Anda di halaman 1dari 29

PRESENTASI KASUS

IKTERUS NEONATORUM

Disusun oleh :
Rizki Maulana
1102015202

Pembimbing :dr. Nusarintowati RP,SpA (K)


Moderator :dr. Yenny Kumalawati, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT
SOEBROTO PERIODE 16 NOVEMBER – 26 DESEMBER
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada neonatus/bayi baru lahir (BBL). Hiperbilirubinemia pada neonatus
atau disebut juga ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada neonatus yang
ditandai pewarnaan kuning pada kulit, mukosa atau sklera akibat dari akumulasi
bilirubin (indirek maupun direk) di dalam serum/darah yang secara klinis akan mulai
tampak di daerah muka, apabila kadarnya mencapai 5-7mg/dL.
Kejadian hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan (BCB) sekitar 60-70%,
sedangkan pada bayi kurang bulan (BKB) atau bayi berat lahir rendah (BBLR)
kejadiannya lebih tinggi.
Walaupun hiperbilirubinemia pada neonatus kejadiannya tinggi, tetapi hanya
sebagian kecil yang bersifat patologis yang mengancam kelangsungan hidup neonatus
tersebut baik akibat peninggian bilirubin indirek (hiperbilirubinemia ensefalopati)
maupun hiperbilirubinemia direk akibat hepatitis neonatal ataupun atresia biliaris.

1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Ny. S


Usia : 0 tahun, 0 bulan, 3 hari
Tempat, Tanggal Lahir : 21 November 2020

Jenis Kelamin : Perempuan


Agama : Islam
Suku : Betawi
Alamat : Kelapa gading, sunter, jakarta utara

Nama Ayah : Tn. S


Usia : 45 tahun
Pekerjaan : wiraswasta
Pendidikan : STM

Nama Ibu : Ny. S


Usia : 30 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta dan ibu rumah tangga
Pendidikan : S1 Akutansi

Nomor RM : 010xxx
Tanggal Masuk RS : 21 November 2020

Tanggal Pemeriksaan : 23 November 2020


Ruangan : Ruang NICU

(LEVEL 1)

2
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Bayi dengan keluhan kulit terlihat menguning setelah 3 hari kelahiran.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Ibu pasien masuk ke RSPAD sejak usia kandungan 8 bulan untuk


isolasi karna terapar COVID-19, diisiolasi di ruangan darmawan lalu di
pindahkan ke ruangan Isman, ibu pasien diisiolasi selama kurang lebih 4
minggu, pada saat menjalani isolasi minggu ke 3 ibu pasien mengalami
kontraksi lalu di larikan ke IGD untuk melahirkan.

Pasien lahir pada tanggal 21 November 2020, pukul 11.00 Wib ,


lahir secara sepontan di ruangan IGD, dengan usia kehamilan 37-38 Minggu
(Aterm), APGAR score 8/9, toleransi minum baik dengan BBL mencapai
2500 gram, PBL 47 cm, warna air ketuban putih, kondisi bayi lahir segera
menangis , gerak aktif, tangis kuat, warna kulit kemerahan, pada saat datang
ke perina pasien tampak tenang, tidak sesak, tidak kembung, toleransi
minum baik, BAB dan BAK ada, diketahuhi pasien tidak mendapatkan
inisiasi menyusui dini, dan sampai saat ini bayi belum mendapakatkan ASI,
karna pasien tidak bisa rawat gabung dengan ibunya di karnakan sedang
dalan tahap isolasi COVID !9.

Pada usia 3 hari pasien tampak kuning dan dilakukan pemeriksaan


lab didapatkan hasil bilirubin meningkat, kuning tampak pertama kali di
daerah kepala kemudian menyebar ke bagian bawah pusar, kuning tidak
disertai dengan panas badan, kejang maupun penurunan kesadaran , BAB
tidak tampak seperti dempul, BAK tidak tampak berwarna lebih pekat,
pasien mempunyai golongan darah 0, dan ibu pasien mempunyai golongan
darah B. Di ruang perinatologi, bayi ditempatkan di radiant warmer.

