Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.1
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri
dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.1
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses
peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici
(Ludwigs angina).1,2
Anatomi leher yang kompleks dan lokasi ruang yang dalam, membuat diagnosis dan
penatalaksanaan menjadi sulit. Infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi yang serius
sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya masih cukup tinggi. Gorjon 3 melakukan
penelitian di Spanyol dari tahun 1999 sampai 2009 dan menemukan kasus infeksi leher
dalam sebanyak 286 kasus dengan angka insiden infeksi leher dalam adalah 15/100.000
penduduk/tahun.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI FARING
.

Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring4
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga
mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior
faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi
atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).5
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing
2

karenafungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedamng epitelnya


torak berlapisyang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan
laringofaring, karenafungsinya untuk saluran cerna, epitelnya berlapis gepeng dan tidak
bersilia.
Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak
dalamrangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena
itu faringdapat disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan5
2. Palut lendir (mucous blanket)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung.
Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas silia dan
bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini mengandung enzim
lysozymeyang penting untuk proteksi5
3. Otot
Otot-otot

faring

tersusun

dalam

lapisan

melingkar

(sirkular)

dan

memanjang(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring


superior, media, daninferior. Otot-otot ini terletak di sebelah luar. Otot-otot ini berbentuk
kipas dengan tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang.
Di sebelah depan,otot-otot ini bertemu satu sama lain dan di belakang bertemu pada
jaringan ikat yang disebut rafe faring (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk
mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini dipersarafai oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak otot-otot
ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring,
sedangkan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah
faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu
penting sewaktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring
dipersarafi oleh n.X.
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarungfasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
m.palatoglosus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula5
1.

M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini

dipersarafi oleh n.X


2.

M.tensorveli

palatini

membentuk

tenda

palatum

mole

dan

kerjanya

untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
3.

M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus


faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

4.

M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

5.

M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.5

Gambar 2. Rongga mulut.6

2.1.1

Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.

Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.5
2.1.2

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glososfaringdan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik.

Dari pleksus faringyang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali
m.stilofaring yangdipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).5
2.1.3

Kelenjar getah bening

Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media,
daninferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah
bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior
mengalir ke kelenjar getah bening dalam bawah.5
2.1.4

Pembagian faring

Gambar 3. Pembagian nasofaring7

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:5


1.

Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah

palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faringdengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yangmerupakan

invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suaturefleksi mukosa faring
di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh
n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian
petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius.5
2.

Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole, batas

bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,tonsil
palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan
foramen sekum5
Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalamradang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatummole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole)
terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan
ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bilaterjadi abses.
Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut
kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya

Tonsil

Gambar 4. Cincin Waldeyer.6


Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus di dalamnya.
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil
palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosatonsil. Pada kutub atas
tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil
bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina asendens, cabang
tonsil a.maksila eksterna, a.faringasendens, dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak
di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah,
di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang
terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingualthyroid) atau kista duktus tiroglosus.5

3.

Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah

laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebraservikal. Bila
laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laringtidak langsung
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, makastruktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian inimerupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotikamedial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut jugakantong pil (pills pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omegadan
pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotisini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaanlaringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi jugauntuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisilaringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal difaring
dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.5
Lapisan fasia leher dalam8
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1.

Lapisan superfisial

2.

Lapisan media :

- divisi muskular
- divisi viscera
3.

Lapisan profunda :

- divisi alar
- divisi prevertebra

Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ,otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan
fasia servikalis profunda
Fasia

servikalis

superfisialis

terletak

tepat

dibawah

kulit

leher

berjalan

dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arahtoraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia
servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf
dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu:8
1.

Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak

sampaidaerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan
melekat padaklavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius,
m.masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal,
investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior8
2.

Lapisan medial
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi

muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus
m.sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat
pada oshioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula
dan skapula. Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar
tiroid, trakea danesofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian
posterior sampai keesofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago
tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan
esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi
viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m.
Buccinator.8
3.

