MENINGITIS TB
Disusun Oleh :
Risha Fairuz Fitriana
1102016188
Pembimbing :
dr. Tuty Rahayu, Sp. A (K)
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan yang Maha Esa, Allah
SWT atas berkat dan rahmat Nya, sehingga laporan kasus ini telah berhasil diselesaikan.
Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas sebagai prasyarat dalam memenuhi kegiatan
Kepaniteraan Klinik Pendidikan Profesi Dokter dalam Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Pasar Rebo Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada para pembimbing dalam Departemen Ilmu
Kesehatan Anak yang telah membimbing dan mengarahkan proses pembuatan laporan kasus
ini. Tidak ada hasil yang baik tanpa dukungan dari pihak-pihak yang memberi bimbingan,
konsultasi, serta pertolongan sehingga tersusunnya dan terselesaikannya laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya sekiranya laporan kasus ini masih memerlukan koreksi
lebih lanjut. Oleh sebab itu, penulis memohon maaf atas kekurangan dalam laporan kasus ini
serta segala kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan terbuka. Penulis
berharap laporan kasus ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
serta bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
2
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. B
Umur : 7 bulan
Tanggal Lahir : 09 Agustus 2021
Jenis Kelamin : Laki - laki
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Pule
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 23 Maret 2022
Tanggal Pemeriksaan : 31 Maret 2022
Nomor rekam medis : 2022-9144**
B. IDENTITAS WALI PASIEN
Ibu Ayah
Nama Ny. T Tn. I
Usia 34 tahun 32 tahun
Agama Kristen Kristen
Ibu Rumah Karyawan
Pekerjaan
Tangga koperasi
Pendidikan terakhir SMP SMA
Alamat Jl. Pule Jl. Pule
Hubungan dengan anak Ibu Kandung Ayah Kandung
C. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada Kamis, 31 Maret
2022.
• KELUHAN UTAMA
Penurunan kesadaran sejak 3 jam SMRS.
3
• RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
1 bulan SMRS, pasien mulai demam. Demam dirasakan mendadak, sepanjang
hari. Suhu naik turun setelah diberikan parasetamol. Hari demam ke 12, pasien
mengalami kejang. Badan kaku, mata mendelik ke atas, kejang seluruh badan, ibu
pasien tidak menghitung berapa lama kejang. Setelah kejang pasien sadar dan badan
pasien seperti lumpuh di bagian kanan, pasien tidak menggerakan tubuh bagian kanan,
ketika kepalanya jatuh ke bagian kanan pasien sering menangis. Pasien dibawa ke
klinik 3x, namun tidak ada perbaikan. Batuk, pilek, mual, muntah disangkal. Berat
badan cenderung tidak naik. Saat di klinik pasien diberikan antibiotik puyer.
2 minggu SMRS kelemahan satu sisi berkurang pada daerah lengan dan
tungkai, masih lemah saat digerakkan, dan untuk kepala, pasien masih sulit untuk
menggerakan kepala jika sudah ke arah kanan. Tidak ada periode bebas demam, suhu
masih naik turun jika diberikan obat. Pasien tidak ada kesulitan minum susu dan makan.
Nafsu makan pasien baik.
1 minggu SMRS, pasien kembali kejang dengan kejang cenderung lebih dari
10 menit. Pasien kejang mata mendelik ke atas, seluruh badan kelojotan, namun pasien
masih sadar setelah kejang.
1 hari SMRS, pasien mengalami kesulitan membuka mulut, tidak mau makan,
kepalanya berkeringat banyak, BAK dan BAB dalam batas normal.
3 jam SMRS, pasien kejang 3x selama 30 detik, mata mendelik ke atas, badan
kelojotan. Pasien lemas saat diangkat ibunya, dan tidak merespon saat diajak bicara.
• RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
a. Penyakit dengan keluhan yang sama : Disangkal
b. Riwayat Asma : Disangkal
c. Riwayat Alergi : Disangkal
d. Riwayat TB/kontak dengan pasien TB : Disangkal
e. Riwayat Kejang Demam : Disangkal
f. Riwayat DM : Disangkal
4
d. Riwayat TB : disangkal
e. Riwayat DM : disangkal
f. Riwayat Hipertensi : disangkal
• SOSIAL EKONOMI DAN LINGKUNGAN
a. Silsilah Keluarga (Genogram)
Keterangan :
• RIWAYAT PRIBADI
5
Kehamilan
Persalinan
• RIWAYAT IMUNISASI
§ Usia 0 bulan = Vaksinasi Hepatitis B0
§ Usia 1 bulan = BCG + Polio tetes 1
§ Usia 2 bulan = Hepatitis B1 + DPT 1 + Hib 1 + Polio tetes 2
§ Usia 3 bulan = Hepatitis B2 + DPT 2 + Hib 2 + Polio tetes 3
§ Usia 4 bulan = Hepatitis B3 + DPT 3 + Hib 3 + Polio tetes 4 + IPV
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia
• RIWAYAT PERKEMBANGAN
Usia 0-6 bulan
§ Motorik kasar : telungkup sendiri
§ Bahasa : mengeluarkan suara bernada tinggi
§ Motorik halus : menggenggam barang yang diulurkan
§ Personal sosial : mengamati tangannya sendiri
Kesan :
Perkembangan sesuai usia saat ini. Tidak ada keterlambatan perkembangan.
6
• POLA MAKAN
• 0 - sekarang : ASI
• 2 bulan - sekarang : ASI dan MPASI (bubur saring)
Kesan : Kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik dan saat ini pasien makan 3x
sehari dengan porsi yang cukup.
D. STATUS GENERALIS
1. PEMERIKSAAN UMUM
Pemeriksaan dilakukan di PICU pada tanggal 31 Maret 2021.
• Keadaan Umum : Tampak sakit berat
• Kesadaran : E2M3Vett
• Tanda Vital
- Tekanan Darah : 135/97 MmHg
- Nadi : 156 x/menit (takikardi)
- Pernapasan : 44 x/menit
- Suhu : 36.60C
- SPO2 : 100% dengan ventilator
• Status Gizi
- Berat Badan (BB) : 7,5 Kg
- Tinggi Badan (TB) : 73 cm
- LK : 46 cm (normocephal)
- LP : 45 cm
- LPx : 50 cm
- LiLa : 17 cm
- BB/U : − 2 SD sampai + 2 SD (Berat badan cukup)
- TB/U : −2 SD sampai + 2 SD (Perawakan normal)
- BB/TB : −2 SD sampai − 3 SD
- Kesan Gizi : Gizi kurang
7
8
2. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kepala
- Bentuk : Normocephal, ubun-ubun belum tertutup, membonjol
dan tegang, hematom (-)
- Rambut : Rambut hitam, terdistribusi merata, tidak mudah
dicabut
2. Kulit
- Warna : Sawo matang
9
- Jaringan Parut : Tidak ada
- Pigmentasi : Persebaran pigmen merata
- Turgor : Edema
- Ikterus : Tidak ada
- Sianosis : Tidak ada
- Pucat : Tidak ada
- Rambut : Dalam batas normal
3. Mata
- Exopthalmus : Tidak ada
- Enopthalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (+/+)
- Mata cekung : Tidak ada
- Konjungtiva anemis : -/-
- Sklera ikterik : -/-
- Pupil : Anisokor, 2mm/3mm
- Refleks cahaya : RCL (+/+), RCTL (+/+)
4. Hidung
- Bentuk : Normal, napas cuping hidung (-/-)
- Septum deviasi : Tidak ditemukan
- Sekret : Tidak ditemukan
5. Telinga
- Bentuk : Normotia
- Pendengaran : Dalam batas normal, nyeri tekan tragus (-)
- Darah & sekret : Tidak ditemukan
6. Mulut
- Sianosis : (-)
- Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
- Lidah : Lidah kotor (-)
- Uvula : Letak di tengah, deviasi (-)
- Faring : Hiperemis (-)
7. Leher
10
- Trakea : Tidak deviasi
- Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
- Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
- Kaku kuduk : Tidak dapat diperiksa
8. Paru-paru
- Inspeksi : Bentuk dada normochest, Pergerakan dinding dada simetris
dalam keadaan statis dan dinamis kanan kiri. Retraksi (-), jejas (-)
- Palpasi : Tidak teraba kelainan dan massa pada lapang paru.
