Pembimbing :
Dr. Raden Setiyadi, Sp.A
Disusun oleh :
Yosinta Sari Baru
030.12.291
1
LEMBAR PENGESAHAN
Penyusun:
Yosinta Sari Baru
030.12.291
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSU Kardinah Kota Tegal
periode 28 Agustus – 04 November 2017
2
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL
Penghasilan - Rp 2.000.000,-/bulan -
No. RM 892656
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ayah kandung pasien pada
tanggal 21 Oktober 2017 pukul 15.00 di ruang NICU RSU Kardinah Tegal.
3
Riwayat Penyakit Sekarang
Ibu G2P1A0 34 tahun, hamil 41 minggu datang ke PONEK RSU Kardinah
pada tanggal 13 Oktober 2017 jam 03.00 WIB, atas rujukan dari pusksmas Margadana
karena fetal distress.
Lahir bayi laki-laki secara sectio cesaria tanggal 13 Oktober 2017 jam 11.07
WIB. Saat lahir bayi langsung menangis kuat, gerakan aktif, ekstremitas akral sianosis.
Apgar Score 7-8-8, BBL 3300 Gram, PB 50 cm, LK 33 cm, dan LD 33 cm. Air
ketuban berwarna hijau cair, mekonium (+), BAK (-). Kemudian dilakukan langkah
awal pada resusitasi neonatus memastikan bayi hangat, mengatur posisi dan
membersihkan jalan napas, mengeringkan dan memberi stimulus, serta memposisikan
kembali. Setelah 30 detik langkah awal dan melakukan observasi usaha nafas, laju
denyut jantung, dan tonus otot, didapatkan respon menangis, gerakan aktif dan kulit
kemerahan. Kemudian di injkesi Neo K 0,5 cc/IM pada paha kiri dan salep gentamicin
0,3 % pada mata kanan dan kiri.
Pada tanggal 14/10/2017 (H+1 post lahir) jam 08.00, keadaan umum pasien
baik, tidak demam, tidak kejang, tidak sesak, sudah BAB dan BAK, bisa menyusui,
kulit tidak berwarna biru/kuning/pucat, tidak tampak retraksi dan napas cuping hisung.
0
Tanda vital HR 108 x/menit, RR 46 x/menit, suhu 36,9 C. Pada jam 14.30 WIB,
pasein dilaporkan kejang. Diberi sabital 20 mg/kgBB/kali. Tanda vital HR 120
x/menit, RR 40 x/menit, suhu 37,1 0C, SpO2 98 %, GDS 56 x/menit. Jam 14.50 WIB,
pasien kejang lagi. Diberi sabital 10 mg/kgBB/kali.
Jam 17.11 WIB Lapor dokter jaga, advice pindah ke Nicu, infus D10% dan ca
gluconas 11 tpm, injeksi pysin 2x500 mg/3, injeksi gentamicin 1x16 mg. Program
periksa baby gram, darah rutin, elektrolit, CRP dan GDS. Bila pasien kejang lagi
injeksi fenitoin 20 mg/kgBB/kali. Pada jam 17.15 WIB, pasien pindah dari mawar ke
NICU, dengan keadaan umum nangis kuat tidak tampak sesak napas, retraksi dan
napas cuping hidung, akral hangat. Tanda vital HR 132 x/menit, RR 40 x/menit, suhu
37 0 C, SpO2 98 % dan GDS 56 mg/dl. Pasien diberi oksigen low flow.
Jam 18.17 WIB, lapor Sp.A, advicenya bila masih kejang beri midazolam 0,2
mg/kgBB dilanjut drip dan extra Ca gluconas 0,5 cc/kg BB dilarutkan D5 %. Pada
jam 21.00 WIB, keadaan umum pasien lemah, terdapat kejang lagi, tidak tampak
4
sesak, retraksi dan napas cuping hidung. Tanda vital HR 93 x/menit, RR 52 x/menit,
Suhu 36 ° C, SpO2 80 %. Kemudian pasien diberi midazolam 0,2 mg/kgBB. Pada jam
23.00 WIB, keadaan umum pasien lemah, terdapat kejang, tampak sedasi, tidak
tampak sesak, retraksi dan napas cuping hidung. Tanda vital HR 124 x/menit, RR 40
x/menit, Suhu 36,7 ° C, SpO2 97 %. Pasien diberi oksigen low flow 0,1 liter/menit.
Pada jam 23.45 WIB, keadaan umum pasien tampak sakit berat, lemah, pasien
apnea, dengan HR 120 x/menit, SpO2 76 % menurun. Dilakukan baging. Jam 00.15
pasien apnealebih lama >30 detik, sudah 3x apnea. Lapor dokter jaga, advice nya
pasang oksigen CPAP PEEP 7, FiO2 30 dan intubasi jika saturasi turun. Pada tanggal
15/10/2017 (H+2 post lahir) jam 10.00, keadaan umum pasien lemah, gerak kurang
0
aktif, tampak sesak. Tanda vital HR 132 x/menit, RR 40 x/menit, suhu 37,4 C.
Terpasang oksigen ETT/ventilator mode simv PEEP 7, PIP 15, FiO2 30 %.
5
Panjang lahir: 50 cm
Lingkar kepala: 33 cm
Langsung menangis
Biru
Nilai APGAR: 7-8-8
Kelainan bawaan: -
Kesan : Riwayat perawatan antenatal baik, Neonatus aterm, lahir Section
Cesaria, bayi tidak dalam keadaan bugar.
Riwayat Pemeliharaan Postnatal
Pemeliharaan setelah kelahiran belum dapat dievaluasi.
Riwayat Imunisasi
Pasien belum dilakukan imunisasi
Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
Tanggal lahir Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
(umur) kelamin mati (sebab) kesehatan
1. 06/03/2012 Laki-laki + - - - Sehat
2. 13/10/2017 Perempuan + - - - Pasien
Riwayat pernikahan
Ayah Ibu
Nama Tn. U Ny. I
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 24 tahun 27 tahun
6
Pendidikan terakhir SMA SMA
Suku Jawa Jawa
Agama Islam Islam
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
7
C. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Rabu tanggal 21 Oktober 2017 pukul 15.00
WIB, di ruang NICU RSU Kardinah Tegal.
