Disusun Oleh :
Wahyu Syafiyati (1713020020)
Pembimbing :
dr. Fajar Danu A, Sp.A
1
DAFTAR ISI
I. Data Pasien..............................................................................................2
a. Identitas
Pasien.................................................................................................2
b. Data dasar
i. Anamnesis..............................................................................3
ii. Pemeriksaan
Fisik........................................................................................6
iii. Pemeriksaan
Penunjang...............................................................................9
II. Resume ...................................................................................................11
III. Diagnosis.................................................................................................12
IV. Prognosis..................................................................................................12
V. Penatalaksanaan......................................................................................12
VI. Pemantauan Harian
Pasien.......................................................................................................13
VII. Tinjauan Pustaka
a. Makrosomia.......................................................................................32
b. Asfiksia..............................................................................................41
c. Erb’s
Palsy..................................................................................................68
d. Neonatal
Infeksi...............................................................................................75
VIII. Daftar
Pustaka....................................................................................................83
2
LAPORAN KASUS
I. DATA PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny Restu Nofiati
Umur : 0 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Kebangsaan : Indonesia
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Mergasari
Hubungan pasien dengan orang tua adalah anak kandung
3
2. DATA DASAR
ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ibu pasien pada tanggal 13
Februari 2019 dan didukung dengan catatan medis.
Keluhan Utama : Bayi lahir tidak langsung menangis
Keluhan Tambahan : Bayi prematur lahir spontan
Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang
a) Sebelum MRS
Ibu G1P0A0 hamil 33 minggu + 5 hari. BB 68 kg, TB 160 cm. BB
sebelum hamil 53 kg. Pasien awalnya datang ke bidan tanggal
08/02/2019 pukul 20.30 WIB dengan keluhan kenceng-kenceng tidak
teratur dengan tekanan darah 110/70 mmHg dan pembukaan 2 cm.
Pasien di bawa ke Puskesmas pukul 22.00 dan di cek pembukaan 2 cm
ketuban masih utuh. Kemudian pasien di rujuk ke PONEK RSUD Dr.
Soeselo Slawi karena kenceng-kenceng.
b) Masuk RS
Pasien masuk ke PONEK RSUD Dr. Soeselo Slawi pada tanggal
08/02/2019 pukul 01.30 dengan pembukaan 4 cm. TFU 28 cm,
Leopold: puki, presentasi kepala. JTHIU. DJJ 132x/ menit. Neonatus
preterm.
c) Bayi Lahir
Pada tanggal 09/02/2018 jam 06.55 WIB, bayi preterm lahir spontan,
jenis kelamin perempuan dengan berat badan lahir 1350 gram, panjang
badan 37 cm, lingkar kepala 28 cm dan lingkar dada 24 cm. Bayi lahir
tidak menangis lalu dibawa ke daerah resusitasi neonatus tidak jauh
dari kamar bersalin. Penilaian awal dilakukan dan didapatkan bayi
lahir tidak menangis dan tampak lemas. Pada akral perifer putih
namun badan berwarna merah jambu. Dilakukan penghisapan lendir
dengan kateter nomor 6 untuk membersihkan jalan napas. Didapatkan
4
pada selang hisap cairan jernih. Selanjutnya bayi diposisikan semi
ekstensi, dihangatkan dan dipeka rangsang.
Bayi masih belum menangis dan kelihatan megap – megap.
Selanjutnya dilakukan ventilasi tekanan positif dengan O2 100% dan
aliran 6 liter per menit selama 30 detik dan melakukan pemotongan
tali pusat. Denyut jantung bayi didapatkan lebih dari 100 kali per
menit lalu dilakukan persiapan untuk selanjutnya pasien dikirim ke
ruang perinatologi sambil tetap dilakukan ventilasi.
APGAR 0 1 2 1’ 5’ 10’
biru jambu
Total 2 5 6
5
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Ibu menderita diabetes mellitus, asma, hipertensi, penyakit
jantung sebelum hamil disangkal.
6
Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : belum dilakukan
Polio : belum dilakukan
BCG : belum dilakukan
Kesan: belum dilakukan imunisasi dasar
Riwayat Keluarga
Data Keluarga
Keterangan Ayah Ibu
Pernikahan ke 1 1
Umur saat menikah 22 20
Keadaan Kesehatan Sehat Sehat
Corak Reproduksi
Pasien merupakan anak pertama
7
Kondisi ayah saat ini sehat, tidak ada keluhan, tidak sedang
mengalami batuk-batuk. Riwayat batuk lama disangkal, riwayat alergi
dan asma disangkal, riwayat keganasan disangkal, riwayat epilepsi
disangkal. Riwayat Diabetes Mellitus disangkal.
b) Ibu
Kondisi ibu saat ini sehat, tidak ada keluhan. Berat badan ibu sebelum
hamil 53 kg dan setelah hamil 33 minggu 68 kg. Tekanan Darah ibu
sebelum hamil 120/70 mmHg, saat hamil 110/70 mmHg dan saat
setelah melahirkan 110/ 80 mmHg. Gula Darah ibu sebelum dan saat
hamil tidak diperiksa. Tidak sedang mengalami batuk-batuk. Riwayat
batuk lama disangkal, riwayat alergi disangkal, riwayat keganasan
disangkal, riwayat epilepsi disangkal.
c) Anggota keluarga lain
Riwayat penyakit Diabetes Mellitus, Hipertensi, Asma, Jantung
disangkal.
d) Sekitar rumah
Sehat, tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien.
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 13 Februari 2019.
a) Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak menangis, merah
Kesadaran : Kompos mentis
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah :-
Nadi : 144 kali/menit, kuat, penuh, teratur
Laju Pernapasan : 47 kali/menit , reguler
Suhu Tubuh : 37.5⁰C (aksilla)
8
b) Data Antropometri
Berat badan : 1350 g
Tinggi badan : 37 cm
Lingkar Kepala : 28 cm
Lingkar lengan : 9 cm
Status gizi : WAZ : - 4,89 WHZ : 3,08
HAZ : - 6,84 BMI : -2,93
c) Pemeriksaan Fisik Sistematis (19-10-2018)
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Sistematis
Kepala
Bentuk dan mesocephal, ukuran lingkar kepala 37 cm, ubun – ubun
ukuran besar masih terbuka, tidak tegang, tidak menonjol, caput
succedaneum (-), cephal hematom (-)
Rambut & rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut,
Kulit kepala kulit kepala tidak ada kelainan,
9
Thorax
Paru-paru I : Bentuk normochest, simetris, retraksi subostal (+/+),
pernafasan torakoabdominal, sela iga melebar (-),
pembesaran KGB axilla (-/-)
P : Stem fremitus paru kiri = kanan
P : Sonor di kedua lapang paru
A : Bunyi nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung I :Ictus cordis tidak terlihat
P :Ictus cordis tidak teraba
P : batas kanan : Linea sternalis dextra ICS V
Batas atas : ICS III linea parasternalis sinistra
Batas kiri : ICS V Linea midclavicularis sinistra
A : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi perut datar, venektasi (-), caput medusae (-)
Palpasi Teraba soefel, massa (-), hepar/ lien tidak teraba
Perkusi Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi Bising usus (+) normal
Tulang Belakang Tidak tampak deformitas, spina bifida (-), meningokel (-)
Genitalia perempuan, labia mayora dan labia minora menonjol, tidak
ada kelainan.
Anus Lubang intak, tidak tampak massa yang keluar dari anus,
perianal rash (-)
Anggota gerak Akral hangat, capillary refill time < 2 detik, lesi kulit (–),
sianosis (-), edema (-), petechiae (-), purpura (-), hipotonus
(+/+)
Kulit Lanugo (+) di bahu kanan dan kiri, Tidak pucat, tidak
10
sianosis, tidak ikterik, turgor baik.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (09/02/19)
HEMATOLOGI
Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan
11
12. Eosinofil 0,30 (L) % 2-4
15 Golongan darah O
II. RESUME
Pada tanggal 09 Februari 2019, lahir bayi prematur, jenis kelamin
perempuan secara spontan pada jam 06.55 WIB. Bayi lahir dengan keadaan
tidak langsung menangis pada menit pertama, menit selanjutnya (menit ke-5
dan ke-10) menangis merintih / lemah, warna tubuh merah dengan ujung-
ujung biru, tonus otot sedang (fleksi ekstremitas), frekuensi jantung > 100x,
pernafasan baik teratur, reflek gerakan sedikit. Jumlah APGAR score adalah
2-5-6.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan Bayi lahir dengan Berat Badan
1350 gram, Lingkar Kepala 28 cm, Panjang 37 cm, Lingkar Dada 24 cm. Bayi
lahir dengan Keadaan Umum Tampak menangis, merah, Nadi 144 kali/menit,
kuat, penuh, teratur, Laju Pernapasan 47 kali/menit , reguler, Suhu Tubuh
36.5⁰C (aksilla).
Dari hasil pemeriksaan sistematis di dapatkan Kepala, bentuk dan
ukuran mesosephal, terdapat caput succadenum, cephal hematom, ubun –
ubun besar datar tidak menutup. Rambut hitam terdistribusi merata. Mata
Telinga, Hidung, Mulut, Leher pasien tidak ada kelainan. Pada pemereiksaan
Thorax dan abdomen tidak ada kelaianan. Pada pemeriksaan Ekstremitas, di
dapatkan kelemahan pada anggota gerak kiri atas. Reflek Grasp Palmar
sinistra menurun.