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : Suara dasar napas vesikuler +/+, ronkhi +/+, wheezing -
/-
9. Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, gallop (-), murmur (-)
10. Abdomen
- Inspeksi : Cembung simetris
- Palpasi : Distensi (+)
- Perkusi : Timpani di seluruh kuadran, shifting dullness (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal
11. Ektremitas
- Superior : Akral hangat, CRT <2 detik, udem (+/+), sianosis (-), spastik (+/+),
ROM terbatas
- Inferior : Akral hangat, CRT <2 detik, udem (+/+), sianosis (-), spastik (+/+),
ROM terbatas
12. Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
11
HEMATOLOGI
Hematologi
Hematokrit 40 % 35-43
Hitung Jenis
Basofil 1 % 0–1
Eosinofil L0 % 1–3
Neutrofil Segmen 45 % 17 – 60
Limfosit 38 % 20 – 70
Monosit H 17 % 1 - 11
KIMIA KLINIK
GAS DARAH
pH H 7.476 7.380-7.450
12
Hct L 34 % 37-48
BE ecf L -9.4
ELEKTROLIT
IMUNOLOGI
Cairan Tubuh
Spesimen Liquor
Jumlah sel (Liquor) 24 / µL
Hitung jenis MN
Limfosit 73 %
Monosit 3 %
13
Hitung Jenis
PMN
Neutrofil 24 %
Susceptibility Isolate 1
Gentamisin S
Amoxicilin R
Rifampicin S
Piperacillin/Tazobactam S
Amoxicillim/Clavulanic Acid S
Ampicilin/Sulbactam S
Ceftobiprole S
Cefalotin S
Cefazolin S
Cefoperazone S
Cefotaxime S
Ceftazidime S
Ceftriaxone S
Cefepime S
Cefotan S
Levofloxacin S
Ofloxacin S
Moxifloxacin S
Trimethoprim/Sulfamethoxazole S
Tigecycline S
Vancomycin S
Clindamycin S
14
Azitromycin S
Clarithromycin S
Eritromycin S
Nitrofurantoin S
Doripenem S
Imipenem S
Eritapenem S
Meropenem S
Linezolid S
Benzylpenicilin R
Oxacilin S
Quinupristin/Dalfopristin S
Tetracyclin R
ELEKTROLIT
15
Klorida 100 mmol/L 98-108
HEMATOLOGI
Hematologi
Hematokrit 36 % 35-43
Hitung Jenis
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil L0 % 1–3
Neutrofil Segmen 60 % 17 – 60
Limfosit 30 % 20 – 70
Monosit 10 % 1 - 11
16
KIMIA KLINIK
ELEKTROLIT
ELEKTROLIT
HEMOSTASIS
Masa Protrombin
17
PT Kontrol 11.8 detik
APTT
ELEKTROLIT
HEMATOLOGI
Hematologi
Hematokrit L 33 % 35-43
Hitung Jenis
18
Basofil 0 % 0–1
Eosinofil L0 % 1–3
Neutrofil Segmen 46 % 17 – 60
Limfosit 45 % 20 – 70
Monosit 9 % 1 - 11
KIMIA KLINIK
IMUNOLOGI
19
Kesan :
- Infiltrat di perihiller bilateral, DD / pneumonia, proses spesifik.
- Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung.
- ETT dengan tip sekitar 2 korpus diatas karina.
- CVC dengan tip di proyeksi v. cava superior.
- Tidak tampak gambaran pneumothoraks, pneumomediastinum maupun emfisema
subkutis.
20
Kesan :
- Infark luas hemisfer cerebri kiri suspek oklusi a. carotis interna kiri.
- Infark di lobus frontoparietal kana sesuai teritori ACA kanan, basal ganglia kanan dan
pons paramedian kiri
- Ventrikulomegali lateral bilateral, III dan IV.
- Edema cerebri.
- Pasca kontras tampak penyengatan di sisterna basalis dan sulci frontoparietal kanan,
suspek meningitis.
SCORING TB ANAK
21
SKORING PELOD-2
22
NILAI TOTAL 8
F. RESUME
An. B, laki-laki, 7 bulan, datang ke IGD RSUD Pasar Rebo dengan keluhan
penurunan kesadaran setelah kejang 3x selama 30 detik saat 3 jam SMRS. Kejang
didahului demam sejak 4 minggu SMRS. 3 minggu SMRS pasien kejang dan
mengalami hemiparesis dextra yang perlahan-lahan berkurang selama 1 minggu. 1
hari SMRS pasien kesulitan membuka mulut, tidak mau makan, dan banyak
berkeringat.
Pada pemeriksaan tanggal 31 Maret 2022 di PICU ditemukan pasien tampak sakit
berat, terintubasi dan terpasang kateter foley dan NGT, dengan kesan penurunan
kesadaran (GCS E2M3Vett) dan takikardi. Pupil anisokor (2mm/3mm), RCL/RCTL
23
(+/+), NCH (-), ronkhi (+/+), retraksi (-). Abdomen distensi, udem anasarka, dan
ekstremitas spastik. TRM tidak dapat diperiksa.
