

Frekuensi nafas

< 60 x/menit

60-80 x/menit

80 x/menit

Retraksi

(-)

Retraksi ringan

Retraksi berat

Sianosis

(-)

Sianosis

hilang Sianosis menetap

dengan 02
Pada

Air entry

Udara masuk

Penurunan ringan Tidak ada udara


udara masuk

Merintih

(-)

walau dengan 02

Dapat

masuk

didengar Dapat didengar

dengan stetoskop

tanpa alat bantu

pemeriksaan didapatkan total skor 4.


Kepala

: fontanella datar, sutura normal, dismorfik (-)

Rambut
: Warna hitam, tersebar merata
Mata
:
Visus
: Tidak dilakukan
Ptosis
: -/Sklera ikterik
: -/Lagofthalmus : -/Konjungtiva anemis : -/Cekung
: -/Exophthalmus
: -/Kornea jernih : +/+
Strabismus
: -/Lensa jernih : +/+
Nistagmus
: -/Pupil
: Bulat, isokor
Refleks cahaya
: Langsung +/+ , tidak langsung +/+
Edema palpebra
: -/Telinga
:
Bentuk
: Normotia, terbentuk sempurna
Low set ears
: -/Liang telinga
: Normal
Serumen
: +/+
Cairan
: -/Hidung
:
Bentuk
: Simetris
Napas cuping hidung
: +/+
Sekret
: -/Deviasi septum
:Mukosa hiperemis
: -/Konka eutrofi
: -/Bibir
: Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-), simetris.
Mulut
: Langit-langit tidak ada kelaianan.
Lidah
: Normoglossia.

12

Tenggorokan : Tidak ada kelainan palatum, mukosa faring hiperemis (-).


Leher
: Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak massa/ benjolan, tidak tampak
deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening,
Thoraks
: Bentuk thoraks simetris saat statis maupun dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (+), retraksi subcostal (-), tipe pernapasan
thorako-abdominal
Paru
:

Inspeksi : simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi interkosta (+)


Palpasi : pergerakan dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi.
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : tidak tampak ictus cordis


Auskultasi : bunyi jantung I II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
:
Inspeksi : bulat dan bergerak bersamaan, tali pusat tak ada kelainan.
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Lembut.
Perkusi : Tidak dilakuakan.
Genitalia
: Tidak ditemukan kelainan pada genitalia eksterna.
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler
: Tidak teraba membesar
Postaurikuler
: Tidak teraba membesar
Submandibula
: Tidak teraba membesar
Supraklavikula
: Tidak teraba membesar
Aksila
: Tidak teraba membesar
Inguinal
: Tidak teraba membesar
Ekstremitas : Jumlah jari pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah dalam batas normal,
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah tidak teraba dingin dan tidak sianosis, kuku dan jaringan
dibawah kuku baik ekstremitas atas maupun bawah tidak tampak pucat, capillary refill time (CRT)
kurang dari 2 detik, edema (-/-),
Punggung
: Tulang belakang bentuk normal dan tidak tampak deviasi
Kulit
: Warna kulit tampak kemerahan, turgor kulit baik, tidak ikterik, lanugo
PEMERIKSAAN NEUROLOGIS
Refleks primitif :
Refleks Moro

:+

13

Refleks Rooting

:+

Refleks Sucking

:+

Refleks Palmar Grasping : +


Refleks Plantar

:+

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tanggal 2 September 2016 :
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Leukosit
Eritrosit
Hb
Trombosit
Hematokrit
Kimia Darah
Analisis Gas Darah
pH
pCO2
pO2
Bikarbonat ( HCO3)
Total CO2
Saturasi O2
Kelebihan Basa (BE)
Metabolisme Karbohidrat
GDS

Hasil

Nilai Normal

17.8 ribu/uL
4.0 Juta/uL
14,4 g/dL
251 ribu/uL
45 %

9,3-34 ribu/uL
4,3 6,3 Juta/uL
15,2-23,5 g/dL

7.45
10 mmHg
189 mmHg
7
7
98%
-12,6 mEq/L

7.35-7.45

95-100%
-2,5 -2,5 mEq/L

79 mg/dl

40-69 mg/dl

IV. RESUME
OS By SW, perempuan, usia 0 hari, lahir di RSUD Budhi Asih melalui SC atas indikasi
PEB, Plasenta Previa Totalis dan letak lintang di RSUD Budhi Asih, dibawa ke perina dan nilai
APGAR 7/8. Keadaan 10 menit setelah lahir, neonatus tampak sesak disertai suara merintih ,
retraksi ringan dan gerak kurang aktif. Sesak tidak disertai sainosis perifer ataupun sentral,
namun terlihat letargi.
Riwayat masalah dalam kehamilan berupa PEB dan Plasenta Previa Totalis. Tidak ada
riwayat masalah saat persalinan. Ibu OS tidak memiliki riwayat DM namun memiliki riwayat
hipertensi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bayi tampak letargi, tanda-tanda vital takikardi dan
takipnea. Pemeriksaan antropometri didapatkan berat bayi lahir rendah, ballad score

14

didapatkan bayi kurang bulan dengan kecil masa kehamilan dan down score didapatkan sesak
nafas sedang. Pemeriksaan generalis didapatkan nafas cuping hidung dan retraksi intercostal.
Pada pemeriksaan penunjang berupa hematologi dan analisa gas darah dalam batas normal.
Pada pemeriksaan GDS meningkat sedikit.

15

V. DIAGNOSIS BANDING
Respiratory Distress Syndrom
Transient Tachypnea of The Newborn
Pneumonia Neonatal
VI. DIAGNOSIS KERJA
Respiratory Distress Syndrom
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan Foto thoraks
- Pemeriksaan Bilirubin total, bilirubin direk dan indirek
- Pemeriksaan GDS.
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam

: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam

FOLLOW UP
Tanggal

1/9/16

sesak (+),

CM, TSS

RDS

demam (-),

S:36.6OC HR:172x/m RR: 76

gerak aktif

x/m

berkurang,

-Mata: CA -/-, SI -/-

menangis

-Hidung : NCH +/+, sekret -

jarang

- Mulut: sianosis -, kering - ,

Nasal kanul 1 l/m


Observasi 4-6
jam jika score
down > 4
gunakan CPAP.
IVFD D10%
(70cc/kgbb/jam)
Inj cefotaxime 2
x 135 mg
Inj. Gentamicin
13,5 mg/36 jam

- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh


-/-; retraksi intercosta +/+,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.
- Abdomen: supel, BU+
- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (-), sianosis (-)
Tanggal

16

2/9/16

sesak

CM, TSS

berkurang,

S:37OC HR:152x/m RR: 66 x/m

demam (-),

-Mata: CA -/-, SI -/-

gerak aktif

-Hidung : NCH -/-, sekret -

berkurang,

- Mulut: sianosis -, kering - ,

menangis

- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh

lemah.