12
Pemeriksaan Penunjang di dapatkan hasil pada laboratorium
peningkatan leukosit, monosit, neutrofil, aptt dan pt. Di temukan penurunan
pada trombosit, limfosit, trombosit.
Pemeriksaan Penunjang Radiologi di temukan pseudoarthrosisclavicula
sinistra congenital.
Riwayat ibu G2P1A0 hamil 40 minggu + 1 hari. BB 170 kg, TB 160
cm. BB sebelum hamil 145 kg. Pasien di rujuk ke Rumah Sakit karena PEB.
Pasien mengalami inpartu Kala I lama dan Kala II lama.
III. DIAGNOSIS
a) DIAGNOSIS KERJA
Neonatal Aterm dengan asfiksia ringan, makrosomia, Neonatal
Infeksi, HDN, Erbs Palsy, Pseudoarthrosis clavicula sinistra.
IV. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
V. PENATALAKSANAAN
a. O2 2 liter/ menit
b. Infus D10% 8 miiliter/jam
c. Inj. Cefotaxim 2x225 mg
d. Inj. Dexamethason 3x1,5 mg
e. Inj. Piracetam 3x 100 mg
f. Inj sibital 60mg dilanjut 3x10 mg
g. Diet sonde 8x10 ml ASI perah
13
PEMANTAUAN HARIAN PASIEN
Tanggal S O A P
19/10/18 Bayi besar KU : menagis, Neonatal aterm O2 2 liter/
Menangis merah, nafas dengan menit
merintih teratur Makrosomia Infus D10% 8
dengan S : 36,7 N: 160 Asfiksia Ringan miiliter/jam
rangsangan RR:60x/ menit Sefal hematoma Inj. Cefotaxim
BB 4500 HIE grade I 2x225 mg
APGAR 7,8,9 Inj.
Kepala : Dexamethason
mesosephal, caput 3x1,5 mg
succadenum (+), Inj. Piracetam
cephal hematoma 3x 100 mg
(+), CA -/-, SI -/-, Inj sibital 60mg
sianosis bibir (-) dilanjut 3x10
Leher:PKGB -/- mg
Thorax : BJ I&II Diet sonde
murni regular, 8x10 ml ASI
sDV(+/+),Rh(-/- perah
),Wh(-/-) Cek GDS dan
Abdomen: DR, PT, APTT
14
supel,BU(+) Konsul
normal,timpani Spesialis Mata
(+) (perdarahan
Ekstremitas: akral retina)
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
(+/menurun)
15
sDV(+/+),Rh(-/- Inj Neo K 1 mg
),Wh(-/-) IM selama 7
Abdomen: hari
supel,BU(+) ASI ad libitum
normal,timpani Inj Furosemid
(+) 2x2 mg
Ekstremitas: akral Transfusi LP
hangat 90 ml/ 4 jam
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+),Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
(+/menurun)
Hasil DR
Leu 20,1 Eri
6,6 (H)
Hb 21,5 Ht 66
Tromb 91(L)
MCHC 32 GDS
95
PT 41,0
APTT 97,5
16
Aktif kuat, tampak dengan menit
merah, nafas makrosomia, post Infus D10% 8
teratur asfiksia, HIE, NI, miiliter/jam
S : 36,7 N: 150 HDN Inj. Cefotaxim
RR: 48x/menit 2x225 mg
mesosephal, caput Inj.
succadenum (+), Dexamethason
cephal hematoma 3x1,5 mg
(+), CA -/-, SI -/-, Inj. Piracetam
sianosis bibir (-) 3x 100 mg
Leher:PKGB -/- Inj sibital 60mg
Thorax : BJ I&II dilanjut 3x10
murni regular, mg
sDV(+/+),Rh(-/- Inj Neo K 1 mg
),Wh(-/-) IM selama 7
Abdomen: hari
supel,BU(+) ASI ad libitum
normal,timpani Inj Furosemid
(+) 2x2 mg
Ekstremitas: akral Transfusi LP
hangat 90 ml/ 4 jam
Reflek rooting (ke 2)
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
17
(+/menurun)
Hasil Lab
PT 19,3 APTT
69,4
18
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+),Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
(+/menurun)
19
supel,BU(+) ASI ad libitum
normal,timpani Inj Furosemid
(+) 2x4 mg
Ekstremitas: akral Rencana Foto
hangat thorax AP
Reflek rooting terlihat
(+), Reflek hisap clavicula
(+),Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
(+/menurun)
20
murni regular, mg
sDV(+/+),Rh(-/- Inj Neo K 1 mg
),Wh(-/-) IM selama 7
Abdomen: hari
supel,BU(+) ASI ad libitum
normal,timpani Inj Furosemid
(+) 2x4 mg
Ekstremitas: akral Menunggu
hangat hasil rontgen
Reflek rooting Fisioterapi
(+), Reflek hisap
(+),Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
(+/menurun)
21
cephal hematoma sinistra 3x 100 mg
(+), CA -/-, SI -/-, Inj sibital 60mg
sianosis bibir (-) dilanjut 3x10
Leher:PKGB -/- mg
Thorax : BJ I&II Inj Neo K 1 mg
murni regular, IM selama 7
sDV(+/+),Rh(-/- hari
),Wh(-/-) ASI ad libitum
Abdomen: Inj Furosemid
supel,BU(+) 2x4 mg
normal,timpani Fisioterapi
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+),Reflek moro
(+/menurun), Nurse:
reflek babinski Positioning
(+) head and
Reflek grasp shoulder
(+/menurun) sinistra
22
MMT ACA B: exc
C5 – C6 kesan < Stimualasi
3 AGA sinistra
C7 – T1 kesan >
3
23
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+),Reflek moro
(+/menurun),
reflek babinski
(+)
Reflek grasp
(+/menurun)
24
),Wh(-/-) ASI ad libitum
Abdomen: Inj Furosemid
supel,BU(+) 2x4 mg
normal,timpani Fisioterapi
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/+), reflek
babinski (+)
Reflek grasp
(+/menurun)
25
Thorax : BJ I&II Inj Neo K 1 mg
murni regular, IM selama 7
sDV(+/+),Rh(-/- hari
),Wh(-/-) ASI ad libitum
Abdomen: Inj Furosemid
supel,BU(+) 2x4 mg
normal,timpani Fisioterapi
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/+), reflek
babinski (+)
Reflek grasp
(+/+)
26
(+), CA -/-, SI -/-, Inj sibital 60mg
sianosis bibir (-) dilanjut 3x10
Leher:PKGB -/- mg
Thorax : BJ I&II Inj Neo K 1 mg
murni regular, IM selama 7
sDV(+/+),Rh(-/- hari
),Wh(-/-) ASI ad libitum
Abdomen: Inj Furosemid
supel,BU(+) 2x4 mg
normal,timpani Fisioterapi
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/+), reflek
babinski (+)
Reflek grasp
(+/+)
27
mesosephal, caput Pseudoarthrosis 3x1,5 mg
succadenum (+), congenital Inj. Piracetam
cephal hematoma sinistra 3x 100 mg
(+), CA -/-, SI -/-, Inj sibital 60mg
sianosis bibir (-) dilanjut 3x10
Leher:PKGB -/- mg
Thorax : BJ I&II ASI ad libitum
murni regular, Inj Furosemid
sDV(+/+),Rh(-/- 2x4 mg
),Wh(-/-) Fisioterapi
Abdomen:
supel,BU(+)
normal,timpani
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/+), reflek
babinski (+/+)
Reflek grasp (+)
28
merah, nafas makrosomia, post Inj. Cefotaxim
teratur asfiksia, HIE, NI, 2x225 mg
S : 36,7 N: 150 HDN Inj.
RR: 48x/menit Erb’s Palsy Dexamethason
mesosephal, caput Pseudoarthrosis 3x1,5 mg
succadenum (+), congenital Inj. Piracetam
cephal hematoma sinistra 3x 100 mg
(+), CA -/-, SI -/-, Inj sibital 60mg
sianosis bibir (-) dilanjut 3x10
Leher:PKGB -/- mg
Thorax : BJ I&II ASI ad libitum
murni regular, Inj Furosemid
sDV(+/+),Rh(-/- 2x4 mg
),Wh(-/-) Fisioterapi
Abdomen: Acc pulang
supel,BU(+)
normal,timpani
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/+), reflek
babinski (+)
Reflek grasp
(+/+)
29
1/11/18 Menangis, KU : menagis Neonatal aterm Acc pulang
aktif kuat, tampak dengan
merah, nafas makrosomia, post
teratur asfiksia, HIE, NI,
S : 36,7 N: 150 HDN
RR: 48x/menit Erb’s Palsy
mesosephal, caput Pseudoarthrosis
succadenum (+), congenital
cephal hematoma sinistra
(+), CA -/-, SI -/-,
sianosis bibir (-)
Leher:PKGB -/-
Thorax : BJ I&II
murni regular,
sDV(+/+),Rh(-/-
),Wh(-/-)
Abdomen:
supel,BU(+)
normal,timpani
(+)
Ekstremitas: akral
hangat
Reflek rooting
(+), Reflek hisap
(+), Reflek moro
(+/+), reflek
babinski (+)
Reflek grasp
30
(+/+)
4. Hematokrit 66 % 44-72%
31
14 GDS 83 Mg/dL 75-140
Tanggal 22/0918
No Parameter Jumlah Satuan Nilai Rujukan
4. Hematokrit 57 % 44-72%
32
14 APTT 28,1 Detik 25,5-42,1
33
TINJAUAN PUSTAKA
A. Makrosomia
1. Definisi
Makrosomia yaitu berat badan bayi lebih dari 4000 gram (Maryunani,
2013).