G. DIAGNOSIS
Meningitis TB
Sepsis
TB Paru terkonfirmasi bakteriologis
H. DIAGNOSIS BANDING
Meningitis bakterialis
I. TATA LAKSANA
Non medikamentosa
a. IVFD RA 3cc/24jam
b. Susu 8 x 60cc per NGT
Medikamentosa
a. Metilprednisolon 3x8mg
b. Inj. Meropenem 2x300mg
c. Inj. Phenitoin 2x30mg
d. Inj. Dexametason 3x5mg
24
e. Inj. Paracetamol 4x100mg
f. Inj. Ranitidin 3x5mg
g. Glaucon 3x50mg
h. 3FDC 1x1
i. ETB 1x125mg
j. Inhalasi N4C1 per 8 jam
J. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Dubia ad malam
Quo Ad Functionam : Dubia ad malam
Quo Ad Sanactionam : Dubia ad bonam
K. FOLLOW UP
O/ O/
Kesadaran : (GCS : E2M3Vett) Kesadaran : (GCS : E2M3Vett)
TD : 129/82 mmHg TD : 158/99 mmHg
HR : 158 x/min HR : 197 x/min
RR : 31 x/min RR : 57 x/min
Suhu : 36,5°C Suhu : 36,7°C
SaO : 100% dengan ventilator
2 SaO : 100% dengan ventilator
2
25
Jantung: BJ I/II regular, murmur (-), Jantung: BJ I/II regular, murmur (-),
gallop (-) gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), Pulmo : vesikuler (+/+), ronkhi (+/+),
wheezing (-/-), retraksi dada(-) wheezing (-/-), retraksi dada(-)
Abdomen : Distensi, BU (+), Nyeri Abdomen : Distensi, BU (+), Nyeri
tekan (-) tekan (-)
Ekstremitas : akral hangat, kaku Ekstremitas : akral hangat, kaku
+/+/+/+, CRT >3 detik, edema (+) +/+/+/+, CRT >3 detik, edema (+)
Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium
Hematologi lengkap Elektrolit
Hemoglobin : 12.5 g/dL Natrium : 127 mmol/L
Hematokrit : 36 % Kaliuum : 4.5 mmol/L
Eritrosit : 5.1 juta/uL Klorida : 96 mmol/L
Leukosit : 24.56 10^3/uL
Trombosit : 365 ribu/uL
Hitung Jenis
Limfosit absolut : 7368 /uL
Elektrolit
Natrium : 124 mmol/L
Kaliuum : 3.4 mmol/L
Klorida : 94 mmol/L
Kimia Klinik
SGOT : 91 U/L
SGPT : 54 U/L
P/ P/
IVFD RA IVFD RA
Inj. Meropenem 2x300mg Inj. Meropenem 2x300mg
Inj. Phenitoin 2x30mg Inj. Phenitoin 2x30mg
Inj. Dexametason 3x5mg Inj. Dexametason 3x5mg
Inj. Paracetamol 4x100mg Inj. Paracetamol 4x100mg
26
Inj. Ranitidin 3x5mg Inj. Ranitidin 3x5mg
Glaucon 3x50mg Glaucon 3x50mg
KSR 1x50mg KSR 1x50mg
3FDC 1x1 3FDC 1x1
ETB 1x125mg ETB 1x125mg
Inhalasi N4C1 Inhalasi N4C1
O/ O/
Kesadaran : (GCS : E2M3Vett) Kesadaran : (GCS : E2M3Vett)
TD : 137/95 mmHg TD : 110/71 mmHg
HR : 162 x/min HR : 158 x/min
RR : 36 x/min RR : 28 x/min
Suhu : 36,8°C Suhu : 36,2°C
SaO : 100% dengan ventilator
2 SaO : 100% dengan ventilator
2
27
Ekstremitas : akral hangat, kaku Ekstremitas : akral hangat, kaku
+/+/+/+, CRT <3 detik, edema (+) +/+/+/+, CRT <3 detik, edema (+)
P/ P/
IVFD RA IVFD RA
Inj. Meropenem 2x300mg Inj. Meropenem 2x300mg
Inj. Phenitoin 2x30mg Inj. Phenitoin 2x30mg
Inj. Dexametason 3x5mg Inj. Dexametason 3x5mg
Inj. Paracetamol 4x100mg Inj. Paracetamol 4x100mg
Inj. Ranitidin 3x5mg Inj. Ranitidin 3x5mg
Glaucon 3x50mg Glaucon 3x50mg
KSR 1x50mg KSR 1x50mg
3FDC 1x1 3FDC 1x1
ETB 1x125mg ETB 1x125mg
28
Inhalasi N4C1/8 jam Inhalasi N4C1/8 jam
29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Meningitis adalah suatu peradangan selaput jaringan otak. Peradangan tersebut
mengenai araknoid, piamater, dan cairan serebrospinalis. Meningitis tuberkulosis adalah
radang selaput otak yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. 1
1. Duramater
Dura kranialis atau pachymeninx adalah suatu struktur fibrosa yang kuat dengan suatu
lapisan dalam (meningeal) dan lapisan luar (periostal). Kedua lapisan dural yang
melapisi otak umumnya bersatu, kecuali di tempat di tempat dimana keduanya berpisah
untuk menyediakan ruang bagi sinus venosus (sebagian besar sinus venosus terletak di
antara lapisan-lapisan dural), dan di tempat dimana lapisan dalam membentuk sekat di
antara bagian-bagian otak.
Duramater lapisan luar melekat pada permukaan dalam cranium dan juga
membentuk periosteum, dan mengirimkan perluasan pembuluh dan fibrosa ke dalam
tulang itu sendiri; lapisan dalam berlanjut menjadi dura spinalis.Septa kuat yang berasal
darinya membentang jauh ke dalam cavum cranii. Di anatara kedua hemispherium
terdapat invaginasi yang disebut falx cerebri. Ia melekat pada crista galli dan meluas ke
crista frontalis ke belakang sampai ke protuberantia occipitalis interna, tempat dimana
duramater bersatu dengan tentorium cerebelli yang meluas ke dua sisi. Falx cerebri
membagi pars superior cavum cranii sedemikian rupa sehingga masing-masing
hemispherium aman pada ruangnya sendiri. Tentorium cerebelli terbentang seperti
tenda yang menutupi cerebellum dan letaknya di fossa craniii posterior. Tentorium
melekat di sepanjang sulcus transversus os occipitalis dan pinggir atas os petrosus dan
processus clinoideus. Di sebelah oral ia meninggalkan lobus besar yaitu incisura
30
tentorii, tempat lewatnya trunkus cerebri. Saluran-saluran vena besar, sinus dura mater,
terbenam dalam dua lamina dura.
2. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya terpisah
dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi spatium
subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum subarachnoidalis dan
dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang membentuk suatu
anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam
sinus-sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi
arachnoidea). Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis
superior dalam lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki
circulus venosus melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam
tulang (foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun rongga
tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak. Pelebaran
rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut struktur otak
31
yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan cisterna yang
berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas
subarachnoid di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini
bersinambung dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada
aspek ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah
cerebrum terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini
dibagi menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di
atas diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum.
Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna fissure
lateralis (cisterna sylvii).
3. Piamater
Piamater merupakan selaput jaringan penyambung yang tipis yang menutupi
permukaan otak dan membentang ke dalam sulcus,fissure dan sekitar pembuluh darah
di seluruh otak. Piamater juga membentang ke dalam fissure transversalis di abwah
corpus callosum. Di tempat ini pia membentuk tela choroidea dari ventrikel tertius dan
lateralis, dan bergabung dengan ependim dan pembuluh-pembuluh darah choroideus
untuk membentuk pleksus choroideus dari ventrikel-ventrikel ini. Pia dan ependim
berjalan di atas atap dari ventrikel keempat dan membentuk tela choroidea di tempat
itu.
32
Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal
LCS terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara
keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan
apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa,
volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara normal ± 150 ml; bagian
internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira setengah jumlah ini. Antara 400-
500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan direabsorpsi setiap hari.
3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air; perubahan
yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan. Takanan meningkat
bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya, pada tumor), volume
darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal (pada hydrocephalus)
karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak
dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.
4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
33
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan
memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas
otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi)
ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya
berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai
daerah – kebanyakan di atas konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal
minimum harus ada untuk mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu
sirkulasi cairan cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan
produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang.