-/-; retraksi intercosta +/+,

RDS

Nasal kanul 1 l/m


IVFD D10%
(70cc/kgbb/jam)
Inj cefotaxime 2
x 135 mg
Inj. Gentamicin
13,5 mg/36 jam

A
RDS

P
O2 lowflow
IVFD D10%
(80cc/kgbb/jam)
Inj cefotaxime 2
x 135 mg
Inj. Gentamicin
13,5 mg/36 jam
Minum
10cc/kgbb

BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.


- Abdomen: supel, BU+
- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (-), sianosis (-)
Lab : Bilirubin total 2.10, GDS
Tanggal
3/9/16

S
sesak (-),

99
O
CM, TSS

demam (-), ,

S:36.6OC HR:158x/m RR: 48

gerak aktif,

x/m

menangis

-Mata: CA -/-, SI -/-

lemah.

-Hidung : NCH -/-, sekret - Mulut: sianosis -, kering - ,


- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh
-/-; retraksi intercosta -/-,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.
- Abdomen: supel, BU+
- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (-), sianosis (-)

Tanggal
4/9/16

S
sesak (-),

O
CM, TSS

demam (-),

S:37OC HR:158x/m RR: 58 x/m

ikterik(+),

-Mata: CA -/-, SI +/+

gerak aktif

-Hidung : NCH -/-, sekret -

berkurang,

- Mulut: sianosis -, kering - ,

A
RDS

P
Blue Light
Hiperbi therapy
IVFD D10%
lirubine
(80cc/kgbb/jam)
mia
Inj cefotaxime 2
x 135 mg

17

menangis kuat

Inj. Gentamicin
13,5 mg/36 jam
Minum
50cc/kgbb

- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh


-/-; retraksi intercosta -/-,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.
- Abdomen: supel, BU+
- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (+) Kramer 4,
sianosis (-)

Tanggal

Bilirubin total 13,70, GDS 101


O

5/9/16

sesak (-),

CM, TSS

demam (-),

S:37,3 HR:10x/m RR: 56 x/m

ikterik(+),

-Mata: CA -/-, SI +/+

gerak aktif,

-Hidung : NCH +/+, sekret -

menangis kuat.

- Mulut: sianosis -, kering - ,


- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh
-/-; retraksi intercosta -/-,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.

A
RDS

Blue Light
Hiperbi therapy
IVFD D10%
lirubine
(90cc/kgbb/jam)
mia
Inj cefotaxime 2
x 135 mg
Inj. Gentamicin
13,5 mg/36 jam
Minum
50cc/kgbb

- Abdomen: supel, BU+


- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (+) Kramer 2 ,
sianosis (-)
Tanggal
6/9/16

S
sesak (-),
demam (-),
ikterik(),
gerak aktif,
menangis kuat

O
CM, TSS

A
RDS

P
Blue Light
S:37OC HR:152x/m RR: 66 x/m Hiperbi therapy stop
Inj cefotaxime 2
-Mata: CA -/-, SI -/lirubin
x 135 mg
-Hidung : NCH -/-, sekret Inj. Gentamicin
- Mulut: sianosis -, kering - ,
13,5 mg/36 jam
Minum
- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh
100cc/kgbb
-/-; retraksi intercosta -/-,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.
- Abdomen: supel, BU+

18

- Ekst : AH +/+, CRF < 2


- Kulit: ikterik (+) kramer 1,
sianosis (-)
Bilirubin total 9,70
Tanggal
7/9/16

S
sesak (-),

O
CM, TSS

A
RDS

demam (-),

S:36,7OC HR:166x/m RR: 58

ikterik(-),

x/m

gerak aktif,

-Mata: CA -/-, SI -/-

Hiperbi Aff infus


Minum
lirubin
100cc/kgbb
BLPL

menangis kuat

-Hidung : NCH -/-, sekret - Mulut: sianosis -, kering - ,


- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh
-/-; retraksi intercosta -/-,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.
- Abdomen: supel, BU+
- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (-), sianosis (-)

19

Tanggal
8/9/16

S
sesak (-),

O
CM, TSS

A
RDS

demam (-),

S:36,6OC HR:152x/m RR: 56

Hiperbi

ikterik(-),

x/m

lirubin

gerak aktif,

-Mata: CA -/-, SI -/-

menangis kuat

-Hidung : NCH -/-, sekret -

P
ACC Pulang

- Mulut: sianosis -, kering - ,


- Thoraks: SNV +/+, Wh -/-. Rh
-/-; retraksi intercosta -/-,
BJ 1 dan 2 reg, m -, g-.
- Abdomen: supel, BU+
- Ekst : AH +/+, CRF < 2
- Kulit: ikterik (-), sianosis (-)

20

BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien bayi perempuan dengan Sindrom Distress Respirasi, Neonatus Kurang Bulan - Kecil
Masa Kehamilan. Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

Masalah
Anamnesis
Neonatus lahir SC atas indikasi PEB,

Bayi yang mengalami distress pernapasan

Plasenta Previa Totalis, dan letak

dapat disebabkan oleh faktor yang berasal

lintang. Berat badan lahir 2099 gr,

dari

Panjang badan lahir 46 cm.

ataupun

Keadaan setelah lahir bayi, tidak

intrapulmoner

merintih, tidak sianosis, tidak ada

Hyalin Membrane Disease, Transient

letargi, tidak ada retraksi, tidak ada

Tachypnea

sesak, akral dingin, tidak ada muntah,

Neonatal. Dari faktor ekstrapulmoner

tidak ada muntah, tidak ada kembung,

dapat disebabkan oleh adanya Penyakit

tidak ada kulit kuning, tidak ada

Jantung Bawaan, Perdarahan Intrakranial,

kejang. APGAR 7/8.

kelainan SSP. Dari faktor metabolik dapat

Keadaan

10

menit

setelah

lahir,

neonatus tampak sesak disertai suara


merintih, retraksi ringan, dan gerak
kurang aktif. Sesak tidak disertai
sianosis perifer ataupun sentral, namun
terlihat letargi.
-

Interpretasi

intrapulmoner,
metabolik.

of

dapat

ekstrapulmoner,
Dari

faktor

disebabkan

Newborn,

oleh

Pneumonia

disebabkan oleh hipoglikemia, hipotermi,


Electrolyte

Imbalance.