2. Etiologi
Sejumlah faktor telah dikaitkan dengan makrosomia meliputi:
a) Bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan diabetes dalam kehamilan 40% akan
terjadi makrosomia (Maryunani, 2013).
b) Bayi lewat bulan, Resiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000
gram pada kehamilan posterm meningkat 2 4 kali lebih besar dari
kehamilan term (Saifuddin,2010).
c) Ibu obesitas (10-20%). Wanita dengan obesitas memiliki resiko lebih
besar untuk melahirkan bayi makrosomia dibandingkan dengan wanita
dengan berat badan normal.
d) Terdapat beberapa faktor lain yang juga memperbesar kemungkinan bayi
besar yaitu : orang tua berperawakan besar, khususnya obesitas pada ibu,
multiparitas, usia ibu, janin laki laki, bayi sebelumnya berberat badan
lebih dari 4000 gram, ras dan etnik ( Cunningham, 2013).
3. Diagnosis
a) Keturunan atau bayi yang lahir terdahulu besar dan sulit melahirkannya
dan adanya diabetes melitus.
b) Kenaikan berat badan yang berlebihan tidak oleh sebab lainnya (edema
atau sebagainya).
c) Pemeriksaan teliti tentang disproporsi sefalo atau feto-pelvik dalam hal ini
dianjurkan untuk mengukur kepala bayi dengan ultra-sonografi (Mochtar,
2013).
34
4. Faktor resiko
a) Faktor ibu
1) Diabetes Melittus Gestasional Ibu dengan diabetes melittus
gestasional 40 % akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan
pada semua usia kehamilan (Saifuddin, 2010).
2) Obesitas Wanita dengan obesitas memiliki risiko lebih besar untuk
melahirkan bayi makrosomia dibandingkan dengan wanita dengan
berat badan normal. Obesitas ibu adalah faktor risiko tersendiri dan
lebih penting untuk terbentuknya bayi besar (Cunningham, 2013).
3) Pertambahan berat badan berlebih selama kehamilan Perempuan
hamil dengan obesitas atau dengan kenaikan berat badan waktu hamil
berlebihan, merupakan faktor resiko utama terjadinya preeklamsi,
seksio sesarea, kelahiran prematur, makrosomia janin, dan kematian
janin (Saifuddin, 2010).
4) Faktor genetik Obesitas dan overweight yang dialami ayah-ibu dapat
menurun pada bayi (Maryunani, 2013).
5) Multiparitas Ada kecenderungan berat badan lahir anak kedua dan
seterusnya lebih besar daripada anak pertama (Maryunani, 2013).
6) Usia ibu Semakin tua usia ibu saat hamil, semakin besar risiko
melahirkan bayi makrosomia (Goldman, 2005).
7) Riwayat melahirkan bayi makrosomia Ibu yang pada kehamilan
pertama melahirkan giant baby berpeluang besar melahirkan anak
kedua dengan kondisi yang sama pada kehamilan berikutnya
(Maryunani, 2013).
8) Usia kehamilan Zwerdling menyatakan bahwa rata-rata berat janin
lebih dari 3600 gram sebesar 44,5 % pada kehamilan posterm,
sedangkan pada kehamilan genap bulan term sebesar 30,6%. Resiko
persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada kehamilan
35
posterm meningkat 2 4 kali lebih besar dari kehamilan term
(Saifuddin, 2010).
9) Kecukupan gizi Porsi makan yang dikonsumsi ibu hamil akan
berpengaruh terhadapbobot janin. Asupan gizi yang berlebih bisa
mengakibatkan bayi lahir dengan berat diatas rata-rata (Maryunani,
2013).
b) Faktor janin
1) Hiperinsulinemia janin Hiperinsulinemia janin, yang berperan
sebagai hormon pertumbuhan janin pada trimester terakhir,
menyebabkan peningkatan sintesis lemak dan protein dan
makrosomia janin, menghasilkan janin yang lebih besar dari usia
kehamilan.
2) Jenis kelamin Terdapat beberapa faktor lain yang juga meningkatkan
kemungkinan bayi besar: ukuran orang tua besar, terutama obesitas
pada ibu, multiparitas, gestasi lama, usia ibu, janin laki-laki, bayi
sebelumnya memiliki berat lebih dari 4000g, ras dan etnik.
3) Gigantisme fetal Terjadinya kelainan pertumbuhan dari janin itu
sendiri.
5. Patofisiologi
Selama masa kehamilan terdapat sejumlah perubahan hormonal yang
bertujuan untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan glukosa pada janin.Pada
trimester I kehamilan, mulai terjadi peningkatan human placental lactogen dan
prolaktin yang mencapai puncaknya pada akhir trimester III (minggu ke-
35).Human placental lactogen (hPL) memiliki struktur kimia yang mirip
dengan prolaktin dan growth hormone.Efek utama hPL adalah terhadap
insulin dan metabolism glukosa (Prawirohardjo, 2009). Kombinasi hPL dan
prolaktin memicu semacam resistensi insulin yang dapat dideteksi dengan
adanya hiperinsulinemia 2 jam pos prandial. Sebagai akibat mekanisme
36
resistensi insulin tersebut, pada sebagian ibu hamil akan terjadi hiperglikemia
relatif (diabetes mellitus gestasional). Keadaan hiperglikemia pada ibu tentu
saja sangat berpengaruh pada janin, karena transfer glukosa dari darah ibu ke
sirkulasi janin terjadi secara difusi melalui placenta, sehingga janin juga
mengalami hiperglikemia. Kondisi hiperglikemia janin tersebut selanjutnya
akan memicu hiperinsulinemia pada janin dengan akibat semakin banyak
glikogen janin yang disintesis, sehingga terbentuklah macrosomia.
6. Gambaran Klinis
Karakteristik bayi dengan makrosomia antara lain:
a) Mempunyai wajah berubi
b) Badan montok dan bengkak
c) Kulit kemerahan
d) Organ internal membesar (hepatosplenomegali, spenomegali,
kardiomegali)
e) Lemak tubuh banyak
f) Plasenta dan tali pusat lebih besar dari rata-rata
7. Prognosis
Makrosomia yang tidak ditangani secara adekuat berisiko
menimbulkan beberapa komplikasi seperti hipoglikemia, hipokalsemia,
hiperbilirubinemia, yang dapat berakhir pada kejang dan kematian neonatus.
Namun, dengan penanganan yang baik, kemungkinan komplikasi tersbut
dapat dihindarkan (Jazayeri, 2005).
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada bayi makrosomia menurut Hidayat (2009)
antara lain:
a) Membersihkan jalan nafas.
37
b) Memotong tali pusat dan perawatan tali pusat.
c) Melakukan inisiasi menyusui dini
d) Membersihkan badan bayi dengan kapas baby oil/minyak.
e) Memberikan obat mata.
f) Memberikan injeksi vitamin K
g) Membungkus bayi dengan kain hangat.
h) Mengkaji keadaan kesehatan pada bayi dengan makrosomia dengan
mengobservasi keadaan umum dan vital sign serta memeriksa kadar
glukosa darah sewaktu pada umur 3 jam.
i) Memberikan terapi sesuai komplikasi yang dialami oleh bayi
Hipoglikemia
1) Glukosa darah kurang dari 25 mg/dl atau terdapat tanda hipoglikemia.
a) Berikan glucose 10 % 2 ml/Kg secara intravena, bolus pelan
dalam 5 menit, jika jalur IV tidak dapat terpasang dengan cepat,
berikan larutan glukose melalui pipa lambung dengan dosis yang
sama, berikan infus glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan.
b) periksa kadar glukoae darah satu jam setelah bolus glukose. Jika
kadar glukosa darah masih kurang dari 25 mg/dl, ulangi bolus
glukosa dan lanjutkan pemberian infus.
c) Jika kadar glukosa darah 25 - 45 mg/dl, lanjutkan infus dan ulangi
pemeriksaan kadar glukosa darah setiap 3 jam sampai kadar
glukosa mencapai 45 mg/dl atau lebih.
d) Apabila kadar glukosa darah 45 mg/dl atau lebih dalam 2 kali
pemeriksaan berturut turut, lakukan pemeriksaan tiap 12 jam
sebanyak 2 kali pemeriksaan.
e) Anjurkan ibu menyusui. Apabila kemampuan minum bayi
meningkat, turunkan pemberian cairan infus secara bertahap.
2) Glukosa darah 25-45 mg/dl tanpa tanda hipoglikemia
a) Anjurkan ibu menyusui.
