Anda di halaman 1dari 32

REFLEKSI KASUS

DENGUE SHOCK SYNDROME DENGAN STATUS GIZI BAIK

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Salah Satu Syarat Dalam
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Kesehatan Anak
di Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Disusun oleh :
Dea Irbah Oktabelia
30101607633

Pembimbing:
Dr. dr. Hj. Sri Priyantini M., Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian ilmu kesehatan anak
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

Nama : Dea Irbah Oktabelia


Judul : Dengue Shock Syndrome dengan Status Gizi Baik
Bagian : Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas : Kedokteran UNISSULA
Pembimbing : Dr. dr. Hj. Sri Priyantini M., Sp.A

Semarang, 8 Februari 2022


Pembimbing,

Dr. dr. Hj. Sri Priyantini M., Sp.A

1
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................3
I. IDENTITAS PENDERITA................................................................................3
II. DATA DASAR...................................................................................................3
III. PEMERIKSAAN FISIK.....................................................................................8
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................11
V. ASSESMENT :.................................................................................................11
VI. INITIAL PLAN DIAGNOSIS..........................................................................11
FOLLOW UP PASIEN DI BANGSAL BN 1.........................................................14
BAB II.........................................................................................................................16
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................16
A. Pendahuluan......................................................................................................16
B. Definisi.............................................................................................................17
C. Epidemiologi....................................................................................................17
D. Etiologi.............................................................................................................18
E. Immunopatogenesis..........................................................................................19
F. Gambaran Klinis...............................................................................................23
G. Diagnosis..........................................................................................................24
H. Penatalaksanaan................................................................................................27
I. Komplikasi........................................................................................................30
J. Prognosis..........................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................31

2
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. T
Umur : 12 tahun 2 bulan 1 hari
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Genuksari, Genuk, Semarang

Nama ayah : Tn. S


Umur : 45 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Genuksari, Genuk, Semarang

Nama ibu : Ny. D


Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Alamat : Genuksari, Genuk, Semarang

II. DATA DASAR


Anamnesis
Alloanamnesis dilakukan dengan orang tua pasien pada hari Rabu,
tanggal 28 Desember 2021 di ruang bangsal Baitun Nisa I RSISA dan
didukung oleh catatan medis.
Keluhan Utama : Demam tinggi
 Riwayat Penyakit Sekarang :

3
- 4 hari SMRS Pasien mengeluh demam tinggi mendadak, demam
dirasakan terus menerus. Pasien sudah diberi obat turun panas, demam
turun namun kembali naik satu jam kemudian dan tidak terdapat
perubahan.

- 1 hari SMRS, panas semakin tinggi, dirasakan sepanjang hari. Pasien


mengeluhkan badan lemas, kepala terasa pusing, mual, muntah, nyeri
perut, dan nafsu makan semakin menurun. terdapat bintik merah pada
kulit, muntah darah disangkal, menggigil disangkal, kejang disangkal,
merasa sering silau disangkal. Nyeri pada saat menelan dan pilek
disangkal. Pasien mengeluh sulit BAB, BAK lancar jumlah cukup, tidak
nyeri dan tidak ada warna kemerahan. Riwayat bepergian ke tempat jauh
atau daerah endemis malaria disangkal.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit seperti ini sebelumnya.
Penyakit anak yang pernah diderita:
● Riwayat Demam : (+)
● Riwayat alergi : disangkal
● Riwayat asma : disangkal
● Riwayat diare : (+)
● Riwayat batuk lama : disangkal
● Riwayat kejang berulang : disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga tidak ada yang menderita sakit seperti ini

 Riwayat Sosio-Ekonomi

4
Ayah bekerja swasta dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Ayah, ibu
dan pasien tinggal serumah. Biaya pengobatan menggunakan
BPJS.
Kesan sosial ekonomi : Cukup

 Riwayat Persalinan dan Kehamilan


Anak perempuan lahir dari ibu P3A0 hamil 38 minggu, antenatal
care teratur, penyakit kehamilan tidak ada, masa gestasi cukup
bulan, lahir secara spontan di bidan, anak lahir langsung
menangis, berat badan lahir 3400 gram.
Kesan : cukup bulan dan BBL normal

 Riwayat Pemeliharaan Prenatal


Ibu biasa memeriksakan kandungan ke bidan secara rutin selama
kehamilan, tidak ada pesan khusus. Ibu mengaku tidak pernah
menderita penyakit selama kehamilan. Riwayat perdarahan dan
trauma saat hamil disangkal. Riwayat minum minum jamu dan
minum obat selain resep dokter saat hamil disangkal.
Kesan : Riwayat pemeliharaan prenatal baik

 Riwayat Makan-Minum
Anak diberikan ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan.
Kemudian mendapat makanan pendamping berupa bubur susu
usia 6 bulan, umur 9 bulan mendapat makanan pendamping
berupa nasi tim dan sayur. Anak makan biasanya 2-3 kali sehari.
esan : kualitas-kuantitas diit baik.

