Anda di halaman 1dari 43

Kepada Yth.

dr. Harancang Pandih K, Sp.A

KASUS III
Seorang Anak Laki-Laki 1 Tahun 3 Bulan dengan Disentri dan
Gizi Baik

Oleh:
DIcky Chandra

406162102

Pembimbing:

dr. Zuhriah Hidajati, Sp.A, M.Si, M.Ed


dr. Lilia Dewiyanti, Sp.A, M.Si, M.Ed
dr.Neni Sumarni, Sp.A
dr. Adriana Lukmasari, Sp.A
dr. Harancang Pandih, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 30 OKTOBER 2017 – 06 JANUARI 2018
RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : Dicky Chandra

NIM : 406162102

UNIVERSITAS : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

JUDUL KASUS : Seorang Anak Laki-Laki 1 Tahun 3 Bulan dengan Disentri dan Gizi
Baik

BAGIAN : Ilmu Kesehataan Anak – RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Semarang

PEMBIMBING : dr. Harancang Pandih K, Sp.A

Semarang, Desember 2017

Pembimbing

dr. Harancang Pandih K, Sp.A

2
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
1.1. Nama Pasien : An. M
Umur : 1 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Ketileng Asri no. 241A
Bangsal : Bima
No. CM : 419294
Tanggal Masuk RS : 30 November 2017
Tanggal Keluar RS : 4 Desember 2017

1.2. Nama Ayah : Tn. Z


Umur : 28 tahun
Pekerjaan : Pegawai BUMN
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa

1.3. Nama Ibu : Ny. P


Umur : 27 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa

2. DATA DASAR
2.1. Anamnesis (Alloanamnesis)
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal
03 Desember 2017 jam 13.00 WIB di ruang Bima.
Keluhan Utama : Diare
Keluhan Tambahan : demam, lemas dan nafsu makan berkurang

3
2.1.1. Riwayat Penyakit Sekarang
- 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengatakan anaknya tiba-
tiba mengalami BAB cair lebih dari 5x sehari. BAB cair tidak terdapat
ampas, berwarna kuning, tidak terdapat lendir dan darah. BAB cair tidak
disertai keluhan mual dan muntah. Pasien menjadi lebih rewel, terlihat lebih
lemas dan aktivitas berkurang serta terdapat penurunan nafsu makan pada
pasien. Tidak terdapat masalah pada BAK pasien. Sehari sebelum timbul
keluhan, ibu pasien mengatakan anaknya sempat memakan makanan pedas
oblok-oblok dari masakan ibunya. Pasien belum diberi pengobatan untuk
keluhan diare tersebut.
- 6 hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengatakan anaknya demam.
demam dirasakan terus menerus, Demam tidak disertai menggigil, keluhan
kejang maupun penurun kesadaran disangkal. Saat diukur suhu di rumah
mencapai 39 C. Ibu pasien mengatakan bahwa jumlah BAK pasien semakin
berkurang serta bibir pasien terlihat lebih kering. Keluhan diare semakin
bertambah berat serta feses disertai dengan darah dan lendir. Keluhan
muntah, batuk pilek disangkal. Kemudian pasien dibawa ke bidan untuk
berobat. Dari bidan diberi obat parasetamol, miratrim dan gastrucid. Ibu
pasien mengatakan keluhan demam pasien mereda setelah diberikan obat
tetapi keluhan diare pasien masih tetap berlanjut.
- 1 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan diare pasien bertambah hingga
lebih dari 5 kali dalam sehari. Keluhan disertai dengan panas yang tidak
terlalu tinggi. Kemudian keesokan harinya ibu pasien membawa pasien ke
IGD RSUD Wongsonegoro Semarang pada pukul 23.45 WIB.
- Di IGD suhu pasien 37,2˚C, pasien diberi terapi Infus RL 5cc/KgBB/jam
dalam 4 jam pertama kemudian dilanjutkan infus RL 3cc/KgBB/jam, Injeksi
Ranitidine 1/3 amp per 12 jam, Paracetamol sirup 1cth k/p dan Zinc 1 x 20
mg

2.1.2. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat tidak pernah mengalami keluhan serupa.

4
- Riwayat pengobatan 6 bulan atau TB (flek paru) disangkal. Riwayat asma
disangkal. Riwayat alergi disangkal.

2.1.3. Riwayat Penyakit Keluarga


- Keluhan serupa pada keluarga disangkal.

2.1.4. Riwayat Kehamilan dan Pemeliharaan Prenatal


Ibu mengaku rutin memeriksakan kehamilan di bidan 4x hingga bayi lahir. Ibu
juga mengaku mendapat suntikan TT 1x. Ibu mengaku tidak pernah menderita
penyakit selama kehamilan, riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal,
riwayat trauma selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat dari resep
dokter dan jamu disangkal.
Kesan : riwayat kehamilan dan pemeliharaan prenatal baik.

2.1.5. Riwayat Persalinan


Anak perempuan lahir dari ibu G1P0A0 hamil minggu, antenatal care teratur,
penyakit kehamilan tidak ada, masa gestasi cukup bulan, lahir secara SC atas
indikasi bekas sc, anak lahir langsung menangis, berat badan lahir 3900 gram.
Kesan : Neonatus aterm, Berat badan lahir normal, lahir secara SC

2.1.6. Riwayat Pemeliharaan Postnatal


Ibu mengaku membawa anaknya ke Posyandu secara rutin dan mendapat
imunisasi dasar lengkap.
Kesan: riwayat pemeliharaan postnatal baik.

2.1.7. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak


– Pertumbuhan
• BB lahir : 3900 gram
• BB saat ini : 9,7 kg
• TB saat ini : 78 cm

– Perkembangan
• Berdiri : 12 bulan
• Mengucap kata : 12 bulan
• Tengkurap dan mempertahankan posisi kepala : 3 bulan

5
• Duduk : 5 bulan
• Berjalan : 1,1 tahun
• Makan sendiri : 1 tahun
• Menyusun kalimat :-
• Gigi pertama : 6 bulan
Kesan: Status pertumbuhan dan perkembangan sesuai anak seusianya

Riwayat Imunisasi

- BCG : 1 x (usia 1 bulan), scar (+) di lengan kanan atas


- HepatitisB : 4 x (0, 2, 3, 4 bulan)
- Polio : 4 x (1, 2, 3, 4 bulan)
- DPT : 3 x (2, 3, 4 bulan)
- Campak : 1 x (diberikan saat pasien usia 9 bulan)
- HIB : 3 x (2, 3, 4 bulan)
Kesan : Riwayat imunisasi lengkap.

2.1.8. Riwayat Lingkungan


Pasien tinggal bersama kedua orangtuanya, di sebuah rumah 1 lantai, dengan
cukup ventilasi, cahaya matahari masuk kedalam rumah, tidak lembab,
membuang sampah pada tempat sampah, dan sumber air berasal dari air sumur.
Ayah pasien bukan merupakan perokok. Pasien tinggal dalam lingkungan padat
penduduk.

2.1.9. Riwayat Makan dan Minum Anak


Pasien diberikan ASI hingga usia 4 bulan, namun pada usia 3 bulan, pasien
sudah diberikan susu formula sebagai selingan.
Pada usia 6 bulan, pasien mulai mendapatkan makanan pendamping ASI. Pasien
makan 3x sehari. Pasien kurang suka makan sayur. Selama sakit, nafsu makan
pasien menurun. Ibu pasien biasa memasak di rumah dan jarang membeli
makanan dari luar.
Kesan : ASI eksklusif 6 bulan tidak tercapai, selama sakit mendapat penurunan
nafsu makan.

6
2.1.10. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai karyawan BUMN dan menanggung 1 orang istri,
1 orang anak. Biaya pengobatan ditanggung BPJS non PBI

2.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 03 Desember 2017 jam 13.00 WIB di bangsal
Bima kamar 3 bed 1. Seorang anak laki-laki usia 1 tahun 3 bulan dengan berat badan
9,7 Kg, panjang badan 72 cm.

2.2.1. Keadaan umum :


Compos Mentis, tampak sakit sedang

2.2.2. Tanda vital


• Heart Rate : 120 x/menit
• Pernapasan : 22 x/menit
• Suhu : 36,5°C (Axilla)

2.2.3. Data Antropometri


Anak laki-laki, usia 1 tahun 3 bulan
Berat Badan : 9,7 kg
Panjang Badan : 78 cm

Pemeriksaan status gizi ( Z score ) :


BB / U : di antara garis 0 SD – (-2) SD (sesuai)
TB / U : di antara garis 0 SD – (-2) SD (sesuai)
BB/TB : di antara garis 0 SD – 1 SD (sesuai)
IMT : BB / TB2 = 9,7/0,6084= 15,94 à diantara garis 0 – (-1) SD (sesuai)
Kesan: Status gizi baik

7
8
2.2.4. Status Generalis
i. Kepala : normocephali, ubun-ubun besar sudah menutup, rambut hitam

9
ii. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya
(+/+), isokor (± 3mm), mata cowong (-/-)
iii. Telinga : discharge (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), nyeri tekan mastoid (-
/-), nyeri tarik daun telinga (-/-).
iv. Hidung : secret (-/-), napas cuping hidung (-/-), epistaksis (-/-)
v. Mulut : bibir kering (-), lidah kotor(-), lidah tremor (-), tonsil T1/T1
vi. Leher : pembesaran KGB (-)
vii. THORAX
Paru-paru :
- Inspeksi : bentuk normal, hemithorax dextra dan sinistra simetris,
retraksi suprasternal (-), epigastrik (-), intercostal (-)
- Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi basah halus (+/+),
wheezing (-/-)
- Palpasi : Stem fremitus kanan = Srem fremitus kiri
- Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru

Jantung :
- Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : ictus cordis tidak teraba
- Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, suara tambahan (-)
- Perkusi : tidak dilakukan
viii. ABDOMEN
1. Inspeksi : Datar
2. Auskultasi : bising usus (+)normal
3. Palpasi : Nyeri tekan (-), supel, Hepar & Lien tidak teraba
4. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
ix. Ekstremitas

Superior Inferior
Akral dingin -/- -/-
Akral sianosis -/- -/-
Oedem -/- -/-
Capillary refill < 2 detik/< 2detik < 2 detik/< 2detik
Kesan: Normal

10
2.3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin (30/11/2017)

JenisPemeriksaan Nilai Normal 22/8/ 2017


Hb (g/dL) 11-15 9.9
Ht (%) 40-52 30.10
Leukosit (103/uL) 3.8 – 10.6 14.5
Trombosit (105/mL) 150 – 400 319

Natrium N: 135-147 132.0


Kalium N: 3,5- 5 4.20
Calsium N: 1,12-1,32 1.29
GDS N: 70-115 87
Kesan: Penurunan Hemoglobin dan Leukositosis

Follow Up

Tanggal Hasil Pemeriksaan


1/12/2017 S: Diare 5x disetai lenidr dan darah, ampas sedikit, Panas berkurang (+) dan
batuk (+), sesak napas (-). Nafsu makan mulai membaik, mual muntah (-),
BAK normal.
O:
KU : Tampak sakit ringan, compos mentis
HR : 88 x/m
RR : 22 x/m
Suhu : 36,5ºC
A: GEDS
P:
Infus RL 8 tpm, injeksi Cefotaxim 2x250mg, Promuba sirup 3 x ¾ cth, PCT
sirup

11
2/12/2017 S: diare dan demam sudah menghilang, ruam diselangkangan (+), pilek (-),
nafsu makan mulai meningkat, anak sudah tampak aktif. Mual dan muntah
(-), BAB dan BAK normal.
O:
KU : compos mentis
HR : 90 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 36 ºC
A:
GEDS, Disentri dan Diaper Rash

P:
Infus KDN 5 tpm, injeksi Cefotaxim 2x250mg, Nistatin 3x1cc,
Hidrocortison salf 3x1, Promuba sirup 3 x ¾ cth
3/12/2017 S: diare (-), demam (-), ruam diselangkangan (+), sariawan (-), pilek (-),
Mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
O:
KU : compos mentis
HR : 96 x/m
RR : 20 x/m
Suhu : 36,5 ºC
A:
GEDS, Disentri dan Diaper Rash

P:
Infus KDN 5 tpm, injeksi Cefotaxim 2x250mg, Nistatin 3x1cc,
Hidrocortison salf 3x1, Promuba sirup 3 x ¾ cth
4/12/2017 S: diare (-), demam (-), ruam diselangkangan (+), sariawan (-), pilek (-),
Mual dan muntah (-), BAB dan BAK normal.
O:
KU : anak sudah mulai aktif, compos mentis
HR : 89 x/m
RR : 20 x/m

12
Suhu : 36,5 ºC
A:
Disentri, GEDS dan Diaper Rash

P:
Cefadroxyl 2 x ½ cth, Zinc 1x 20 mg, Pamol sirup 1 cth k/p, Promuba sirup
3 x ¾ cth

3. RESUME
Seorang pasien anak laki-laki usia 1 tahun 3 bulan, datang ke IGD RSUD K.R.M.T
Wongsonegara Semarang diantar oleh kedua orang tuanya dengan keluhan diare sejak 1
minggu SMRS yang dirasakan semakin memberat.
1 minggu sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengatakan anaknya BAB cair
lebih dari 3x, tidak terdapat ampas, berwarna kuning, tidak terdapat lendir dan darah.
Keluhan tidak disertai keluhan mual dan muntah. Pasien menjadi lebih rewel, terlihat lebih
lemas dan aktivitas berkurang serta terdapat penurunan nafsu makan pada pasien. Sehari
sebelum timbul keluhan, pasien sempat memakan makanan pedas oblok-oblok dari
masakan ibunya.
6 hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien mengatakan anaknya demam, demam
dirasakan terus menerus, tidak disertai menggigil, tidak kejang maupun penurun kesadaran.
BAK pasien menjadi lebih jarang dari biasanya dan mulut pasien terlihat lebih kering. Saat
diukur suhu di rumah mencapai 39 C. Kemudian pasien dibawa ke bidan untuk berobat.
Dari bidan diberi obat parasetamol, miratrim dan gastrucid. keluhan demam pasien mereda
setelah diberikan obat tetapi keluhan diare pasien masih tetap berlanjut.
1 hari sebelum masuk rumah sakit, keluhan diare pasien bertambah hingga lebih
dari 5 kali. Kemudian keesokan harinya ibu pasien membawa pasien ke IGD RSUD
Wongsonegoro Semarang. Di IGD suhu pasien 37,2˚C, pasien diberi terapi Infus RL
5cc/KgBB/jam dalam 4 jam pertama kemudian dilanjutkan infus RL 3cc/KgBB/jam,
Injeksi Ranitidine 1/3 amp per 12 jam, Paracetamol sirup 1cth k/p dan Zinc 1 x 20 mg
Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa bibir tampak kering, nadi dalam batas
normal dan kuat angkat, ekstremitas didapatkan akral hangat, pada palpasi abdomen tidak
didapatkan nyeri tekan dan tidak terdapat hepatosplenomegali. Pada hasil pemeriksaan
laboratorium terdapat penurunan hemoglobin dan leukositosis.
.

13
4. DIAGNOSIS BANDING
4.1. Diare
4.1.1. Disentri amoeba
4.1.2. Disentri basiler
4.1.3. Salmonellosis
4.1.4. Colitis ulserasi
4.1.5. Skistosomiasis

5. DIAGNOSIS KERJA
5.1. Disentri
5.2. Diare akut dehidrasi sedang

6. TERAPI
• Infus RL 7 tpm
• Zinc 1x 20 mg
• Infus KDN 5 tpm
• injeksi Cefotaxim 2x250mg
• Nistatin 3x1cc
• Hidrocortison salf 3x1
• Promuba sirup 3 x ¾ cth
• Cefadroxyl 2 x ½ cth

Initial Edukasi
• Menjelaskan kepada keluarga pasien tentang penyakit pasien penyebab, dan
penatalaksanaan
• Menjelaskan prognosis tentang penyakit pasien
• Berikan asupan cairan pada pasien setiap BAB
• Menjaga higienitas makanan yang baik
• Tempat wadah susu, gelas, dan sendok harus selalu bersih
• Keluarga /ibu harus Cuci tangan sebelum dan setelah memegang pasien
• Penggantian pampers, cek setiap 2 jam

14
7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : ad bonam
Quo ad fungsionam : ad bonam

15
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENDAHULUAN
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan buang air besar lebih dari tiga kali dalam sehari
dengan perubahan konsistensi dari feses baik cair maupun lembek. Diare merupakan salah satu
penyebab tingginya morbiditas dan mortilitas pada balita di seluruh dunia dengan 3 juta
kematian tiap tahunnya (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011). Usia balita adalah usia yang
paling mudah terkena diare karena sistem kekebalan tubuh pada anak masih rendah sehingga
mudah diserang oleh bakteri (Kemenkes RI, 2011c). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan
oleh Riskesdas tahun 2013 prevalensi diare di Indonesia mencapai angka 7%, dan berdasarkan
kelompok usia prevalensi tertinggi adalah pada usia 1-4 tahun yaitu 12,2% (Kemenkes RI,
2011). 1,2
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurwidiati tahun 2010 kasus diare pada tahun
2008 di RSUD Dr. Moewardi terdapat sekitar 657 kasus. Angka tersebut menempati pringkat
10 penyakit dan lebih dari 50% kasus merupakan pasien anak. Diare akut adalah suatu penyakit
dimana pasien mengalami buang air besar dengan konsistensi cair dan frekuensi lebih dari tiga
kali dalam sehari selama kurang dari satu minggu (Ikatan Dokter Anak indonesia, 2009).
Penyebab diare akut adalah bakteri, virus dan parasit seperti protozoa dan cacing (World
Gastroenterology Organisation, 2008). 1,2
Diare akut dibagi menjadi dua yaitu diare akut infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme dan diare akut non infeksi yang disebabkan karena kondisi psikologi.
Kemudian diare akut infeksi dibagi lagi menjadi dua yaitu diare inflamasi dan diare non
inflamasi dimana diare inflamasi ditandai dengan adanya leukosit dan darah dalam (disentri).
Salah satu gejala dari diare akut yang ditandai dengan adanya darah dan lendir dalam tinja
didiagnosis sebagai disentri (World Gastroenterology Organisation, 2008). 1,2
Disentri merupakan suatu syndrome dimana terdapat diare akut yang disertai dengan darah
dan lendir, serta nyeri saat mengeluarkan tinja. Darah ditemukan secara kasat mata. Apabila
darah ditemukan secara mikroskopis atau darah berwarna hitam (perdarahan saluran cerna atas)
tidak masuk dalam kriteria disentri. Penanganan disentri dan diare akut infeksi tanpa adanya
darah berbeda karena penyebab utama dari disentri adalah bakteri (World Health Organization,
2005). Karena penanganannya berbeda maka evaluasi penggunaan antibiotik digolongkan

