PENDAHULUAN
. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka
mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam.1
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri
dan pembengkakan di ruang leher dalam yang terlibat.1
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses
peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici
(Ludwigs angina).1,2
Anatomi leher yang kompleks dan lokasi ruang yang dalam, membuat diagnosis dan
penatalaksanaan menjadi sulit. Infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi yang serius
sehingga angka morbiditas dan mortalitasnya masih cukup tinggi. Gorjon 3 melakukan
penelitian di Spanyol dari tahun 1999 sampai 2009 dan menemukan kasus infeksi leher
dalam sebanyak 286 kasus dengan angka insiden infeksi leher dalam adalah 15/100.000
penduduk/tahun.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI FARING
.
Gambar 1. Potongan sagital rongga hidung, rongga mulut, faring, dan laring4
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga
mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan melalui
aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior
faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam ke luar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot, dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi
atas nasofaring, orofaring, dan laringofaring (hipofaring).5
Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot5
1. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofraing
2
faring
tersusun
dalam
lapisan
melingkar
(sirkular)
dan
M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya
untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini
M.tensorveli
palatini
membentuk
tenda
palatum
mole
dan
kerjanya
untuk mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius.
Otot ini dipersarafi oleh n.X.
3.
4.
M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5.
M.azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.5
2.1.1
Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang
fausial) serta dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatina superior.5
2.1.2
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus daring yang
ekstensif. Plesksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari
n.glososfaringdan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik.
Dari pleksus faringyang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali
m.stilofaring yangdipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).5
2.1.3
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media,
daninferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah
bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior
mengalir ke kelenjar getah bening dalam bawah.5
2.1.4
Pembagian faring
Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal.
Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faringdengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yangmerupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suaturefleksi mukosa faring
di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh
n.glosofaring, n.vagus, dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian
petrosus os.temporalis dan foramen laserum, dan muara tuba Eustachius.5
2.
Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atanya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring,tonsil
palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual, dan
foramen sekum5
Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat dalamradang akut
atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatummole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.
Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas lateralnya adalah
m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole)
terdapat suatu ruang kecil yang dinamanakan fosa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan
ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bilaterjadi abses.
Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring, dan disebut
kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya
Tonsil
3.
Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah
laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior adalah vertebraservikal. Bila
laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laringtidak langsung
atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, makastruktur pertama yang
tampak di bawah dasar lidah adalah valekula. Bagian inimerupakan dua buah cekungan
yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotikamedial dan ligamentum glosoepiglotika
lateral pada tiap sisi. Valekula disebut jugakantong pil (pills pocket), sebab pada
beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omegadan
pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotisini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaanlaringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi jugauntuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisilaringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal difaring
dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.5
Lapisan fasia leher dalam8
Fasia servikalis :
A. Fasia servikalis superfisialis
B. Fasia servikalis profunda :
1.
Lapisan superfisial
2.
Lapisan media :
- divisi muskular
- divisi viscera
3.
Lapisan profunda :
- divisi alar
- divisi prevertebra
Fasia servikalis terdiri dari lapisan jaringan ikat fibrous yang membungkus
organ,otot, saraf dan pembuluh darah serta membagi leher menjadi beberapa ruang
potensial. Fasia servikalis terbagi menjadi 2 bagian yaitu fasia servikalis superfisialis dan
fasia servikalis profunda
Fasia
servikalis
superfisialis
terletak
tepat
dibawah
kulit
leher
berjalan
dari perlekatannya di prosesus zigomatikus pada bagian superior dan berjalan ke bawah
ke arahtoraks dan aksila yang terdiri dari jaringan lemak subkutan. Ruang antara fasia
servikalis superfisialis dan fasia servikalis profunda berisi kelenjar limfe superfisial, saraf
dan pembuluh darah termasuk vena jugularis eksterna.
Fasia servikalis profunda terdiri dari 3 lapisan yaitu:8
1.
Lapisan superfisial
Lapisan ini membungkus leher secara lengkap, dimulai dari dasar tengkorak
sampaidaerah toraks dan aksila. Pada bagian anterior menyebar ke daerah wajah dan
melekat padaklavikula serta membungkus m. sternokleidomastoideus, m.trapezius,
m.masseter, kelenjar parotis dan submaksila. Lapisan ini disebut juga lapisan eksternal,
investing layer, lapisan pembungkus dan lapisan anterior8
2.
