Anda di halaman 1dari 92

LAPORAN KASUS ANAK

SEORANG BAYI LAKI-LAKI DENGAN ASFIKSIA, DISTRESS RESPIRASI,


NEONATAL PNEUMONIA, DAN INFEKSI NEONATUS

Pembimbing :
Dr. Raden Setiyadi, Sp.A

Disusun oleh :
Komang Vitha Pranamasari
030.13.109

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH
PERIODE 14 JANUARI 2019 -23 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi laporan kasus dengan judul


“SEORANG BAYI LAKI-LAKI DENGAN ASFIKSIA, DISTRESS RESPIRASI,
NEONATAL PNEUMONIA, DAN INFEKSI NEONATUS”

Penyusun:
Komang Vitha Pranamasari
030.13.109

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
periode 14 Januari – 23 Maret 2019

Tegal, 11 Maret 2019

Dr. Raden Setiyadi, Sp.A

2
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama : Komang Vitha Pranamasari Pembimbing : Dr. Raden Setiyadi, Sp.A

NIM : 030.13.109 Tanda tangan :

A. IDENTITAS PASIEN DAN ORANG TUA/WALI

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama By Ny S Tn. Z Ny. S

Umur 7 hari 33 tahun 33 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-Laki Perempuan

Alamat Jl Metro No 13 RT 02/RW 02, Debong Lor Kec. Kota Tegal

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan - SMP Tidak sekolah

Pekerjaan - Buruh serabutan IRT

Penghasilan -  Rp. 1.000.000,- -


/bulan

Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi BPJS non PBI

No. RM 943646

Tanggal Masuk RS 2 Maret 2019

3
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap Ibu dan Ayah kandung pasien
pada Rabu, 9 Maret 2019 pukul 15.00 WIB, di Ruang NICU RSUD Kardinah Kota Tegal.
 Keluhan Utama : Bayi tidak menangis saat lahir

 Riwayat Penyakit Sekarang


Bayi lahir SC pada tanggal 2 Maret 2019 pada pukul 11.17 WIB dari ibu G3P2A0
dengan usia kehamilan 41 minggu mengalami gagal induksi dan bayi letak sungsang.
Bayi menangis kurang kuat, gerakan kurang aktif, warna kulit terlihat pucat, terdapat
retraksi dada, terdapat nafas cuping hidung, dengan APGAR score 5-6-6, BBL 3700, PB
50 cm, Lingkar kepala 35 cm, lingkar dada 34 c. Air ketuban hijau kental bercampur
mekonium. Tanda vital bayi nadi 156 x/menit pernafasan 67 x/menit tidak teratur, SpO2
98%, GDS 119 mg/dL. Pasien kemudian dilakukan VTP 1 siklus dan di suntikkan neo-k
1 mg/IM pada paha kiri, salep mata gentamisin 0,3% pada mata kanan dan kiri.
Kemudian setelah dikonsulkan ke dokter spesialis anak, pasien di pindahkan ke euang
HCU dan dilakukan pemasangan O2 CPAP PEEP 7 FiO2 40%, IVFD D10% + Ca
Gluconas 20 cc dan dilanjutkan 12 cc/jam, injeksi vicilin 2 x 200 mg, injeksi dopamin 1 x
3,5 mcq/kgBB dengan program rontgen babygram, cek GDS dan cek darah rutin.

 Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua pasien mengaku tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit
jantung bawaan, riwayat diabetes mellitus, hipertensi, penyakit batuk-batuk lama atau
pengobatan flek paru juga disangkal.

 Riwayat Lingkungan Perumahan


Pasien tinggal di rumah milik sendiri. Rumah tersebut berukuran ±10 x 10 m2,
memiliki 2 kamar tidur dengan 1 kamar mandi dan 1 dapur, beratap genteng, berlantai
keramik, berdinding tembok, memiliki 4 jendela dan 2 pintu. Di rumah tersebut tinggal
kedua orang tua pasien, pasien, dan satu kakak perempuan pasien. Rumah selalu
dibersihkan setiap hari dengan disapu dan dipel. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam
rumah, lampu tidak dinyalakan pada siang hari. Jarak septic tank dengan wc ± 15 m.

4
Kesan: Keadaan lingkungan rumah dan sanitasi cukup baik, ventilasi dan pencahayaan
baik.
 Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta dengan penghasilan kurang lebih 1
juta tiap bulannya, dan ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Penghasilan tersebut
menanggung hidup 5 orang.

 Riwayat Kehamilan, Pemeriksaan Prenatal, dan Kelahiran


Anemia (-), hipertensi (-), diabetes melitus (-),
penyakit jantung (-), penyakit paru (-), merokok (-),
Morbiditas kehamilan infeksi (-), perdarahan (-), usia kehamilan
mengalami demam, minum alkohol (-), letak
sungsang (+), Oligohidramnion (+)

Kehamilan Kontrol ke dokter spesialis kandungan 2 kali setiap


bulan rutin sampai menjelang masa persalinan.
Riwayat imunisasi TT (+) 1 kali, konsumsi
Perawatan antenatal
suplemen selama kehamilan (-), riwayat minum
obat tanpa resep dokter dan jamu (-). TM I 2 x, TM
II 4 x, TM III 4 x

Tempat persalinan RSUD Kardinah

Penolong persalinan Dokter Sp. OG

Cara persalinan SC dengan indikasi letak sungsang dan gagal

Kelahiran induksi

Masa gestasi 41 minggu

Air ketuban Kehijauan, kental, bercampur meconium

Keadaan bayi Berat lahir: 3700 gram

5
Panjang lahir: 50 cm

Lingkar kepala: 35 cm

Lingkar Dada : 34 cm

Merintih, tonus otot lemah, gerakan sedikit

Kulit kemerahan

Nilai APGAR: 5-6-6

Kelainan bawaan: -

Kesan : Riwayat perawatan antenatal cukup baik


Neonatus aterm, lahir SC atas indikasi gagal induksi, bayi asfiksia
sedang.

 Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Pemeliharaan setelah kelahiran belum dapat dievaluasi

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir 3700 gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala 35 cm, lingkar dada
34 cm.

 Riwayat Makanan
Ibu memberikan ASI langsung dan ASI perah lewat botol.

 Riwayat Imunisasi
Pasien belum dilakukan imunisasi

6
 Corak Reproduksi
Tanggal lahir Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
(umur) kelamin mati (sebab) kesehatan
1. 2003 Laki-Laki Ya - - - Sehat
2. 2013 Perempuan Ya - - - Sehat
3. 2019 Laki-Laki Ya - - - Pasien

 Silsilah Keluarga

= Laki-laki
= Perempuan
= Ayah pasien
= Ibu pasien
= Pasien

7
Riwayat pernikahan
Ayah Ibu
Nama Tn. Z Ny.S
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 17 tahun 17 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -

 Riwayat Penyakit yang pernah diderita


Demam (-), Riwayat ibu hipertensi (-), diabetes (-), penyakit paru (-), penyakit jantung
(-), riwayat trauma (-), riwayat perdarahan (-).

C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada Sabtu, 9 Maret 2019 pukul 15.00 WIB, di ruang
NICU RSU Kardinah Tegal.
I. Keadaan Umum
Menangis : (+) kuat Kejang (–)

Gerak : (+) aktif Pucat (–)

Retraksi : (-) Ikterik (+)

Sesak : (-) Sianosis (–)

II. Tanda Vital


Tekanan darah : Tidak dilakukan pemeriksaan
HR : 148 x/menit
Laju nafas : 56 x/menit
Suhu : 37.1oC

8
III. Data Antropometri
Berat badan : 3700 gram
Panjang badan sekarang : 50 cm
Lingkar kepala : 35 cm

IV. Status Internus


i. Kepala: Normocephali, ubun-ubun kecil teraba datar tidak tegang, sutura
tidak melebar, mollage (-)
 Rambut : Hitam, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut.
 Wajah : Simetris
 Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), edema palpebra (-)
 Hidung : simetris, septum deviasi (-/-), sekret (-/-), pernafasan cuping
hidung (+/+)
 Telinga : Normotia
 Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), pucat (-), stomatitis (-),
mukosa hiperemis (-), saliva (+)
ii. Leher: Kelenjar tiroid tidak membesar, kelenjar getah bening tidak membesar.
iii. Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris.
o Paru:
 Inspeksi: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi
(+) subcostal, minimal
 Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal
 Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
o Jantung:
 Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.
 Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS IV 1 cm midklavikula sinistra, thrill (-)
 Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan
 Auskultasi:Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).
iv. Abdomen:
 Inspeksi: datar, simetris, smiling umbilicus (-),
9
 Auskultasi: Bising usus (+)
 Palpasi: Cembung, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba.
 Perkusi: Timpani
v. Vertebrae: Spina bifida (-), meningokel (-)
vi. Genitalia: Jenis kelamin perempuan
vii. Anorektal : Anus (+)
viii. Kulit : warna kulit merah, ikterik (-)
ix. Ekstremitas:
Keempat ekstremitas lengkap, simetris

Superior Inferior

Akral Dingin -/- -/-

Akral Sianosis -/- -/-

CRT <2” <2”

Oedem -/- -/-

Tonus Otot Normotonus Normotonus

Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

x. Refleks primitif:
Refleks Oral

Refleks Hisap : (+)

Refleks Rooting : (+)

Refleks Moro : Tidak dilakukan

Refleks Palmar Grasp : (+)

Refleks Plantar Grasp : (+)

10
D. PEMERIKSAAN KHUSUS

 Maturitas Bayi

Hasil
Usia kehamilan: 41 minggu
Berat badan 3700 gram
Kesan: sesuai untuk masa kehamilan

11
 APGAR Score

Hasil: 5 – 6 – 6
Kesan: Asfiksia ringan-sedang
 DOWNE Score
0 1 2
Frekuensi > 80x/menit
< 60x/menit 60 – 80x/menit (67)
napas
Ringan (nafas
Retraksi Tidak ada cuping hidung, Berat
subcostal)
Sianosis hilang Sianosis menetap
Sianosis Tidak sianosis
dengan O2 walaupun diberi O2
Penurunan ringan Tidak ada udara
Udara masuk Baik
udara masuk masuk
Dapat didengar Dapat didengar
Merintih Tidak merintih
dengan stetoskop tanpa alat bantu

Hasil: 4
Kesan: Distress respirasi sedang

12
 New Ballard Score

Maturitas neuromuskuler Poin Maturitas fisik Poin

Sikap tubuh 4 Kulit 4

Jendela siku-siku 3 Lanugo 2

Recoil lengan 3 Lipatan telapak kaki 4

Sudut popliteal 4 Payudara 3

Tanda selempang 3 Bentuk telinga 2

Tumit ke kuping 3 Genital 3

13
Score = maturitas neuromuskular + maturitas fisik

= 20 + 18 = 38 poin usia ± 38 – 40 minggu

Kesan : maturitas bayi aterm 38 – 40 minggu (tidak bisa dijadikan acuan


karena pemeriksaan saat usia bayi 7 hari)

 Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Lingkar kepala bayi : 35 cm

Kesan: Normosefali

 Bell Squash Score


 Partus tindakan (SC)
 Ketuban tidak normal
 Kelainan bawaan
 Asfiksia
 Preterm

14
 BBLR
 Infus tali pusat
 Riwayat penyakit ibu
 Riwayat penyakit kehamilan
Kriteria < 4 Observasi neonatal infeksi

≥4 Neonatal infeksi

Hasil 2 : Neonatal infeksi

 Faktor Resiko Pemberian Antibiotik Bayi Baru Lahir Untuk Infeksi

 Demam pada ibu > 38o C


 Ketuban pecah > 18 jam
 Nyeri tekan uterus
 Air ketuban hijau kental
 Berbau
Bila ada salah satu faktor risiko dan ibu mendapat antibiotik < 4 jam maka beri
ampicillin dan gentamicin sesuai protokol, pada pasien terdapat faktor resiko.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil pemeriksaan laboratorium darah 2 Maret 2019


02/03/2019 Nilai rujukan
Kimia Klinik
Glukosa sewaktu H 85 40,0 – 60,0 mg/dL
Sero Imunologi
CRP Pos 48 NEGATIF

15
Hasil pemeriksaan laboratorium darah 3 Maret 2019
03/03/2019 Nilai rujukan
Hematologi (CBC)
Hemoglobin L 12,1 15,2 – 23,6 g/dl
Lekosit 14,1 13,0 – 38,0 103/µl
Hematokrit L 34,9 44 – 72 %
Trombosit 247 217 - 497 103/µl
Eritrosit L 3,4 4,3 – 6,3 106/µl
RDW H 15,8 11,5 - 14,5%
MCV 103,9 98 - 122 U
MCH 36,0 33 - 41 pcg
MCHC 34,7 31 - 35 g/Dl

Hasil pemeriksaan laboratorium darah 8 Maret 2019


08/03/2019 Nilai rujukan
Hematologi (CBC)
Hemoglobin L 11,3 15,2 – 23,6 g/dl
Lekosit 16,2 13,0 – 38,0 103/µl
Hematokrit L 31,1 44 – 72 %
Trombosit L 95 217 - 497 103/µl
Eritrosit L 3,3 4,3 – 6,3 106/µl
RDW H 15,4 11,5 - 14,5%
MCV 94,8 98 - 122 U
MCH 94,5 33 - 41 pcg
MCHC H 36,3 31 - 35 g/Dl
Sero Imunologi
CRP Pos 24 31 - 35 g/Dl

16
Rontgen Babygram

Hasil:
Thoraks:
Cor:
- Bentuk dan letak jantung normal
Pulmo:
- Corakan broncovaskuler meningkat
- Tampak bercak pada kedua paru
- Sinus costophrenicus kanan dan kiri lancip
Abdomen:
- Udara usus meningkat
- Tampak dilatasi gaster (single buble)
- Tak tampak free air
- Tak tampak udara pada cavum pelvis

17
KESAN:
- Bentuk dan letak jantung normal
- Gambaran neonatal pneumonia
- Dilatasi gaster (single buble) – Gastric outlet obstruction?