2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap patogen spesifik
yang lemah terkait dengan umur muda. Resiko terbesar pada bayi (1 – 12 bulan); 95% terjadi
antara 1 bulan dan 5 tahun, tetapi meningitis dapat terjadi pada setiap umur. Resiko tambahan
adalah kolonisasi baru dengan bakteri patogen, kontak erat dengan individu yang menderita
penyakit invasif, perumahan padat penduduk, kemiskinan, ras kulit hitam, jenis kelamin laki-
34
laki dan pada bayi yang tidak diberikan ASI pada umur 2 – 5 bulan. Cara penyebaran
mungkin dari kontak orang ke orang melalui sekret atau tetesan saluran pernafasan.3
Angka kejadian meningitis tuberkulosis jarang dibawah usia 3 bulan dan mulai
meningkat pada 5 tahun pertama. Angka kejadian tertinggi terdapat pada usia 6 bulan hingga
2 tahun. Angka kematian berkisar 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya
18% pasien yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis
tuberkulosis yang tidak diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian
meningkat dengan meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa.1
World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2019 terdapat 1,19 juta
kasus baru TB pada anak (0–<15 tahun); jika 2% dari anak-anak ini menderita meningitis
tuberkulosis, itu akan menjadi ~ 25.000 kasus per tahun secara global.4
2.1.4 Patogenesis
Meningitis tuberkulosis terjadi sebagai akibat komplikasi penyebaran tuberkulosis
primer, biasanya dari paru. Terjadinya meningitis bukanlah karena terinfeksinya selaput otak
langsung oleh penyebaran hematogen, melainkan biasanya sekunder melalui pembentukan
tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah
ke dalam rongga arachnoid. Kadang-kadang dapat juga terjadi per-kontinuitatum dari
mastoiditis atau spondilitis.1
Infeksi TB terjadi melalui inhalasi tetesan aerosol (berukuran <5 m) yang mengandung
beberapa basil M. tuberculosis, beberapa di antaranya mencapai alveolus terminal. Terjadi
aktivasi neutrofil, sel dendritik dan makrofag alveolar kemudian menelan mikobakterium. Sel
yang terinfeksi menyebar melalui limfatik dan dapat mencapai pembuluh darah,
menyebabkan penyebaran hematogen, dengan potensi untuk menyerang sistem saraf pusat
(SSP). 4
Meskipun patogenesis pasti dari meningitis tuberkulosis terus diperdebatkan, Rich dan
McCordock menunjukkan bahwa meningen tidak dapat terinfeksi secara langsung oleh
penyebaran hematogen. Mereka menunjukkan bahwa bentuk fokus subkortikal atau
meningeal (fokus Rich), yang diaktifkan dengan cepat, atau, sebagai alternatif, berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun kemudian, di mana basil mendapatkan akses ke ruang
subarachnoid, memicu kaskade inflamasi. 4
Basil M. tuberculosis melewati epitel alveolar melalui fagosit yang terinfeksi atau
sebagai bakteri bebas, dan yang terakhir telah dikaitkan dengan dua protein bakteri, yaitu,
target antigenik sekretori awal 6 (ESAT-6) dan protein filtrat kultur 10 kDA (CFP-10),
35
bersama dengan heparin-binding hemagglutinin adhesin (HBHA). Basil TB dapat bermigrasi
melintasi sawar darah-otak (BBB) dan sawar darah-CSF (BCSFB) melalui mekanisme yang
disarankan berikut: (i) "Trojan horse," di mana M. tuberculosis melewati penghalang melalui
makrofag dan neutrofil yang terinfeksi (19 ); atau (ii) invasi basiler ke endotel otak, yang
diperantarai oleh M. tuberculosis pknD (Rv0931c).8
Pecahnya fokus Rich melepaskan M. tuberculosis ke dalam ruang subarachnoid atau
sistem ventrikel, menyebabkan infeksi granulomatosa dan peradangan meningen berikutnya.
Setelah pelepasan basil dan bahan granulomatosa ke dalam ruang subarachnoid, bentuk
eksudat bersifat seperti gelatin; paling berwarna terlihat di fossa interpedunkularis dan regio
suprasellar di bagian anterior, dapat meluas ke seluruh sisterna prepontinus dan mengelilingi
medula spinalis. Bahan eksudatif di sisterna basal dan otak tengah menyebabkan gangguan
aliran cairan serebrospinal (CSF), hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial.
Perluasan lebih lanjut dari eksudat menghasilkan (i) vaskulitis obliteratif dari pembuluh darah
kecil yang berproliferasi, yang mengarah pada perkembangan perubahan otak iskemik fokal
dan difus, sedangkan penyumbatan arteri yang lebih besar menyebabkan infark; dan (ii)
perineuritis, yang mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial; dan pada kasus yang parah, (iii)
keterlibatan parenkim langsung.8
Pada pemeriksaan histologis, meningitis tuberkulosa ternyata merupakan meningo-
ensefalitis. Peradangan ditemukan sebagian besar pada dasar otak, terutama batang otak
(brain stem) tempat terdapat eksudat dan tuberkel. Eksudat yang serofibrinosa dan gelatinosa
dapat menimbulkan obstruksi pada sisterna basalis dan mengakibatkan hidrocephalus serta
kelainan saraf pusat. Tampak juga kelainan pembuluh darah seperti arteritis dan phlebitis
yang menimbulkan penyumbatan. Akibat penyumbatan ini terjadi infark otak yang kemudian
mengakibatkan perlunakan otak.4
Timbulnya TBM membutuhkan waktu kurang dari 12 bulan dari saat infeksi primer
pada 75% anak-anak. Hasil yang buruk pada TBM disebabkan oleh respon inflamasi host,
yang menghasilkan pembentukan eksudat tebal di dasar otak. 8
36
Gambar 3. Patofisiologi Meningitis TB
37
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh
darah meningen, sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal
disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis.
Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah:5
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
38
Gambar 4. Tanda Brudzinski
39
Gambar 7. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa
Meningitis Tuberkulosis1
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat pada tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.
1. Stadium I
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otak. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Terdapat demam, malaise, anoreksia, mual, muntah, dan anak tampak apatis. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.
2. Stadium II
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Pasien tampak
mengantuk, disorientasi, ditemukan tanda-tanda rangsang meningelal, kejang, defisit
neurologis fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis,
hemibalismus). Gejala diatas menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk
dimana seluruh tubuh mulai menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih
tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata
sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan
kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor.
40
3. Stadium III
Stadium III merupakan stadium II disertai dengan kesadaran semakin menurun sampai
koma, ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi, pernapasan
ireguler, disertai penungkatan suhu tubuh dan ekstremitas spastis. Nadi dan pernafasan
menjadi tidak teratur, kadang-kadang menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam).
Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali.
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
2.1.6 Diagnosis1,4,6
Diagnosis pasti bila ditemukan M. tuberculosis pada pemeriksaan apus LCS/kultur.
Anamnesis
Jika penyakit berkembang, diagnosis dini sangat penting. Ini sering menantang, namun,
karena gejala dan tanda awal tidak spesifik, dan indeks kecurigaan yang tinggi, riwayat yang
baik dan pemeriksaan klinis adalah andalan diagnosis dugaan. Sebelum berkembang menjadi
meningitis tuberkulosis, beberapa anak mungkin memiliki gejala TB paru, seperti batuk,
demam, atau gagal menambah berat badan. Diagnosis pada titik ini dapat mencegah
perkembangan menjadi meningitis tuberkulosis. Namun, setelah keluarnya basil M.
tuberculosis ke dalam CSF, aktivitas menurun, penurunan berat badan lebih lanjut dan
muntah mungkin terjadi. Pada titik ini, anak-anak yang lebih besar mungkin datang dengan
sakit kepala dan perubahan perilaku, namun, pada semua kelompok umur, gejala dan tanda
meningitis onset akut hanya terjadi pada sebagian kecil kasus. Sering ada riwayat pajanan
kasus infeksi TB paru.