5
 Riwayat Imunisasi Dasar
No Jenis Imunisasi Jumlah Dasar
1. BCG 1x 1 bulan
2. Polio 4x 0, 2, 3, 4 bulan
3. Hepatitis B 4x 0, 2, 3, 4 bulan
4. Pentabio 3x 2, 3, 4 bulan
5. MR 1x 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai usia

 Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Tersenyum : 2 bulan
Miring dan tengkurap : 3 bulan
Duduk tanpa berpegangan : 7 bulan
Berdiri berpegangan : 9 bulan
Berjalan : 12 bulan
Kesan : Pertumbuhan dan Perkembangan sesuai dengan usia

 Pemeriksaan Status Gizi ( Z score ) :


Diketahui : Anak perempuan, umur 12 tahun 2 bulan 1 hari
BB = 40 kg
TB = 160 cm
WAZ = BB – Median = 40 –41.5 = -0.13 SD (Berat badan cukup)
SD 7.00
HAZ = PB – Median = 160 – 151.5 = 1.25 SD (Perawakan normal)
SD 6.8

Kesan : Berat badan cukup dan perawakan normal

6
 Pemeriksaan Status Gizi (CDC) :

7
BMI: 40/1.6 = 25
Kesan: Berat badan cukup, Perawakan Normal, BMI Normal

 Riwayat KB Orang Tua


Pasien merupakan anak ketiga. Saat ini Ibu menggunakan alat kontrasepsi
berupa pil hormonal.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan pada tanggal 28 Desember 2021, pukul 14.00 WIB di bangsal
Baitunissa 1 RSISA.
Keadaan Umum
Tampak lemah, kesadaran composmentis

Tanda Vital

8
 Tekanan darah : 103/70 mmHg
 Nadi : 100x/menit, isi dan tegangan cukup
 Laju pernafasan : 24 x/ menit
 Suhu : 36.6° C (axilla)
Status Internus
 Kepala : Mesosefal
 Kulit : Sianosis (-), turgor < 2 detik, ikterus (-),
petechie (-)
 Mata : Pupil bulat, isokor, Ø 2mm/ 2mm, refleks
cahaya (+/+) normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
 Hidung : Bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping
hidung(-), mimisan (-)
 Telinga : bentuk normal, serumen (-/-), discharge (-/-),
nyeri (-/-)
 Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), pendarahan gusi
(-), lidah kotor (-)
 Tenggorok : tonsil T1-T1, arkus faring simetris, uvula di
tengah, hiperemis (-)
 Leher : simetris, tidak ada pembesaran kelenjar limfe

Thorak
Paru-paru
 Inspeksi : Bentuk normal, hemithorax dextra dan sinistra
simetris, retraksi (-)
 Palpasi : Stem fremitus kanan kiri simetris, nyeri tekan (
-)
 Perkusi : sonor kedua lapang paru

9
 Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
 Perkusi : Batas kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
Batas pinggang : ICS III linea mid clavicula
sinistra
Batas kanan bawah : ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : ICS V 2 cm medial linea mid
clavicula sinistra
 Palpasi : Iktus cordis tak teraba, tak kuat angkat
 Auskultasi : Irama : Reguler
Bunyi Jantung : BJ I dan BJ II normal regular
Bising : (-)
Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : Peristaltik (+) normal
 Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen
 Palpasi : Nyeri tekan (-) di ulu hati
Hepar tak teraba
Lien schufner 0
Ekstremitas
Superior Inferior
Akral Dingin +/+  +/+
Akral Sianosis  -/-  -/-
Capillary Refill Time >2” >2”
Petekie +/+ +/+

10
Kesan : Capilarry refill time >2”, Akral dingin, Petekie

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan 27/12/2021 27/12/2021 28/12/2021 29/12/2021 30/12/2021 Nilai Normal
(08.06) (11.24) (06.12) (06.26) (06.45)
Hemoglobin 18.9 (H) 18.9 (H) 13.5 12.9 13.1 10.7 – 14.7
(g/dL) g/dL
Hematokrit 58 (H) 53.2 (H) 39 37.5 38.7 33.0 - 45.0 %
(%)
Leukosit 8.6 12.61 6.8 5.43 6.99 5.00-14.50
(ribu/L) ribu/uL
Trombosit 30 (L) 11 (LL) 14 (LL) 18 (LL) 67 (L) 184 - 488
(ribu/L) juta/uL

V. ASSESMENT :
 Dengue Shock Syndrome
 Status Gizi Baik
VI. INITIAL PLAN DIAGNOSIS
1. Assesment : Demam Berdarah Dengue Derajat III (DSS)
DD :
 Demam Berdarah Dengue Derajat IV
Ip. Dx :
 S:-
 O : Darah rutin (Hb, Ht, Leukosit dan Trombosit), Serologi IgG IgM
Dengue, X foto thorax (AP-RLD)
Ip. Tx :
 O2 2 - 4L/menit