F. RESUME
Bayi lahir SC pada tanggal 2 Maret 2019 pada pukul 11.17 WIB dari ibu G3P2A0
dengan usia kehamilan 41 minggu mengalami gagal induksi dan bayi letak sungsang. Bayi
tidak langsung menangis, gerakan kurang aktif, warna kulit terlihat pucat, terdapat retraksi
dada, terdapat nafas cuping hidung, dengan APGAR score 5-6-6, BBL 3700, PB 50 cm,
Lingkar kepala 35 cm, lingkar dada 34 c. Air ketuban hijau kental bercampur mekonium.
Tanda vital bayi nadi 156 x/menit pernafasan 67 x/menit tidak teratur, SpO2 98%, GDS
119 mg/dL. Pasien kemudian dilakukan VTP 1 siklus dan di suntikkan neo-k 1 mg/IM
pada paha kiri, salep mata gentamisin 0,3% pada mata kanan dan kiri. Kemudian setelah
dikonsulkan ke dokter spesialis anak, pasien di pindahkan ke euang HCU dan dilakukan
pemasangan O2 CPAP PEEP 7 FiO2 40%, IVFD D10% + Ca Gluconas 20 cc dan
dilanjutkan 12 cc/jam, injeksi vicilin 2 x 200 mg, injeksi dopamin 1 x 3,5 mcq/kgBB
dengan program rontgen babygram, cek GDS dan cek darah rutin.
Pemeriksaan fisik tanggal 9 Maret 2019 didapatkan hasil nadi 124x/menit,
pernafasan 57x/menit, suhu 38,30C, bayi masih terlihat sesak, nafas cuping hidung (+),
retraksi subcostal (+) minimal, kulit tidak ikterik, gerakan aktif (+) menangis (+) hasil lab
tanggal 2 maret 2019 didapatkan hasil GDS 85 (meningkat), CRP positif 48. Lab pada
tanggal 3 maret 2019 didapatkan hasil Hb 12,1 (menurun), hematokrit 34,9 (menurun),
eritrosit 3,4 (menurun), RDW 15,8 (meningkat), dan lab tanggal 8 maret 2019 didapatkan
hasil Hb 11,3 (menurun), hematokrit 31,1 (menurun), trombosit 95.000 (menurun),
eritrosit 3,3 juta (menurun), RDW 15,4 (meningkat), MCHC 36,3 (meningkat), CRP
positif 24. Dan pada pemeriksaan babygram didapatkan gambaran neonatal pneumonia.

18
G. DAFTAR MASALAH
- Bayi lahir SC dengan indikasi gagal induksi dan letak sungsang
- Air ketuban hijau kental bercampur mekoneum
- Bayi tilak langsung menangis
- Gerak bayi kurang aktif
- Warna kulit pucat
- Nafas cuping hidung
- Retraksi dada (subcostal)
- Pernafasan cepat (67x/menit)

H. DIAGNOSIS BANDING
Neonatus Aterm  KMK (Kecil masa kehamilan)
 SMK (Sesuai masa kehamilan)
 BMK (Besar masa kehamilan)
Asfiksia Neonatorum  Asfiksia ringan – sedang
 Asfiksia berat
Distress Respirasi  Faktor Intrapulmonal
 Faktor Ekstrapulmonal
 Faktor Metabolik
Neonatal Infeksi  Antenatal
 Intranatal
 Pascanatal

I. DIAGNOSIS KERJA
- Neonatus Aterm
- Asfiksia Neonatorum
- Distress Respirasi
- Neonatal Infeksi

19
J. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan darah
- Pemeriksaan elektrolit
- Pemeriksaan CRP
- Pemeriksaan GDS
- Rontgen Babygram

K. PENATALAKSANAAN

a. Non medikamentosa
- Rawat intensif, observasi KU dan monitor tanda vital.
- Hangatkan bayi.
- VTP
- Oksigenasi, pasang CPAP PEEP 7, Fio 2 40 %.
- Tunda diet
- Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi yang
mungkin.

b. Medikamentosa
 O2 CPAP PEEP 7 FiO2 40%
 IVFD D10% + Ca Gluconas 20 cc 12 tpm
 Inj. Vicilin 2 x 200 mg
 Inj Gentamicin 1 x 10 mg
 Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
 Inj Meropenem 2 x 200 mg (pengganti vicilin tanggal 8/3/2019)

L. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

20
M. FOLLOW UP
2 Maret 2019 3 Maret 2019
Hari Perawatan ke-1 Hari Perawatan ke-2
S Bayi pindahan dari ruang mawar berusia S Bayi masih tampak sesak, masih terlihat
0 hari baru lahir secara SC dengan lemas, gerak aktif <, menangis tidak kuat
indikasi letak sungsang dan gagal
induksi. Telah terpasang CPAP PEEP 7
FiO2 40%. Keadaan bayi saat datang
tampak lemas, merintih. APGAR score
5-6-6
O KU: Tampak lemah, gerak aktif << O KU: tampak lemah, gerak aktif <
TTV: HR 147x/m,RR 67x/m, S 38,0 0C, TTV: HR 137x/m,RR 52x/m, S 36,8
0
SpO2 92% C, SpO2 94%
Status generalis: Status generalis:
Kepala: normocephali, Caput (+) Kepala: Normosefali
Mata: CA (+/+), SI (-/-). Mata: CA (-/-), SI (-/-)
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+) Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi (+) 1-2 reguler, m (-), g (-), retraksi (+)
subcostal subcostal
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
turgor baik, Hepar dan lien tidak teraba, turgor baik, Hepar dan lien tidak teraba,
ascites (-), shifting dullnes (-) ascites (-), shifting dullnes (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), sianosis (-), Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-),
OE (-/-) CRT <2 detik. CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), sianosis (- Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
), OE (-/-) CRT < 2 detik
CRT < 2 detik
A Neonatal aterm A Neonatal aterm
Asfiksia Asfiksia
Distress respirasi Distress respirasi

21
Susp neonatal pneumonia Susp neonatal pneumonia
Neonatal infeksi Neonatal infeksi
P - Pasang infus umbilical P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2 40%
- O2 CPAP PEEP 7 FiO2 40% - IVFD D10% + Ca Gluconas
- IVFD D10% + Ca Gluconas 20 cc 12 tpm
20 cc 12 tpm - Inj. Vicilin 2 x 200 mg
- Inj. Vicilin 2 x 200 mg - Inj Gentamicin 1 x 10 mg
- Inj Gentamicin 1 x 10 mg - Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
- Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
+ loading NaCl 0,9% 10 ml/kgBB/30
menit (sesak, merintih, menangis tidak
kuat, RR 89x/menit, BAK (-)

4 Maret 2019 5 Maret 2019


Hari Perawatan ke-3 Hari Perawatan ke-4
S Sadar (+), menangis (+), sesak (+), S Sadar (+), sesak (+), menangis (+) kuat,
gerakan aktif < gerak aktif (<), tampak lemah
O KU: tampak lemah, gerak aktif < O KU: tampak lemah, gerak aktif <
TTV: HR 127x/m,RR 76x/m, S 36,9 TTV: HR 146x/m, RR 76x/m, S 36,3
0 0
C, SpO2 96% C, SpO2 96%
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Normosefali Kepala: Normosefali
Mata: CA (-/-), SI (-/-), Mata: CA (-/-), SI (-/-),
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+) Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+) 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+)
subcostal subcostal
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
turgor baik, Hepar dan lien tidak turgor baik, Hepar dan lien tidak teraba,

22
teraba, ascites (-), shifting dullnes (-) ascites (-), shifting dullnes (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-), Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-),
CRT <2 detik. CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik CRT < 2 detik

A Neonatal aterm A Neonatal aterm


Asfiksia Asfiksia
Distress respirasi Distress respirasi
Susp neonatal pneumonia Susp neonatal pneumonia
Neonatal infeksi Neonatal infeksi
P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2 P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2
35% 35%
- IVFD D10% + Ca - IVFD D10% + Nacl 20 cc +
Gluconas 20 cc 12 tpm Kcl 5 cc 12 cc/jam
- Inj. Vicilin 2 x 200 mg - Inj. Vicilin 2 x 200 mg
- Inj Gentamicin 1 x 10 mg - Inj Gentamicin 1 x 10 mg
- Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq - Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
Diet ASI 8 x 5 cc – 7,5 cc sonde Diet ASI 8 x 5 cc – 7,5 cc sonde

6 Maret 2019 7 Maret 2019


Hari Perawatan ke-5 Hari Perawatan ke-6
S Sadar (+), sesak (+), menangis (+) S Sadar (+), tampak sesak (+) menangis
kuat, gerak aktif (<), tampak lemah (+) kuat, gerak aktif (+), kadaan tampak
membaik
O KU: tampak lemah, gerak aktif < O KU: tampak lemah, gerak aktif (+)
TTV: HR 104x/m,RR 66x/m, S 36,1 TTV: HR 125x/m,RR 50x/m, S 36,9
0 0
C, SpO2 95% C, SpO2 95%
Status generalis: Status generalis:

23
Kepala: Normosefali Kepala: Normosefali
Mata: CA (-/-), SI (-/-), Mata: CA (-/-), SI (-/-),
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+) Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+) 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+)
subcostal subcostal
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
turgor baik, Hepar dan lien tidak turgor baik, Hepar dan lien tidak teraba,
teraba, ascites (-), shifting dullnes (-) ascites (-), shifting dullnes (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-), Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-),
CRT <2 detik. CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik CRT < 2 detik
A Neonatal aterm A Neonatal aterm
Asfiksia Asfiksia
Distress respirasi Distress respirasi
Susp neonatal pneumonia Susp neonatal pneumonia
Neonatal infeksi Neonatal infeksi
P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2 P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2
30% 30%
- IVFD D10% + Nacl 20 cc - IVFD D10% + Nacl 20 cc +
+ Kcl 5 cc 10 cc/jam Kcl 5 cc 10 cc/jam
- Inj. Vicilin 2 x 200 mg - Inj. Vicilin 2 x 200 mg
- Inj Gentamicin 1 x 10 mg - Inj Gentamicin 1 x 10 mg
- Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq - Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde

24
8 Maret 2019 9 Maret 2019
Hari Perawatan ke-7 Hari Perawatan ke-8
S Sadar (+), sesak (+), menangis (+) S Sadar (+), sesak (+), menangis (+) kuat,
kuat, gerak aktif (+), suhu naik turun gerak aktif (+), suhu naik turun
O KU: tampak lemah, gerak aktif + O KU: tampak lemah, gerak aktif +
TTV: HR 163x/m,RR 69x/m, S 37,6 TTV: HR 163x/m,RR 69x/m, S 37,6
0 0
C, SpO2 95% C, SpO2 95%
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Normosefali Kepala: Normosefali
Mata: CA (-/-), SI (-/-), Mata: CA (-/-), SI (-/-),
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+) Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+) 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+)
subcostal subcostal
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
turgor baik, Hepar dan lien tidak turgor baik, Hepar dan lien tidak teraba,
teraba, ascites (-), shifting dullnes (-) ascites (-), shifting dullnes (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-), Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-),
CRT <2 detik. CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik CRT < 2 detik
A Neonatal aterm A Neonatal aterm
Asfiksia Asfiksia
Distress respirasi Distress respirasi
Susp neonatal pneumonia Susp neonatal pneumonia
Neonatal infeksi (observasi SIRS) Neonatal infeksi (observasi SIRS)

25
P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2 P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2
30% 30%
- IVFD D10% + Nacl 20 cc - IVFD D10% + Nacl 20 cc +
+ Kcl 5 cc 10 cc/jam Kcl 5 cc 10 cc/jam
- Inj Meropenem 2 x 200 - Inj Meropenem 2 x 200 mg
mg - Inj Gentamicin 1 x 10 mg
- Inj Gentamicin 1 x 10 mg - Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
- Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde
Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde

Cek DR, CRP

10 Maret 2019 11 Maret 2019


Hari Perawatan ke-9 Hari Perawatan ke-10
S Sadar (+), sesak (+), menangis (+) S Sadar (+), sesak (+), menangis (+) kuat,
kuat, gerak aktif (+), suhu naik turun gerak aktif (+), suhu naik turun
O KU: tampak lemah, gerak aktif + O KU: tampak lemah, gerak aktif +
TTV: HR 124x/m,RR 69x/m, S 37,7 TTV: HR 163x/m,RR 69x/m, S 37,6
0 0
C, SpO2 93% C, SpO2 95%
Status generalis: Status generalis:
Kepala: Normosefali Kepala: Normosefali
Mata: CA (-/-), SI (-/-), Mata: CA (-/-), SI (-/-),
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+) Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+) 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+)
subcostal (minimal) subcostal (minimal)
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-), Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
turgor baik, Hepar dan lien tidak turgor baik, Hepar dan lien tidak teraba,
teraba, ascites (-), shifting dullnes (-) ascites (-), shifting dullnes (-)