Distress

pernapasan yang terjadi pada kasus ini


dicurigai dari faktor intrapulmoner yaitu
HMD yang umumya terjadi pada bayi
kurang bulan, ditandai adanya kesukaran
bernafas,

(pernafasan cuping

Ibu riwayat hipertensi tidak terkontrol

grunting,

tipe

selama hamil (+)

takipnea, retraksi dada), letargi, gerak

pernapasan

hidung,

dispnea

kurang aktif yang terjadi beberapa saat


setelah bayi lahir. Terjadi pada bayi yang

21

lahir dari ibu yang menderita gangguan


perfusi darah uterus selama kehamilan,
Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)
Hasil laboratorium darah:
Hematologi
Leukosit

17.8 ribu/uL

Eritrosit

4.0 Juta/uL

Hb

14,4 g/dL

Trombosit

251 ribu/uL

Hematokrit 45 %

Pemeriksaan Fisik
Kimia Darah
- KU : kesan sakit sedang, letargi.
Analisis
Gas Darah: BBL 2099 gr, PBL 43
- Antropometri
pH cm.
7.45
- TV : Takikardi,
takipnea.
pCO
10 mmHg
2
- Nafas cuping hidung +, retraksi
pO2
189 mmHg
intercostal +, Ekstremitas hipotonus.
- Down skor
HCO3
7 4.
- Ballad score total 28.
Total
CO2 Lubchenko
7
- Grafik

misalnya ibu menderita penyakit diabetes,


Pada
hasil
laboratorium
didapatkan
hipertensi, hipotensi, seksio sesarea,
peningkatan GDS, kadar gula darah
perdarahan antepartum, kelahiran sebelum
meningkat dapat diakibatkan karena pasien
usia kehamilan 37 minggu, riwayat bayi
mendapatkan glukosa tambahan melalui
terdahulu mengalami RDS. Pada kasus ini
pembuluh darah karena lahir preterm, BBLR.
ibu pasien memiliki faktor resiko PEB,
lahir per SC ai/ PPT, Lahir Preterm.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pasien,
menunjukan adanya distress pernapasan
(letargi, takipnea, takikardi, nafas cuping
hidung

+,

Ekstremitas
kemungkinan

retraksi

intercostal

hipotonus)
besar

disebabkan

+,
yang
oleh

Hyalin Membran Disease. Down skor 4

Sat O2

98%

menunjukkan adanya Distress pernafasan

BE

-12,6 mEq/L

sedang. Dari penilaian ballad score dan

GDS

79 mg/dl

grafik lubchenko menunjukan neonatus


kurang bulan dan kecil masa kehamilan.

22

23

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Respiratory distress syndrome (RDS) atau Hyalin Membran Disease yaitu gawat napas yang
umumnya terjadi pada bayi kurang bulan yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir,
ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan dispnea /
takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif dalam 48 96 jam
pertama kehidupan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan
kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga
menghambat fungsi surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah. Edema
sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan kebocoran kapiler. Diagnosa
dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen. Pada pemeriksaan radiologis ditemukan pola
retikulogranuler yang uniform, gambaran ground glass appearance dan air bronchogram. Namun
gambaran ini bukan patognomonik RDS.1,2
2.2 Insidensi
Respiratory Distress Sydnrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Di US, RDS terjadi pada sekitar 40.000 bayi per tahun. Kurang lebih 30 % dari semua
kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya. RDS pada bayi prematur
bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir.
Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi 32-36 minggu,
5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi matur.1
Selain itu kenaikan frekuansi juga sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang
menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita penyakit
diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio sesarea serta perdarahan antepartum. Frekuensinya meningkat
pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari
1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan
riwayat bayi terdahulu mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein
surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan

24

pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress pada fetus seperti
ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital kronik.1,2
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih. Pada lakilaki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi surfaktan oleh sel
pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada pemberian steroid / thyrotropin releasing
hormon pada ibu.2
2.3 Etiologi dan Patofisiologi
2.3.1 Pembentukan Paru dan Surfaktan
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari
esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta
diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara
kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu
terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 34 minggu.2
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum
mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur
baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada
rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli selama ekspirasi.
Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap
infeksi.2
Komponen utama surfaktan adalah

Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80

%, phosphatidylglycerol 7 %, phosphatidylethanolamine 3 %, apoprotein (surfactant protein A,


B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi
fosfolipid dan penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan.,
fungsinya adalah memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di
alveolus, dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan.2

25

Gambar 1. Metabolisme surfaktan


Surfaktan disintesa dari prekursor di retikulum endoplasma dan dikirim ke aparatus Golgi
melalui badan multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar, yaitu
penyimpanan intrasel berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan
(eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi struktur
kompleks yang disebut mielin tubular. Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan
materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara

di alveolus, yang menurunkan tegangan

permukaan. Kemudian surfaktan dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe
II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil , melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom

dan

ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar untuk didaur ulang. Beberapa surfaktan
juga dibawa oleh makrofag alveolar . Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli
biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan
digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom
dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan
multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke
alveolus.2
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari
paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan
dan

absennya

phosphatydilglycerol,

phosphatydilinositol,

phosphatydilserin,

phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.

26

Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan
iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat
pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen
yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.2,3
2.3.2 Patofisiologi
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik
mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena
jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari
meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga
alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi
belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.2
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial
mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan
saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan
tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi.
Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi
prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur,
berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume
toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis.2
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil
dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli
memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia.
Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan
meningkatkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru
sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan
bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.2
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah
dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu
terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis

27

metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan
penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus
memperburuk hipoksemia.2
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi
vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah
paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada
rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. Berkurangnya functional residual capacity (FRC)
dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena
defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai
respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC
semakin berkurang.2

28

Pathway RDS2

2.4 Manifestasi Klinik


Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun biasanya baru
diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat dan dangkal (60x /menit).Bila
didapatkan onset takipnea yang terlambat harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien
membutuhkan resusitasi saat lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang
berat (bila berat badan lahir sangat rendah).2,3
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi interkostal dan subkostal, dan pernafasan
cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas
dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat

29

terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif
dari sianosis dan dyspnea.2,3
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi
peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya
penyakit.apnea dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya
intervensi segera.2,3
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria.
Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat
dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada
kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila
tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 33 minggu
kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil
(usia kehamilan 26 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.2
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar oksigen
lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari kedua sampai
ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax)
perdarahan paru atau intraventrikular.2
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary
displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (RDS berat).2
2.5 Diagnosis
2.5.1 Gejala klinis
Bayi kurang bulan (Dubowitz atau New Ballard Score) disertai adanya takipneu
(>60x/menit), retraksi kostal, sianosis yang menetap atau progresif setelah 48-72 jam pertama
kehidupan, hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru, ronki halus inspiratoir. Manifestasi
klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan Silverman Score.