3
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Ibu pasien mengatakan selama kehamilan tidak mengalami sakit,
ibu pasien merasa selama hamil kondisinya baik-baik saja. Ibu pasien
mengatakan kebutuhan gizi selama kehamilan tercukupi. Tidak ada riwayat
hipertensi selama kehamilan, tidak ada riwayat trauma selama kehamilan,
asma, penyakit jantung bawaan, dan diabetes mellitus. Ibu asien terkena
penyakit COVID 19 4 minggu yang lalu.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Kakak pasien atau bayi pertama ibunya mengalami keguguran dan
kemudian di kuretase, riwayat penyakit darah dan kuning keluarga
disangkal, ibu pasien bergolongan darah B, rhesusnya lupa, ibu pasien lupa
golangan darah Ayah pasien, rhesus tidak tahu, perkawinan
konsanguinitas tidak ada
E. Riwayat Kehamilan
Ibu G2P0A1 usia 30 tahun, hamil 37-38 minggu, riwayat haid
teratur, siklus haid 28 hari, lama haid 7 hari per siklus. Ibu rutin
memeriksakan kehamilannya setiap bulan. Selama hamil ibu terkadang
merasa mual kadang disertai muntah. Ibu tidak memiliki riwayat hipertensi
selama kehamilan.Tidak ada riwayat trauma sebelum dan selama
kehamilan, dan ibu tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, asma, dan
penyakit jantung. Tidak ada riwayat perdarahan selama kehamilan.

F. Riwayat Kelahiaran

Bayi lahir di RSPAD tanggal 21/11/2020, lahir di tolong oleh dokter


secara spontan, persentasi keapala tunggal hidup, air ketuban
berwarna jernih dengan jumlah lumayan banyak, berat lahir bayi 2500
gram, dengan panjang lahir 47 cm, nilai AFGAR 8/9, tidak ada trauma
bayi saat lahiran.

G. Riwayat Imunisasi
Pasien sudah mendapatkan imunisasi Hepatitis B.0
4
H. Riwayat Nutrisi
Pasien tidak mendapatkan ASI dari ibu pasien, dikarnakan ibu masih positif
COVID-19, untuk penggantinya pasien di berikan susu formula.

I. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak ke 2 dari dua bersaudara, ada riwayat keguguran pada
ibu pasien yaitu pada kehamilan anak pertama pada saat usia kandungan 3
bulan.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Panjang Badan :47 cm

Berat Badan :2500 gram

Lingkar kepala :31 cm

Lingkar dada :30 cm

Lingkar perut :30 cm

A. Keadaan Umum :Sakit ringan

kesadaran :Composmentis
B. Tanda Vital
Nadi : 128 x/menit, reguler, isi cukup, simetris di 4 ektremitas.
Respirasi : 35 x/menit, abdoinal, reguler, dalam.
Suhu : 36,7°C,
SpO2 : 97 %
C. Status Generalis

Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
refleks cahaya ada, pupil isokor diameter 2mm/2mm.
Hidung : napas cuping hidung tidak ada
Telinga : sekret tidak ada
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-)
Leher : kelenjar getah bening tidak membesar
Toraks : Bentuk simetris

5
Pulmo : Retraksi tidak ada
Vesicular Breathing Sound kanan = kiri
tidak ada Rhonki , tidak ada wheezing.

Cor : S1S2 reguler normal


Murmur - , Gallop -
Abdomen : Teraba supel, bising usus ada, tidak ada pembesaran
organ
Kulit : Tampak kuning dari kepala hingga pusar bagian
bawah (Kremer III)
Ekstremitas : Akral hangat
Edema tidak ada
Capillary Refill Time < 3 detik
D. Ballard Score
.
Didapatkan skornya 35 = Usia gestasi nya 35 Minggu

6
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (24/11/20) 10:37:42

JENIS HASIL Nilai Rujukan


PEMERIKSAAN
HEMATOLOGI
Golongan darah 0
Rhesus Positif
KIMIA KLINIK
Bilirubin total 13,18 <1,5 mg/dl
Bilirubin Direl 0,44 <0,3 mg/dl
Bilirubin Indirek 12,74 <1,1 mg/dl

V. RESUME
Bayi lahir secara spontan di tolong oleh dokter, dengan berat badan lahir 2500 gram dan
panjang badan 47 cm, bayi lahir dari ibu G2POA1 usia 30 tahun lahir dengan usia kehamilan
37-38 minggu (Aterm). Bayi lahir pukul 11.00 Wib, jenis kelamin perempuan, kondisi lahir
segera menangis, gerak aktif, tangis kuat. Apgar Score 8/9, bayi tidak sesak dan retraksi, dan
tidak tampak kebiruan.pada usia 3 hari pasca lahir bayi tampak kuning di bagian kepala
sampai bawah pusar, kuning tampak pertama kali di bagian kepala lalu menjalar sampai
bagian bawah pusar, pada pemeriksaan fisik pada kulit di dapatkan ikterus kremer III.

Keadaan umum pasien tampak sakit ringan dengan kesadaran komposmentis, pemeriksaan
tanda vital didaptkan denyut nadi 128x/menit, isi cukup, reguler, Frekuensi pernafasan 35
x/menit, abdominal, reguler, dan saturasi oksigen 97%.

Hasil laboratorium darah (24 November 2020) didapatkan adanya peningakatan kadar
bilirubin.

VI. DAFTAR MASALAH


1. Hiperbilirubin hari ke 3

VII. DIAGNOSIS BANDING


7
1. Ikterus Neonatorum
2. Breastfeeding Jaundice
3. Inkompatibilitas ABO

VIII. DIAGNOSIS KERJA

• Neonatus Cukup Bulan (NCB)-sesuai masa kehailan (SMK), kehamilan (37-38 Minggu,
BBL 2500)
• Ikterus Neonatorum

IX. PENATALAKSANAAN

• Termoregulasi
Rawat Inkubator, Target suhu 36,5-37,5 C
• Cairan/nutrisi Adekuat
Pemberian Pasi 8 x15 ml
• Foto terapi
• Observasi keadaan umum dan Tanda vital

X. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanationam : ad bonam

XI. EDUKASI
Edukasi orang tua mengenai penyakit pasien
Edukasi orang tua mengeni faktor risiko penyebab penyakit pasien
Edukasi orang tua mengenai terapi penyakit pasien

XII. FOLLOW UP
11/11/2020
S : Bayi Ny. S, usia 3 hari, hari perawatan ke 1 O
: Keadaan Umum : Sedang

8
Kesadaran : Compos Mentis
Nadi : 150 x/menit
Respirasi : 50 x/menit
SpO2 : 98%
Suhu : 36.6°C
Sesak : (-)
Retraksi : Tidak ada
Kulit : tampak kuning dari kepala hingga kaki (Kramer IV)
Muntah tidak ada, BAK ada, BAB ada, Menangis ada, gerak aktif
A : Hiperbilirubin

NCB-SMK)

P :

PASI 8 x 15 ml
Pantau keadaan uum dan tanda vital
Pantai BAB dan BAk

9
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikterus
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah.1 Warna kuning tersebut tampak pada sklera,
membran mukosa, wajah, frenulum, palmar creases, yang meluas sesuai arah sefalokaudal ke
dada, perut, kemudian ekstremitas. Neonatus akan tampak kuning apabila kadar bilirubin >5
mg/dl.2 Ikterus tampak lebih nyata bila terdapat prematuritas, asidosis, hipoalbumin, dan
dehidrasi. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi
optimal sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal, menyebabkan
dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Dengan menggunakan nomogram dapat
dilihat kadar normal dan nilai tinggi bilirubin dalam darah, dengan menggunakan persentil
sesuai umur.3