38
b) Pantau tanda hipoglikemia.
c) Periksa kadar glukosa darah dalam 3 jam atau sebelum pemberian
minum berikutnya. Ketika glukosa darah tetap rendah dibawah
kadar yang dapat diterima dan pemberian asi secara langsung
tidak berhasil atau tidak mencukupi untuk meningkatkan kadar
glukosa darah maka diperlukan susu formula. Jika diperlukan susu
formula, volume yang tepat (mis. 8 10 mL/kg) diberikan dengan
gelas kepada bayi untuk mengoptimalkan peluang melanjutkan
menyusui.
Hipokalsemia
1) Pasien asimptomatik Cukup diberikan terapi oral dengan
menambahkan Ca Glukonas 10% dalam susu formula hingga kadar
kalsium dalam serum normal.
2) Terdapat gejala seperti letargi, susah minum, muntah, distensi
abdominal.
a) Memberikan bolus pelan Ca Glukonas 10% 20ml/Kg BB selama 5
menit, lanjutkan pemberian infus Ca Glukonas 40 ml/Kg/hari.
b) Memberikan terapi oral berupa penambahan Ca Glukonas 10 % ke
dalam susu formula selama beberapa hari.
Kejang
1) Memberikan fenobarbital 15-30 mg/Kg BB perinfus sebagai
antikonvulsan.
2) Tetap memberikan terapi untuk memperbaiki kondisi hipokalsemia,
karena kejang akan kembali terjadi jika kondisi hipokalsemia tidak
diperbaiki.
3) Kondisi hipokalsemia yang tidak menunjukkan reaksi terhadap
pemberian Ca Glukonas.
39
a) Mengecek kadar magnesium dalam darah. Jika terdapat kondisi
magnesemia, maka harus dilakukan perbaikan terlebih dahulu. Hal
ini dikarenakan terapi terhadap hipokalsemia tidak akan berhasil
jika pasien mengalami hipomagnesemia (hipomagnesemia
menyebabkan terhambatnya kinerja hormon paratiroid sebagai
regulator kalsium dalam darah).
b) Mengecek kadar fosfat dalam darah untuk mencari penyebab dari
hipokalsemia. Kadar fosfat naik pada kondisi terlalu banyak
asupan fosfat (biasanya dari susu formula), gagal ginjal,
hipoparatiroidisme. Kadar fosfat turun pada kondisi abnormalitas
metabolisme vitamin D dan rickets. Kebanyakan kasus
hipokalsemia dapat teratasi dalam waktu 48 72 jam. Hipokalsemia
yang disebabkan oleh hipoparatiroidisme, membutuhkan lanjutan
terapi dengan vitamin D dan garam kalsium. Lamanya waktu
terapi tergantung pada jenis hipoparatiroidismenya, yaitu transien,
berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan, atau
permanen. Angka mortalitas pada bayi yang mengalami
hipokalsemia lebih besar dibandingkan dengan bayi tanpa
hipokalsemia (Ferry, 2011).
hiperviskositas
1) Dicoba dengan penambahan pemberian minum sebanyak 20-40 ml/kg
berat badan per hari disamping itu juga pantau Hb darah tiap 6- 12
jam tanpa gejala
2) Bila dengan gejala seperti gangguan nafas jantung atau kelainan
neurologik harus dilakukan transfusi tukar parsial dengan plasma
beku segar (Maryunani, 2013).
Hiperbilirubin
40
Sejak bayi mulai kurang kadar bilirubinnya harus dipantau dengan teliti
kalau perlu beri terapi sinar/ transfusi tkar darah (Maryunani, 2013).
Mempertahankan suhu tubuh bayi dengan cara membungkus bayi
menggunakan selimut bayi yang dihangatkan terlebih dahulu. Menidurkan
bayi dalam inkubator. Perawatan bayi dalam inkubator seperti ini
merupakan metode merawat bayi dengan dimasukkan ke dalam alat yang
berfungsi membantu terciptanya suhu lingkungan yang cukup dengan suhu
normal.
9. Komplikasi
Bayi besar juga kerap menjadi penyulit pada saat persalinan normal, karena
dapat menyebabkan cedera baik pada ibu maupun bayinya.
Kesulitan yang dapat terjadi adalah :
a) Kesulitan pada ibu :
1) Robekan hebat jalan lahir
2) Perdarahan
3) Terjadi peningkatan persalinan dengan sectio caesaria.
4) Ibu sering mengalami gangguan berjalan pasca melahirkan akibat
peregangan maksimal struktur tulang panggul. Keluhan keluhan
tersebut bisa sembuh dengan perawatan yang baik.
b) Pada bayi :
1) Terjadinya distosia bahu yaitu kepala bayi telah lahir tetapi bahu
tersangkut di jalan lahir.
2) Asfiksia pada bayi sebagai akibat dari tindakan yang dilakukan untuk
melahirkan bahu.
3) Brachial Palsy (kelumpuhan syaraf di leher) yang ditandai dengan
adanya gangguan motorik pada lengan.
4) Patah tulang selangka (clavicula) yang sengaja dilakukan untuk dapat
melahirkan bahu.
41
5) Kematian bila bayi tidak dapat dilahirkan. Makrosomia dapat
meningkatkan resiko pada bayi mengalami hipoglikemia,
hipokalsemia, hiperviskostas, dan hiperbilirubinemia.
6) Hipoglikemia. Hipoglikemia adalah keadaan kadar glukosa serum
pada 3 hari pertama di bawah 30 mg% pada neonatus cukup bulan, di
bawah 20 mg% pada bayi kurang bulan. Bayi dari ibu penderita
diabetes melittus ternyata 50 % menderita hipoglikemia. (Maryunani,
2013). Hipoglikemi didefinisikan menurut kadar glukosa darah yang
sesuai dengan panduan World Health Organization (< 8 mg/dl, adalah
salah satu gangguan metabolik utama pada bayi dari ibu diabetes
(Cunningham, 2013).
7) Hipokalsemia merupakan salah satu gangguan metabolik utama pada
bayi dari ibu diabetes dimana kadar kalsium didalam serum kurang
dari 7 mg/dl hal tersebut terjadi akibat kegagalan pemantauan
homeostasis kalsium tulang dan serum, sehingga persediaan kalsium
terganggu (Maryunani, 2013).
8) Polisitemia Dan Hiperviskositas Polisitemia adalah hematokrit yang
sangat tinggi (65% atau lebih) dan meneyebabkan hiperviskositas
sehingga menimbulkan gejala-gejala terkait dengan stasis vaskular,
hipoperfusi, dan iskemia. Merupakan akibat penurunan oksigenasi
yang menstimulasi ginjal janin untuk melepaskan hormon
glikoprotein. Disebabkan oleh meningkatnya sel darah merah yang
sekunder disebabkan oleh hipoksia intra uterin kronik pada ibu
dengan penyakit vaskuler dan oleh transfusi plasenta inta uterin akibat
hipoksia akut pada persalinan atau kelahiran (Maryunani, 2013).
9) Hiperbilirubinemia Pada bayi dari ibu dengan diabetes melittus sering
ditemukan peningkatan bilirubin sampai 12-15 mg/dl. Peningkatan sel
darah yang akan di hemolisis ini meningkatkan beban hederobin
potensial hiperbilirubinemia (Maryunani, 2013).
42
B. Asfiksia
1. DEFINSI
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas
secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir
yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis (IDAI, 2014).
WHO. Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir.
ACOG dan AAP. Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi
kondisi sebagai berikut:
a) Nilai Apgar menit kelima 0-3
b) Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
c) Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
d) Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan kardiovaskular,
gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).
2. EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di
seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir
mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6,
yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah
pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur. Diperkirakan
43
1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup
dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan
gangguan belajar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga
penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan
pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis
neonatorum (12.0%).
Menurut data-data di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun
2004 bayi baru lahir berjumlah 184 orang, meninggal 9 orang (4,89%) 1 bayi
meninggal dengan asphyxia neonatorum. Tahun 2005 bayi baru lahir
berjumlah 215, meninggal 9 orang (4,19%) dimana 1 bayi meninggal dengan
asphyxia neonatorum (Depkes, 2008).
Di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan. Tahun 2005, bayi baru lahir
berjumlah 754 orang, 27 bayi (3,58%) meninggal dan tahun 2006 dari jumlah
kelahiran 1.185 bayi, bayi dengan asphyxia neonatorum 205 meninggal
sebelum usia 7 hari sejumlah 134 (11,31%), dimana asphyxia neonatorum
merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 108 bayi (81%) dan
tahun 2007 angka kelahiran 757, bayi lahir dengan asfiksia neonatorum
sebanyak 234 (30,31%) dan meninggal sebelum usia 7 hari sebanyak 59
(77,94 per seribu) dan bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum sebanyak
20 bayi (34%).
3. ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses
persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat
bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan
pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal
maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.
Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan
persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya
44
dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat
ringan dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis
yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan
beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan mengakibatkan
terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskuler.
a) Faktor Ibu (Hidayat, 2008)
1) Hipoksia ibu. Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat
analgetika atau anessia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia
janin dengan segala akibatnya
2) Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus
akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan
kejanin. Hal ini sering ditemukan pada
a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani
uterus akibat penyakit atau obat,
b) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan,
c) Hipertensi
b) Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi
plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada
plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
c) Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah
dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu
dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan : tali
pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan
jalan lahir dan lain-lain.
d) Faktor Neonatus
45
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan
pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin.
(b) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.(c)
Kelainan konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika
atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
4. FAKTOR RESIKO
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko
antepartum, intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum.
Didapatkan bahwa gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari
sebelum kelahiran memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan
risiko kematian akibat asfiksia neonatorum. Gejala gejala tersebut adalah
demam selama kehamilan, perdarahan pervaginam, pembengkakan
tangan,wajah atau kaki, kejang, kehamilan ganda juga berhubungan kuat
dengan mortalitas asfiksia neonatorum .Bayi yang lahir dari wanita primipara
memiliki risiko mortalitas asfiksia neonatorum yang lebih tinggi, sedangkan
adanya riwayat kematian bayi sebelumnya tidak bermakna dalam
memperkirakan kematian akibat asfiksia neonatorum. Partus lama dan
ketuban pecah dini juga meningkatkan risiko asfiksia neonatorum secara
bermakna.
Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian
akibat asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada
usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia
kehamilan < 34 minggu. Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum
kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk
meningkatkan maturasi paru fetus. Pada suatu studi kohort dikatakan bahwa
penggunaan kortikosteroid antenatal adalah faktor protektif terhadap sindroma
distres respirasi (OR: 0.278; 95%KI: 0.177-0.437).
46
.
5. PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau
jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di
dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2)
parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui
paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui
47
pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian
masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai
sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam
jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan
memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.
Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan
tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik.
Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh
darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah
bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan
tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada
duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh
darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen
kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi
baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%)
untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen
meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai
menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang
melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke
seluruh jaringan tubuh.
Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan
menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama
dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya.
Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi
pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh
darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.
48
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama
kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak
tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai
dengan suatu periode apnu (Primany apnea) disertai dengan penurunan
frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas
(gasping) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita
asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada
dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan
bradikardi dan penurunan tekanan darah.
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme
dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat
pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris
respiratorik, bila G3 berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme
anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh
terutama pada jantung dan hati akan berkuang.asam organik terjadi akibat
metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada
tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung
akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik akan
mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga
menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang
adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah paru
sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan mengalami
gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh
berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi
menimbuikan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
49
Gambar Pathway Asfiksia Neonatorum
50
51
Gambar 3. Mekanisme cedera hipoksik-iskemik yang berkontribusi pada cedera otak
jangka panjang dan disabilitas
(Davidson, 2015)
6. DIAGNOSIS
a) Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas
waktu lahir dan lahir tidak bernafas/menangis. Pada anamnesis juga
diarahkan untuk mencari faktor resiko.
b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia.
Klinis 0 1 2
Warna Kulit Biru Tubuh merah, Merah
(Appearance) Pucat ekstremitas biru seluruh
Tubuh
Frekuensi Jantung Tidak <100x/ menit >100x/menit
(Pulse) Ada
Rangsangan Tidak Gerakan sedikit Batuk/
Refleks Ada Bersin
(Grimace)
Tonus Otot Lunglai Fleksi ekstremitas Gerakan aktif
(Activitys)
52
Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah
kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk
kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah
dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah
satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.
1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan
tidak memerlukan tindakan istimewa.
2. Skor apgar 4-6 (Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada
pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit,
tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia berat.
a Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi
jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan
kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
b Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti
jantung ialah keadaan (a) bunyi jantung fetus menghilang tidak
lebih dari 10 menit sebelum ;ahir lengkap, (b) bunyi jantung bayi
menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya
sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat.
Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5,
bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5
menit sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan
untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah
lahir bila bayi tidak menangis.
53
c) Pemeriksaan Penunjang
1) Foto Polos dada
2) Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah
Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
- Pa O2 < 50 mm H2O
- PaCO2> 55 mm H2O
- pH < 7,30
3) Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif,
pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi,
berupa :
- Darah perifer lengkap
- Pemeriksaan radiologi/foto dada
- Analisis gas darah sesudah lahir
- Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
- Gula darah sewaktu
- Pemeriksaan USG Kepala
- Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Pemeriksaan EEG Kalium)
- Ureum kreatinin
- CT scan kepala
- Laktat
7. PENATALAKSANAAN
Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-iskemik
dan berisiko cedera sekunder adalah:
a) Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi Tanda yang mungkin didapat
adalah denyut jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR
rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi (intubasi, kompresi dada,
pemberian epinefrin), asidosis berat (pH umbilikal <7,0 dengan atau base
54
deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis awal abnormal
atau hasil EEG abnormal.
b) Perawatan suportif intensif Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak
yang adekuat, dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi gangguan
hemodinamis (hipotensi, asidosis metabolik), ventilasi adekuat, koreksi
gangguan metabolik seperti kadar glukosa, kalsium, magnesium, dan
elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi
organ-organ lain. Salah satu faktor utama perawatan intensif adalah
menjaga ventilasi dan perfusi adekuat. Kekurangan oksigen akan
menyebabkan gangguan autoregulasi serebrovaskuler dengan konsekuensi
bertambahnya cedera sel-sel otak. Sedangkan hiperoksia berat pada awal
masa kehidupan akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang pada
akhirnya memperburuk status neurologis jangka panjang.
c) Pertimbangan intervensi untuk memper baiki proses cedera otak yang
sedang terjadi.13 Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi
intervensi farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun banyak terapi
neuroprotektif telah diteliti, hingga saat ini tidak ada agen neuroprotektif
yang aman dan efektif mengobati sekuele neurologis setelah kejadian HIE
pada neonatus. Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi
kerusakan serebral dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas
yang toksik, menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron,
dan mengurangi edema serebral. Beberapa terapi farmakologi dan
nonfarmakologi mempunyai saat terapi optimal yang berbeda setelah
kejadian HIE (Anggriawan, 2016).
55
Melatonin Argon
Eritropoeitin Deferoxamine
Stem cell Kanabis
56
Terapi hipotermi dilakukan berdasarkan beberapa faktor berikut:
- Berat lahir ≥1800 gram
- Hasil analisis gas darah
- Riwayat kejadian perinatal akut
- Skor APGAR
- Kebutuhan untuk resusitasi
- Pemeriksaan fisik (kejang, tingkat kesadaran, aktivitas spontan,
postur, tonus, refleks primitif, dan parameter sistem saraf otonom)
Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal
adalah sesegera mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta
dijaga hingga 48-72 jam. Selama terapi, beberapa parameter harus
dipantau, antara lain laju dan fungsi jantung, tekanan darah, elektrolit,
gas darah, gula darah, faktor koagulasi. Setelah terapi selesai, proses
penghangatan harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan
selimut penghangat atau udara hangat.
Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan
sinus bradikardi dan peningkatan signifikan trombositopenia. Namun,
keuntungan terapi hipotermi jauh lebih signifkan dibandingkan
kejadian efek samping jangka pendek.
Terapi Sel Punca/ Stem Cell Therapy Pada cedera hipoksik-
iskemik, terjadi kerusakan sel yang berakibat nekrosis dan apoptosis.
Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel rusak serta efek
pelepasan faktor tropik dan faktor anti-apoptosis yang memiliki efek
antiinflamasi. Akan tetapi, jenis dan sumber sel terbaik masih belum
diketahui, kebanyakan peneliti menggunakan sel punca neural atau sel
punca mesenkimal. Beberapa penelitian menggunakan darah tali pusat
sebagai sumber sel punca karena diketahui kaya akan sel punca;
keuntungannya mudah didapat, kaya sel punca primitif, tidak
membutuhkan imunosupresan untuk transplantasi autologus, dan
57
dapat disimpan hingga ≥30 tahun. Sedangkan kerugiannya adalah
jumlah sel terbatas, berpotensi menularkan infeksi dan penyakit
genetik.
2) Intervensi Farmakologi
Secara umum, efek farmakologi yang diharapkan adalah efek
antioksidan, antiinflamasi, dan antiapoptosis. Efek antioksidan
diharapkan dapat mengurangi radikal bebas yang toksik dan
menghambat masuknya kalsium yang berlebih ke dalam sel saraf.
Allopurinol memiliki efek antioksidan dan diketahui dapat
mengurangi pembentukan radikal bebas yang merusak jaringan dan
dapat menjaga sawar darah otak. Dalam beberapa tahun terakhir,
cannabinoid diketahui memiliki fungsi neuroprotektor karena dapat
memodulasi respons neuronal dan glial. Selain itu, cannabinoid juga
memiliki fungsi sel endotelial, antieksitotoksik, antiinflamasi, efek
vasodilator, dan mengatur homeostasis kalsium.
Makin banyak bukti klinis dan eksperimental bahwa
recombinant human erythropoietin (rhEPO) memiliki efek
neuroprotektif dengan mengikat reseptor EPO di neuron dan glia.
