Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN KASUS ILMU KESEHATAN ANAK

GASTROENTERITIS AKUT + DEHIDRASI RINGAN SEDANG


FIMOSIS
SUSP. INFEKSI SALURAN KEMIH

TISHA DIONETTA
00000003822

PEMBIMBING
dr. Irene Akasia Oktariana, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT MARINIR CILANDAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE SEPTEMBER 2018 – NOVEMBER 2018
JAKARTA

1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN KASUS.................................................................................................. 4
I. Identitas Pasien............................................................................................................... 4
II. Anamnesis......................................................................................................................... 4
III. Pemeriksaan Fisik........................................................................................................... 6
IV. Pemeriksaan Penunjang........................................................................................... 9
V. Resume............................................................................................................................... 9
VI. Diagnosis.................................................................................................................... 10
VII. Tatalaksana................................................................................................................ 10
VIII. Prognosis.................................................................................................................... 11
IX. Follow-up......................................................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................... 15
BAB III ANALISA KASUS................................................................................................. 44
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 50
BAB I
PENDAHULUAN

Fimosis adalah suatu kelainan dimana preputium penis yang tidak dapat di
retraksi ke proksimal sampai ke korona glandis. Preputium penis merupakan lipatan kulit
yang menutupi glans penis. Normalnya, kulit preputium selalu melekat erat pada glans
penis dan tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertumbuhnya
usia dan pertumbuhan terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara
glans penis dan lapisan bagian dalam preputium sehingga akhirnya kulit preputium
terpisah dari glans penis.
Di Jepang, fimosis ditemukan pada 88% bayi yang berusia 1 hingga 3 bulan
dan 35% pada balita berusia 3 tahun. Insiden fimosis adalah sebesar 8% pada usia 6
sampai 7 tahun dan 1% pada laki-laki usia 16 sampai 18 tahun. Beberapa penelitian
mengatakan kejadian fimosis saat lahir hanya 4% bayi yang preputiumnya sudah bisa
ditarik mundur sepenuhnya sehingga kepala penis terlihat utuh. Selanjutnya secara
perlahan terjadi deskuamasi sehingga perlekatan itu berkurang. Sampai umur 1 tahun,
masih 50% yang belum bisa ditarik penuh. Berturut-turut 30% pada usia 2 tahun, 10%
pada usia 4-5 tahun, 5% pada umur 10 tahun.
Obstruksi dan disfungsi merupakan penyebab tersering dari infeksi saluran
kemih. Fimosis merupakan predisposisi terhadap infeksi saluran kemih. ISK adalah
keadaan adanya infeksi dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai
infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna yaitu bila ditemukan
pada kultur urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 koloni/ml urin segar (yang
diperolej dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).
GEA atau gastroenteritis merupakan infeksi dari saluran pencernaan,
manifestasi yang paling sering muncul ada diare dan muntah, yang dapat diiringi
manifestasi sistemik seperti demam dan nyeri perut. Gastroenteritis disebabkan infeksi
yang didapat melalui fekal – oral atau tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi.
Etiologi dari GEA bermacam – macam, bakteri, virus, parasit, autoimun.
BAB II
TINJAUAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : An.A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 4 tahun 9 bulan
Tanggal Lahir : 3 Desember 2013
Alamat : Jalan abah bawah, Cilandak KKO
Agama : Islam
Nomor MR : 41-26-xx
Tanggal masuk RS : 25 September 2018

II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ibu pasien pada Selasa,
25 September 2018 di bangsal Dahlia bawah Rumah Sakit Marinir Cilandak
pukul 10.00 WIB.

Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan muntah sejak 1 jam sebelum masuk rumah
sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien, anak laki-laki berusia 4 tahun datang ke IGD RS Marinir Cilandak
dengan keluhan muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Ibu pasien
mengatakan muntah sebanyak 4 kali, dan disertai rasa mual. Muntahan berisi
makanan, tidak berlendir, tidak bercampur darah/kehitaman, berwarna kuning
dengan volume sekitar ½ gelas aqua/muntah. Selain muntah, pasien juga
mengeluhkan adanya buang air besar cair ± 6 kali dengan setiap buang air
besar sebanyak ± ¼ gelas akua/diare sejak subuh (2 jam SMRS). Buang air
besar berwarna coklat, tidak ada lendir, tidak ada darah, tidak berbau busuk,
dan tidak seperti air cucian beras. Ibu pasien mengatakan, sebelum terjadi
keluhan, pasien makan bubur di pinggir jalan. Pasien tidak memiliki keluhan
demam, batuk, ataupun pilek. Selain itu, semenjak muntah dan diare, nafsu
makan pasien menurun namun pasien masih minum lahap dan pasien tampak
rewel.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami gejala yang serupa sebelumnya. Pasien
menyangkal memiliki riwayat asma, alergi makanan, alergi obat, sakit kuning,
kejang demam, atau memiliki riwayat operasi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Orang tua pasien menyangkal adanya keluhan serupa di keluarga saat ini.
Riwayat keluarga dengan cacat bawaan, batuk lama, asma, alergi makanan,
alergi obat, kejang demam, hepatitis dan TB disangkal.

Riwayat Kehamilan Ibu


Pasien merupakan anak pertama dari dua saudara dengan usia kehamilan 38
minggu. Ibu pasien berusia 28 tahun saat mengandung. Ibu pasien rajin
kontrol kehamilan (ANC) ke puskesmas dan rumah sakit sebanyak 5x. Selama
masa kehamilan, ibu dalam kondisi sehat, tidak mengonsumsi rokok maupun
alkohol dan rutin mengkosumsi tablet asam folat, besi, dan kalsium selama
kehamilan. Tidak ada keluhan mual dan muntah yang berlebihan, kejang,
diabetes, perdarahan, tekanan darah tinggi dan demam pada saat kehamilan.
Kesan : riwayat kehamilan baik, tanpa komplikasi.

Riwayat Persalinan dan Masa Perinatal


Pasien lahir secara section caesarea di RS Marinir Cilandak. Ketika lahir,
pasien menangis spontan, berwarna pink kemerahan, ketuban jernih, skor
APGAR 8/9, berat badan lahir 3000 gram dan jenis kelamin laki-laki. Orang
tua pasien tidak mengingat panjang badan lahir, lingkar kepala, lingkar dada,
lingkar perut pasien saat bersalin. Bayi langsung minum ASI, tidak ada
kelainan bawaan, tidak kuning dan tidak pucat.

Riwayat Nutrisi
Pasien diberikan ASI eksklusif selama 6 bulan. Pasien mulai diberikan
makanan pendamping ASI (MPASI) setelah usia 6 bulan seperti bubur saring,
nasi tim, biskuit bayi serta buah contohnya pisang yang dihaluskan. Pasien
masih mendapatkan ASI hingga 2 tahun. Orang tua pasien menyangkal pernah
terdiagnosa gizi kurang atau buruk. Kini pasien seringkali jajan makan di luar.

Riwayat Tumbuh Kembang


Pasien mulai dapat membalikkan badan dari tengkurap ke terlentang pada usia
4 bulan. Pasien mulai dapat duduk sendiri, bersandar, dan mulai mengoceh
pada usia 6 bulan. Pasien lancar merangkak pada usia 9 bulan dan pada usia
12 bulan pasien sudah bisa berjalan sendiri.

Riwayat Imunisasi
Pasien telah mendapatkan imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis.

Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien tinggal bersama kedua orangtua dan adiknya. Keluarga pasien
memiliki kondisi ekonomi menengah keatas. Ayah pasien bekerja sebagai
pegawai swasta dan Ibu pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga. Hubungan
antar anggota keluarga baik.

III. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital (IGD)
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 102x/menit
Pernafasan : 24x/menit
Suhu : 36,5 ℃
Tinggi badan : 115 cm
Berat badan : 19,7 kg
Status gizi : BB aktual/BB baku untuk TB actual x 100%
: (19,7/18) x 100%
: 105% (gizi baik)

Status Generalisata
Kulit Berwarna sawo matang, hiperpigmentasi (-), ptekie (-),
keseluruhan sianosis (-), ikterik (-), edema (-), turgor kembali cepat
Kepala dan Bentuk kepala : normosefal
Rambut : tersebar merata, berwarna hitam, tebal
wajah
Wajah : simetris, scar (-), hiperemis (-), ptekie (-)
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks
cahaya tidak langsung (+/+), pergerakan bola mata
normal, mata cekung (-/-)
Hidung Septum nasi ditengah, sekret (-), perdarahan (-)
Telinga Normotia, simetris, deformitas (-), serumen (-/-), sekret
(-/-), otorhea (-/-), pembesaran kelenjar getah bening pre
dan post auricular (-)
Tenggorokan Bibir lembab dan basah, mukosa mulut basah, faring
hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-)
Leher Bentuk normal, scar (-), pembesaran kelenjar getah
bening leher (-)
Ketiak Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
aksilaris
Inspeksi Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi Tidak dilakukan
Jantung
Perkusi Tidak dilakukan
Auskultasi S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Simetris pada saat statis dan dinamis,
scar (-), retraksi intercostal (-), retraksi
Inspeksi
supraklavikular (-), retraksi epigastrium
(-)
Paru Tidak terdapat deformitas, nyeri tekan di
Palpasi
seluruh lapang dada (-)
Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru
Suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/-),
Auskultasi
wheezing (-/-)
Inspeksi Datar, supel, scar (-), massa (-)
Bising usus (+), metallic sound (-), bruit
Auskultasi
(-)
Abdomen Perkusi Timpani diseluruh lapang abdomen
Nyeri tekan epigastrium (+), massa (-),
Palpasi defans muscular (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)
Esktremitas Simetris, palmar tidak pucat, deformitas
Superior (-), ikterik (-), scar (-), akral hangat,
CRT < 2s, hambatan pergerakan (-)
Inferior Simetris, deformitas (-), ikterik (-), scar
(-), akral hangat, CRT <2s, hambatan
pergerakan (-)
Genital Preputium tidak dapat diretraksi

IV. Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan laboratorium (25/9/2018) yang dilakukan di IGD :

Hematologi
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 12,9 g/dL L : 13-17 / P : 12-16
Hematokrit 38% 37,00 – 54,00
Leukosit 25,6 rb/uL 5000 – 10000
Trombosit 306 rb/uL 150 – 400

Kimia
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Glukosa 111 mg/dL <200
V. Resume
Pasien anak laki-laki berusia 4 tahun 9 bulan datang ke IGD RS Marinir
Cilandak dengan keluhan muntah sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit.
Muntah 4 kali, dan disertai rasa mual, berisi makanan, tidak berlendir, tidak
bercampur darah/kehitaman, berwarna kuning dengan volume sekitar ½ gelas
aqua/muntah. Pasien juga mengeluhkan adanya buang air besar cair ± 6 kali
dengan setiap buang air besar sebanyak ± ¼ gelas akua/diare sejak subuh (2
jam SMRS). Buang air besar berwarna coklat, tidak ada lendir, tidak ada
darah, tidak berbau busuk, dan tidak seperti air cucian beras. Ibu pasien
mengatakan, sebelum terjadi keluhan, pasien makan bubur di pinggir jalan.
Pasien tidak memiliki keluhan demam, batuk, ataupun pilek. Selain itu,
semenjak muntah dan diare, nafsu makan pasien menurun namun pasien
masih minum lahap dan pasien tampak rewel.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos mentis, E4M6V5, dan tanda-tanda vital ditemukan tekanan darah 90/60
mmHg, nadi 102x/menit, regular, kuat, laju nafas 24x/menit, suhu 36,5 ℃ ,
Sp02 99%. Status gizi pasien berat badan 19,7 kg dengan tinggi badan 115 cm,
status gizi baik. Pada status generalis ditemukan adanya nyeri tekan
epigastrium dan pada pemeriksaan genital ditemukan preputium tidak dapat
diretraksi (fimosis +).
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 12,9 g/dL, Ht 38%,
leukosit 25600 rb/uL dan trombosit 306 rb/uL, dan glukosa 111 mg/dL.

VI. Diagnosis
 Diagnosis Kerja :
- Gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan sedang
- Infeksi saluran kemih et causa fimosis
 Diagnosis Banding
Gastroenteritis akut et causa infeksi bakteri

VII. Tatalaksana
 Tatalaksana non-medikamentosa
 Rawat inap
 Tirah baring
 Diet nasi tim rendah serat

 Tatalaksana medikamentosa
 IVFD RL 20 tpm kemudian dilanjutkan Kaen 3B 13 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 100 cc
 Domperidone syr 3 x 5 ml
 Lacto B 2 x 1 cth
 Ekstra smecta 3x⅓ sach

VIII. Prognosis
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Functionam : ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam

IX. Follow-up
1. Rabu, 26 September 2018
S Pasien sempat demam (38,3 oC) pada tanggal 25 September 2018
P1
pukul 20.00 malam, BAB 1x cair terdapat ampas sebanyak ½
gelas akua, BAK tidak ada keluhan, tidak terdapat mual dan
muntah, dan nafsu makan menurun.
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/60 mmHg
HR : 100x/m, kuat angkat, reguler
RR : 24x/m
Suhu : 36,5 ℃
SpO2 : 99%

Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-)
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-/-)
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/+), wheezing (-/-)
Abdomen : datar, supel, BU (+), NTE (+), turgor kulit baik
Akral : hangat, CRT <2 detik
Genital : fimosis (+)
A GEA dengan dehidrasi ringan sedang + ISK ec fimosis
P  IVFD Kaen 3B 13 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 0,9% 100 cc
 Inj. PCT drip 3x300 mg
 Domperidone syr 3 x 5 ml
 Lacto B 2 x 1 sach
 Ekstra smecta 3x⅓ sach
 Diet nasi tim rendah serat
 Besok cek ulang DR
2. Kamis, 27 September 2018
S Ibu pasien mengatakan pasien sudah tidak demam, BAK
P2/BP
tidak ada keluhan, BAB 1x cair banyak ampas, nafsu makan
1
sudah membaik, tidak ada mual dan muntah.
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 98x/m
RR : 26x/m
Suhu : 36,7 ℃
SpO2 : 98%

Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-)
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-/-)
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/+), wheezing
(-/-)
Abdomen : datar, supel, BU (+), NTE (-), turgor kulit baik
Akral : hangat, CRT <2 detik
Genital : fimosis (+)

Hasil lab 27/10/2018


Hb 12,6 (12,9)
Ht 38 (38)
Leukosit 10200 (25600)
Trombosit 297000 (306000)
A GEA dengan dehidrasi ringan sedang + ISK ec fimosis
P  IVFD Kaen 3B 8 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 0,9% 100 cc
 Domperidone syr 3 x 5 ml
 Lacto B 2 x 1 sach
 Diet nasi tim rendah serat
3. Jumat, 28 September 2018
S Ibu pasien mengatakan pasien sudah tidak ada keluhan.
P3/BP
2
O KU : tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 100/70 mmHg
HR : 104x/m
RR : 24x/m
Suhu : 36,4 ℃
SpO2 : 99%

Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata
cekung (-/-)
THT : faring hiperemis (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-/-)
Cor : S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : suara nafas vesikuler (+/+), rhonki (-/+), wheezing
(-/-)
Abdomen : datar, supel, BU (+), NTE (-), turgor kulit baik
Akral : hangat, CRT <2 detik
Genital : fimosis (+)
A GEA dengan dehidrasi ringan sedang + ISK ec fimosis
P  IVFD Kaen 3B 8 tpm
 Inj. Ceftriaxone 1x1 g drip dalam Nacl 0,9% 100 cc
 Domperidone syr 3 x 5 ml
 Lacto B 2 x 1 sach
 Diet nasi tim rendah serat
 Pasien rencana pulang keesokan harinya
- Cefixime syr 2 x 4 ml oral (untuk 3 hari)  kontrol
1/10/2018.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Fimosis
1.1. Definisi
Fimosis adalah keadaan dimana preputium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik)
ke proksimal sampai korona glans penis. [1]

Gambar 1. Fimosis.

1.2 Epidemiologi
Pada sekitar 50% anak berusia 1 tahun, preputium dapat ditarik ke belakang kelenjar
dan hampir 90% anak usia 3 tahun (10% mengalami fimosis fisiologis). Fimosis
terjadi pada 1%-5% remaja antara usia 16-18 tahun. [1]

1.3 Etiologi
Pada saat lahir fimosis merupakan hal fisiologis, namun seiring waktu, adhesi antara
preputium dan glans menghilang dan cincin fimosis distal melonggar. Pada 90% laki
– laki yang tidak disirkumsisi, preputium akan dapat diretraksi sepenuhnya pada umur
3 tahun. Akumulasi debris epitel dibawah preputium bayi merupakan hal yang
fisiologis dan tidak perlu dilakukan sirkumsisi. [1,3]
Pada usia yang lebih tua, fimosis dapat merupakan fisiologis maupun patologis yang
diakibatkan oleh inflamasi dan terbentuknya jaringan parut pada ujung dari kulit
preputium, hal ini dapat terjadi setelah sirkumsisi. Jaringan sikatrik dapat berasal dari
tindakan retraksi yang dipaksa pada 1 atau 2 kejadian sebelumnya. Katerisasi
berulang juga dapat menyebabkan fimosis. [1,3]
Fimosis dapat disebabkan karena beberapa hal seperti :
a) Masalah medis :
o Diabetes : membuat seseorang rentan terkena infeksi sehingga dapat
membentuk jaringan parut yang menyebabkan kulit menjadi tidak lentur
dan sulit ditarik.
 Psoriasis
 Balantitis
 Balanopostitis
 Lichen sclerosusz (lesi pada preputium)
 Lichen planus (ruam gatal non-infeksi)
 Eksim : membuat kulit berwarna merah, gatal, pecah-pecah dan kering.
b) Usia : usia yang semakin tua menyebabkan kelenturan preputium semakin
berkurang sehingga sulit ditarik.
c) Tarikan dan peregangan yang keras : hal ini membuat kulit preputium robek
dan mengalami peradangan sehingga menyebabkan fimosis.
d) Fimosis sering terjadi pada anak-anak yang belum di sirkumsisi.

1.4 Patofisiologi
Fimosis dialami sebagian besar bayi baru lahir karena adanya adhesi alamiah antara
preputium dengan glans penis. Penis tumbuh dan berkembang hingga saat usia 3-4
tahun menghasilkan debris yang dihasilkan oleh epitel preputium (smegma) yang
mengumpul di dalam preputium dan secara perlahan-lahan memisahkan preputium
dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi berkala menyebabkan preputium terdilatasi
perlahan-lahan sehingga preputium dapat ditarik ke proksimal.
Pada sebagian anak, preputium tetap lengket pada glans yang menyebabkan ujung
preputium mengalami penyempitan dan mengganggu fungsi berkemih. Smegma yang
terbentuk oleh sel-sel mukosa preputium dan glans penis mengalami deskuamasi oleh
bakteri di dalamnya. [3]

1.5 Manifestasi
Pada fimosis fisiologis dapat terbentuk kista akibat penumpukan smegma yang
terperangkap dan terjadi penggelembungan dari kulit preputium pada saat buang air
kecil namun tidak ada nyeri. Pada fimosis fisiologis, ujung dari preputium umumnya
sehat dan normal dan akan mengkerut dengan tarikan perlahan. Pada umumnya
masalah pada fimosis fisiologis merupakan bagian proksimal dari preputium yang
menyempit.
Pada fimosis patologis yang tidak terjadi resolusi secara natural maka dapat timbul
komplikasi seperti iritasi penis, pendarahan penis, terjadi penggelembungan yang
terasa nyeri dari kulit preputium pada saat buang air kecil, dysuria, pancaran
melemah, ereksi yang nyeri, infeksi berulang dari kulit penis (balanoposthitis),
paraphimosis, dan infeksi saluran kemih. Pada fimosis patologis, tarikan perlahan
dapat menyebabkan terbentuknya struktur seperti kerucut dengan bagian distal yang
menyempit menjadi bewarna putih dan fibrotik. Pada fimosis patologis umumnya
lubang meatal juga sempit. [2,3]

Gambar 3. Cincin fibrotic putih.


Gambar 4. Balooning dari kulit penis.

Tabel 1. Grade fimosis menurut Kikiros. [3]

1.6 Tatalaksana
Pada laki – laki dengan fimosis persisten yang diakibatkan fisiologis maupun
patologis, dapat diberikan krim kortikosteroid pada kulit preputium sebanyak 3 kali
sehari dalam 1 bulan diikuti dengan retraksi manual untuk melemaskan cincin
fimosis. Krim kortikosteroid yang sering digunakan yaitu hydrocortisone 2.5%,
betamethasone 0.05%, triamcinolone 0.01%, dan fluticasone propionate 0.05%.
Tatalaksana ini memiliki keberhasilan pada 2/3 kasus. Mekanisme krim kortikosteroid
belum diketahui sepenuhnya pada fimosis, namun krim kortikosteroid diduga bekerja
dengan menurunkan inflamasi dan menipiskan kulit.
Krim anti jamur juga dapat diberikan untuk penderita yang mengalami infeksi karena
jamur.
Pada anak laki – laki berumur atas 10 tahun dengan gejala kulit preputium
menggembung pada saat buang air kecil dan terapi krim kortikosteroid tidak efektif,
maka perlu dilakukan sirkumsisi. [1,2,3]
1.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada fimosis adalah : [1,2]
 Rekurensi
 Postitis
 Nekrosis dan gangrene glans

1.8 Prognosis
Sekitar 95% kasus berespon dengan pemberian steroid topikal walaupun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa tingkat responsnya dapat menurun dalam beberapa
bulan setelah regimennya habis. Komplikasi pada pengobatan terbatas pada nyeri
preputium dan hyperemia. [1,2]

2. Infeksi Saluran Kemih


2.1 Definisi dan Klasifikasi
Infeksi saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi dalam saluran kemih,
meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah
bakteriuria yang bermakna yaitu bila ditemukan pada kultur urin pertumbuhan bakteri
sejumlah >100.000 koloni/ml urin segar (yang diperoleh dengan cara pengambilan
yang steril atau tanpa kontaminasi). Hal ini merupakan baku emas (gold standard)
dalam diagnostik ISK. Apabaila urin diperoleh dengan aspirasi suprapubik maka
setiap ada pertumbuhan bakteri dianggap bakteriuria bermakna.
ISK dibagi menjadi ISK atas dan bawah. Batas antara atas dan bawah adalah
hubungan vesikoureter. ISK atas adalah infeksi saluran kemih bagian atas terutama
parenkim ginjal, yaitu pielonefritis. ISK bawah yaitu infeksi pada vesika urinaria
(sistisis) atau uretra.
ISK dibagi menjadi simpleks dan kompleks. ISK simpleks merupakan ISK sederhana,
ada infeksi namun tanpa lesi anatomik ataupun fungsional saluran kemih. ISK
kompleks merupakan ISK dengan komplikasi, infeksi disertai lesi anatomik ataupun
fungsional, yang menyebabkan obstruksi menkanik maupun fungsional saluran
kemih, seperti sumbatan muara uretra, refluks vesikoureter, urolitiasis, parut ginjal,
buli – buli neurogenik. Bila ada seorang anak ditemukan adanya bakteriuria bermakna
tanpa adanya gejala klinis infeksi pada anak tersebut, disebut bakteriuria asimtomatik,
sering ditemukan pada anak wanita. Hal ini biasanya ringan dan tidak menimbulkan
kerusakan ginjal kecuali pada wanita hamil bila dibiarkan tanpa diobati akan timbul
bakteriuria simtomatik.[5]

2.2 Epidemiologi
Epidemiologi pada anak-anak berbeda-beda berdasarkan usia, jenis kelamin, dan
faktor-faktor lainnya. Prevalensi pada anak wanita berkisaran 3-5% dan pada anak
pria kurang lebih 1%. Angka kejadian ISK paling tinggi terjadi pada satu tahun awal
kehidupan bayi, namun kondisi tersebut akan menurun sesuai dengan penambahan
usia anak, khususnya pada jenis kelamin laki-laki. Insiden ISK pada laki-laki diusia 7
tahun diperkirakan 2% dan pada perempuan yaitu 8%. 7,5% dari 442 bayi yang
berusia < 8 minggu, 5,3% dari 945 bayi yang berusia < 1 tahun, 4,1% dari 501 anak-
anak yang berusia 2 tahun, dan 1,7% dari 664 anak yang berusia < 5 tahun menderita
ISK dengan gejala demam. [5]
Anak-anak yang pernah menderita ISK memiliki peningkatkan risiko rekurensi
sebesar 13-19%. Sekitar 4% anak yang seringkali mengalami rekurensi ISK dan
refluks vesikoureter dapat mengalami gagal ginjal stadium akhir.Insidens bakteriuria
asimtomatik berkisar 1-2% pada anak wanita berumur antara 5-16 tahun dan lebih
sering pada penderita dengan infeksi berulang. [5]

2.3 Etiologi
Penyebab ISK terbanyak, baik yang simptomatik maupun yang asimptomatik,
termasuk pada neonatus adalah Escherichia coli, yaitu pada 70-80% kasus. Penyebab
lain yang dapat menyebabkan ISK adalah Klebsiella, Proteus, Staphylococcus
saphrophyticus, Staphylococcus koagulase negatif, Pseudomonas aeroginosa,
Strepcococcus fecalis, dan Streptococcus afalactiae. ISK yang disebabkan oleh jamur
seperti infeksi Candida albicans sering ditemukan pada pasien yang menggunakan
antibiotik dalam jangka waktu lama, kateterisasi, atau penurunan fungsi imun. ISK
yang disebabkan oleh virus jarang bersifat simptomatik, namun diketahui bahwa

adenovius dapat menyebabkan sistisis hemoragik.

Tabel 2. Etiologi ISK anak. [5]

Pada uropati obstruktif dan kelainan struktur saluran kemih pada anak laki – laki,
sering ditemukan Proteus species. Pada perempuan remaja dan seksual aktif, sering
ditemukan Staphyloccoccus saporphyticus. [5]

2.4 Patofisiologi dan Faktor Risiko


Bila ISK didiagnosis pada anak, upaya harus dilakukan untuk mengidentifikasi
faktor risiko pada anak (misalnya, anomali anatomi, disfungsi berkemih, dan
sembelit). Beberapa faktor risiko dari ISK dari faktor anatomi, bisa didukung dengan
adanya refluks vesiko ureter dan refluks intrarenal, obstruksi saluran kemih, benda
asing dalam saluran kemih (kateter urin), duplikasi collecting system, ureterokel, dan
divertikulum kandung kemih.
Statis urin dalam kandung kemih akibat adanya obstruksi dan adanya residu urin
merupakan faktor lain terjadinya ISK karena mempermudah bakteri tinggal lebih
lama dan dapat berproliferasi. Inkubasi urin ini bisa terjadi akibat anak memiliki
disfungsi berkemih atau anak memilih untuk menahan pipisnya. Kebiasaan menahan
pipis biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dan sekolah. Bila tidak ditemukan
adanya defek anatomi saluran kemih, maka faktor resiko ISK yang ada adalah faktor
penjamu. Sel uroepitel pada anak sangat rentan terhadap infeksi, karena sel tersebut
memiliki kapasitas untuk mengikat bakteri oleh karena adanya reseptor. Mekanisme
molekular mengenai perlekatan bakteri ini ke sel uroepitel tersebut masih belum
diketahui dengan pasti.
Bayi laki-laki yang disunat bisa mengurangi risiko ISK sekitar 90% khususnya
selama tahun pertama kehidupan. Risiko ISK pada bayi disunat adalah sekitar 1 dari
1000 jika mereka disunat selama tahun pertama dan bayi yang tidak disunat memiliki
1 dari 100 risiko terjadinya ISK. Secara keseluruhan, tingkat ISK pada anak laki-laki
yang telah disunat diperkirakan 0,2%-0,4%, dengan tingkat faktor risiko anak laki-
laki tidak disunat menjadi 5-20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki
yang disunat.
Obstruksi dan disfungsi merupakan penyebab tersering dari infeksi saluran kemih.
Fimosis merupakan predisposisi terhadap infeksi saluran kemih. Enterobacteria yang
berasal dari flora usus akan berkoloni pada kantung preputium, permukaan glandular
dan uretra distal. Organisme E.coli akan mengeluarkan fimbriae yang akan menempel
pada bagian dalam kulit preputium dan sel uroepitel sehingga dapat menyebabkan
infeksi. Abnormalitas kongenital dari saluran kemih dapat menyebabkan infeksi
saluran kemih dengan obstruksi seperti valve uretra, obstruksi pelvi-ureteric juntction.
Statis dari urin juga dapat menyebabkan ISK seperti vesikoureteral reflux. Disfungsi
neuropatik dari kandung kemih yang terjadi pada spina bifida, dapat menyebabkan
residu urin setelah berkemih dan vesikoureteral reflux sekunder. [4]
Gambar 5. Patogenesis dari ISK asending. [5]

2.5 Manifestasi Klinis


A. Pielonefritis
Pielonefritis ditandai oleh adanya nyeri perut, punggung atau pinggang; demam,
malaise, nausea, muntah dan terkadang diare. Demam dapat menjadi satu – satunya
manifestasi. Pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan gejala tidak spesifik
seperti tidak mau menyusu, iritabilitas, jaundice, dan penurunan berat badan. [1]

B. Sistisis
Pada sistisis dapat timbul gejala seperti dysuria, urgensi, frekuensi BAK meningkat,
nyeri suprapubik, inkontinens. Sistisis tidak menyebabkan demam.[1]
C. Bakteriuria simptomatik
Kondisi ini merupakan dimana kultur bakteri urin positif namun tidak ada manifestasi
gejala. Hal ini paling sering terjadi pada wanita. Insiden bakteriuria asmtomatik
berkisar 1-2 % pada anak wanita berumur 5-16 tahun dan lebih sering pada penderita
dengan infeksi berulang. [1,5]
2.6 Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang yang dipastikan dengan biakan urin. Pemeriksaan tanda vital termasuk
tekanan darah, pengukuran antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen,
kandung kemih, muara uretra, pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang
belakang untuk melihat ada tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK.
Genitalia eksterna diperiksa untuk melihat kelainan fimosis, hipospadia, epispadia
pada laki-laki atau sinekie vagina pada perempuan. setiap demam harus dipikirkan
kemungkinan ISK dan perlu dilakukan biakan urin. Pada anak umur 2 bulan sampai 2
tahun dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya, kemungkinan ISK harus
dipikirkan dan perlu dilakukan biakan urin, dan anak ditatalaksana sebagai
pielonefritis. Untuk anak perempuan umur 2 bulan sampai 2 tahun, AAP membuat
patokan sederhana berdasarkan 5 gejala klinik yaitu: (1) suhu tubuh 39 C atau lebih,
(2) demam berlangsung dua hari atau lebih, (3) ras kulit putih, (4) umur di bawah satu
tahun, (5) tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya. Bila ditemukan 2
atau lebih faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai
95% dengan spesifisitas 31%.
Standar baku untuk menentukan diagnosis yaitu dengan kultur urin. Pada anak yang
sudah mendapat latihan toilet, urin dapat diambil dari pancaran tengah. Sedangkan
pada anak – anak yang belum mendapatkan latihan menggunakan toilet maka urin
dapat diambil melalui kateter. Pada anak – anak dibawah 2 tahun, pengambilan
sampel urin dapat dilakukan dengan pediatric urine collector bag. Pada laki – laki
yang belum disirkumsisi, maka preputium perlu diretraksi pada pengambilan sampel
urin. Pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan
darah. Leukosituria biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap
episode ISK simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK.
Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa leukosituria. Nitrit dan leukosit esterase biasanya
positif pada ISK. Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri
dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi dapat
ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar kuman Gram
negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat menjadi nitrit,
sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Pada ISK umumnya terdapat leukosit dalam urin (pyuria). Hematuria mikroskopis
juga kadang terjadi pada sistisis akut. Bila pada urinalisis terdapat white blood cell
cast, maka dapat diduga terjadi kerusakan pada renal, namun hal ini jarang terlihat.
Bila pada kultur urin menunjukkan >100.000 koloni dengan patogen tunggal, atau
>10.000 koloni dan anak menunjukkan gejala, maka dapat didiagnosis sebagai ISK.
Bila pada urine bag, sampel urinalisis positif disertai gejala dan terdapat organisme
tunggal pada hasil kultur sebanyak >100.000, maka dapat dinyatakan sebagai ISK. [1,5]

2.7 Tatalaksana
Gambar 6. Tatalaksana ISK. [5]
Menurut Hock-Boon (1988), prinsip penanggulangan ISK pada anak adalah
mengkonfirmasi diagnosis ISK, eradikasi infeksi pada waktu serangan atau relaps,
evaluasi saluran kemih, perlunya tindakan bedah pada uropati obstruktif, batu, buli-
buli neurogenik, pencegahan infeksi berulang, serta perlunya dilakukan tindak lanjut.
Tujuan eradikasi infeksi akut adalah mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya
urosepsis dan kerusakan parenkim ginjal. Apabila seorang anak dicurigai ISK,
berikan antibiotik dengan kemungkinan yang paling sesuai sambil menunggu hasil
biakan urin, dan terapi selanjutnya disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan
antibiotik harus didasarkan pada pola resistensi kuman setempat atau lokal.
Umumnya hasil pengobatan akan tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Apabila
dalam waktu respon klinik belum terlihat kemungkinan antibiotik yang diberikan
tidak sesuai atau yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik sebaiknya
diganti. Selain pemberikan antibiotik, dianjutkan untuk meningkatkan asupan cairan.

NICE merekomendasikan penanganan ISK fase akut sebagai berikut:


 Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter
spesialis anak, pengobatan harus dnegan antibiotik parenteral.
 Bayi > 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK anak:
o Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak.
o Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotic yang
resistensnya masih rendah berdasarkan pola resistensi kuman, seperti
sefalosporin atau ko-amoksiclav.
o Apabila antibiotik oral tidak dapat digunakan, terapi dengan antibioitk
parenteal, seperti sefotaksim atau seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan
dengan antibiotik per oral hingga total lama pemberian adalah 10 hari.
 Bayi > 3 bulan dengan sistitis/ISK bawah:

o Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola resistensi kuman

setempat. Apabila pola resistensi kuman tidak tersedia, dapat diberikan

trimetroprim, sefalosporin, atau amoksisilin.
o Apabila dalam 24­48 jam belum ada tanda perbaikan klinis, maka harus

dinilai   kembali,   dilakukan   pemeriksaan   kultur   urin   untuk   menilai

pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.

A. Pielonefritis akut
Pengobatan pielonefritis akut, untuk bayi atau anak dengan ISK disertai gejala
sistemik maka diberikan antibiotik parenteral tanpa menunggu hasil biakan urin
untuk mencegah terjadinya parut ginjal. Pemberian antibiotik parenteral
diteruskan sampai 3-5 hari atau sampai 48 jam penderita bebas demam, kemudia
dilanjutkan dengan pemerian oral selama 10-14 hari, disesuaikan dengan hasil
biakan urin dan uji sensitivitasnya. [1]
Tabel 3. Dosis antibiotik. [5]
B. Sistisis akut
Pada sistisis akut dengan gejala yang parah maka dapat langsung diberikan
terapi tanpa menunggu hasil kultur. Bila pengobatan diberikan sebelum hasil
kultur selesai, umumnya diberikan trimethoprim sulfamethox selama 3 – 5 hari.
Trimethroprim efektif terhadap kebanyakan tipe E.coli. Nitrofurantoin (5-7
mg/kg/24 jam dibagi 3-4 kali per hari) juga efektif terhadap E.coli dan memiliki
keunggulan efektifitas juga terhadap Klebsiella dan organisme Enterobacter.
Obat lain yang dapat diberikan yaitu amoksisilin (50 mg/kgBB/24 jam). [1]

3. Gastroenteritis
3.1 Definisi
GEA atau gastroenteritis merupakan infeksi dari saluran pencernaan, manifestasi
yang paling sering muncul ada diare dan muntah, yang dapat diiringi manifestasi
[1]
sistemik seperti demam dan nyeri perut. Diare akut adalah buang air besar
pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja
menjadi cair dengan atau tanpa lender dan darah yang berlangsung kurang dari
satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi uang air besarnya
lebih dari 3-4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare tetapi bersifat
fisiologis dan normal. Pada bayi yang minum ASI secara eksklusif defines diare
yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya
menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. [6]

3.2 Epidemiologi
Data dari Riskesdas 2007 menunjukan kejadian diare adalah sebanyak 9% (± 4,2
– 18,9%) dan kejadian tertinggi berada di umur 1-4 tahun, secara jenis kelamin
sama antara laki-laki dan perempuan. Pada rentang semua umur diare
menyumbang kematian pada urutan ke-13 sebanyak 3,5% dari total kematian
akibat penyakit. Sedangkan dari data rumah sakit di tahun 2018, diare &
gastroenteritis merupakan urutan pertama penyebab rawat inap sebesar 8,23%
yaitu sebanyak 200,412 jiwa. Penyebab kematian pada bayi (29 hari – 11 bulan)
terbanyak adalah diare (31,4%) dan penyebab kematian pada balita (12 – 23
bulan) juga adalah diare (20,7%). [6]
Salah satu penyebab rawat inap akibat gastroenteritis terbesar adalah Rotavirus,
ditemukan sebanyak 33-49% pada rata-rata dunia. Namun 90% kematian akibat
rotavirus berasal dari negara dengan penghasilan rendah seperti Afrika sub-
Sahara dan Asia Selatan.

3.3 Etiologi
Gastroenteritis disebabkan infeksi yang didapat melalui fekal – oral atau
tertelannya makanan atau air yang terkontaminasi.
Etiologi diare akut :
A. Golongan bakteri
 Aeromonas  Salmonella
 Bacillus cereius  Shigella
 Campylobacter jejuni  Staphylococcus aureus
 Clostridium perfringens  Vibrio cholera
 Clostridium defficile  Vibrio parahaemolyticus
 Escheria coli  Yersinia enterocolitica
 Plesiomona shigeloides
B. Golongan Virus
 Astrovirus
 Calcivirus (Norovirus,  Rotavirus
 Norwalk virus
Sapovirus)
 Herpes simplex virus
 Enteric adenovirus
 Cytomegalovirus
 Coronavirus
C. Golongan Parasit
 Balantidium coli  Giardia lamblia
 Blastocystis homonis  Isospora belli
 Cryptosporidium parvum  Strongyloides stercoralis
 Entamoeba hystolytica  Trichuris trichiura
Pada negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada
anak – anak yaitu Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella,
Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. [6]

3.4 Patogenesis
Pada diare yang disebabkan oleh infeksi virus, virus akan secara selektif
menyerang dan merusak sel-sel pada ujung vilus usus, sehingga villus
menjadi tumpul dan terjadi infiltrasi sel-sel bundar ke lamina propria.
Umumnya mukosa lambung tidak terjadi perubahan histopatologis, walaupun
digunakan istilah “gastro-enteritis”.
Pada Rotavirus diketahui kadar virus yang menyebabkan infeksi adalah
setidaknya 100-1000 partikel virus. Rotavirus akan berikatan dengan
sialoglikoprotein dan reseptor integrin dengan mediator VP4 (Viral Protein
4), yang dapat dicegah oleh antibodi terhadap VP4 dan VP7 (Viral Protein 7).
Setelah berikatan, virus akan masuk ke dalam sel, kemudian protein virus
akan terkelupas dan memulai proses transkripsi dan translasi. Selanjutnya
akan membentuk viroplasma dan pelepasan virus dan protein virus secara
apikal ke dalam lumen. Proses pembentukan virus baru ini berlangsung
dalam waktu 10-12 jam. Proses ini akan berlanjut ke enterosit sekitarnya.
Akibatnya rotavirus akan merusak vili absorsi sehingga terjadi proliferasi sel
kripta sekretorik.
Vilus yang rusak menyebabkan terganggunya fungsi absorbsi makanan dan
cairan dan akan digantikan oleh epitel kuboid enterosit yang baru, namun
karena belum matang, absorbsi tetap terganggu. Enterosit bagian ujung ini
memiliki fungsi untuk meng-hidrolisa disakarida (sukrase, isomaltase, etc)
transportasi penyerapan air dan elektrolit melalui ko-transporter glukosa dan
asam amino. Cairan dan makanan dalam lumen ini akan menyebabkan
meningkatnya tekanan koloid osmotik dalam lumen, juga menyebabkan
hipermotilitas usus. Selain itu terjadi perubahan pada tight junction sehingga
cairan bergerak bebas dari matriks ekstraseluler ke lumen, hal ini dicurigai
disebabkan oleh non-structural protein 4 (NSP4). NSP4 juga dapat berfungsi
sebagai enterotoksin yang mengaktivasi saluran kalsium sel, dan
menyebabkan diare sekretorik. Selain itu dicurigai juga NSP4 dapat
mengaktivasi sistem saraf enterik, sehingga meningkatkan motilitas usus dan
menginduksi diare sekretorik. Akibatnya makanan dan cairan terbuang
melalui anus karena tidak terserap dengan baik. Sehingga timbul diare
osmotik.

Mekanisme diare :
A. Gangguan absorbsi atau diare osmotik
Terjadi penurunan fungsi absorbsi seperti konsumsi magnesium hidroksida,
defisiensi sukrase – isomaltase yaitu adanya lactase defisien pada anak yang
lebih besar. Adanya bahan yang tidak diserap bersifat hipertonis dan
menyebabkan hiperosmolaritas, sehingga terjadi perbedaan tekanan osmosis
antara lumen dan darah. