Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN DENGAN PENYAKIT


JANTUNG BAWAAN, TUBERKULOSIS PARU DAN
MARASMUS

Disusun oleh:
Gesa Syauqi Humaira
030.13.082

Pembimbing:
dr. Raden Setyadi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 14 JANUARI – 23 MARET 2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan Judul

“Seorang Anak Perempuan dengan Penyakit Jantung Bawaan,


Tuberkulosis Paru dan Marasmus”

Penyusun:
Gesa Syauqi Humaira
030.13.082

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Arifiyah, Sp.A, sebagai syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kardinah Kota Tegal
periode
14 Januari – 23 Maret 2019

Tegal,…... Maret 2019

dr. Raden Setyadi, Sp.A

2
BAB I
LAPORAN KASUS

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS


KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Gesa Syauqi Humaira Pembimbing : dr. Raden Setyadi, Sp.A

NIM : 030.13.082 Tanda tangan :

1.1 IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. K Tn. Z Ny.H

Umur 1 tahun 2 bulan 40 tahun 26 tahun

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan

Alamat Sutapianan, Dukuturi, Tegal

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan - SMA SD

Pekerjaan - Buruh Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - Rp 1.000.000 – 1.500.00

Keterangan Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung

Asuransi BPJS

No. RM 903457

3
1.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu kandung pasien pada


tanggal 15 Maret 2017 pukul 12.00 WIB, di ruang Puspa Nidra RSU Kardinah Tegal

a. Keluhan Utama: Batuk sejak 3 minggu SMRS

b. Keluhan Tambahan: Demam sejak 2 hari SMRS

c. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang Ke IGD RSU Kardinah tanggal 12 Maret 2019 diantar oleh
orangtuanya dengan keluhan batuk sejak 3 minggu SMRS, batuk berdahak yang sulit
dikeluarkan, batuk darah disangkal dan keluhan sesak nafas dirasakan oleh pasien.
Keluhan disertai demam sejak 2 hari SMRS, keluhan demam naik turun. Ada keluhah
mual dan muntah jika batuk terus menerus. Nafsu makan berkurang dan pasien
mengalami penurunan berat badan 1kg dalam waktu 1 bulan terakhir. Ibu pasien juga
mengaku badan pasien terasa lemas dan tidak aktif bermain. BAK tidak ada keluhan,
keluhan BAB cair dan BAB berwarna kehitaman juga disangkal pasien. Pasien juga
tidak pernah kejang. Post dirawat di RS Mitra Keluarga 3 hari SMRS RSUD
Kardinah, selama perawatan di RS Mitra Keluarga pasien memulai pengobatan OAT
yang dimulai sejak hari Rabu 6 Maret 2019. Ibu pasien mengatakan bahwa keluarganya
yaitu paman dari pasien sedang menjalani pengobatan paru (TB paru). Pasien juga
memiliki riawayat penyakit jantung bawaan sejak kecil dan rutin berobat ke RSUP
dr.Kariyadi Semarang.

d. Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memiliki riwayat penyakit jantung bawaan, dan memiliki riwayat
pengobatan TB yang dimulai sejak 1 minggu yang lalu (6 Maret 2019)

e. Riwayat Penyakit Keluarga :

Ibu pasien mengaku bahwa dikeluarganya ada yang sedang menjalani


pengobatan paru yaitu paman dari pasien. Tidak ada keluarga yang memiliki penyakit
jantung bawaan ataupun asma. Riwayat diabetes mellitus pada orang tua juga
disangkal.

4
f. Riwayat Lingkungan Perumahan :

Pasien tinggal di rumah milik orang tua pasien . Rumah tersebut berukuran ±
12 x 5 m2, memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap
genteng, berlantai ubin, berdinding tembok. Di rumah tersebut tinggal kedua orang
tua pasien dan pasien. Rumah rajin dibersihkan setiap hari dari mulai disapu sampai
membersihkan debu-debu ruangan. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah,
lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah
tidak pengap. Jarak septic tank dengan wc ± 10 m.

Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi baik, ventilasi dan pencahayaan baik.

g. Riwayat Sosial Ekonomi :

Ayah pasien berprofesi sebagai karyawan dengan penghasilan ± Rp 1.000.000


– 1.500.000 per bulan. Ibu pasien berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Penghasilan
tersebut menanggung hidup 3 orang, kedua orang tua pasien dan pasien sendiri.

Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup

h. Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal

Morbiditas HT (-), DM (-), Peny.jantung (-), Peny. Paru (-),


kehamilan Anemia (-), Infeksi (-)

Selama kehamilan ibu pasien menjalani ANC


rutin tiap bulannya di puskesmas (8x) mendapat
imunisasi TT 1X. Pernah melakukan USG. Ibu
Kehamilan
tidak pernah mengonsumsi obat-obatan dan jamu
Perawatan antenatal
selama hamil, tidak merokok, tidak
mengonsumsi alkohol, tidak pernah mengalami
demam, sesak, muntah-muntah atau penyakit
lain selama kehamilan

Tempat persalinan RSUD Kardinah

Kelahiran Penolong persalinan Dokter Spesialis Obgyn

Cara persalinan SC a/i letak sungsang

5
Masa gestasi 37 minggu

Berat lahir : 2200 gram

Panjang lahir: 45 cm

Lingkar kepala: 33 cm

Keadaan lahir : langsung menangis kuat,tidak


Keadaan bayi
pucat dan tidak biru

Air ketuban : jernih, tidak keruh, tidak


bercampur mekonium

Kelainan bawaan : -

Suntik Vit. K Ibu pasien tidak tahu

i. Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di rumah sakit.

j. Corak Reproduksi Ibu

Tanggal Status
Jenis Lahir Mati
No lahir Hidup Abortus (Keterangan
kelamin mati (sebab)
(umur) kesehatan)

1 3 bulan - - Ya - -

2 6 bulan - - Ya - -

1 tahun 2
3 Perempuan Ya - - - Pasien
bulan

6
k. Riwayat Keluarga Berencana

Ibu pasien mengaku saat ini tidak sedang menggunakan KB.

l. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

o Pertumbuhan :
Berat badan lahir anak 2200 gram. Panjang badan 46 cm.Berat badan sekarang
4,5 kg dengan panjang badan sekarang 70 cm.
o Perkembangan :
Pertumbuhan gigi pertama : 8 bulan (Normal: 5-9 bulan)

Motorik Kasar
o Tengkurap : 3 bulan (Normal: 3-5 bulan)
o Duduk kepala tegak : 7 bulan (Normal: 6-9 bulan)
o Berdiri :- (Normal: 9-12 bulan)
o Berjalan :- (Normal: 12-18 bulan)
o Mengucapkan kata :- (Normal: 9-12 bulan)
o Makan Sendiri :- (Normal: 18-24 bulan)

Kesan : terdapat keterlambatan dalam pertubuhan dan perkembangan

m. Riwayat Makan dan Minum

Umur (bulan) ASI/PASI Buah/ Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0–1 ASI - - -
1–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 MPASI + + -
8 – 10 MPASI + + +
10-15 PASI + - +

7
Jenis Frekuensi dan Jumlah
Makanan
Nasi 3x/hari (1 centong)
Sayur 1x/hari (1 mangkok kecil)
Daging -
Ikan -
Telur 1x/sehari (1 butir)
Tahu -
Tempe -

Kesimpulan riwayat makanan: Pasien mendapatkan ASI ekslusif, kualitas dan


kuantitas makanan kurang baik.

n. Riwayat Imunisasi

VAKSIN ULANGAN
DASAR (umur)
(umur)
BCG 0 bulan - - - - - -
DTP/ DT - 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
POLIO 0 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan - - -
CAMPAK - - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - 6 bulan - - -

Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap, pasien belum mendapatkan imunisasi


campak.

8
o. Silsilah Keluarga

Ayah Pasien Ibu pasien Pasien

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 15 Maret 2019, pukul 13:00 WIB, di
Ruang Rawat Inap Puspa Nindra
I. Keadaan Umum
Compos mentis, tampak lemah, tampak sesak

II. Tanda Vital


Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
Nadi : 138x/menit reguler, kuat, isi cukup
Laju nafas : 48x/menit reguler
Suhu : 36,5 oC, Axilla

III. Data Antropometri


Berat badan sekarang : 4,5 kilogram
Tinggi badan sekarang : 70 cm
Lingkar lengan atas : 10 cm
Lingkar kepala : 40 cm

9
IV. Status Internus
• Kepala : Mikrosefali

• Wajah : Tampak tua (+)

• Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

• Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-),
mata

cekung (-/-), ptosis (-/-) pupil bulat, isokor, RCL +/+, RCTL+/+

• Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), deviasi (-), sekret (-/-), napas cuping

hidung (-)

• Telinga : Normotia, discharge (-/-)

• Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), labioschizis (-),

palatochizis (-), gusi berdarah(-)

• Leher : Simetris, tidak terdapat pembesaran KGB

• Thorax : Retraksi (+), iga gambang (+)

o Paru :

§ Inspeksi : Bentuk dada simetris kanan – kiri. Gerak napas simetris,


tidak ada hemithorax yang tertinggal,

§ Palpasi : Simetris, tidak ada yang tertinggal

§ Perkusi : tidak dilakukan

§ Auskultasi : Suara nafas vesikuler(+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).

o Cor :

§ Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

§ Palpasi : Tidak ada hemithoraks yang tertinggal

§ Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan

10
§ Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (+) sistolik
ICS II-III linea sternalis sinistra, gallop (-)

• Abdomen :

§ Inspeksi : Datar, simetris

§ Auskultasi : Bising usus (+)

• Palpasi : Supel, distensi (-), turgor kembali < 2 detik, hepar tidak
teraba,

lien tidak teraba , asites (-)

§ Perkusi : Redup di 2 kuadran atas, timpani 2 kuadran bawah

• Genitalia : tidak ada kelainan, jenis kelamin perempuan

• Ekstremitas:

Keempat ekstrimitas lengkap, simetris


Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
Ref. Fisiologis + +
Ref. Patologis - -

11
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan selama pasien dirawat di RSU Kardinah Tegal:

• Laboratorium Darah

Laboratorium Darah (12/03/2019)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 10.8 g/dl 10.7 – 14.7

Leukosit 21.2 (H) 103/µl 4.5 – 13.5

Hematokrit 31,8 (L) % 33 – 41

Trombosit 562 (H) 103/µl 150 – 521

Eritrosit 3.9 106/µl 3.7 – 5.7

RDW 14.5 % 11.5 – 14.5

MCV 70.7 U 73 – 101

MCH 27.4 Pcg 22 – 34

MCHC 34.0 g/dl 26 - 34

Neutrofil 83.2 (H) % 50 – 70

Limfosit 9.1 (L) % 25 – 40

Monosit 7.5 % 2–8

Eosinifil 0 (L) % 2–4

Basofil 0.2 % 0–1

Natrium 139.1 mmol/L 135 – 145

Kalium 5.96 (H) mmol/L 3.3 – 5.1

Klorida 112.1 (H) mmol/L 96 – 106

Glukosa Sewaktu 93 mg/dL 60.0 – 100.0

12
• Rontgen Thorax

a. 12 Maret 2019 (RSUD Kardinah)

Kesan : Cardiomegali dengan obs RVH & LAH, suspek VSD

1.5 PEMERIKSAAN KHUSUS

a. Data antropometri

Anak perempuan usia 1 tahun 2 bulan

Berat badan : 4,5 kilogram

Tinggi badan : 70 cm

Lingkar lengan atas : 10 cm

Lingkar kepala : 40 cm

13
b. Pemeriksaan Status Gizi (Curva WHO)

BB/U à Kesan: < -3 SD (Gizi Buruk)

BB/TB à Kesan: -3 s/d -2 SD (Perawakan Pendek)

14
BB/PB à Kesan: < -3 SD (Sangat Kurus)

c. Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Kesan : Mikrosefali

15
d. Scoring TB

Total skoring TB: 6 à OAT

16
1.6 RESUME

Pasien anak perempuan usia 1 tahun 2 bulan datang Ke IGD RSU Kardinah
tanggal 12 Maret 2019 diantar oleh orangtuanya dengan keluhan batuk sejak 3
minggu SMRS, batuk berdahak yang sulit dikeluarkan, batuk darah disangkal dan
keluhan sesak nafas dirasakan oleh pasien. Keluhan disertai demam sejak 2 hari
SMRS, keluhan demam naik turun. Ada keluhah mual dan muntah jika batuk terus
menerus. Nafsu makan berkurang dan pasien mengalami penurunan berat badan 1kg
dalam waktu 1 bulan terakhir. Ibu pasien juga mengaku badan pasien terasa lemas dan
tidak aktif bermain. BAK tidak ada keluhan, keluhan BAB cair dan BAB berwarna
kehitaman juga disangkal pasien. Pasien juga tidak pernah kejang. Post dirawat di RS
Mitra Keluarga 3 hari SMRS RSUD Kardinah, selama perawatan di RS Mitra
Keluarga pasien memulai pengobatan OAT yang dimulai sejak hari Rabu 6 Maret
2019. Ibu pasien mengatakan bahwa keluarganya yaitu paman dari pasien sedang
menjalani pengobatan paru (TB paru). Pasien juga memiliki riawayat penyakit jantung
bawaan sejak kecil dan rutin berobat ke RSUP dr.Kariyadi Semarang.
Pada pemeriksaan fisik, pasien compos mentis, tampak sakit sedang, tampak
lemas dan tampak sesak. Nadi 138 x/menit, nafas 48 x/menit, dan suhu 36,5ºC. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan wajah tampak tua, iga gambang, retraksio dada, murmur
pansistolik ICS II-III linea sternalis sinistra. Pada pemeriksaan status gizi didapatkan
kesimpulan gizi buruk dengan perawakan pendek dan sangat kurus. Pada pemeriksaan
laboratorium yang pertama pada tanggal 12 Maret 2018 laukopenia (21.2 x 103/uL),
trombositosis (562 x 103/uL), Netrofil ­ (83.2%), limfosit ¯ (9.1%), dan eosinofil ¯
(0%), kalium ­ (5.96 mmol/L), klorida ­ (112.1 mmol/L). Pemeriksaan rontgen
thoraks didapatkan kesan cardiomegali dengan obs RVH & LAH, suspek VSD.

17
1.7 DAFTAR MASALAH

• Batuk sejak 3 minggu

• Demam 2 hari

• Nafsu makan menurun

• Penurunan BB

• Kontak TB (+)

• Post Rawat 1 minggu yang lalu dan memulai OAT sejak 1 minggu yang lalu

• Riwayat PJB

• Tampak sesak, terdapat retraksi dada

• Wajah tampak tua, iga gambang (+)

• Auskultasi: murmur pansistolik ICS II-III linea sternalis sinistra.

• Gizi buruk

1.8 DIAGNOSIS BANDING

• TB paru

Batuk 3 minggu & • Bronkopneumonia

demam • Bronkitis
• Bronkiolitis

• VSD
PJB Asianotik • PDA
• ASD
• Marasmus
Gizi Buruk • Kwasiokor
• Marasmus - Kwasiokor

18
1.9 DIAGNOSIS KERJA

• PJB Asianotik (VSD)

• TB Paru

• Marasmus

1.10 PENATALAKSANAAN

a. Non medikamentosa
• Monitor tanda vital dan keadaan umum
• Beri terapi sesuai anjuran
• Pemberian asupan gizi yang sesuai
• Edukasi:
- Menjelaskan kepada keluarga tentang penyakit pasien, pengobatan,
dan komplikasi yang mungkin dapat terjadi
- Mencari faktor pencetus dan menghindarinya
- Menjelaskan mengenai aktivitas yang boleh dan perlu dikurangi pada
pasien

b. Medikamentosa
• O2 nasal canul 2 L/m
• IVFD D5 ¼ NS 18 tpm
• Inj. Cefotaxim 3 x 150mg
• Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
• Paracetamol drop 4 x 0,5 ml
• Captropil 2 x 1,5 mg
• Furosemid 2 x 2 mg
• RHZ 1 x 1 tab
• Sonde F 75 à 6 x 75 cc

19
B. PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia


Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad malam

C. PEMERIKSAAN ANJURAN

§ Pemeriksaan mantoux test

§ Pemeriksaan TCM

§ Echocardiography

20
1.13 PERJALANAN PENYAKIT

12 Maret 2019
(R. Puspa Nindra)
Hari Perawatan ke-1
S Batuk sejak 3 minggu SMRS berdahak dan sulit keluar, demam sejak 2
hari SMRS, nafsu makan menurun, BB menurun, demam. Muntah 1x

O KU: composmentis, tampak lemah, tampak pucat


TTV: N 145 x/m, RR 42x/m, S 38,5 0C
Status generalis:
Kepala : Mikrosefali
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
Toraks : SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, g (-), murmur
sistolik ICS II-III linea sternalis sinistra. Retraksi (+), iga gmbang (+)
Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-), oganomegali (-)
Ekstremitas atas-bawah : AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik

A • PJB Asianotik (VSD)


• TB Paru
• Marasmus

P • O2 nasal canul 2 L/m


• IVFD D5 ¼ NS 18 tpm
• Inj. Cefotaxim 3 x 150mg
• Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
• Paracetamol drop 4 x 0,5 ml (k/p)
• Captropil 2 x 1,5 mg
• Furosemid 2 x 2 mg
• RHZ 1 x 1 tab
• Sonde F 75 à 6 x 75 cc

21
13 Maret 2019
(R. Puspa Nindra)
Hari Perawatan ke-2
S Demam (+), batuk (+), sesak (+), terpasang OGT, muntah 1x

O KU: composmentis, tampak lemah, tampak sesak


TTV: N 171 x/m, RR 45x/m, S 370C
Status generalis:
Kepala : Mikrosefali
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
Toraks : SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, g (-), murmur
sistolik ICS II-III linea sternalis sinister, Retraksi (+), iga gmbang (+)
Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-), oganomegali (-)
Ekstremitas atas-bawah : AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik

A • PJB Asianotik (VSD)


• TB Paru
Marasmus
P • O2 nasal canul 2 L/m
• IVFD D5 ¼ NS 18 tpm
• Inj. Cefotaxim 3 x 150mg
• Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
• Paracetamol drop 4 x 0,5 ml (k/p)
• Captropil 2 x 1,5 mg
• Furosemid 2 x 2 mg
• RHZ 1 x 1 tab
• Sonde F 75 à 6 x 75 cc

22
14 Maret 2019
(R. Puspa Nindra)
Hari Perawatan ke-3
S Demam (+), batuk (+), sesak (+), BAB cair 3x ada ampas

O KU: composmentis, tampak lemah, tampak sesak


TTV: N 148 x/m, RR 44x/m, S 37,40C
Status generalis:
Kepala : Mikrosefali
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
Toraks : SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, g (-), murmur
sistolik ICS II-III linea sternalis sinistra. Retraksi (+), iga gmbang (+)
Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-), oganomegali (-)
Ekstremitas atas-bawah : AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik

A • PJB Asianotik (VSD)


• TB Paru
• Marasmus
P • O2 nasal canul 2 L/m
• IVFD D5 ¼ NS 18 tpm
• Inj. Cefotaxim 3 x 150mg
• Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
• Paracetamol drop 4 x 0,5 ml (k/p)
• Captropil 2 x 1,5 mg
• Furosemid 2 x 2 mg
• RHZ 1 x 1 tab
• Sonde F 75 à 6 x 75 cc

23
15 Maret 2019
(R. Puspa Nindra)
Hari Perawatan ke-4

S Demam (+), batuk (+), sesak (+), muntah 1x isi susu

O KU: composmentis, tampak lemah, tampak sesak


TTV: N 138 x/m, RR 48x/m, S 36,50C
Status generalis:
Kepala : Mikrosefali
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
Toraks : SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, g (-), murmur
sistolik ICS II-III linea sternalis sinistra. Retraksi (+), iga gmbang (+)
Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-), oganomegali (-)
Ekstremitas atas-bawah : AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik

A • PJB Asianotik (VSD)


• TB Paru
• Marasmus
P • O2 nasal canul 2 L/m
• IVFD D5 ¼ NS 18 tpm
• Inj. Cefotaxim 3 x 150mg
• Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
• Paracetamol drop 4 x 0,5 ml (k/p)
• Captropil 2 x 1,5 mg
• Furosemid 2 x 2 mg
• RHZ 1 x 1 tab
• Sonde F 75 à 6 x 75 cc

24
16 Maret 2019
(R. Puspa Nindra)
Hari Perawatan ke-5

S Demam (­¯), batuk (+), sesak (+)

O KU: composmentis, tampak lemah, tampak sesak


TTV: N 136 x/m, RR 44x/m, S 36,10C
Status generalis:
Kepala : Mikrosefali
Mata : CA (-/-), SI (-/-),
Toraks : SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ 1-2 reguler, g (-), murmur
sistolik ICS II-III linea sternalis sinistra Retraksi (+), iga gmbang (+)
Abdomen: Supel, BU (+)N, distensi (-), oganomegali (-)
Ekstremitas atas-bawah : AH (+/+), OE (-/-) CRT < 2 detik

A • PJB Asianotik (VSD)


• TB Paru
• Marasmus

P • O2 nasal canul 2 L/m


• IVFD D5 ¼ NS 18 tpm
• Inj. Cefotaxim 3 x 150mg
• Inj. Gentamisin 1 x 30 mg
• Paracetamol drop 4 x 0,5 ml (k/p)
• Captropil 2 x 1,5 mg
• Furosemid 2 x 2 mg
• RHZ 1 x 1 tab
• Sonde F 75 à 6 x 75 cc

25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Di negara-
negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah
seluruh popuasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap
tahun.

2.2 Patognesis

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5um) akan terhirup dan mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
mengancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limge yang mempunya saluran limfe ke lokasi focus primer.
Penyebaran ini menyababkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokur primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (parahiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer.
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu,

26
biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman
TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila
imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.

27
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB
diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread
dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan
mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi
anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan
granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran
vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

28
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah
infeksi primer.

29
Gambar 1. Patogenesis TB

30
2.3 Klasifikasi TB

Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:


a) Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB
Anak
b) Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB
anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh
Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
c) Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak
memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan
kelainan radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam
kelompok pasien ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA
tidak diperiksa dan Pasien TB Ekstra Paru
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal berikut
1) Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a) Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.
b) Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala hanya pembesaran kelenjar tidak
selalu menderita TB Ekstra Paru.

Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai TB paru
2) Riwayat pengobatan sebelumnya :
a) Baru Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan
hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa
paru atau ekstra paru.
b) Pengobatan ulang Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan

31
hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh,
gagal atau pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-
up).

3) Berat dan ringannya penyakit


a) TB ringan : tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
b) TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau
kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB
abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA positif, TB resisten
obat, TB HIV

4) Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada daerah
endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan pemeriksaan HIV, TB
pada anak diklasifikasikan sebagai:
a) HIV positif
b) HIV negative
c) HIV tidak diketahui
d) HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV
diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif. Apabila
hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada anak usia < 18 bulan,
maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah usia > 18 bulan

5) Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M. tuberculosis terhadap
OAT terdiri dari:
a) Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap salah satu jenis
OAT lini pertama.
b) Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c) Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT lini pertama lainnya.

32
d) Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan yaitu Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e) Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT lain yang dideteksi
menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai, pemeriksaan konvensional
atau pemeriksaan cepat. Termasuk dalam kelompok ini adalah setiap resistansi
terhadap rifampisin dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR
dan XDR.

2.4 Gejala TB pada Anak

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang
timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama
pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Namun,
sebernanya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap lebih dari 2 minggu walaupun sudah
diberikan terapi yang adekuat.
Gejala sistemik/umum
a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2
bulan

b. Batuk-batuk selama lebih dari 2 minggu (dapat disertai dengan darah)

c. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari
disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang

d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala spesifik terkait organ


a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian
bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening
yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang
disertai sesak

33
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan
keluhan sakit dada.

c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu
saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini
akan keluar cairan nanah.

d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai
meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan
kesadaran dan kejang-kejang.

2.5 Diagnosis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam
hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas
dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis,
asma, kanker paru, dan lain-lain.

34
35
Gambar 2. Diagnosis TB

2.6 Pemeriksaan Diagnostik TB Paru

A. Pemeriksaan bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan


diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaam sputum pada anak terutama
dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif dan gambaran kelainan paru
luas.
Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat
pausibasiler pada TB anak, Pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan
pemeriksaan yang seharusnya dilakukan , terutama di fasilitas pelayanan kesehatan yang

36
mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologis. Cara
mendapatkan sputum pada anak :
1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/ dahak
secara langsung dengan berdahak
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak
dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut-turut pada pagi hari
3) Induksi sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan
lebih dari 1 sampel.Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan
pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini
Cara pengambilan sputum dengan bilas lambung dan induksi sputum dijelaskan lebih
rinci pada lampiran.

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :


a. Pemeriksaan mikroskopik BTA sputum atau spesimen lain (cairan tubuh atau jaringan
biopsi)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi
hari
b. Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
1) Saat ini beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk dapat mengidentifikasi
kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2 jam),
antara lain pemeriksaan line probe assay (misalnya Hain Genotype) dan NAAT (
Nucleic Acid Amplification Test) misalnya Xpert MTB/RIF
2) Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosis secara molekuler sekaligus menentukan ada tidaknya resistensi
terhadap rifampicin.Pemeriksaan TCM mempunyai nilai diganostik yang lebih
baik dari pada pemeriksaan mikroskopik sputum, tetapi masih dibawah uji
biakan.Hasil negatif TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.
c. Pemeriksaan Biakan

37
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan).Pemeriksaam biakan
sputum dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia.Jenis Media untuk
pemeriksaan biakan, yaitu :
1) Media padat : Hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu

2) Media cair : hasil biakan bisa diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal

B. Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis
TB pada anak :
a. Uji tuberkulin
1) Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakan diagnosis TB pada anak,
khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas.Uji tuberkulin tidak
bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB.Hasil positif uji tuberkulin
menunjukan adanya infeksi dan tidak menunjukan ada tidaknya sakit
TB.sebaliknya hasil negatif uji tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis
TB
2) Cara melakukan dan pembacaan hasil uji tuberkulin diuraikan secara rinci
dilampiran
3) Pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya infeksi TB adalah dengan
imnuglobulin release assay (IGRA).IGRA tidak dapat membedakan antara infeksi
TB laten dengan TB aktif.Penggunaannya untuk deteksi infeski TB tidak lebih
unggul dibandingkan uji tuberkulin.Program Nasional belum merekomendasikan
penggunaaan IGRA di lapangan.
b. Foto Toraks
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakan diagnosis TB pada
anak.Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier.
Secaea umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berkut :
1) Pembesaraan kelenjar hilus atay para trakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya
selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
2) Konsolidasi segmental/lobar
3) Efusi Pleura

38
4) Milier
5) Atelektasis
6) Kavitas
7) Kalsifikasi dengan infiltrat
8) Tuberkulosa
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/ Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di
tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB

2.7 Alur Diagnosis TB Anak

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu :
1) Konfirmasi bakteriologis TB

2) Gejala Klinis yang khas TB

3) Adanya bukti infeksi TB ( hasil uji tuberkulin positif atau kontak erat dengan pasien
TB)

4) Gambaran foto toraks sugestif TB

Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakan


diagnosis TB pada anak.Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistem
skoring ini diharapkan dapat diterapkan di fasilitas pelayan kesehatan Indonesia
mempunyai sarana fasilitas untuk melakukan ujintuberkulin dan foto toraks yang
merupakan parameter pada sistem skoring.Oleh karena itu pada fasilitas pelayanan
kesehatan dengan fasilitas terbatas atau dengan akses sulit untuk pemeriksaan uji

39
tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB pada anak dapat ditegakan tanpa
menggunakan sistem skoring seperti pada alur diagnosis TB anak.
Alur diagnsosis TB ini digunakan untuk penegak diagnsosi TB pada anak
yang bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB.Pada anak yang tidak
bergejala tetapin kontak dengan pasien TB dewas, pendekatan tatalaksana
menggunakan alur investigasi kontak. Jadi masuk alur ini adalah anak dengan gejala
TB.Pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan sarana yang lengkap, semua
pemeriksaan penunjang seharusnya dilakukan, termasuk pemeriksaan sputum.
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan pemeriksaan sputum :

1) Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan fasilitas yang


tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan OAT

2) Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau spesimen tidak dapat
diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks, maka :

a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkuin dan foto toraks :

1. Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak dapat
didiagnosis TB dan diberikan OAT

2. Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2-4 minggu.Bila
pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk pemeriksaan uji tuberkulin dan
foto toraks

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor total
menggunakan sistem skoring :

1. Jika skor tota > 6 = diagnosis TB dan diobati dengan OAT

2. Jika skor total <6 dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat = diagnosis
TB dan diobati dengan OAT

40
3. Jika skor total <6 dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat =
observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang kemungkinan
diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

Gambar 3.Alur Diagnosis

Catatan penggunaaan alur diagnosis TB anak :


Jika ditemukan salah satu keadaan dibawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas

2. Gibbus, koksitis

41
3. Tanda bahaya

4. Kejang, kaku kuduk

5. Penurunan kesadaraan

6. Kegawataan lain, misalnya sesak nafas

Penjelasaan

a) Pemeriksan bakteriologis (mikroskopik atau TCM) tetap merupakan pemeriksaan


utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak, berbagai upaya dapat dilakukan
untuk memperoleh spesimen dahak, diantara induksi sputum. Pemeriksaan
mikroskopik dilakukan 2 kali dan dinyatakan positif jika satu spesimen dipetiksa
memberikan hasil positif

b) Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala, namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu dimana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penialian klinis untuk menetukan diagnosis TB

c) Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya disekolah, pengasuh, tempat bermain dan sebagainya

d) .Pada anak yang pada evaluasi bulan ke 2 tidak menunjukan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resisten obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien.Apabila fasilitas tidak memungkinkan,
pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan
gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut saat diagnosis

42
Gambar 4.Skoring TB

2.8 Tatalaksana

Tatalaksana medikamentosa TB anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis


(pencegahan).Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan
pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB (profilaksis
sekunder). Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama
pemberiaan obat anti TB sebagai berikut :
1) Menyembuhkan pasien TB

2) Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjang

3) Mencegah TB relaps

43
4) Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat

5) Menurunkan transmisi TB

6) Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin

7) Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang

Beberapa hal penting dalam tatalaksan TB Anak adalah :

a) Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi

b) Pengobatan diberikan setiap hari

c) Pemberian gizi yang adekuat

d) Mencari penyakit penyerta, jika ada tatalaksana secara bersamaan

A. Obat yang digunakan pada TB Anak

1) Obat anti tuberkulosis (OAT)


Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler)
sehingga rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya
diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa.Terapi
TB anak dengan BTA negatif menggunakan panduan INH, Rifampisin dan
Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti rifampisin dan INH pada 4
bulan fase lanjutan

Gambar 5.Dosis OAT Anak

44
Gambar 6.Fase Pengobatab TB

B. Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed dose combination (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat,
panduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC.satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan.Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif
yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase
lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket.Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut :

Gambar 7.Dosis OAT KDT pada TB Anak

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
1) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk kombinasi
dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan

45
2) Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan disesuaikan
berat badan saat itu
3) Untuk anak obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan ideal (sesuai umur). Tabel
Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
4) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus)
5) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau
dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
6) Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
7) Bila INH kombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi 10
mg/kgBB/hari
8) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh
digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer B. Pemantauan dan Hasil
Pengobatan TB Anak

a. Kortikosteroid
diberikan pada kondisi :
1) TB Meningits
2) Sumbatan jalan napas akibat TB Kelenjar ( endobronkhial TB)
3) Perikarditis TB
4) TB milier dengan gangguan napas yang berat
5) Efusi pleura TB
6) TB abdomen dengan asites
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4
mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4
minggu.Tappering off dilakukan secara bertahap setelah 2 minggu pemberian
kecuali pada TB Meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum tappering off
b. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak
dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan anti retoviral therapy
(ART). Suplementasi piridoksin ( 5-10 mg/ hari) direkomendasikan pada HIV positif
dan malnutrisi

46
C. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan
TB.Malnutrisi berat meningkatkan resiko kematian pada anak dengan TB.Penilaian
status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam pengobatan.Penilaian
dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan atas atau pengamatan gejala
dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat
diatasi.Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusu

D. Pemantauan dan hasil evaluasi TB Anak


1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak

Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hari secara teratur oleh
pengawas menelan obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak.
Pasien TB anak sebaiknya dipantau setiap 2 minggu selama fase intesif dan sekali
sebulan pada fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluai respon pengobatan,
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam
menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat, berat badan meningkat.
Jika respon pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan dan
pasien dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai kemungkinan resistensi
obat, komplikasi, komorbiditas atau adanya penyakit paru lain. Pada pasien TB anak
dengan hasil BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir bulan ke 2, ke 5 dan ke-6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu lama sehingga tidak
perlu dilakukan foto toraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada TB milier
setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2-4 minggu.
Demikian pun pemeriksaan uji tuberkulin karnea uji tuberkulin yang positif akan
tetap positif.
Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan berat badan.Pemberian OAT
dihentikan setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks ( pada TB milier, TB dengan

47
kavitas, efusi pleura). Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukan perubahan
yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan
dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.Kepatuhan minum obat dicatat
menggunakan kartu pemantauan pengobatan.

2) Hasil akhir pengobatan pasien TB Anak

Gambar 8. Hasil Akhir Pengobatan TB Anak

E. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
dan meningkatkan risiko terjadinya TB resisten obat.
1) Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intesif atau >2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal
2) Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau >2 bulan di fase
lanjutan DAN menunjukan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai

48
F. Pengobatan ulang TB pada Anak
Anak yang pernah mendapatkan pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB. Evaluasi
dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring.
Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas
rujukan.Apabila hasil pemeriksaan dahak menunjukan hasil positif, maka anak
diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada pasein TB anak yang pernah mendapat
pengobatan TB tidak dianjutkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

G. Tatalaksana efek samping obat


Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Pemberian etambutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak banyak
menimbulkan gejala efek samping selama pemberiannya sesuai dengan rentang dosis
yang direkomendasikan
Efek samping yang paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat
disebabkan oleh isoniazid, rifampisisn atau pirazinamid.pemeriksaan kadar enzim hati
tidak perlu dilakukan secara rutin pada anak yang akan memulai pengobatan TB. Pada
keadaan peningkatan enzim hati ringan tanpa gejala klinis ( kurang dari 5 kali nilai
normal) bukan merupakan inikasi pengehentian terapi obat anti TB
Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus harus segera dilakukan
pengukuran kadar enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB. Penapisan ke arah
penyebab hepatitis lain harus dilakukan. Obat TB diberikan kembali jika fungsi hati
kembali normal, diberikan dengan dosis yang lebih kecil yang masih masuk dalam
rentang terapi, dengan tetap memonitor kadar enzi hati. Konsultasi ke ahli hepatologi
diperlukan untuk tatalaksana lebih lanjut

2.9 Komplikasi

1) Penyakit paru primer pogresif


Komplikasi infeksi tuberkulosis serius tetapi jarang terjadi pada anak bila fokus
primer membesar dengan mantap dan terjadi pusat perkejuan yang besar.
Pencarian dapat menyebabkan pembentukan kaverna primer yang disertai dengan
sejumlah besar basili. Pembesaran fokus dapat melepaskan debris nekrotik

49
kedalam bronkus yang berdekatan, menyebabkan penyebaran intrapulmonal lebih
lanjut
2) Efusi pleura
Efusi pleura tuberkulosis yang dapat lokal dan menyeluruh, mula-mula keluarnya
basili kedalam sela pleura dari fokus paru sub pleura atau limfonodi.
3) Perikarditis
Perikarditis biasanya berasal dari infasi langsung atau aliran limfe dari limponodi
subkranial.
4) Meningitis
Meningitis tuberkulosa mengkomplikasi sekitar 0,3% infeksi primer yang tidak
diobati pada anak. Kadang-kadang meningitis tuberkulosa dapat terjadi beberapa
tahun setelah infeksi primer, bila robekan satu atau lebih tuberkel subependimal
menegeluarkan basil tuberkel kedalam ruang subarakhnoid.
5) Tuberkulosis
Tulang Infeksi tulang dan sendi yang merupakan komplikasi tuberkulosis
cenderung menyerang vetebra. Manifestasi klasik spondilitis tuberculosa
berkembang menjadi penyakit Pott, dimana penghancuran corpus vertebra
menyebabkan gibbus dan kifosis. Tuberkulosis skeletona adalah komplikasi
tuberkulosis lambat dan menjadi perwujudan yang jarang sejak terapi
antituberkulosis tersedia
6) Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah)
Yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya
jalan nafas. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial. Bronkiectasis (pelebaran
bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses
pemulihan atau reaktif) pada paru. Pneumotorak (adanya udara didalam rongga
pleura) spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru. Penyebaran
infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan sebagainya.
Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

50
2.2 PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
2.2.1 Definisi
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Menurut Prof. Dr. Ganesja M Harimurti, Sp.JP (K),
FASCC, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita,
mengatakan bahwa PJB adalah penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat
proses pembentukan jantung yang kurang sempurna. Proses pembentukan jantung ini terjadi
pada awal pembuahan (konsepsi). Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di
dalam kandungan, ada kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung
pada janin ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan, karena jantung terbentuk
sempurna pada saat janin berusia empat bulan.

2.2.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko


Bayi baru lahir yang dipelajari adalah 3069 orang, 55,7% laki- laki dan 44,3%
perempuan, 28 (9,1 per-1000) bayi mempunyai PJB. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
ditemukan pada 12 orang bayi (42,9%), 6 diantaranya bayi prematur. Ventricular Septal
Defect (VSD) ditemukan pada 8 bayi (28,6%), Atrial Septal Defect (ASD) pada 3 bayi
(19,7%), Complete Atrio Ventricular Septal Defect (CAVSD) pada 3,6 % bayi, dan kelainan
katup jantung pada bayi yang mempunyai penyakit jantung sianotik (10,7%), satu bayi
Transposition of Great Arteries (TGA), dua lain dengan kelainan jantung kompleks sindrom
sianotik. Ditemukan satu bayi dengan sindrom Down dengan ASD, dengan ibu pengidap
diabetes. Satu orang bayi dilahirkan dari bapak dengan PJB, tidak ada dari 4 orang ibu
dengan PJB mempunyai bayi dengan PJB. Atrial fibrillation ditemukan di satu orang bayi.
Dari 28 bayi dengan PJB, 4 mati (14,3%) selama 5 hari pengamatan. Data menunjukkan ibu
yang tidak mengkonsumsi vitamin B secara teratur selama kehamilan awal mempunyai 3 kali
risiko bayi dengan PJB. Merokok secara signifikan sebagai faktor risiko bagi PJB 37,5 kali.
Faktor risiko lain secara statistik tidak berhubungan.
Dalam hubungan keluarga yang dekat risiko terjadinya PJB yang terjadi 79,1%, untuk
Heterotaxia, 11,7% untuk Conotruncal Defects, 24,3% untuk Atrioventricular Septal Defect,
12,9% untuk Left Ventricular Outflow Tract Obstruction, 7,1% untuk Isolated Atrial Septal
Defect dan 3,4% untuk Isolated Ventricular Septal Defect. Risiko terjadinya PJB dari jenis
lain 2,68%, risiko didapatnya PJB dari jenis yang sama berkisar 8,15%. Didapati hanya 2,2%
kejadian PJB pada populasi yang diamati.

51
2.2.3 Jenis PJB
1. PJB Non Sianotik
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) non sianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa lahir yang tidak ditandai dengan sianosis; misalnya lubang di sekat
jantung sehingga terjadi pirau dari kiri ke kanan, kelainan salah satu katup jantung dan
penyempitan alur keluar ventrikel atau pembuluh darah besar tanpa adanya lubang di sekat
jantung. Masing-masing mempunyai spektrum presentasi klinis yang bervariasi dari ringan
sampai berat tergantung pada jenis dan beratnya kelainan serta tahanan vaskuler paru
a. Ventricular Septal Defect (VSD)
Pada VSD besarnya aliran darah ke paru ini selain tergantung pada besarnya lubang,
juga sangat tergantung pada tingginya tahanan vaskuler paru. Makin rendah tahanan vaskuler
paru makin besar aliran pirau dari kiri ke kanan. Pada bayi baru lahir dimana maturasi paru
belum sempurna, tahanan vaskuler paru umumnya masih tinggi dan akibatnya aliran pirau
dari kiri ke kanan terhambat walaupun lubang yang ada cukup besar. Tetapi saat usia 2–3
bulan dimana proses maturasi paru berjalan dan mulai terjadi penurunan tahanan vaskuler
paru dengan cepat maka aliran pirau dari kiri ke kanan akan bertambah. Ini menimbulkan
beban volume langsung pada ventrikel kiri yang selanjutnya dapat terjadi gagal jantung.
b. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada PDA kecil umumnya anak asimptomatik dan jantung tidak membesar. Sering
ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan rutin dengan adanya bising kontinyu yang khas
seperti suara mesin (machinery murmur) di area pulmonal, yaitu di parasternal sela iga 2–3
kiri dan di bawah klavikula kiri. Tanda dan gejala adanya aliran ke paru yang berlebihan pada
PDA yang besar akan terlihat saat usia 1–4 bulan dimana tahanan vaskuler paru menurun
dengan cepat. Nadi akan teraba jelas dan keras karena tekanan diastolik yang rendah dan
tekanan nadi yang lebar akibat aliran dari aorta ke arteri pulmonalis yang besar saat fase
diastolik. Bila sudah timbul hipertensi paru, bunyi jantung dua komponen pulmonal akan
mengeras dan bising jantung yang terdengar hanya fase sistolik dan tidak kontinyu lagi
karena tekanan diastolik aorta dan arteri pulmonalis sama tinggi sehingga saat fase diastolik
tidak ada pirau dari kiri ke kanan. Penutupan PDA secara spontan segera setelah lahir sering
tidak terjadi pada bayi prematur karena otot polos duktus belum terbentuk sempurna sehingga
tidak responsif vasokonstriksi terhadap oksigen dan kadar prostaglandin E2 masih tinggi.
Pada bayi prematur ini otot polos vaskuler paru belum terbentuk dengan sempurna sehingga
proses penurunan tahanan vaskuler paru lebih cepat dibandingkan bayi cukup bulan dan
akibatnya gagal jantung timbul lebih awal saat usia neonates.