Dosis rendah rhEPO (300 atau 500 U/kg) berhubungan dengan
penurunan risiko kematian dan disabilitas pada bayi HIE ringan cukup
bulan, sedangkan dosis tinggi rhEPO (2500 U/kg) diberikan dalam 48
jam pertama kehidupan meningkatkan perbaikan perkembangan
neurologis, menurunkan aktivitas kejang, perbaikan abnormalitas
EEG dalam 2 minggu, dan mengurangi abnormalitas neurologis
dalam 6 bulan pada bayi cukup bulan dengan HIE ringan atau sedang.
Banyak agen farmakologi lain yang memiliki efek antioksidan,
antiinflamasi, atau antiapoptosis seperti statin, xenon, argon,
fenobarbital, MgSO4, melatonin, dan N-asetilsistein. Masih
diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap manusia.
58
59
Bagan Algoritma Resusitasi Neonatus (2015)
positif
langkah
60
Management of an asphyxiated newborn
61
Flowchart 2
Management of a newborn who has been resuscitated for moderate or severe birth asphyxia
62
Bagan Algoritma Resusitasi Neonatus
Standard Treatment Protocol for management of common newborn conditions in
small hospitals
63
8. KOMPLIKASI
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan organ.
Sistem Pengaruh
64
Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan.
Komplikasi yang Sistem Organ Tindakan Pasca resusitasi
mungkin terjadi
65
dan volume vaskuler adekuat
Pemantauan kadar elektrolit
Gastrointestinal Ileus Tunda pemberian minum Berikan cairan
Enterokolitis intravena Pertimbangkan nutrisi
Nekrotikans parenteral
Metabolik/ Hipoglikemia Pemantauan gula darah
hematologik Hipokalsemia Pemantauan elektrolit
Hiponatremia Pemantauan hematokrit
Anemia Pemantauan trombosit
Trombositopenia
Tabel Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang
dilakukan
66
Stadium 2
Tanda Klinis Stadium 1 (Ringan) Stadium 3 ( Berat )
(Sedang)
Tingkat Kesadaran Hyperalert Letargi Stupor, Koma
Tonus Otot Normal Hipotonus Lemas
Postur Normal Fleksi Deserebrasi
Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Tendon/
Klonus
Mioklonus Tampak Tampak Tidak tampak
Refleks Moro Kuat Lemah Tidak ada
Pupil Midriasis Miosis Tidak ada.
Refleks cahaya lemah
Kejang Tidak ada Sering Deserebrasi
EEG Normal Voltase rendah Burst suppresion ke
hingga isoelektrik
bangkitan
kejang
Lamanya <24 jam 24 jam – 14 hari Beberapa hari hingga
minggu
Hasil Baik Bervariasi Meninggal atau
cacat berat
67
9. PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi
metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat
diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi
preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik.
Prognosis tergantung pada kekurangan O2 dan luasnya
perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih
kembali harus dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental
seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang.
Prognosis HIE berkisar antara kesembuhan total hingga
kematian, berkorelasi dengan saat dan lamanya cedera, derajat
keparahan cedera, dan manajemen terapi. Bayi dengan pH awal darah
tali pusat 20-25 mmol/L), postur deserebrasi, lesi basal ganglia-
thalamus berat, HIE berat hingga usia 72 jam, dan kurangnya aktivitas
spontan, meningkatkan risiko kecacatan dan kematian (Behrman,
2012).
68
AREA CEDERA
KEJADIAN DISABILITAS
OTAK
Akut, asfiksia Sedang Ganglia basalis, Atetoid atau CP distonik, gangguan
hampir total thalamus kognitif ringan
Berat Korteks serebri, basal Disabilitas berat, kuadriplegia spastik,
ganglia, thalamus gangguan visual kortikal, mikrosefali,
gangguan kognitif
Berlanjut, Sedang Area watershed Disabilitas sedang, kuadriplegia
asfiksia spastik, gangguan kognitif
parsial Berat Kortikal ekstensif Kuadriplegia spastik, gangguan
kognitif berat, gangguan visual
kortikal, mikrosefali
Tabel Hubungan antara saat kejadian asfiksia dengan area cedera otak dan tipe
disabilitas.
69
C. Erbs Palsy
1. Definisi
Erb’s palsy merupakan lesi pleksus brakialis bagian atas karena cidera
yang diakibatkan perpindahan kepala yang berlebihan dan depresi bahu pada
sisi yang sama saat kelahiran.sehingga menyebabkan traksi yang berlebihan
bahkan robeknya akar saraf C5 dan C6 dari pleksus brakialis (Snell, 2012).
2. Epidemiologi
Menurut WHO prevalensi terjadinya OBPP sekitar 1-2% dengan
jumlah yang lebih banyak berada pada negara berkembang. Angka insiden
Erb’s palsy yang melibatkan saraf C5 dan C6 mencapai 40% sampai 50% dari
semua kasus OBPP, sedangkan yang melibatkan saraf C5, C6, dan C7
mencapai 20% sampai 25% kasus OBPP (Ruschelman, 2007).
3. Faktor Predisposisi dan Etiologi
Faktor predisposisi terjadinya OBPP dikelompokkan menjadi 3 yaitu
faktor maternal, faktor saat kelahiran dan faktor dari janin.
Faktor maternal yang paling berisiko terjadinya OBPP antara lain
diabetes gestasional dan peningkatan berat badan berlebihan saat hamil.
Diabetes gestasional dan peningkatan berat badan ibu yang berlebihan saat
hamil dianggap berkontribusi dalam fetal makrosomia. Faktor maternal lain
yang berisiko terjadi OBPP antara lain multiparitas (Alfonso, 2011).
Faktor saat kelahiran yang bisa menyebabkan OBPP antara lain
distosia bahu, alat bantu kelahiran seperti forsep dan vakum, kala dua
memanjang atau kala dua terlalu singkat. Distosia bahu adalah tersangkutnya
bahu janin sehingga sulit mengeluarkan bahu setelah kepala janin dilahirkan.
Distosia bahu dan penggunaan alat bantu lahir dapat menyebabkan
peregangan yang berlebihan pada pleksus brakialis bahkan robeknya akar
saraf C5 dan C6 dari pleksus brakialis. Distosia bahu dapat meningkatkan
risiko terjadinya OBPP 100 kali beih besar, sedangkan pengguanaan alat
bantu kelahiran mempunyai risiko OBPP 9 kali lebih besar. Sedangkan faktor
70
janin paling umum yang dapat menyebabkan OBPP adalah makrosomia. Bayi
dengan berat lahir lebih dari 4,5kg meningkatan fakor risiko OBPP 14 kali.
Faktor janin lainnya seperti presentasi bokong atau kaki, fraktur tulang iga
pertama atau fraktur klavikula.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Erb’s palsy antara lain lengan terlihat lemas
dengan bahu mengalami internal rotasi, ekstensi siku secara penuh, lengan
bawah mengalami pronasi, jari-jari dan pergelangan tangan mengalami fleksi.
Posisi sperti ini sering disebut porter/ waiter tip. Bahu mengalami adduksi
karena kelumpuhan otot deltoid dan supraspinatus, otot pektoralis dan
subscapularis masih aktif, inaktif otot infraspinatus dan teres minor
menyebabkan bahu mengalami internal rotasi (Mackinon, 2007).
Ekstensi siku disebabkan gaya gravitasi dan kelumpuhan otot fleksor
siku yaitu otot bisep, brakialis dan brakioradialis. Tidak aktifnya otot bisep
dan otot otot supinasi menyebabkan posisi pronasi pada lengan bawah. Apabil
saraf C7 ikut terlibat maka tidak ada bagian ekstrinsik pergerlangan tangan
dan ekstensor jari yang menyebabkan unopposed finger dan fleksi
71
pergelangan tangan yang dapat mengakibatkan extrinsic finger flexor
tightness.
72
menyebabkan robeknya saraf. Neurapraksia dapat sembuh dengan sendirinya
biasanya dalam waktu 3 bulan.
5. Diagnosis
Untuk mendiagnosa OBPP pada bayi baru lahir, dapat dilihat dari
manifestasi klinisnya berupa tidak adanya respon motorik yang normal pada
otot-otot ekstremitas atas, seperti tidak adanya refleks menggenggam dan
refeks moro asmetris. Namun agak sulit untuk menentukan diagnosis otot
yang mengalami kelumpuhan karena bayi belum dapat melakukan apa yang
diperintahkan. Selain itu bisa juga ditemukan gejala sindrom Horner (ptosis,
miosis, dan anhidrosis) yang terjadi karena trauma pada lower root dan gejala
ini mempunyai prognosis buruk. Jika terdapat fraktur klaivikula atau humerus,
maka pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi dan deformitas.
Pemeriksaan radiologi dilakukan untuk menentukan lokasi dan
eksistensi cidera saraf seperti avulsi (cidera preganglionik) atau ruptur
ekstraforaminal (cidera postganglionik). Untuk mengevaluasi intraoperatif
dapat mengguanakn myelografi, CT myelografi dan MRI. Myelografi
memiliki rasio true positive sebesar 84%, 4% false positive dan 12% false
negative. Sedangkan CT myelografi memiliki true positive sebesar 94% dan
memiliki akurasi untuk mendiagnosa avulsi sebesar 60%. MRI juga memiliki
nilai true positive yang sebanding dengan CT myelografi. Pemeriksaan
penunjang lainnya seperti elektromyografi (EMG). Secara teknis, pemeriksaan
ini sulit dilakukan terhadap bayi. Namun pemeriksaan ini dapat membantu
merencanakan prosedur operasi dan digunakan untuk menilai tingkat
keparahan suatu cidera saraf.