16
sesuai diagnosisnya yaitu disentri atau diare akut. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
menyebutkan bahwa pemberian antibiotik harus dilakukan segera pada anak dengan disentri.1,2
Terdapat 2 bentuk disentri yaitu disentri amoeba dan disentri basiler yang disebabkan oleh
bakteri terutama Shigella sp. Disentri amoeba, disebabkan Entamoeba hystolitica. E.
histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai komensal di usus besar manusia.
Entamoeba hystolitica dapat menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding usus
dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus hidup amoeba ada 2
bentuk, yaitu bentuk kista (bentuk infektif) dan bentuk trofozoid (bentuk invasif). Bentuk kista
hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista menyebabkan terjadinya penularan penyakit dan
dapat bertahan hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan terhadap asam lambung dan klor.
Sedangkan Sementara trofozoit dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal)
maupun luar usus (ekstraintestinal) dan dapat mengakibatkan gejala klinis pada disentri yang
disebabkan amoeba. Selain E. histolytica, terdapat spesies lain seperti E. dispar yang
menimbulkan keluhan yang lebih ringan disbanding E. histolytica, kemudian E. Moskovskii, E.
polecki dan E. hartmanni. 1,2
Disentri basiler disebabkan oleh berbagai bakteri yang dapat menginvasi kedalam mukosa
usus serta menghasilkan toksin yang dapat menimbulkan gelaja berupa diare berdarah.
Penyebab tersering disentri basiler adalah Shigella,sp. Shigella adalah basil non motil, gram
negatif, famili enterobacteriaceae. Terdapat 4 spesies Shigella, yaitu S. dysentriae, S. flexneri,
S. bondii dan S. sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang
mempunyai serotipe tunggal. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal
dan menyebabkan infeksi dengan jumlah 102 -103 organisme. Selain Shigella sp, terdapat
kuman lain seperti kuman Salmonella, C. jejuni, E. coli (EIHEC) dan C. difficle. 1,2

1. DISENTRI AMOEBA

Amebiasis (disentri amoeba, enteritis amoeba, kolitis amoeba) adalah penyakit infeksi
usus besar yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica. Penyakit ini tersebar hampir
di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini
disebabkan karena faktor kepadatan penduduk, hygiene individu, dan sanitasi lingkungan
hidup serta kondisi sosial ekonomi dan kultural yang kurang baik.1,2,3

Meskipun banyak kasus amebiasis bersifat asimptomatik, kelainan disentri dan penyakit
invasive ekstraintestinal dapat terjadi. Amebic liver disease adalah manifestasi tersering dari
amebiasis invasive tetapi organ lain juga dapat terkena seperti pulmo-pleura, jantung, otak,

17
ginjal, genitourinary, peritoneal dan kulit. Pada Negara berkembang, amebiasis menyerang
terutama pada imigran dan pelancong yang dating ke tempat endemic, hubungan sex antar jenis
dan keadaan imunokompromais. 1,2,3

E histolytica menyebar melalui jalur fekal-oral, tertelan dalam bentuk kista (bentuk
infektif). Kista mampu bertahan di lingkungan berminggu minggu hingga tahunan, dapat
ditemukan di tanah, makanan atau air yang terkontaminasi. Transmisis fekal-oral juga dapat
terjadi pada hubungan sexual melalui anal atau inokulasi langsung dari rektal melalui alat
irigasi kolon. 1,2,3

1.1 ETIOLOGI

Disentri amoeba, disebabkan Entamoeba hystolitica. E. histolytica merupakan suatu


protozoa usus, sering hidup sebagai komensal di usus besar manusia. E. histolytica termasuk
kelas dalam kelas Rhizopod dapat menjadi patogen dengan cara membentuk koloni di dinding
usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Selain E. histolytica, terdapat spesies lain seperti E. dispar yang menimbulkan keluhan
yang lebih ringan disbanding E. histolytica, kemudian E. Moskovskii, E. polecki dan E.
hartmanni. 1,2,3

1.2 MARFOLOGI

Siklus hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk kista (bentuk infektif) dan bentuk trofozoid
(bentuk invasif). Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista menyebabkan
terjadinya penularan penyakit dan dapat bertahan hidup lama di luar tubuh manusia serta tahan
terhadap asam lambung dan klor. Sedangkan Sementara trofozoit dapat dijumpai di lumen dan
dinding usus (intraintestinal) maupun luar usus (ekstraintestinal) dan dapat mengakibatkan
gejala klinis pada disentri yang disebabkan amoeba. 1,2,3

Trofozoid memiliki ciri-ciri:

1. Ukuran 10-60 um
2. Sitoplasma bergranular dan mengandung eritrosit
3. Terdapat satu buah inti ditandai dengan karyosom padat yang terletak ditengah inti dan
kromati yang tersebar dipinggiran inti
4. Bergerak progresif dengan alat gerak ektoplasma yang lebar disebut pseudopodia

Kista memiliki ciri-ciri:

18
1. Bentuk memadat mendekati bulat ukuran 10-20 um
2. Kista metang memiliki 4 buah inti entamoeba
3. Tidak dijumpai eritrosit dalam sitoplasma
4. Kista belum matang memiliki glikogen (chromatoidal bodies) berbentuk cerutu dan
menghilang saat kista matang

1.3 PATOFISIOLOGI

Pada disentri amuba, penyebaran melalui fekal-oral, makanan, minuman hingga hubungan
sexual sesama jenis. Kista entamoeba histolytica mampu bertahan di tanah yang lembab selama
8-12 hari, di air 9-30 hari dan di suhu dingin dapat bertahan hingga 3 bulan. Kista cepat rusak
oleh pengeringan dan pemanasan 50C.
Mula-mula kista tertelan kemudian sampai di usus halus atau usus besar, kista mengalami
ekskistasi berubah menjadi 4 kemudian 8 trofozoid. Kemudian trofozoid akan melekat pada
mukosa usus dan melakukan invasi sehingga menimbulkan perlukaan pada dinding mukosa
usus sehingga terbentuk ulkus. Pada disentri yang disebabkan amuba, ulkus menggaung dengan
tepi ulkus meninggi dan ditutupi eksudat kuning. Kemudian trofozoid akan terbawa aliran
darah menuju organ lain, seperti hepar (aliran vena porta) sehingga terbentuk abses liver,
kemudian dapat menuju paru, jantung, otak, ginjal hingga kulit. Tidak semua trofozoid akan
menginvasi mukosa usus, beberapa trofozoid akan menuju kolon dan membentuk kista
(enkistasi) kemudian ikut terekskresi bersama feses. 1,2,3

1.4 PATOGENESIS

Perlekatan trofozoid pada sel epitel kolon dimediasi oleh N- acetylgalactosamine


(GAL/GaINAc), protein permukaan 260-kd yang mengandung subunit 170-kd dan 35 -kd
subunit. Respon imunoglobulin A (IgA) mukosa pada lektin ini dapat menyebabkan infeksi
berulang yang lebih sedikit. Sitolisis dapat dilakukan oleh amoebapores, famili peptida yang
mampu membentuk pori-pori di lapisan ganda lipid. Selanjutnya, pada percobaan hewan, abses
hati, trofozoit menginduksi apoptosis melalui jalur reseptor non-Fas dan non-tumor necrosis
factor (TNF) -α1. Amoebapores, pada konsentrasi sublytic, juga dapat menginduksi apoptosis.
Cysteine proteinase terlibat langsung dalam invasi dan inflamasi usus dan dapat
memperkuat peradangan interleukin (IL) -1 dengan menirukan tindakan enzim pengubah IL-1
manusia, membelah prekursor IL-1 ke bentuk aktifnya. Protein sistein juga dapat membelah
dan meninaktifkan anafilatoksin C3a dan C5a, serta IgA dan imunoglobulin G (IgG). E

19
histolytica memiliki sekitar 100 kumulatif transmembran kinase (TMKs), yang umumnya
dibagi menjadi 9 subkelompok. Dari jumlah tersebut, EhTMKB1-9 diekspresikan dalam
trofozoit yang berproliferasi dan diinduksi oleh serum. Dalam percobaan hewan, ditemukan
fagositosis terlibat dan berperan sebagai faktor virulensi pada kolitis amebis. Temuan ini
menunjukkan bahwa TMK seperti EhTMKB1-9 mungkin merupakan target menarik untuk
pengembangan obat masa depan. 1,2,3
Sel epitel juga menghasilkan berbagai mediator inflamasi, termasuk IL-1β, IL-8, dan
cyclooxygenase (COX) -2, yang bekerja sebagai kemoantraktan neutrofil dan makrofag. Terapi
kortikosteroid diketahui memperburuk hasil klinis, mungkin karena efeknya yang menurunkan
respons imun bawaan ini. Pertahanan host tambahan, termasuk sistem komplemen, dapat
dihambat secara langsung oleh trofozoit, seperti haisl temuan bahwa daerah lesi spesifik GAL
/ GalNAc menunjukkan antigenik crossreactivity dengan CD59, penghambat membran
kompleks serangan C5b-9 di sel darah merah manusia. 1,2,3
Penyebaran amebiasis ke hati terjadi melalui darah portal. Strain patogenik menghindari
lisis yang dimediasi komplemen dalam aliran darah. Trophozoit yang mencapai hati
menciptakan abses dengan daerah hepatosit hepatosit yang dikelilingi oleh beberapa sel
inflamasi dan trofozoit dan hepatosit yang tidak terpengaruh. Temuan ini menunjukkan bahwa
organisme E histolytica mampu membunuh hepatosit tanpa kontak langsung. Antibodi serum
pada pasien abses hati amebic berkembang dalam 7 hari dan bertahan selama 10 tahun. Respon
IgA mukosa terhadap histolytica E terjadi selama amebiasis invasif; Namun, tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa amebiasis invasif meningkat pada kejadian atau tingkat keparahan
pada pasien dengan defisiensi IgA. 1,2,3
Imunitas yang dimediasi sel penting dalam membatasi penyakit dan mencegah
kekambuhan. Respon blastogenik antigen spesifik terjadi, yang menyebabkan produksi
limfokin, termasuk delta interferon, yang mengaktifkan pemusnahan trofozoit E histolytica
oleh makrofag. Pemusnahan ini tergantung pada kontak, jalur oksidatif, jalur nonoksidatif, dan
oksida nitrat (NO). Limfokin, seperti TNF-α, mampu mengaktifkan aktivitas amebisida
neutrofil. Inkubasi limfosit CD8 + dengan antigen E histolytica in vitro memunculkan aktivitas
sel T sitotoksik melawan trofozoit. Selama amebiasis invasif akut, respons sel T terhadap
antigen E histolytica tertekan oleh faktor serum yang diinduksi oleh parasit. 1,2,3