52
c. Atrial Septal Defect (ASD)
Pada ASD presentasi klinisnya agak berbeda karena defek berada di septum atrium dan
aliran dari kiri ke kanan yang terjadi selain menyebabkan aliran ke paru yang berlebihan juga
menyebabkan beban volum pada jantung kanan. Kelainan ini sering tidak memberikan
keluhan pada anak walaupun pirau cukup besar, dan keluhan baru timbul saat usia dewasa.
Hanya sebagian kecil bayi atau anak dengan ASD besar yang simptomatik dan gejalanya
sama seperti pada umumnya kelainan dengan aliran ke paru yang berlebihan yang telah
diuraikan di atas. Auskultasi jantung cukup khas yaitu bunyi jantung dua yang terpisah lebar
dan menetap tidak mengikuti variasi pernafasan serta bising sistolik ejeksi halus di area
pulmonal. Bila aliran piraunya besar mungkin akan terdengar bising diastolik di parasternal
sela iga 4 kiri akibat aliran deras melalui katup trikuspid. Simptom dan hipertensi paru
umumnya baru timbul saat usia dekade 30 – 40 sehingga pada keadaan ini mungkin sudah
terjadi penyakit obstruktif vaskuler paru.
d. Aorta Stenosis (AS)
Aorta Stenosis derajat ringan atau sedang umumnya asimptomatik sehingga sering
terdiagnosis secara kebetulan karena saat pemeriksaan rutin terdengar bising sistolik ejeksi
dengan atau tanpa klik ejeksi di area aorta; parasternal sela iga 2 kiri sampai ke apeks dan
leher. Bayi dengan AS derajat berat akan timbul gagal jantung kongestif pada usia
mingguminggu pertama atau bulan-bulan pertama kehidupannya. Pada AS yang ringan
dengan gradien tekanan sistolik kurang dari 50 mmHg tidak perlu dilakukan intervensi.
Intervensi bedah valvotomi atau non bedah Balloon Aortic Valvuloplasty harus segera
dilakukan pada neonatus dan bayi dengan AS valvular yang kritis serta pada anak dengan AS
valvular yang berat atau gradien tekanan sistolik 90 – 100 mmHg.
e. Coarctatio Aorta (CoA)
Coartatio Aorta pada anak yang lebih besar umumnya juga asimptomatik walaupun
derajat obstruksinya sedang atau berat. Kadang-kadang ada yang mengeluh sakit kepala atau
epistaksis berulang, tungkai lemah atau nyeri saat melakukan aktivitas. Tanda yang klasik
pada kelainan ini adalah tidak teraba, melemah atau terlambatnya pulsasi arteri femoralis
dibandingkan dengan arteri brakhialis, kecuali bila ada PDA besar dengan aliran pirau dari
arteri pulmonalis ke aorta desendens. Selain itu juga tekanan darah lengan lebih tinggi dari
pada tungkai. Obstruksi pada AS atau CoA yang berat akan menyebabkan gagal jantung pada
usia dini dan akan mengancam kehidupan bila tidak cepat ditangani. Pada kelompok ini,
sirkulasi sistemik pada bayi baru lahir sangat tergantung pada pirau dari kanan ke kiri melalui

53
PDA sehingga dengan menutupnya PDA akan terjadi perburukan sirkulasi sistemik dan
hipoperfusi perifer.
f. Pulmonal Stenosis (PS)
Status gizi penderita dengan PS umumnya baik dengan pertambahan berat badan yang
memuaskan. Bayi dan anak dengan PS ringan umumnya asimptomatik dan tidak sianosis
sedangkan neonatus dengan PS berat atau kritis akan terlihat takipnu dan sianosis. Penemuan
pada auskultasi jantung dapat menentukan derajat beratnya obstruksi. Pada PS valvular
terdengar bunyi jantung satu normal yang diikuti dengan klik ejeksi saat katup pulmonal yang
abnormal membuka. Klik akan terdengar lebih awal bila derajat obstruksinya berat atau
mungkin tidak terdengar bila katup kaku dan stenosis sangat berat. Bising sistolik ejeksi yang
kasar dan keras terdengar di area pulmonal. Bunyi jantung dua yang tunggal dan bising
sistolik ejeksi yang halus akan ditemukan pada stenosis yang berat.

2.PJB Sianotik
Sesuai dengan namanya manifestasi klinis yang selalu terdapat pada pasien dengan
PJB sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa yang disebabkan
oleh terdapatnya >5mg/dl hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi. Deteksi terdapatnya sianosis
antara lain tergantung kepada kadar hemoglobin.
a. Tetralogy of Fallot (ToF)
Tetralogy of Fallot merupakan salah satu lesi jantung yang defek primer adalah
deviasi anterior septum infundibular. Konsekuensi deviasi ini adalah obstruksi aliran darah ke
ventrikel kanan (stenosis pulmoner), defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta, hipertrofi
ventrikuler kanan. Anak dengan derajat yang rendah dari obstruksi aliran ventrikel kanan
menimbulkan gejala awal berupa gagal jantung yang disebabkan oleh pirau kiri ke kanan di
ventrikel. Sianosis jarang muncul saat lahir, tetapi dengan peningkatan hipertrofi dari
infundibulum ventrikel kanan dan pertumbuhan pasien, sianosis didapatkan pada tahun
pertama kehidupan.sianosis terjadi terutama di membran mukosa bibir dan mulut, di
ujungujung jari tangan dan kaki. Pada keadaan yang berat, sianosis langsung ditemukan
b. Pulmonary Atresia with Intact Ventricular
Septum Saat duktus arteriosus menutup pada hari-hari pertama kehidupan, anak
dengan Pulmonary Atresia with Intact Ventricular Septum mengalami sianosis. Jika tidak
ditangani, kebanyakan kasus berakhir dengan kematian pada minggu awal kehidupan.
Pemeriksaan fisik menunjukkan sianosis berat dan distress pernafasan. Suara jantung kedua

54
terdengar kuat dan tunggal, seringnya tidak terdengar suara murmur, tetapi terkadang murmur
sistolik atau yang berkelanjutan dapat terdengar setelah aliran darah duktus..
c. Tricuspid Atresia
Sianosis terjadi segera setelah lahir dengan dengan penyebaran yang bergantung
dengan derajat keterbatasan aliran darah pulmonal. Kebanyakan pasien mengalami murmur
sistolik holosistolik di sepanjang tepi sternum kiri. Suara jantung kedua terdengar tunggal.
Diagnosis dicurigai pada 85% pasien sebelum usia kehamilan 2 bulan. Pada pasien yang
lebih tua didapati sianosis, polisitemia, cepat lelah, dan sesak nafas saat aktivitas berat
kemungkinan sebagai hasil dari penekanan pada aliran darah pulmonal. Pasien dengan
Tricuspid Atresia berisiko mengalami penutupan spontan VSD yang dapat terjadi secara
cepat yang ditandai dengan sianosis.

2.2.4 Deteksi Dini Gejala Klinis


Gejala yang menunjukkan adanya PJB termasuk: sesak napas dan kesulitan minum.
Gejalagejala tersebut biasanya tampak pada periode neonatus. Kelainan-kelainan non kardiak
juga dapat menunjukkan gejala-gejala seperti tersebut di atas. Gejala-gejala yang mengarah
ke PJB seperti adanya bising jantung, hepatomegali, sianosis, nadi femoralis yang teraba
lemah / tidak teraba, adalah juga gejala yang sering ditemukan di ruang bayi dan sering pula
tidak berhubungan dengan abnormalitas pada jantung. Membedakan sianosis perifer dan
sentral adalah bagian penting dalam menentukan PJB pada neonatus. Sianosis perifer berasal
dari daerah dengan perfusi jaringan yang kurang baik,terbatas pada daerah ini, tidak pada
daerah dengan perfusi baik. Sebaliknya sianosis sentral tampak pada daerah dengan perfusi
jaringan yang baik, walaupun sering lebih jelas pada tempat dengan perfusi kurang
baik.tempat atau daerah yang dapat dipercaya untuk menentukan adanya sianosis sentral
adalah pada tempat dengan perfusi jaringan yang baik seperti pada lidah, dan dinding
mukosa. Sianosis sentral pada jam-jam awal setelah lahir dapat timbul saat bayi normal
menangis. Sianosis pada bayi tersebut disebabkan oleh pirau kanan ke kiri melalui foramen
ovale dan atau duktus arteriosus. Kadar hemoglobin yang terlalu tinggi yang disertai dengan
hiperveskositas dapat pula menyebabkan sianosis pada bayi normal.

55
2.2 VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD)
2.3.1 Definisi
VSD (Ventricular Septal Defect) atau Defek Septum Ventrikel adalah suatu keadaan
abnormal jantung berupa adanya pembukaan antara ventrikel kiri dan ventrikel kanan. VSD
adalah adanya hubungan (lubang) abnormal pada sekat yang memisahkan ventrikel kanan
dan ventrikel kiri. VSD adalah kelainan jantung berupa tidak sempurnanya penutupan
dinding pemisah antara kedua ventrikel sehingga darah dari ventrikel kiri ke kanan, dan
sebaliknya. Umumnya congenital dan merupakan kelainan jantung bawaan yang paling
umum ditemukan.

2.3.2 Etiologi
Sebelum bayi lahir, ventrikel kanan dan kiri belum terpisah, seiring perkembangan
fetus, sebuah dinding/sekat pemisah antara kedua ventrikel tersebut normalnya terbentuk.
Akan tetapi, jika sekat itu tidak terbentuk sempurna maka timbullah suatu keadaan penyakit
jantung bawaan yang disebut defek septum ventrikel. Penyebab terjadinya penyakit jantung
bawaan belum dapat diketahui secara pasti (idopatik), tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu:
1. Faktor prenatal (faktor eksogen):
Ø Ibu menderita penyakit infeksi : Rubela
Ø Ibu alkoholisme
Ø Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ø Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
Ø Ibu meminum obat-obatan penenang
2. Faktor genetik (faktor endogen)
Ø Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ø Ayah/ibu menderita PJB
Ø Kelainan kromosom misalnya sindrom down
Ø Lahir dengan kelainan bawaan yang lain
Ø Kembar identic
Kelainan ini merupakan kelainan terbanyak, yaitu sekitar 30% dari seluruh kelainan
jantung. Dinding pemisah antara kedua ventrikel tidak tertutup sempurna. Kelainan ini
umumnya congenital, tetapi dapat pula terjadi karena trauma. Kelainan VSD ini sering
bersama-sama dengan kelainan lain misalnya trunkus arteriosus, Tetralogi Fallot. Kelainan

56
ini lebih banyak dijumpai pada usia anak-anak, namun pada orang dewasa yang jarang terjadi
merupakan komplikasi serius dari berbagai serangan jantung.

2.3.3 Patofisiologi
Defek septum ventricular ditandai dengan adanya hubungan septal yang
memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel, biasanya dari kiri ke kanan.
Diameter defek ini bervariasi dari 0,5 – 3,0 cm. Perubahan fisiologi yang terjadi dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningklatkan aliran darah kaya
oksigen melalui defek tersebut ke ventrikel kanan.
2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang akhirnya dipenuhi
darah, dan dapat menyebabkan naiknya tahanan vascular pulmoner.
3. Jika tahanan pulmoner ini besar, tekanan ventrikel kanan meningkat,
menyebabkan piarau terbalik, mengalirkan darah miskin oksigen dari ventrikel
kanan ke kiri, menyebabkan sianosis.
Keseriusan gangguan ini tergantung pada ukuran dan derajat hipertensi pulmoner.
Jika anak asimptomatik, tidak diperlukan pengobatan; tetapi jika timbul gagal jantung kronik
atau anak beresiko mengalami perubahan vascular paru atau menunjukkan adanya pirau yang
hebat diindikasikan untuk penutupan defek tersebut. Resiko bedah kira-kira 3% dan usia ideal
untuk pembedahan adalah 3 sampai 5 tahun.