Mendiagnosis tingkat keparahan suatu OBPP dapat memprediksi
kesembuhannya secara spontan. Menurut Michelow et al, perbaikkan spontan
dapat terjadi pada usia 3 sampai 6 bulan pertama kehidupan, namun apabila
dalam waktu 3 bulan otot bisep belum bisa berfungsi secara normal maka
12% memilii prognosis yang buruk. Apabila OBPP sudah mengalami
73
perbaikkan, maka tetap mengevaluasi keadaan bahu menggunakan modified
mallet system. Mallet system memiliki 5 kategori untuk menilai secara
keseluruhan pergerakkan ekstremitas atas. Penilaiannya berdasarkan abduksi
global, rotasi eksternal secara global, tangan ke leher, tangan ke mulut dan
tangan ke belakang. Masing masing kategori ini mempunyai skala sendiri, bila
grade 1 berarti ekstremitas atas belum berfungsi dengan sama sekali,
sedangkan bila grade 5 berarti ekstremitas atas masih berfungsi normal.
6. Tatalaksana
Pada umumnya, bayi dengan OBPP akan mengalami perbaikkan
secara spontan dalam waktu 2 sampai 3 bulan pertama kehidupan.
Berdasarkan survey yang dilakukan British Pediatric, ditemukan sekitar 90%
74
kasus Erb’s palsy dapat sembuh spontan dengan 53% kasus dapat sembuh
berfungsi dengan normal atau mendekati normal, sedangkan 39% kasus lain,
ekstremitas atas dapat berfungsi dengan “baik”. Apabila dalam 3 bulan
pertama bayi dengan OBPP tidak mengalami perbaikkan, sekitar 5% sampai
dengan 50% kasus akan memiliki keterbatasan gerak, penurunan kekuatan dan
atrofi otot secara permanen. Tatalaksana untuk memperbaiki OBPP terbagi
menjadi 2 yaitu, tindakan bedah dan non bedah. Tindakan non bedah dapat
berupa latihan fisik dan bantuan Botolinum toxin (botox). Sedangkan untuk
tindakan bedah bisa berupa microsurgery, osteotomi, transfer tendon,
capsulorraphy, dan transfer otot.
Latihan fisik dilakukan pada kasus OBPP yang tidak disertai fraktur.
Latihan fisik digunakan untuk menjaga range of movement dari sendi.
Gerakan yang dilakukan dalam latihan fisik berupa gerakan-gerakan pasif
terutama pada sendi glenohumeral terhadap scapulothoracic agar tidak terjadi
deformitas dan kaku. Latihan fisik ini dilakukan sesering mungkin dan bisa
dilakukan dengan atau tanpa bimbingan dari terapis. Selain latihan motorik,
perlu dilakukan stimulasi taktil untuk melatih sensorik anggota gerak. Terapi
non bedah lainnya dapat berupa suntikan botox. Botoks dapat digunakan
terutama ke bahu untuk membantu pergerakan sendi, menyeimbangkan otot
dan mencegah kontraktur serta dislokasi bahu.
Terapi bedah mikro diindikasikan pada pasien OBPP dengan nilai
Toronto Scoring kurang dari 3,5 dan berusia 3 bulan atau lebih. Toronto Test
Score ini meliputi perbaikkan dari abduksi bahu, fleksi siku, ekstensi
pergelangan tangan, ekstensi jari tangan dan juga ekstensi ibu jari. Masing-
masing pergerakkan memiliki skala 0 yang tidak berfungsi sama sekali,
sampai 2 yang berfungsi denga normal., Terapi bedah mikro meliputi
perbaikkan langsung terhadap saraf yang cidera, neurolisis, nerve grafting
yang biasa diambil dari kaki (Sural) dan nerve transfer dari luar saraf pleksus
75
brakialis. Nerve trannsfer ini biasanya dilakukan OBPP dengan avulsi. Terapi
bedah mikro ini sebaiknya dilakukan di usia 3 sampai 9 bulan.
Terapi bedah transfer tendon dilakukan dengan cara memisahkan
tendon dari tempat asalnya dan menempelkannya di tempat yang baru. Terapi
transfer tendon dilakukan saat usia 1 tahun ke atas atau dewasa. Terapi ini
biasanya dilakukan didaerah bahu untuk meningkatkan kemampuan
mengangkat tangan, namun bisa juga dilakukan di pergelangan tangan, tangan
dan lengan.
Osteotomi biasanya dilakukan pada anak-anak dengan deformitas
glenohumeral yang berat. Osteotomi dapat memperbaiki fungsi esktremitas
atas dengan memperbaiki posisinya. Sedangkan capsulorraphy merupakan
tindakan bedah dengan mengurangi ketegangan jaringan di sekitar sendi bahu.
biasanya dilakukan jika terjadi kelemahan otot terus menerus yang
menyebabkan dislokasi. Transfer otot dilakukan ketika ada disfungsional otot
ekstremitas atas. Otot yang digunakan untuk mengganti otot yang
disfungsional biasanya otot kaki (gracilis) dari kaki pasien dan bedah ini
memerlukan penyambungan pembuluh darah serta saraf, maka dari itu
biasanya dilakukan di bawah mikroskop.
7. Prognosis
Prognosis dari OBPP tergantung seberapa parah cidera saraf yang
diderita. Apabila mengalami Erb’s palsy C5 dan C6, sekitar 90% dapat
sembuh secara spontan dengan hasil 53% ekstremitas atas dapat berfungsi
mendekati normal. Jika C7 ikut cidera, maka 80% pemulihan tidak baik. Jika
ada gejala sindrom Horner, maka prognosis juga buruk.
76
D. NEONATAL INFEKSI
1. DEFINISI
Infeksi yang terjadi pada bayi baru lahir ada dua yaitu: early infection
(infeksi dini) dan late infection (infeksi lambat). Disebut infeksi dini karena
infeksi diperoleh dari si ibu saat masih dalam kandungan sementara infeksi
lambat adalah infeksi yang diperoleh dari lingkungan luar, bisa lewat udara
atau tertular dari orang lain.1,2
2. PATOFISIOLOGI
Infeksi pada neonatus dapat melalui beberapa cara. Blanc membaginya
dalam 3 golongan, yaitu :
a) Infeksi Antenatal
Kuman mencapai janin melalui sirkulasi ibu ke plasenta. Di sini
kuman itu melalui batas plasenta. Selanjutnya infeksi melalui sirkulasi
umbilikus dan masuk ke janin. Kuman yang dapat menyerang janin
melalui jalan ini ialah :
a. Virus, yaitu rubella, polyomyelitis, covsackie, variola, vaccinia,
cytomegalic inclusion
b. Spirokaeta, yaitu treponema palidum ( lues )
c. Bakteri jarang sekali dapat melalui plasenta kecuali E. Coli dan
listeria monocytogenes. Tuberkulosis kongenital dapat terjadi
melalui infeksi plasenta. Fokus pada plasenta pecah ke cairan
amnion dan akibatnya janin mendapat tuberkulosis melalui inhalasi
cairan amnion tersebut.
b) Infeksi Intranatal
Infeksi melalui jalan ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain.
Mikroorganisme dari vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion
setelah ketuban pecah. Ketubah pecah lama ( jarak waktu antara pecahnya
ketuban dan lahirnya bayi lebih dari 12 jam), mempunyai peranan penting
77
terhadap timbulnya plasentisitas dan amnionitik. Infeksi dapat pula terjadi
walaupun ketuban masih utuh misalnya pada partus lama dan seringkali
dilakukan manipulasi vagina. Infeksi janin terjadi dengan inhalasi likuor
yang septik sehingga terjadi pneumonia kongenital selain itu infeksi dapat
menyebabkan septisemia. Infeksi intranatal dapat juga melalui kontak
langsung dengan kuman yang berasal dari vagina misalnya blenorea dan
”oral trush”.
c) Infeksi Pascanatal
Infeksi ini terjadi setelah bayi lahir lengkap. Sebagian besar infeksi
yang berakibat fatal terjadi sesudah lahir sebagai akibat kontaminasi pada
saat penggunaan alat atau akibat perawatan yang tidak steril atau sebagai
akibat infeksi silang. Infeksi pasacanatal ini sebetulnya sebagian besar
dapat dicegah. Hal ini penting sekali karena mortalitas sekali karena
mortalitas infeksi pascanatal ini sangat tinggi.
3. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Diagnosis infeksi perinatal tidak mudah. Biasanya diagnosis dapat
ditegakkan dengan observasi yang teliti, anamnesis kehamilan dan persalinan
yang teliti dan akhirnya dengan pemeriksaan fisik dan laboratarium.
