TISHA DIONETTA
00000003822
PEMBIMBING
dr. Irene Akasia Oktariana, Sp.A
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN KASUS.................................................................................................. 4
I. Identitas Pasien............................................................................................................... 4
II. Anamnesis......................................................................................................................... 4
III. Pemeriksaan Fisik........................................................................................................... 6
IV. Pemeriksaan Penunjang........................................................................................... 9
V. Resume............................................................................................................................... 9
VI. Diagnosis.................................................................................................................... 10
VII. Tatalaksana................................................................................................................ 10
VIII. Prognosis.................................................................................................................... 11
IX. Follow-up......................................................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 15
BAB III ANALISA KASUS................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 50
BAB I
PENDAHULUAN
Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat di
retraksi ke proksimal sampai ke korona glandis. Preputium penis merupakan lipatan kulit
yang menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans
penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertumbuhnya
usia dan pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara
glans penis dan lapisan bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium
terpisah dari glans penis.
Di Jepang, fimosis ditemukan pada 88% bayi yang berusia 1 hingga 3 bulan
dan 35% pada balita berusia 3 tahun. Insiden fimosis adalah sebesar 8% pada usia 6
sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun. Beberapa penelitian
mengatakan kejadian fimosis saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa
ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara
perlahan terjadi deskuamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai umur 1 tahun,
masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10%
pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10 tahun.
Obstruksi dan disfungsi merupakan penyebab tersering dari infeksi saluran
kemih. Fimosis merupakan predisposisi terhadap infeksi saluran kemih. ISK adalah
keadaan adanya infeksi dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai
infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna yaitu bila ditemukan
pada kultur urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 koloni/ml urin segar (yang
diperolej dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).
GEA atau gastroenteritis merupakan infeksi dari saluran pencernaan,
manifestasi yang paling sering muncul ada diare dan muntah, yang dapat diiringi
manifestasi sistemik seperti demam dan nyeri perut. Gastroenteritis disebabkan infeksi
yang didapat melalui fekal – oral atau tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi.
Etiologi dari GEA bermacam – macam, bakteri, virus, parasit, autoimun.
BAB II
TINJAUAN KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : An.A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 4 tahun 9 bulan
Tanggal Lahir : 3 Desember 2013
Alamat : Jalan abah bawah, Cilandak KKO
Agama : Islam
Nomor MR : 41-26-xx
Tanggal masuk RS : 25 September 2018
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ibu pasien pada Selasa,
25 September 2018 di bangsal Dahlia bawah Rumah Sakit Marinir Cilandak
pukul 10.00 WIB.
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan muntah sejak 1 jam sebelum masuk rumah
sakit.
Riwayat Nutrisi
Pasien diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Pasien mulai diberikan
makanan pendamping ASI (MPASI) setelah usia 6 bulan seperti bubur saring,
nasi tim, biskuit bayi serta buah contohnya pisang yang dihaluskan. Pasien
masih mendapatkan ASI hingga 2 tahun. Orang tua pasien menyangkal pernah
terdiagnosa gizi kurang atau buruk. Kini pasien seringkali jajan makan di luar.
Riwayat Imunisasi
Pasien telah mendapatkan imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis.
Status Generalisata
Kulit Berwarna sawo matang, hiperpigmentasi (-), ptekie (-),
keseluruhan sianosis (-), ikterik (-), edema (-), turgor kembali cepat
Kepala dan Bentuk kepala : normosefal
Rambut : tersebar merata, berwarna hitam, tebal
wajah
Wajah : simetris, scar (-), hiperemis (-), ptekie (-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), pergerakan bola mata
normal, mata cekung (-/-)