2.3.4 Tanda dan Gejala


- Pada VSD kecil: biasanya tidak ada gejala-gajala. Bising pada VSD tipe ini bukan
pansistolik,tapi biasanya berupa bising akhir sistolik tepat sebelum S2.
- Pada VSD sedang: biasanta juga tidak begitu ada gejala-gejala, hanya kadang-
kadang penderita mengeluh lekas lelah., sering mendapat infeksi pada paru
sehingga sering menderita batuk
- Pada VSD besar: sering menyebabkan gagal jantung pada umur antara 1-3 bulan,
penderita menderita infeksi paru dan radang paru. Kenaikan berat badan lambat.
Kadang-kadang anak kelihatan sedikit sianosis
- Gejala-gejala pada anak yang menderitanya, yaitu; nafas cepat, berkeringat
banyak dan tidak kuat menghisap susu. Apabila dibiarkan pertumbuhan anak akan
terganggu dan sering menderita batuk disertai demam

57
2.3.5 Klasifikasi VSD
Klasifikasi VSD berdasarkan pada lokasi lubang, yaitu:
A. Perimembranous (tipe paling sering, 60%) bila lubang terletak di daerah pars
membranaceae septum interventricularis.
B. Subarterial doubly commited, bila lubang terletak di daerah septum infundibuler dan
sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup
pulmonal.
C. Muskuler, bila lubang terletak di daerah septum muskularis interventrikularis

2.3.6 Gambaran klinis


Menurut ukurannya, VSD dapat dibagi menjadi:
a. VSD kecil
- Biasanya asimptomatik
- Defek kecil 1-5 mm
- Tidak ada gangguan tumbuh kembang
- Bunyi jantung normal, kadang ditemukan bising peristaltic yang menjalar
ke seluruh tubuh pericardium dan berakhir pada waktu distolik karena
terjadi penutupan VSD
- EKG dalam batas normal atau terdapat sedikit peningkatan aktivitas
ventrikel kiri
- Radiology: ukuran jantung normal, vaskularisasi paru normal atau sedikit
meningkat
- Menutup secara spontan pada umur 3 tahun Ø Tidak diperlukan
kateterisasi
b. VSD sedang
- Sering terjadi symptom pada bayi
- Sesak napas pada waktu aktivitas terutama waktu minum, memerlukan
waktu lebih lama untuk makan dan minum, sering tidak mampu
menghabiskan makanan dan minumannya
- Defek 5- 10 mm
- B sukar naik sehingga tumbuh kembang terganggu
- Mudah menderita infeksi biasanya memerlukan waktu lama untuk sembuh
tetapi umumnya responsive terhadap pengobatan
- Takipneu

58
- Retraksi bentuk dada normal
- EKG: terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri maupun kanan, tetapi
kiri lebih meningkat.
- Radiology: terdapat pembesaran jantung derajat sedang, conus pulmonalis
menonjol, peningkatan vaskularisasi paru dan pemebsaran pembuluh darah
di hilus.
c. VSD besar
- Sering timbul gejala pada masa neonatus
- Dispneu meningkat setelah terjadi peningkatan pirau kiri ke kanan dalam
minggu pertama setelah lahir
- Pada minggu ke2 atau 3 simptom mulai timbul akan tetapi gagal jantung
biasanya baru timbul setelah minggu ke 6 dan sering didahului infeksi
saluran nafas bagian bawah
- Bayi tampak sesak nafas pada saat istirahat, kadang tampak sianosis
karena kekurangan oksigen akibat gangguan pernafasan
- Gangguan tumbuh kembang
- EKG terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kanan dan kiri
- Radiology: pembesaran jantung nyata dengan conus pulmonalis yang
tampak menonjol pembuluh darah hilus membesar dan peningkatan
vaskularisasi paru perifer

2.3.7 Pemeriksaan Fisik


VSD kecil
- Palpasi: Impuls ventrikel kiri jelas pada apeks kordis. Biasanya teraba getaran
bising pada SIC III dan IV kiri.
- Auskultasi: Bunyi jantung biasanya normal dan untuk defek sedang bunyi jantung
II agak keras. Intensitas bising derajat III s/d VI.
VSD besar
- Inspeksi: Pertumbuhan badan jelas terhambat,pucat dan banyak keringat
bercucuran. Ujung-ujung jadi hiperemik. Gejala yang menonjol ialah nafas
pendek dan retraksi pada jugulum, sela intercostal dan regio epigastrium.
- Palpasi: Impuls jantung hiperdinamik kuat. Teraba getaran bising pada dinding
dada.

59
- Auskultasi: Bunyi jantung pertama mengeras terutama pada apeks dan sering
diikuti ‘click’ sebagai akibat terbukanya katup pulmonal dengan kekuatan pada
pangkal arteria pulmonalis yang melebar. Bunyi jantung kedua mengeras terutama
pada sela iga II kiri.

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang


• Kateterisasi jantung menunjukkan adanya hubungan abnormal antar ventrikel
• EKG dan foto toraks menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
• Hitung darah lengkap adalah uji prabedah rutin
• Uji masa protrombin ( PT ) dan masa trombboplastin parsial ( PTT ) yang dilakukan
sebelum pembedahan dapat mengungkapkan kecenderungan perdarahan

2.2.9 Komplikasi
• Gagal jantung kronik
• Endokarditis infektif
• Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmonar d
• Penyakit vaskular paru progresif
• Kerusakan sistem konduksi ventrikel

2.2.10 Penatalaksanaan
Ø Pada VSD kecil: ditunggu saja, kadang-kadang dapat menutup secara spontan.
Diperlukan operasi untuk mencegah endokarditis infektif
Ø Pada VSD sedang: jika tidak ada gejala-gejala gagal jantung, dapat ditunggu sampai
umur 4-5 tahun karena kadang-kadang kelainan ini dapat mengecil. Bila terjadi gagal
jantung diobati dengan digitalis. Bila pertumbuhan normal, operasi dapat dilakukan
pada umur 4-6 tahun atau sampai berat badannya 12 kg.
Ø Pada VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum permanen: biasanya pada
keadaan menderita gagal jantung sehingga dalam pengobatannya menggunakan
digitalis. Bila ada anemia diberi transfusi eritrosit terpampat selanjutnya diteruskan
terapi besi. Operasi dapat ditunda sambil menunggu penutupan spontan atau bila ada
gangguan dapat dilakukan setelah berumur 6 bulan.
Ø Pada VSD besar dengan hipertensi pulmonal permanen: operasi paliatif atau operasi
koreksi total sudah tidak mungkin karena arteri pulmonalis mengalami

60
arteriosklerosis. Bila defek ditutup, ventrikel kanan akan diberi beban yang berat
sekali dan akhirnya akan mengalami dekompensasi. Bila defek tidak ditutup,
kelebihan tekanan pada ventrikel kanan dapat disalurkan ke ventrikel kiri melalui
defek.

2.2.11 Prognosis
Kemungkinan penutupan defek septum secara spontan cukup besar, terutama pada
tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat berkurang pada pasien
berusia lebih dari 2 tahun dan umumnya tidak ada kemungkinan lagi di atas usia 6 tahun.
Secara keseluruhan, penutupan secara spontan berkisar 40-50%.
Beberapa pasien akan berkembang menjadi penyakit vaskuler obstruktif berupa
hipertensi pulmonar akut, Eisenmenger syndrome pada saat terapi referal diberikan serta
terjadinya peningkatan sianosis secara progresif. Penggunaan opsi bedah saat ini memilki
mortalitas kurang dari 2% pada pasien isolasi. Mungkin juga akan ditemukan pasien yang
memerlukan transplan paru atau jantung dan paru.

2.3 GIZI BURUK


Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai
oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses
terjadinya kekurangan gizi menahun. Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun
2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat
gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah 10%),
sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).

Gizi buruk masih merupakan masalah di Indonesia, walaupun Pemerintah Indonesia


telah berupaya untuk menanggulanginya. Data Dusenas menunjukkan bahwa jumlah balita
yang BB/U < -3 SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningkatkan dari 6,3 %
menjadi 7,2 % tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6% pada tahun 1995. Upaya
Pemerintah antara lain melalui pemberian makanan tambahan dalam jaringan pengaman
sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui pelatihan-pelatihan tatalaksana gizi
buruk kepada tenaga kesehatan, berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1% pada
tahun 1998, 8,1% pada tahun 1999, dan 6,3% tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
peningkatan kembali 7% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15%.18,19

61
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Laporan Survei Departemen Kesehatan-
Unicef tahun 2005, dari 343 kabupaten/kota di Indonesia penderita gizi buruk sebanyak 169
kabupaten/kota tergolong prevalensi sangat tinggi dan 257 kabupaten/kota lainnya prevalensi
tinggi. Dari data Depkes juga terungkap masalah gizi di Indonesia ternyata lebih serius dari
yang kita bayangkan selama ini. Gizi buruk atau anemia gizi tidak hanya diderita anak balita,
tetapi semua kelompok umur. Perempuan adalah yang paling rentan, disamping anak-anak.
Sekitar 4 juta ibu hamil, setengahnya mengalami anemia gizi dan satu juta lainnya
kekurangan energi kronis (KEK). Dalam kondisi itu, rata-rata setiap tahun lahir 350.000 bayi
lahir dengan kekurangan berat badan (berat badan rendah).19

2.3.1 MARASMUS
DEFINISI
Bentuk malnutrisi energi protein yang terutama disebabkan kekurangan kalori berat
dalam jangka waktu lama, terutama terjadi selama tahun pertama kehidupan, yang ditandai
dengan retardasi pertumbuhan dan pengurangan lemak bawah kulit dan otot secara progresif
tetapi biasanya masih ada nafsu makan dan kesadaran mental.

ETIOLOGI
Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar
penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang dan anak
sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu gizi buruk dipengaruhi oleh faktor lain seperti
sosial ekonomi, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain.

A. Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak

1. Peranan diet
Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama dalam
segi protein dan karbohidratnya. Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang
protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor, sedangkan diet
kurang energi walaupun zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak
menjadi penderita marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan usia akan menimbulkan masalah gizi pada anak. Contohnya
anak usia tertentu sudah diberikan makanan yang seharusnya belum dianjurkan untuk

62
usianya, sebaliknya anak telah melewati usia tertentu tetapi tetap diberikan makanan
yang seharusnya sudah tidak diberikan lagi pada usianya. Selain itu mitos atau
kepercayaan di masyarakat atau keluarga dalam pemberian makanan seperti
berpantang makanan tertentu akan memberikan andil terjadinya gizi buruk pada anak.

2. Peranan penyakit atau infeksi


Penyakit atau infeksi menjadi penyebab terbesar kedua setelah asupan makanan yang
tidak seimbang. Telah lama diketahui adanya hubungan yang erat antara malnutrisi
dan penyakit infeksi terutama di negara tertinggal maupun di negara berkembang
seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan diri (personal hygiene) masih
kurang, dan adanya penyakit infeksi kronik seperti Tuberkulosis dan cacingan pada
anak-anak. Kaitan antara infeksi dan kurang gizi sangat sukar diputuskan, karena
keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan
menyebabkan anak menjadi kurang gizi yang pada akhirnya memberikan dampak
buruk pada sistem pertahanan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru
pada anak.

B. Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak4,5


1. Peranan sosial ekonomi
Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan masalah sosial
ekonomi, dan kemiskinan. Data di indonesia dan negara lain menunjukan adanya
hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan masalah-masalah sosial yang terjadi
di masyarakat terutama masalah kemiskinan yang pada akhirnya mempengaruhi
ketersedian makanan serta keragaman makanan yang dikonsumsi. Banyak masyarakat
yang masih menganut sistem bahwa orang tua harus lebih mendapatkan porsi
makanan yang lebih banyak dan lebih bergizi daripada anak-anaknya karena mereka
harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sedangkan anak-anak hanya
bermain dirumah sehingga tidak perlu mendapat asupan yang bergizi. Selain itu
adanya faktor-faktor lain seperti poligami, seorang suami dengan banyak istri dan
anak membuat pendapatan suami tersebut tidak dapat mencukupi makan istri-istri dan
anak-anaknya, serta tingginya tingkat perceraian, dimana sebelumnya suami dan istri
bersama-sama mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya, kini hanya tinggal
istri yang menghidupi anaknya sebagai orang tua tunggal (single parrent).

63
2. Peranan kepadatan penduduk
Dalam kongresnya di Roma pada tahun 1974, World Food Organization memaparkan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan
bertambahnya persediaan pangan maupun bahan makanan setempat yang memadai
merupakan sebab utama krisis pangan. Marasmus dapat terjadi jika suatu daerah
terlalu padat penduduknya dengan keadaan higiene yang buruk, contohnya dikota-
kota besar yang laju pertambahan penduduknya sangat besar akibat arus urbanisasi
dan tingginya angka kelahiran menyebabkan kepadatan penduduk yang semakin
meningkat. Pada akhirnya ketersediaan makanan yang ada tidak akan mencukupi lagi
untuk memenuhi kebutuhan makanan masyarakat di daerah tersebut.

PATOFISIOLOGI
Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor
ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri (host), agent (kuman
penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet (makanan) memegang peranan
penting tetapi faktor lain ikut menentukan. Marasmus adalah compensated malnutrition atau
sebuah mekanisme adaptasi tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama.
Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk empertahankan hidup
dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan
karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan
kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan
bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya
katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang
segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama kurangnya intake makanan,
jaringan lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah lemak tidak
dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton
bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan. Pada akhirnya setelah semua tidak
dapat memenuhi kebutuhan akan energi lagi, protein akan dipecah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme basal tubuh. Proses ini berjalan menahun, dan merupakan respon
adaptasi terhadap ketidak cukupan asupan energi dan protein.16

KLASIFIKASI
Klasifikasi menurut Wellcome pada MEP berat dapat digunakan sampai usia lebih
dari 20 tahun. Klasifikasi menurut Wellcome ini sangat sederhana karena hanya melihat %

64
BB/U dan ada atau tidaknya edema. Terdapat kategori kurang gizi ini meliputi anak dengan
PEM sedang atau yang mendekati PEM berat tapi tanpa edema, pada keadaan ini % BB/U
berada diatas 60%.19

Tabel 1. Klasifikasi MEP berat menurut Wellcome Trust19


% BB/U Dengan edema Tanpa edema
60-80 Kwashiorkor Kurang Gizi
<60 Marasmus- kwashiorkor Marasmus

Tabel 2. Klasifikasi MEP berat menurut Gomez19


Klasifikasi % BB/U
Normal >90
Grade I ( Mallnutrisi Ringan) 75-89.9
Grade II ( Mallnutrisi sedang) 60-74.9
Grade III (Mallnutrisi Berat) <60

ANTROPOMETRI
Berat Badan
Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana, mudah diukur dan
diulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat. Hasil pengukuran berat badan
dipetakan pada kurva standar Berat badan/ Umur (BB/U) dan Berat Badan/ Tinggi Badan
(BB/TB). Adapun interpretasi pengukuran berat badan yaitu :

BB/U dibandingkan dengan acuan standard (CDC 2000) dan dinyatakan dalam
persentase:4
• > 120 % : disebut gizi lebih
• 80 – 120 % : disebut gizi baik
• 60 – 80 % : tanpa edema ; gizi kurang dengan edema ; gizi buruk
(kwashiorkor)
• < 60% : gizi buruk : tanpa edema (marasmus) dengan edema (marasmus –
kwashiorkor)

65
Tinggi Badan (TB)
Tinggi badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan . Pengukuran berat badan akan
memberikan informasi yang bermakna kepada dokter tentang status nutrisi dan pertumbuhan
fisis anak. Seperti pada pengukuran berat badan, untuk pengukuran tinggi badan juga
diperlukan informasi umur yang tepat, jenis kelamin dan baku yang diacu yaitu CDC 2000.

Interpretasi dari dari TB/U dibandingkan standar baku berupa


• 90 – 110 % : baik/normal
• 70 – 89 % : tinggi kurang
• < 70 % : tinggi sangat kurang

Rasio Berat Badan menurut tinggi badan (BB/TB)


Rasio BB/TB bila dikombinasikan dengan beraat badan menurut umur dan tinggi badan
menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilaian status nutrisi karena ia
mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antar “wasting” dan “stunting” atau
perawakan pendek. Indeks ini digunakan pada anak perempuan hanya sampai tinggi badan
138 cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi badan 145 cm. Setelah itu rasio BB/TB tidak
begitu banyak artinya, karena adanya percepatan tumbuh (growth spurt). Keuntungan indeks
ini adalah tidak diperlukannya faktor umur, yang seringkali tidak diketahui secara tepat.

BB/TB (%) = (BB terukur saat itu) (BB standar sesuai untuk TB terukur) x 100%,
interpretasi di nilai sebagai berikut:4
• > 120 % : Obesitas
• 110 – 120 % : Overweight
• 90 – 110 % : normal
• 70 – 90 % : gizi kurang
• < 70 % : gizi buruk

GEJALA KLINIS

66
Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
kwashiokor dan marasmus. Pada kenyataannya jarang sekali ditemukan suatu kasus yang
hanya menggambarkan salah satu dari bagian tertentu saja. Sering kali pada kebanyakan
anak-anak penderita gizi buruk, yang ditemukan merupakan perpaduan gejala dan tanda dari
kedua bentuk malnutrisi berat tersebut. Marasmus lebih sering ditemukan pada anak-anak
dibawah usia satu tahun, sedangkan insiden pada anak-anak dengan kwashiokor terjadi pada
usia satu hingga enam tahun. Pada beberapa negara seperti di Asia dan Afrika, marasmus
juga didapatkan pada anak yang lebih dewasa dari usia satu tahun (toddlers), sedangkan di
Chili, marasmus terjadi pada bulan pertama kehidupan anak tersebutnya.

Gejala pertama dari malnutrisi tipe marasmus adalah kegagalan tumbuh kembang. Pada
kasus yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama sekali. Selain itu didapatkan
penurunan aktifias fisik dan keterlambatan perkembangan psikomotorik. Pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik, akan ditemukan suara tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air
mata, lemak subkutan menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga
memberikan kesan tapak kaki seperti orang dewasa. Kulit anak menjadi tipis dan halus,
mudah terjadi luka tergantung adanya defisiensi nutrisi lain yang ikut menyertai keadaan
marasmus. Kaki dan tangan menjadi kurus karena otot-otot lengan serta tungkai mengalami
atrofi disertai lemak subkutan yang turut menghilang. Pada pemeriksaan protein serum,
ditemukan hasil yang normal atau sedikit meningkat. Selain itu keadaan yang terlihat
mencolok adalah hilangnya lemak subkutan pada wajah. Akibatnya ialah wajah anak menjadi
lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas.
Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60%
berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan penahan panas hilang.
Cengeng dan rewel serta lebih sering disertai diare kronik atau konstipasi, serta penyakit
kronik. Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan menjadi berkurang.17,18

Pada kasus malnutrisi kwashiokor marasmik ditemukan perpaduan gejala antara


kwashiokor dan marasmus. Keadaan ini ditemukan pada anak-anak yang makanan sehari-
harinya tidak mendapatkan cukup protein dan energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada
anak-anak penderita kasus ini disamping terjadi penurunan berat badan dibawah 60% berat
badan normal seusianya, juga memperlihatkan tanda-tanda kwashiokor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, dan kelainan biokimiawi. Kelainan rambut pada kwashiokor
adalah rambut menjadi lebih mudah dicabut tanpa reaksi sakit dari penderita, warna rambut

67
menjadi lebih merah, ataupun kelabu hingga putih. Kelainan kulit yang khas pada penyakit
ini ialah crazy pavement dermatosis, yaitu kulit menjadi tampak bercak menyerupai petechiae
yang lambat laun menjadi hitam dan mengelupas di tengahnya, menjadikan daerah sekitarnya
kemerahan dan dikelilingi batas-batas yang masih hitam. Adanya pembesaran hati dan juga
anemia ringan dikarenakan kekurangan berbagai faktor yang turut mengiringi kekurangan
protein, seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, dan tembaga. Selain itu juga
ditemukan kelainan biokimiawi seperti albumin serum yang menurun, globulin serum yang
menurun, dan kadar kolesterol yang rendah.

DIAGNOSIS
Diagnosis marasmus dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk mengetahui
penyebab harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan makan anak serta riwayat
penyakit yang lalu. Pada awalnya, terjadi kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan
kehilangan berat badan sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga
menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang. Lemak pada daerah pipih adalah
bagian terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa waktu muka bayi tampak relative
normal sampai nantinya menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar dan
gambaran usus dapat dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu
biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolism basal cenderung menurun.
Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu makan hilang. Bayi
biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan buang air besar sering, tinja berisi
mucus dan sedikit.19,21
Ciri dari marasmus antara lain18,19
- Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus
- Perubahan mental
- Kulit kering, dingin dan kendur
- Rambut kering, tipis dan mudah rontok
- Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang
- Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas
- Sering diare atau konstipasi
- Kadang terdapat bradikardi
- Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
- Kadang frekuensi pernafasan menurun

68
Selain itu marasmus harus dapat dibedakan dengan kasus malnutrisi lainnya yaitu
kwashiokor agar tidak terjadi kesalahan dalam penegakkan diagnosa yang dapat berpengaruh
pada tindak lanjut kasus ini. Kwashiorkor merupakan sindroma klinis akibat dari malnutrisi
protein berat (MEP berat) dengan masukan kalori yang cukup. Bentuk malnutrisi yang paling
serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama yang berada didaerah industri belum
berkembang. Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi
menghisap, gejalanya dapat menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun,
biasanya sesudah menyapih dari ASI. Walaupun penambahan tinggi dan berat badan
dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat badan
anak normal.18

Ciri dari Kwashiorkor menurut antara lain:3,4


- Perubahan mental sampai apatis
- Sering dijumpai Edema
- Atrofi otot
- Gangguan sistem gastrointestinal
- Perubahan rambut dan kulit
- Pembesaran hati
- Anemia

PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan terhadap marasmus dapat dilaksanakan dengan baik bila
penyebabnya diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana kesehatan
yang baik untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi. Beberapa diantaranya ialah16, 18

1. Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi yang
paling baik untuk bayi.
2. Ditambah dengan pemberian makanan tambahan bergizi dan berprotein serta energi
tinggi pada anak sejak umur 6 bulan ke atas
3. Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan dan
kebersihan perorangan
4. Pemberian imunisasi.
5. Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu kerap.