Pemeriksaan fisik
• Stadium I : pasien tampak apatis, iritabel, nyeri kepala, demam, malaise, anoreksia, mual,
muntah.
• Stadium II: pasien tampak mengatuk, disorientasi, ditemukan adanya tanda rangsang
meningela, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus)
• Stadium III: penurunan kesadaran, tanda-tanda peningkatan TIK, pupil terfiksasi,
pernapasan ireguler, peningkatan suhu tubuh, esktremitas spastis.
41
Pemeriksaan Penunjang
• Darah perifer lengkap
Untuk darah perifer lengkap, dapat ditemukan peningkatan leukosit (10.000-20.000
sel/mm3). Sering ditemukan hiponatremia dan hipokloremia akibat sekresi hormon
antidiuretik yang tidak adekuat.
• Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah cara memperoleh cairan serebrospinal yang paling sering
dilakukan pada segala umur, dan relatif aman.
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis
Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar
tempat pungsi, tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses
desak ruang dalam otak (space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang
belum diobati. Pada tekanan intrakranial meninggi yang diduga karena infeksi
(meningitis) bukan kontraindikasi tetapi harus dilakukan dengan hati-hati.
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum
pungsi tidak kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi
karena penusukan tidak tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang
ekstradural.
42
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal
(dahi ditarik ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke
arah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat
tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan
menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh
pada bayi.
43
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan
jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan
mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan
ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan gizi.
Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur 3-5
tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial.
Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester
Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril
untuk pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan
warnanya, kemudian ditentukan adanya protein yang meninggi dengan
menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy 1-2 tetes LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan fenol jenuh (carbolic acid). Bila kadar
protein meninggi akan didapatkan warna putih keruh atau endapan putih dalam
tabung reaksi tersebut.
44
Pada uji Nonne, 0,5 ml LCS dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya telah diisi dengan 1 ml larutan amonium-sulfat jenuh. Bila kadar protein
LCS meningkat didapati cincin putih pada perbatasan kedua cairan tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar
protein, glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan
normal LCS berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom.
Sel
Untuk menghitung jumlah sel LCS harus segar, harus sudah dihitung dalam
waktu 1 jam sesudah pungsi, karena jika terlalu lama sebagian sel menempel di
dinding tabung/botol, sebagian sudah lisis sehingga mempengaruhi perhitungan.
Jumlah sel leukosit normal pada bayi sampai umur 1 tahun adalah 10 sel/ µl, 1-4
tahun 8 sel/ µl, remaja dan dewasa 2,59 ± 1,73 leukosit /µl. Eritrosit biasanya tidak
terdapat pada anak dan orang dewasa, kecuali pada pungsi traumatik. Adanya sel
neoplastik, plasmasit, sel stem dan eosinofil dalam LCS selalu abnormal.
Sel eritrosit berlebihan dalam LCS menunjukkan adanya perdarahan atau
pungsi traumatik, untuk membedakannya segera lakukan pemutaran (centrifuge) dan
perhatikan supernatanya. Apabila supernatan berwarna xantokrom berarti perdarah
lama, jika jernih berarti pungsi traumatik.
Apabila terdapat peninggian jumlah sel dan terutama PMN, maka kemungkinan
pasien menderita meningitis bakterial, atau pada meningitis virus dini atau
neoplasma. di Bagian ilmu kesehatan anak FKUI dipakai patokan jumlah sel LCS
normal pada anak 20/3 per µl dan pada neonatus minggu pertama 100/3 per µl, tetapi
tergantung juga pada keadaan klinis pasien dan diferensiasi sel.
Protein
Kadar protein normal 20-40 mg/dl. Kadar ini meningkat pada sindrom Guillain
Barre, tumor intrakranial atau intraspinal, perdarah intrakranial, penyakit degeneratif
dan meningitis.
Pada neonatus kadar protein agak lebih tinggi, yaitu 40-80 mg/dl pada umur 0-
2 minggu, dan 30-50 mg/dl pada umur 2-4 minggu. Pada neonatus dengan berat
badan lahir rendah kadar protein lebih tinggi lagi rata-rata 100 mg/dl. Kadar protein
45
yang tinggi pada neonatus mungkin disebabkan oleh fungsi sawar darah otak yang
belum matang dan adanya perdarahan-perdarahan kecil saat partus.
Glukosa
Kadar normal glukosa dalam LCS antara ½ - 2/3 kadar glukosa plasma,
biasanya 50-90 mg/dl. Bila memeriksa kadar glukosa LCS perlu pula ditentukan
kadar glukosa plasma dan kedua nilai ini dibandingkan. Bila kadar glukosa LCS
kurang dari 50% kadar glukosa plasma, maka dapat dikatakan bahwa kadar glukosa
dalam LCS merendah. Penurunan kadar glukosa dalam LCS didapati pada pasien
dengan meningitis bakterial, karsinomatosis selaput otak dan lain-lain.
Mikroorganisme
Pemeriksaan mikroorganisme perlu dilakukan yang pertama-tama dengan
pewarnaan gram. Dengan melihat bentuk kuman dan gram dapat diduga
diagnosisnya secara cepat. Biakan LCS dalam media dan uji sensitivitas terhadap
obat dapat menentukan kuman penyebab yang sebenarnya dan obat yang serasi.
46
• Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di
cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
• Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis, namun dapat terjadi false negative akibat
reaksi anergi.
• Imaging
Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit tuberkulosis. Hampir
setengah dari anak-anak mungkin memiliki rontgen dada yang abnormal. Abnormalitas
rontgen dada yang diamati pada anak termasuk infiltrasi parenkim, limfadenopati
47
intratoraks, milier, konsolidasi paratrakeal, kompresi jalan napas, efusi pleura yang
menebal dan atelektasis.
Pemeriksaan neuroimaging dapat dilakukan CT scan ataupun MRI. Trias temuan
radiologis pada meningitis tuberkulosis meliputi hidrosefalus, infark, dan penyengatan
meningeal basal. Lima fitur computed tomography (CT) utama yang mendukung
diagnosis meningitis tb termasuk infark, hidrosefalus, tuberkuloma, penyengatan
meningeal basal dan hiperdensitas basal pra-kontras. Hidrosefalus dan penyengatan
meningeal adalah tanda penting dari meningitis tuberkulosis pada CT scan, diamati
pada 80 dan 75 persen anak-anak dengan meningitis tuberkulosis. MRI lebih sensitif
dari CT dalam mendeteksi penyengatan meningeal basal, granuloma dan infark pada
meningitis tuberkulosis pediatrik. Penyengatan basal terlihat pada hampir semua
pasien. Lebih dari separuh pasien mengalami infark, terutama di teritori arteri serebri
media dan ganglia basalis; infark nukleus lentiformis juga terlihat. Pada pasien dengan
HIV, lebih banyak ditemukan frekuensi dilatasi ventrikel yang tinggi setelah atrofi
serebral, frekuensi tinggi hidrosefalus komunikans, frekuensi penyengatan meningeal
basal dan pembentukan granuloma yang lebih sedikit.