26
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-), Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-),
CRT <2 detik. CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-) Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik CRT < 2 detik
A Neonatal aterm A Neonatal aterm
Asfiksia Asfiksia
Distress respirasi Distress respirasi
Susp neonatal pneumonia Susp neonatal pneumonia
Neonatal infeksi (observasi SIRS) Sepsis
P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2 P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2
30% 30%
- IVFD D10% + Nacl 20 cc - IVFD D10% + Nacl 20 cc +
+ Kcl 5 cc 10 cc/jam Kcl 5 cc 10 cc/jam
- Inj Meropenem 2 x 200 - Inj Meropenem 2 x 200 mg
mg - Inj Gentamicin 1 x 10 mg
- Inj Gentamicin 1 x 10 mg - Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
- Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde
Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde

12 Maret 2019
Hari Perawatan ke-11
S Sadar (+), sesak (+), menangis (+)
kuat, gerak aktif (+), suhu naik turun
O KU: tampak lemah, gerak aktif +
TTV: HR 127x/m,RR 67x/m, S 36,5
0
C, SpO2 95%
Status generalis:
Kepala: Normosefali
Mata: CA (-/-), SI (-/-),
Hidung : Nafas Cuping Hidung (+)

27
Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-),
BJ 1-2 reguler, m (-), g (-) retraksi (+)
subcostal (minimal)
Abdomen: Supel, BU (+), distensi (-),
turgor baik, Hepar dan lien tidak
teraba, ascites (-), shifting dullnes (-)
Ekstremitas atas: AH (+/+), OE (-/-),
CRT <2 detik.
Ekstremitas bawah: AH (+/+), OE (-/-)
CRT < 2 detik
A Neonatal aterm
Asfiksia
Distress respirasi
Susp neonatal pneumonia
Neonatal infeksi (observasi SIRS)
P - O2 CPAP PEEP 7 FiO2
30%
- IVFD D10% + Nacl 20 cc
+ Kcl 5 cc 10 cc/jam
- Inj Meropenem 2 x 200
mg
- Inj Gentamicin 1 x 10 mg
- Inj Dopamin 1 x 3,5 mcq
Diet ASI 8 x 20 cc – 30 cc sonde

28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Asfiksia Neonatus
2.1.1 Definisi
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan
dan teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami
asfiksia pada saat dilahirkan. Masalah ini erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu
hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang mempengaruhi kesejahteraan bayi selama atau
sesudah persalinan.

Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas scr
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau
segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan
bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin
timbul.

2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi asfiksia berdasarkan nilai APGAR:
- Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.
- Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6.
- Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9. d. Bayi normal dengan nilai
APGAR 10.

2.1.3 Etiologi
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi
darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di
dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru
lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, tali pusat dan bayi berikut ini

29
1. Faktor ibu

 Preeklampsia dan eklampsia


 Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
 Partus lama atau partus macet
 Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
 Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
2. Faktor Tali Pusat

 Lilitan tali pusat


 Tali pusat pendek
 Simpul tali pusat
 Prolapsus tali pusat
3. Faktor Bayi

 Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)


 Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi
vakum, ekstraksi forsep)
 Kelainan bawaan (kongenital)
 Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
Penolong persalinan harus mengetahui faktor-faktor resiko yang berpotensi untuk
menimbulkan asfiksia. Apabila ditemukan adanya faktor risiko tersebut maka hal itu harus
dibicarakan dengan ibu dan keluarganya tentang kemungkinan perlunya tindakan resusitasi.
Akan tetapi, adakalanya faktor risiko menjadi sulit dikenali atau (sepengetahuan penolong)
tidak dijumpai tetapi asfiksia tetap terjadi. Oleh karena itu, penolong harus selalu siap
melakukan resusitasi bayi pada setiap pertolongan persalinan.

2.1.4 Perubahan Patofisiologis dan Gambaran Klinis

Pernapasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan
persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan
atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi
sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai

30
suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha
bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada da lam periode apnue kedua. Pada tingkat
ini terjadi bradikardi dan penurunan tekanan darah.

Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-
basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila
berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis
glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh
beberapa keadaan diantaranya :

1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.


2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung.
Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap tingginya
resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan ke sistem sirkulasi tubuh
lain akan mengalami gangguan

2.1.5 Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia

 Tidak bernafas atau bernafas megap-megap


 Warna kulit kebiruan
 Kejang
 Penurunan kesadaran
2.1.6 Diagnosis

Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia /hipoksia
janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya
tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:

1. Denyut jantung janin

Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi
apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan lebih-lebih jika
tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya.

31
2. Mekonium dalam air ketuban

Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi
kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus diwaspadai. Adanya
mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk
mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan dengan mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat sayatan kecil
pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya.
Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal
itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin mungkin disertai asfiksia.

2.1.7 Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan resusitasi.
Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian tindakan yaitu
menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan. Penilaian untuk melakukan resusitasi
semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting, yaitu :

 Pernapasan
 Denyut jantung
 Warna kulit
Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau membuat
keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernapasan menunjukkan bahwa
bayi tidak bernapas atau pernapasan tidak kuat, harus segera ditentukan dasar pengambilan
kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan positif (VTP).

2.1.8 Persiapan Alat Resusitasi

Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat resusitasi


dalam keadaan siap pakai, yaitu :

1. 2 helai kain / handuk.

32
2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang, handuk
kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur posisi kepala
bayi.
3. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet.
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal.
5. Kotak alat resusitasi.
6. Jam atau pencatat waktu.
2.1.9 Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal sebagai
ABC resusitasi, yaitu :

1. Memastikan saluran terbuka

- Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm.
- Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea.
- Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka.
2. Memulai pernafasan

- Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan

- Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau mulut
ke mulut (hindari paparan infeksi).

3. Mempertahankan sirkulasi

- Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada.

- Pengobatan

3.1 Distress respirasi


3.1.1 Definisi

Distress respirasi adalah gangguan pernafasan yang disebabkan oleh ketidakmaturan


dari sel tipe II dan ketidakmampuan sel tersebut untuk menghasilkan surfaktan yang

33
memadai dimana sering terjadi pada bayi premature dengan tanda-tanda takipnue (>60
x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96
jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik. Tanda-tanda klinik sesuai dengan
besarnya bayi, berat penyakit, adanya infeksi dan ada tidaknya shunting darah melalui PDA
(Stark 1986).1
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak
nafas berat (dyspnea ), frekuensi nafas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap
dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru,adanya gambaran infiltrat
alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan,
edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.1
3.1.2 Etiologi

RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya produksi
surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, makin muda usia
kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi RDS. Ada 4 faktor penting penyebab
defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksual
sesaria. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk
menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi
prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru
kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera
setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.1,2
RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Sindrom ini dapat terjadi
karena ada kelainan di dalam atau diluar paru, sehingga tindakan disesuaikan dengan
penyebab sindrom ini.

34
3.1.3 Patofisiologi

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna
kerana dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan
surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal
tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru
(compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal
meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik.2
Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein ,
lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap
mengembang. Secara makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna
kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang
tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara
bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga
menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi
alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. 2
Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan
pernafasan bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari
darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah
lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah
lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami
sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut
menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD).2
3.1.4 Manifestasi klinis

Berat dan ringannya gejala klinis pada penyakit RDS ini sangat dipengaruhi oleh
tingkat maturitas paru. Semakin rendah berat badan dan usia kehamilan, semakin berat
gejala klinis yang ditujukan.2 Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli,

35
edema, dan kerosakan sel dan selanjutnya menyebabkan kebocoran serum protein ke
dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Gejala klinikal yang timbul yaitu : adanya sesak nafas pada bayi prematur segera
setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/minit), pernafasan cuping hidung,
grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama
setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
pertama, terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara, kedua,
bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran
airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan
jantung dengan penurunan aerasi paru. Ketiga, alveoli yang kolaps bergabung sehingga
kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,
bronchogram udara lebih luas. keempat, seluruh thorax sangat opaque (white lung)
sehingga jantung tak dapat dilihat. 2
Evaluasi Respiratory Distress Score Downes :
0 1 2
Frekuensi
< 60 x/menit 60-80 x/menit > 80 x/menit
Napas
Tidak ada
Retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
retraksi
Sianosis menetap
Sianosis hilang
Sianosis Tidak sianosis walaupun diberi
dengan O2
O2
Penurunan ringan Tidak ada udara
Air Entry Udara masuk
udara masuk masuk
Dapat didengar
Dapat didengar
Merintih Tidak merintih dengan
tanpa alat bantu
stethoscope

Skor < 4 gangguan pernafasan ringan


Skor 4 – 5 gangguan pernafasan sedang

36
Skor > 6 gangguan pernafasan berat (pemeriksaan gas darah
harus dilakukan)

3.1.5 Pemeriksaan penunjang

Laboratory Evaluation for Respiratory Distress in the Newborn


Test Indication
Blood culture May indicate bacteremia Not helpful initially because results may
take 48 hours
Blood gas Used to assess degree of hypoxemia if arterial sampling, or
acid/base status if capillary sampling (capillary sample usually
used unless high oxygen requirement)
Blood glucose Hypoglycemia can cause or aggravate tachypnea
Chest radiography Used to differentiate various types of respiratory distress
Complete blood Leukocytosis or bandemia indicates stress or infection
count with
differential
Neutropenia correlates with bacterial infection
Low hemoglobin level shows anemia
High hemoglobin level occurs in polycythemia
Low platelet level occurs in sepsis
Lumbar puncture If meningitis is suspected
Pulse oximetry Used to detect hypoxia and need for oxygen supplementation

3.1.6 Penatalaksanaan

Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) dan Surasmi,dkk (2003) tindakan untuk
mengatasi masalah kegawatan pernafasan meliputi :2
1) Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2) Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3) Mempertahankan suhu lingkungan netral.
37
4) Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5) Mencegah hipotermia.
6) Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.

Penatalaksanaan secara umum :


a. Pasang jalur infus intravena, sesuai dengan kondisi bayi, yang paling sering dan bila
bayi tidak dalam keadaan dehidrasi berikan infus dektrosa 5 %
 Pantau selalu tanda vital
 Jaga kepatenan jalan nafas
 Berikan Oksigen (2-3 liter/menit dengan kateter nasal)
b. Jika bayi mengalami apneu
 Lakukan tindakan resusitasi sesuai tahap yang diperlukan
 Lakukan penilaian lanjut
c. Bila terjadi kejang potong kejang
d. Segera periksa kadar gula darah
e. Pemberian nutrisi adekuat
Setelah menajemen umum, segera dilakukan menajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Menajemen spesifik atau
menajemen lanjut:

Gangguan nafas ringan


Beberapa bayi cukup bulan yang mengalami gangguan napas ringan pada waktu
lahir tanpa gejala-gejala lain disebut “Transient Tacypnea of the Newborn” (TTN).
Terutama terjadi setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik dan sembuh
sendiri tanpa pengobatan. Meskipun demikian, pada beberapa kasus gangguan napas ringan
merupakan tanda awal dari infeksi sistemik.
Gangguan nafas sedang
Lakukan pemberian O2 2-3 liter/ menit dengan kateter nasal, bila masih sesak dapat
diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup. Bayi jangan diberi minum.2 Jika ada tanda
berikut, berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar
sepsis.

38
o Suhu aksiler > 39˚C
o Air ketuban bercampur mekonium
o Riwayat infeksi intrauterin, demam curiga infeksi berat atau ketuban pecah dini (> 18 jam)
Bila suhu aksiler 34- 36,5 ˚C atau 37,5-39˚C. tangani untuk masalah suhu abnormal dan
nilai ulang setelah 2 jam. Bila suhu masih belum stabil atau gangguan nafas belum ada
perbaikan, berikan antibiotika untuk terapi kemungkinan besar sepsis. Jika suhu normal,
pantau bayi. Apabila suhu kembali abnormal ulangi tahapan tersebut diatas. Bila tidak ada
tanda-tanda kearah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2 jam. Apabila bayi tidak menunjukan
perbaikan atau tanda-tanda perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar
sepsis. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan kurangai terapi O2 secara
bertahap . Pasang pipa lambung, berikan ASI peras setiap 2 jam. Jika tidak dapat menyusu,
berikan ASI peras dengan memakai salah satu cara pemberian minum
Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan. Bila bayi
kembali tampak kemerahan tanpa pemberian O2 selama 3 hari, minumbaik dan tak ada
alasan bayi tatap tinggal di Rumah Sakit bayi dapat dipulangkan.
Gangguan nafas berat
Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya. Bila dalam pengamatan
ganguan nafas memburuk atau timbul gejala sepsis lainnya. Terapi untuk kemungkinan
besar sepsis dan tangani gangguan nafas sedang dan dan segera dirujuk di rumah sakit
rujukan. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI peras dengan
menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minuman. Kurangi pemberian O2 secara
bertahap bila ada perbaikan gangguan napas. Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas
antara 30-60 kali/menit.