Infeksi lokal pada nonatus cepat sekali menjalar menjadi infeksi
umum, sehingga gejala infeksi lokal tidak menonjol lagi. Walaupun demikian
diagnosis dini dapat ditegakkan kalau kita cukup wasdpada terhadap kelainan
tingkah laku neonatus yang seringkali merupakan tanda permulaan infeksi
umum. Neonatus terutama BBLR yang dapat hidup selama 72 jam pertama
dan bayi tersebut tidak menderita penyakit atau kelaianan kongenital tertentu,
namun tiba – tiba tingkah lakunya berubah, hendaknya harus selalu diingat
bahwa kelainan tersebut mungkin sekali disebabkan oleh infeksi.
Menegakkan kemungkinan infeksi pada bayi baru lahir sangat penting,
terutama pada bayi BBLR, karena infeksi dapat menyebar dengan cepat dan
78
menimbulkan angka kematian yang tinggi. Disamping itu, gejala klinis infeksi
pada bayi tidak khas. Adapun gejala yang perlu mendapat perhatian yaitu :
- Malas minum
- Bayi tertidur
- Tampak gelisah
- Pernapasan cepat
- Berat badan turun drastik
- Terjadi muntah dan diare
- Panas badan bervariasi yaitu dapat meningkat, menurun atau dalam batas
normal
- Pergerakan aktivitas bayi makin menurun
- Pada pemeriksaan mungkin dijumpai : bayi berwarna kuning, pembesaran
hepar, purpura (bercak darah dibawah kulit) dan kejang-kejang
- Terjadi edema
- Sklerema
79
b) Gupte score
Prematuritas 3
Cairan amnion berbau busuk 2
Ibu demam 2
Asfiksia 2
Partus lama 1
Vagina tidak bersih 2
KPD 1
3-5 screening, >5 pemberian terapi
4. KLASIFIKASI
Infeksi pada neonatus dapat dibagi menurut berat ringannya dalam dua
golongan besar, yaitu berat dan infeksi ringan.
a) Infeksi berat ( major infections ) : sepsis neonatal, meningitis, pneumonia,
diare epidemik, plelonefritis, osteitis akut, tetanus neonaturum.
b) Infeksi ringan ( minor infection ) : infeksi pada kulit, oftalmia neonaturum,
infeksi umbilikus ( omfalitis ), moniliasis.
a) Sepsis Neonatorum
Sepsis neonatorum sering didahului oleh keadaan hamil dan persalinan
sebelumnya seperti dan merupakan infeksi berat pada neonatus dengan
gejala-gejala sistemik.
1) Faktor risiko :
- Persalinan (partus) lama
- Persalinan dengan tindakan
- Infeksi/febris pd ibu
- Air ketuban bau, warna hijau
80
- KPD lebih dr 18 jam
- Prematuritas & BBLR
- Fetal distres
2) Tanda & gejala :
- Reflek hisap lemah
- Bayi tampak sakit, tidak aktif, dantampaklemah
- Hipotermia atau hipertermia
- Merintih
- Dapat disertai kejang, pucat, atau ikterus
3) Prinsip pengobatan:
- Pengobatan antibiotika secara empiris dan terapeutik
- Pemeriksaan laboratorium rutin
- Biakan darah dan uji resistensi
- Pemeriksaan lain dapat dilakukan atas indikasi
81
SAM terjadi pada intrauterin karena inhalasi mekonium dan sering
menyebabkan kematian terutama bayi dengan BBLR karena reflex
menelan dan batuk yang belum sempurna.
1) Gejala :
- Pada waktu lahir ditemukan meconium staining
- Letargia
- Malas minum
- Terjadi serangan apnea (Apneu neonatal)
- Dicurigai bila ketuban keruh dan bau
- Rhonki (+)
2) Pengobatan :
- Laringoskop direct segera setelah lahir bila terdapat meconium
staining dan lakukan suction bila terdapat mekonium pada jalan
napas
- Bila setelah di suction rhonki masih (+), pasang ET
- Bila setelah di suction rhonki (-) dilakan resusitasi
- Terapi antibiotika secara empiris dan terapeutik
- Cek darah rutin, BGA, GDS dan foto baby gram
d) Tetanus neonatorum
1) Etiologi
- Perawatan tali pusat yang tidak steril
- Pembantu persalinan yang tidak steril
2) Gejala
- Bayi yang semula dapat menetek menjadi sulit menetek karena
kejang otot rahang dan faring (tenggorok)
- Mulut mencucu seperti mulut ikan (trismus)
- Kekakuan otot menyeluruh (perut keras seperti papan) dan
epistotonus
82
- Tangan mengepal (boxer hand)
- Kejang terutama apabila terkena rangsang cahaya, suara dan
sentuhan
- Kadang-kadang disertai sesak napas dan wajah bayi membiru
3) Tindakan
- Segera berikan antikonvulsan dan bawa ke Rumah Sakit (hindari
pemberian IM karena dapat merangsang muscular spasm)
- Pasang O2 saat serangan atau bila ada tanda-tanda hipoksia
- Pasang IV line dan OGT
- Pemberian ATS 3000 – 6000 unit IM
- Beri penisilin prokain G 200.000 unit / KgBB / 24 jam IV selama
10 hari
- Rawat tali pusat
- Observasi dilakukan dengan mengurangi sekecil mungkin
terjadinya rangsangan
e) Oftalmia Neonatorum
Merupakan infeksi mata yang disebabkan oleh kuman
Neisseriagonorrhoeae saat bayi lewat jalan lahir Dibagi menjadi 3
stadium
1) Stadium infiltrative
Berlangsung 1-3 hari. Palpebra bengkak, hiperemi, blefarospasme,
mungkit terdapat pseudomembran
2) Stadium supuratif
Berlangsung 2 – 3 minggu. Gejala tidak begitu hebat, terdapat secret
bercampur darah, yang khas secret akan keluar dengan mendadak
(muncrat) saat palpebra dibuka
3) Stadium konvalesen
83
Berlangsung 2-3 minggu. Secret jauh berkurang, gejala lain tidak
begitu hebat lagi.
Penatalaksanaan
- Bayi harus diisolasi
- Bersihkan mata dengan larutan garam fisiologis setiap ¼ jam
disusul dengan pemberian salep mata penisilin
- Berikan salep mata penisilin setiap jam selama 3 hari
- Penisilin prokain 50.000 unit/kgbb IM
PENCEGAHAN
Prinsip pencegahan infeksi antara lain:
- Berikan perawatan rutin kepada bayi baru lahir.
- Pertimbangkan setiap orang ( termasuk bayi dan staf ) berpotensi
menularkan infeksi.
- Cuci tangan atau gunakan pembersih tangan beralkohol.
- Pakai – pakaian pelindung dan sarung tangan.
- Gunakan teknik aseptik.
- Pegang instrumen tajam dengan hati – hati dan bersihkan dan jika
perlu sterilkan atau desinfeksi instrumen dan peralatan.
- Bersihkan unit perawatan khusus bayi baru lahir secara rutin dan
buang sampah.
- Pisahkan bayi yang menderita infeksi untuk mencegah infeksi
nosokomial.
84
DAFTAR PUSTAKA
Alfonso DT. 2011. Causes of Neonatal Brachial Plexus Palsy. Bull NYU Hosp Jt Dis.
;69(1):11-6.
American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and
Gynaecologists. Care of the neonate. 2002. Guidelines for perinatal care.
Gilstrap LC, Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of
Pediatrics;: 196-7.
Anggriawan Alonso. 2016. Tinjauan Klinis Hypoxic Ischemic Encephalopathy.
CDK-243..Vol 43.No 8.
Behrman, Kliergman, Arvin. 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1.
Cunningham FG, Kenneth JL, Steven LB, John CH, Dwight JR, Catherine YS
(2013). Obstetri Williams volume 1. Edisi 23. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Davidson JO, Wassink G, Heuji LG, Bennet L, Gunn AJ. 2015. Therapeutic
hypothermia for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from
here Frontiers in Neurology ;6(198):1-10.
Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan penatalaksanaan
Asfiksia Neonatorum.
Goldman JC, Malone FD, Vidaver J, Ball RH, Nyberg DA, Comstock CH, et al.
2005. Impact of maternal age on obstetric outcome. Obstet Gynecol. ; 105 (5):
983-90
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.
IDAI. 2004. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;.h. 272-276. (level of evidence IV)
Lee, et.al. 2008. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in
Southern Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics;
121:e1381e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
85
Mackinon SE. 2013. Obstetric Brachial Plexus Injuries. Medscape Reference
[download http://emedicine.medscape.com/article/1259437-overview tanggal
20 Agustus 2013]
Maryunani A, Eka PS (2013). Asuhan kegawatdaruratan maternal dan neonatal.
Jakarta : Trans Info Media
Mochtar, Rustam. 2007. Sinopsis Obstetri: Sinopsis Fisiologi-Obstetri Patologi. Jilid
II. Jakarta: EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. (2010). Ilmu Kebidanan. PT. Bina Pustaka: Jakarta.
Ruschelsman DE, Petrone S, Price A, Grossman J. 2009. Brachial Plexus Birth Palsy
An Overview of Early Treatment Considerations. Bull NYU Hosp Jt
Dis;67(1):83-9.
Saifuddin, A. 2010. ”Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal”.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Snell R. Clinical Anatomy By Systems. Lippincott Wiliams and Wilkins. 2012. P:
264-265.
86