Tabel 3. Neuroimaging Yang Ditemukan Pada Meningitis TB
Penyengatan meningeal basal 75%
Infark 8-44%
Hidrosefalus komunikans 80%
Tuberkuloma 8-31%
48
- Empiema subdural
- Ensefalitis virus
- Meningitis virus
49
Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebral. Prednison
diberikan dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 6-8 minggu. Adanya peningkatan TIK yang
tinggi dapat diberikan deksametason 6mg/m2 setiap 6-8 jam atau dosis 0.3-0.5mg/kg/hari.1
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan memantau pasien dengan memeriksa
tanda-tanda vital dan status neurologis dan balans cairan, menetapkan jenis yang dan volume
cairan, risiko edema otak dapat diminimalkan. Anak harus menerima cairan cukup untuk
menjaga tekanan darah sistolik pada sekitar 80 mmHg, output urin 500 mL/m2/hari, dan perfusi
jaringan yang memadai. Meskipun menghindari SIADH adalah penting, mengurangi hidrasi
pasien dan risiko penurunan perfusi serebral sama-sama penting juga.
Dopamin dan agen inotropik lain mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah
dan sirkulasi yang memadai.8
Bila anak dalam status konvulsivus diberikan diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB secara
intravena perlahan-lahan, apabila kejang belum berhenti pemberian diazepam dapat diulang
dengan dosis dan cara yang sama. Apabila dengan diazepam intravena 2 kali berturut-turut
kejang belum berhenti dapat diberikan fenitoin dengan dosis 20mg/kgBB diencerkan dalam
NaCl 0.9% selama 20 menit atau fenobarbital 20mg/kg intravena dengan kecepatan 10-
20mg/menit dengan dosis maksimal 1000mg. Bila kejang berhenti, dapat dipertimbangkan
rumatan dengan fenitoin 5-10mg/kg dibagi 2 dosis atau fenobarbital 3-5mg/kg/hari dibagi
dalam 2 dosis. 1
Perlu dipantau adanya komplikasi Syndrome Appropriate Antidiuretik Hormone
(SIADH), ditegakkan bila kadar natrium serum <135mEq/L, osmolaritas serum <270
mOsm/kg, osmolaritas urin >2x osmolaritas serum, natrium urin >30 mEq/L tanpa adanya
tanda-tanda dehidrasi atau hipovolemia. Beberapa ahli merekomendasikan pembatasan jumlah
cairan dengan memakai cairan isotonis, terutama jika natrium serum <130 mEq/L. Jumlah
cairan dapat dikembalikan ke cairan rumatan jika kadar natrium serum kembali normal.1
Hidrosefalus adalah salah satu komplikasi paling umum yang terkait dengan meningitis
tuberkulosis, terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit lebih dari sama dengan 3 minggu dan
dapat diterapi dengan asetazolamid 30-50mg/kg/hari dibagi dalam 3 dosis. Sebanyak 80%
kasus dapat diselesaikan dengan manajemen medis saja. 6
Sebuah shunt harus segera ditawarkan dalam kasus kegagalan manajemen medis,
hidrosefalus noncommunicating, atau kerusakan neurologis karena memperpanjang terapi
medis dapat menyebabkan kerusakan otak ireversibel. Penempatan ventrikular drain atau VP
atau ventriculoatrial shunt akan membantu meningkatkan hasil pada pasien tersebut, terutama
pada pasien dengan defisit neurologis minimal. Namun, komplikasi operasi shunt lebih tinggi
50
pada pasien dengan TBM dibandingkan pada pasien dengan kondisi lain. Alasan untuk ini
adalah kondisi umum pasien yang buruk, adanya kandungan protein yang lebih tinggi, dan
peningkatan kandungan seluler di CSF yang menyebabkan lebih seringnya obstruksi shunt.7
Selain itu, dapat dilakukan endoskopi ventrikulostomi ketiga (ETV). Keuntungan ETV
dibanding dengan VP shunt, yaitu menghindari implantasi benda asing, pembentukan sirkulasi
CSF "fisiologis". Kedua hal ini sangat penting pada bayi karena tingkat komplikasi shunt
intraoperatif (yaitu, perut) yang relatif tinggi dan lanjut (kraniosinostosis sekunder, sindrom
celah-ventrikel). Tetapi faktor utama terhadap ventrikulostomi ketiga endoskopi (ETV) adalah
risiko kematian langsung dan komplikasi neurologis yang relatif tinggi karena efek kerusakan
parenkim dan pembuluh darah yang lebih relevan pada kelompok usia ini. Infeksi mungkin
terjadi pada keduanya, tetapi insiden komplikasi infeksi secara signifikan lebih rendah pada
kasus ETV (1%–5% vs. 1%–20%).7
Oleh karena itu, baik mortalitas langsung maupun risiko kerusakan neurologis dari
prosedur ETV harus dipertimbangkan terhadap mortalitas jangka panjang dan kerusakan
neurologis lanjut, yang tidak jarang digambarkan sebagai konsekuensi dari malfungsi shunt
dan prosedur revisi shunt proksimal.7
51
2.1.8 Komplikasi5
- Hidrosefalus
- Kelumpuhan saraf kranial
- Gangguan penglihatan dan kebutaan
- Stroke (iskemik atau hemoragik)
- Kejang dan epilepsi
- TBC tulang belakang
- Radikulomielitis tuberkulosis (TBRM)
- Hiponatremia (misalnya, SIADH, CSWS)
- Arachnoiditis
- Formasi tuberkuloma
- Cacat neurologis permanen
- Kematian
2.1.9 Pencegahan
Vaksinasi BCG neonatus adalah 60-80% efektif dalam mencegah bentuk TB
diseminata (TBM dan TB milier) pada anak kecil setelah infeksi, dan kekurangan BCG baru-
baru ini telah mengkonfirmasi hal ini. Namun, terutama di rangkaian beban TB yang tinggi,
BCG tidak cukup untuk melindungi semua anak yang terinfeksi TB terhadap TB. Di negara
dengan beban TB rendah, seperti yang disoroti dalam kasus yang dilaporkan dari Prancis oleh
Huynh dan rekan dalam edisi Pediatrics and International Child Health ini, BCG seringkali
tidak diberikan secara rutin. Pelacakan kontak dengan identifikasi dini dan pengobatan kasus
TB yang lazim serta pemberian terapi pencegahan TB pada anak yang terinfeksi/terpajan akan
semakin menurunkan jumlah kasus TB; sayangnya, kesempatan ini sering terlewatkan.11
2.1. 10 Prognosis
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis
hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun
masih tinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat.
Gejala sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat
dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata dan
52
pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang. Keterlibatan
hipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin.