2.2 Metabolisme Bilirubin


a. Pembentukan bilirubin
Bilirubin merupakan produk akhir dari metabolisme portoporfirin besi atau heme, 75%
berasalah dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokorm, katalase dan heme
bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Kecepatan
produksi bilirubin adalah 8-10mg/kg BB/ hari pada neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kg
BB/ hari pada orang dewasa sehat.1,4 Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram
berat badan karena massa eritrositnya lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek (70-90
hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan reabsopsi bilirubin
dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik).4 Langkah oksidasi yang pertama adalah
biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase, yaitu suatu enzim
yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan oragan lain. Pada reaksi tersebut juga
terbentuk besi yang digunakan untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO)
yang dieksresikan ke dalam paru, Biliverdin kemudain akan direduksi menjadi bilirubin oleh
enzim biliverdin reduktase.4
10
b. Transportasi bilirubin
Hasil akhir dari proses metabolisme ini adalah bilirubin indirek yang tidak larut dalam
air dan non polar, yang terikat pada albumin dalam sirkulasi. Bayi baru lahir memiliki
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin rendah
dan kapasitas ikatan molar yang kurang.bilirubin yang terikat pada albumin serum ini
merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasi ke dalam
selhepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat
dan bersifat non-toksik.4
c. Bilirubin intake dan konjugasi bilirubin
Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme oleh hati menjadi bilirubin direk
(bilirubin diglukuronida) di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate
glucuronosyl transferase (UDPGT; glucuronyl transferase). Proses konjugasi ini juga dibantu
oleh enzim Glutathione Transferase (GST), di mana GST berfungsi mencegah effluks
bilirubin dari hepatosit dan membantu pengikatan bilirubin dengan UDPGT. Berkurangnya
kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap
pembentukan ikterus fisiologis. Bilirubin direk akan disekresikan ke dalam sistem bilier oleh
transporter spesifik (Multidrug Resistant Protein, MRP), yang kemudian disimpan dalam
kandung empedu hingga dikeluarkan ke dalam duodenum oleh rangsangan cholecystokinin
(CCK) saat makan.2,4
d. Eksresi bilirubin
Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi
hepatosit melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Bilirubin yang mencapai usus akan
terhidrogenasi oleh flora normal di usus menjadi urobilinogen dalam bentuk stercobilinogen
dimana zat ini akan diekskresikan melalui feces dan membuat warna feces menjadi hijau
kecoklatan. Di sisi lain, bilirubin terkonjugasi juga akan beredar di pembuluh darah dan
diekskresikan melalui ginjal melalui perubahan menjadi urobilinogen yang mewarnai urin
menjadi kuning. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh enzim beta-
glukoronidase yang terdapat pada epitel usus, kemudian bilirubin indirek yang dihasilkan ini
akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi dan diikat oleh albumin kembali ke hati, yang dikenal
sebagai siklus enterohepatik. Bilirubin sendiri berguna sebagai antioksidan poten serta
pengikat peroksil, dan dapat melindungi neonatus dari toksisitas oksigen pada hari-hari
pertama kehidupan. Walaupun bilirubin memiliki peran fisiologis sebagai antioksidan,
11
peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi/indirek secara memiliki potensial neurotoksik
karena sifatnya yang lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak. Sedangkan, bentuk
terkonjugasi tidak neurotoksik, hiperbilirubinemia direk mengindikasikan gangguan hepatik
yang serius atau penyakit sistemik.
Mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim beta-glukoronidase
yang dapat menghidrolisis monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin tak
terkonjugasi yang dapat diabsorpsi kembali. Pada bayi baru lahir, lumen usus halus steril
sehingga bilirubin terkonjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin. Bayi baru lahir
memiliki konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi relatif tinggi dalam usus karena peningkatan
produksi bilirubin, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih (diperkuat oleh aktivitas
beta-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi),
konsentrasi bilirubin yang tinggi dalam mekonium. Kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen akan meningkatkan pool bilirubin usus.4
2.3 Patofisiologi Ikterus
Mekanisme terjadinya ikterus dapat disebabkan oleh adanya abnormalitas dari:
1. produksi bilirubin,
2. ambilan bilirubin oleh hepatosit,
3. Ikatan bilirubin intrahepatosit,
4. Konjugasi bilirubin,
5. Sekresi bilirubin, dan
6. Ekskresi bilirubin.
Abnormalitas yang terjadi dapat melibatkan beberapa dari penyebab di atas. Misalnya
pada kasus peningkatan bilirubin akibat hemolisis yang berlebih akan menyebabkan
kerusakan hepatosit atau duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi,
dan ekskresi bilirubin. Selain itu, gangguan ekskresi bilirubin dapat mengganggu proses
ambilan dan transpor bilirubin ke hati, serta kerusakan hepatoselular memperpendek umur
eritrosit yang akan meningkatkan hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin
oleh hepatosit.
Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan
konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek/unkonjugasi. Penurunan
ekskresi bilirubin menghasilkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis.
Sedangkan jika mekanismenya bersifat campuran maka akan terjadi peningkatan kedua jenis
12
bilirubin.4

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin4


2.4 Ikterus Fisiologis (Ikterus Neonatorum)
Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu
pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan
mencapai puncak sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun
dengan cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sekitar 1 mg/dL selama
1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan
mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg.dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa
terjadi dalam 2-4 minggu, bahkan dapat mencaai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi
dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan pencegahan.
Peningkatan sampia 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan 15 mg/dL tanpa

13
disertai kelainan metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat <2 mg/dL dan
berkisar 1,4-1,9 mg/dL.4
Faktor risiko yang meningkatkan kadar bilirubin indirek antara lain usia maternal, ras,
diabetes pada ibu, prematuritas, obat, ketinggian, polisitemia, laki-laki, trisomi 21,
cephalohematoma, induksi oksitosin, ASI, dehidrasi/deprivasi kalori, perlambatan pasase
usus dan riwayat keluarga/saudara yang memiliki ikterus fisiologis.2
Table 1. Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis4
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin
yang tersedia Peningkatan sel darah merah
• Peningkatan Penurunan umur sel darah
produksi bilirubin merah
Peningkatan early bilirubin
Peningkatan aktifitas β-
• Peningkatan glukoronidase
resirkulasi melalui Tidak adanya flora bakteri
enterohepatik shunt Pengeluaran meconium yang
terhambat
Penurunan bilirubin
clearance Defisiensi protein karier
• Penurunan clearance Penurunan aktifitas UPDGT
dari plasma
• Penuruanan
metabolism hepatic

Ikterus fisiologis mempunyai karakteristik sebagai berikut:2


1. Muncul setelah 24 jam.
2. Berlangsung kurang lebih 7 hari (pada bayi cukup bulan) hingga 14 hari (pada bayi
prematur).
3. Peningkatan terutama terdiri dari bilirubin indirek.
4. Kadar tertinggi bilirubin total kurang dari 15 mg/dL dan bilirubin direk < 2 mg/dL.

14
5. Tidak terdapat kondisi patologis lain
Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat dipikirkan
hanya apabila sebab lain telah disingkirkan berdasarkan riwayat, temuan klinis, dan
laboratorium.

2.5 Ikterus Neonatus Patologis


Ikterus dianggap patologis bila waktu kemunculannya, durasi dan pola berbeda dariIkterus
pada neonatus perlu pemeriksaan lebih lanjut apabila terdapat kriteria berikut ini:2,4
1. Ikterus telah timbul pada saat kelahiran atau kurang dari 24-36 jam masa kehidupan.
2. Laju kenaikan bilirubin serum >5mg/dl/24 jam
3. Kadar bilirubin >12 mg/dL pada bayi cukup bulan, khususnya bila tidak ada faktor risiko
atau 10-14 mg/dL pada bayi prematur
4. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi
kurang bulan
5. Fraksi bilirubin direk >2 mg/dL pada kondisi apapun
6. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada bayi (muntah, letargis, malas
menyusu, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, instabilitas suhu, feses
pucat, urin gelap, kernikterus)
7. Terdapat riwayat keluarga: penyakit hemolitik, pucat, hepatomegali, splenomegali,
kegagalan fototerapi untuk menurunkan kadar bilirubin

2.6 Ikterus Kolestasis2


Kolestasis neonatus didefinisikan sebagai kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL bila
bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk > 20 % dari bilirubin total bila kadar bilirubin
total > 5 mg/dL. Manifestasi klinik yang ditimbulkan dari kolestasis ini adalah ikterus dan
urin menjadi kuning tua karena bilirubin direk bersifat larut dalam air.
Secara klinis, kolestasis pada neonatus dibagi menjadi dua, yaitu sindrom hepatitis
neonatal dan kolestasis ekstrahepatik. Sindrom Hepatitis neonatal dapat disebabkan oleh
berbagai hal, seperti infeksi (bakteri, toxoplasma, virus, rubella, cytomegalovirus,
herpesvirus) dan kelainan metabolik (sindrom Alagille, kelainan endokrin, kelainan
kromosom, hepatitis neonatal idiopatik, nutrisi parenteral). Kolestasis ekstrahepatik meliputi
atresia bilier, kista duktus koledokus, perforasi spontan duktus bilaris komunis. Setiap
15
neonatus yang mengalami kolestasis harus dievaluasi lebih lanjut dan perlu dipikirkan
penyakit-penyakit yang perlu ditangani segera, seperti sepsis, obstruksi bilier, serta
komplikasi yang akan terjadi. Komplikasi yang terjadi dapat meliputi koagulopati karena
hipoprotrombinemia atau defisiensi vitamin K dan konsekuensi nutrisi akibat malabsorbsi
lemak perlu dipertimbangkan karena terapi akan memperbaiki outcome dan kualitas hidup
pasien.
Tahapan evaluasi yang perlu dilakukan pada pasien dengan kolestasis neonatus adalah
- Evaluasi Klinik, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan warna BAB
- Pemeriksaan bilirubin direk, indirek, serta asam empedu
- Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (AST, ALT, fosfatase alkali, GGT)
- Tes fungsi hati (albumin, waktu protrombin, glukosa darah, amonia)
- Singkirkan penyebab yang dapat diterapi
- Bedakan obstruksi ekstrahepatik dengan kelainan intrahepatik
- USG Abdomen
- Biopsi hati

2.7 Pendekatan Klinis Ikterus


Pendekatan klinis ikterus dimulai dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang yang relevan. Pemeriksaan fisis ikterus dapat dilakukan secara kasar
dengan menggunakan aturan Kramer:
Tabel 2. Kadar bilirubin total berdasarkan Kramer1
Kramer Bilirubin Indirek Manifestasi icterus
(mg/dL)
1 4–8 Kepala dan leher
2 5 – 12 Tubuh di atas pusat
3 8 – 16 Tubuh di bawah pusat
4 11 – 18 Lengan dan tungkai
5 > 15 Telapak tangan dan telapak
kaki

Salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana

dan mudah adalah dengan Penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari
16
telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,

dada, lutut, dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian

kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah

diperkirakan kadar bilirubinnya.

Gambar 2 kriteria kammer

Pendekatan untuk mencari etiologi ikterus dapat dilakukan berdasarkan jenis


hiperbilirubinemia dan usia munculnya ikterus, karena keduanya dapat menunjukkan
penyebab yang spesifik. Jenis dan derajat hiperbilirubinemia akan menentukan apakah ikterus
yang terjadi merupakan ikterus fisiologis atau patologis. Langkah pertama evaluasi ialah
menentukan jenis hiperbilirubinemia. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia indirek terjadi
pada bayi sehat akibat gangguan pada beberapa mekanisme. Hiperbilirubinemia dibagi
menjadi 2 kategori, yaitu bilirubin direk (terkonjugasi) dan indirek (tidak terkonjugasi).
Peningkatan bilirubin indirek (lebih dominan dibanding bilirubin direk) disebabkan oleh
peningkatan produksi bilirubin, gangguan ambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi
bilirubin. Sedangkan peningkatan kedua fraksi bilirubin merupakan akibat penyakit
hepatoseluler, gangguan ekskresi kanalikuler, maupun obstruksi bilier. Berdasarkan usia maka
hiperbilirubinemia dapat dibagi menjadi hiperbilirubinemia neonatus, bayi, atau anak. Berikut
beberapa algoritma yang dapat dipakai untuk pendekatan ikterus:2

17
Gambar 2. Pendekatan hiperbilirubinemia pada neonatus.2

18
Gambar 3. Pendekatan diagnosis pada ikterus neonatus2

Tabel 3. Etiologi ikterus neonatus sesuai onset.2

Evaluasi hiperbilirubinemia pada neonatus


19
a. Tak terkonjugasi: fraksi bilirubin serum (total, direk, indirek); golongan darah (ABO dan
Rhesus) ibu dan bayi; hemoglobin/hematokrit/retikulosit/trombosit; Uji Coombs; sediaan
apus darah; work up sepsis; skrining tiroid (T3, T4, TSH); G6PD.
b. Terkonjugasi: SGOT dan SGPT; PT dan APTT; serum albumin; skrining TORCH; work
up sepsis; skrining metabolik; skrining galaktosemia; USG abdominal; sweat chloride

2.8 Kernikterus dan Bilirubin Ensefalopati


Kadar bilirubin tak terkonjugasi dapat melebihi kapasitas ikatan albumin, dan terjadi
deposisi bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama ganglia basalis, pons, dan serebelum,
menyebabkan perubahan neuropatologi. Insidens meningkat pada kadar bilirubin diatas 20
mg/dL, dan dapat terjadi pada keadaan sepsis, meningitis, hemolisis, hipoksia, hipotermia,
hipoglikemia, dan prematuritas. Kern ikterus adalah keadaan klinis yang kronik dengan
sekuele yang permanen karena toksik bilirubin. Manifestasi klinis kern ikterus (tahap kronik
bilirubin ensefalopati) adalah athenoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
displasia dental-enamel, paralisis upward gaze. Akut bilirubin ensefalopati adalah manifestasi
klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada SSP yaitu basal ganglia dan berbagai
nuklei batang otak, tampak pada minggu pertama setelah lahir. Manifestasi klinis adalah
letargi, hipotoni, refleks hisap buruk, kejang, muntah, high-pitched cry. Fase intermediate
ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan hipertoni (opistotonus dan retrocollis), bayi
demam, bulging fontanelle, dan perdarahan pulmonar. Selanjutnya akan menjadi hipotonia,
retardasi mental, gangguan perkembangan motorik, gangguan pendengaran sensorineural,
gangguan penglihatan dan extrapyramidal abnormalities (choreoathetoid cerebral palsy).3
Tabel 4. Manifestasi Klinis Kernicterus

20
2.9. Penilaian Risiko
Sebelum dipulangkan dari pusat perawatan, setiap bayi baru lahir harus dinilai risiko
untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat. Hal ini perlu terutama pada bayi yang akan
dipulangkan sebelum berusia 72 jam. American Academy of Pediatric merekomendasikan
untuk menilai Total Bilirubin Serum atau Transcutaneous Bilirubin dan/atau menilai faktor
risiko klinis. Nilai Total Bilirubin Serum dapat diperoleh saat melakukan pemeriksaan rutin.
Pada bayi dengan nilai Total Bilirubin Serum rendah menurut nomogram memiliki resiko
rendah untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat.4

Gambar 4. Nomogram penilaian risiko hiperbilirubinemia pada bayi dengan usia gestasi 36
minggu/lebih dengan BB lahir 2000 gram/lebih, dan pada bayi dengan usia gestasi 35
minggu/lebih dengan BB lahir 2500 gram/lebih.
Tabel 5. Faktor risiko untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat pada neonatus usia kehamilan
35 minggu/lebih

21
2.10. Tatalaksana Ikterus Neonatorum
Prinsip penatalaksanaan ikterus neonatorum secara umum adalah:4
1. Mengobati sesuai penyebab
2. Memperbaiki hidrasi
Terutama dilakukan dengan pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk
mengurangi sirkulasi enterohepatik, menunjang kestabilan flora normal, dan merangsang
aktifitas usus halus.
3. Terapi sinar
Terapi sinar untuk menurunkan kadar bilirubin indirek pada bayi dengan
hiperbilirubinemia/ ikterus non fisiologis. Indikasi dapat dilihat pada protokol fototerapi
yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric 2004. Faktor risiko yang
meningkatkan keperluan untuk dilakukan terapi sinar adalah penyakit hemolitik isoimin,
defisiensi G6PD, asfiksia, letargi yang signifikan, instabilitas suhu, asidosis, dan albumin
<3 gr/dL. Sinar yang direkomendasikan adalah sinar biru dengan panjang gelombang
430-490 nm. Radiasi yang diberikan oleh lampu foton tersebut akan mengubah struktur
bilirubin sehingga bilirubin akan diekskresikan ke empedu atau urine melalui
22
fotoisomerisasi, tanpa membutuhkan glukoronidase hepatik. Bilirubin harus dimonitor
selama dan setelah terapi, risiko rebound karena fotoisomerisasi reversible setelah terapi
dihentikan. Kontraindikasi untuk hiperbilirubinemia terkonjugasi. Efek samping
fototerapi adalah dehidrasi hipernatremik, kerusakan retina, diare, dan kelainan kulit
(hiperpigmentasi, ruam, eritema, luka bakar), hipertermi, bronze baby syndrome. Terapi
sinar dihentikan bila kadar bilirubin turun dibawah batas untuk dilakukan terapi sinar atau
mendekati nilai dilakukan untuk transfusi tukar.

Gambar 5. Guideline fototerapi pada neonatal dengan usia gestasi  35 minggu.3

Tabel 6. Indikasi fototerapi berdasarkan BBLR.5


Berat badan Kadar bilirubin (mg/dL)
(gram)
< 1000 Fototerapi dimulai dalam 24 jam
pertama
1000 -1500 7-9
1500-2000 10-12
2000-2500 13-15

23
4. Transfusi tukar
Transfusi tukar dilakukan apabila terapi sinar gagal menurunkan kadar bilirubin total.
Transfusi tukar merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin
serum dan mencegah efek toksik bilirubin. Indikasi transfusi tukar dapat dilihat pada
protokol yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric 2004. Transfusi tukar
direkomendasikan bila Total Serum Bilirubin cenderung naik walau sudah dilakukan
fototerapi intensif. Transfusi tukar harus segera dilakukan bila bayi menunjukkan
tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, arching, retrokolis, opistotonus,
demam, high pitched cry) atau bila Total Serum Bilirubin berada ≥ 5 mg/dL dari garis
kurva. Faktor risiko yang meningkatkan kebutuhan untuk dilakukan transfusi tukar
adalah penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas suhu,
sepsis, asidosis. Selain kadar bilirubun, indikasi transfusi tukar juga dapat dilihat
dengan rasio Bilirubin/Albumin.
Darah yang digunakan untuk transfusi tukar merupakan modified whole blood ( RBC
dan plasma) yang kompatibel dengan bayi dan crossmatch dengan ibu.

Gambar 6. Guideline tranfusi tukar pada neonatal dengan usia gestasi  35 minggu.3
24
Tabel 7. Rasio Bilirubin/Albumin ( B/A) untuk indikasi dilakukan transfusi tukar.2