I. Keadaan Umum
Menangis : (+) Kejang (-)
Gerak : (+) kurang aktif Pucat (-)
Retraksi : (-) Ikterik (-)
Tampak sesak (+) sudah perbaikan Sianosis (-)
8
Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tarik aurikula (-/-),
discharge (-/-)
Mulut : Bibir kering (-), bibir sianosis (-), pucat (-), stomatitis (-),
mukosa hiperemis (-), saliva (+)
ii. Leher: Kelenjar tiroid tidak membesar, kelenjar getah bening tidak membesar.
iii. Toraks: Dinding toraks normotoraks dan simetris.
o Paru:
Inspeksi: Bentuk datar, Pergerakan dinding toraks kiri-kanan
simetris, retraksi (-)
Palpasi: Simetris tidak ada hemithoraks yang tertinggal
Perkusi: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi: Suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-).
o Jantung:
Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.
Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS IV 1 cm midklavikula sinistra,
thrill (-)
Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi:Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop ().
iv. Abdomen:
Inspeksi: datar, simetris, smiling umbilicus (-),
Auskultasi: Bising usus (+)
Palpasi: Supel, distensi (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi: Timpani
v. Vertebrae: Spina bifida (-), meningokel (-)
vi. Genitalia: Jenis kelamin perempuan.
vii. Anorektal : Anus (+)
viii. Kulit : warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis
ix. Ekstremitas:
Keempat ekstremitas lengkap, simetris
9
Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2” <2”
Oedem -/- -/-
Tonus Otot Normotonus Normotonus
Trofi Otot Normotrofi Normotrofi
x. Refleks primitif:
Refleks Oral
Refleks Hisap : (+)
Refleks Rooting : (+)
Refleks Moro : Tidak dilakukan
Refleks Palmar Grasp : (+)
Refleks Plantar Grasp : (+)
D. PEMERIKSAAN KHUSUS
Maturitas Bayi
Usia kehamilan: 41 mg
10
New Ballard Score
11
Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)
Lingkar kepala: 33 cm
Kesan: normocephali
Downe Score
0 1 2
12
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil laboratorium di RSU Kardinah
24/09/17 Nilai Rujukan
CBC
Hemoglobin 15,3 15.2-23.6 g/dl
Lekosit 17,4 13-28 103/µl
Hematokrit 41,8 L 44-72 %
Trombosit 299 229-553 103/µl
Eritrosit 4,8 4.3-6.3 106/µl
RDW 16,9 H 11,5-14,5%
MCV 88,0 L 98-122 U
MCH 32,2 L 33-41 Pcg
MCHC 36,6 H 31-35 g/dl
Kimia klinik
Natrium 142 132-147 mmol/L
Kalium 4,99 3,6-6,1
Klorida 114 95-116
GDS 35 L 40-60 mg/dl
Sero Imunologi
CRP Negatif Negatif
13
Pemeriksaan Baby gram
F. RESUME
Ibu G2P1A0 34 tahun, hamil 41 minggu datang ke PONEK RSU Kardinah pada
tanggal 13 Oktober 2017 jam 03.00 WIB, atas rujukan dari pusksmas Margadana karena fetal
distress.
Lahir bayi laki-laki secara sectio cesaria tanggal 13 Oktober 2017 jam 11.07 WIB.
Saat lahir bayi langsung menangis kuat, gerakan aktif, ekstremitas akral sianosis. Apgar Score
7-8-8, BBL 3300 Gram, PB 50 cm, LK 33 cm, dan LD 33 cm. Air ketuban berwarna hijau
cair, mekonium (+), BAK (-). Kemudian dilakukan langkah awal pada resusitasi neonatus
memastikan bayi hangat, mengatur posisi dan membersihkan jalan napas, mengeringkan dan
memberi stimulus, serta memposisikan kembali. Setelah 30 detik langkah awal dan melakukan
observasi usaha nafas, laju denyut jantung, dan tonus otot, didapatkan respon menangis,
gerakan aktif dan kulit kemerahan. Kemudian di injkesi Neo K 0,5 cc/IM pada paha kiri dan
salep gentamicin 0,3 % pada mata kanan dan kiri..
Pada tanggal 14/10/2017 (H+1 post lahir) jam 08.00, keadaan umum pasien baik, tidak
demam, tidak kejang, tidak sesak, sudah BAB dan BAK, bisa menyusui, kulit tidak berwarna
biru/kuning/pucat, tidak tampak retraksi dan napas cuping hisung. Tanda vital HR 108
14
x/menit, RR 46 x/menit, suhu 36,9 0 C. Pada jam 14.30 WIB, pasein dilaporkan kejang. Diberi
sabital 20 mg/kgBB/kali. Tanda vital HR 120 x/menit, RR 40 x/menit, suhu 37,1 0C, SpO2 98
%, GDS 56 x/menit. Jam 14.50 WIB, pasien kejang lagi. Diberi sabital 10 mg/kgBB/kali.
Jam 17.11 WIB Lapor dokter jaga, advice pindah ke Nicu, infus D10% dan ca
gluconas 11 tpm, injeksi pysin 2x500 mg/3, injeksi gentamicin 1x16 mg. Program periksa
baby gram, darah rutin, elektrolit, CRP dan GDS. Bila pasien kejang lagi injeksi fenitoin 20
mg/kgBB/kali. Pada jam 17.15 WIB, pasien pindah dari mawar ke NICU, dengan keadaan
umum nangis kuat tidak tampak sesak napas, retraksi dan napas cuping hidung, akral hangat.
0
Tanda vital HR 132 x/menit, RR 40 x/menit, suhu 37 C, SpO2 98 % dan GDS 56 mg/dl.
Pasien diberi oksigen low flow.
Jam 18.17 WIB, lapor Sp.A, advicenya bila masih kejang beri midazolam 0,2
mg/kgBB dilanjut drip dan extra Ca gluconas 0,5 cc/kg BB dilarutkan D5 %. Pada jam 21.00
WIB, keadaan umum pasien lemah, terdapat kejang lagi, tidak tampak sesak, retraksi dan
napas cuping hidung. Tanda vital HR 93 x/menit, RR 52 x/menit, Suhu 36 ° C, SpO2 80 %.
Kemudian pasien diberi midazolam 0,2 mg/kgBB. Pada jam 23.00 WIB, keadaan umum
pasien lemah, terdapat kejang, tampak sedasi, tidak tampak sesak, retraksi dan napas cuping
hidung. Tanda vital HR 124 x/menit, RR 40 x/menit, Suhu 36,7 ° C, SpO2 97 %. Pasien diberi
oksigen low flow 0,1 liter/menit.