Hidung Septum nasi ditengah, sekret (-), perdarahan (-)
Telinga Normotia, simetris, deformitas (-), serumen (-/-), sekret
(-/-), otorhea (-/-), pembesaran kelenjar getah bening pre
dan post auricular (-)
Tenggorokan Bibir lembab dan basah, mukosa mulut basah, faring
hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher Bentuk normal, scar (-), pembesaran kelenjar getah
bening leher (-)
Ketiak Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
aksilaris
Inspeksi Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi Tidak dilakukan
Jantung
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Simetris pada saat statis dan dinamis,
scar (-), retraksi intercostal (-), retraksi
Inspeksi
supraklavikular (-), retraksi epigastrium
(-)
Paru Tidak terdapat deformitas, nyeri tekan di
Palpasi
seluruh lapang dada (-)
Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru
Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
Auskultasi
wheezing (-/-)
Inspeksi Datar, supel, scar (-), massa (-)
Bising usus (+), metallic sound (-), bruit
Auskultasi
(-)
Abdomen Perkusi Timpani diseluruh lapang abdomen
Nyeri tekan epigastrium (+), massa (-),
Palpasi defans muscular (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Esktremitas Simetris, palmar tidak pucat, deformitas
Superior (-), ikterik (-), scar (-), akral hangat,
CRT < 2s, hambatan pergerakan (-)
Inferior Simetris, deformitas (-), ikterik (-), scar
(-), akral hangat, CRT <2s, hambatan
pergerakan (-)
Genital Preputium tidak dapat diretraksi
Hematologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,9 g/dL L : 13-17 / P : 12-16
Hematokrit 38% 37,00 – 54,00
Leukosit 25,6 rb/uL 5000 – 10000
Trombosit 306 rb/uL 150 – 400
Kimia
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Glukosa 111 mg/dL <200
V. Resume
Pasien anak laki-laki berusia 4 tahun 9 bulan datang ke IGD RS Marinir
Cilandak dengan keluhan muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Muntah 4 kali, dan disertai rasa mual, berisi makanan, tidak berlendir, tidak
bercampur darah/kehitaman, berwarna kuning dengan volume sekitar ½ gelas
aqua/muntah. Pasien juga mengeluhkan adanya buang air besar cair ± 6 kali
dengan setiap buang air besar sebanyak ± ¼ gelas akua/diare sejak subuh (2
jam SMRS). Buang air besar berwarna coklat, tidak ada lendir, tidak ada
darah, tidak berbau busuk, dan tidak seperti air cucian beras. Ibu pasien
mengatakan, sebelum terjadi keluhan, pasien makan bubur di pinggir jalan.
Pasien tidak memiliki keluhan demam, batuk, ataupun pilek. Selain itu,
semenjak muntah dan diare, nafsu makan pasien menurun namun pasien
masih minum lahap dan pasien tampak rewel.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, E4M6V5, dan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 90/60
mmHg, nadi 102x/menit, regular, kuat, laju nafas 24x/menit, suhu 36,5 ℃ ,
Sp02 99%. Status gizi pasien berat badan 19,7 kg dengan tinggi badan 115 cm,
status gizi baik. Pada status generalis ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium dan pada pemeriksaan genital ditemukan preputium tidak dapat
diretraksi (fimosis +).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,9 g/dL, Ht 38%,
leukosit 25600 rb/uL dan trombosit 306 rb/uL, dan glukosa 111 mg/dL.
VI. Diagnosis
Diagnosis Kerja :
- Gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan sedang
- Infeksi saluran kemih et causa fimosis
Diagnosis Banding
Gastroenteritis akut et causa infeksi bakteri
VII. Tatalaksana
Tatalaksana non-medikamentosa
Rawat inap
Tirah baring
Diet nasi tim rendah serat
Tatalaksana medikamentosa
IVFD RL 20 tpm kemudian dilanjutkan Kaen 3B 13 tpm
Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 100 cc
Domperidone syr 3 x 5 ml
Lacto B 2 x 1 cth
Ekstra smecta 3x⅓ sach
VIII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
IX. Follow-up
1. Rabu, 26 September 2018
S Pasien sempat demam (38,3 oC) pada tanggal 25 September 2018
P1
pukul 20.00 malam, BAB 1x cair terdapat ampas sebanyak ½
gelas akua, BAK tidak ada keluhan, tidak terdapat mual dan
muntah, dan nafsu makan menurun.
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg
HR : 100x/m, kuat angkat, reguler
RR : 24x/m
Suhu : 36,5 ℃
SpO2 : 99%
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-)
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-/-)
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/+), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, supel, BU (+), NTE (+), turgor kulit baik
Akral : hangat, CRT <2 detik
Genital : fimosis (+)
A GEA dengan dehidrasi ringan sedang + ISK ec fimosis
P IVFD Kaen 3B 13 tpm
Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 0,9% 100 cc
Inj. PCT drip 3x300 mg
Domperidone syr 3 x 5 ml
Lacto B 2 x 1 sach
Ekstra smecta 3x⅓ sach
Diet nasi tim rendah serat
Besok cek ulang DR
2. Kamis, 27 September 2018
S Ibu pasien mengatakan pasien sudah tidak demam, BAK
P2/BP
tidak ada keluhan, BAB 1x cair banyak ampas, nafsu makan
1
sudah membaik, tidak ada mual dan muntah.
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 98x/m
RR : 26x/m
Suhu : 36,7 ℃
SpO2 : 98%
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-)
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-/-)
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/+), wheezing
(-/-)
Abdomen : datar, supel, BU (+), NTE (-), turgor kulit baik
Akral : hangat, CRT <2 detik
Genital : fimosis (+)
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-)
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-/-)
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/+), wheezing
(-/-)
Abdomen : datar, supel, BU (+), NTE (-), turgor kulit baik
Akral : hangat, CRT <2 detik
Genital : fimosis (+)
A GEA dengan dehidrasi ringan sedang + ISK ec fimosis
P IVFD Kaen 3B 8 tpm
Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 0,9% 100 cc
Domperidone syr 3 x 5 ml
Lacto B 2 x 1 sach
Diet nasi tim rendah serat
Pasien rencana pulang keesokan harinya
- Cefixime syr 2 x 4 ml oral (untuk 3 hari) kontrol
1/10/2018.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Fimosis
1.1. Definisi
Fimosis adalah keadaan dimana preputium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik)
ke proksimal sampai korona glans penis. [1]
Gambar 1. Fimosis.
1.2 Epidemiologi
Pada sekitar 50% anak berusia 1 tahun, preputium dapat ditarik ke belakang kelenjar
dan hampir 90% anak usia 3 tahun (10% mengalami fimosis fisiologis). Fimosis
terjadi pada 1%-5% remaja antara usia 16-18 tahun. [1]
1.3 Etiologi
Pada saat lahir fimosis merupakan hal fisiologis, namun seiring waktu, adhesi antara
preputium dan glans menghilang dan cincin fimosis distal melonggar. Pada 90% laki
– laki yang tidak disirkumsisi, preputium akan dapat diretraksi sepenuhnya pada umur
3 tahun. Akumulasi debris epitel dibawah preputium bayi merupakan hal yang
fisiologis dan tidak perlu dilakukan sirkumsisi. [1,3]
Pada usia yang lebih tua, fimosis dapat merupakan fisiologis maupun patologis yang
diakibatkan oleh inflamasi dan terbentuknya jaringan parut pada ujung dari kulit
preputium, hal ini dapat terjadi setelah sirkumsisi. Jaringan sikatrik dapat berasal dari
tindakan retraksi yang dipaksa pada 1 atau 2 kejadian sebelumnya. Katerisasi
berulang juga dapat menyebabkan fimosis. [1,3]
Fimosis dapat disebabkan karena beberapa hal seperti :
a) Masalah medis :
o Diabetes : membuat seseorang rentan terkena infeksi sehingga dapat
membentuk jaringan parut yang menyebabkan kulit menjadi tidak lentur
dan sulit ditarik.
Psoriasis
Balantitis
Balanopostitis
Lichen sclerosusz (lesi pada preputium)
Lichen planus (ruam gatal non-infeksi)
Eksim : membuat kulit berwarna merah, gatal, pecah-pecah dan kering.
b) Usia : usia yang semakin tua menyebabkan kelenturan preputium semakin
berkurang sehingga sulit ditarik.
c) Tarikan dan peregangan yang keras : hal ini membuat kulit preputium robek
dan mengalami peradangan sehingga menyebabkan fimosis.
d) Fimosis sering terjadi pada anak-anak yang belum di sirkumsisi.
1.4 Patofisiologi
Fimosis dialami sebagian besar bayi baru lahir karena adanya adhesi alamiah antara
preputium dengan glans penis. Penis tumbuh dan berkembang hingga saat usia 3-4
tahun menghasilkan debris yang dihasilkan oleh epitel preputium (smegma) yang
mengumpul di dalam preputium dan secara perlahan-lahan memisahkan preputium
dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi berkala menyebabkan preputium terdilatasi
perlahan-lahan sehingga preputium dapat ditarik ke proksimal.
Pada sebagian anak, preputium tetap lengket pada glans yang menyebabkan ujung
preputium mengalami penyempitan dan mengganggu fungsi berkemih. Smegma yang
terbentuk oleh sel-sel mukosa preputium dan glans penis mengalami deskuamasi oleh
bakteri di dalamnya. [3]
1.5 Manifestasi
Pada fimosis fisiologis dapat terbentuk kista akibat penumpukan smegma yang
terperangkap dan terjadi penggelembungan dari kulit preputium pada saat buang air
kecil namun tidak ada nyeri. Pada fimosis fisiologis, ujung dari preputium umumnya
sehat dan normal dan akan mengkerut dengan tarikan perlahan. Pada umumnya
masalah pada fimosis fisiologis merupakan bagian proksimal dari preputium yang
menyempit.
Pada fimosis patologis yang tidak terjadi resolusi secara natural maka dapat timbul
komplikasi seperti iritasi penis, pendarahan penis, terjadi penggelembungan yang
terasa nyeri dari kulit preputium pada saat buang air kecil, dysuria, pancaran
melemah, ereksi yang nyeri, infeksi berulang dari kulit penis (balanoposthitis),
paraphimosis, dan infeksi saluran kemih. Pada fimosis patologis, tarikan perlahan
dapat menyebabkan terbentuknya struktur seperti kerucut dengan bagian distal yang
menyempit menjadi bewarna putih dan fibrotik. Pada fimosis patologis umumnya
lubang meatal juga sempit. [2,3]
1.6 Tatalaksana
Pada laki – laki dengan fimosis persisten yang diakibatkan fisiologis maupun
patologis, dapat diberikan krim kortikosteroid pada kulit preputium sebanyak 3 kali
sehari dalam 1 bulan diikuti dengan retraksi manual untuk melemaskan cincin
fimosis. Krim kortikosteroid yang sering digunakan yaitu hydrocortisone 2.5%,
betamethasone 0.05%, triamcinolone 0.01%, dan fluticasone propionate 0.05%.
Tatalaksana ini memiliki keberhasilan pada 2/3 kasus. Mekanisme krim kortikosteroid
belum diketahui sepenuhnya pada fimosis, namun krim kortikosteroid diduga bekerja
dengan menurunkan inflamasi dan menipiskan kulit.
Krim anti jamur juga dapat diberikan untuk penderita yang mengalami infeksi karena
jamur.
Pada anak laki – laki berumur atas 10 tahun dengan gejala kulit preputium
menggembung pada saat buang air kecil dan terapi krim kortikosteroid tidak efektif,
maka perlu dilakukan sirkumsisi. [1,2,3]
1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada fimosis adalah : [1,2]
Rekurensi
Postitis
Nekrosis dan gangrene glans
1.8 Prognosis
Sekitar 95% kasus berespon dengan pemberian steroid topikal walaupun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa tingkat responsnya dapat menurun dalam beberapa
bulan setelah regimennya habis. Komplikasi pada pengobatan terbatas pada nyeri
preputium dan hyperemia. [1,2]
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi pada anak-anak berbeda-beda berdasarkan usia, jenis kelamin, dan
faktor-faktor lainnya. Prevalensi pada anak wanita berkisaran 3-5% dan pada anak
pria kurang lebih 1%. Angka kejadian ISK paling tinggi terjadi pada satu tahun awal
kehidupan bayi, namun kondisi tersebut akan menurun sesuai dengan penambahan
usia anak, khususnya pada jenis kelamin laki-laki. Insiden ISK pada laki-laki diusia 7
tahun diperkirakan 2% dan pada perempuan yaitu 8%. 7,5% dari 442 bayi yang
berusia < 8 minggu, 5,3% dari 945 bayi yang berusia < 1 tahun, 4,1% dari 501 anak-
anak yang berusia 2 tahun, dan 1,7% dari 664 anak yang berusia < 5 tahun menderita
ISK dengan gejala demam. [5]
Anak-anak yang pernah menderita ISK memiliki peningkatkan risiko rekurensi
sebesar 13-19%. Sekitar 4% anak yang seringkali mengalami rekurensi ISK dan
refluks vesikoureter dapat mengalami gagal ginjal stadium akhir.Insidens bakteriuria
asimtomatik berkisar 1-2% pada anak wanita berumur antara 5-16 tahun dan lebih
sering pada penderita dengan infeksi berulang. [5]
2.3 Etiologi
Penyebab ISK terbanyak, baik yang simptomatik maupun yang asimptomatik,
termasuk pada neonatus adalah Escherichia coli, yaitu pada 70-80% kasus. Penyebab
lain yang dapat menyebabkan ISK adalah Klebsiella, Proteus, Staphylococcus
saphrophyticus, Staphylococcus koagulase negatif, Pseudomonas aeroginosa,
Strepcococcus fecalis, dan Streptococcus afalactiae. ISK yang disebabkan oleh jamur
seperti infeksi Candida albicans sering ditemukan pada pasien yang menggunakan
antibiotik dalam jangka waktu lama, kateterisasi, atau penurunan fungsi imun. ISK
yang disebabkan oleh virus jarang bersifat simptomatik, namun diketahui bahwa
Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran kemih pada anak laki – laki,
sering ditemukan Proteus species. Pada perempuan remaja dan seksual aktif, sering
ditemukan Staphyloccoccus saporphyticus. [5]
B. Sistisis
Pada sistisis dapat timbul gejala seperti dysuria, urgensi, frekuensi BAK meningkat,
nyeri suprapubik, inkontinens. Sistisis tidak menyebabkan demam.[1]
C. Bakteriuria simptomatik
Kondisi ini merupakan dimana kultur bakteri urin positif namun tidak ada manifestasi
gejala. Hal ini paling sering terjadi pada wanita. Insiden bakteriuria asmtomatik
berkisar 1-2 % pada anak wanita berumur 5-16 tahun dan lebih sering pada penderita
dengan infeksi berulang. [1,5]
2.6 Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang yang dipastikan dengan biakan urin. Pemeriksaan tanda vital termasuk
tekanan darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen,
kandung kemih, muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang
belakang untuk melihat ada tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK.
Genitalia eksterna diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia
pada laki-laki atau sinekie vagina pada perempuan. setiap demam harus dipikirkan
kemungkinan ISK dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2
tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus
dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditatalaksana sebagai
pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP membuat
patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu: (1) suhu tubuh 39 C atau lebih,
(2) demam berlangsung dua hari atau lebih, (3) ras kulit putih, (4) umur di bawah satu
tahun, (5) tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya. Bila ditemukan 2
atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai
95% dengan spesifisitas 31%.
Standar baku untuk menentukan diagnosis yaitu dengan kultur urin. Pada anak yang
sudah mendapat latihan toilet, urin dapat diambil dari pancaran tengah. Sedangkan
pada anak – anak yang belum mendapatkan latihan menggunakan toilet maka urin
dapat diambil melalui kateter. Pada anak – anak dibawah 2 tahun, pengambilan
sampel urin dapat dilakukan dengan pediatric urine collector bag. Pada laki – laki
yang belum disirkumsisi, maka preputium perlu diretraksi pada pengambilan sampel
urin. Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan
darah. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap
episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK.
Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria. Nitrit dan leukosit esterase biasanya
positif pada ISK. Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri
dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat
ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram
negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit,
sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Pada ISK umumnya terdapat leukosit dalam urin (pyuria). Hematuria mikroskopis
juga kadang terjadi pada sistisis akut. Bila pada urinalisis terdapat white blood cell
cast, maka dapat diduga terjadi kerusakan pada renal, namun hal ini jarang terlihat.
Bila pada kultur urin menunjukkan >100.000 koloni dengan patogen tunggal, atau
>10.000 koloni dan anak menunjukkan gejala, maka dapat didiagnosis sebagai ISK.
Bila pada urine bag, sampel urinalisis positif disertai gejala dan terdapat organisme
tunggal pada hasil kultur sebanyak >100.000, maka dapat dinyatakan sebagai ISK. [1,5]
2.7 Tatalaksana
Gambar 6. Tatalaksana ISK. [5]
Menurut Hock-Boon (1988), prinsip penanggulangan ISK pada anak adalah
mengkonfirmasi diagnosis ISK, eradikasi infeksi pada waktu serangan atau relaps,
evaluasi saluran kemih, perlunya tindakan bedah pada uropati obstruktif, batu, buli-
buli neurogenik, pencegahan infeksi berulang, serta perlunya dilakukan tindak lanjut.
Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya
urosepsis dan kerusakan parenkim ginjal. Apabila seorang anak dicurigai ISK,
berikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil
biakan urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan
antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal.
Umumnya hasil pengobatan akan tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Apabila
dalam waktu respon klinik belum terlihat kemungkinan antibiotik yang diberikan
tidak sesuai atau yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik sebaiknya
diganti. Selain pemberikan antibiotik, dianjutkan untuk meningkatkan asupan cairan.
o Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman
setempat. Apabila pola resistensi kuman tidak tersedia, dapat diberikan
trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
o Apabila dalam 2448 jam belum ada tanda perbaikan klinis, maka harus
pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.
A. Pielonefritis akut
Pengobatan pielonefritis akut, untuk bayi atau anak dengan ISK disertai gejala
sistemik maka diberikan antibiotik parenteral tanpa menunggu hasil biakan urin
untuk mencegah terjadinya parut ginjal. Pemberian antibiotik parenteral
diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam penderita bebas demam, kemudia
dilanjutkan dengan pemerian oral selama 10-14 hari, disesuaikan dengan hasil
biakan urin dan uji sensitivitasnya. [1]
Tabel 3. Dosis antibiotik. [5]
B. Sistisis akut
Pada sistisis akut dengan gejala yang parah maka dapat langsung diberikan
terapi tanpa menunggu hasil kultur. Bila pengobatan diberikan sebelum hasil
kultur selesai, umumnya diberikan trimethoprim sulfamethox selama 3 – 5 hari.
Trimethroprim efektif terhadap kebanyakan tipe E.coli. Nitrofurantoin (5-7
mg/kg/24 jam dibagi 3-4 kali per hari) juga efektif terhadap E.coli dan memiliki
keunggulan efektifitas juga terhadap Klebsiella dan organisme Enterobacter.
Obat lain yang dapat diberikan yaitu amoksisilin (50 mg/kgBB/24 jam). [1]
3. Gastroenteritis
3.1 Definisi
GEA atau gastroenteritis merupakan infeksi dari saluran pencernaan, manifestasi
yang paling sering muncul ada diare dan muntah, yang dapat diiringi manifestasi
[1]
sistemik seperti demam dan nyeri perut. Diare akut adalah buang air besar
pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja
menjadi cair dengan atau tanpa lender dan darah yang berlangsung kurang dari
satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi uang air besarnya
lebih dari 3-4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare tetapi bersifat
fisiologis dan normal. Pada bayi yang minum ASI secara eksklusif defines diare
yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya
menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. [6]
3.2 Epidemiologi
Data dari Riskesdas 2007 menunjukan kejadian diare adalah sebanyak 9% (± 4,2
– 18,9%) dan kejadian tertinggi berada di umur 1-4 tahun, secara jenis kelamin
sama antara laki-laki dan perempuan. Pada rentang semua umur diare
menyumbang kematian pada urutan ke-13 sebanyak 3,5% dari total kematian
akibat penyakit. Sedangkan dari data rumah sakit di tahun 2018, diare &
gastroenteritis merupakan urutan pertama penyebab rawat inap sebesar 8,23%
yaitu sebanyak 200,412 jiwa. Penyebab kematian pada bayi (29 hari – 11 bulan)
terbanyak adalah diare (31,4%) dan penyebab kematian pada balita (12 – 23
bulan) juga adalah diare (20,7%). [6]
Salah satu penyebab rawat inap akibat gastroenteritis terbesar adalah Rotavirus,
ditemukan sebanyak 33-49% pada rata-rata dunia. Namun 90% kematian akibat
rotavirus berasal dari negara dengan penghasilan rendah seperti Afrika sub-
Sahara dan Asia Selatan.
3.3 Etiologi
Gastroenteritis disebabkan infeksi yang didapat melalui fekal – oral atau
tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi.
Etiologi diare akut :
A. Golongan bakteri
Aeromonas Salmonella
Bacillus cereius Shigella
Campylobacter jejuni Staphylococcus aureus
Clostridium perfringens Vibrio cholera
Clostridium defficile Vibrio parahaemolyticus
Escheria coli Yersinia enterocolitica
Plesiomona shigeloides
B. Golongan Virus
Astrovirus
Calcivirus (Norovirus, Rotavirus
Norwalk virus
Sapovirus)
Herpes simplex virus
Enteric adenovirus
Cytomegalovirus
Coronavirus
C. Golongan Parasit
Balantidium coli Giardia lamblia
Blastocystis homonis Isospora belli
Cryptosporidium parvum Strongyloides stercoralis
Entamoeba hystolytica Trichuris trichiura
Pada negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada
anak – anak yaitu Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella,
Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. [6]
3.4 Patogenesis
Pada diare yang disebabkan oleh infeksi virus, virus akan secara selektif
menyerang dan merusak sel-sel pada ujung vilus usus, sehingga villus
menjadi tumpul dan terjadi infiltrasi sel-sel bundar ke lamina propria.
Umumnya mukosa lambung tidak terjadi perubahan histopatologis, walaupun
digunakan istilah “gastro-enteritis”.
Pada Rotavirus diketahui kadar virus yang menyebabkan infeksi adalah
setidaknya 100-1000 partikel virus. Rotavirus akan berikatan dengan
sialoglikoprotein dan reseptor integrin dengan mediator VP4 (Viral Protein
4), yang dapat dicegah oleh antibodi terhadap VP4 dan VP7 (Viral Protein 7).
Setelah berikatan, virus akan masuk ke dalam sel, kemudian protein virus
akan terkelupas dan memulai proses transkripsi dan translasi. Selanjutnya
akan membentuk viroplasma dan pelepasan virus dan protein virus secara
apikal ke dalam lumen. Proses pembentukan virus baru ini berlangsung
dalam waktu 10-12 jam. Proses ini akan berlanjut ke enterosit sekitarnya.
Akibatnya rotavirus akan merusak vili absorsi sehingga terjadi proliferasi sel
kripta sekretorik.
Vilus yang rusak menyebabkan terganggunya fungsi absorbsi makanan dan
cairan dan akan digantikan oleh epitel kuboid enterosit yang baru, namun
karena belum matang, absorbsi tetap terganggu. Enterosit bagian ujung ini
memiliki fungsi untuk meng-hidrolisa disakarida (sukrase, isomaltase, etc)
transportasi penyerapan air dan elektrolit melalui ko-transporter glukosa dan
asam amino. Cairan dan makanan dalam lumen ini akan menyebabkan
meningkatnya tekanan koloid osmotik dalam lumen, juga menyebabkan
hipermotilitas usus. Selain itu terjadi perubahan pada tight junction sehingga
cairan bergerak bebas dari matriks ekstraseluler ke lumen, hal ini dicurigai
disebabkan oleh non-structural protein 4 (NSP4). NSP4 juga dapat berfungsi
sebagai enterotoksin yang mengaktivasi saluran kalsium sel, dan
menyebabkan diare sekretorik. Selain itu dicurigai juga NSP4 dapat
mengaktivasi sistem saraf enterik, sehingga meningkatkan motilitas usus dan
menginduksi diare sekretorik. Akibatnya makanan dan cairan terbuang
melalui anus karena tidak terserap dengan baik. Sehingga timbul diare
osmotik.
Mekanisme diare :
A. Gangguan absorbsi atau diare osmotik
Terjadi penurunan fungsi absorbsi seperti konsumsi magnesium hidroksida,
defisiensi sukrase – isomaltase yaitu adanya lactase defisien pada anak yang
lebih besar. Adanya bahan yang tidak diserap bersifat hipertonis dan
menyebabkan hiperosmolaritas, sehingga terjadi perbedaan tekanan osmosis
antara lumen dan darah. Maka air akan mengalir ke arah lumen jejunum
sehingga air banyak terkumpul di lumen usus. Sebagian kecil akan
terabsorbsi kembali namun sebagian akan tetap di lumen karena adanya
bahan yang tidak diserap pada usus seperti Mg, glukosa, sukrosa, laktosa dan
maltose di segmen ileum yang melebihi kemampuan absorpsi kolon.
B. Malabsorpsi umum
Keadaan ini dapat disebabkan oleh virus atau bakteri seperti Salmonella,
Shigella atau Campylobacter; bisa juga rusak akibat penyakit inflammatory
bowel disease. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga
menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan gangguan
absorpsi nutrisi laktose. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah
mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare.
E. Diare Inflamasi
Proses inflamasi akibat bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur
dan fungsi tight junction, mengindusi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan
mengaktifkan kaskade inflamasi.
3.6 Diagnosis
Pemeriksaan feses secara mikroskopis dan kultur merupakan informasi
penting dari penyebab diare. Spesimen feses perlu diperiksa apakah terdapat
mucus, darah dan leukosit. Leukosit pada feses menandakan invasi bakteri
pada mukosa usus. Pada daerah endemik, kultur feses negatif untuk
enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu dan immunecompromised maka
pemeriksaan parasit juga perlu dilakukan pada feses. Kultur feses perlu
diambil pada anak dengan diare berdarah yang pada pemeriksaan fesesnya
terdapat leukosit, dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, KLB diare
dan pada anak dengan immunocompromised. [1,6]
Namun demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum lebih banyak.
Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, satu sendok teh setiap
1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak yang lebih besar,
berikan minuman oralit lebih sering dengan meng- gunakan cangkir.
Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah :
Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih
lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit)
Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri
minum air matang atau ASI. Nasihati ibu untuk terus menyusui anak
kapan pun anaknya mau.
Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu
cara menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa bungkus oralit secukup-
nya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi di rumah ditambah
untuk rehidrasi dua hari berikutnya.
Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang
terlihat sebelumnya(Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila
anak tidak bisa minum larutan oralit atau keadaannya terlihat
memburuk.)
Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah :
beri cairan tambahan.
beri tablet Zinc selama 10 hari
lanjutkan pemberian minum/makan (lihat bab 10, halaman 281) (iv)
kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:
anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu - kondisi anak
memburuk
anak demam
terdapat darah dalam tinja anak
Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi
pengobatan untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas
dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering
mungkin
Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan
untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas dan mulai beri
anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering mungkin
Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa
minum oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan infus
dengan cara: beri cairan intravena secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan
Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl)
yang dibagi sebagai berikut :
Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis
dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari
obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
A. Adsorben
(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-
obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk
mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan
diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus.
Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari penggunaan obat ini
untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
B. Antimotilitas
(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii,
paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang
dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu
dapat menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat
memperpanjang infeksi dengan memperlambat eliminasi dari organisme
penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari obat-
obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.
C. Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan. [6]
Obat antimuntah seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral.
Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare,
muntah karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.
3.8 Komplikasi
Diare dapat menyebabkan gangguan elektrolit seperti hipernatremia,
hiponatremia, hiperkalemia, hipokalemia. [6]
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan buang air besar cair sebanyak 6 kali dengan
konsistensi cair 1 jam SMRS. Diare akut ditegakan atas dasar peningkatan frekuensi
BAB (>3 kali dalam 24 jam) dan perubahan konsistensi (menjadi cair). Sesuai dengan
definisi dari diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan
darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pasien dapat didiagnosis sebagai
GEA karena terdapat diare akut, disertai muntah.
Ibu pasien menyatakan bahwa feses bewarna kuning tanpa lendir dan darah,
maka kemungkinan disentri sebagai penyebab diare dapat disingkirkan. Dari segi
etiologi, virus merupakan penyebab paling sering untuk golongan usia <5 tahun, yaitu
rotavirus.
Berdasarkan tabel diatas, pada rotavirus umumnya terdapat gejala diare
dengan konsistensi cair bewarna kuning, muntah, low grade fever, turunnya nafsu
makan. Hal ini sesuai dengan gejala pasien yaitu diare akut dengan konsistensi cair,
terdapat keluhan muntah, dan pasien terdapat demam namun suhu tidak terlalu tinggi.
Namun pada kasus ini terdapat kemungkinan bahwa GEA disebabkan oleh patogen
lain seperti ETEC, melihat dari kemiripan gejala. Pemeriksaan feses perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis pasti dari etiologi diare pasien.
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan oleh virus adalah virus akan
menginfeksi lapisan epitelium usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini
akan menyebabkan fungsi absobsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang
rusak kemudian diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum
matang, sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat
mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan
yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan
terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap
terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air
dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakarida dan
fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (ko-
transporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak
terdiferensiasi, yang tidak memiliki enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan
sekretor air dan elektrolit. Dengan demikian, infeksi virus selektif sel-sel ujung villus
usus menyebabkan: ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi
dan malabsorbsi karbohidrat kompleks terutama laktosa.
Namun, pada diare yang disebabkan oleh Rotavirus, infeksi virus
menghasilkan 2 jalur. Pertama, Rotavirus mengeluarkan protein non-spesifik 4
(NSP4) dan melekat pada reseptor spesifik di vilus usus dan memacu kaskade melalui
phosfolipase C (PLC) dan inositol tri-phosfat (IP3) yang berperan dalam pengeluaran
2+ 2+
Ca dari retikulum endoplasma (ER). Ca yang keluar akan menyebabkan gangguan
pada mikrovillar sitoskeleton dari enterosit. Selain itu rotavirus menginvasi masuk ke
dalam sel entrosit dan menghasilkan NSP4 secara intraselular. Kemudian NSP4
2+
intraselular tersebut kembali mengeluarkan Ca dari ER serta menganggu integritas
dari tight junction. NSP4 intraselular tidak melalui jalur kaskade PLC. Dari kedua
mekanisme tersebut, akibatnya terjadi hipersekresi klorida yang diikuti oleh natrium
dan air. NSP4 intrasel tersebut dapat menyebar secara langsung atau melalui
2+
enteronervous system (ENS) ke sel kripta dan mengeluarkan Ca dari ER serta terjadi
peningkatan pengeluaran chlorida dari sel kripta. Biasanya diare akibat inflamasi ini
berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman, R. and Nelson, W. (2011). Nelson textbook of pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: Elsevier/Saunders.
2. Baskin, L., Copp, H. and DiSandro, M. (2018). UCSF Department of Urology
| Phimosis. [online] Urology.ucsf.edu. Available at:
https://urology.ucsf.edu/patient-care/children/phimosis [Accessed 10 Oct. 2018].
3. Kaur Shahid S. Phimosis in Children. International Scholarly Research
Network Urology. 2012;2012(707329).
4. Wagenleher F, Naber K. Urinary Tract Infections In Children- Infectious
Disease and Antimicrobial Agents [Internet]. Antimicrobe.org. 2018 [cited 11
October 2018]. Available from: http://www.antimicrobe.org/e4b.asp
5. Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Jakarta: IDAI; 2002.
6. Juffrie M, Soeparto P, Ranuh R, Sayoeti Y, Ismail R, Subagyo B. Buku Ajar
Gastroenterologi - Hepatologi. Jakarta: IDAI; 2009.
7. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: World Health
Organization; 2009.
8. Infectious diarrhea: Can probiotics help against diarrhea? [Internet]. PubMed
Health. 2016 [cited 13 October 2018]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0088733/
9. Kher KK, Makker SP. Clinical pediatric nephrology. New York; McGraw-Hills
Inc; 1992.