25
BAB III
DISKUSI

Pasien merupakan bayi Cukup bulan dengan usia gestasi 31 minggu. Pasien Lahir
secara spontan pada ibu yang positif COVID -19
Pada kasus ini, bayi usia 3 hari berat 2500 gram, dengan keluhan badan menguning
sejak usia 3 hari setelah lahir. Berdasarkan keluhan tersebut yang pertama kali harus
dipikirkan adalah bahwa pasien mengalami ikterus neonatorum. Kemudian harus dibedakan
apakah ikterus pada pasien ini merupakan kelainan fisiologis atau patologis. Ikterus pada
pasien diduga diakibatkan hiperbilirubinemia yang bersifat patologis. Bersifat patologis
dikarenakan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda ke arah sepsis pada
pasien, seperti adanya takikardi, terdapat napas cuping hidung dan retraksi otot-otot bantu
napas, bayi merintih.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, terdapat beberapa
diagnosis banding yang disingkirkan:
- riwayat buang air besar pasien berwarna kehijauan, riwayat BAB yang berwarna seperti
dempul dan BAK berwarna teh disangkal. Dengan adanya riwayat BAB pasien yang
berwarna kehijauan dan tidak adanya riwayat BAB seperti dempul menunjukkan bahwa
kemungkinan pada pasien dapat disingkirkan penyebab obstruksi seperti atresia bilier. Pada
ikterus obstruksi atau kolestasis, BAB pasien biasanya berwarna seperti dempul oleh
karena empedu tidak dapat diekskresikan ke duodenum sehingga tidak dapat dihasilkan
sterkobilin yang mewarnai feses dan hasilnya adalah feses yang berwarna pucat seperti
dempul. Ikterus dari deposit bilirubin indirek pada kulit memperlihatkan kuning yang cerah
atau orange, sedangkan ikterus tipe obstruktif memiliki kuning kehijauan pada kulit. Pada
pemeriksaan fisik pasien hari ke 3, kulit pasien berwarna kekuningan dengan krammer IV.
Pada pemeriksaan laboratorium ada peningkatan bilirubin direk, namun peningkatan
bilirubine direk tidak >20%. Dengan pemeriksaan lab tersebut dan tidak adanya BAB
dempul, kemungkinan disebabkan adanya cholestasis dapat disingkirkan.
- Pasientidak dicurigai mengalami sepsis awitan dini ada karena pasien sejak awal kelahiran
pasien tidak mengalami distres pernapasan, pasien tampak compomentis, skor APGAR di
dapatkan 8/9, Saat pemeriksaan kondisi hemodinamik pasien juga belum stabil, pasien
tampak tenang dan aktif, Pada pemeriksaan laboratorium pada umur 3 hari, didapatkan
26
kadar Bilirubin meningkat. Kemungkinan hiperbilirubinemia dikarenakan ikterus
neonatorum.
- Kemungkinan kuning bukan disebabkan karena kelainan hemolisis karena munculnya saat
3 hari dan pada bayi ini didapatkan tidak adanya inkompatibilitas golongan darah terhadap
ibunya. Golongan darah ibu B/Rh + dan anak O/Rh +.
- Tidak ada riwayat terpapar hewan peliharaan atau mengkonsumsi daging/sayuran tidak
matang menurunkan kecurigaan terhadap infeksi TORCH pada pasien dapat disingkirkan.
Riwayat pemakaian obat pada saat hamil juga disangkal.
- Dari keterangan riwayat kelahiran pasien tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada saat
lahir, yang dapat menyebabkan terjadinya cephalohematoma yang akan menyebabkan
kuning akibat lisis hematoma.
- Riwayat kelainan pembekuan darah pada anggota keluarga pasien disangkal.
- Fasies dari bayi termasuk normofasies tidak tampak menderita suatu sindrom.
- Pasien belum mendapatkan ASI, kemungkinan untuk brestfeeding jaundice ada.
Berdasarkan penjelasan di atas kemungkinan besar hiperbilirubinemia pada pasien
dikarenakan ikterus fisiologis, karna pada pasien tidak di temukan kecurigaan sepsis
,ditambah pasien juga lahir cukup bulan .Oleh karena itu, tatalaksana yang terpenting adalah
dengan mengatasi asupan nutrisi yang adekuat dan fototerapi, Tatalaksana yang dapat
diberikan pada pasien adalah menempatkannya dalam infant warmer dan suhu dijaga 36,5-
37,5oC karena pada bayi mudah terjadi instabilitas suhu. Pada kasus ini karena kadar bilirubin
totalnya 13 mg/dl dan berat badan 2500 g, sesuai dengan panduan terapi sinar bayi sesuai berat
badanya, premature, pasien termasuk indikasi untuk diberikan terapi sinar. Terapi sinar yang
diberikan pada pasien adalah blue light terapi.Pasien diperiksa bilirubin total, direct dan
indirect ulang untuk mengetahui perkembangan setelah fototerapi.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Martiza I. Ikterus. Dalam: Juffrie M, Soenarta SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani
NS. Buku ajar gastrenterologi hepatologi jilid I. Jakarta: IDAI; 2008. h.263,273.
2. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In:
Kliegman R, Stanton B, Schor N, St Geme J, Beherman R. Nelson Textbook of Pediatrics.
2011. Philadelphia: Elsevier; 2011. p.603-8.
3. Amerian Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn
Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2004;114;297.
4. Sukadi A. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, USman A, et al. Buku ajar
neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: IDAI; 2008. h. 147-69.
5. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al.
Hiperbilirubinemia. Dalam: Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia.
Jakarta: ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: IDAI; 2011. h.118

28

Anda mungkin juga menyukai