11
 Cairan kristaloid untuk resusitasi (RL, RA atau NaCl 0,9%)
20 ml/kgBB dalam 30 menit
BB 40kg
40 x 20 = 800 ml
tpm : 800x15/30 = 400 tpm ( 2 jalur loss Clamp)
dilanjut cairan untuk rehidrasi
BB 40 kg  5ml/kgBB/jam
40x5=200x15/60 = 50 tpm
Ip. Mx :
● HR, Nadi (isi dan tegangan), RR, Suhu
● Monitoring adanya Pembesaran hati, Efusi pleura, Asites, Edem
periorbital
● Perdarahan spontan (epistaksis, hematemesis, melena, petechie).
● Laboratorium : HB, HT, Trombosit setiap 6 jam
● Intake cairan & Diuresis (Nilai Normal : 1ml/kgBB/jam)
Ip. Ex :
 Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa anak mengalami Sindroma
Syok Dengue yang membutuhkan pengawasan dan pengobatan yang
tepat di Intensive Care Unit (ICU)
 Menjelaskan rencana program pemeriksaan bahwa anak akan diambil
darahnya setiap hari untuk mengetahui perkembangan penyakit
maupun perbaikan kondisi.
2. Assesment : Gizi Baik
a. DD :

 Gizi Kurang

 Gizi Lebih

b. IP Dx :

12
S: Kuantitas dan kualitas makanan

O: -

c. IP Tx :

Anak perempuan umur 12 tahun 1 bulan 6 hari, BB = 40 kg

(22.5 x BB) + 499 = (22.5 x 40) + 746 = 1646 kkal

Terdiri dari :

 Karbohidrat : 60% x 1646 = 987.6 kkal

 Lemak : 35% x 1646 = 576.1 kkal

 Protein : 5% x 1646= 82.3 kkal

d. IP Monitoring

 Keadaan umum pasien

 Pengukuran BB dan TB secara rutin dan teratur

 Asupan makanan

e. IP Edukasi

 Makan teratur dengan gizi seimbang sesuai kebutuhan gizi

 Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

13
FOLLOW UP PASIEN DI BANGSAL BN 1
Waktu Hari ke-1 perawatan Hari ke-2 perawatan (BN1)
(IGD-BN1)
Tanggal 27 Desember 2021 14.35 28 Desember 2021 07.00
Keluhan Demam 5 hari, pusing, nyeri Demam 6 hari dan nyeri perut
perut, batuk, keringat dingin,
mual & muntah
Keadaan Umum Composmentis Composmentis

TTV :
TD 107/76 mmHg 102/67 mmHg
Nadi 115x/mnt isi cukup 90x/mnt
RR 24x/mnt 28x/mnt
Suhu 36°C 36.6°C
SpO2 100% 99%
Assesment Dengue Shock Syndrome Dengue Shock Syndrome

Terapi IGD : Farmako :


- Inj. Ondancentron 4 mg - Inj. Glybotik 2 x 1 gr
- Inj. Vitamin C 200 mg - Inj. Fartison 2 x 0.5 gr
- Inj. Ranitidin 1 amp - Inj. Sanmol 500 mg k/p
BN 1 : - Inj. Ranitidin 3 x 0.5 mg
- Infus Voluven 500 cc Non Farmako:
loading - Monitor TTV
- Infus Gelofusal - Pantau intake & output
500cc/jam selama 3 jam pasien
- Infus Futrolit 30 tpm
- Inj. Glibotik 2 x 1 gr
- Inj. Fartison 2 x 0.5
- Inj. Sanmol 500 mg k/p
- Inj. Ranitidin 3 x 0.5 amp
- Isprinol 3 x 2 cth
- Transfuse FFP 250 ml
- Transfusi TC 2 unit

14
Waktu Hari ke-2 perawatan Hari ke-3 perawatan (BN1)
(BN1)
Tanggal 29 Desember 2021 06.00 30 Desember 2021 06.00
Keluhan Demam 7 hari dan pusing Demam 8 hari dan batuk

Keadaan Umum Composmentis Composmentis

TTV :
TD 117/73 mmHg 116/82 mmHg
Nadi 110x/mnt isi cukup 80x/mnt
RR 20x/mnt 22x/mnt
Suhu 37°C 36.6°C
SpO2 100% 99%
Assesment Dengue Shock Syndrome Dengue Shock Syndrome

Terapi Farmako : Farmako :


- Inj. Glybotik 2 x 1 gr - Inj. Glybotik 2 x 1 gr
- Inj. Fartison 2 x 0.5 gr - Inj. Fartison 2 x 0.5 gr
- Inj. Sanmol 500 mg k/p - Inj. Sanmol 500 mg k/p
- Inj. Ranitidin 3 x 0.5 mg - Inj. Ranitidin 3 x 0.5 mg
Non Farmako : Non Farmako :
- Monitor KU & TTV - Monitor KU & TTV
- Pantau intake & output
pasien