Pada jam 23.45 WIB, keadaan umum pasien tampak sakit berat, lemah, pasien apnea,
dengan HR 120 x/menit, SpO2 76 % menurun. Dilakukan baging. Jam 00.15 pasien apnealebih
lama >30 detik, sudah 3x apnea. Lapor dokter jaga, advice nya pasang oksigen CPAP PEEP 7,
FiO2 30 dan intubasi jika saturasi turun. Pada tanggal 15/10/2017 (H+2 post lahir) jam 10.00,
keadaan umum pasien lemah, gerak kurang aktif, tampak sesak. Tanda vital HR 132 x/menit,
RR 40 x/menit, suhu 37,4 0 C. Terpasang oksigen ETT/ventilator mode simv PEEP 7, PIP 15,
FiO2 30 %.
Riwayat Kehamilan, Pemeriksaan Prenatal, dan Kelahiran; Riwayat perawatan
antenatal baik, Neonatus post term, lahir sectio cesaria, bayi tidak dalam keadaan bugar.
Riwayat lingkungan perumahan keadaan lingkungan rumah dan sanitasi cukup baik,
ventilasi dan pencahayaan baik. Riwayat sosial ekonomi cukup baik.
Dari hasil pemeriksaan fisik dilakukan pada hari sabtu tanggal 21 Oktober 2017 pukul
15.00 WIB, di ruang Nicu didapatkan keadaan umum menangis (-), gerak aktif (-), tampak
15
sesak, BAB (+), BAK (+), ASI (+) melalui sonde, HR: 118 x/menit, RR 48 x/menit, Suhu:
36,7 oC, SpO2: 93 %. Kepala normosefali, ubun-ubun kecil teraba datar tidak tegang, mollage
(-). Tampak upslanting eyes, saddle nose. Pada thorax terdapat retraksi (-).
Pemeriksaan maturitas bayi didapatkan neonatus lebih bulan dengan berat sesuai masa
kehamilan. New ballard score didapatkan kesan maturitas bayi post term 40-41 minggu (tetapi
tidak bisa dijadikan acuan karena pemeriksaan saat usia bayi 8 hari, bukan setelah lahir)..
Nilai downe score adalah 1 dimana diinterpretasikan sebagai gangguan pernapasan ringan.
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dalam batas normal, kecuali GDS hipoglikemia.
Pada pemeriksaan baby gram thorax dalam batas normal.
G. DAFTAR MASALAH
kejang
Neonatus aterm lahir sectio cesaria
H. DIAGNOSIS BANDING
I. DIAGNOSIS KERJA
Asfiksia neonatorum
HIE
Neonatus aterm sesuai masa kehamilan
16
J. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
Rawat intensif, observasi KU, monitor TTV
Hangatkan bayi
Oksigenasi, CPAP PEEP 7 FiO2 30%
Tunda diet
Edukasi keluarga pasien mengenai penyakit, terapi dan komplikasi yang mungkin.
b. Medikamentosa
IVFD D 10% 11 tetes/menit,
Injeksi Pycin 2 x 500 mg
Injeksi gentamicin 1 x 16 mg
Injeksi Cefotaxim 2 x 500/3 mg
Phenobarbital 15 mg/kg/hari
Midazolam 0,05 mg/kgBB/jam
Dopamin 5 mcq/kg/menit
Aminofusin 60 cc/24 jam
Ca gluconas 0,5 cc/kg BB dilarutkan D5 %.
K. PEMERIKSAAN ANJURAN
Baby gram
L. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad malam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
17
M. FOLLOW UP
13 Oktober 2017 pkl. 11.20 14 Oktober 2017 pkl 07.00
Tgl
Hari Perawatan ke 1 (Mawar) Hari Perawatan ke-2 (Mawar)
S Usia 0 hari. Demam (-), kejang (-), sesak (-), Usia 1 hari. Demam (-), kejang (+), sesak (-),
BAB (-), BAK (+), R. hisap (+), ASI (+), biru BAB (+), BAK (+), R. hisap (+), ASI (+),
(+) saat lahir saat ini kulit tampak kemerahan biru/kuning/pucat (-)
(+), kuning/pucat (-)
O KU : menangis kuat (+), ikterik (-), sianosis (-), KU: menangis (+), ikterik (-), sianosis (-),
gerak aktif (+), retraksi (-), napas cuping gerak aktif (+), retraksi (-), napas cuping
hidung (-), air kutuban hijau cair hidung (-)
TTV : HR 118x/m, RR 40x/m, S 36,7 0C TTV : HR 108x/m, RR 46x/m, S 36,9 0C,
St. generalis : SpO2 95%
Kepala dan mata : dbn St. generalis :
Hidung : nafas cuping hidung (-/-) Kepala dan mata : dbn
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (- Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik /-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Eks : AH +/+, CRT < 2” Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik
BB : 3300 g Eks : AH +/+, CRT < 2”
BB : 3300 g
GDS:141 mg/dl
Terpasang oksigen ET/ventilator PEEP 7, PIP
15, FiO2 30%
18
- Advice Sp.A bila kejang lagi beri
midazolam 0,2 mg/kgbb dilanjutkan drip
dan extra ca glukonas 0,5 cc/kgbb
dilarutkan D5%.