Pengobatan yang biasa diberikan selama fase akut penyakit RDS adalah:
 Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder
 Furosemid untuk memfasilitasi reduksi cairan ginjal dan menurunkan caiaran paru
 Fenobarbital
 Vitamin E menurunkan produksi radikalbebas oksigen
 Metilksantin ( teofilin dan kafein ) untuk mengobati apnea dan untuk pemberhentian dari
pemakaian ventilasi mekanik. (cusson,1992)

39
Salah satu pengobatan terbaru dan telah diterima penggunaan dalam pengobatan RDS
adalah pemberian surfaktan eksogen ( derifat dari sumber alami misalnya manusia, didapat
dari cairan amnion atau paru sapi, tetapi bisa juga berbentuk surfaktan buatan ).
3.1.7 Pencegahan

Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi pada bayi resiko
tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur, mencegah tindakan seksio sesarea yang
tidak sesuai dengan indikasi medis, melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan
dan kelahiran bayi resiko tinggi.2
Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
1 Mencegah kelahiran < bulan (premature).
2 Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis.
3 Management yang tepat.
4 Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
5 Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
6 Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
7 Obat-obat tocolysis (β-agonist : terbutalin, salbutamol) relaksasi uterus
Contoh : Salbutamol (ex: Ventolin Obstetric injection) 5mg/5 ml (utk asma: 5 mg/ml)
8 Untuk relaksasi uterus : 5 mg salbutamol dilarutkan dalam infus 500 ml
dekstrose/NaCl diberikan i.v (infus) dgn kecepatan 10 – 50 μg/menit dgn monitoring
cardial effect. Jika detak jantung ibu > 140/menit kecepatan diturunkan atau obat
dihentikan
9 Steroid (betametason 12 mg sehari untuk 2x pemberian,
10 Deksametason 5 mg setiap 12 jam untuk 4 x pemberian
11 Cek kematangan paru (lewat cairan amniotik pengukuran
12 rasio lesitin/spingomielin : > 2 dinyatakan mature lung function)
PNEUMONIA NEONATUS
I. DEFINISI

Pneumonia merupakan suatu proses inflamasi yang dapat bersifat local atau sistemik
pada parenkim paru. Kelainan patensi saluran napas serta ventilasi alveolar dan perfusi sering
terjadi karena berbagai mekanisme. Keadaan ini secara signifikan dapat mengubah pertukaran

40
gas dan metabolisme sel yang menyokong banyak jaringan dan organ dan berkontribusi
terhadap kualitas hidup seseorang.1

Pada neonatus, agen penyebab infkesi umumnya bakteri daripada virus. Infeksi ini
sering diperoleh pada saat proses persalinan, dapat berasal dari cairan ketuban atau jalan lahir,
tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari intubasi dan ventilasi. Tanda-tanda klinis dan
radiografi pneumonia pada neonatal dapat non-spesifik. Kegagalan untuk mengobati
pneumonia pada neonatal dapat mengakibatkan kematian, karena itu semua neonatus
menunjukkan tanda-tanda distress pernapasan baik itu tanpa sebab non-infeksi yang jelas
harus dipertimbangkan untuk pemberian antibiotik secara rutin.2

Neonatus dengan gangguan pernapasan seperti salah satu dari gejala berikut seperti;
takipneu, bising, sulit bernapas, retraksi dinding dada, batuk, mendengus) yang memiliki hasil
kultur darah positif atau dua atau lebih hal berikut:3
a. Faktor predisposisi, Ibu demam (>38˚C), air ketuban berbau, air ketuban pecah (>24 jam)
b. Gejala klinis sepsis, seperti;malas makan, lethargy, refleks yang buruk, hipotermia atau
hipertermia, dan distensi abdomen
c. Radiograf sugestif pneumonia (nodular atau infiltrate patchy kasar, difus atau granularity,
air bronchogram, lobar atau konsolidasi segmental), perubahan radiologi tidak kembali
dalam waktu 48 jam
d. Layar sepsis Positif (salah satu dari berikut); Band >20% dari leukosit, hitung leukosit dari
kisaran referensi, peningkatan protein C reaktif, peningkatan sedimentasi eritrosit.

II EPIDEMIOLOGI
Infeksi saluran pernapasan bawah pada neonatus dapat diklasifikasikan sebagai
bawaan dan infeksi patogen yang didapat. Kongenital pneumonia biasanya bagian dari infeksi
transplasenta, sedangkan pneumonia neonatal dapat berkembang dari intrauterin atau setelah
proses melahirkan. Pneumonia neonatal dapat diklasifikasikan berdasarkan onset awal dan
akhir. Pada onset awal secara umum adalah presentasi klinis dalam 48 jam pertama sampai
dengan 1 minggu kehidupan, sedangkan onset akhir neonatal pneumonia terjadi pada 3
minggu berikutnya.1

Intrauterine pneumonia merupakan subkelompok onset awal neonatal pneumonia dan


memiliki hasil yang buruk seperti bayi meninggal setelah lahir, Apgar skor rendah atau

41
distress pernapasan dan biasanya berhubungan dengan chorioamnionitis ibu. Dari hasil
aspirasi cairan ketuban dalam rahium ibu didapatkan cairan ketuban terinfeksi, atau selama
kelahiran neonatus terkena infeksi.1

Studi otopsi neonatal telah menunjukkan bahwa infeksi intrauterin dan onset awal
pneumonia terjadi pada 10-38% dari bayi yang lahir meninggal dan 20-63% dari bayi lahir
hidup yang kemudian meninggal. Penyelidikan awal terhadap penyebab kematian bayi di 48
jam pertama kehidupan ditemukan pneumonia dalam 20-38% kasus, dengan insiden tertinggi
pada kelompok social ekonomi rendah. Berat lahir dan onset usia sangat menentukan risiko
kematian akbiat pneumonia. tingkat kasus kematian yang lebih tinggi untuk bayi berat badan
lahir rendah, infkesi intrauterine dan onset awal pneumonia. Epidemiologi dari postpartum
terutama pada onset akhir pada umumnya cenderung terkait dengan infeksi nosokomial,
seperti bakteri pathogen yang berasal dari chorioamniotitis atau intervensi medis.1

Pneumonia yang didapat dalam komunitas merupakan salah satu infeksi yang paling
serius pada masa kanak-kanak, yang menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas yang
signifikan di Amerika Amerika. Di Eropa dan Amerika Utara dalam setahun didapatkan anak-
anak dibawah umur 5 tahun ditemukan 34-40 kasus per 1000 penduduk. Meskipun ada
beberapa definisi untuk pneumonia, namun defenisi yang paling umum diterima adalah
adanya demam, gejala pernapasan akut, atau keduanya, ditambah bukti foto thorax dimana
didapatkan infiltrat pada parenkim paru.4

IV ETIOLOGY
Organisme yang penyebab pneumoni bervariasi menurut kelompok umur. Neonatus
sejak lahir sampai usia 3 minggu, kelompok bakteri pathogen yang umum didapatkan ialah B
streptokokus dan bakteri gram negatif. Infeksi bakteri ini merupakan penularan yang
bersumber dari ibu. Streptococcus pneumoniae paling sering didapatkan pada bayi berumur 3
minggu sampai 3 bulan. Pada umur 3 bulan sampai umur prasekolah, virus dan Streptococcus
pneumoniae yang paling dominan menyebabkan pneumonia, sedangkan bakteri lain yang
berpotensi termasuk Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe B dan non-
typeable strain, Staphylococcus aureus, dan Moraxella catarrhalis.4

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme. Kecurigaan klinis yang


disebabkan oleh agen pathogen dapat dijadikan petunjuk disamping riwayat penyakit dan

42
pemeriksaan fisik. Sementara hampir setiap mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia
seperti infeksi bakteri spesifik, infeksi virus, jamur, dan mikobakteri. Usia pada saat terkena
infeksi, sejarah eksposur, faktor risiko terhadap agen patogen, dan riwayat imunisasi
semuanya dapat memberikan petunjuk yang mengarahkan kepada agen yang menginfeksi.5

Dalam sebuah studi multicenter prospektif, dari 154 anak dirawat di rumah sakit
dengan Community-acquired pneumonia (CAP), didapatkan 79% anak terinfeksi agen
patogen. Bakteri piogenik menyumbang 60% dari kasus, dimana 73% adalah karena
Streptococcus pneumoniae, sedangkan bakteri atipikal pneumoniae seperti Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydophila pneumonia terdeteksi masing-masing 14% dan 9%,
Sedangkan virus didapatkan 45%. Sebanyak 23% dari anak-anak dapat memiliki penyakit
virus dan bakteri bersamaan akut. Analisis multivariabel menunjukkan bahwa suhu yang
tinggi (38,4 ° C) dalam waktu 72 jam dan adanya efusi pleura secara bermakna dikaitkan
dengan pneumonia bakteri.5

Pada bayi baru lahir (usia 0-30 hari), beberapa organisme bertanggung jawab terhadap
terjadinya infeksi terutama pneumonia yang pada akhirnya dapat terjadi sepsis neonatorum
dini. Hal ini tidak mengherankan mengingat peran dari genitourinari ibu dan flora saluran
pencernaan merupakan proses yang dapat mengakibatkan infeksi pada neonatus. Infeksi oleh
kelompok B Streptococcus, Listeria monocytogenes, atau gram negatif batang (misalnya,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae) merupakan penyebab umum pneumonia bakteri.
Agen patogen ini dapat diperoleh di dalam rahim, melalui aspirasi saat dalam jalan lahir, atau
melalui kontak pascakelahiran dengan orang lain atau peralatan yang terkontaminasi.5

Grup B Streptococcus (GBS) merupakan bakteri yang paling umum didapatkan pada
tahun 1960-an sampai 1990-an, ketika dampak kemoprofilaksis intrapartum dalam
mengurangi infeksi neonatal dan maternal oleh organisme ini menjadi jelas, bakteri E coli
telah menjadi yang paling umum didapatkan pada bayi dengan berat 1500 gr atau kurang, lain
organisme bakteri potensial seperti; Nontypeable Haemophilus influenzae (NTHI), Basil
Gram negative, enterococci, dan Staphylococcus aureus.5

Infeksi oleh bakteri streptokokus Grup B paling sering ditularkan ke janin dalam
rahim, biasanya sebagai akibat dari kolonisasi vagina dan leher rahim ibu. Agen infeksi

43
kongenital kronis, seperti CMV, Treponema pallidum (penyebab pneumonia alba),
Toxoplasma gondii, dan lain-lain, dapat menyebabkan pneumonia pada 24 jam pertama
kehidupan. Gambaran klinis biasanya melibatkan sistem organ lain.5
Infeksi virus yang didapat dalam komunitas masyarakat sering juga terjadi pada pada
bayi baru lahir dan jarang pada bayi yang lebih tua. Virus yang paling sering terisolasi adalah
respiratory syncytial virus (RSV). Antibodi yang berasal dari ibu penting dalam melindungi
bayi baru lahir dari infeksi tersebut. Pada bayi prematur diduga tidak mendapatkan cukup
imunoglobulin transplasenta IgG, sehingga sangat rentan untuk mendapatkan infeksi.5

Penyebab dari Community-Acquired Pneumonia (CAP) berdasarkan


kelompok usia6
Umur Penyebab tersering Penyebab terjarang
Lahir-20 hari Bacteria Escherichia coli Bacteria Anaerobic organisms

Group B streptococci Group D streptococci


Listeria monocytogenes Haemophilus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Viruses Cytomegalovirus

Herpes simplex virus


3 mgg - 3 bln Bacteria Bacteria
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
S. pneumonia H. influenzae type B and nontypeable
Viruses Adenovirus Moraxella catarrhalis
Influenza virus Staphylococcus aureus
Parainfluenza virus 1,2,and 3 U. urealyticum
Respiratory syncytial virus Virus Cytomegalovirus

4 Bln – 5 Thn Chlamydia pneumoniae Bacteria H. influenzae type B


Mycoplasma pneumoniae M. catarrhalis

44
Umur Penyebab tersering Penyebab terjarang
S. pneumonia Mycobacterium tuberculosis
Viruses Adenovirus Neisseria meningitis

Influenza virus S. aureus


Parainfluenza virus Virus Varicella-zoster virus

Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
V MANIFESTASI KLINIS
Pneumonia pada nonatus merupakan gangguan pernapasan pada bayi baru lahir,
dengan gejala seperti pernafasan yang bising atau sulit, Takipnea > 60x/menit, retraksi dada,
batuk dan mendengus. WHO tidak membedakan antara pneumonia neonatal dan bentuk lain
dari sepsis berat, seperti bakteremia, karena gejala-gejala yang tampak hamper sama, dan
keterlibatan organ dan pengobatan empirik
rejimen yang sama. Takipnea merupakan tanda yang paling sering didapatkan dalam 60-89%
kasus, termasuk tanda lain seperti retraksi dada (36-91% kasus), demam (30-56%),
ketidakmampuan untuk makan (43 -49%), sianosis (12-40%), dan batuk (30-84%).1
Tanda awal dan gejala pneumonia mungkin tidak spesifik, seperti malas makan,
letargi, iritabilitas, sianosis, ketidakstabilan temperatur, dan keseluruhan kesan bahwa bayi
tidak baik. Gejala pernapasan seperti grunting (mendengus), tachypnea, retraksi, sianosis,
apnea, dan kegagalan pernafasan yang progresif. Pada bayi dengan ventilasi mekanik,
kebutuhan untuk dukungan ventilasi meningkat dapat menunjukkan infeksi. Tanda-tanda
pneumonia pada pemeriksaan fisik, seperti tumpul pada perkusi, perubahan suara napas, dan
adanya ronki, radiografi thorax didapatkan infiltrat baru atau efusi pleura. Tanda akhir
pneumonia pada neonates tidak spesifik seperti apnea, takipnea, malas makan, distensi
abdomen, jaundice, muntah, respirasi distress, dan kolaps sirkulasi.7

VI. DIAGNOSIS

Kultur bakteriologis konvensional merupakan tes yang paling banyak digunakan.