30

Gambar 2. Silverman score


Score 10 = Severe respiratory distress
Score 7 = Impending respiratory failure
Score 0

= No respiratory distress

Tabel 1. Evaluasi gawat nafas pada neonatus dengan skor downes


Pemeriksaan

Skor
0

Frekuensi nafas

< 60 x/menit

60-80 x/menit

80 x/menit

Retraksi

(-)

Retraksi ringan

Retraksi berat

Sianosis

(-)

Sianosis

hilang Sianosis menetap

dengan 02
Air entry

Udara masuk

Penurunan ringan Tidak ada udara


udara masuk

Merintih

(-)

walau dengan 02

Dapat

masuk

didengar Dapat

dengan stetoskop

didengar

tanpa alat bantu

Total : 1-3 Sesak nafas ringan Headbox (oxyhood)

31

4-5 Sesak nafas sedang C-PAP


6 Sesak nafas berat ventilator
2.5.2 Gambaran Rontgen
Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan gambaran yang karakteristik,
tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular halus dari parenkim dan
gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah karena superimposisi dengan
bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal, gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12
hari.2,4
Gambaran rontgen RDS dapat dibagi menjadi 4 tingkat :4
Stage I

: bercak retikulogranuler dengan air bronchogram

Stage II

: bercak retikulogranuler menyeluruh dengan air brochogram

Stage III

: opasitas lebih jelas, dengan air bronchogram lebih jelas meluas ke cabang di
perifer; gambaran jantung menjadi kabur

Stage IV

: seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), tidak tampak air bronchogram,
jantung tidak terlihat, disebut juga white lung

Gambar 3. Rontgen RD
2.5.3 Laboratorium

32

Dari pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak
menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah
awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif,
hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.2 AsidosismetabolikyangterjadipadaHMD
dawalidenganasidosislaktatsebagaiakibatdarimenurunnyaperfusikejaringansehinggatubuh
menggunakanjaluranaerobuntukmetabolisme.HipoksiapadaHMDiniterjadidarishuntingright
totheleft melaluipembuluhdaripulmonal, patentductus artreriosus(PDA),danatau foramen
ovaletidakmenutupdansaturasioksigen yang tidak normal (PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2
kurang dari 60 mmHg, saturasi oksigen 92% 94%, pH 7,31 7,45)
2.5.4 Amniosentesis
Berbagai macam tes dapat dilakukan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya RDS,
antara lain mengukur konsentrasi lesitin dari cairan amnion dengan melakukan amniosentesis
(pemeriksaan antenatal). Rasio lesitin-spingomielin normal adalah 2:1.2,6
Paru - paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan
amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara
menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.2,6
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test
yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain.
Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non
spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L / S untuk kehamilan normal adalah
<0.5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap. Rasio L / S = 2 dicapai pada usia
gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal HMD sangat tidak mungkin
terjadi bila rasio L / S >2.8 Dengan rasio 1.5 - 1.9, ada kemungkinan bahwa 50% bayi dapat
berlanjut ke HMD. <1.5 resiko meningkat sampai 73%. Adanya mekonium dapat mempengaruhi
hasil interpretasi dari tes ini.
2.6 Diagnosis Banding
2.6.1 Pneumonia neonatal
Pneumonia neonatal disebabkan infeksi intrauterin atau selama persalinan, umumnya
infeksi bakterialis. Pada bayi prematur, infeksi E. coli merupakan penyebab yang biasa ditemukan.
Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan RDS.

33

Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan RDS, namun
ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy coat. Tes urin
untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.1,4

Gambar 4. Rontgen pneumonia AP


2.6.2 Transient Tachypnea of The Newborn
Takipnea transien dari bayi yang baru lahir adalah penyebab paling umum dari gangguan
pernapasan neonatal, yang merupakan lebih dari 40 persen kasus. Terjadi ketika cairan paru residual
tetap dalam jaringan paru-paru janin setelah melahirkan. Biasanya pada bayi cukup bulan atau
sedikit prematur, lahir dengan operasi caesar, precipitous labour. Anak mengalami distres
pernapasan ringan segera setelah lahir yang membaik dalam beberapa jam kemudian, umumnya
kurang dari 24 jam. Bila tidak segera membaik pikirkan kemungkinan neonatal pneumonia.
Hiperaerasi adalah ciri khas TTN (kebalikan dari RDS hipoaerasi). Densitas retikulogranular
bilateral akan hilang bilang diberi ventilasi, sementara pada RDS gambaran opak menetap minimal
3 4 hari.1,4

34

Gambar 5. Rontgen dada TTN


2.6.3 Sindroma aspirasi mekonium
Sindrom Aspirasi Mekonium merupakan penyebab terbanyak distres pernapasan pada bayi
cukup atau lebih bulan. Mekonium yang masuk ke dalam saluran napas menyebabkan terjadinya
obstruksi bronkial, air-trapping (akibat partikel mekonium menyumbat bronkus kecil di perifer) dan
pneumonitis kimiawi. Dapat terjadi komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum, hipertensi
pulmonal, pirau kanan ke kiri serta kerusakan otak akibat anoksia. Terlihat adanya air trapping,
gambaran opak noduler kasar difus, serta area emfisema fokal. Berbeda dengan gambaran opak
granuler halus pada RDS. Paru-paru biasanya hiperaerasi.1,4

Gambar 6. Sindrom aspirasi mekonium

35

Tabel 2. Perbedaan TN, RDS, MAS

2.6.4 Lain-lain
Penyakit jantung sianotik (anomali total aliran balik vena pulmonal), sirkulasi fetal yang
persisten, sindroma aspirasi, pneumotorax spontan, efusi pleura, eventrasi diafragma, dan hernia
diafragma, atau emfisema lobaris harus dipertimbangkan, dan untuk membedakannya diperlukan
gambaran rontgen.1,5
Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul
sebagai respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan. Perdarahan paru,
sepsis. Hal-hal yang dapat menimbulkan edema paru seperti PDA, obstruction of pulmonary
venous drainage, hypoplastic left heart syndrome, dan edema pulmo neurogenik, sekunder dari
perdarahan intracranial.1,5

36

Hal-hal yang diasosiasikan dengan hipoaerasi paru seperti sedasi ibu, hipoksemia berat,
hipotermia, kerusakan CNS. Keadan ini tidak menimbulkan gambaran opak granular bilateral pada
rontgen thoraks (berbeda dengan RDS).1,5
2.7 Pencegahan
2.7.1 Mencegah kelahiran prematur
Yang terpenting adalah mencegah prematuritas, seperti menghindari operasi caesar yang
tidak perlu, penganan yang baik dari kehamilan dan persalinan yang berisiko tinggi, prediksi dan
terapi intra uterin dari imaturitas paru-paru.
Menurut Goldenberg, hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya kelahiran prematur
adalah, ibu yang merokok, abnormalitas ductus Mulerian, ibu yang bekerja terlalu keras selama
kehamilan. Pemberian preparat Fe mencegah ibu mengalami anemia, hal ini ternyata dapat
mengurangi angka kelahiran prematur. Pada 10 % wanita hamil yang menjalani apus vagina pada
kehamilan 24 27 minggu, ditemukan fibronektin yang merupakan penanda terjadinya infeksi.
Infeksi dapat menimbulkan kelahiran yang prematur, oleh karena itu sedang dilakukan penelitian
apakah aman bila ibu hamil dengan infeksi diberikan terapi metronidazol.5
Pada saat menentukan waktu untuk induksi persalinan atau operasi caesar, perkiraan lingkar
kepala fetus dengan USG dan penentuan konsentrasi lecithin pada cairan amnion dengan rasio
lecithin : sphingomyelin, menurunkan kemungkinan lahirnya bayi prematur. Pemantauan intrauterin
antenatal dan intrapartum menurunkan kemungkinan terjadinya asfiksia, yang dikaitkan dengan
meningkatnya insidensi dan beratnya RDS.
2.7.2 Membantu pematangan paru
Menurut Gulck dan Kulovich (1973), cairan paru-paru fetus merupakan bagian yang
penting dari cairan amnion. Insidensi RDS hanya 0,5 % bila rasio lecithin : sphingomyelin > 2.
Clements et al (1972) menentukan ada tidaknya surfaktan pada cairan amnion dengan melakukan
tes kocok. Dasar dari tes ini adalah sifat surfaktan yang membentuk buih yang stabil bila ada
ethanol. Sejumlah cairan amnion diencerkan berseri dengan ethanol 95 %. Masing-masing dikocok
15 detik, diamkan 15 menit. Adanya cincin buih yang tidak terputus pada meniskus pada tiga
tabung pertama atau lebih berarti positif (paru-paru matur).5
Untuk mengetahui maturitas paru, dapat juga dilakukan pemeriksaan ada tidaknya
phosphatydilglycerol dari cairan amnion. Phosphatydilglycerol muncul di cairan amnion pada usia
kehamilan 36 minggu. Keberadaannya menunjukan kematangan paru.