S Usia 2 hari. Demam (-), kejang (-), sesak (+), Usia 3 hari. Demam (-), kejang (-), sesak (+),
BAB (-), BAK (+), R. hisap (-), ASI (-), BAB/BAK (-), R. hisap (-), ASI (+) lewat sonde,
biru/kuning/pucat (-) biru/kuning/pucat (-)
O KU: lemah (+), menangis (-), ikterik (-), KU : lemah (+), menangis (-), ikterik (-), sianosis (-
sianosis (-), gerak akti menurun, retraksi (-), ), gerak aktif (-), retraksi (-), alih baring, hisap
napas cuping hidung (-), sedasi (+), alih baring. lender
TTV : HR 132x/m, RR 40x/m, S 37,4 0C, TTV : HR 151x/m, RR 62x/m, S 36,7 0C,
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-),
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (- S1S2 reg, m (-), g (-)
/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik
Eks : AH +/+, CRT < 2”
Eks : AH +/+, CRT < 2”
BB : 3300 g
BB : 3300 g
Terpasang 02 ETT/ VM-SIMV (RR 30, PEEP
Pasang DC (+) 7, PIP 15, FiO2 25%)
19
p 1. Infus D10% + ca glukonas 11 tpm 1. Infus D10% + ca gluconas + NACL 3 %,
2. Inj pycin 2x500 mg kcl 4,5 cc + piracetam 1 gr 13 tpm
3. Inj gentamicin 1x16 mg 2. Inj pycin 2x500 mg
4. Diet ASI 3. Inj gentamicin 1x16 mg
4. Inj Cefotaxime 2x 500/3 mg
5. Midazolam 0,05 mg/kgbb/jam
6. Aminofusion 60 cc/24 jam
7. Diet ASI 8x 10-15 cc (sonde)
S Usia 4 hari. Demam (-), kejang (-), tampak Usia 5 hari. Demam (-), kejang (-), tampak
sesak (-), BAB/BAK (+), R. hisap (+), ASI (+), sesak (-), BAB/BAK (+), R. hisap (-), ASI (+),
biru/kuning/pucat (-) biru/kuning/pucat (-)
O KU : lemah, sesak (+), menangis dan gerak KU : lemah, tampak sesak (+), merintih (+),
aktif (-), retraksi (-),alih baring, hisap lendir menangis dan gerak aktif (-), retraksi (+)
minimal,alih baring, hisap lendir
TTV : HR 123x/m, RR 63x/m, S 36,3 0C,
TTV : HR 131x/m, RR 30x/m, S 37,4 0C,
SpO2 95%
SpO2 96%
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-
/-), S1S2 reg, m (-), g (-) Thorax : retraksi (+), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Eks : AH +/+, CRT < 2” Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik
BB : 3300 g Eks : AH +/+, CRT < 2”
Terpasang 02 ETT/ VM-SIMV (RR 30, PEEP BB : 3300 g
7, PIP 15, FiO2 25%)
Terpasang 02 ETT/ VM-SIMV (RR 25, PEEP
7, PIP 15, FiO2 25%)
20
A 1. Asfiksia neonatorum 1. Asfiksia neonatorum
2. HIE berat 2. HIE berat
3. Neonatus aterm 3. Neonatus aterm
4. Distress respirasi
S Usia 6 hari. Demam (-), kejang (-), tampak Usia 7 hari. Demam (-), kejang (-), tampak
sesak (-), BAB/BAK (+), R. hisap (+), ASI (+), sesak (-), BAB/BAK (+), R. hisap (+), ASI (+),
biru/kuning/pucat (-) biru/kuning/pucat (-)
O KU : lemah, apatis (+), sesak (+), menangis dan KU : lemah, sesak (+), menangis dan gerak
gerak aktif (-), retraksi (-),alih baring, hisap aktif (-), retraksi (-),alih baring, hisap lendir
lendir
TTV : HR 144x/m, RR 50x/m, S 36,7 0C,
0
TTV : HR 132x/m, RR 56x/m, S 37 C,
SpO2 93%
SpO2 95%
St. generalis :
St. generalis :
Kepala dan mata : dbn
Kepala dan mata : dbn
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-)
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh
Thorax : retraksi (-), SNV (+/+), Rh (-/-), Wh (-
/-), S1S2 reg, m (-), g (-) (-/-), S1S2 reg, m (-), g (-)
Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik Abd : supel, BU (+), distensi (-), turgor baik
BB : 3300 g BB : 3300 g
Terpasang 02 ETT/ VM-SIMV (PEEP 6,FiO2 Extubasi O2 low flow 0,3 L/menit
25%)
21
A 1. Asfiksia neonatorum 5. Asfiksia neonatorum
2. HIE berat 6. HIE berat
3. Neonatus aterm 7. Neonatus aterm
4. Distress respirasi 8. Distress respirasi
22
A 9. Asfiksia neonatorum
10. HIE berat
11. Neonatus aterm
12. Distress respirasi
p 2. Kaen 1B + elektrolit + piracet 1 gr 10
cc/jam
1. Inj Cefotaxime 2x 500/3 mg
2. Inj gentamicin 1x16 mg
3. Phenobarbital 2 x 15 mg/kg/hari
4. Aminofusion 60 cc/24 jam
5. Dopamin 5 mcq/kg/menit
6. Diet ASI 8 x 20-30 cc
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 . ASFIKSIA NEONATUS
DEFINISI
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda. Ikatan Dokter
Anak Indonesia (IDAI): Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis. WHO: Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir.7 ACOG dan AAP: Seorang neonatus disebut
mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:8 Nilai Apgar menit kelima 0-3,
adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0). Gangguan neurologis (misalnya:
kejang, hipotonia atau koma), adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner atau sistem renal).
Asfiksia neonatorum disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini
berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera
setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak
dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin
timbul.
Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal yang
menyebabkan penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis dan kegagalan
fungsi minimal 2 organ (paru, jantung, hati, otak, ginjal dan hematologi) yang konsisten. 1,2,3,4
24
ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan
melahirkan atau periode segera setelah lahir.9 Janin sangat bergantung pada pertukaran
plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada
aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia. 9,10
Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia
neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37 minggu dan
meningkat 5.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34 minggu.4 Kortikosteroid perlu diberikan 7
hari sebelum kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk meningkatkan
maturasi paru fetus. Pada suatu studi kohort dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid
antenatal adalah faktor protektif terhadap sindroma distres respirasi. Dikatakan pula bahwa
kemungkinan seorang neonatus pada populasi studi dari ibu yang tidak melakukan
pemeriksaan antenatal untuk meninggal di rumah sakit adalah 1.98 kali lebih tinggi daripada
anak dari ibu yang melakukan pemeriksan antenatal empat kali atau lebih.11
Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus daripada
kontrol. Usia terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua (> 40 tahun), anemia (Hb< 8 g/dL),
perdarahan antepartum dan demam selama kehamilan berhubungan kuat dengan asfiksia
25
neonatorum. Tanda-tanda gawat janin seperti denyut jantung janin abnormal, pewarnaan
mekoneum dan partus lama juga memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya asfiksia
neonatorum.12
Perdarahan antepartum
26
PATOFIOLOGIS
Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk
mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan
konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung
kanan tidak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah
dialirkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian
masuk ke aorta.13
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama
oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan
berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam
pembuluh darah di sekitar alveoli.1,2,3,5,6
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi
plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan
kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan
terhadap aliran darah bekurang. 1,2,3,5,6
27
sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak
oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. 1,6,13
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya
untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan
mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang
utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh
darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.1,2,3,6
Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau setelah lahir.
Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama persalinan, biasanya akan
menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat
berupa deselerasi frekuensi jantung janin. Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih
banyak berkaitan dengan jalan nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan
atau benda asing seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke
dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia akan
menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu kekurangan oksigen
atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-
paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan
oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi
walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary
Hypertension Newborn, disingkat menjadi PPHN).13
Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam paru-parunya
yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan insterstitial di paru sehingga
oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika
keadaan ini terganggu maka arteriol pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan
dan pembuluh darah arteri sistemik tidak mendapat oksigen.13
28
Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti
usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau
meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan
menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan
oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan
peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke
seluruh organ akan berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi
jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ
tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau
lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot
dan organ lain; depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan
frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah
rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran
darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu (pernapasan
cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis karena kekurangan oksigen di
dalam darah.13
Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di dalam
kandungan atau pada masa perinatal
29
Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu
(Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus.)
Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer. Tekanan
darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder sebagaimana diperlihatkan dalam
gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi kehilangan darah pada saat memasuki periode
hipotensi). Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan
yang membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit
untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan
fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan
yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang
membahayakan itu.13
Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu
primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder. Sebagai
gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama
pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi
yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi
yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. 13
Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak
memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini
seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada
keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk
resusitasi.1
Pernapasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan dan
persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan
30
atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi
sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian asfiksia yang terjadi dimulai
suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi. Pada penderita asfiksia berat, usaha
bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya berada da lam periode apnue kedua. Pada tingkat
ini terjadi bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-
basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respioratorik. Bila berlanjut
dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen
tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat
selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan
diantaranya :
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat pula
terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia akut akan terjadi
redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan
mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan
muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru,
hati, ginjal, dan traktus gastrointestinal.5
Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi vaskular pembuluh
darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular di perifer.11 Hal ini dapat
terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.(1994) yang melaporkan bahwa pada
pemeriksaan ultrasonografi Doppler ditemukan kaitan yang erat antara beratnya hipoksia
31
dengan menurunnya velositas aliran darah serta meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan
arteri mesenterika superior. Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus.10
Perubahan resistensi vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi
curah jantung pada penderita, hipoksia dan iskemia neonatus. Faktor lain yang dianggap turut
pula mengatur redistribusi vaskular antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi serebral
akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon dioksida, meningkatnya aktivitas saraf
simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan vasopresin.17
Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada aliran
sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini dapat terlihat
pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir ke batang otak dan berkurang
ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.18
Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan energi bagi
metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik. Produk sampingan
proses tersebut (asam laktat dan piruvat) menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang
berakibat menurunnya pH darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi
dan metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik sementara
ataupun menetap.
Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan
dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah terutama
aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan
periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik
ini sering berakhir dengan payah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila pada
hipoksia berat, angka kernatian bayi kurang bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah
yang mengalami hipoksia berat dapat mencapai 43-58%.19
Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat bervariasi
tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan keadaan hipoksia akut
terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal, serta faktor lingkungan penderita
termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa penelitian melaporkan, organ yang paling sering
32
mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat.20,21 Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi
susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain
(multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ
lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.22
Sistem Pengaruh
Hematologi DIC
PENEGAKAN DIAGNOSIS
33
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir dan lahir tidak
bernafas/menangis.Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya
asfiksia neonatorum.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat ringannya
asfiksia (Tabel 3)
Klinis 0 1 2
(Grimace)
(Activity)
34
mendengkur
Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah kemampuan
sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi
seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan refleks-refleks primitif seperti
mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan
nilai apgar.
1. Skor APGAR 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan tidak
memerlukan tindakan istimewa.
2. Skor APGAR 4-6 (Mild-moderate asphyxia) - Asfiksia sedang. Pada pemeriksaan fisis
akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. A. Asfiksia berat. Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi
jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat,
refleks iritabilitas tidak ada.
B. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung ialah keadaan
(1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum ;ahir lengkap, (2)
bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya
sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5
menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor menjadi 7. Nilai
apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis,
bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak
menangis.
Prenatal/Dini
35
pemeriksaan DJJ < 120 x/m atau >100 x/m
gerak janin berkurang
air ketuban bercampur mekoneum untuk bayi presentasikepala
Postnatal
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali
pusat:
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang
diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
36
Ureum kreatinin
CT scan kepala
TATALAKSANA
Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi transisi
dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat
resusitasi.
Hampir 90 % bayi yang memerlukan resusitasi akan membaik setelah diberikan VTP
yang adekuat, sementara 10 % bayi memerlukan kompresi dada dan obat-obatan, atau
meninggal. Pada sebagian bayi yang tetap tidak membaik walau telah dilakukan resusitasi
mungkin mengalami komplikasi kelahiran atau komplikasi resusitasi seperti tercantum di tabel
3.13
Bayi yang memerlukan VTP berkepanjangan, intubasi dan atau kompresi dada sangat
mungkin mengalami stress berat dan berisiko mengalami kerusakan fungsi organ multipel
yang tidak segera tampak. Bila diperlukan resusitasi lebih lanjut, bayi dirawat di ruang rawat
lanjutan, dengan pemantauan suhu, tanda vital, dan antisipasi terhadap komplikasi.13 Bayi juga
memerlukan nutrisi baik dengan cara pemberian oral atau parenteral tergantung kondisinya.
Bila bayi menderita asfiksia berat dapat diberikan nutrisi parenteral dengan dextrosa 10%.
Pemantauan terhadap saturasi oksigen, dan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin,
kadar gula darah, elektrolit dan analisa gas darah juga perlu dilakukan.
Tabel 5. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan13
37
Otak Apnu Pemantauan apnu
38
hiponatremia Pemantauan hematokrit
Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus.
Edisi ke-5, 2006.
PENCEGAHAN
Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di
kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak
biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim persalinan harus dapat
mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau
menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat.12Pada bayi dengan prematuritas, perlu
diberikan kortikosteroid untuk meningkatkan maturitas paru janin.