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan
Dengue merupakan virus yang ditularkan oleh nyamuk, dikenal juga
sebagai demam breakbone karena keparahan kejang otot dan nyeri sendi, dan
demam 7 hari karena durasi dengan gejala biasa. Meskipun sebagian besar
kasus juga tidak menunjukkan gejala, parahnya penyakit, dan kematian
mungkin terjadi. Beberapa orang yang sebelumnya pernah terinfeksi salah
satu subspecies virus dengue mengalami permeabilitas kapiler dan perdarahan
setelah terinfeksi virus subspecies lainnya. Biasanya penyakit ini disebut
dengan demam berdarah dengue. (1, 2, 3)
Penyakit virus ini ditularkan oleh nyamuk dengan penyebaran tercepat di
dunia, mempengaruhi lebih dari 100 juta manusia setiap tahun. Demam
berdarah juga menyebabkan 20 hingga 25.000 kematian, terutama pada anak-
anak, dan ditemukan di lebih dari 100 negara. Epidemi terjadi setiap tahun di
Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Dua siklus transmisi mempertahankan
virus dengue: 1) nyamuk membawa virus dari primata non-manusia ke
primata non-manusia dan 2) nyamuk membawa virus dari manusia ke
manusia. Siklus manusia ke nyamuk terjadi terutama di lingkungan perkotaan.
Apakah virus menular dari manusia ke nyamuk tergantung pada viral load dari
makanan darah nyamuk. (4, 5)
Vektor utama penyakit ini adalah nyamuk betina dari spesies Aedes aegypti
dan Aedes albopictus. Meskipun A. aegypti dikaitkan dengan sebagian besar
infeksi, jangkauan A. albopictus meluas dan mungkin terkait dengan
peningkatan jumlah. Jenis nyamuk ini cenderung hidup di dalam ruangan dan
aktif di siang hari. Penularan secara perinatal, melalui transfusi darah, ASI,
dan transplantasi organ telah dilaporkan. (4, 5)

16
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
syok merupakan komplikasi infeksi dengue yang berbahaya dan berhubungan
dengan mortalitas yang tinggi. Demam berdarah yang parah terjadi sebagai
akibat dari infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda. Peningkatan
permeabilitas vaskular, bersama dengan disfungsi miokard dan dehidrasi,
berkontribusi pada perkembangan syok, dengan hasil kegagalan multiorgan.
Permulaan syok pada demam berdarah bisa dramatis, dan perkembangannya
tanpa henti. Patogenesis syok pada dengue sangat kompleks. (4, 5)
B. Definisi
Dengue shock syndrome didefinisikan sebagai demam berdarah dengan
tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Prognosis tergantung pada pencegahan atau
pengenalan dini dan pengobatan. Tingkat kematian kasus setinggi 12% hingga
14% setelah syok terjadi. (4, 5, 6)
Untuk memenuhi definisi kasus DSS, empat kriteria DBD (demam,
kecenderungan hemoragik, trombositopenia, dan kebocoran plasma)
semuanya harus ada ditambah bukti kegagalan sirkulasi yang bermanifestasi
sebagai nadi cepat dan lemah, tekanan nadi sempit (<20 mm Hg) atau
hipotensi menurut usia (ini didefinisikan sebagai tekanan sistolik <80 mmHg
untuk mereka yang berusia kurang dari lima tahun, atau <90 mmHg untuk
mereka yang berusia lima tahun ke atas), kulit yang dingin dan lembap, dan
kegelisahan. (6)
C. Epidemiologi
Selama 50 tahun, terjadi peningkatan tajam dalam angka kejadian tahunan
DBD di Indonesia, dari hanya 0,05 kasus per 100.000 orang-tahun pada tahun
1968 menjadi 77,96 kasus per 100.000 orang-tahun pada tahun 2016. Angka
kejadian DBD memiliki pola siklik, dengan puncak terjadi kira-kira setiap 6-8
tahun. Puncak kejadian terjadi pada tahun 1973, 1988, 1998, 2009, dan 2016.
Pada tahun 2017 terdapat 59.047 dan 444 kasus DBD dan kematian terkait

17
DBD di Indonesia dengan masing-masing 22,55 per 100.000 orang-tahun dan
0,75% angka kejadian dan angka kematian.
Meskipun angka kejadian tahunan DBD telah meningkat secara signifikan
selama lima dekade terakhir, angka kematian tahunan telah menurun dari
waktu ke waktu. Pada akhir 1960-an, angka kematian diperkirakan lebih dari
20% dari mereka yang terinfeksi, yang kemudian menurun sekitar
setengahnya setiap dekade sejak 1980. Pada 2016, angka kematian DBD
hanya 0,79%.
Berdasarkan pemetaan geografis provinsi angka kejadian antara tahun 2011
dan 2016, Jawa Barat menyumbang rata-rata jumlah kasus DBD tertinggi
setiap tahunnya. Bali telah melaporkan tingkat kejadian tertinggi sejak 2011,
berkisar dari 65,90 per 100.000 penduduk pada tahun 2012 menjadi 484,02
per 100.000 penduduk pada tahun 2016. Menariknya, sementara Bali telah
melaporkan kejadian demam berdarah tertinggi setiap tahun, angka kematian
kurang dari 1% dari mereka yang terinfeksi. Sebaliknya, di beberapa provinsi
yang tidak endemis DBD seperti Papua dan Papua Barat, daerah-daerah
tersebut pernah mengalami KLB DBD terkait dengan angka kematian yang
tinggi, seperti epidemi tahun 2012 dan 2015 di Papua Barat dan wabah Papua
2013. Secara keseluruhan, dalam beberapa tahun terakhir, jelas bahwa Bali
dan Kalimantan (Kalimantan) memiliki tingkat kejadian DBD tertinggi
sementara Papua Barat memiliki tingkat kejadian terendah di Indonesia. (7)
D. Etiologi
Virus dengue, termasuk genus Flavivirus, keluarga flaviridae.
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4.
keempatnya ditemukan di Indonesia dengan den-3 serotype terbanyak. Infeksi
salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang
bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat
kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis

18
dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Di
Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak tahun 1975 di
beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan
bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang
dominan dan diasumsikan menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Penularan terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama Aedes
aegypti dan A.albopictus). Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada
penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara.
Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit
manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation
period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan
berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya
(transovanan transmission). Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di
dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama
hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas
46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum
panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
E. Immunopatogenesis
Peran DENV NS-1
NS1, protein nonstruktural yang dikodekan oleh DENV, diekspresikan
dalam berbagai bentuk oligomer dan hadir di berbagai lokasi seluler, termasuk
pada membran intraseluler, pada permukaan sel dan ekstraseluler sebagai
lipopartikel yang disekresikan dan larut. Selama infeksi DENV akut, protein
NS1 yang disekresikan hadir dalam serum pasien pada tingkat tinggi, yang
mungkin berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit dan berkontribusi

19
pada patogenesis DBD pada pejamu. Memang, DENV NS1 mungkin
langsung mengikat ke permukaan sel inang untuk menyebabkan kerusakan
jaringan. Sebuah studi baru-baru ini menyarankan bahwa DENV NS1
memunculkan produksi sitokin inflamasi dengan mengaktifkan makrofag dan
sel mononuklear darah perifer manusia (PBMC) melalui Toll like receptor 4
(TLR4), sehingga menyebabkan gangguan integritas monolayer sel endotel
dalam pembuluh darah. Selain itu, DENV NS1 juga dapat memicu aktivasi
komplemen, menyebabkan kebocoran plasma. Selama proses ini, DENV NS1
terlarut dilepaskan dari sel yang terinfeksi dan secara independen
mengaktifkan faktor komplemen yang ada dalam fase cairan. Sebuah korelasi
yang erat telah ditemukan antara konsentrasi DENV NS1 dan pembentukan
kompleks C5b-C9. Kompleks C5b-C9 dapat merangsang ekspresi kuat dari
sitokin inflamasi yang terkait dengan perkembangan DBD. Baru-baru ini,
telah dilaporkan bahwa DENV NS1 dapat menginduksi autophagy dalam
garis sel endotel manusia HMEC-1 serta pada tikus, dan bahwa autophagy ini
dimediasi oleh sekresi faktor penghambat migrasi makrofag (MIF) terkait
NS1.
Selain protein NS1 itu sendiri, antibodi NS1 mungkin juga berkontribusi
pada patogenesis DBD. Misalnya, pengikatan antibodi anti NS1 ke protein
NS1 berlabuh GPI pada membran sel dapat mengaktifkan jalur transduksi
sinyal seluler, yang mengarah ke fosforilasi protein tirosin, yang dapat
meningkatkan replikasi DENV dalam sel yang terinfeksi. Selain itu,
fosforilasi protein dan aktivasi NF-kB telah diamati setelah merangsang sel
HMEC-1 manusia dengan antibodi anti DENV NS1. Selanjutnya, ekspresi
beberapa sitokin dan kemokin, seperti IL-6, IL-8, dan MCP-1, meningkat
setelah pengobatan sel endotel dengan antibodi anti-DENV NS1,
menunjukkan bahwa antibodi DENV NS1 dapat merangsang pelepasan
beberapa faktor inflamasi dengan cara yang bergantung pada NF-kB.
Pelepasan sitokin yang tidak teratur dianggap sebagai faktor utama yang