37

Tabel 3. Biochemical assays untuk kematangan paru


Matur
Lecithin/sphingomyelin
2.7.2.1 Kortikost Konsentrasi L total
dexamethasone

>2
> 2,5 mg/100 ml

eroid

Konsentrasi L disaturasi

> 35 nM/ml

Pemberian

Phosphatydilglycerol

Present

atau betamethasone

pada ibu hamil 48 Pellet pada 10.000xgr


>3%
melahirkan fetus % dari phospholipids > 10 nM/ml
kehamilan atau
total

72 hari sebeum

insidensi,

mortalitas

Determinasi enzimatik

morbiditas RDS.
diberikan secara
wanita

hamil

pada

cairan

menunjukan
paru,

dan

bagi

Konsentrasi as. Palmitat

> 0,072 nM/L

As. palmitat/as. Stearat

> 5,0

Konsentrasi PL total

> 2,8 mg / 100 ml

PL phosphorus total

> 0,140 mg / 100 ml

PAPase

> 0,50

akan melahirkan Surfaktan dengan


atau persalinan apoprotein tinggi

MW- > 30 % term pool

berusia 32 minggu
kurang menurunkan
dan

Corticosteroid dapat
intramuskular pada
yang kadar lecithin
amnionnya
imaturitas
yang

paru-

direncanakan

1 minggu kemudian,
akan ditunda 48 jam

atau lebih.
Steroid berikatan dengan reseptor spesifik di sel paru-paru dan merangsang produksi
phosphatydilcholine oleh sel tipe II. Proses ini membutuhkan waktu, karena itulah efektifitas
steroid berkurang bila diberikan kurang dari 24 jam sebelum melahirkan. Efektifitasnya juga
berkurang bila diberikan pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, dan efeknya hilang pada 7 -10
hari setelah pemberian. Keuntungan terbesar didapatkan bila interval pemberian dengan kelahiran
lebih dari 48 jam namun kurang dari 7 hari. Pemberian steroid tidak mempengaruhi insidensi
penyakit paru kronis namun menurunkan kejadian perdarahan intracranial sehingga menurunkan
insidensi cerebral palsy di kemudian hari.2,5
Semua wanita dengan usia kehamilan 23 34 minggu yang diperkirakan beresiko akan
melahirkan dalam 7 hari, diberikan kortikosteroid. Dapat diberikan bethametasone 12 mg IM
diulang setelah 24 jam (total dosis 24 mg selama 24 48 jam diperbolehkan). Dapat juga diberikan
dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam untuk 4 dosis. Terapi tidak disarankan untuk diulang dalam
jangka waktu 7 hari. Kontraindikasi pemberian steroid adalah ibu dengan tirotoksikosis,

38

kardiomiopati, infeksi aktif atau chorioamnionitis. Diabetes, preeklamsi, preterm prelabour rupture
of the membran, dan chorioamnionitis dalam terapi bukan merupakan kontraindikasi pemberian
steroid.2,5
Terapi glukokortikoid prenatal menurunkan deratnya RDS dan menurunkan insidensi
komplikasi

prematuritas

yang

lain

seperti

perdarahan

intraventrikular, patent

ductus

arteriosus (PDA), pneumothorax, dan enterokolitis nekrotikan, tanpa mempengaruhi pertumbuhan


dan perkembangan neonatus, mekanisme atau pertumbuhan paru, ataupun insidensi infeksi.
Glukokortikoid prenatal dapat beraksi sinergis dengan terapi surfaktan eksogen posnatal.2,5
2.7.2.2 Lain-lain
Bahanbahan

lain

yang

dapat

mempercepat

pematangan

paru

adalah

hormon

tiroid, epidermal growth factor, dan cyclic adenosine monophosphate. Bahan bahan tersebut
dapat memacu sintesa surfaktan, namun penggunaannya sangat jarang.5
2.8 Terapi
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru,
asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya RDS akan
berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia. Kebanyakan kasus RDS bersifat self-limiting, jadi tujuan terapi adalah
untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan
sebaiknya dilakukan di NICU. 2,5
2.8.1 Resusitasi di tempat melahirkan
Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah perinatal
asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia dengan
menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada batas
minimum.2,6
Pemberian obat selama resusitasi :2,6
Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 ml/kg larutan 1 : 10.000) bila bradikardi persisten setelah
ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea atau intravena,
1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga dapat diberikan sebesar
100 microgram/kg bila situasi sangat buruk.

39

Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20 mmol
(larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi 0,5 mEq/ml.
Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.
Volume expander 10 ml/kg
Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.
2.8.2 Surfaktan Eksogen
Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang membutuhkan
oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka bertahan
hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari paru sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan
insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang segera muncul meliputi
perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen alveoli arteri dalam 4872 jam pertama kehidupan,
menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance paru, dan memperbaiki gambaran
rontgen dada. Pemberian surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh
terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat
peningkatan insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %.6
Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam
kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif
dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan eksogen sebagai
terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai angka bertahan
hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan
saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama kehidupan, melalui
ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis atau lebih memberikan hasil lebih baik
dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri.6
Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang adalah
Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta, ekstrak dari paruparu sapi dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam palmitat, dan trigliserid),
diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-B dan SP-C dengan proporsi
yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A dan SP-D tidak ditemukan.
Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan gabungan phospholipid
dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol, diberikan 5 ml/kg.
Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara alveolus. ALEC

40

(artificial lung expanding compound) merupakan gabungan DPPC and phosphatidylglycerol


dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang sedang diteliti adalah Infasurf
(alami).6
Tipe
Survanta
Surfactant TA
Alveofact

Tabel 4. Macam-macam surfaktan


Asal
Komposisi
Dosis
Keterangan
DPPC,
4
mL
(100
Bovine
lung
tripalmitin
mg)/kg,
refrigerate
mince
SP (B<0.5%,> 1-4 doses q6h
Federal
Bovine
lung99% PL, 1% SP45 mg/mL
Republic of
lavage
B and SP-C
Germany

bLES (bovine
Bovine
lipid
extract
lavage
surfaktan)
Infasurf

lung75% PC and 1%
SP-B and SP-C

Canadian

DPPC,
3
mL
(105
tripalmitin,
mg)/kg,
6 mL vials,
Calf lung lavage
SP (B290 g/mL,1-4 doses, q6-refrigerate
C360 g/mL)
12h