Lapisan profunda

Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak
diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari

dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari
dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari
danger space. Dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis
profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar
tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks8
2.1.5

Ruang faringeal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai
arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring5
2.1.5.1 Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri darimukosa
faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringanikat jarang dan
fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengahmengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh :
anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda
) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
lateral

selubung

karotis

(carotid

sheath)

dan

daerah

parafaring

(fosafaringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar
bersatu.Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah
karena diruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi
menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiaptiap bagian
mengandung 25 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang
setelah berumur 45 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung,
sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi yang apabila pecah, nanahnya akan tertumpah di

10

dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior5,9
2.1.5.2 Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak
dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruangini dibatasi di
bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalahramus asendens
mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar
parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan
otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna,
v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebutselubung
karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan
fasia yang tipis.5

Gambar 5. Potongan axial orofaring menunjukkan ruang retrofaring dan parafaring10

11

Gambar 6. Potongan koronal ruang parafaring11


Selain itu juga dijumpai daerah potensial lainnya di leher yaitu :
danger space : dibatasi oleh divisi alar pada bagian anterior dan divisi prevertebra
pada bagian posterior ( tepat di belakang ruang retrofaring ).
prevertebral space : dibatasi oleh divisi prevertebra pada bagian anterior dan
korpusvertebra pada bagian posterior ( tepat di belakang danger space). Ruang ini
berjalan sepanjang kollumna vertebralis dan merupakan jalur penyebaran infeksi
leher dalam kedaerah koksigeus.

Gambar 7. Potongan sagital faring menunjukkan ruang retrofaring, danger space,


dan prevertebral space12
2.1.6

Ruang submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.

12

Ruangsublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.


Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Ruang mandibular dibatasi pada bagian lateral oleh garis inferior dari badan
mandibula,medial oleh perut anterior musculus digastricus, posterior oleh ligament
stylohyoid dan perut posterior dari musculus digastricus, superior oleh musculus
mylohyoid dan hyoglossus, daninferior oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia.
Ruang ini mengandung glandulasaliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam
ruangsubmandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang
submaksila saja.
2.2 FISIOLOGI FARING
Fungsi faring yang utama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara,dan untuk artikulasi5
2.2.1.

Fungsi menelan

Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
faseesofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini
disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui
faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya
tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus
menuju lambung.5
2.2.2

Fungsi faring dalam proses bicara

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
danfaring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding
belakangfaring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mulamulam.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersamasamam.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatinimenarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang
faring yangterjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil

13

gerakanm.palatofaring (bersama m.salfingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor


faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.
Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode
fonasi,tetapi ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara
cepat bersamaan dengan gerakan palatum5
2.3 ABSES LEHER DALAM
2.3.1

Definisi

Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah
kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau
karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini
merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan
infeksi ke bagian lain dari tubuh.13
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.1
2.3.2

Etiologi dan Patogenesis


Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam

tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara
perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora
normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat
diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan
gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas
melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas
mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah

14

sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga
infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen,
limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi
kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula.
Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.14
2.3.3

Gambaran klinis dan Diagnosis

Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada
umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Abshirini H, dkk
melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak
pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang
yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial
yang terlibat.14,15,16
2.3.3.1 ABSES PERITONSIL (QUINSY)
2.3.3.1.1 Definisi
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil
merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang
disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina
dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior),
dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena
terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk
material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan
palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.2,17

15

2.3.3.1.2 Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya
merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus
Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis,
dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1
Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui
kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering.
Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus.
Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk
filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides
sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering
menyebabkan infeksi ini.18
2.3.3.1.3 Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah
ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat
melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah.
Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1
Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima
adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih
dahulu dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada
populasi yang diobati dan yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa
riwayat tonsilitis rekuren atau kronis. Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi
dari infeksi Epstein Barr Virus (misalnya mononucleosis).