20
mendasari patogenesis DBD. Oleh karena itu, aktivasi respon imun yang
dimediasi antibodi NS1 mungkin memainkan peran penting dalam
perkembangan trombositopenia yang dimediasi oleh Dengue dan kebocoran
vaskular selama fase kritis DBD/DSS.
Baru-baru ini, induksi gangguan autoimun oleh antibodi anti-NS1 juga
telah digambarkan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap patogenesis
DBD. Karena ada urutan homologi antara DENV NS1 dan beberapa antigen
diri, seperti plasminogen dan integrin, protein pada sel endotel dan trombosit
manusia, auto-antibodi yang diinduksi oleh NS1 dapat bereaksi silang dengan
antigen diri ini. Reaksi-reaksi ini merangsang ekspresi oksida nitrat (NO) dan
apoptosis sel dalam sel endotel dan menyebabkan lisis sel dan penghambatan
agregasi dalam trombosit. Kerusakan sel endotel dan trombosit dapat
menyebabkan trombositopenia, koagulopati, dan kebocoran vaskular pada
DBD.
Peran Genom DENV
Evolusi intra-serotipe dari strain DENV epidemi mungkin menjadi
penyebab lain dari peningkatan virulensi virus. Analisis genom DENV
menunjukkan bahwa DENV yang bersirkulasi dapat mengembangkan
virulensi yang lebih besar melalui perjalanan pada pasien selama epidemi.
Dengan demikian, variasi dalam genom DENV berfungsi untuk menentukan
infektivitas virus baik pada inang maupun vektor.
Selain variasi genom, RNA flavivirus subgenomik (sfRNA) mungkin
berperan dalam replikasi DENV di sel inang, sehingga berkontribusi pada
patogenesis DBD. Selama replikasi DENV, genom RNA 11 kb mungkin tidak
terdegradasi secara lengkap dari 3 'daerah tidak diterjemahkan (UTR) oleh
host exoribonuclease untuk menghasilkan RNA kecil 0,3 hingga 0,5 kb yang
disebut sfRNA. sfRNA dapat terakumulasi dalam sel yang terinfeksi untuk
menekan respons imun antivirus inang, seperti pensinyalan interferon tipe I.
sfRNA juga dapat memfasilitasi replikasi DENV melalui perubahan stabilitas

21
mRNA inang, sehingga bertindak sebagai pemain dalam penghindaran imun
DENV dan patogenesis DBD.
Peran ADE
Mekanisme ADE tetap hanya sebagian dipahami. Penyerapan kompleks
antibodi virion yang dimediasi reseptor Fcγ (FcγR) ke dalam sel permisif
mungkin merupakan salah satu penjelasan untuk peningkatan infeksi DENV.
FcγR adalah kompleks multi-subunit yang didistribusikan pada permukaan
berbagai jenis sel imun, seperti sel dendritik, makrofag, dan sel mast, dan
mengenali daerah Fc dari imunoglobulin. Selama infeksi DENV, antibodi
dengan aktivitas peningkatan infeksi dihasilkan dan selanjutnya membentuk
kompleks antibodi virion. Kompleks ini dapat dengan cepat menginternalisasi
ke dalam sel yang mengandung FcγR melalui interaksi dengan FcγR, yang
menghasilkan jumlah sel yang terinfeksi lebih tinggi dibandingkan dengan
tidak adanya antibodi. Selain itu, penelitian sebelumnya juga menunjukkan
bahwa infeksi DENV yang dimediasi FcγR dapat meningkatkan replikasi
virus melalui penekanan respons imun bawaan antivirus intraseluler, termasuk
respons antivirus yang dimediasi interferon, dan peningkatan produksi IL-10
dalam sel yang terinfeksi DENV. Penekanan respon imun pejamu dapat
meningkatkan produksi sejumlah besar virion DENV yang menular.
Peran Sel T
Peningkatan produksi sitokin dan aktivasi sel T CD8+ yang telah diamati
pada pasien dengue berat menyiratkan bahwa sel T reaktif silang berperan
dalam memediasi patogenesis DBD. Sel T memori dari infeksi primer
diaktifkan oleh virus heterolog selama infeksi kedua, dan menunjukkan
reaktivitas silang yang tinggi dan afinitas rendah yang menyebabkan
inefisiensi dalam membunuh sel yang terinfeksi dan membersihkan serotipe
virus yang baru infektif. Sebaliknya, sel T reaktif silang berkontribusi
terhadap kejadian DBD dengan imunopatologi substansial. Pasien DBD telah
dilaporkan menunjukkan peningkatan sirkulasi sitokin dan kemokin, IFN-γ,

22
IL-2 dan TNF-α yang diproduksi oleh sel T reaktif silang spesifik DENV yang
diaktifkan, dibandingkan dengan pasien DF. Selanjutnya, apoptosis sel T pada
pasien DBD berkontribusi terhadap keparahan penyakit terkait dengue.
Sebuah penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sitokin IL-10
imunosupresif dapat menyebabkan apoptosis sel T pada pasien dengan infeksi
dengue akut. Konsentrasi IL-10 meningkat pada serum pasien dengan dengue
berat. Blokade IL-10 telah dikaitkan secara signifikan dengan penurunan
apoptosis sel T pada infeksi DENV akut. Dalam kesepakatan, pengurangan
jumlah sel T telah ditemukan pada pasien DBD dibandingkan dengan pasien
DF, menunjukkan bahwa apoptosis sel T mengurangi pembersihan virus dan
akibatnya mengakibatkan gangguan respon antivirus, yang mengarah ke
penyakit demam berdarah klinis yang parah.(8)