Calf
lung
surfactant
Sama seperti Infasurf
extract (CLSE)
2.5 mL (200
DPPC,
mg)/kg
Curosurf
Minced pig lung SP-B and SP-C
1.5 and 3 mL
1.25 mL (100
(?amount)
mg)/kg
85% DPPC, 9%5
mL
(67.5
Lyophilized;
Exosurf
Synthetic
hexadecanol,
mg)/kg,
dissolve in 8 Ml
6% tyloxapol
1-4 doses, q12h
DPPC, synthetic
Surfaxan (KL4) Synthetic
peptide
70%
DPPC,
Possibly
ALEC
Synthetic
30% unsaturated
discontinued
PG
Studi yang membandingkan antara surfaktan natural dan sintetik menunjukan bahwa
oksigenasi arteri lebih cepat pulih (onset of action surfaktan natural lebih cepat dari surfaktan

41

sintetik) dan komplikasi kebocoran udara lebih jarang terjadi pada bayi yang diterapi dengan
surfaktan natural.5
Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan hipotensi, blok ETT, dan
perdarahan paru. Perdarahan paru terjadi akibat menurunnya resistensi pambuluh darah paru
setelah pemberian surfaktan, yang menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus.5
2.8.3 Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah
Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 70 mmHg
dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal, sementara
meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat dipertahankan di atas 50
mmHg

saat

inspirasi

oksigen

dengan

konsentrasi

70%,

merupakan

indikasi

menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP).2


Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula
darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri
umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau
oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi informasi
berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti pneumotoraks,
juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi endotrakhea, suction,
dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 80 mmHg, dan Sa O2 antara 90 94 %.
Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan faktor resiko retinopathy of
prematurity (ROP).2
Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen
setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta atau
di atas aksis celiaca (T6 T10). Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter harus
diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2 stabil
dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %.2,5
Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah bagian
yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal hal tersebut harus
dilakukan. Darah diambil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan kontra
indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu dipantau dari
elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah kapiler tidak
berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk memantau PCO2 dan pH.2,5

42

2.8.4 Fluid and Nutrition


Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa
10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan
elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus(PDA). Pemberian nutrisi oral
dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah pilihan
terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapat menurunkan insidensi NEC.2
2.8.5 Ventilasi
2.8.5.1 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity (FRC)
melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama
ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 < 50%. Pemakaian secara
nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi
mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr
atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari
pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP hanya bisa
diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai analisa gas darah yang
memuaskan.5
CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan
tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan
yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat
dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat
dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan.5
2.8.5.2 Ventilasi Mekanik
Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea persisten
membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain :5
1 Analisa gas darah menunjukan hasil buruk
pH darah arteri < 7,25
pCO2 arteri > 60 mmHg

43

pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 100 %


2 Kolaps cardiorespirasi
3 apnea persisten dan bradikardi
Memilih ventilator mekanik
Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator konvensional
atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit).5
Ventilator konvensional dapat berupa tipe volume atau tekanan, dan dapat
diklasifikasikan lebih lanjut dengan dasar cycling mode biasanya siklus inspirasi diterminasi.
Pada modus pressure limited time cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan selama
inspirasi udara dihantarkan untuk mencapai tekanan yang ditargetkan. Setelah target tercapai,
volume gas yang tersisa dilepaskan ke atmosfer.Hasilnya, penghantaran volume tidal setiap kali
nafas bervariabel meski tekanan puncak yang dicatat konstan. Pada modus volume limited, preset volume dihantarkan oleh setiap nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa
ventilator menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi berakhir
bila aliran telah mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow ventilators). Ada juga ventilator
yang mampu menggunakan baik volume atau pressure controlled ventilationbergantung pada
keinginan operator.5
Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high frequency oscillatory
ventilators (HFOV). Terdapat piston pump atau vibrating diaphragmyang beroperasi pada frekuensi
sekitar that 10 Hz (1 Hz = 1 cycle per second, 60cycles per minute). Selama HFOV, baik inspirasi
maupun ekspirasi sama-sama aktif. Tekanan oscillator pada jalan udara memproduksi volume tidal
sekitar 2-3 ml dengan tekanan rata-rata jalan udara dipertahankan konstan, mempertahankan
volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan level sangat tinggi. Volume gas yang
dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan jalan udara oscillator (P).
Ventilator konvensional
Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi dan
perfusi (V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi merupakan factor
tambahan. Oksigenasi terkait langsung pada FiO2 dan tekanan rata-rata jalan udara (mean airway
pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan dengan perubahan tekanan puncak inspirasi (peak
inspiratory pressure - PIP), positive end expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio
inspirasi : ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap

44

konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan, meski oksigenasi
adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah jantung. Pembuangan CO2
berbanding lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh produk volume tidal (dikurangi
ventilasi ruang mati) dan kecepatan pernafasan. Untuk minute ventilation yang sama, perubahan
penghantaran volume tidal lebih efektif untuk merubah eliminasi CO2 dibanding perubahan
kecepatan pernafasan karena ventilasi ruang mati tetap konstan.5
a. Peak Inspiratory Pressure (PIP)
Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan CO2 dengan
efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP menurunkan PaCO2 dan
memperbaiki oksigenasi (PaO2 meningkat). Pemakainan PIP ditentukan oleh compliance system
pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan
ventilasi adekuat berdasarkan pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara nafas) dan analisa gas
darah. PIP berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan
resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara.5
b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP)
PEEP yang adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan mempertahankan volume paru saat
akhir respirasi, memperbaiki keseimbangan V/Q. Peningkatan PEEP memperbesar MAP dan
memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih (> 8 cm H2O) menginduksi hiperkarbia dan
memperburuk compliance paru dan mengurangi hantaran volume tidal karena alveoli terisi
berlebihan P = PIP - PEEP). PEEP berlebih juga dapat menimbulkan efek sampping pada
hemodinamik karena paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan penurunan venous return,
yang kemudian menurunkan curah jantung. Tekanan 3 6 cm H2O memperbaiki oksigenasi pada
bayi baru lahir dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-paru, eliminasi CO2 atau stabilitas
hemodinamik.5
c. Frekuensi
Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi rendah dimulai
pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60 bpm dan dapat ditingkatkan
hingga 120 bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari ventilator. Waktu ekspirasi harus lebih panjang
dari inspirasi untuk mencegah alveoli mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi harus dibatasi
maksimum 0,5 detik selama ventilasi mekanik kecuali dalam keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi
terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin karena frekuensi ini sesuai dengan usaha nafas