Aerobik inkubasi dari kultur sudah cukup untuk mendapatkan agen pathogen yang

45
menyebabkan infeksi. Meskipun air ketuban berbau busuk yang sering disebabkan oleh
bakteri anaerob, tetapi organisme ini jarang menjadi penyebab infeksi. Kultur jamur, virus,
dan U. urealyticum merupakan tes yang lainnya yang dapat dilakukan tetapi harus didasarkan
pada gejala klinis yang ada.1

Selain pengujian hematologi, biokimia darah, dan kultur bakteri, pencitraan pencitraan
dada radiografi dianggap komponen penting dalam membuat diagnosis pneumonia neonatal.
Pencitraan diagnostik tidak hanya dilakukan pada penilaian awal kondisi neonatus dan untuk
menegakkan diagnosis, tetapi juga untuk memantau perkembangan penyakit dan efek dari
tindakan terapi intervensi. Radiografi thorax konvensional tetap menjadi diagnosis andalan
pada neonatus dengan gejala distress pernapasan. Pada neonatus, radiografi thorax sebagian
besar dilakukan dengan posisi supine dan dalam proyeksi anteroposterior.8

Pada pneumonia didapatkan Perbercakan dengan pola garis di perihilar yang dapat
menyerupai TTN, Perbercakan pada pneumonia akibat S. Pneumonia group B dapat
menyerupai HMD dengan penurunan volume paru. Bayi aterm dengan gambaran HMD harus
dianggap sebagai pneumonia sampai terbukti sebaliknya. Efusi pleura pada 25% kasus.9

Neonatal pneumonia.Bercak konsolidasi diseuluruh kedua lapangan paru2

46
Pada kebanyakan kasus pneumonia, perbercakan asimetris dan hiperaerasi dapat terlihat.9

Perbercakan retikulogranular seperti pada HMD dapat terlihat, terutama pada pneumonia
akibat S.pneumoniae grup B.9

47
Komsolidasi pada lobus superior kiri paru akibat S. pneumonia.9

Penyakit b-hemolytic streptococcal grup B. seorang bayi umur 2 hari, tampak bayangan
infiltrate yang luas pada kedua paru terutama pada paru kiri dan efusi pleura pada paru kiri.
Mediastinum terdiring ke sisi kanan.11

48
Pneumonia aspirasi. Tampak granular kasar dengan aerasi tidak teratur dari aspirasi bahan
yang terkandung dalam cairan ketuban, seperti verniks kaseosa, sel-sel epitel, dan mekonium.6

Pneumotoraks sisi kiri. Merupakan Komplikasi dari pneumonia neonatal. Perhatikan


ruang lobus atas terdapat bayangan udara pada kedua sisi paru.8

49
Bayi baru lahir segera setelah lahir dengan sianosis dan gangguan pernapasan dan menjalani
operasi untuk penyakit jantung bawaan. Terdapat bayangan udara sebelum operasi, yang
diinterpretasikan sebagai edema paru. Namun, setelah operasi, dengan tindakan aspirasi
bronkial didapatkan Staphylococcus aureus.8

Pneumonia pada paru kiri lobus atas: Pada hemidiaphragm kiri terlihat
menunjukkan keadaan patologi. Pada foto lateral, didapatkan kekeruhan yang luas pada pada
bagian anterior ke fissure obliq pada atas lobus.10

50
Meskipun pneumonia neonatal tidak memiliki tanda karakteristik yang jelas, Banyak
hasil radiografi thorax yang ditemukan konsisten dengan pneumonia neonatal. Ada beberapa
tanda seperti kekeruhan yang luas pada parenkim paru yang menyerupai tanda “ground-glass
appearance” dari sindrom distress pernapasan . Tanda ini tidak spesifik ditemukan pada proses
hematogen. Aspirasi cairan yang terinfeksi dapat memberikan gambaran serupa.6
Kekeruhan yang merata atau konsolidasi umumnya dianggap sebagai komplikasi
antepartum atau aspirasi intrapartum, terutama ketika bagian perifer dari paru-paru terlibat.
Densitas yang merata di bada bagian basa di kedua paru terutama paru kanan menunjukkan
aspirasi postnatal.6

Hiperinflasi terkait dengan konsolidasi merata menunjukkan obstruksi jalan napas


parsial yang disebabkan oleh sumbatan lender dan debris inflamasi. Tanda air bronchogram
biasanya menunjukkan konsolidasi yang luas, tetapi tanda ini tidak pesifik dan mungkin
berkaitan perdarahan paru atau edema. Kehadiran pneumatoceles terkait dengan efusi pleura
menunjukkan proses infeksi pneumonia.6
Dalam sebuah studi tentang radiografi thorax didapatkan 30 bayi yang di otopsi
dengan parau-paru yang terinfeksi, kelainan yang paling umum diidentifikasi adalah densitas
alveolar bilateral (77%). Dari pasien ini, sepertiga memiliki karakteristik yang luas, perubahan
densitas alveolar dengan air bronchograms yang banyak. Kehadiran efusi pleura pada penyakit
membran hialin dan transien takipnea yang menetap selama 1-2 hari merupakan tanda yang
sangat membantu membantu dalam diagnosis pneumonia neonatal. Perubahan radiografi yang
didapat dapat membantu dalam diagnosis pneumonia neonatal, terutama jika informasi ini
berkorelasi dengan gambaran klinis.6
CT scan dapat membantu meninykirkan kemungkinan tumor, kelainan pembuluh
darah, kelainan lobus, dan untuk menetapkan adanya infiltrate.

51
CT scan axial menggambarkan bayanngan udara ruang yang luas pada kedua paru dan
konsolidasi pada basal paru yang berhubungan dengan air bronchogram yang berasal dari
pneumonia neonatal.6

Ultrasonography merupakan pemeriksaan radiografi yang berguna dalam keadaan


tertentu. Ultrasonography sangat berguna untuk mengidentifikasi dan melokalisasi cairan
dalam ruang pleura dan perikardial. Ultrasonography merupkana teknik noninvasif yang
cocok untuk neonatus. Ultrasonography memiliki sensitivitas yang tinggi dalam mendeteksi
efusi pleura dan mendeteksi konsolidasi di basis paru-paru. Tidak ada radiasi yang terlibat dan
prosedur dapat diulang berkali-kali.6
VII. DIFFERENSIAL DIAGNOSIS

Diagnosis differensial dari patologi paru berdasarkan volume dan densitas paru.11

VII. PENGOBATAN

WHO merekomendasikan penggunaan ampicillin (50mg/kg) setiap 12 jam dalam


minggu pertama kehidupan, kemudian pada umur 2-4 minggu diberikan tiap 8 jam, ditambah

52
dengan dosis tunggal gentamicin. Pengobatan lini pertama dapat diberikan ampicilin seperti
benzylpenicillin atau amoxicillin, sedangkan gentamicin seperti amikasin atau tobramycin.
Jika bakteri S. Aureus yang didapat, dengan resisten terhadap penicillin seperti flucloxacillin
atau cloxacillin maka harus diganti dengan ampicillin.1

Dalam sebuah percobaan acak pada bayi Kenya, pemberian sehari sekali gentamicin
dengan dosis loading 8 mg/kg, pada bayi < 2 kg diberikan 2 mg/kb, sedangkan pada bayi > 2
kg diberikan 4 mg dalam minggu pertama kehidupan. Pemberian 4 mg/kg pada bayi yang
berat < 2 kg atau 6 mg/kg dengan berat > 2 kg dalam minggu kedua tau lebih. Jika bayi tidak
berespon terhadap pemberian antibiok lini pertama, WHO merekomendasikan untuk
mengganti antibiotic dengan generasi ketiga cephalosporin atau kloramfenikol terutama pada
bayi yang tidak premature dan level obat dapat di monitor.1

Prinsip-prinsip umum pengobatan serupa dengan anak, yaitu hidrasi, anti-pyretics dan
ventilasi dukungan jika diperlukan. Pada bayi yang berumur kurang dari 1 bulan jika
penyebabnya bakteri dapat diberikan ampicillin 75-100 mg/kg/hr dan gentamicin 5 mg/kg,
untuk umur 1-3 bulan dapat diberikan Cefuroxime 75–150 mg/kg/hr atau co-amoxiclav 40
mg/kg/hari. Sedangkan pada umur lebih dari 3 bulan diberikan Benzylpenicillin atau
erythromycin, jika tidak berespon segera ganti dengan cefuroxime atau amoxicillin.12
Pengobatan pendukung pada pneumonia non bakteri, jika penyebabnya Chlamydia dan
mycoplasma harus diterpi dengan erythromycin 40–50 mg/kg/hari dan diberikan peroral. Jika
pneumonia yang disebabkan oleh pneumocystis carinii dapat diberikan co-trimoxazole 18–27
mg/kg/hr.13
Prioritas awal pada anak dengan pneumonia meliputi identifikasi dan pengobatan
gangguan pernapasan, hipoksemia, dan hiperkarbia. Mendengus, melebar, tachypnea parah,
dan retraksi harus meminta dukungan pernapasan langsung. Anak-anak yang berada dalam
kesulitan pernapasan yang parah harus menjalani intubasi trakea jika mereka tidak mampu
untuk mempertahankan oksigenasi atau mengalami penurunan tingkat kesadaran.14

Amoksisilin digunakan sebagai agen lini pertama untuk anak-anak dengan pneumonia
komunitas tanpa komplikasi, Generasi kedua atau ketiga dari sefalosporin dan antibiotik
macrolide seperti azitromisin merupakan alternatif yang bisa diterima. Pada pasien rawat inap

53
biasanya diobati generasi sefalosporin intravena, dan seringkali dikombinasikan dengan
macrolide.14

Pneumonia Influenza A yang sangat parah atau bila terjadi pada pasien berisiko tinggi
dapat diobati dengan oseltamivir atau zanamivir. Pneumonia Virus Herpes Simplex diobati
dengan asiklovir parenteral, sedangkan Infeksi jamur invasif, seperti yang disebabkan oleh
Aspergillus atau spesies Zygomycetes, dapat diberikan amfoterisin B atau vorikonazol.14

Amoxicillin dapat digunakan sebagai terapi lini pertama, pada bayi dan anak yang
diduga pneumonia rigan sampai sedang. Pemberian amoxicillin efektif pada bakteri pathogen
invasive streptococcus pneumoniae. Ampicillin or penicillin G dapat juga diberikan pada bayi
dan usia sekolah. Terapi empiris dengan pemberian cephalosporin generasi ketiga seperti
ceftriaxone atau cefotaxime pada bayi dan anak yang dirawat di rumah sakit dengan riwayat
imunisasi yang tidak lengkap.15
VIII. PERAWATAN SUPPORTIF

Perawatan supportif pada neonatus dengan pneumonia akan memberikan hasil akhir
yang lebih baik dan menurunkan angka kematian. Hal ini termasuk penggunaan oksigen,
deteksi dan pengobatan hipoksemia dan apnea, termoregulasi, deteksi dan pengobatan
hipoglikemia, dan meningkatkan penggunaan cairan intravena dan suplemen gizi melalui
nasogastrik. Pemberian ASI yang sering sangat dianjurkan kecuali bila ada kontraindikasi
yang pasti, seperti muntah, intoleransi gastrointestinal atau risiko tinggi aspirasi. Pemberian
intravena yang mengandung garam isotonik dengan dextrose 5-10% yang lebih sedikit
dibanding dosis maintenance merupakan rekomendasi, disebabkan karena ekskresi air cairan
bebas bebas menurun pada bayi dengan infeksi pneumonia akut.1

IX. PENCEGAHAN

Strategi untuk mencegah dan mengobati pneumonia neonatal membutuhkan intervensi


di semua tingkat penyediaan layanan kesehatan, yaitu masyarakat,
perawatan primer, kabupaten dan rumah sakit tersier.1
Langkah-langkah yang telah terbukti efektif dalam pencegahan pneumonia neonatal
meliputi: (1) manajemen aktif pada penanganan pecah ketuban (2) Inisiasi menyusi dini dan
pemberian ASI eksklusif, dan (3) Menghindari pneumonia nosokomial pada unit perawatan

54
intensif di mana akibat infeksi yang umum ditemukan seperti enterik basil Gram negatif (E.
coli, Klebsiella, Enterobacter dan Pseudomonas spp), staphylococcus koagulase negatif dan
S. aureus multiresisten.
Bakteri kolonisasi pada tabung endotrakeal, humidifers, ventilator tabung, infus, probe
temperatur. Peralatan (misalnya stetoskop) dan sarung tangan tangan merupakan awal
terjadinya infeksi neonatal. Mencuci tangan adalah hal yang paling sederhanadan dan paling
efektif untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Identifikasi dan pembersihan peralatan
yang terkontaminasi juga mencegah infeksi nosokomial.1
Selain menghindari kontak menular, vaksinasi merupakan adalah modus utama
pencegahan. Sejak diperkenalkannya vaksin HIB terkonjugasi, tingkat pneumonia HIB telah
menurun secara signifikan. Namun, diagnosis masih harus dipertimbangkan pada orang yang
tidak divaksinasi, termasuk yang pada umur yang lebih muda dari 2 bulan, yang belum
menerima suntikan pertama mereka.14
Bayi yang berisiko tinggi seperti bayi prematur dan bayi yang baru lahir dengan penyakit
jantung bawaan, pemberian profilaksis RSV intramuskular bulanan palivizumab dengan dosis
15 mg / kg volume 1 mL maksimum per injeksi, merupakan rekomendasi.14
4.3 Neonatal infeksi
4.3.1 Definisi
Infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua yaitu: early infection (infeksi dini)
dan late infection (infeksi lambat). Disebut infeksi dini karena infeksi diperoleh dari si ibu saat
masih dalam kandungan sementara infeksi lambat adalah infeksi yang diperoleh dari
lingkungan luar, bisa lewat udara atau tertular dari orang lain.