F. Gambaran Klinis
Infeksi oleh virus dengue dapat bersifat asimtomatik maupun
simtomatik yang meliputi demam biasa (sindrom virus), demam dengue, atau
demam berdarah dengue termasuk sindrom syok dengue (DSS). Penyakit
demam dengue biasanya tidak menyebabkan kematian, penderita sembuh

23
tanpa gejala sisa. Sebaliknya, DHF merupakan penyakit demam akut yang
mempunyai ciri-ciri demam tinggi mendaadak secara terus menerus selama 2-
7 hari, nyeri kepala, lemah, mual, muntah, nyeri otot & sendi, manifestasi
perdarahan, dan berpotensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan
kematian.
Gambaran klinis bergantung pada usia, status imun penjamu, dan
strain virus. Berikut ini adalah bagan manifestasi infeksi virus dengue: Infeksi
virus dengue Asimtomatik Simtomatik Demam yang tak Demam dengue
Demam berdarah jelas penyebabnya dengue (sindrom virus) (kebocoran
plasma) Tanpa Dengan Perdarahan perdarahan DBD tanpa DBD dengan syok
syok (SSD) Demam dengue Demam Berdarah.
G. Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
1. Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif,


petechie, echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji tourniquet dilakukan
dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya
diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur
yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap
selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit,
diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian
medial pada sepertiga bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila
pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.

c. Pembesaran hati (hepatomegali).

24
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan
nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
Universitas Sumatera Utara

2. Kriteria Laboratorium
 Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)

 Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau


lebih.

Dua gejala klinis pertama ditambah 2 gejala laboratoris dianggap


cukup untuk menegakkan diagnogsis kerja DBD.
Sindrom Syok Dengue
Seluruh kriteria DBD (4) disertai dengan tanda kegagalan sirkulasi yaitu :
 Penurunan kesadaran, gelisah
 Nadi cepat, lemah
 Hipotensi
 Tekanan nadi < 20 mmHg
 Perfusi perifer menurun
 Kulit dingin-lembab.
3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5 Derajat penyakit DBD
diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya
manifestasi perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.

b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan


spontan juga terjadi, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau
perdarahan lainnya.

c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai


hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi

25
nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun ( < 20 mmHg) atau
hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.

d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai


hepatomegali dan ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat
dengan tekanan darah dan denyut nadi yang tidak terdeteksi.

4. Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan radiologi dan USG, Kasus DBD, terdapat beberapa


kerlainan yang dapat dideteksi yaitu :

a) Dilatasi pembuluh darah paru


b) Efusi pleura
c) Kardiomegali dan efusi perikard
d) Hepatomegali, dilatasi V. heapatika dan kelainan parenkim hati
e) Caran dalam rongga peritoneum
5. Diagnosis Banding

26
a) Adanya demam pada awal penyakit dapat dibandingkan dengan infeksi
bakteri maupun virus, seperti bronkopneumonia, demam tifoid, malaria,
dan sebagainya.
b) Adanya ruam yang akut perlu dibedakan dengan morbili.
c) Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis akut dan
leptospirosis.
d) Penyakit-penyakit darah seperti idiophatic thrombocytopenic purpurae,
leukemia pada stadium lanjut, dan anemia aplastik.
e) Syok endotoksin.
f) Demam Chikunguya.
H. Penatalaksanaan
Penanganan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
 Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen 2-4 L/menit
secara nasal.
 Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti Ringer laktat/asetat secepatnya.
 Jika tidak menunjukkan perbaikan klinis, ulangi pemberian kristaloid 20
ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit) atau pertimbangkan pemberian
koloid 10-20ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam.
 Jika tidak ada perbaikan klinis tetapi hematokrit dan hemoglobin menurun
pertimbangkan terjadinya perdarahan tersembunyi; berikan transfuse
darah/komponen.
 Jika terdapat perbaikan klinis (pengisian kapiler dan perfusi perifer mulai
membaik, tekanan nadi melebar), jumlah cairan dikurangi hingga 10
ml/kgBB/jam dalam 2-4 jam dan secara bertahap diturunkan tiap 4-6 jam
sesuai kondisi klinis dan laboratorium.
 Dalam banyak kasus, cairan intravena dapat dihentikan setelah 36-48 jam.

27
 Ingatlah banyak kematian terjadi karena pemberian cairan yang terlalu
banyak daripada pemberian yang terlalu sedikit.

Tatalaksana komplikasi perdarahan:


- Jika terjadi perdarahan berat segera beri darah bila mungkin.
- Bila tidak, beri koloid dan segera rujuk.

Penanganan kelebihan cairan


Kelebihan cairan merupakan komplikasi penting dalam penanganan syok. Hal
ini dapat terjadi karena:
- Kelebihan dan/atau pemberian cairan yang terlalu cepat
- Penggunaan jenis cairan yang hipotonik
- Pemberian cairan intravena yang terlalu lama
- Pemberian cairan intravena yang jumlahnya terlalu banyak dengan
kebocoran yang hebat.

Tanda awal: napas cepat, tarikan dinding dada ke dalam, efusi pleura yang luas,
asites, edema peri-orbital atau jaringan lunak.
Jenis Cairan Resusitasi (rekomendasi WHO)
Kristaloid
- Larutan ringer laktat (RL)

- Larutan ringer asetat (RA)

- Larutan garam faali (GF)

- Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

- Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

- Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)


(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA
tidak boleh larutan yang mengandung dekstran)

Koloid
- Dekstran 40, Plasma, Albumin

28
Pilihan Cairan Koloid pada Resusitasi Cairan SSD

Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai


keunggulan dan kekurangannya, yaitu golongan Dekstran, Gelatin, Hydroxy
ethyl starch (HES).
Golongan Dekstran mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka
pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh
karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70
dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40
dipertahankan selama 3-5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu
mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih
dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak boleh diberikan pada pasien
dengan KID.
Golongan Gelatin (Hemacell dan gelafundin merupakan larutan gelatin
yang mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin
menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES) 6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6%
HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES
200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES
200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6%
HES 450/0,7 menetap selama 812 jam. Gangguan mekanisme pembekuan
tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini
terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara,
perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta
penurunan kekuatan bekuan.
Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD Untuk mendapatkan
tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di ruang
rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang

29
perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk
memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit dan trombosit yang tersedia selama
24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan
DBD. Paramedis dapat didantu oleh keluarga pasien untuk mencatatjumlah
cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta
menampung urin serta mencatat jumlahnya.

Kriteria Memulangkan Pasien


Pasien dapat dipulang apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini
Tampak perbaikan secara klinis :
a) Tidak demam selain 24 jam tanpa antipiretik
b) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis)
c) Hematokrit stabil
d) Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/ul
e) Tiga hari setelah syok teratasi
f) Nafsu makan membaik
I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi berupa syok berulang, kegagalan
pernafasan akibat edema paru atau kolaps paru, efusi pleura, acssites,
ensefalopati dengue, kegagalan jantung dan sepsis.
J. Prognosis
Secara umumnya, prognosis dengue syok sindrom adalah buruk.Tetapi
tergantung dari beberapa faktor seperti lama dan beratnya renjatan, waktu,
metode, adekuat tidaknya penanganan, ada tidaknya syok yang terjadi
terutama dalam 6 jam pertama pemberian infus dimulai, panas selama renjatan
dan tanda-tanda serebral.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Baak-Baak CM, Cigarroa-Toledo N, Pech-May A, Cruz-Escalona GA,
Cetina-Trejo RC, Tzuc-Dzul JC, Talavera-Aguilar LG, Flores-Ruiz S,
Machain-Williams C, Torres-Chable OM, Blitvich BJ, Mendez-Galvan J,
Garcia-Rejon JE. Entomological and virological surveillance for dengue virus
in churches in Merida, Mexico. Rev Inst Med Trop Sao Paulo. 2019 Feb
14;61:e9.
2. Sharma M, Glasner DR, Watkins H, Puerta-Guardo H, Kassa Y, Egan MA,
Dean H, Harris E. Magnitude and Functionality of the NS1-Specific Antibody
Response Elicited by a Live-Attenuated Tetravalent Dengue Vaccine
Candidate. J Infect Dis. 2020 Mar 02;221(6):867-877
3. Oliveira LNDS, Itria A, Lima EC. Cost of illness and program of dengue: A
systematic review. PLoS One. 2019;14(2):e0211401
4. Prompetchara E, Ketloy C, Thomas SJ, Ruxrungtham K. Dengue vaccine:
Global development update. Asian Pac J Allergy Immunol. 2020
Sep;38(3):178-185
5. Vasanthapuram R, Shahul Hameed SK, Desai A, Mani RS, Reddy V,
Velayudhan A, Yadav R, Jain A, Saikia L, Borthakur AK, Mohan DG,
Bandyopadhyay B, Bhattacharya N, Dhariwal AC, Sen PK, Venkatesh S,
Prasad J, Laserson K, Srikantiah P. Dengue virus is an under-recognised
causative agent of acute encephalitis syndrome (AES): Results from a four
year AES surveillance study of Japanese encephalitis in selected states of
India. Int J Infect Dis. 2019 Jul;84S:S19-S24
6. Sawenda K, Yasa IWPS, Dewi DR, Satriyasa BK. Immunopathogenesis of
dengue shock syndrome. Bali J Med Heal Sci. 2013;1(1):1–11
7. Harapan H, Michie A, Mudatsir M, Sasmono RT, Imrie A. Epidemiology of
dengue hemorrhagic fever in Indonesia: Analysis of five decades data from
the National Disease Surveillance. BMC Res Notes [Internet]. 2019;12(1):4–
9.
8. Pang X, Zhang R, Cheng G. Progress towards understanding the pathogenesis
of dengue hemorrhagic fever. Virol Sin. 2017;32(1):16–22.

31

Anda mungkin juga menyukai