45

bayi. Waktu inspirasi memanjang akan meningkatkan MAP dan memperbaiki oksigenasi, dan
merupakan alternative dari peningkatan PIP. Namun hal ini merupakan predisposisi dari distensi
berlebihan pada paru serta air trapping karena waktu ekspirasi berkurang.5
d. Kecepatan Aliran
Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal : 0.2 1 L / menit)
cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 10 L / menit. Bila digunakan frekuensi nafas
lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek, kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan
untuk menjamin penghantaran volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi
karena efeknya pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar
5 L / menit.5
Kegagalan surfaktan
Bila oksigenasi arteri tetap rendah setelah pemberian 2 dosis surfaktan, bayi dikatakan tidak
berespon terhadap surfaktan. Penyebabnya antara lain sepsis, hipertensi pulmonal, pneumotoraks,
atau pulmonary interstitial emphysema (PIE). Segera naikan FiO2 hingga 90%, kemudian naikan
PIP and PEEP sambil mengobservasi pergerakan dada. Lakukan roentgen thoraks. Usahakan
menjaga waktu inspirasi agar terjadi sinkronisasi. Bila tetap asinkron setelah pemberian sedasi dan
analgesi lakukan paralysis (pankuronium bromide IV 0,04 0,1 mg/kg). Waktu inspirasi dapat
diperpanjang >0,5 detik, dengan frekuensi ventilator diturunkan hingga 30-60 nafas /
menit. Beberapa bayi berespon terhadap HFOV.5
Aktivitas pernafasan bayi
Bernafas tidak selaras dengan ventilator merupakan factor resiko dari beberapa komplikasi
seperti pertukaran udara yang tidak efektif, air trapping, pneumothorax, dan perdarahan
intraventricular. Sedasi dapat mengurangi aktivitas pernafasan bayi atau dapat digunakan
penghambat muscular non-depolarising (tidak disarankan). Pilihan lain adalah dengan menaikan
kecepatan ventilator atau menggunakan patient triggered ventilation (PTV).5
2.8.6 Keseimbangan asam basa
Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka
panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium
karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik harus dicegah karena dapat

46

menggangu produksi surfaktan, meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, dan memberi
pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat harus
dihindari karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikular.2
Asidosis metabolik pada RDS bisa merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan
intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah
membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama 10
15 menit melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam basa dalam 30 menit atau dapat
pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering diberikan pada kegawatan
melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat menimbulkan kerusakan kulit akibat terjadinya
infiltrasi, peningkatan osmolaritas serum, hipernatremia, hipokalsemia, hipokalemia, dan kerusakan
hepar bila larutan berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat melalui vena umbilikalis.2
2.8.7 Tekanan darah dan Cairan
Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau oscillometric dapat
berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok yang dapat muncul selama 1 jam atau
lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau mengalami distres
nafas.2
Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial memfasilitasi pirau kanan ke kiri
melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh asfiksia
perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume expander (10 20
ml/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi obat inotropik. Dopamin lebih
efektif dibanding dobutamin. Dopamin meningkatkan tahanan sistemik, sementara dobutamin
meningkatkan output ventrikel kiri. Dosis dopamine 10 micrograms / kg / menit. Dosis > 15
micrograms / kg / menit meningkatkan tahanan paru, menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III
diberikan pada kasus yang resisten. Mula-mula dapat dicoba menambahkan dobutamin 10-20
micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat pula dicoba memberikan hydrocortisone, adrenaline
dan isoprenaline.2
Edema paru merupakan bagian dari patofisiologi RDS, bayi yang mengalaminya cenderung
menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik dengan penurunan
berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan biasa dimulai dengan 60
80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan cairan lebih tinggi diperlukan untuk
bayi dengan berat lahir sangat rendah dengan insensible water loss tinggi. Asupan cairan harus

47

selalu dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat badan, output urin, dan kadar elektrolir serum.
Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan penghangat radiant meningkatkan kebutuhan
cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD.2
2.8.8 Antibiotik
Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup B atau infeksi
lain dari RDS, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai hasil kultur darah selesai.
Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau gentamisin dapat diberikan, tergantung pola
sensitivitas bakteri di rumah sakit tempat perawatan. Hal hal yang diasosiasikan dengan
peningkatan insidensi infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang lama,
ibu demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni, hipotensi
dan asidosis.5
2.9 Komplikasi dari RDS dan Perawatan intensif
Berdasarkan waktu terjadinya, komplikasi dapat dibagi menjadi akut dan kronis. Yang
tergolong akut adalah kebocoran udara, infeksi, perdarahan intrakranial, dan PDA. Sedangkan yang
tergolong kronis adalah penyakit paru kronis, retinopathy of prematurity (ROP), serta kelainan
neurologis.2,5
2.9.1 Komplikasi akibat pemasangan ETT
Komplikasi yang paling serius dari intubasi trachea adalah asfiksia akibat obstruksi yang
ditimbulkan pipa, henti jantung selama intubasi atau suctioning, dan kadang dapat terjadi stenosis
subglottis. Komplikasi lain meliputi perdarahan dari trauma selama intubasi, pseudodivertikel pada
posterior faring, extubasi yang sulit sehingga memerlukan tracheostomi, ulserasi nasal akibat
tekanan pipa, penyempitan permanen rongga hidung akibat kerusakan jaringan dan scar dari iritasi
atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, avulsi pita suara, ulkus laring, papiloma pita suara, dan
edema laring, stridor atau suara serak yang persisten. Komplikasi ETT (memasukkan, ekstubasi,
granuloma subglotis dan stenosis) dan ventilasi mekanik (pneumotoraks, emfisema interstitial,
penurunan cardiac output) dapat diminimalkan dengan intervensi dari tenaga ahli.
2.9.2 Komplikasi akibat kateterisasi
Resiko dari kateterisasi arteri umbilikalis meliputi emboli vaskular, trombosis, spasme, dan
perforasi, nekrosis viscera abdominal baik akibat iskemia atau zat kimia. Infeksi, perdarahan, dan

48

gangguan sirkulasi ke kaki yang dapat menimbulkan gangren. Meski saat necropsy insiden
komplikasi trombosis berkisar 1 23 %, aortografi menunjukkan clot ditemukan di atau sekitar
ujung kateter yang dimasukan ke arteri umbilikalis (95%). USG aorta dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya trombosis. Resiko terjadinya komplikasi yang serius dari kateterisasi umbilikal
antara 2 5 %. Kateterisasi vena umbilikalis memeliki resiko yang sama dengan arteri, ditambah
kemungkinan terjadinya hipertensi portal dari trombosis vena porta.
2.9.3 Komplikasi akut
Patent Ductus Arteriosus
Konstriksi dan penutupan duktus biasanya terjadi dalam 48 jam setelah lahir pada bayi term
dan preterm tanpa distress nafas. PDA terjadi sebanyak 36% pada bayi prematur dengan ventilasi
buatan. PDA memberikan gejala bila diameter duktus > 1,5 mm. Pemberian steroid antenatal atau
indometasin profilaksis mencegah terjadinya PDA. Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS
sekitar 90%. Dengan meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan
surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada
awal kehidupan.
Hemorrhagic Pulmonary Edema
Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan
komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun pada otopsi
ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal
dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial ditandai dengan perdarahan
pleura, septum interlobularis, peribronkial, perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan
masuk ke alveoli, eritrosit memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus.
Penanganan segera meliputi ventilasi buatan yang adekuat. Meningkatkan tekanan jalan
udara dengan menggunakan PEEP dapat mencegah perdarahan lebih lanjut. Transfusi PRC dan FFP
mungkin diperlukan untuk mengganti volume yang hilang, namun restriksi cairan diindikasikan
bila perdarahan terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri. Bila penyebabnya PDA, maka PDA harus
diterapi.
Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)
Bila terjadi ruptur alveolus atau saluran napas terminal, udara akan masuk ke ruang
interstitial paru menyebabkan PIE. Kemudian udara masuk bronchovascular sheat menyebar ke
perifer. PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE yang