Infeksi awitan dini Infeksi awitan lambat

(Early Onset ) (Late Onset )

Terjadi dalam 72 jam pertama setelah Terjadi lebih dari 72 jam setelah lahir
lahir

Sumber infeksi : Traktus genitalia


maternal Sumber infeksi : Nosokomial atau
masyarakat

55
Presentasi klinis: Distres respirasi dan Presentasi klinis : Septikemia,
pneumonia pneumonia atau meningitis

Awitan dini : Awitan lambat :

Faktor risiko predisposisi : Faktor risiko predisposisi :

 BBLR (<2.500 gram) atau prematur  BBLR


 Demam pada ibu dengan bukti  Prematuritas
infeksi bakterial dalam 2 minggu  Sepsis didapat dari Rumah Sakit :
sebelum persalinan Perawatan di ruang intensif,
 Ketuban keruh bercampur mekoneum pemakaiaan ventilator mekanik,
dan atau bau prosedur invasif, pemberian
 Ketuban pecah dini > 24 jam cairan parenteral, penggunaan
 Pemeriksaan dalam vagina selama cairan untuk mengatasi syok
persalinan yang tidak bersih  Sepsis didapat dari masyarakat :
 Partus lama higiene buruk, perawatan tali
 Asfiksia neonatorum pusat tidak bersih, pemakaian
Adanya ketuban keruh bercampur botol susu, pemberian makan dini
mekoneum atau 3 kriteria di atas,
indikasi untuk memulai pemberian
antibiotik. Bayi dengan 2 faktor
risiko harus dilakukan pemeriksaan
skrining sepsis dan diobati sesuai
hasil kultur.

4.3.2 Epidemiologi

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 mendapatkan angka
kematian bayi (AKB) di Indonesia, 35 bayi per 1000 kelahiran hidup. Bila dirincikan 157.000
bayi meninggal per tahun atau 430 bayi per hari. Beberapa penyebab kematian bayi
disebabkan berat badan lahir rendah, asfiksia, tetanus, infeksi, dan masalah pemberian minum.
Penyebab kematian neonatal kelompok umur 0-7 hari adalah prematuritas dan berat badan
lahir rendah/low birth weight (LBW) 35%, diikuti oleh asfiksia lahir 33,6%. Sedangkan

56
penyebab kematian neonatal kelompok umur 8-28 hari adalah infeksi 57,1% (termasuk
tetanus, sepsis, pnemonia, diare), dan masalah minum 14,3%.

Infeksi neonatal dapat terjadi intrauterin melalui transplasental, didapat intrapartum


saat melalui jalan lahir selama proses persalinan, atau pascapartum akibat sumber infeksi dari
luar setelah lahir. Infeksi intrapartum dapat terjadi pada saat melalui jalan lahir atau infeksi
asendens bila terjadi partus lama dan ketuban pecah dini. Kelompok virus yang sering menjadi
penyebab termasuk herpes simplex, HIV, cytomegalovirus (CMV), dan hepatitis B yaitu virus
yang jarang ditularkan secara transplasental. Sedangkan kelompok kuman termasuk
Streptokokus grup B Gram negatif, kuman enterik Gram negatif (terutama Escheria coli),
gonokokus dan klamidia. Infeksi pasca persalinan terjadi karena kontak dengan ibu yang
terinfeksi secara langsung misalnya ibu yang mendrita tuberkulosis (meskipun dapat
ditularkan intrauterin), melalui ASI (HIV, CMV), kontak dengan petugas kesehatan lain, atau
kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi bakterial sistemik dapat terjadi kurang dari 1%,
penyakit virus 6%-8% dari seluruh populasi neonatus dan infeksi bakteri nosokomial 2%-25%
dari bayi yang dirawat di NICU.

Infeksi awitan dini apabila terjadi dalam lima hari pertama kehidupan pada umumnya
disebabkan karena infeksi intrauterin atau intrapartum sedangkan infeksi awitan lambat terjadi
sesudah umur tujuh hari dan sering terjadi selama pasca persalinan dan akibat kolonisasi
nosokomial. Menurut perkiraan WHO, terjadi sekitar 5 juta kematian neonatus pada tahun
1995 dan menurun menjadi 4 juta pada tahun 2004, namun tetap 98% terjadi di negara sedang
berkembang.

4.3.3 Patogenesis

Infeksi pada bayi baru lahir sering ditemukan pada BBLR. Infeksi lebih sering
ditemukan pada bayi yang lahir dirumah sakit dibandingkan dengan bayi yang lahir diluar
rumah sakit. Bayi baru lahir mendapat kekebalan atau imunitas transplasenta terhadap kuman
yang berasal dari ibunya. Sesudah lahir, bayi terpapar dengan kuman yang juga berasal dari
orang lain dan terhadap kuman dari orang lain.

Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya dalam 3
golongan, yaitu :

57
 Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini kuman itu
melalui batas plasenta dan menyebabkan intervilositis. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi
umbilikus dan masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin melalui jalan ini ialah :

a. Virus, yaitu rubella, polyomyelitis, covsackie, variola, vaccinia, cytomegalic inclusion


b. Spirokaeta, yaitu treponema palidum ( lues ) ;
c. Bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. Coli dan listeria monocytogenes.
Tuberkulosis kongenital dapat terjadi melalui infeksi plasenta. Fokus pada plasenta
pecah ke cairan amnion dan akibatnya janin mendapat tuberkulosis melalui inhalasi
cairan amnion tersebut.
 Infeksi Intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Mikroorganisme
dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketubah
pecah lama ( jarak waktu antara pecahnya ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam ),
mempunyai peranan penting terhadap timbulnya plasentisitas dan amnionitik. Infeksi
dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh misalnya pada partus lama dan seringkali
dilakukan manipulasi vagina. Infeksi janin terjadi dengan inhalasi likuor yang septik
sehingga terjadi pneumonia kongenital selain itu infeksi dapat menyebabkan septisemia.
Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak langsung dengan kuman yang berasal dari
vagina misalnya blenorea dan ” oral trush ”.

 Infeksi Pascanatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi yang berakibat
fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada saat penggunaan alat atau
akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai akibat infeksi silang. Infeksi pasacanatal
ini sebetulnya sebagian besar dapat dicegah. Hal ini penting sekali karena mortalitas
sekali karena mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi. Seringkali bayi mendapat
infeksi dengan kuman yang sudah tahan terhadap semua antibiotika sehingga
pengobatannya sulit.

58
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat ditegakkan dengan
observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan yang teliti, dan dengan pemeriksaan
fisik serta laboratorium.

Diagnosis dini dapat ditegakkan bila kita cukup waspada terhadap kelainan tingkah
laku neonatus. Neonatus terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam pertama dan bayi
tersebut tidak menderita penyakit maupun kelainan congenital tertentu, namun tiba-tiba
tingkah lakunya berubah, hendaknya selalu diingat bahwa kelainan tersebut disebabkan
infeksi.

Menegakkan kemungkinan infeksi bayi baru lahir sangat penting, terutama pada bayi
BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan menimbulkan angka kematian yang
tinggi. Di samping itu, gejala klinis infeksi yang perlu mendapat perhatian yaitu:

 Bayi malas minum


 Bayi tertidur
 Tampak gelisah
 Pernafasan cepat
 Berat badan turun drastis
 Terjadi muntah dan diare
 Panas badan dengan pola bervariasi
 Aktivitas bayi menurun
 Pada pemeriksaan dapat ditemui: bayi berwarna kuning, pembesaran hepar, purpura, dan
kejang-kejang
 Terjadi edema
 Sklerema
Terdapat 2 skoring yang digunakan untuk menemukan diagnosis neonatal infeksi yaitu
“Bell Squash Score” dan “Gupte Score”:

 Bell Squash Score:


1. Partus tindakan
2. Ketuban tidak normal

59
3. Kelainan bawaan
4. Asfiksia
5. Preterm
6. BBLR
7. Infeksi tali pusat
8. Riwayat penyakit ibu
9. Riwayat penyakit kehamilan
Hasil: < 4  Observasi NI; > 4  NI

 Gupte Score:
Prematuritas 3

Cairan amnion berbau busuk 2

Ibu demam 2

Asfiksia 2

Partus lama 1

Vagina tidak bersih 2

KPD 1

Hasil: 3-5  screening NI; > 5  NI

Diagnosis infeksi neonatal didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan


pemeriksaan penunjang (laboratorium). Salah satu panduan yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi neonatal bahkan yang berlanjut menjadi sepsis tertera pada tabel
dibawah ini.

Kategori A Kategori B
 Kesulitan bernapas (misalnya, apnea,  Tremor
napas lebih dari 30 kali per menit,  Letargi atau lunglai
retraksi dinding dada, grunting pada  Mengantuk atau aktivitas berkurang
waktu ekspirasi, sianosis sentral)  Iritabel atau rewel

60
 Kejang  Muntah (menyokong kecurigaan
 Tidak sadar sepsis)
 Suhu tubuh tidak normal (tidak normal  Perut kembung (menyokong
sejak lahir dan tidak memberi respons kecurigaan sepsis)
terhadap terapi atau suhu tidak stabil  Tanda klinis mulai tampak sesudah
sesudah pengukuran suhu normal hari ke empat (menyokong kecurigaan
selama tiga kali atau lebih, menyokong sepsis)
diagnosis sepsis)  Air ketuban bercampur meconium
 Persalinan di lingkungan yang kurang  Malas minum sebelumnya minum
higienis (menyokong kecurigaan dengan baik (menyokong kecurigaan
sepsis) sepsis)
 Kondisi memburuk secara cepat dan
dramatis (menyokong kecurigaan
sepsis)

Identifikasi faktor resiko infeksi harus menjadi perhatian khusus sehingga dapat
diberikan tatalaksana efektif seawal mungkin dengan harapan menurunkan mortalitas dan
memperbaiki morbiditas akibat sepsis. Pengelompokan faktor-faktor resiko sepsis menjadi
faktor resiko mayor dan minor merupakan salah satu langkah awal pendekatan diagnosis
sepsis neonatorum. Faktor-faktor risiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi,
harus tetap mendapatkan perhatian khusus. Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua
faktor risiko minor maka diagnosis sepsis harus dilakukan secara proaktif dengan
memperhatikan gejala klinis serta dilakukan pemeriksaan penunjang sesegera mungkin.
Adapun masing-masing kriteria adalah sebagai berikut:
Kriteria mayor :

 Ketuban pecah >24 jam


 Denyut jantung janin yang menetap >160 kali per-menit
 Ibu demam ; saat intrapartum suhu >38C
 Korioamnionitis
 Ketuban berbau

61
Kriteria minor :

 Ketuban pecah antara 12-24 jam


 Jumlah leukosit maternal >15.000 sel/mL
 Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
 Apgar score rendah (menit ke-1 <5, menit ke- 5 menit <7)
 Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram
 Usia gestasi < 37 minggu
 Kehamilan ganda
 Keputihan pada ibu yang tidak diobati.
 Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati

Diagnosis laboratorium
a. Diagnosis pasti infeksi neonatal ditegakkan berdasarkan biakan darah, cairan
serebrospinal, urin, dan infeksi lokal
b. Diagnosis tidak langsung:
1. Jumlah leukosit, hitung jenis, leukopenia <5000 /mm3, leukositosis >12000/mm3,
hanya bernilai untuk sepsis awitan lambat
2. Neutropenia (<1500/mm3 ), neutrofilia (<7000/mm3) hanya bernilai untuk sepsis
awitan lambat
3. Rasio I:T ( >0,18 )
4. Trombositopenia (<100,000/mm3)
5. C-reactive protein positif (>6 mg/L), merupakan nilai prognostik
6. ESR (erytrocyte sedimentation rate) atau micro-ESR pada dua minggu pertama
(nilai normal dihitung pada usia hari ketiga)
7. Haptoglobin, fibrinogen dan leukocyte elastase assay.
8. Pengecatan gram cairan aspirat lambung positif (bila >5 neutrophils/LPB) atau
ditemukan bakteri
9. Pemeriksaan fibonektin
10. Pemeriksaan sitokin, interleukin-1, soluble interleukin 2receptor, interleukin-6, dan
tumour necrosis factor –a, dan deteksi kuman patogen GBS & ECK 1 dengan,

62
pemeriksaan latex particle agglutination dan countercurrent
immunoelectrophoresis.
11. Polymerase chain reaction suatu cara baru untuk mendeteksi DNA bakteri.
12. Prokalsitonin merupakan petanda infeksi neonatal awitan dini dan lambat,
memberikan hasil yang cukup baik pada kelompok risiko tinggi.
13. Pada neonatus yang sakit berat, kadar prokalsitonin merupakan petanda infeksi
yang lebih baik dibanding C- reactive protein dan jumlah leukosit. Kadar
prokalsitonin 2 mg/ml mungkin sangat berguna untuk membedakan penyakit infeksi
bakterial dari virus pada neonatus dan anak
Analisis pada sistem hematologi sesaat setelah bayi lahir berperan sebagai indikator
diagnosis sepsis. Narasima dkk (2011) melakukan penelitian mengenai signifikansi
Hematological scoring system (HSS) pada diagnosis sepsis awitan dini pada bayi baru lahir.
Berdasarkan jumlah dari total HSS diklasifikasikan menjadi tidak ada sepsis apabila total skor
 2, probable sepsis jika skor 3-4 dan diagnosis sepsis atau infeksi apabila skor  5. Jumlah
PMN total mempunyai nilai sensitivitas (89,47%) paling tinggi diantara parameter hematologi
yang lain sedangkan rasio PMN total dan jumlah trombosit mempunyai nilai spesifisitas yang
sama sebesar 75% dalam membantu diagnosis sepsis awitan dini. Dengan mempertimbangkan
nilai sentivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan nilai duga negatif pada penelitian tersebut
didapatkan bahwa rasio I:T rasio merupakan tes yang paling terpercaya dalam mendiagnosis
sepsis.