Lapisan medial
Lapisan ini dibagi atas 2 divisi yaitu divisi muskular dan viscera. Divisi
muskular terletak dibawah lapisan superfisial fasia servikalis profunda dan membungkus
m.sternohioid, m. sternotiroid, m. tirohioid dan m. omohioid. Dibagian superior melekat
pada oshioid dan kartilago tiroid serta dibagian inferior melekat pada sternum, klavikula
dan skapula. Divisi viscera membungkus organ organ anterior leher yaitu kelenjar
tiroid, trakea danesofagus. Disebelah posterosuperior berawal dari dasar tengkorak bagian
posterior sampai keesofagus sedangkan bagian anterosuperior melekat pada kartilago
tiroid dan os hioid. Lapisan ini berjalan ke bawah sampai ke toraks, menutupi trakea dan
esofagus serta bersatu dengan perikardium. Fasia bukkofaringeal adalah bagian dari divisi
viscera yang berada pada bagian posterior faring dan menutupi m. konstriktor dan m.
Buccinator.8
3.
Lapisan profunda
Lapisan ini dibagi menjadi 2 divisi yaitu divisi alar dan prevertebra. Divisi alar terletak
diantara lapisan media fasia servikalis profunda dan divisi prevertebra, yang berjalan dari
dasar tengkorak sampai vertebra torakal II dan bersatu dengan divisi viscera lapisan
media fasia servikalis profunda. Divisi alar melengkapi bagian posterolateral ruang
retrofaring dan merupakan dinding anterior dari danger space.
Divisi prevertebra berada pada bagian anterior korpus vertebra dan ke lateral meluas
ke prosesus tranversus serta menutupi otot-otot didaerah tersebut. Berjalan dari
dasar tengkorak sampai ke os koksigeus serta merupakan dinding posterior dari
danger space. Dan dinding anterior dari korpus vertebra. Ketiga lapisan fasia servikalis
profunda ini membentuk selubung karotis ( carotid sheath ) yang berjalan dari dasar
tengkorak melalui ruang faringomaksilaris sampai ke toraks8
2.1.5
Ruang faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik mempunyai
arti penting, yaitu ruang retrofaring, dan ruang parafaring5
2.1.5.1 Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri darimukosa
faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringanikat jarang dan
fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di garis tengahmengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang dibatasi oleh :
anterior : fasia bukkofaringeal ( divisi viscera lapisan media fasia servikalis profunda
) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid
posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
lateral
selubung
karotis
(carotid
sheath)
dan
daerah
parafaring
(fosafaringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea ( vertebra torakal I atau II ) dimana divisi viscera dan alar
bersatu.Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah
karena diruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa. Daerah retrofaring terbagi
menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral oleh midline raphe . Tiaptiap bagian
mengandung 25 buah kelenjar limfe retrofaring yang biasanya menghilang
setelah berumur 45 tahun. Kelenjar ini menampung aliran limfe dari rongga hidung,
sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada peradangan
kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi yang apabila pecah, nanahnya akan tertumpah di
10
dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera, retroesofagus
dan ruang viscera posterior5,9
2.1.5.2 Ruang parafaring (fosa faringomaksila : pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak
dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruangini dibatasi di
bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas luarnya adalahramus asendens
mandibula yang melekat dengan m.pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar
parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan
otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan
dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk
mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna,
v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebutselubung
karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan
fasia yang tipis.5
11
Ruang submandibula
12
Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringeal, dan
faseesofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini
disengaja (voluntary). Fase faringeal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui
faring. Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya
tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus
menuju lambung.5
2.2.2
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum
danfaring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding
belakangfaring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mulamulam.salfingofaring dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersamasamam.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatinimenarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang
faring yangterjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
13
Definisi
Abses adalah kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah
kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau
karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini
merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan
infeksi ke bagian lain dari tubuh.13
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang potensial di
antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai sumber infeksi, seperti
gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.1
2.3.2
tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tubuh baik secara
perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan kekhasan flora
normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses yang terbentuk dapat
diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob, maupun fakultatif anaerob.
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan
gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas
melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas
mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah
14
sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga
infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila.
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen,
limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi
kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring.
Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula.
Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.14
2.3.3
Gejala klinis abses leher dalam secara umum sama dengan gejala infeksi pada
umumnya yaitu demam, nyeri, pembengkakan, dan gangguan fungsi. Abshirini H, dkk
melaporkan gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus didapatkan: bengkak
pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia 29,3%. Berdasarkan ruang
yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang sesuai dengan ruang potensial
yang terlibat.14,15,16
2.3.3.1 ABSES PERITONSIL (QUINSY)
2.3.3.1.1 Definisi
Abses peritonsil merupakan akumulasi pus terlokalisir di jaringan peritonsil yang
terbentuk akibat dari tonsilitis supuratif. Penjelasan lain adalah abses peritonsil
merupakan abses yang terbentuk di kelompok kelenjar air liur di fosa supratonsil, yang
disebut sebagai kelenjar Weber. Nidus akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina
dan muskulus konstiktor faringeus. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius (superior),
dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas ruang peritonsil potensial. Karena
terbentuk dari jaringan ikat longgar, infeksi parah area ini bisa secara cepat membentuk
material purulen. Inflamasi dan supurasi progresif bisa menyebar langsung melibatkan
palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang dasar dari lidah.2,17
15
2.3.3.1.2 Etiologi
Abses peritonsil merupakan abses yang paling banyak ditemukan, dan biasanya
merupakan komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus
Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis,
dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.1
Biasanya, organisme Gram positif aerob dan anaerob diidentifikasi melalui
kultur. Kultur menunjukkan Streptococcus beta hemolyticus yang paling sering.
Selanjutnya, yang paling sering adalah Staphlococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus.
Terakhir, organisme lain yang bisa dikultur adalah Lactobacillus, bentuk-bentuk
filamentosa seperti Actinomyces sp., Micrococcus, Neisseria sp., diphteroid, Bacteroides
sp., dan bakteri tidak bersporulasi. Beberapa bukti menunjukkan bakteri anaerob sering
menyebabkan infeksi ini.18
2.3.3.1.3 Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial pritonsil tersering menempati daerah
ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Proses inflamasi dan supurasi dapat
melebar melibatkan palatum mole, dinding lateral faring, dan kadang-kadang, dasar lidah.
Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior.1
Patofisiologi abses peritonsil tidak diketahui. Teori yang paling banyak diterima
adalah kelanjutan dari episode tonsilitis eksudatif yang menjadi peritonsilitis terlebih
dahulu dan lalu membentuk abses. Progresifitas proses inflamasi dapat terjadi pada
populasi yang diobati dan yang tidak diobati. Abses peritonsil juga ditemukan tanpa
riwayat tonsilitis rekuren atau kronis. Abses peritonsil juga bisa merupakan manifestasi
dari infeksi Epstein Barr Virus (misalnya mononucleosis).
16
menyebabkan iritasi pada M. Pterygoideus interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat
pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.1
Gambar 8. Abses peritonsil dengan deviasi uvula.19
2.3.3.1.4 Diagnosis
Pada anamnesis abses peritonsil didapatkan gejala demam, nyeri tenggorok,
nyeri menelan (odinofagia), hipersalivasi, nyeri telinga (otalgia) dan suara bergumam
(hot potato voice). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih melalui saraf N.
Glossopharyngeus (N.IX). Mungkin terdapat muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor
ex ore) dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan palatum mole tampak membengkak dan
menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi, arkus faring tidak simetris, pembengkakan di
daerah peritonsil, uvula terdorong ke sisi yang sehat, dan trismus. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke sisi kontra lateral. Kadang-kadang
sukar memeriksa seluruh faring karena trismus. Abses ini dapat meluas ke daerah
parafaring.
Untuk memastikan diagnosis dapat dilakukan pungsi aspirasi dari tempat yang
paling fluktuatif.17
17
18
19
2.3.3.2.1 Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah retrofaring.2
2.3.3.2.2 Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1) infeksi
saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring, (2) trauma dinding
belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan endoskopi, (3) tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin). Pasien dengan penyakit immunocompromised atau penyakit
kronis seperti diabetes, kanker, alkoholisme, dan AIDS memiliki resiko yang meningkat
terhadap abses retrofaringeal.1
2.3.3.2.3 Patofisiologi
Ruang retrofaringeal adalah posterior dari faring, dengan fasia bukofaringeal di
anterior, fasia prevertebral di posterior, dan selubung karotid di lateral. Ruang ini
memanjang superior sampai basis kranii dan inferior ke mediastinum.
Abses di ruang ini dapat disebabkan oleh organisme berikut:
- Organisme aerob, seperti streptococcus beta hemolitikus dan Staphylococcus aureus.
- Organisme anaerob, seperti Bacteroides dan Veillonella.
- Organisme Gram negatif, seperti Haemophilus parainfluenzae dan Bartonella henselae.