Angka kematian di antara anak-anak dengan TBM dengan uji tuberkulin negatif lebih
besar daripada dengan uji tuberkulin positif. TST positif pada anak penderita TBM berkisar
antara 18,9 hingga 81 persen. Mahadevan et al menunjukkan bahwa ukuran reaksi tuberkulin
pada anak-anak lebih besar pada tahap awal dan lebih kecil pada penyakit meningitis
tuberkulosis lanjut dan ada hubungan antara respon seluler kuantitatif CSF dan ukuran reaksi
uji tuberkulin.6
2.2 SEPSIS
2.2.1 DEFINISI
Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan
oleh disregulasi respon host terhadap infeksi.8
2.2.2 Epidemiologi
Sepsis menyumbang 19% dari semua kematian secara global, dengan insiden spesifik
usia tertinggi pada anak-anak di bawah usia 5 tahun. Kejadian sepsis secara signifikan lebih
tinggi pada kelompok umur yang lebih muda dan anak dengan komorbiditas yang
mengakibatkan keadaan defisiensi imunitas, seperti keganasan, transplantasi, penyakit kronis,
dan kelainan jantung bawaan. Studi epidemiologi menggunakan data klinis telah menemukan
insiden sepsis pediatrik hingga 8% dari penerimaan unit perawatan intensif anak (PICU),
berkontribusi pada 1 dari 4 kematian di PICU. Di Indonesia, sebagian besar sumber infeksi
berasal dari infeksi saluran pernapasan (36% - 42%) dengan insiden sepsis lebih tinggi pada
kelompok neonatus dan bayi <1 tahun dibandingkan dengan usia 1-18 tahun (9,7 : 0,23 kasus
per 1000 anak).8, 10
53
Tabel 5. Komorbiditas Umum pada Anak dengan Sepsis
2.2.3 Etiologi
Sepsis disebabkan oleh respon imunitas yang dipicu oleh infeksi bakteri, jamur, parasit
atau virus. Infeksi dapat berasal dari dalam rumah sakit (nosokomial), atau lingkungan
(community acquired). Data dari beberapa studi memperlihatkan mikroorganisme penyebab
infeksi tersering adalah Staphylococcus, diikuti oleh Streptococcus dan infeksi jamur, terutama
spesies Candida. Namun, lebih dari sepertiga anak dengan sepsis tidak memiliki patogen yang
dapat diidentifikasi. Hal ini dapat dikaitkan dengan sepsis yang disebabkan oleh etiologi virus
atau karena keterbatasan deteksi bakteri patogen, terutama jika volume yang diinokulasi ke
dalam kultur darah rendah atau jika patogen memiliki persyaratan pertumbuhan tertentu.9
Faktor risiko terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun
seperti pada pasien keganasan dan diabetes melitus, trauma, atau luka bakar mayor.9
54
Tabel 6. Patogen Umum pada Anak dengan Sepsis
2.2.4 Patofisiologi
Sepsis menggambarkan suatu sindrom klinis kompleks yang timbul saat sistem
imunitas pejamu teraktifasi terhadap infeksi. Molekul patogen mengaktifkan sistem kekebalan
tubuh, melepaskan mediator inflamasi dan memicu pelepasan sitokin yang penting dalam
eliminasi patogen. Sitokin proinflamasi, seperti TNF, IL-1, interferon gamma (IFN-γ) bekerja
55
membantu sel dalam menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Dengan demikian,
proses eliminasi lebih efektif, sekaligus memicu pelepasan sitokin anti inflamasi, seperti
interleukin-1 receptor antagonis (IL-1 ra), IL-4, dan IL-10. Sitokin anti inflamasi berperan
menghentikan proses inflamasi dengan memodulasi, koordinasi, atau represi terhadap respon
yang berlebihan (mekanisme umpan balik). Sitokin pro-inflamasi juga berperan dalam
pelepasan nitrogen monoksida (nitric oxide, NO) yang penting dalam eliminasi patogen, tetapi
efek NO lainnya adalah vasodilatasi vaskuler. Pada keadaan sepsis, produksi NO yang berlebih
9
menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan menyebabkan syok septik.
Ketika sistem imun tidak efektif mengeliminasi antigen, proses inflamasi menjadi tidak
terkendali dan menyebabkan kegagalan sistem organ. Hal tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Bone yang menyatakan bahwa kerusakan organ multipel tidak disebabkan oleh
infeksi tetapi akibat dari inflamasi sistemik dengan sitokin sebagai mediator. 9
2.2.5 Diagnosis8
Penegakan diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya: (1) Infeksi, meliputi (a) faktor
predisposisi infeksi, (b) tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung, (c) respon inflamasi;
dan (2) tanda disfungsi/gagal organ. Alur penegakan diagnosis sepsis tertera pada gambar 10
1. Infeksi
56
Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi
inflamasi. Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor genetik, usia, status nutrisi, status
imunisasi, komorbiditas (asplenia, penyakit kronis, transplantasi, keganasan, kelainan
bawaan), dan riwayat terapi (steroid, antibiotika, tindakan invasif).
Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Secara klinis ditandai
oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi. Secara laboratoris, digunakan penanda
(biomarker) infeksi: pemeriksaan darah tepi (lekosit, trombosit, rasio netrofil:limfosit, shift to
the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula toksik, Dohle body, dan vakuola dalam
sitoplasma), c-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin. Sepsis memerlukan pembuktian
adanya mikroorganisme yang dapat dilakukan melalui pemeriksaan apus Gram, hasil kultur
(biakan), atau polymerase chain reaction (PCR). Pencarian fokus infeksi lebih lanjut dilakukan
dengan pemeriksan analisis urin, feses rutin, lumbal pungsi, dan pencitraan sesuai indikasi.
1. Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia (suhu inti
<36°C).
2. Takikardia: rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa adanya stimulus
eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat
dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam
3. Bradikardia (pada anak <1 tahun): rerata denyut jantung di bawah normal sesuai usia
tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta-blocker, atau penyakit jantung kongenital;
atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari 0,5 jam
4. Takipneu: rerata frekuensi nafas di atas normal
57
Tabel 8. Penanda Biologis Infeksi
58
2. Tanda disfungsi organ
Kecurigaan disfungsi organ (warning signs) bila ditemukan salah satu dari 3 tanda
klinis: penurunan kesadaran (metode AVPU), gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas
nadi, perfusi perifer, atau tekanan arterial rerata), atau gangguan respirasi (peningkatan atau
penurunan work of breathing, sianosis)
59
2.2.6 Tata laksana8-10
Tata laksana sepsis ditujukan pada penanggulangan infeksi dan disfungsi organ.
Antibiotika
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi, diagnosis
kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab sepsis belum jelas, antibiotik
diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan
kultur darah. Upaya awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotika tunggal
berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi antibiotika definitif diberikan
sesuai pola kepekaan kuman.
Boks 1. Prinsip Penggunaan Antibiotik Empirik pada Sepsis dengan Penyebab yang
Belum Diketahui
DAN
• Sesuaikan atau hentikan terapi antibiotik sedini mungkin untuk mengurangi kemungkinan
resistensi (de-eskalasi)
Antibiotika kombinasi
Boks 2. Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris untuk sepsis anak dengan penyebab
belum diketahui
60
a ampisilin-sulbaktam menjadi pilihan pertama extended-spectrum penicil- lin dalam terapi
sepsis
bfloroquinolon dapat menggantikan aminoglikosida pada semua regimen di atas
cSefalosporin generasi ketiga seftriakson tidak boleh digunakan ketika di- curigai atau
terbukti adanya Pseudomonas
Catatan:
• Perhitungkan efek samping dan toksisitas obat dari pemberian antibiotik kombinasi.
Selanjutnya dilakukan evaluasi dan keputusan untuk melakukan deekskalasi
• Kebutuhan dosis antibiotik dapat disesuaikan untuk sepsis karena farmakodinamik dan
farmakokinetik berbagai antimikroba dapat berubah pada pasien kritis sehingga dosis
biasa mungkin tidak adequat.