Antisipasi dini perlunya dilakukan resusitasi pada bayi yang dicurigai mengalami
depresi pernapasan untuk mencegah morbiditas dan mortilitas lebih lanjut
Pada setiap kelahiran, tenaga medis harus siap untuk melakukan resusitasi pada bayi
baru lahir karena kebutuhan akan resusitasi dapat timbul secara tiba-tiba. Karena alasan inilah,
setiap kelahiran harus dihadiri oleh paling tidak seorang tenaga terlatih dalam resusitasi
39
neonatus, sebagai penanggung jawab pada perawatan bayi baru lahir. Tenaga tambahan akan
diperlukan pada kasus-kasus yang memerlukan resusitasi yang lebih kompleks.
Dengan pertimbangan yang baik terhadap faktor risiko, lebih dari separuh bayi baru
lahir yang memerlukan resusitasi dapat diidentifikasi sebelum lahir, tenaga medis dapat
mengantisipasi dengan memanggil tenaga terlatih tambahan, dan menyiapkan peralatan
resusitasi yang diperlukan.
PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia neonatorum tergantung pada ada tidaknya komplikasi metabolic dan
kardiopulmonal (hipoksia, hipoglikemia, syok), pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling
jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksi-iskemik.
Ensefalopati berat derajat 3 ditandai dengan koma flaccid, apnea, refleks okulosefalik tidak
ada, dan kejang refrakter, dihubungkan dengan prognosis yang jelek12. (Tabel 6)
Score APGAR rendah pada menit ke -20 dan tidak ada respirasi spontan pada usia 20
menit, dan menetapnya tanda-tanda kelainan neurologis pada usia 2 minggu juga meramalkan
kematian atau adanya deficit kognitif dan motorik yang berat5
40
2.2 HYPOXIC ISCHAEMIC ENCEPHALOPATHY
DEFINISI
Hypoxic ischaemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak akut
yang disebabkan karena asfiksia1. HIE merupakan penyebab penting kerusakan permanen sel-
sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau kecacatan berupa
10.
palsi cerebral atau defisiensi mental Sedangkan ensefalopati sendiri adalah istilah klinis
tanpa menyebutkan etiologi dimana bayi mengalami gangguan tingkat kesadaran pada waktu
dilakukan pemeriksaan11.
EPIDEMIOLOGI
41
1,8%. Australia (1995), angka kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup,
sedangkan angka kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian
kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar Score 1-3 pada menit
pertama terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5 pada 0,3% bayi lahir
hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang
bertahan hidup mempunyai kelainan neurodevelopmental permanent(2).1,2,3,4
Angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik berkisar antara 0,3 - 1,8% di negara-
negara maju, sedangkan di Indonesia belum ada catatan yang cukup valid. Insiden HIE di
Amerika Serikat terjadi pada 6/1000 bayi aterm yang lahir hidup1. Di Australia (1995), Angka
kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian
intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian kematian masa neonatal
berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan ensefalopati hipoksik
iskemik meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan
neurodevelopmental permanent 4.
1. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.
2. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau tekanan
uterus pada vena cava dan aorta.
3. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan menyebabkan tetani.
4. Plasenta terlepas dini.
5. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
6. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
7. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date.
42
2. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh infeksi
berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau adrenal.
3. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan sebab
defek serebral, narkosis atau cedera.
4. Kegagalan oksigenasi karena CHD berat atau penyakit paru.
Terlepasnya plasenta
Anemia fetus
Postmaturitas
Beberapa menit setelah fetus mengalami hipoksia total, terjadi bradikardia, hipotensi,
turunnya curah jantung dan gangguan metabolik seperti asidosis respiratorius. Respon sistim
sirkulasi pada fase awal dari fetus adalah peningkatan aliran pintas melalui duktus venosus,
duktus arteriosus dan foramen ovale, dengan tujuan memelihara perfusi dari otak, jantung dan
adrenal, hati, ginjal dan usus secara sementara
Patologi hipoksia-iskemia tergantung organ yang terkena dan derajat berat ringan
hipoksia. Pada fase awal terjadi kongesti, kebocoran cairan intravaskuler karena peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan pembengkakan sel endotel merupakan tanda
nekrosis koagulasi dan kematian sel. Kongesti dan petekie tampak pada perikardium, pleura,
timus, jantung, adrenal dan meningen. Hipoksia intrauterin yang memanjang dapat
menyebabkan PVL dan hiperplasia otot polos arteriole pada paru yang merupakan
predesposisi untuk terjadi hipertensi pulmoner pada bayi. Distres nafas yang ditandai dengan
43
gasping, dapat akibat aspirasi bahan asing dalam cairan amnion (misalnya mekonium, lanugo
dan skuama)(4). 2,4
Kombinasi hipoksia kronik pada fetus dan cedera hipoksik-iskemik akut setelah lahir
akan menyebabkan neuropatologik khusus dan hal tersebut tergantung pada usia kehamilan.
Pada bayi cukup bulan akan terjadi nekrosis neuronal korteks (lebih lanjut akan terjadi atrofi
kortikal) dan cedera iskemik parasagital. Pada bayi kurang bulan akan terjadi PVL
(selanjutnya akan menjadi spastik diplegia), status marmoratus basal ganglia dan IVH. Pada
bayi cukup bulan lebih sering terjadi infark fokal atau multifokal pada korteks yang
menyebabkan kejang fokal dan hemiplegia jika dibandingkan dengan bayi kurang bulan.
Identifikasi infark terbaik dilakukan dengan CT Scan atau MRI. Edema serebral menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial, dan sering terjadi pada HIE berat.Excitatory asam amino
mempunyai peran penting dalam patogenesis cedera asfiksia otak. 2,3
44
Patofisiologi cedera otak karena cedera hipoksik-iskemik dapat disederhanakan
menjadi dua fase patologis berupa cedera otak dalam beberapa minggu disebut fase kegagalan
energi primer dan fase kegagalan energi sekunder, yaitu gangguan perkembangan saraf dalam
beberapa bulan atau tahun, serta periode laten di antara dua fase tersebut.