16

Pada stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak


permukaannya hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut
lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral. Bila proses berlanjut terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan

menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.1
Gambar 8. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.19
2.3.3.1.4 Diagnosis
Pada anamnesis abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok,
nyeri menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam
(hot potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor
ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang
sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah
parafaring.
Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang
paling fluktuatif.17

17

Gambar 9. Aspirasi jarum pada abses peritonsil.19


2.3.3.1.5 Terapi
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.
Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan drainase, baik dengan
teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase. Tempat insisi ialah di daerah
yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan
mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase
atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.Bila
terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian cairn kokain 4%
pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa nasalis.17

Gambar 10. Insisi dan drainase pada abses peritonsil.19

18

Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi. Pada umumnya


tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
2.3.3.1.6 Komplikasi
Sejumlah komplikasi klinis dapat terjadi jika diagnosis abses peritonsil terlewat atau
terlambat. Keparahan komplikasi tergantung progresifitas penyakit dan juga karakteristik
ruang-ruang yang terkena. Penanganan dan pencegahan segera penting.1,17
1. Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau piemia.
2. Penjalaran infeksi atau abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan trombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak.
4. Penjalaran dapat berlanjut ke ruang submandibular dan sublingual di dasar mulut
(Angina Ludovici).
Perdarahan merupakan komplikasi potensial jika arteri karotid eksterna atau
cabangnya terluka. Perdarahan dapat terjadi intraoperatif atau periode awal pascaoperasi20
2.3.3.1.7 Prognosis
Kebanyakan pasien yang diobati dengan antibiotik dan drainase adekuat sembuh
dalam beberapa hari. Sebagian kecil pasien mengalami abses kembali, membutuhkan
tonsilektomi. Jika pasien berlanjut melaporkan nyeri tenggorok berulang dan/atau kronis
setelah insisi dan drainase tepat, tonsilektomi diindikasikan.17

2.3.3.2 ABSES RETROFARING

19

2.3.3.2.1 Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring.2
2.3.3.2.2 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding
belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit
kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat
terhadap abses retrofaringeal.1
2.3.3.2.3 Patofisiologi
Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring, dengan fasia bukofaringeal di
anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di lateral. Ruang ini
memanjang superior sampai basis kranii dan inferior ke mediastinum.
Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut:
- Organisme aerob, seperti streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus.
- Organisme anaerob, seperti Bacteroides dan Veillonella.
- Organisme Gram negatif, seperti Haemophilus parainfluenzae dan Bartonella henselae.
Tingkat mortalitas tinggi dari abses retrofaringeal berhubungan dengan obstruksi
jalan napas, mediastinitis, pneumonia aspirasi, abses epidural, trombosis vena juular,
fasiitis nekrotikans, sepsis, dan erosi arteri karotid.21
2.3.3.2.4 Gejala dan Tanda
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di samping
juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak
nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring.
Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor. Abses retrofaring sebaiknya
dicurigai jika pada bayi atau anak kecil terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan
setelah infeksi pernapasan bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan,

20

perubahan dalam berbicara, dan kesulitan menelan. Pada pemeriksaan didapatkan


pembengkakan dinding posterior faringdan tampak hiperemis.1,21
2.3.3.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian atas
atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen jaringan
lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring lebih dari
7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada anak dan
lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat berkurangnya lordosis
vertebra servikal.1
2.3.3.2.6 Terapi
Terapi abses retrofaring ialah dengan medikamentosa dan tindakan bedah. Sebagai
terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob,
diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan pungsi dan insisi abses melalui
laringoskopi langsung dalam posisi pasien baring Trendelenburg. Pus yang keluar segera
diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau
anestesia umum. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi reda.1
Gambar 11.(A)Insisi pada abses retrofaring dengan posisi Trendelenburg.(B)

Insisi pada abses peritonsil.22


2.3.3.2.7 Komplikasi

21

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah penjalaran ke ruang parafaring, ruang


vaskuler visera, mediastinitis, obstruksi jalan nafas sampai asfiksia, bila pecah spontan
dapat menyebabkan penummonia aspirasi dan abses paru.21
2.3.3.2.8 Prognosis
Prognosis umumnya baik jika abses retrofaringeal diidentifikasi segera, ditangani
secara agresif, dan komplikasi tidak terjadi. Tingkat kematian bisa setinggi 40-50% jika
pasien mengalami komplikasi serius.21
2.3.3.3 ABSES PARAFARING
2.3.3.3.1 Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan
saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.23
2.3.3.3.2 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara:23
1.

Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang

2.

memisahkan ruang parafaring dan fosa tonsilaris.


Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi

3.

untuk terjadinya abses ruang parafaring.


Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula.

2.3.3.3.3 Gejala dan tanda


Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, nyeri tenggorok, odinofagi
dan disfagia. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring,
pendorongan dinding lateral faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada
abses parafaring yang mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang
lebih jelas.23

22

2.3.3.3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak
AP lateral atau CT Scan. Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan
prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua
posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan
di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.23
2.3.3.3.5 Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman
aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan
dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya
melalui insisi dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).23
Gambar 12.
Insisi Mosher.23
Insisi
intraoral
dilakukan pada
dinding lateral
faring. Dengan
memakai klem
arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring

23

anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi mereda.23
2.3.3.3.6 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan
hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau
septikemia.23
2.3.3.4 ABSES SUBMANDIBULA
2.3.3.4.1 Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula.24
2.3.3.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika
apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari gigi
dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung
melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang
mastikor.25
2.3.3.4.3 Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:26

24

Gambar 14. Patofisiologi abses submandibula26


1. Iritasi Pulpa
2. Hiperemic Pulpa
3. Pulpitis
4. Ganggren pulpa
5. Abses
2.3.3.4.4 Diagnosis
Pada anamnesis terdapat keluhan demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di
bawah mandibula dan atau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air
liur yang banyak, trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak
nafas akibat sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke
belakang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang bernanah
atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba. Lidah terangkat
ke atas dan terdorong ke belakang.1,2
2.3.3.4.5 Terapi
1.

Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji

25

kepekaan perlu dilakukan. Namun, pemberian antibiotik secara parenteral


sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil kultur pus. Antibiotik
kombinasi (mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob, gram positip dan gram
negatif) adalah pilihan terbaik mengingat kuman penyebabnya adalah campuran
dari berbagai kuman. Secara empiris kombinasi ceftriaxone dengan metronidazole
masih cukup baik. Setelah hasil uji sensistivitas kultur pus telah didapat
pemberian antibiotik dapat disesuaikan.
Berdasarkan uji kepekaaan, kuman aerob memiliki angka sensitifitas tinggi
terhadap terhadap ceforazone sulbactam, moxyfloxacine, ceforazone, ceftriaxone,
yaitu lebih dari 70%. Metronidazole dan klindamisin angka sensitifitasnya masih
tinggi terutama untuk kuman anaerob gram negatif. Antibiotik biasanya dilakukan
selama lebih kurang 10 hari.14
2.

Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas
abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.27
Gambar
15.Insisi pada
abses
submandibula
atau parotid.28
3.

Mengingat
adanya
kemungkinan
sumbatan jalan
nafas,

maka

tindakan
trakeostomi
perlu dipertimbangkan27

26

2.3.3.4.6 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas
ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. 14 Perluasan ini dapat
secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial
kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis
atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.27
2.3.3.4.7 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana
abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna.27
2.3.3.5 ANGINA LUDOVICI (LUDWIGS ANGINA)
2.3.3.5.1 Definisi
Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang
potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan
ototmilohioideus.1,2
2.3.3.5.2 Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang
submaksilaris.2
2.3.3.5.3 Diagnosis

27

Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa
tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan
membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terusmenerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan
dan minum. Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu,
malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan
bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras
seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang
submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada
organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah;
nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara
(disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak
mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis
menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan
segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena
kurangnya asupan makanan dan minuman.29
2.3.3.5.4 Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan

membatasi penyebaran infeksi.


ketiga, dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.

Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan adanya


teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang lebih baik, maka
kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan melalui hidung dengan

28

menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak.
Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan
anestesi lokal.
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan
operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih
terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi
waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan
pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam.
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate
harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus
atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul.
Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah
secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di
bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman
kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas
bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka
gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai

infeksi reda.30
Gambar 16. Insisi pada angina Ludovici.30
29

2.3.3.5.5 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.1
2.3.3.5.6 Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Angina
Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Namun dengan diagnosis dini,
perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang
adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan
komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.29,30

BAB III
KESIMPULAN

30

3.1 RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya
terletak di dasar mulut dan berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam
yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob dapat menjadi ancaman yang
sangat serius. Oleh karena itu, diperlukan penatalaksanaan abses leher dalam meliputi
operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat
perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 226-30.

31

2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring.
Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
3. Gorjon P, Perez P, Martin A, Dios J, Alonso S, Cabanillas M. Deep neck infection:
review of 286 cases. Acta ottorrinolaringol. 2012;63:31-41.
4. Netter, F.H. Head and neck : atlas of human anatomy. Edisi 6. USA: Saunders;2014
5. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2008. Hal. 212-6.
6. Mouth

cavity.

Diakses:

28

September

2015.

Terdapat

pada:

http://atlas.likar.info/Nebo/.
7. Zoltan

V.

Pharynx.

Diakses:

28

September

2015.

Terdapat

pada:

http://www.earspecialist. eu/index.php?page=content&method=static&id=116.
8. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 28
September

2015.

Diperbaharui:

2003.

Terdapat

pada:

http://repository.usu.ac.id/handle/ 123456789/ 3464.


9. Snell RS. Pharynx. Dalam: Snell RS. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran.
Edisi 6. Jakarta: EGC. 2006. Hal. 795-801.
10. Axial Section of Oropharynx. Diakses: 28 September 2015. Terdapat pada:
http://atlas.likar.info/Okologlotochnaya_kletchatka/.
11. Abses

Parafaring.

Diakses:

28

September

2015.

Terdapat

pada:

www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.
12. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir diperbaharui:
22

Juli

2011.

Diakses:

28

September

2015.

Terdapat

pada:

http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
13. Dorland. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi 25. Jakarta: EGC. 1998.
14. Pulungan,

M.

Rusli.

Pola

Kuman

Abses

Leher

Dalam.

Diunduh

dari

http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMAN-ABSES-LEHER-DALAMRevisi pada tanggal 28 September 2015.


15. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Dalam: Bailley BJ,

32

Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia:
JB.Lippincott Company 2006.p.666-81.
16. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007:p. 185-8
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses: 28 September 2015. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/
article/194863-overview#showall.
18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management
of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill.
Diakses:

29

September

2015.

Terdapat

http://www.accessemergencymedicine

pada:

.com/overflow.aspx?

searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&sear
chSource=Images&ftbool=False.
20. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation
technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
21. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 29 September 2015. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
22. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14 Desember
2011. Terdapat pada: http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
23. Abses Parafaring. Diakses: 29 September 2015. Terdapat pada: www.scribd.com/
doc/66624613/abses-parafaring.
24. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
25. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic
infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2002; 31: 1659.
26. Abses

Submandibula.

Diakses:

29

September

2015.

Terdapat

pada:

33

http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA.
27. Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular
region secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
28. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture Note.
Terakhir diperbaharui: 17 Juli 2011. Diakses:29 September 2015. Terdapat pada:
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-principles-oftreatment-of.html
29. MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 29 September 2015. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
30. Ludwigs

Angina.

Diakses:

29

September

2015.

Terdapat

pada:

www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.

34

Anda mungkin juga menyukai