69
6. Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat merupakan
usaha pencegahan jangka panjang.
7. Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang endemis
kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.
8. Meningkatkan hasil produksi pertanian agar persediaan makan mencukupi.
9. Memperbaiki infrastruktur pemasaran dan mensubsidi harga bahan makanan
10. Melakukan program transmigrasi ke daerah lain agar terjadi pemerataan penduduk.

Pentingnya Deteksi Dan Intervensi Dini

Mengingat penyebabnya sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk memerlukan


kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Tidak hanya dari dokter maupun tenaga
medis, namun juga pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat maupun agama dan
pemerintah. Langkah awal pengelolaan gizi buruk adalah mengatasi kegawatan yang
ditimbulkannya, dilanjutkan dengan “frekuen feeding” ( pemberian makan yang sering,
pemantauan akseptabilitas diet ( penerimaan tubuh terhadap diet yang diberikan),
pengelolaan infeksi dan pemberian stimulasi. Perlunya pemberian diet seimbang, cukup
kalori dan protein serta pentingnya edukasi pemberian makan yang benar sesuai umur anak.
Pada daerah endemis gizi buruk, diperlukan tambahan distribusi makanan yang memadai.20,22
Posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan skrining atau
deteksi dini dan pelayanan pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini.
Penggunaan kartu menuju sehat dan pemberian makanan tambahan di posyandu perlu
digalakkan lagi. Tindakan cepat pada balita yang 2x berturut-turut tidak naik timbangan berat
badannya untuk segera mendapat akses pelayanan dan edukasi lebih lanjut, dapat menjadi
sarana deteksi dan intervensi yang efektif. Termasuk juga peningkatan cakupan imunisasi
untuk menghindari penyakit yang dapat dicegah, serta propaganda kebersihan personal
maupun lingkungan. Pemuka masyarakat maupun agama akan sangat efektif jika membantu
dalam pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam menanggulangi kebiasaan atau
mitos-mitos yang salah pada pemberian makan pada anak.20,22

PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi kalori dan
tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa komplikasi dapat
berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang baik, sedangkan

70
penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu
mendapat perawatan di rumah sakit. Penatalaksanaan penderita yang dirawat di RS dibagi
dalam beberapa tahap.17,21
Tahap awal yaitu 24-48 jam per-tama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk
menyelamat-kan jiwa, antara lain mengkoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan
pemberian cairan intravena. Cairan yang diberikan ialah larutan Darrow-Glucosa atau Ringer
Lactat Dextrose 5%. Cairan diberikan sebanyak 200 ml/kg BB/hari. Mula-mula diberikan 60
ml/kg BB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam
berikutnya.16,27
Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian besar penderita tidak memerlukan koreksi
cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai dengan penyesuaian terhadap
pemberian makanan. Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60
kalori/kg BB/hari atau rata-rata 50 kalori/kg BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari.
Jumlah ini dinaikkan secara berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175
kalori/kg BB/hari dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
diet tinggi kalori tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari. Cairan diberikan sebanyak 150
ml/kg BB/hari.18,19
Pemberian vitamin dan mineral yaitu vitamin A diberikan sebanyak 200.000. i.u
peroral atau 100.000 i.u im pada hari pertama kemudian pada hari ke dua diberikan 200.000
i.u. oral. Vitamin A diberikan tanpa melihat ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A untuk
mencegah terjadinya xeroftalmia karena pada kasus ini kadar vitamin A serum sangat rendah.
Mineral yang perlu ditambahkan ialah K, sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV atau dalam
bentuk preparat oral 75-100 mg/kg BB/hari dan Mg, berupa MgS04 50% 0,25 ml/kg BB/hari
atau magnesium oral 30 mg/kg BB/hari. Dapat diberikan 1 ml vitamin B (IC) dan 1 ml vit. C
(IM), selanjutnya diberikan preparat oral atau dengan diet.17,20
Jenis makanan yang memenuhi syarat untuk penderita malnutrisi berat ialah susu.
Dalam pemilihan jenis makanan perlu diperhatikan berat badan penderita. Dianjurkan untuk
memakai pedoman BB kurang dari 7 kg diberikan makanan untuk bayi dengan makanan
utama ialah susu formula atau susu yang dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan
lumat dan makanan lunak. Penderita dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan untuk anak
di atas 1 tahun, dalam bentuk makanan cair kemudian makanan lunak dan makanan padat.
Antibiotik perlu diberikan, karena penderita marasmus sering disertai infeksi. Pilihan obat
yang dipakai ialah procain penicillin atau gabungan penicilin dan streptomycin.17,18

71
Tabel 1. Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk16,21

Pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang harus dilalui yaitu fase
stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), fase rehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), fase
tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26) seperti tampak pada tabel diatas.16,21

KOMPLIKASI
Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan penyakit
penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus tidak segera
dilakukan. Beberapa keadaan tersebut ialah17,18

1. Noma
Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe marasmus-
kwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan pembusukan mukosa
mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi. Noma terjadi pada
malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini mempunyai
bau yang khas dan tercium dari jarak beberapa meter. Noma dapat sembuh tetapi

72
menimbulkan bekas luka yang tidak dapat hilang seperti lenyapnya hidung atau tidak
dapat menutupnya mata karena proses fibrosis.

2. Xeroftalmia
Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada tipe
marasmus-kwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum sangat rendah
sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap anak dengan malnutrisi
sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral maupun oral, ditambah dengan
diet yang cukup mengandung vitamin A.

3. Tuberkulosis
Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan kekebalan tubuh
yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah satunya adalah mudahnya
anak dengan malnutrisi berat terinfeksi kuman mycobacterium tuberculosis yang
menyebabkan penyakit tuberkulosis.

4. Sirosis hepatis
Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan lemak pada
saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun lemak. Penimbunan lemak ini
juga disertai adanya infeksi pada hepar seperti hepatitis yang menimbulkan penyakit
sirosis hepatis pada anak dengan malnutrisi berat.

5. Hipotermia
Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe marasmus.
Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi yang akan diubah menjadi
energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu lemak subkutan yang tipis
bahkan menghilang akan menyebabkan suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu
tubuh penderita.

6. Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak dengan malnutrisi
berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini sangat mempengaruhi tingkat
kesadaran anak dengan malnutrisi berat sehingga dapat membahayakan penderitanya.

73
7. Infeksi traktus urinarius
Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada anak bergantung
kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan malnutrisi berat mempunyai daya
tahan tubuh yang sangat menurun sehingga dapat mempermudah terjadinya infeksi
tersebut.

8. Penurunan kecerdasan
Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan perkembangan organ
tubuhnya. Organ penting yang paling terkena pengaruh salah satunya ialah otak. Otak
akan terhambat perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi
untuk pembentukan sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan berpengaruh pada
kecerdasan seorang anak yang membuat fungsi afektif dan kognitif menurun,
terutama dalam hal daya tangkap, analisa, dan memori.

PROGNOSIS
Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari
penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat
dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani secara cepat dan tepat.
Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti
tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada
anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat
kecerdasan yang lebih besar dan irreversibel dibanding dengan anak yang mendapat keadaan
malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak
yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda
saat mendapat perbaikan keadaan gizinya akan cenderung mendapatkan kesembuhan
psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah
mendapatkan penanganan yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang
pernah mengalami kondisi marasmus ini cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas
dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat
secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang normal.16,19,22

74
DAFTAR PUSTAKA

1. Pudjiadi, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
2. Rahajoe, dkk. 2008. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi Ke-2 dengan revisi.
Jakarta : UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.
3. Kartasasmita, Cissy. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2,
Agustus 2009.
4. Wacker D. American Lung Association Tuberculosis in Children Fact Sheet.
Chicago; 2013 March. (tersedia dari :
http://www.lung.org/lungdisease/tuberculosis/tuberculosis-in-children-fact.html).
5. Rina T, GrahamSP. Limitations of The Indonesian Pediatric Tuberculosis Scoring in
the Context of Child Contact Investigation. Pediatrica Indonesiana; 2011. November.
Volume 51. hlm. 333
6. Hidalgo Ja, Pott Disease (Tuberculous), Herchline T, Talavera F, Jhon Jf,Mlonakis E,
Cunha Ba, Accessed On 15 Oktober 2017, available from
http://www.emedicine.com/med/infecmedical_topics.htm
7. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial :
Tuberkulosis. Edisi ke 6. hlm. 552
8. Poluan AAG, Elvie L, Ali RH. Hubungan Gambaran Foto Toraks dan Uji Tuberkulin
pada Anak dengan Diagnosis Tuberkulosis Paru. vol 1.
9. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tuberkulosis. ; 2009. hlm.
323 - 7
10. Dewi Lk, Edi A, Suarthana E, Tuberkulosa, In Mansjoer A, Suprohaita,Wardhani Wi,
Setiowulan W, Eds, Kapita Selekta Kedokteran Media Aesculapiusjakarta 2000 : 58
11. Zuwanda, Janitra Raka. Diagnosis dan penatalaksanaa tuberculosis. Accessed on 15
Oktober, available from
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_208Diagnosis%20dan%20Penatalaksanaan%
20Spondilitis%20Tuberkulosis.pdf
12. WHO. 2010. Rapid Advice Treatment Of Tuberculosis In Children. Switzerland :
WHO Press. Available from : http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/
13. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. Food Insecurity, Hunger, and
Undernutrition in Nelson Textbook of Pediatric 18th edition, 2004 : 225-232

75
14. Brunser Oscar. Protein Energy Malnutrition : Marasmus in Clinical Nutrition of the
Young Child, Raven Press, New York, 1985 : 121-154
15. Hay WW, MJ Levin, JM sondheimer, RR Deterding. Normal Childhood Nutrition and
its Disorders in Current Diagnosis & Treatment in Pediatrics 18th edition, 2005 : 283-
311
16. Pudjiadi Solihin. Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis
pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005 :
95-137
17. Nurhayati, soetjiningsih, Suandi IKG. Relationship Between Protein Energy
Malnutrition and Social Maturity in Children Aged 1-2 Years in Paediatrica
Indonesiana, 42th volume, December, 2002 : 261-266
18. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. Relationship Between Protein Energy
Malnutrition and Urinary Tract Infectiont in Children in Paediatrica Indonesiana, 48th
volume, May, 2008 : 166-169
19. Departement of Child and Adolescent Health and Development. Severe Malnutrition
in Management of The Child With a Serious Infection or Severe Malnutrition, World
Health Organization, 2004 : 80-91

76

Anda mungkin juga menyukai