• Disfungsi organ, terutama ginjal, hemodialisis/hemofiltrasi, dapat mempengaruhi
distribusi dan klirens antibiotik, sehingga membutuhkan penyesuaian dosis.
Tabel 10. Jenis Antibiotika Empiris berdasarkan Kondisi Sepsis dan Kemungkinan
Mikoorganisme
61
Anti-jamur
Pasien dengan predisposisi infeksi jamur sistemik (skor Kandida ≥3 dan kadar
prokalsitonin >1,3 ng/mL) memerlukan terapi anti-jamur. Penggunaan anti- jamur pada sepsis
disesuaikan dengan data sensitivitas lokal. Bila tidak ada data, dapat diberikan lini pertama
berupa: amphotericin B atau flukonazol, sedangkan lini kedua adalah mycafungin. Antijamur
diberikan pada pasien sepsis yang dirawat di ruang intensif dengan menggunakan algoritme di
bawah ini.
Pernapasan
Tata laksana pernapasan meliputi: pembebasan jalan napas (non-invasif dan invasif )
dan pemberian suplemen oksigen. Langkah pertama resusitasi adalah pembebasan jalan nafas
sesuai dengan tatalaksana bantuan hidup dasar. Selanjutnya pasien diberikan suplemen
oksigen, awalnya dengan aliran dan konsentrasi tinggi melalui masker. Oksigen harus dititrasi
sesuai dengan pulse oximetry dengan tujuan kebutuhan saturasi oksigen >92%. Bila didapatkan
tanda-tanda gagal nafas perlu dilakukan segera intubasi endotrakeal dan selanjutnya ventilasi
mekanik di ruang perawatan intensif. Penggunaan obat- obatan anestesi untuk induksi
disarankan dengan menggunakan ketamin dan rokuronium, dan menghindari etomidate karena
berkaitan dengan supresi adrenal. Pipa endotrakeal dengan balon (cuff) direkomendasikan pada
62
pasien sindrom distress pernapasan akut (pediatric acute respiratory distress syndrome,
PARDS) yang menggunakan ventilasi mekanik konvensional. Pada pasien PARDS yang
menggunakan high-frequency osscilatory ventilation (HFOV), direkomendasikan
menggunakan pipa endotrakeal dengan sedikit kebocoran untuk meningkatkan ventilasi atau
pembuangan CO2.
Ventilasi non-invasif
1. Ventilasi tekanan positif non-invasif dapat digunakan sebagai pilihan awal pada pasien
sepsis dengan risiko PARDS atau mengalami imuno- defisiensi; dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PARDS berat.
2. Masker oronasal atau full facial merupakan alat yang direkomendasi- kan, namun harus
disertai dengan pengawasan terhadap komplikasi, yaitu: pengelupasan kulit, distensi
lambung, barotrauma, atau kon- jungtivitis.
3. Gas pada ventilasi non-invasif harus dilembabkan dan dihangatkan (heated
humidification).
4. Intubasi harus segera dilakukan bila pasien dengan ventilasi non-inva- sif tidak
menunjukkan tanda perbaikan atau mengalami perburukan.
5. Untuk menjamin sinkronisasi pasien-ventilator, dapat diberikan sedasi kepada pasien.
1. Indikasi ventilasi mekanik pada pasien sepsis adalah gagal napas atau disfungsi organ
lain (gangguan sirkulasi dan penurunan kesadaran)
2. Modus ventilasi mekanik dapat manggunakan volume controlled venti- lation (VCV),
pressure-controlled ventilation (PCV), atau pressure-con- trolled dengan volume
target.
3. Tidal volume tidak boleh melebihi 10 ml/kg predicted body weight (PBW).
4. Bila tidak ada pengukuran tekanan transpulmonal, direkomendasikan Pplateau
maksimal 28 cmH2O; atau 29-32 cmH2O pada kasus yang disertai penurunan
63
6. Target oksigenasi 92-97% pada PEEP optimal <10 cmH2O, atau 88- 92% pada PEEP
komplians dinding dada, dapat beralih pada terapi high frequency osscilation
ventilation (HFOV) atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).
1. Fluid challenge
2. Passive leg raising (kenaikan cardiac index ≥10%)
3. Ultrasonografi
a. Pengukuran diameter vena cava inferior
b. Ultrasound Cardiac Output Monitoring (USCOM): stroke volume variation
(SVV) ≥30%
4. Arterial waveform: Systolic pressure variation (SVV) atau Pulse pressure variation
(PPV) ≥13%
5. Pulse contour analysis: stroke volume variation (SVV) ≥13%
Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai atau bila terjadi refrakter
cairan. Bila tidak tersedia alat pemantauan hemodinamik canggih, resusitasi cairan dihentikan
bila telah didapatkan tanda-tanda kelebihan cairan (takipneu, ronki, irama Gallop, atau
hepatomegali). Namun perlu diingat bahwa gejala ini merupakan tanda lambat refrakter cairan.
64
Bila pasien mengalami refrakter cairan, perlu diberikan obat-obatan vasoaktif sesuai dengan
profil hemodinamik. Pemberian obat-obatan vasoaktif memerlukan akses vena sentral.
Pemasangan pada anak dapat dilakukan di vena jugularis interna, vena subklavia, atau vena
femoralis. Panduan penggunaan obat vasoaktif tergantung pada tipe syok. Syok dingin adalah
syok yang ditandai ekstremitas dingin akibat vasokonstriksi perifer, sedangkan syok hangat
adalah syok yang ditandai ekstremitas hangat akibat vasodilatasi perifer.
Tahap lanjut dari resusitasi cairan adalah terapi cairan rumatan. Penghitungan cairan
rumatan saat awal adalah menggunakan formula Holliday-Segar. Pencatatan jumlah cairan
yang masuk dan keluar dilakukan setiap 4-6 jam dengan tujuan mencegah terjadinya kondisi
hipovolemia atau hipervolemia (fluid overload) >15%.
65
DAFTAR PUSTAKA
1. Pudjiadi AH, dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
2. Sitorus MS. Sistem Ventrikel dan Liquor Cerebrospinal. 2011.
3. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Saunders; 2019.
4. Schaff HS, Seddon JA. Management of Tuberculosis Meningitis in Children. Pediatrics
and International Child Health. 2021.
5. Gupta G. Meningitis Tuberculosis. Medscape. 2021.
6. Daniel BD, Grace GA, Natrajan M. Tuberculous meningitis in children: Clinical
management & outcome. Indian J Med Res. 2019;150(2):117-130.
doi:10.4103/ijmr.IJMR_786_17.
7. Aulakh R, Chopra S. Pediatric Tubercular Meningitis: A Review. J Pediatr Neurosci.
2018;13(4):373-382. doi:10.4103/JPN.JPN_78_18.
8. Solomons S, Walzl G, Chegou NN. Tuberculous Meningitis: Pathogenesis, Immune
Responses, Diagnostic Challenges, and the Potential of Biomarker-Based Approaches.
Journal of Clinical Microbiology. 2021;59(3).
9. IDAI. Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada Anak. 2016.
10. Cruz AT, et al. Updates on Pediatric Sepsis. JACEP Open. 2020;1:981-983.
11. Wulandari A, Mastuti S, Pudjiastuti. Perkembangan Diagnosis Sepsis pada Anak. Sari
Pediatri. 2017;19(4):237-44.
66