Tingkat mortalitas tinggi dari abses retrofaringeal berhubungan dengan obstruksi
jalan napas, mediastinitis, pneumonia aspirasi, abses epidural, trombosis vena juular,
fasiitis nekrotikans, sepsis, dan erosi arteri karotid.21
2.3.3.2.4 Gejala dan Tanda
Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di samping
juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan sesak nafas. Sesak
nafas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan nafas, terutama di hipofaring.
Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul stridor. Abses retrofaring sebaiknya
dicurigai jika pada bayi atau anak kecil terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan
setelah infeksi pernapasan bagian atas dan terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan,
20
21
Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan
analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi
kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang
2.
3.
22
2.3.3.3.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak
AP lateral atau CT Scan. Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan
prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua
posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan
di dalam jaringan lunak dan pembengkakan daerah jaringan lunak leher.23
2.3.3.3.5 Terapi
Untuk terapi diberikan antibiotika dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman
aerob dan anaerob. Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan
dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya
melalui insisi dari luar dan inttra oral.
Insisi dari luar dilakukan 2 setengah jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara
tumpu eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m.sternokleidomastoideus ke arah atas
belakang menyusuri bagian medial mandibula dan m.pterigoid interna mencapai ruang
parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung
karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan
m.sternokleidomastoideus (cara Mosher).23
Gambar 12.
Insisi Mosher.23
Insisi
intraoral
dilakukan pada
dinding lateral
faring. Dengan
memakai klem
arteri eksplorasi
dilakukan dengan menembus m.konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring
23
anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi
eksternal.
Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeksi mereda.23
2.3.3.3.6 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (per
kontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan
intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai mediastinum.
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur sehingga terjadi perdarahan
hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis atau
septikemia.23
2.3.3.4 ABSES SUBMANDIBULA
2.3.3.4.1 Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
daerah submandibula.24
2.3.3.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.1
Infeksi pada ruang ini berasal dari gigi molar kedua dan ketiga dari mandibula, jika
apeksnya ditemukan di bawah perlekatan dari musculus mylohyoid. Infeksi dari gigi
dapat menyebar ke ruang submandibula melalui beberapa jalan yaitu secara langsung
melalui pinggir myolohioid, posterior dari ruang sublingual, periostitis dan melalui ruang
mastikor.25
2.3.3.4.3 Patofisiologi
Patofisiologi abses submandibula melalui gigi antara lain:26
24
Antibiotik (parenteral)
Untuk mendapatkan jenis antibiotik yang sesuai dengan kuman penyebab, uji
25
Bila abses telah terbentuk, maka evakuasi abses dapat dilakukan. Evakuasi abses
dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi
atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada
tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os hioid, tergantung letak dan luas
abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.27
Gambar
15.Insisi pada
abses
submandibula
atau parotid.28
3.
Mengingat
adanya
kemungkinan
sumbatan jalan
nafas,
maka
tindakan
trakeostomi
perlu dipertimbangkan27
26
2.3.3.4.6 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau langsung
(perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Infeksi dari submandibula paling sering meluas
ke ruang parafaring karena pembatas antara ruangan ini cukup tipis. 14 Perluasan ini dapat
secara langsung atau melalui ruang mastikor melewati muskulus pterigoideus medial
kemudian ke parafaring. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya.
Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri
selubung karotis mencapai mediastinum menyebabkan medistinitis. Abses juga dapat
menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila pembuluh karotis mengalami
nekrosis, dapat terjadi ruptur, sehimgga terjadi perdarahan hebat, bila terjadi periflebitis
atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.27
2.3.3.4.7 Prognosis
Pada umumnya prognosis abses submandibula baik apabila dapat didiagnosis secara
dini dengan penanganan yang tepat dan komplikasi tidak terjadi. Pada fase awal dimana
abses masih kecil maka tindakan insisi dan pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat
menghasilkan penyembuhan yang sempurna.27
2.3.3.5 ANGINA LUDOVICI (LUDWIGS ANGINA)
2.3.3.5.1 Definisi
Angina Ludwig merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior
ruang suprahioid atau di daerah sub mandibula, dengan tidak ada fokal abses. Ruang
potensial ini berada antara otot-otot yang melekatkan lidah pada tulang hioid dan
ototmilohioideus.1,2
2.3.3.5.2 Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis pada ruang
submaksilaris.2
2.3.3.5.3 Diagnosis
27
Gejala awal biasanya berupa nyeri pada area gigi yang terinfeksi. Dagu terasa
tegang dan nyeri saat menggerakkan lidah. Penderita mungkin akan mengalami kesulitan
membuka mulut, berbicara, dan menelan, yang mengakibatkan keluarnya air liur terusmenerus serta kesulitan bernapas. Penderita juga dilaporkan mengalami kesulitan makan
dan minum. Gejala klinis umum angina Ludovici meliputi malaise, lemah, lesu,
malnutrisi, dan dalam kasus yang parah dapat menyebabkan stridor atau kesulitan
bernapas. Gejala klinis ekstra oral meliputi eritema, pembengkakan, perabaan yang keras
seperti papan (board-like) serta peninggian suhu pada leher dan jaringan ruang
submandibula-sublingual yang terinfeksi; disfonia (hot potato voice) akibat edema pada
organ vokal. Gejala klinis intra oral meliputi pembengkakan, nyeri dan peninggian lidah;
nyeri menelan (disfagia); hipersalivasi (drooling); kesulitan dalam artikulasi bicara
(disarthria).