1.5 KLASIFIKASI

Berdasarkan berat ringannya gejala yang ditimbulkan maka amebiasis dapat dibagi menjadi:
carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri amoeba ringan), amebiasis intestinal

20
sedang (disentri amoeba sedang), disentri amoeba berat, disentri amoeba kronik. 1,2,3

1.6 MANIFESTASI KLINIS

Masa inkubasi untuk infeksi E histolytica biasanya 2-4 minggu namun bisa berkisar
dari beberapa hari sampai bertahun-tahun. Spektrum klinis amebiasis berkisar dari infeksi
asimtomatik hingga kolitis fulminan dan peritonitis hingga amebiasis ekstraintestinal, bentuk
yang paling umum adalah abses hati amebis. Amebiasis lebih parah pada pasien yang sangat
muda, pada pasien lanjut usia, dan pada pasien yang menerima kortikosteroid. 1,2,3

Infeksi asimtomatik sering terjadi setelah menelan parasit. E dispar tidak menyebabkan
penyakit invasif atau produksi antibodi. Sebanyak 90% infeksi E histolytica juga asimtomatik.
Sulit membedakan antara E histolytica dan E dispar berdasarkan klinis, tetapi tes deteksi
antigen dapat membedakan keduanya. Amebiasis intestinal memiliki onset secara bertahap,
dengan gejala yang muncul selama 1-2 minggu, Pola ini membedakan dari disentri bakteri.
Diare adalah gejala yang paling umum. Pasien dengan pasien dengan kolitis amebik biasanya
mengalami kram sakit perut, diare berair atau berdarah, dan penurunan berat badan atau
anoreksia. Demam tercatat pada 10-30% pasien. Amebiasis usus dapat menyerupai apendisitis
akut. Perdarahan rektum tanpa diare bisa terjadi, terutama pada anak-anak. 1,2,3

Pasien dengan amebiasis intestinal akut mungkin memiliki nyeri tekan abdomen
kuadran bawah (12-85% kasus). Demam dicatat hanya pada sebagian kecil pasien (10-30%).
Penurunan berat badan terjadi pada 40%. Dehidrasi jarang terjadi. Darah okultisme hampir
selalu ada pada tinja (70-100%). Fulminant amebic colitis biasanya ditandai dengan sakit perut,
distensi, dan nyeri lepas. 1,2,3

1.6.1 Carrier (Cysf Passer)

Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena amoeba
yang berada di dalam lumen usus besar, tidak mengadakan invasi ke dinding usus. 1,2,3

1.6.2 Amebiasis lntestinal Ringan (Disentri Amoeba Ringan)

Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya mengeluh


perut kembung, kadangkadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul diare
ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang-kadang tinja bercampur darah dan

21
lendir. Sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid. Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip
ulkus peptik. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien
biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang-kadang terdapat
hepatomegali yang tidak atau sedikit nyeri tekan. 1,2,3

1.6.3 Amebiasis lntestinal Sedang (Disentri Amoeba Sedang)

Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat disbanding disentri ringan, tetapi pasien masih
mampu melakukan aktivitas sehari-hari, tinja disertai darah dan lendir. Pasien mengeluh perut
kram, demam dan lemah badan, disertai hepatomegali yang nyeri ringan. 1,2,3

1.6.4 Disentri Amoeba Berat

Fulminant amebic colitis adalah komplikasi yang jarang disentri amebic (<0,5% kasus).
Muncul dengan onset cepat diare berdarah hebat lebih dari 15 kali sehari, sakit perut parah, dan
bukti peritonitis dan demam tinggi (40 C - 40,5 C), disertai mual dan anemia. Faktor
predisposisi untuk kolitis fulminan meliputi gizi buruk, kehamilan, penggunaan kortikosteroid,
dan usia sangat muda (<2 tahun). Perforasi usus biasa terjadi. Pasien mengalami megacolon
toksik, yang biasanya terkait dengan penggunaan kortikosteroid. Angka kematian dari kolitis
amebis fulminan bisa melebihi 40%.. Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan pemeriksaan
sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan perforasi usus. 1,2,3

1.6.5 Disentri Amoeba Kronik

Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan serangan diare diselingi


dengan periode normal atau tanp gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare biasanya
terjadi karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna. Kolitis amebik kronis
secara klinis mirip dengan penyakit radang usus (IBD). Episode berulang dari diare berdarah
dan ketidaknyamanan perut yang tidak jelas berkembang pada 90% pasien dengan kolitis
amebik kronis yang memiliki antibodi terhadap E histolytica. Kolitis amebis harus
dikesampingkan sebelum pengobatan dugaan IBD karena terapi kortikosteroid memperparah
amebiasis. 1,2,3

1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis laboratorium amebiasis tegakan dengan menemukan organisme atau dengan


menggunakan teknik imunologi. 1,2,3

22
1.7.1 Pemeriksaan Darah

Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan leukositosis tanpa eosinofilia (80%),


penurunan albumin, anemia ringan, Peningkatan laju LED, Peningkatan kadar alkali fosfatase,
Peningkatan kadar transaminase dan bilirubin sedikit meningkat. 1,2,3

1.7.2 Pemeriksaan Tinja

Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting. Biasanya


tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik diperlukan
tinja yang segar. Kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3 kali seminggu
dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan. Pada pemeriksaan tinja yang
berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk kista dan trofozoit mungkin dapat
ditemukan. Pemeriksaan mikroskopis tinja segar untuk trofozoit yang mengandung sel darah
merah yang dicerna (RBCs). Adanya sel darah merah intrasitoplasma di trophozoit merupakan
nilai diagnostik infeksi E histolytica, meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan
fenomena yang sama dengan E dispar. Pemeriksaan sampel tinja tunggal hanya memiliki
kepekaan hanya 33-50%; Namun, pemeriksaan terhadap 3 sampel tinja tidak lebih dari 10 hari
dapat memperbaiki tingkat deteksi menjadi 85-95%. Perlu diingat bahwa mikroskop rutin tidak
dapat diandalkan untuk membedakan histolytica E patogen dari E yang tidak patogen dan
berbeda E. moshkovskii. Leukosit feses dapat ditemukan, namun jumlahnya lebih sedikit
daripada shigellosis. Temuan pemeriksaan feses pada pasien abses hati amebic biasanya
negatif. Pengambilan sampel tinja berulang pada pasien dengan abses hati amebic terbukti
positif pada 8-40% kasus. Identifikasi parasit dalam aspirasi abses hati hanya 20% sensitif. 1,2,3

Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di
dalamnya terdapat badan-badan kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul,
sedangkan inti tidak tampak. Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan
tetapi dengan larutan lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit,
dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan
eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan dengan
larutan eterformalin kista akan mengendap. Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit.
Untuk itu diperlukan tinja yang masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang
mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih
bergerak aktif seperti keong dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja
berdarah, akan tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas

23
bila dibuat sediaan dengan larutan eosin. 1,2,3

1.7.3 Kultur

Kultur dapat dilakukan baik dengan specimen tinja atau biopsi rektum atau dengan
aspirasi abses hati. kultur memiliki tingkat keberhasilan 50-70%, namun secara teknis sulit.
Secara keseluruhan, kultur kurang sensitif dibanding mikroskop. 1,2,3

Kultivasi Xenic, yang pertama kali diperkenalkan pada tahun 1925, didefinisikan
sebagai pertumbuhan parasit dengan adanya flora yang tidak terdefinisi. Teknik ini masih
digunakan sampai sekarang, menggunakan media Locke-egg yang dimodifikasi. Kultivasi
Axenic, yang pertama kali dicapai pada tahun 1961, melibatkan pertumbuhan parasit tanpa
adanya sel metabolisme lainnya. Hanya sedikit strain E dispar yang dilaporkan layak dilakukan
dalam budaya axenic. 1,2,3

1.7.4 Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi

Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala disentri,
terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba. Akan tetapi pemeriksaan ini
tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus yang khas dengan
tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-ulkus tampak normal.
1,2,3

1.7.5 Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi

Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali ulkus tidak
tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon dengan barium enema
tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip karsinoma.
1,2,3

1.7.6 Pemeriksaan Serologi

Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan
epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan (invasif). Oleh karena itu
uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier. Hasil
uji serologis positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti bukan
amebiasis. 1,2,3

1.7.7 Deteksi antigen dan antibodi

24
Uji immunosorbent enzyme-linked (ELISA) digunakan untuk mendeteksi antigen dari
E histolytica pada sampel tinja. ELISA berbasis antigen menggunakan antibodi monoklonal
terhadap genase galaktosa / N -acetylgalactosamine (GAL / GalNAc) -specific of E histolytica
(E histolytica II, TechLab, Blacksburg, VA) menghasilkan sensitivitas keseluruhan 71-100%
dan spesifisitas dari 93-100%. Satu studi menunjukkan sensitivitas yang jauh lebih rendah
(14,2%). Deteksi tinja lainnya menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen serin kaya
E histolytica (Optimum S; Merlin Diagnostika, Bornheim-Hersel, Jerman) atau melawan
antigen spesifik lainnya (Entamoeba CELISA-PATH, Cellabs, Brookvale, Australia; ProSpecT
EIA, Remle Inc, Lenexa, KY). Tidak ada tes antigen spesifik yang tersedia untuk mendeteksi
E dispar dan E moshkovskii dari sampel klinis. 1,2