2.3.5 Penyakit Infeksi pada Neonatus


Adapun beberapa penyakit infeksi yang dapat dialami oleh BBL yaitu :
A. Infeksi Berat
1. Sepsis neonatorum
Sepsis neonatorum atau meningitis sering didahului oleh keadaan hamil dan persalinan
sebelumnya seperti dan merupakan infeksi berat pada neonatus dengan gejala-gejala sistemik.

Faktor resiko :

- Persalinan (partus) lama atau terlantar


- Persalinan dengan tindakan operasi vaginal
- Infeksi/febris pada ibu

63
- Air ketuban bau, warna hijau
- KPD, lebih dari 24 jam
- Prematuritas & BBLR
- Gawat janin atau depresi neonatus
Tanda & gejala :

- Bayi tdk mau/tdk bisa menetek


- Bayi tampak sakit, tidak aktif, & sangat lemah
- hipotermia/hipertermia, tetapi dpt normal
- Bayi gelisah& menangis
- Bayi kesulitan napas
- Dapat disertai kejang, pucat, atau ikterus
Prinsip pengobatan:

- Metabolisme tbh dipertahankan kebutuhan nutrisi dipenuhi


- Pengobatan antibiotika scr IV
- Ampisilin 200 mg/kg/hr 3-4x peberian & gentamisin 5 mg/kg/hr 2x pemberian
- Kloramfenikol 25 mg/kg /hr 3-4x pemberian
- Pemeriksaan laboratorium rutin
- Biakan darah & uji resistensi
- Fungsi lumbal & biakan cairan serebrospinalis & uji resistensi
- Tindakan & pengobatan lain diberikan atas indikasi

2. Aspirasi pneumonia
Aspirasi pneumonia terjadi pada intrauterin karena inhalasi likuor amnion yang septik dan
menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex menelan dan batuk yang
belum sempurna.

Gejala :

- Sering tidur atau letargia


- Berat badan turun drastic

64
- Kurang minum
- Terjadi serangan apnea (Apneu neonatal)
- Dicurigai bila ketuban pecah lama, keruh, bau
Pengobatan :

- Resusitasi pada bayi baru lahir


- Pertahankan suhu tubuh
- Beri antibiotika spektrum luas_ampisilin+gentamisin
Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan rontgen atau konsultasi dokter ahli anak.

3. Diare
Diare merupakan penyakit yang ditakuti masyarakat karena dengan cepat dapat
menimbulkan keadaan gawat dan diikuti kematian yang tinggi. Bayi yang baru lahir sudah
disiapkan untuk dapat langsung minum kolostrum yang banyak mengandung protein, kasein,
kalsium sehingga dapat beradaptasi dengan ASI. Jika bayi aterm dan pemberian ASI benar,
sangat kecil kemungkinan terjadi penyakit diare. Kuman yang sering menyebabkan diare yaitu
E. coli yang mempunyai sifat pathogen dalam tubuh manusia. Adapun gejala klinis diare yaitu
: tinja/feses yang jumlahnya banyak, cair, berwarna hijau/kuning dan berbau khas.

Tubuh bayi terdiri dari sekitar 80% air sehingga penyakit diare dengan cepat
menyebabkan kehilangan air sehingga bayi akan jatuh dalam keadaan dehidrasi, sianosis dan
syok. Untuk dapat mengatasi dan menurunkan angka kematian karena diare pada bayi dapat
dilakukan tindakan sebagai berikut :

- Minum bayi tidak perlu dikurangi


- Berikan larutan garam gula/oralit sebanyak mungkin
- Bila keadaan lebih membahayakan perlu dipasang infuse
- Konsultasi pada dokter
B. Infeksi Ringan
1. Oftalmia Neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae saat bayi
lewat jalan lahir

65
2. Infeksi Umbilikus (Omfalitis)
Merupakan infeksi pada pangkal umbilikus yang disebabkan oleh infeksi Staphylococcusb
aureus.

3. Monialisis
- Disebabkan jamur Candida albicans
- Tidak menimbulkan gejala
- Pada kondisi tubuh yang menurun atau pada penggunaan antibiotika / kortikosteroid yang
lama dapat terjadi pertumbuhan berlebihan jamur yang kemudian menyebabkan terjadinya
stomatitis pada neonatus dan pada akhirnya mengakibatkan kematian.
4. Stomatitis
Merupakan infeksi yang dimulai sebagai bercak putih di lidah, bibir, dan mukosa mulut

2.3.6 Pencegahan Infeksi

Pencegahan infeksi adalah bagian penting setiap komponen perawatan pada bayi baru
lahir. Bayi baru lahir lebih rentan terhadap infeksi karena sistem imun mereka imatur, oleh
karena itu, akibat kegagalan mengikuti prinsip pencegahan infeksi terutama sangat
membahayakan. Praktik pencegahan infeksi yang penting diringkas di bawah ini.

2.3.7 Prinsip Umum Pencegahan Infeksi

Dengan mengamati praktik pencegahan infeksi di bawah akan melindungi bayi, ibu dan
pemberi perawatan kesehatan dari infeksi. Hal itu juga akan membantu mencegah penyebaran
infeksi :

 Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir.

 Pertimbangkan setiap orang ( termasuk bayi dan staf ) berpotensi menularkan infeksi.

 Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol.

 Pakai – pakaian pelindung dan sarung tangan.

 Gunakan teknik aseptik.

 Pegang instrumen tajam dengan hati – hati dan bersihkan dan jika perlu sterilkan atau

desinfeksi instrumen dan peralatan.


 Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan buang sampah.

66
 Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi nosokomial.

2.3.8 Asuhan Neonatus Pencegahan Infeksi

Berikan perawatan rutin bayi baru lahir :

 Setelah enam jam pertama kehidupan atau setelah suhu tubuh bayi stabil, gunakan kain
katun yang direndam dalam air hangat untuk membersihkan darah dan cairan tubuh
lain ( misal: dari kelahiran ) dari kulit bayi, kemudian keringkan kulit. Tunda
memandikan bayi kecil ( kurang dari 2,5 kg pada saat lahir atau sebelum usia gestasi
37 minggu ) sampai minimal hari kedua kehidupan.
 Bersihkan bokong dan area perineum bayi setiap kali mengganti popok bayi, atau
sesering yang dibutuhan dengan menggunakan kapas yang direndam dalam air hangat
bersabun, kemudian keringkan area tersebut secara cermat.
 Pastikan bahwa ibu mengetahui peraturan posisi penempatan yang benar untuk
meyusui untuk mencegah mastitis dan kerusakan puting.

SEPSIS NEONATORUM
Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik
dan terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan sepsis neonatorum dapat berlangsung cepat
sehingga sering kali tidak terpantau, tanpa pegobatan yang memadai bayi dapat meninggal
dalam 24 sampai 48 jam.
Epidemiologi
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu 1,818 per
1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju
angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian
10,3%. Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data yang diperoleh dari Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode Januari - September 2005, angka kejadian sepsis
neonatorum sebesar 13,68% dengan angka kematian sebesar 14,18%. 4
Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan
infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-

67
beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang
sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi
penyebab utama dari sepsis neonatorum. Oleh karena itu pemeriksaan pola kuman secara
berkala pada masing-masing klinik dan rumah sakit memegang peranan yang sangat
penting.1,2

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti oleh
World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di empat negara
berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan Gambia. Dalam penelitian
tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering ditemukan pada kultur darah adalah
Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan
serebrospinal yang terjadi pada meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri
Gram negatif terutama Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri
Gram negatif juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan
pada neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang dilahirkan di
rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering ditemukan adalah
Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.1,4

Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di Divisi
Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2003, kuman
terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp, Enterobacter sp,
Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005 menunjukkan Acinetobacter
calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp
(6,81%). 6

Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun waktu

68
Faktor Resiko
Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko
ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang berbeda antara
satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor
risiko pada ibu dan bayi.

Faktor risiko ibu:


 Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari
24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai
korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
 Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi
saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal
oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
 Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
 Kehamilan multipel.
 Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
 Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor risiko pada bayi: 7
 Prematuritas dan berat lahir rendah.
 Dirawat di Rumah Sakit.
 Trauma pada proses persalinan.
 Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,

69
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal
 Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,atau
asplenia.
 Asfiksia neonatorum.
 Cacat bawaan.
 Tidak diberi ASI
 Pemberian nutrisi parenteral.
 Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
 Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded
 Buruknya kebersihan di NICU.
Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis dengan
menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor
dan risiko minor.5

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis
dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septicwork-up) sesegera
mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi pasien secara

70
dini dan tata laksana yang lebih efisien sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan
dapat membaik.6

Patofisiologi
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan mulai dari infeksi ke
SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan akhirnya kematian.1

Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis


Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom klinis yang
terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi.
SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu abnormal atau
jumlah leukosit yang abnormal
1. Suhu core > 38.5 °C atau < 36 °C

71
2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli dari luar,
obat – obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang menetap tanpa penjelasan
selama 0.5 – 4 jam; ATAU pada anak –anak < 1 tahun terdapat bradikardi persisten
lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate < persentil 10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan,
ataupun penyakit jantung kongenital )
3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang tidak terkait
dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum
4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%

Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti


Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :
1. Disfungsi kardiovaskuler
Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam, terdapat
hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2 SD dibawah normal
untuk umur atau perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah
atau 2 dari hal berikut :
 Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L
 Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal
 Oliguri < 0.5 mL/kg/jam
 Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik
 Beda suhu akral dan tubuh > 3 °C
2. Acute respiratory distress syndrome yang didefinisikan dengan terdapatnya rasio
PaO2/FiO2 ≤ 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto thoraks, dan tidak terbuktinya
gagal jantung kiri atau sepsis disertai dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi,
Renal, Neurologi, hematologi, atau hepar )

Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler


Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa dipertahankan
homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,4,6
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua
bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis

72
neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan
infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan
biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara maju, kuman tersering
yang ditemukan pada kasus SAD adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli
,Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria
monocytogenes, sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang Gram negatif. 6
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang
diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Angka mortalitas
SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju, Coagulase-negative
Staphilococcus (CoNS) dan Candida albicans merupakan penyebab utama SAL. 6

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar
bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat diketahui
apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar (SAL). 6

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena
terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa
faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian kemungkinan kontaminasi kuman
dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,6
 Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin melalui aliran
darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin. Keadaan ini ditemukan
pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau Listeria dll.
 Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya saat
pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau amniosentesis. Paparan
kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan akan menimbulkan amnionitis dan
pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman pada janin.
 Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan lebih berperan
dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke dalam rongga uterus
dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran pernafasan ataupun saluran
cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat
apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-24 jam.

73
 Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena infeksi
silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang mendapat prosedur
neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi dalam ventilator, kurang
memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap yang terlalu lama dan hunian terlalu
padat, dll.

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran darah,
akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai
reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada
pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda.

Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan gangguan
fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme prokoagulasi dan
antikoagulasi.
1. Respon inflamasi
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida merupakan
komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan memiliki peranan penting
dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat protein spesifik dalam plasma yaitu
lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan
CD14, yaitu reseptor pada membran makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada
Toll-like receptor 4 (TLR4) yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi
makrofag.
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme, yakni
dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan
fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen mengaktifkan sejumlah besar
sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat banyak. Bakteri
Gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan
merangsang respon imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram
negatif. Kedua kelompok organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan
pelepasan mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat

74
aktivasi makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga
menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor trombin
pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera.
Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh
penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul
antitrombik. Selain itu, inflamasi pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot
polos pembuluh darah.
2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator inflamasi
menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi TF secara langsung
akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung umpan balik secara tidak
langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.1,4,6
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur ekstrinsik yang
terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari mediator inflamasi. Selain
itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur intrinsik melalui lengkung jalur
umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi
kedua jalur tersebut adalah pembentukan fibrin.1,4,6
3. Gangguan Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem koagulasi.


Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru),
rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,4,6
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan urokinasetype
plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk merubah plasminogen
menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi proteolisisfibrin. 1,4,6
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator dan
inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan.1,4,6
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh tidak mampu
menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis akibat tingginya kadar

75
PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin
degradation product (FDP) yang mencakup D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi
klinis. Mediator proinflamasi (TNF-α dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar
fibrin, sehingga menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan
selanjutnya menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat
bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang berat
dapat menyebabkan kematian. 1,4,6
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan tertekan.
Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen khususnya t-PA dan
u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun, aktivasi plasminogen ini dihambat
oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan fibrin menjadi tidak adekuat, dan
mengakibatkan pembentukan trombus dalam mikrovaskular. Disseminated intravascular
coagulation (DIC) atau Pembekuan intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi
tersering pada sepsis. Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi
komplikasi perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis
mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi dihubungkan
dengan prognosis buruk. 1,4,6
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme inflamasi
dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi dan koagulasi yang
lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya trombosis mikrovaskular,
hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat, syok septik, dapat menyebabkan
kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,4,6

76
Infeksi Superantigen atau
fokal toksin

Sel – sel inflammasi teraktivasi Aktivasi pertahanan


inang

Aktivasi sistem komplemen Aktivasi sistem


koagulasi

Aktivasi endotel
Peningkatan ekspresi molekul- Pelepasan mediator inflamasi
molekul adhesi endotel endogen
Sitokin pro-inflammasi
Sitokin anti-inflammasi
Penurunan trombomodulin Platelet activating factor
Peningkatan plasminogen activator inhibitor Arachidonic acid metabolites
Trombosis dan antifibrinolisis Substansi depresi miocardium
Opiat endogen

Hipovolemia
Kegagalan jantung dan vaskularisasi
Kebocoran plasma / cedera endotel
Acute Respiratory Distress Syndrome
Disseminated intravascular coagulation
Penurunan sintesis steroid

Syok

MODS

Kematian

77
Manifestasi dan Gejala Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang terlihat
sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh terhadap
masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah.
Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu,
terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-
kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, akral dingin). Bayi dapat pula memperlihatkan
kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan,ikterus,
muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang
memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi). 8

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses


tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat bila ditemukan satu
atau lebih dari gejala-gejala berikut : 8

• Laju napas > 60 kali per menit


• Retraksi dada yang dalam
• Cuping hidung kembang kempis
• Merintih
• Ubun ubun besar membonjol
• Kejang
• Keluar pus dari telinga
• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)
• Letargi atau tidak sadar
• Penurunan aktivitas /gerakan
• Tidak dapat minum
• Tidak dapat melekat pada payudara ibu

78
• Tidak mau menetek.
Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan Manajemen Masalah
Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah Sakit tahun 2003 untuk
menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini gambaran klinis pada sepsis dibagi
menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran
klinis sesuai dengan kategori : 6

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda- tanda dan
gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 6

 Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai sebagai infeksi
berat atau KPD (ketuban pecah dini).
 Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau tiga tanda atau
lebih pada Kategori B (tabel).

79
 Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B, atau dua
tanda pada Kategori B.

3.7 Pemeriksaan
1. Laboratorium
A. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam menentukan
diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil biakan baru akan
diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu dipertimbangkan secara hati-hati
apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari jenis kuman yang biasa ditemukan di
masing- masing klinik. Kultur darah dapat dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset
dini maupun lanjut. 8

B. Pungsi lumbal

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi. Bayi


dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi lumbal dilakukan
untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila dicurigai terdapat meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian
dilakukan pemeriksaan kultur dari cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif,
punksi lumbal diulang 24-36 jam setelah pemberian antibiotik untuk menilai apakah
pengobatan cukup efektif. Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman
pada LCS, diperlukan modifikasi tipe antibiotik dan dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi
dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 8

C. Pewarnaan Gram

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai saat ini
masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman. Pemeriksaan
dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah bakteri penyebab termasuk
golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif. Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan
baca pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan
pada rumah sakit dengan fasilitas laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam

80
menentukan penggunaan antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil
pemeriksaan kultur bakteri. 8

D. Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang diagnosis


sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 8

 Hitung trombosit

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/µL jarang ditemukan
pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum dapat terjadi
trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/µL), MPV (mean platelet volume)
dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara signifikan pada 2-3 hari pertama
kehidupan.

 Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun, walaupun
jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis dengan kultur
bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak terinfeksi pun dapat
memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress saat proses persalinan. Jumlah
total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih sensitif dibandingkan dengan jumlah
total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN, limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil
abnormal yang terjadi pada saat mulainya onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu,
jumlah neutrofil tidak dapat memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis.
Neutropenia juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia
perinatal berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.

 Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatorum. Semua
bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang dapat diterima untuk
menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama kehidupan adalah 0,16. Pada
kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada 60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas

81
rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan
fisiologis lainnya; oleh karena itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya
agar diagnosis sepsis neonatorum dapat ditegakkan.

 Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul
pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL6 dan IL-8 yang
dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik,
monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi yang menderita infeksi bakteri
sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu
36-48 jam dan terus meningkat sampai proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa
dipakai adalah < 5 mg/L. CRP sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk
mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi. Faktor yang
dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur kehamilan, jenis organisme
penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan, imunisasi dan infeksi virus berat (seperti
HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).

Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%, spesifisitas


78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk sepsis awitan dini
adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.

 Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa


Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien sepsis.
Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat
memberikan informasi jenis kuman. Selain bermanfaat untuk deteksi dini, PCR juga dapat
digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatorum.

2. Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya:8

82
 Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory Distress
Syndrome).

 Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

 Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena ditemukan pada


sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini yang telah terbukti dengan
kultur.

Diagnosa
Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis
pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan
memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, diagnosis sepsis
neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala spesis klasik
yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala
sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus.
Selain itu tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan
tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis.

Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :

 Faktor Resiko
 Gambaran Klinik
 Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena salah satu
faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan diagnosis pasien.
Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis yang diderita pasien. Pada
awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat
dipakai sebagai indikator untuk melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan
dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang
terdapat dalam lingkungan pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :


83
1. Faktor ibu :
 Persalinan dan kelahiran kurang bulan
 Ketuban pecah lebih dari 18 – 24 jam
 Chorioamnionitis
 Persalinan dengan tindakan
 Demam pada ibu ( > 38,4 °C )
 Infeksi saluran kencing pada ibu
 Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2. Faktor bayi
 Asfiksia perinatal
 Berat lahir rendah
 Bayi kurang bulan
 Prosedur invasif
 Kelainan bawaan

Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan sampai saat ini
masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak mengalami perubahan dalam
dekade terakhir ini.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena
sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering
ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus, bayi kurang bulan yang
mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut, infeksi yang bersumber dari
alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga
medik yang merawat bayi. Faktor resiko awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu
berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai
gejala klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien
pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang ditemukan
pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis awitan dini janin yang

84
terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan asfiksia, dan memerlukan resusitasi
karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis
sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya
akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat seperti
letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar high pitch cry dan bayi
menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan kardiovaskular seperti hipotensim
pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan
hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah,
diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang,
takipneu, apneu, merintih, dan retraksi.

Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi

Gangguan organ Gambaran Klinis

Kardiovaskular  Tekanan darah sistolik < 40 mmHg


 Denyut Jantung < 50 atau > 220/menit
 Terjadi Henti Jantung
 pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal
 Kebutuhan akan inotropik untuk
mempertahankan tekanan darah normal

Saluran Napas  Frekuensi napas > 90/menit


 PaCO2 > 65 mmHg
 PaO2 < 40 mmHg
 Memerlukan ventilasi mekanik
 FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik

Sistem Hematologik  Hb < 5 g/dL


 WBC < 3000 sel/mm3
 Trombosit < 20.000

85
 D-dimer > 0.5µg/mL pada PTT > 20 detik
atau waktu tromboplastin > 60 detik

SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil

Gangguan Ginjal  Ureum > 100 mg/d\


 Creatinin > 20 mg/dL

Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai dengan


penurunan Hb > 2g%, hipotensi, perlu
tranfusi darah atau operasi gastrointestinal

Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam menyebabkan
kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu pemeriksaan penunjang baik
pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya sering dipergunakan dalam
membantu menegakan diagnosis. Upaya inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan.
Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas
tinggi sebagai indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis, interpretasi
hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis yang terjadi.

Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit ditegakkan apabila


hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja. Untuk hal tersebut perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan
penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan khusus
lainnya. Langkah tadi disbeut Septic work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan
darah yang merupakan gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 – 5 hari
untuk diagnosis pastinya.

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya bila kuman
yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di klinik tersebut. Selain itu

86
hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan pemberian antibiotika sebelumnya atau
adanya kemungkinan kontaminasi kuman nosokomial.

Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat dapat
dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis kuman secara lebih
spesifik.

Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan komponen-


komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat ditemukan pada 10 – 60 %
pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000 dan terjhadi pada 1 – 3 minggu setelah
diagnosis sepsis ditegakkan.

Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis ketimbang hitung
trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan hitung neutrofil. Rasio antara
neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T ) sering dipakau sebagai penunjang diagnosis
sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T ini 60 – 90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai
kombinasi dengan gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang yang lain.

Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis
neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan
mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan pengobatan
optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak
diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan di klinik
tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman diketahui. Selain itu,
beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai dilakukan, walaupun beberapa dari terapi
tersebut belum terbukti menguntungkan.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas
antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab SAD.
Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

87
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)
Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin
resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang
diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga
yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat digunakan
pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk
bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam,
dan isepamisin.
Dosis Antibiotik3

Terapi suportif (adjuvant)


Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau lebih
yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan
kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik seperti koagulasi
intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan tersebut
dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan pemberian

88
komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa
terapi yang dilaporkan dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin
(IVIG), pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GCSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.

Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum


Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan untuk
mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal. Kortikosteroid dosis rendah
bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti memperbaiki status hemodinamik,
memperpendek masa syok, memperbaiki respons terhadap katekolamin, dan meningkatkan
survival. Pada keadaan ini dapat diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari.
Sebuah meta-analisis memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas
28 hari secara signifikan.

Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik
tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis, dan
katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot
dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam amino
yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin
dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada
bayi sehat harus dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus
diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat dilakukan
melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak
memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama. Pemberian nutrisi enteral diberikan
setelah bayi lebih stabil.

3.10 Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi bila tanda
dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan angka

89
kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio kematian
pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan.
Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah
2 – 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira
– kira 2 %). 6

90
DAFTAR PUSTAKA
1. Suraatmaja S.Kapita Selekta Gastroentrologi Anak. Jakarta : Sagung seto. 2007;h:146.
2. Definisi ARDS. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/976034-
overview#showall. Accessed on 5 Sept 17
3. Jon Palmer. Prematurity, Dysmaturity, Postmaturity. Neonatology. New Bolton
Center ; University of Pennsylvania. November 16 2005
4. Suraatmaja S.Kapita Selekta Gastroentrologi Anak. Jakarta : Sagung seto. 2007;h:146.
5. Kitterman J.Enterokolitis Nekrotikan. Dalam: Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol. 1. Ed
20.Jakarta:EGC.2006;h:297-300
6. Claud EC,Caplan M.Necrotizing Enterocolitis.Dalam:Walker WA,et
all.PediatricGastrointestinalDisease.Massachuset:McGrawHill.2004;h:873-877
7. Caplan M.Neonatal Necrotizing Enterocolitis.Dalam:Martin RJ,Fanaroff AA,Walsh
MC.Fanarof and Martin’s Neonatal-Perinatal Medicine Diseases of the Fetus and
Infant.Ed 8.Philadelphia:Mosby Elsevier:2006 ;h1403-1410
8. Daneman A,Woodward S & de Silva M.The radiology of neonatal necrotizing
enterocolitis(NEC): A review of 47 cases and the literature.Pediarl. Radiol.1978;h:70-
77
9. SpringerSC.NecrotizingEnterocolitis.Diunduhdari
http://www.emedicine.medscape.com/artikel/977956. Diakses tanggal 12 Juli 2010
10. Gambar diunduh dari http://www.pediatrie.be/NECROT_%20ENTEROCOL.htm.
Diakses tanggal 12 Juli 2010
11. Kogurt MS.Early rontgen patterns as a guide to prompt
diagnosis.Radiology.1979;h:367-370
12. Gomella TL, Cunningham MD & Eyal FG.Neonatology.Ed
6.Philadelphia:McgrawHill.2010;h:590-594
13. Sukadi A.Pedoman Terapi Penyakit Pada Bayi Baru Lahir.Bandung:Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Anak FKUP/RSHS.2002;h:23-26
14. Newell SJ.Gastrointestinal Disorders. Dalam: Rennie JM,Roberton NRC. Textbook of
Neonatology. Edisi 3. Philadelphia: Crurchill Livingstone.1999;h:747-755
15. Lissauer T, Clayden G. Illustrated Textbook of Paediatrics.Ed 3.Mosby
Elsevier.2008;h:154-15

91
16. Duke T. Neonatal pneumonia in developing countries. Arch. Dis. Child. Fetal

Neonatal. 2005;90;211-219

17. Shah S, Sharieff GQ. Emergency Medicine Clinics of North America. Pediatric

Respiratory Infections. USA: Elsevier. 2007. p961–979

18. Bennet JN, Domachowske J. Pediatric Pneumonia. Medscape. Feb 2013. URL:
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview#aw2aab6b2b4aa
19. Stoll JB. Clinical Manifestations of Transplacental Intrauterine Infection. Nelson

Texbook of Pediatrics. New York: Elsevier. 2011. 19th ed. P.103.639

20. Khan NA, Irion LK, Mohammed ES. Neonatal Pneumonia Imaging. Medscape. Okt

2011. URL: http://emedicine.medscape.com/article/412059-overview

21. Soetikno DR. Pneumonia neonatus. Kegawatdaruratan pada Pediatri. Radiologi

Emergency. Bandung; Rafika Aditama. 2011. P260-262

92

Anda mungkin juga menyukai