49

terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecah akan menimbulkan
pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya pneumomediastinum atau pneomopericardium.
Bila alveoli ruptur, udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista.
Rupturnya alveoli dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis, menimbulkan emboli
udara. Merupakan komplikasi RDS setelah terapi ventilasi buatan. Gambaran linear berbatas tegas
serta kumpulan udara berbentuk kistik dan radiolusen di paru kanan.
Infeksi
Infeksi dapat bermanifestasi sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak,
perubahan jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi septicemia sekunder
terhadap staphylococcal epidermidis dan/atau Candida. Bila curiga akan adanya septicemia,
lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan antibiotik
Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler
Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi lebih
tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound kepala dilakukan dalam
minggu pertama. Terapi indometasin profilaksis dan pemberian steroid antenatal menurunkan
insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan periventricular
leukomalacia.
Persistent Pulmonary Hipertension (PPHN) / Persistent Fetal Circulation
PPHN dapat terjadi pada bayi term dan posterm. Faktor predisposisinya antara lain asfiksia
saat lahir, pneumonia akibat aspirasi mekonium, sepsis onset dini, RDS, hipoglikemi, polisitemia,
ibu yang menggunakan AINS dengan konstriksi in utero dari Duktus Arteriosus, dan adanya
hipoplasia pulmo sebagai hasil dari hernia diafragmatika, kebocoran cairan amnion,
oligohidramnion atau efusi pleura. PPHN sering kali bersifat idiopatik.
2.9.4 Komplikasi Kronik
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD) pada awalnya didefinisikan sebagai penyakit paru
kronik pada bayi prematur dengan distres pernapasan yang mendapat terapi oksigen dengan
ventilator mekanik sekurang-kurangnya 1 minggu. Definisi lain menyebutkan adanya kebutuhan
oksigen dalam 28 hari kehidupan untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri > 50 mmHg.
Kelainan ini dapat disebabkan penyakit paru lain seperti sindrom aspirasi mekonium dan
pneumonia. Sebagian besar BPD disebabkan pemberian oksigen tekanan positif (akibat baro trauma

50

atau toksisitas oksigen). Angka kejadian BPD 12% pada neonatus usia gestasi <33 minggu.
Oksigen bersifat toksik bagi paru-paru, terutama bila diberikan dengan respirator tekanan positif,
menyebabkan terjadinya BPD. Beberapa bayi yang mendapat bentuan nafas berupa intermittent
positive

pressure secara

berkepanjangan

dengan

konsentrasi

oksigen

yang

ditingkatkan, menunjukkan perburukan paru pada gambaran rontgen. Distres nafas menetap
ditandai hipoksia, hiperkarbia, ketergantungan pada oksigen, dan terjadinya gagal jantung kanan.
Gambaran rontgen berubah, sebelumnya menunjukan gambaran opak hampir menyeluruh
disertai air bronchogram dan emfisema interstitial, menjadi area lusen bulat kecil berselang
seling dengan area dengan densitas yang iregular, seperti gambaran spons.4
Retinopathy of prematurity (ROP)
Bayi dengan RDS dan PaO2 > 100 mmHg memiliki resiko terkena ROP, maka monitor PaO2
harus dilakukan secara ketat dan dipertahankan antara 50-70 mmHg. Pulse oximetry tidak
membantu mencegah ROP pada bayi sangat kecil karena kurva disosiasi oksigen-hemoglobin
hampir rata. Bila ROP berlanjut, terapi laser atau cryotherapy dilakukan untuk mencegah
terlepasnya retina dan kebutaan.
Gangguan neurologis
Terjadi pada + 10-70 % bayi, dan dikaitkan dengan usia kehamilan, tipe patologi intracranial,
adanya hipoksia, serta adanya infeksi. Gangguan pendengaran dan penglihatan dapat mengganggu
perkembangan bayi di kemudian hari. Dapat terjadi gangguan belajar dan perilaku.
2.10 Prognosis
Melakukan observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan
segera akan mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat RDS dan penyakit neonatus akut lainnya.
Hasil yang baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit
rumah sakit yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya komplikasi seperti
asfiksia fetus atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi
surfaktan telah mengurangi mortalitas 40 %. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang
dirujuk ke ICU menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat < 2.500 gr bertahan. Meski 85
90 % bayi yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal,
penampakan luar lebih baik pada yang berat badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya
< 1500 gr.5

51

52

BAB V
PENUTUP
Penyakit Membran Hialin merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas
paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat
lahir <1500 gram. Surfaktan mulai dibentuk pada usia kehamilan 24-28 minggu oleh karena itu
kejadian PMH berbanding terbalik dengan usia gestasi. Angka kejadian PMH pada neonatus
dengan usia gestasi < 30 minggu 60%, usia gestasi 30-34 minggu 25%, dan pada usia gestasi 35-36
minggu adalah 5%. Faktor predisposisi lain adalah kelahiran operasi caesar dan ibu dengan DM.
Penanganan dapat meliputi manajemen suplai oksigen, tekanan darah dan cairan, pemberian
antibiotik dan pemberian surfaktan eksogen. Dengan terapi yang cepat dan tepat diharapkan distress
pernafasan dapat segera diatasi sehingga tidak menimbulkan gejala sisa.

53

DAFTAR PUSTAKA
1. Hermansen CL, Lorah KN. Respiratory distress in the newborn. 2007. Available from :
http://www.aafp.org/journals/afp.html, accesed on 7 September 2016.
2. Kliegman R, Marcdante K, Jenson H, Behrman RE. Nelson essentials of pediatrics: fifth
edition. Virginia; 2006.p.271-331.
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar neonatologi edisi pertama. Jakarta; 2008. h. 12646.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Distres pernapasan neonatus. Dalam : Pedoman pelayanan
medis. Jakarta; 2011. h. 66-77.
5. Neonatal respiratory distress syndrome. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus,
accesed on 7 September 2016.
6. Zet Z, Sunoto, Sumarmo, Samsudin, Sudiyanto, Suharyono, dkk. Buku kuliah ilmu
kesehatan anak. Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI; 2005.h.1081-9.

54

Anda mungkin juga menyukai