Antibodi serum terhadap amebae terdapat pada 70-90% individu dengan infeksi
simptomatik E histolytica. Antibodi antiamebik terdapat pada 99% individu dengan abses hati
yang telah bergejala lebih dari 1 minggu. Pemeriksaan serologis harus diulang 1 minggu
kemudian pada mereka dengan tes negatif. Namun, tes serologis tidak membedakan infeksi
yang baru dari infeksi masa lalu, karena seropositifnya bertahan bertahun-tahun setelah infeksi
akut. ELISA, tes yang paling umum digunakan di seluruh dunia, mengukur adanya antibodi
antilektin serum (imunoglobulin G [IgG]). Antigen lectin galaktosa terdapat dalam 75% serum
subyek dengan abses hati amebik dan mungkin sangat berguna pada pasien yang hadir secara
akut, sebelum respons antibodi antiamebik IgG terjadi. Sensitivitas ELISA untuk mendeteksi
antibodi terhadap E histolytica pada pasien abses hati amebic adalah 97,9%, dan spesifisitasnya
adalah 94,8%. Hasil negatif palsu dapat terjadi dalam 7-10 hari pertama setelah infeksi. 1,2

1.8 DIAGNOSIS

Amebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari irritable bowel syndrome


(IBS), divertikulitis, enteritis regional, dan hemoroid interna, sedang disentri amoeba sukar
dibedakan dengan disentri basilar (shigellosis) atau salmonelosis, colitis ulserosa, dan
skistosomiasis (terutama di daerah endemis).Disentri amuba Timbulnya penyakit biasanya
perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang. Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang
dan sakit berbatas. Tinja biasanya besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk
biasanya tercampur lendir. Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang
mengenai ileum. Ulkus yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti botol. 1,2,3

25
Tinja penderita amebiasis tidak banyak mengandung leukosit, tetapi banyak
mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat ditegakkan apabila ditemukan stadium
trofozoit amoeba. Akan tetapi dengan diketemukan amoeba tersebut tidak berarti
menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain, karena amebiasis dapat terjadi
bersamaan dengan penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis terdapat bersamaan
dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu bila pasien amebiasis yang telah mendapat
pengobatan spesifik masih tetap mengeluh perutnya sakit, perlu dilakukan pemeriksaan lain
misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema, atau biakan tinja. Abses hati amoeba
sukar dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma dan kista hidatidosa. Ultrasonografi dapat
membedakannya dengan neoplasma, sedang ditemukan echinococcus dapat membedakannya
dengan abses piogenik. Salah satu cara adalah dengan pungsi abses. 1,2,3

1.9 KOMPLIKASI

1.9.1 Komplikasi Intestinal

Perdarahan usus terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan
merusak pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat fatal. Perforasi usus terjadi
apabila abses menembus lapisan muskular dinding usus besar. Sering mengakibatkan
peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat terjadi akibat pecahnya abses hati
amoeba. Ameboma terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi terbentuknya
massa jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid, sukar dibedakan
dengan karsinoma usus besar. Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan operasi
segera. Penyempitan usus (striktura) dapat terjadi pada disentri kronik, akibat terbentuknya
jaringan ikat atau akibat ameboma. 1,2,3

1.9.2 Komplikasi Ekstra lntestinal

Abses hati amoeba merupakan penyulit ekstra intestinal yang paling sering terjadi. Di
daerah tropis, terutama di Asia Tenggara, insidensnya berkisar 5-40%. Lebih banyak terdapat
pada laki-laki daripada wanita, tersering pada usia 30-40 tahun. Abses dapat timbul beberapa
minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi amoeba; kadang-kadang terjadi tanpa diketahui
menderita disentri amoeba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi amoeba dan
dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening. Mula-mula terjadi

26
"hepatitis amoeba" yang merupakan stadium dini abses hati, kemudian timbul nekrosis fokal
kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang
besar. Dapat pula terjadi abses majemuk. Sesuai dengan arah aliran vena porta, maka abses hati
amoeba terutama banyak terdapat di lobus kanan. 1,2,3

Abses berisi "nanah" kental yang steril tidak berbau, berwarna kecoklatan (cho-colate
paste), terdiri atas jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwarna
kuning kehijauan, karena bercampur dengan cairan empedu. Pasien sering mengeluh nyeri
spontan di perut kanan atas, kalau berjalan posisinya membungkuk ke depan dengan kedua
tangan diletakkan di atasnya. Hati teraba di bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam
tinggi yang bersifat intermiten atau remiten. Kadang-kadang terasa nyeri tekan lokal di daerah
antara iga ke-8, ke-9 atau ke- 10, jarang terjadi ikterus. 1,2,3

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis moderat (5. 000- 25 000/rnm3)


yang terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear. Faal hati jarang terganggu dan jarang
ditemukan amoeba di dalam tinja. Amoeba dapat ditemukan di dalam bahan cairan aspirasi
abses bagian terakhir atau bahan biopsi dinding abses. Pada pemeriksaan penerawangan
tampak peninggian hemidiafragma kanan, gerakannya menurun atau kadangkadang terjadi
gerakan paradoksal (pada waktu inspirasi diafragma justru bergerak ke atas). Pada pemeriksaan
foto dada postero-anterior maupun lateral kanan, tampak sudut kostofrenik kanan tumpul di
bagian depan (pada abses hati piogenik, tumpul di bagian belakang). 1,2,3

Amebiasis pleuropulmonal dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kira-kira
10-20% abses hati amoeba dapat mengakibatkan penyulit ini. Dapat timbul cairan pleura,
atelektasis, pneumonia, atau abses paru. Abses paru dapat pula terjadi akibat embolisasi
amoeba langsung dari dinding usus besar. Dapat terjadi hiliran (fistel) hepatobronkial,
penderita batuk-batuk dengan spufum berwarna kecoklatan yang rasanya seperli hati. Abses
otak, limpa, dan organ lain. Abses otak, limpa, dan organ lain dapat terjadi akibat embolisasi
amoeba langsung dan dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang
terjadi. 1,2,3

Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi amoeba langsung dari dinding usus besar,
dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau di dinding perut.
Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi amoeba yang berasal dari anus. 1,2,3

27
1.10 PROGNOSIS

Prognosis ditentukan oleh berat-ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini


yang tepat, serta kepekaan amoeba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis
amebiasis adalah baik terutama yang tanpa komplikasi. Pada abses hati amoeba kadang-
kadang diperlukan tindakan pungsi untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan
amebiasis yang disertai penyulit efusi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak
amoeba.1,3

1.11 PENCEGAHAN

Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat kesehatan
merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum sebaiknya dimasak
dulu, karena kista akan mati bila air dipanaskan 50 C selama 5 menit. Pemberian klor dalam
jumlah yang biasa digunakan dalam proses pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat
membinasakan kista. Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan carrier.1,3

28
2. DISENTRI BASILER
2.1. PENDAHULUAN

Disentri basiler atau disentri bakteri adalah suatu infeksi intestinal disebabkan oleh
berbagai bakteri yang dapat menginvasi kedalam mukosa usus serta menghasilkan toksin yang
dapat menimbulkan gejala berupa diare berdarah dan dapat disertai lender serta nyeri saat
buang air besar (tenesmus). Penyebab tersering disentri basiler adalah Shigella,sp. Shigella
adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae. Terdapat 4 spesies Shigella,
yaitu S. dysentriae, S. flexneri, S. bondii dan S. sonnei. Terdapat 43 serotipe O dari shigella.
S.sonnei adalah satu-satunya yang mempunyai serotipe tunggal. Genus ini memiliki
kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan menyebabkan infeksi dengan jumlah 102 -103
organisme. Selain Shigella sp, terdapat kuman lain seperti kuman Salmonella, C. jejuni, E. coli
(EIHEC) dan C. difficle. Di dunia sekurangnya 200 juta kasus dan 650.000 kematian terjadi
akibat disentri basiler pada anak-anak di bawah umur 5 tahun. Kuman penyakit disentri basiler
didapatkan di mana-mana di seluruh dunia, tetapi kebanyakan ditemukan di negara-negara
sedang berkembang, yang kesehatan lingkungannya masih kurang. DiAmerika Serikat,
insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari 500.000 kasus yang dilaporkan ke
Centers for Disease Conlrol and Prevention (CDC). Hasil penelitian yang dilakukan di
beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni 1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848
orang penderita diare berat. 4,5

2.2 PATOFISIOLOGI

Shigellosis terjadi ketika spesies Shigella menyerang lapisan epitel ileum terminal,
kolon, dan rektum, menyebabkan diare dan disentri basiler yang berkisar dari penyakit ringan
sampai berat. Shigellosis sangat menular dan menyebar melalui transmisi fecal-oral. Shigella
sonnei dan Shigella flexneri menyebabkan 90% kasus shigellosis; Shigella dysenteriae telah
menghasilkan shigellosis epidemik. Waktu yang tidak diobati, disentri fulminan bisa terjadi
dan berpotensi berakibat fatal. Tidak ada vaksin terhadap spesies Shigella yang ada, namun ada
beberapa yang sedang dikembangkan..Shigella memasuki host melalui jalur oral. Karena
secara genetik bertahan terhadap PH yang rendah, mereka dapat melewati barier asam
lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, lalat yang tercemar oleh ekskreta pasien.
Secara endemik pada daerah tropis penyebaran melalui air yang tercemar oleh tinja pasien,
makanan yang tercemar oleh lalat, dan pembawa hama (carrier). Untuk menemukan carrier