Pemeriksaan fisik dapat memperlihatkan adanya demam dan takikardi dengan
karakteristik dasar mulut yang tegang dan keras. Karies pada gigi molar bawah dapat
dijumpai. Biasanya ditemui pula indurasi dan pembengkakkan ruang submandibular yang
dapat disertai dengan lidah yang terdorong ke atas. Trismus dapat terjadi dan
menunjukkan adanya iritasi pada m. masticator. Tanda-tanda penting seperti pasien tidak
mampu menelan air liurnya sendiri, dispneu, takipneu, stridor inspirasi dan sianosis
menunjukkan adanya hambatan pada jalan napas yang perlu mendapat penanganan
segera. Pada pasien juga mungkin akan ditemukan tanda-tanda dehidrasi karena
kurangnya asupan makanan dan minuman.29
2.3.3.5.4 Terapi
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu:
pertama dan paling utama, menjaga patensi jalan napas.
kedua, terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan
28
menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih sadar dan dalam posisi tegak.
Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan
anestesi lokal.
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, di samping terapi antibiotik dan
operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam kondisi yang lebih
terkontrol, menghindari kebutuhan akan trakheotomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi
waktu pemulihan di rumah sakit. Diawali dengan dosis 10mg, lalu diikuti dengan
pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam selama 48 jam.
Setelah patensi jalan napas telah teratasi maka antibiotik IV segera diberikan.
Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2-4 juta unit IV terbagi setiap 4 jam)
merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan meningkatnya
prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp, penambahan
metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam, amoxicillin-clavulanate
harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu mengoptimalkan regimen terapi.
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang terdapat pus
atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan memakai cunam tumpul.
Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase. Insisi dilakukan di garis tengah
secara horisontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula). Insisi dilakukan di
bawah dan paralel dengan corpus mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman
kelenjar submaksila. Insisi vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas
bawah dagu. Jika gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka
gigi tersebut harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai
infeksi reda.30
Gambar 16. Insisi pada angina Ludovici.30
29
2.3.3.5.5 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah sumbatan jalan nafas, penjalaran abses ke ruang
leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis.1
2.3.3.5.6 Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas untuk
mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan radang. Angina
Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Namun dengan diagnosis dini,
perlindungan jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang
adekuat serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan
komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%.29,30
BAB III
KESIMPULAN
30
3.1 RANGKUMAN
Abses leher dalam merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa akibat
komplikasi-komplikasinya yang serius seperti obstruksi jalan napas, kelumpuhan saraf
kranial, mediastinitis, dan kompresi hingga ruptur arteri karotis interna. Lokasinya
terletak di dasar mulut dan berdasarkan kuman penyebab terbanyak abses leher dalam
yaitu jenis streptokokus, stafilokokus dan kuman anaerob dapat menjadi ancaman yang
sangat serius. Oleh karena itu, diperlukan penatalaksanaan abses leher dalam meliputi
operasi untuk evakuasi dan drainase abses, identifikasi kuman penyebab dan pemberian
antibiotik. Hal ini akan mengurangi komplikasi yang mengancam jiwa dan mempercepat
perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fachruddin D. Abses Leher Dalam. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2008. Hal. 226-30.
31
2. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring.
Dalam: Adams, Boies, dan Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI.
Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. hal. 320-355.
3. Gorjon P, Perez P, Martin A, Dios J, Alonso S, Cabanillas M. Deep neck infection:
review of 286 cases. Acta ottorrinolaringol. 2012;63:31-41.