Fase kegagalan energi primer ditandai dengan penurunan aliran darah otak yang
menyebabkan penurunan transpor oksigen dan substrat lain ke jaringan otak. Kejadian ini
menyebabkan metabolisme anaerob, peningkatan asam laktat, penurunan ATP, penurunan
transpor transeluler, serta peningkatan kadar natrium, air, dan kalsium intrasel. Proses tersebut
berakhir pada kematian sel dan nekrosis. Setelah fase kegagalan energi primer, metabolisme
serebral kembali pulih karena reperfusi dan reoksigenasi, namun berlanjut ke fase kegagalan
energi sekunder yang berakibat apoptosis sel dan hasil akhir yang lebih buruk. Saat onset dan
resolusi fase kegagalan energy primer pada bayi dengan HIE tidak selalu diketahui pasti.
Fase laten yang berada di antara fase kegagalan energi primer dan fase kegagalan
energi sekunder merupakan saat optimal untuk memulai terapi agar mengurangi cedera otak,
karena terhindar dari fase kegagalan energi sekunder.
MANIFESTASI KLINIS
Tanda hipoksia pada fetus dapat diidentifikasi pada beberapa menit hingga beberapa
hari sebelum persa linan. Retardasi pertumbuhan intrauterin dengan peningkatan tahanan
vaskular merupakan tanda awal hipoksia fetus. Penurunan detak jantung janin dengan variasi
irama jantung juga sering dijumpai. Pencatatan detak jantung janin secara terus menerus
45
memperlihatkan pola deselerasi yang bervariasi atau melambat dan analisa darah dari kulit
kepala janin menunjukkan pH<7,2. Asidosis terjadi akibat komponen metabolik atau
respiratorik. Terutama pada bayi menjelang aterm, tanda-tanda hipoksia janin merupakan
dasar untuk memberikan oksigen konsentrasi tinggi pada ibu dan indikasi untuk segera
mengakhiri kehamilan untuk mencegah kematian janin atau kerusakan SSP.
Pada saat persalinan, air ketuban yang berwarna kuning dan mengandung mekoneum
dijumpai pada janin yang mengalami distres. Pada saat lahir, biasanya terjadi depresi
pernafasan dan kegagalan pernafasan spontan. Setelah beberapa jam kemudian, bayi akan
tampak hipotonia atau berubah menjadi hipertonia berat atau tonus tampak normal.,2,3,4.
1. Derajat 1 : 1,6%
2. Derajat 2 : 24%
3. Derajat 3 : 78%
4. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi
kecacatan neurologi berat.
46
Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda-tanda HIE. Cerebral edema dapat berkembang dalam 24 jam kemudian dan
menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering timbul kejang yang dapat
memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar obat antikonvulsan.
Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE, kejang pada bayi juga dapat disebabkan oleh
hipokalsemia dan hipoglikemia 1,2,3,4
Sebagai tambahan, disfungsi SSP, gagal jantung kongesti dan syok kardiogenik,
hipertensi persisten pulmonary, sindromadistress nafas, perforasi gastrointestinal, hematuria
dan nekrosis tubular akut sering terjadi bersama dengan asfiksia pada masa perinatal.
Setelah persalinan, hipoksia yang terjadi biasanya disebabkan karena gagal nafas dan
insufisiensi sirkulasi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan CT scan, MRI relatif tidak sensitif pada fase awal, dikatakan pemeriksaan
tersebut bermanfaat untuk menegakkan diagnosis struktural pada fase lanjut dan pemeriksaan
tersebut tidak rutin dilakukan. 1,2,3,4,7
1. Kelainan USG: Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi
kerusakan kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan.
47
2. CT Scan: Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko terjadi
kematian atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang memperlihatkan
hipodensitas berat atau perdarahan berat.
3. Nuclear magnetic resonance: Dapat memperlihatkan struktur otak dan fungsinya dan
sangat sensitif untuk memprediksi prognosis penyakit.
4. Somatosensory evoked potential: terdapat hubungan erat antara hasil akhir dengan SEP.
Bayi dengan hasil akhir normal juga mempunyai hasil SEP yang normal pada usia < 4
hari, sebaliknya bayi dengan SEP abnormal pada usia < 4 hari akan mempunyai kelainan
pada pengamatan di usia selanjutnya.
TATALAKSANA
Terapi bersifat suportif dan berhubungan langsung dengan manifestasi kelainan sistim
organ. Tetapi hingga saat ini, tidak ada terapi yang terbukti efektif untuk mengatasi cedera
jaringan otak, walaupun banyak obat dan prosedur telah dilakukan (Martin AA, 1995).
Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-iskemik dan
berisiko cedera sekunder adalah:
1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi. Tanda yang mungkin didapat adalah denyut
jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR rendah dan berkepanjangan),
perlu resusitasi (intubasi, kompresi dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH
umbilikal <7,0 dengan atau base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis
awal abnormal atau hasil EEG abnormal.
2. Perawatan suportif intensif. Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang adekuat,
dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi gangguan hemodinamis (hipotensi, asidosis
metabolik), ventilasi adekuat, koreksi gangguan metabolik seperti kadar glukosa, kalsium,
magnesium, dan elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi
organ-organ lain. Salah satu faktor utama perawatan intensif adalah menjaga ventilasi dan
perfusi adekuat. Kekurangan oksigen akan menyebabkan gangguan autoregulasi
48
serebrovaskuler dengan konsekuensi bertambahnya cedera sel-sel otak. Sedangkan
hiperoksia berat pada awal masa kehidupan akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif
yang pada akhirnya memperburuk status neurologis jangka panjang.
3. Pertimbangan intervensi untuk memperbaiki proses cedera otak yang sedang terjadi.
Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi farmakologi dan non-
farmakologi. Meskipun banyak terapi neuroprotektif telah diteliti, hingga saat ini tidak ada
agen neuroprotektif yang aman dan efektif mengobati sekuele neurologis setelah kejadian
HIE pada neonatus. Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi kerusakan
serebral dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas yang toksik, menghambat
masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron, dan mengurangi edema serebral.
Terapi Medikamentosa
Fenobarbital merupakan obat pilihan keluhan kejang yang diberikan dengan dosis awal
20mg/kg dan jika diperlukan dapat ditambahkan 10mg/kg hingga 40-50mg/kg/hari intravena.