29
diperlukan pemeriksaan biakan tinja dengan teliti karena basil shigella mudah mati, untuk itu
diperlukan tinja yang baru. 4,5

Berbagai jenis shigella (misalnya S dysenteriae, S flexneri, S sonnei, S boydii) adalah


aerobik, nonmotile, glukosa-fermentasi, batang gram negatif yang sangat menular,
menyebabkan diare setelah menelan sedikitnya 180 organisme. Patogen ini menyebabkan
kerusakan oleh dua mekanisme, yaitu: (1) invasi epitel kolon, yang bergantung pada faktor
virulensi yang dimediasi plasmid dan (2) produksi enterotoksin, yang tidak penting untuk
colitis tapi meningkatkan virulensi. Lapaquette dkk menunjukkan bahwa S flexneri
menggunakan mekanisme kalsium / calpain-dependent untuk menyebabkan penghambatan
sumoylation, sehingga memungkinkan masuk bakteri patogen. Basil disentri tidak ditemukan
di luar rongga usus dan tidak merusak selaput lendir. Kelainan pada selaput lender disebabkan
oleh toksin kuman. Lokasi usus yang terkena adalah usus besar dan dapat mengenai seluruh
usus besar' dengan kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ileum hanya
ditemukan hiperemik saja. 4,5

Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemis, lebam dan tebal,
nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut terbentuk ulkus pada
daerah folikel limfoid, dan pada selaput lender lipatan transversum didapatkan ulkus yang
dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan adanya infiltrat, tetapi tidak pemah berbentuk ulkus
bergaung (seperti pada disentri amuba). Selaput lender yang rusak ini mempunyai warna hijau
yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput tebalnya sampai 1,5 cm
sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen usus mengecil. Dapat terjadi
perlekatan dengan peritoneum. 4,5

2.3 KELUHAN DAN GEJALA KLINIS

Masa tunas penyakit ini berlangsung dari beberapa jam sampai 3 hari, jarang lebih dari
3 hari. Mulai terjangkit sampai timbulnya gejala khas biasanya berlangsung cepat, sering secara
mendadak, tetapi dapat juga timbul perlahan-lahan. Gejala yang timbul bervariasi : defekasi
sedikit sedikit dan dapat terus-menerus, sakit perut dengan rasa kolik dan mejan, muntah-
muntah, sakit kepala. Sifat kotoran mulanya sedikit-sedikit sampai isi usus terkuras habis,
selanjutnya pada keadaan ringan masih dapat mengeluarkan cairan, sedangkan bila keadaan
berat tinja berlendir dengan wama kemerah-merahan (red currant jelly) atau lendir yang bening

30
dan berdarah, bersifat basa. 4,5

Secara mikroskopik didapatkan sel-sel pus, sel-sel darah putih/merah, sel makrofag
yang besar, kadang-kadang dijumpai Entamoeba coli. Suhu badan bervariasi dari rendah-
tinggi, nadi cepat, dan gambaran sel-sel darah tepi tidak mengalami perubahan. Bentuk klinis
dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang berat. Bentuk yang berat
biasanya di sebabkan oleh S. dysentriae. Berjangkitnya cepat, BAB air, muntah-muntah, suhu
badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik, dan dapat meninggal bila tidak cepat
ditolong. Kadang-kadang gejalanya tidak khas dapat berupa seperti gejala kolera atau
keracunan makanan. 4,5

Pada kasus yang berat ini gejala-gejalanya timbul secara mendadak dan berat, dengan
pengeluaran tinja yang banyak berlendir dan berdarah serta ingin berak yang terus menerus.
Akibatnya timbul timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang karena
dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin, dan viskositas darah
meningkat (hemokosentrasi). Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti
pengeluaran tinja sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Di daerah anus terjadi luka
dan nyeri, kadang-kadang timbul prolaps. Bila ada hemoroid yang biasanya tidak timbul akan
menjadi mudah muncul ke luar. Suhu badan tidak khas biasanya lebih tinggi dari 39"C tetapi
bisa juga subnormal. Nadi cepat halus, muntah-muntah. Nyeri otot dan kejang kadang-kadang
ada. 4,5

Perkembangan selanjutnya berupa keluhan-keluhan yang bertambah berat, keadaan


umum memburuk, inkotinensia urin dan alvi, gelisah, tapi kesadaran masih tetap baik,
kelainan-kelainan menjadi bertambah berat. Kematian biasanya terjadi karena gangguan
sirkulasi perifer, anuria, dan koma uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan
tindakan pengobatan. Angka ini bertambah pada keadaan malnutrisi, dan keadaan darurat
misalnya kelaparan. Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-
lahan tetapi memerlukan waktu penyembuhan yang lama, penyembuhan yang cepat jarang
terjadi. 4,5

Pada bentuk serangan sedang, keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lender. Bentuk yang ringan, keluhan-
keluhanl gejala tersebut di atas lebih ringan. Pada bentuk yang menahun, terdapat serangan
seperti bentuk akut secara menahun. Benfuk ini jarang sekali terjadi bila mendapat pengobatan
yang baik. 4,5

31
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksan darah

Pada laboratorium umumnya ditemukan leukosit fekal dan eritrosit, Kadar hematokrit, natrium,
dan nitrogen urea yang sedikit meningkat mengindikasikan penurunan volume pada kasus
shigellosis. Leukositosis jarang terjadi. Temuan positif pada kultur tinja spesimen tinja segar
pada pasien yang immunocompromised (misalnya, terinfeksi human immunodeficiency virus
[HIV]), kultur darah jarang membantu dalam kasus shigellosis. 4,5

Gambaran endoskopi

Gambaran endoskopi, memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan ulserasi. Kadang-
kadang tertutup dengan eksudat. Sebagianbesar lesi berada dibagian distal kolon dan secara
progresif berkurang di segmen proksimal usus besar. 4,5

2.5 KOMPLIKASI

Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler, terjadi pada pasien yang berada
di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan infeksi oleh
S. dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan keadaan gizi yang buruk. Adanya
bakteriemia, akan menyebabkan angka kematian yang tinggi pada pasien yang berumur kurang
dari 1 tahun. Faktor lain yang memperberat bakteriemia di Amerika Serikat yaitu apabila pasien
dengan acquired immunodefiency syndrome (AIDS).4,5

Komplikasi lain disentri basiler oleh infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic
uremic syndrome (HUS). Biasanya HUS ini timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler,
pada saat disentri basilernya mulai membaik. Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria,
penurunan hematocrit dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat
dengan gagal jantung. Dapat pula dengan HUS ini, terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih
dari 50.000 per mikro liter), trombositopenia (30.000- 100.000 trombosit per mikro liter). Juga
dapat timbul hiponatremia dan hipoglikemia berat. Bisa pula timbul gejala susunan saraf pusat,
termasuk disini keluhan ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.4,5

Selanjutnya pada disentri basiler, dapat timbul komplikasi berupa artritis, yang
biasanya timbul pada masa penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar tenrtama lutut,

32
biasanya dihubungkan dengan infeksi S. flexneri. Kelainan ini dapat terjadi pada kasus yang
ringan, cairan sinoval sendi mengandung leukosit polirnorfonuklear. Penyembuhan dapat
sempurna, sedangkan keluhan arlritis ini dapat berlangsung sampai berbulan-bulan. 4,5

Stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula terjadi
obstruksi usus, walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer jarang terjadi, biasanya timbul
setelah serangan S.dysentriae yang toksik. Iritis atau iridosiklitis biasanya timbul bersama
dengan artritis. Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolapse rektal dan perforasi.
Peritonitis karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya pada stadium akhir atau
setelah serangan berat. Peritonitis dengan perlekatat y ang terbatas mungkin pula terjadi pada
beberapa tempat mempunyai angka kematian yang tinggi. Komplikasi lain yang dapat timbul
adalah bisul dan hemoroid. 4,5

2.6 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding disentri basiler ialah radang kolon yang disebabkan oleh kuman
enterohemoragik dan enteroinvasif E.coli, Campylobacter jejuni, Salmonella entereditis
erotipe, Yersinia enterocolitica, Clostridium dfficile dan protozoa Entamoeba histolytica.
Diagnosis banding yang tidak berhubungan dengan infeksi yaitu kolitis ulseratif atau Chron’s
disease. 4,5

Pemeriksaan Iain yangdapat membantu untuk menegakkan diagnosis disentri basiler


ialah pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab juga untuk amoeba dan
kista amoeba serta biakan hapusan (rectal swab). Metode diagnostik lainnya adalah polymerase
chain reaction (PCR) yang spesifik dan sensitif, tetapi belum dipakai secara luas. Pemeriksaan
etzimimmunoassay dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar penderita yang
terinfeksi dengan S. dysentriae tipe 1, atau toksin yang dihasilkan E.coli. Pada stadium lanjut
dilakukan pengerokan daerah sigmoid untuk pemeriksaan sitology (sigmoidoskopi). Aglutinasi
karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum pada hari keenam. Pada S.dysentriae
aglutinasi dinyatakan positif pada pengenceran 1/50, dan pada S./flexneri aglutinasi antibody
sangat kompleks, dan oleh karena adatya banyak strain maka jarang dipakai. 4,5

2.7 PROGNOSIS

Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan pengobatan

33
dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah. bentuk dysentriae
biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang ringan. Bentuk
flexneri mempunyai angka kematian yang rendah. 4,5

2.8 PENCEGAHAN

Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk shigella. Penularan disentri basiler dapat
dicegah dengan lingkungan yang bersih dan diri yang bersih. Membersihkan tangan dengan
sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan jamban yang bersih dapat mengurangi
penularan disentri basiler. Pengobatan antibiotika tidak dianjurkan untuk karier yang
asimptomatik. 4,5