4. Netter, F.H. Head and neck : atlas of human anatomy. Edisi 6. USA: Saunders;2014
5. Rusmarjono, Hermani B. Odinofagia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2008. Hal. 212-6.
6. Mouth
cavity.
Diakses:
28
September
2015.
Terdapat
pada:
http://atlas.likar.info/Nebo/.
7. Zoltan
V.
Pharynx.
Diakses:
28
September
2015.
Terdapat
pada:
http://www.earspecialist. eu/index.php?page=content&method=static&id=116.
8. Rambe AYM. Abses Retrofaring. Dalam: USU Digital Library. Diakses: 28
September
2015.
Diperbaharui:
2003.
Terdapat
pada:
Parafaring.
Diakses:
28
September
2015.
Terdapat
pada:
www.scribd.com/doc/57908713/Abses-Parafaring.
12. Acevedo JL, Isaacson GC. Pediatric Retropharyngeal Abscess. Terakhir diperbaharui:
22
Juli
2011.
Diakses:
28
September
2015.
Terdapat
pada:
http://emedicine.medscape.com /article/995851-overview.
13. Dorland. Kamus saku kedokteran Dorland. Edisi 25. Jakarta: EGC. 1998.
14. Pulungan,
M.
Rusli.
Pola
Kuman
Abses
Leher
Dalam.
Diunduh
dari
32
Jhonson JT, editors. Otolaryngology Head and neck surgery. Edisi ke-4. Philadelphia:
JB.Lippincott Company 2006.p.666-81.
16. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007:p. 185-8
17. Gosselin BJ, Geibel J. Peritonsillar Abscess. Terakhir diperbaharui: 4 Februari 2010.
Diakses: 28 September 2015. Terdapat pada: http://emedicine.medscape.com/
article/194863-overview#showall.
18. Repanos C, Mukherjee P, Alwahab Y. Role of microbiological studies in management
of peritonsillar abscess. J Laryngol Otol. Aug 2009;123(8):877-9.
19. Peritonsillar Abscess. Dalam: Access Emergency Medicine from McGraw-Hill.
Diakses:
29
September
2015.
Terdapat
http://www.accessemergencymedicine
pada:
.com/overflow.aspx?
searchStr=peritonsillar+abscess&hasExactMatch=True&hasDrugMatch=False&sear
chSource=Images&ftbool=False.
20. Heidemann CH, Wallen M, Aakesson M, et al. Post-tonsillectomy hemorrhage:
assessment of risk factors with special attention to introduction of coblation
technique. Eur Arch Otorhinolaryngol. Jul 2009;266(7):1011-5.
21. Kahn JH, OConnor RE. Retropharyngeal Abscess in Emergency Medicine. Terakhir
diperbaharui: 17 Juni 2010. Diakses: 29 September 2015. Terdapat pada:
http://emedicine.medscape.com/ article/764421-overview#showall.
22. The Surgery of Sepsis. Terakhir diperbaharui: 20 April 2010. Diakses: 14 Desember
2011. Terdapat pada: http://ps.cnis.ca/wiki/index.php/The_surgery_of_ sepsis.
23. Abses Parafaring. Diakses: 29 September 2015. Terdapat pada: www.scribd.com/
doc/66624613/abses-parafaring.
24. Rizzo PB, Mosto MCD. Submandibular space infection: a potentially lethal infection.
International Journal of Infectious Disease 2009;13:327-33.
25. Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh K, Kurita K, Natsume N, et all. Odontogenic
infection pathway to the submandibular space: imaging assessment. Int. J. Oral
Maxillofac. Surg. 2002; 31: 1659.
26. Abses
Submandibula.
Diakses:
29
September
2015.
Terdapat
pada:
33
http://www.scribd.com/doc/68513145/ABSES-SUBMANDIBULA.
27. Gmez CM, Iglesia V, Palleiro O, Lpez CB. Phlegmon in the submandibular
region secondary to odontogenic infection. Emergencias 2007;19:52-53.
28. Fundamental Principles of Treatment of Infection-Oral Surgery Lecture Note.
Terakhir diperbaharui: 17 Juli 2011. Diakses:29 September 2015. Terdapat pada:
http://dentistryandmedicine.blogspot.com/2011/07/fundamental-principles-oftreatment-of.html
29. MD Guidelines. Ludwigs Angina. Diakses: 29 September 2015. Terdapat pada:
http://www.mdguidelines.com/ludwigs-angina.
30. Ludwigs
Angina.
Diakses:
29
September
2015.
Terdapat
pada:
www.scribd.com/doc /62080690/Angina-Ludwig.
34