Fenitoin dengan dosis awal 20mg/kg atau lorazepam 0,1mg/kg dapat digunakan untuk kejang
yang bersifat refrakter. Kadar fenobarbital dalam darah harus dimonitor dalam 24 jam setelah
dosis awal dan terapi pemeliharaan dimulai dengan dosis 5mg/kg/hari. Kadar fenobarbital
yang berfungsi terapeutik berkisar 20-40mg/mL. 1,2,4
49
Allopurinol pada bayi prematur ternyata tidak mempunyai manfaat dalam menurunkan
insiden periventrikuler leukomalasia. Dikatakan pada hewan coba, allopurinol mempunyai
peranan sebagai additive cerebral coolingsebagai neuroprotektor. Penelitian lanjutan masih
dibutuhkan untuk merekomendasikan penggunaan allopurinol pada neonatus dengan HIE. 1,2,4
1. Terapi Hipotermia1,2:
Terapi hipotermia bertujuan untuk menurunkan temperature struktur dalam otak yang
rentan, yaitu ganglia basal, hingga suhu 32-34°C selama 72 jam yang diterapkan segera
setelah resusitasi atau maksimal 6 jam setelah terjadi hipoksik iskemik. 1,2
Tujuan dari terapi pendinginan selektif pada kepala adalah untuk mencapai proses
penurunan suhu yang adekuat pada temperature serebral yang akan berefek pada
pendinginan sistemik ringan (suhu inti tubuh). Ini dilakukan dengan melakukan
pendinginan pada permukaan kepala.
50
Pendinginan seluruh tubuh (whole body cooling) memfasilitasi proses pendinginan
yang homogen pada seluruh struktur otak, termasuk regio perifer maupun sentral.
Metode ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti kipas atau
cold packs yang ditaruh di sekitar bayi, atau yang lebih terpercaya dengan
menggunakan selimut atau matras pendingin.
Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal adalah sesegera
mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta dijaga hingga 48-72 jam. Selama terapi,
beberapa parameter harus dipantau, antara lain laju dan fungsi jantung, tekanan darah,
elektrolit, gas darah, gula darah, factor koagulasi.15 Setelah terapi selesai, proses
penghangatan harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan selimut penghangat atau
udara hangat.
Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan sinus bradikardi dan
peningkatan signifikan trombositopenia. Namun, keuntungan terapi hipotermi jauh lebih
signifkan dibandingkan kejadian efek samping jangka pendek.
51
Pada cedera hipoksik-iskemik, terjadi kerusakan sel yang berakibat nekrosis dan
apoptosis. Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel rusak serta efek pelepasan
faktor tropik dan faktor anti-apoptosis yang memiliki efek antiinflamasi. Akan tetapi, jenis
dan sumber sel terbaik masih belum diketahui, kebanyakan peneliti menggunakan sel punca
neural atau sel punca mesenkimal.
Beberapa penelitian menggunakan darah tali pusat sebagai sumber sel punca karena
diketahui kaya akan sel punca; keuntungannya mudah didapat, kaya sel punca primitif, tidak
membutuhkan imunosupresan untuk transplantasi autologus, dan dapat disimpan hingga ≥30
tahun. Sedangkan kerugiannya adalah jumlah sel terbatas, berpotensi menularkan infeksi dan
penyakit genetik. Pertanyaan lain adalah mengenai penggunaan agen imunosupresif, jumlah
sel yang ditransplan, saat terapi, dan efek terapi apabila dikombinasi dengan terapi hipotermi.
Jalur pemberian terapi melalui jalur intrakardiak (melalui arteri umbilikal), intravena, dan
intranasal memberikan hasil baik dan komplikasi minimal.
PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada adanya komplikasi baik metabolik dan kardiopulmoner yang
dapat diterapi, usia kehamilan dan beratnya derajat HIE. Apgar score rendah pada 20 menit
pertama, tidak adanya pernafasan spontan pada 20 menit pertama dan adanya tanda kelainan
neurologi yang menetap pada usia 2 minggu dapat digunakan sebagai faktor untuk
memprediksi kemungkinan kematian atau defisit neurologi baik kognitif maupun motorik
yang berat. Mati otak yang terjadi setelah diagnosis HIE ditegakkan berdasarkan penurunan
kesadaran berat (koma), apnea dengan PCO2 yang meningkat dari 40 hingga >60 mmhg dan
hilangnya refleks batang otak (pupil, okulocephalic, oculovestibular, kornea, muntah dan
menghisap). Gejala klinis tersebut ditunjang dengan hasil EEG.
FOLLOW UP
Sejak awal, orang tua atau keluarga pasien perlu diberi penjelasan kemungkinan yang
terbail dan terburuk akibat ensefalopati hipoksik iskemik. Bila ada kelainan fisik, rehabilitasi
medis dilakukan sedini mungkin. Setelah keluar dari rumah sakit, penderita yang mengalami
ensefalopati hipoksik iskemik perlu dipantau dan diterapi secara berkesinambungan
52
dipoliklinik khusus dengan melibatkan beberapa keahlian disiplin ilmu, seperti neonatologi,
pediatri neurologi, pediatri sosial dan tumbuh kembang anak, rehabilitasi medik, orthopedik
dan lain-lainnya. Diperlukan kerjasama tim yang kompak dan harmonis untuk menangani
penderita ensefalopati hipoksik iskemik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harthaway, W.E et all, Pediatrics Diagnosis & Treatment, A Lange Medical Book, by
Appleton & Lange, 2010.
2. Zanelli, et al. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. Emedicine Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/976034
3. Kosim et al. Buku Ajar Neonatologi. UKK IDAI. Jakarta 2008
4. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, , Alih Bahasa : Siregar, M.R, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta, 2007.
5. Markum, A.H, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI, Jakarta, 2010.
6. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004.)
7. Arif Masjoer, dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Jilind 2, Media Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2010.
8. Standar Pelayanan Ilmu Kesehatan Anak. Bagian IKA, FKUNSRI/RSMH. 2010
53
9. Lawn J, Shibuya K, Stein C. No cry at birth: global estimates of intrapartum stillbirths and
intrapartum-related neonatal deaths. Bull World Health Organ 2005; 83:409-17.
10. Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern Nepal:
A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics 2008; 121:e1381-e1390
(doi:10.152/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
11. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar
2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 278-9.
12. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-Revision.
Geneva: World Health Organization. Diunduh dari:
www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.html.
13. McGuire W. Perinatal asphyxia. Clin Evid 2006;11:1–2.
54