3. PENGOBATAN DISENTERI

Prinsip pengobatan disenteri sama dengan pengobatan diare akut dengan mengikuti 5 pilar
tatalaksana diare yaitu: Rehidrasi, dukungan nutrisi, suplementasi zinc, antibiotic selektif,
edukasi.6,7

3.1 Rehidrasi

Salah satu komplikasi diare yang paling sering adalah dehidrasi. Mencegah terjadinya
dehidrasi dapat dilakukan mulai dari memberikan cairan rumah tangga yang dianjurkan seperti
air tajin, buah sayur atau air sup. Bila terjadi dehidrasi, anak harus segera dibawa ke petugas
kesehatan untuk mendapat pertolongan yang tepat dan cepat yaitu dengan oralit. Komposisi
cairan rehidrasi oral yang dianjurkan WHO selama 3 dekade terakhir ini dengan menggunakan
cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa telah berhasil menurunkan angka kematian
dehidrasi akibat diare, karena kombinasi gula dan garan meningkatkan penyerapan cairan di
usus. 6,7

Sesuai dengan anjuran WHO saat ini dianjurkan penggunaan CRO dengan formula baru
yaitu dengan komposisi Natrium 75 mmol/L, Kalium 20 mmol/L, klorida 65 mmol/L, sitrat
10mmol/L, glukosa 75 mmol/L dnegan total osmolaritasnya 245 mmol/L dibandingkan oralit
lama dengan Natrium 90 mmol/L, Kalium 20 mmol/L, klorida 80 mmol/L, sitrat 10 mmol/L,
glukosa 111 mmol/L dnegan total osmolaritasnya 311 mmol/L yang sebenarnya digunakan
untuk pengobatan kolera sehingga pada diare yang bukan kolera dapat terjadi hypernatremia.
6,7

34
Terapi rehidrasi sesuai derajat dehidrasi
• Tanpa dehidrasi (rencana terapi A)
• Dengan dehidrasi tak berat (rencana terapi B)
• Dengan dehidrasi berat (rencana terapi C)

3.1.1 RENCANA TERAPI A UNTUK MENGOBATI DIARE DI RUMAH (penderita diare


tanpa dehidrasi)

Ajari ibu untuk terus mengobati anak diare di rumah dan berikan terapi awal bila ada
anak yang terkena diare. Menjelaskan kepada orang tua empat cara terapi diare di rumah yaitu:
berikan anal lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi, beri Tablet zinc,
berikan anak makanan untuk mencegah kekurangan nutrisi dan bawa anak ke petugas jika tidak
membaik dalam 3 hari. 6,7

1. Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya untuk mencegah dehidrasi

Dapat digunakan cairan rumah tangga yang dianjurkan, seperti oralit, makanan yang cair
(seperti sup, air tajin) dan kalau tidak ada air matang gunakan larutan oralit untuk anak, seperti
dijelaskan dalam kotak di bawah (Catatan: jika anak berusia kurang dari 6 bulan dan belum
makan makanan padat lebih baik diberi oralit dan air matang daripada makanan cair). Berikan
larutan ini sebanyak anak mau, berikan jumlah larutan oralit seperti di bawah. Teruskan
pemberian larutan ini hingga diare berhenti. 6,7

2. Beri Tablet Zinc

Dosis zinc untuk Anak di bawah umur 6 bulan adalah 10 mg (1/2 tablet) per hari dan anak
di atas umur 6 bulan adalah 20 mg (1 tablet) per hari. Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-
turut, meskipun anak telah sembuh dari diare. Cara pemberian tablet zinc untuk bayi yaitu
dengan tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang
lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit. Tunjukkan cara
penggunaan tablet zinc kepada orang tua atau wali anak dan meyakinkan bahwa pemberian
tablet zinc harus diberikan selama 10 hari berturut-turut meskipun anak sudah sembuh. 6,7

3. Beri Anak Makanan Untuk Cegah Kurang Gizi

Untuk mencegah kekurangan gizi pada anak diare dapat dilakukan dengan meneeruskan
ASI. Bila anak tidak mendapatkan ASI berikan susu yang biasa diberikan. Untuk anak kurang

35
dari 6 bulan atau belum mendapat makanan padat, dapat diberikan susu. Bila anak 6 bulan atau
lebih atau telah mendapat makanan padat seperti Berikan bubur, bila mungkin campur dengan
kacang-kacangan, sayur, daging, atau ikan. Tambahkan 1 atau 2 sendok teh minyak sayur tiap
porsi. Berikan sari buah atau pisang halus untuk menambahkan kalium. Berikan makanan yang
segar. Masak dan haluskan atau tumbuk makanan dengan baik. Bujuklah anak untuk makan,
berikan makanan sedikitnya 6 kali sehari. Berikan makanan yang sama setelah diare berhenti,
dan berikan porsi makanan tambahan setiap hari selama 2 minggu. 6,7

4. Bawa Anak Kepada Petugas Bila Tidak Sembuh Dalam 3 hari atau mengalami keluhan
seperti:
buang air besar cair lebih sering, muntah terus menerus, rasa haus yang nyata, makan atau
minum sedikit, demam dan tinja berdarah.

KETENTUAN PEMBERIAN ORALIT FORMULA BARU:

Anak harus diberikan oralit di rumah apabila setelah mendapat Rencana Terapi B atau
C, tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan bila diare memburuk, emberikan oralit
kepada semua anak dengan diare yang datang ke petugas kesehatan merupakan kebijakan
pemerintah. 6,7

Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam
1 liter air matang, untuk persediaan 24 jam. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang
air besar, dengan ketentuan sebagai berikut : Untuk anak berumur kurang dari 2 tahun: berikan
50 sampai 100 ml tiap kali buang air besar. Untuk anak berumur 2 tahun atau lebih: berikan
100 sampai 200 ml tiap kali buang air besar. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit
masih tersisa, maka sisa larutan itu harus dibuang. 6,7

CARA MEMBERIKAN ORALIT:

§ Berikan satu sendok teh tiap 1-2 menit untuk anak dibawah umur 2 tahun.
§ Berikan beberapa teguk dari gelas untuk anak yang lebih tua.
§ Bila anak muntah, tunggulah 10 menit. Kemudian berikan cairan lebih lama (misalnya satu
sendok tiap 2-3 menit).
§ Bila diare berlanjut setelah oralit habis, beritahu ibu untuk memberikan cairan lain seperti
dijelaskan dalam cara pertama atau kembali kepada petugas kesehatan untuk mendapatkan
tambahan oralit. 6,7

36
3.1.2 Rencana Terapi B untuk Mengobati Diare di Rumah (penderita diare dengan dehidrasi
ringan-sedang/ tak berat)

Pada dehidrasi ringan-sedang atau tak berat, cairan rehidrasi oral diberikan dengan pemantauan
yang dilakukan di Pojok Upaya Rehidrasi Oral selama 4-6 jam. 6,7

• Ukur jumlah rehidrasi oral yang akan diberikan selama 4 jam pertama

Jika anak minta minum lagi, berikan.

• Tunjukkan kepada orang tua bagaimana cara memberikan rehidrasi oral

o Berikan minum sedikit demi sedikit

o Jika anak muntah, tunggu 10 menit lalu lanjutkan kembali rehidrasi oral pelan-pelan

o Lanjutkan ASI kapanpun anak meminta

• Setelah 4 jam :

o Nilai ulang derajat dehidrasi anak

o Tentukan tatalaksana yang tepat untuk melanjutkan terapi

o Mulai beri makan anak di klinik

• Bila ibu harus pulang sebelum selesai rencana terapi B

o Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di rumah.

o Berikan oralit untuk rehidrasi selama 2 hari lagi seperti dijelaskan dalam Rencana
Terapi A.

• Jelaskan 4 cara dalam Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah

o Berikan anak lebih banyak cairan daripada biasanya

37
o Beri tablet zinc

o Beri anak makanan untuk mencegah kurang gizi

o Kapan anak harus dibawa harus kembali kepada petugas kesehatan.

3.1.3 Rencana Terapi C untuk Mengobati Diare di Rumah (Penderita Diare dengan Dehidrasi
Berat)

3.2 Dukungan nutrisi

Makanan tetap diterusan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat
untuk pengganti nutrisi yang hilang serta mencegah agar tidak menjadi gizi buruk. Pada diare
berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase
kesembuhan. Asi tetap diteruskan selama terjadi diare pada diare cair akut maupun diare akut

38
berdarah dan diberikan dengan frekuensi lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan ke atas
sebaiknya mendapatkan makanan seperti biasa. 6,7

3.3 Pemberian zinc

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut terbukti mengurangi lama diare, mencegah
berulangnya diare selama 2-3 bulan. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Dosis
zinc untuk Anak di bawah umur 6 bulan adalah 10 mg (1/2 tablet) per hari dan anak di atas
umur 6 bulan adalah 20 mg (1 tablet) per hari. Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut,
meskipun anak telah sembuh dari diare. 6,7

3.3.1 Efek Zinc Terdahap Diare

Zinc merupakan micronutrin yang penting sebagai kofaktor lebih dari 90 jenis enzim.
Saat ini telahdigunakan dalam pengelolaan diare. Awal mula penggunaan zinc dalam
pengelolaan diare dilatarbelakangi suatu fakta bahwa ORS, meskipun dapat mengatasi
dehidrasi, tidak mampu menurunkan volume, frekuensi dan durasi diare. Padahal orang tua
anak diare sangat menghendaki menurunkan volume, frekuensi dan durasi diare. Untuk itulah
diperlukan suatu metode tambahan untuk mengatasi hal tersebut. Diare dapat menurunkan
kadar zinc dalam plasma bayi dan anak. Pada binatang percobaan, defisieni zinc dapat
menyebabkan gangguan absorpsi dan elektrolit. Uji klinik ini menunnjukan bahwa zinc mampu
menurunkan durasi dan frekuensi diare pada anak, terutama dengan penurunan kadar zinc
berat. Efek zinc antara lainsebagai berikut: 6,7

o Kofaktor enzim superoxide dismutase (SOD)


Enzim SOD terdapat pada hampir semua sel tubuh. Dalam setiap sel, terjadi ketika transport
electron untuk mensistesis ATP selalu timbul hasil sampingan yaitu anion superoksida.
Anion superoksida merupakan radikal bebas yang sangat kuat dan dapat merusak semua
struktur dalam sel. Untuk melindungi dirinya dari kerusakan, setiap sel mengekspresikan
SOD. SOD akan mengubah anion superoksida menjadi H2O2. Selanjutnya akan diubah
menjadi senyawa yang lebih aman yaitu H2O dan O2 oleh enzim katalase atau dapat diubah
menjadi H2O oleh enzim glutation peroksidase. 6,7
o Stabilisator intramolekular dan antioksidan
Mencegah pembentukan ikatan disulfide dan berkompetisi dengan tembaga (Cu) dan besi
(Fe). Tembaga dan besi yang bebas dapat menimbulkan radikal bebas. 6,7

39
o Mampu menghambat sintesis nitric oxide (NO)

Dalam keadaan inflamasi usus, maka akan timbul LPS (lipopolisakarida) dari bakteri dan
interleukin-1 (IL-1) dari sel-sel imun. LPS dan IL-1 mampu menginduksi ekspresi gen
enzim nitric oxide synthase type-2 (NOS-2). NOS-2 selanjutkan akan mensintesis NO.
Dalam sel fagosit, NO berperan dalam menghancurkan kuman yang telah ditelan oleh sel
fagosit tersebut. Namun dlam kondisi inflamasi, NO juga dihasilkan oleh berbagai macam
sel akibat diinduksi oleh LPS dan IL-1. NO yang merupakan senyawa reaktif. Dalam usus,
NO juga berperan sebagai senyawa parakrin. NO yang dihasilkan akan berdifusi ke dalam
epitel usus dan mengaktifkan enzim guanilat siklase untuk menghasilkan cGMP.
Selanjutkan cGMP akan mengaktifkan protein kinase C (PKC) dan protein ini akan
mengaktifkan atau menonaktifkan berbagai senyawa enzim, protein transport dan saluran
ION dengan hasil akhir berupa sekresi air dan elektrolit dari epitel ke dalam lumen usus.
Dengan pemberian zinc diharapkan NO tidak disintesis secara berlebbihan sehingga tidak
terjadi kerusakan jaringan dan tidak terjadi hipersekresi. 6,7

o Aktivasi limfosit T
Zinc berperan sebagai fkofaktor dari protein-protein system transduksi signal dalam sel T.
protein ini misalnya fosfolipase C. aktivasi sel T terjadi ketika sel T mengenali antigen. 6,7
o Menjaga keutuhan epitel usus
Zinc berprean dalam berbagai faktor transkripsi sehinggan transkripsi sel epitel usus dapat
terjaga. 6,7
o Penguat Sistem Imun
Zinc berperan penting dalam memodulasi perkembangan sel T dan sel B, terjadi
pembelahan sel-sel limfosit. Zinc berperan dalam ekspresi enzim timidin kinase yang
berperan dalam menginduksi limfosit untuk memasuki fase G1 dalam siklus pembelahan
sel. Sehingga perkembangan sel-sel imun dapat berlangsung. Zinc juga berperan sebagai
kofaktor berbagai enzim lain dalam transkripsi dan replikasi antara lain DNA polimerase,
DNA-dependent-RNA polimerase, terminal deoxiribonukleotidil transferase, dan
aminoasil RNA sintetase serta berperan dlaam fator transkripsi yang dikenal sebagai “Zinc
Finger DNA binding protein”. 6,7

40
3.4 antibiotik selektif

antibiotic tidak diberikan pada kasus diare cair akut kecuali dengan indikasi yaitu diare
berdarah dan kolera. Secara umum tatalaksana pada disentri dikelola sams dengan kasus diare
lain sesuai dengan tatalaksana diare akut. Hal khusus mengenai tatalaksana disentri adalah
pemberian antibiotic oral selama 5 hari yang masih sensitive terhadap shigella menurut pola
kuman setempat. Dahulu semua kasuss disentri pada tahap awal diberi antiobiotik
kotrimoksazol dengan dosis 5-8 mg/KgBB/hari. Namun saat ini telah banyak strain shigella
yang resisten terhadap ampisillin, amoksisillin, metronidazole, tetrasiklin, golongan
aminoglikosida, kloramfenikol, sulfonamin dan kotrimksazol sehingga WHO tidak
merekomendasikan penggunaan obat tersebut. 6,7

Obat pilihan disentri adalah golongan quinolone seperti siprofloksasin dengan dosis 30-50
mg/KgBB/hari dibagi dlama 3 dosis selama 5 hari. Pemantauan dilakukan setelah 2 hari
pengobatan, melihat apakan ada tanda perbaikan seperti tidak demam, diare berkurang, darah
dalam feses berkurang dan peningkatan nafsu makan. Jika tidak terdapat perbaikan maka amati
penyulit, hentikan pemberian antibiotic sebelumnya dan berikan antibiotic yang sensitive
terhadapt shigella berdasarkan area. Jika kedua jenis antibiotic tersebut tidak memberikan
perbaikan makan amati kembali adanya penyulit atau penyebab selain disentri. Pada pasien
rawat jalan dianjurkan pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti cefixim 5mg/KgBB/hari
per oral. 6,7

Penderita disarankan untuk mengontrol kembali jika tidak membaik atau tidak bertambah
berat badan dan muncul tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan
kesadaran, tidak mau makan dan menjadi lemah. Pemeriksaan tinja dpat dilakukan untuk
menyingkirkan adanya amebiasis. Temuan trofozoid atau kista amoeba atau giardia
mendukung diagnosis amebiasis atau giardiasis. Berikan metronidazole 7,5 mg/KgBB/hari 3
kali sehari untuk aksus amebiasis dan metronidazole 5 mg/KgBB/hari 3 kali sehari untuk kasus
giardiasis selama 5 hari. Temuan leukosit dalam jumlah banyak (>10/LBP) atau makrofag
mendukung diagnosis shigella atau bakteri invasive lain. Temuan telur Trichuris trichiura
mengarah kepada peranan trichuris sebagai penyebab disentri. 6,7

Menilai ulang perjalanan penyakit. Misalnya disentri yang muncul setelah pemakaian
antibiotic yang cukup lama mengarahkan pada adanya kemungkinan clostridium dificille.
Hubungan pola diare dengan pola pemberian makanan mengarahkan kita untuk berpikir pada
kemungkinan intoleransi laktosa atau alergi protein susu sapi. Disentri pada bayi muda tanpa

41
gejala perlu dipikirkan penyebab seperti invaginasi dan enterokolitis. Dapat dilakukan
konsultasi ke bagian bedah dan pemberian antibiotic intravena. 6,7

Pemberian antibiotic yang tidak rasional justru memperpanjang lamanya diare karena akan
mengganggu keseimbangan flora normal dan clostridium difficile yang akan tumbuh dan
menyebabkan diare yang sulit disembuhkan. Selain itu pemberian antibiotin yang tidak rasional
akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotin dan menambah biaya pengobatan yang
tidak perlu. 6,7

3.4 edukasi

Kembali segera jika terdapat demam, tinja berdarah, muntah berulang, makan atau minum
sedikit, anak sangat haus, diare makin sering dan belum membaik dalam 3 hari. Indikasi rawat
inap pada penderita diare berdarah adalah malnutrisi, usia kurang dari satu tahun, menderita
campak pada 6 bulan terakhir, adanya dehidrasi dan disentri yang datang dengan komplikasi.
6,7

3.5 antidiare

penggunaan antidiare seperti kaolin pectin (adsorben) dan antimotilitas juga masih sering
ditemukan. Penggunaan antidiare dapat memperburuk keadaan pasien dengan menutupi
keadaan yang sesungguhnya. Pada pasien yang diberikan antidiare, feses yang keluar akan
berkurang namun sekresi cairan usus terus berlangsung sehingga menyebabkan masking effect
seolah-olah terjadi perbaikan diare dna melupakan rehidrasi. Adsorben dapat menyebabkan
pengeluaran kausa diare bersama feses sehingga berpotensi memperluas diare. Di pihak lain,
antimotilitas memang dapat mengurangi diare dengan acra menghambat kontraksi usus, tetapi
juga dapat menghambat pengeluaran toksin dan bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan
kontraksi usus pada anak-anak. 6,7

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Soewondo SE. Amebiasis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi ke-5. Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
2. Dhawan VK. Amebiasis [homepage on internet]. [Update 2017 may 22; cited 2017 Dec
20]. Available from https://emedicine.medscape.com/article/212029-overview.
3. Kliegman M. Robert, Lye S. Patricia, Bordini B, Toth H, Basel D. Nelson Pediatric
Symptom-Based Diagnosis. Philadelphia: Elsevier; 2018.
4. Sya’roni, Akmal. Disentri Basiler. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-5. Jilid
III. Jakarta: Internal Publishing; 2009.
5. Kroser A.J. Shigellosis [homepage on internet]. [Update 2017 Dec 21; cited 2017 Dec
24]. Available from https://emedicine.medscape.com/article/182767-overview.
6. Juffrie M, Mulyani SN. Modul Pelatihan Diare. Edisi ke-1. Jakarta: UKK Gasto-
Hepatologi IDAI; 2009.
7. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris SN, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.

43

Anda mungkin juga menyukai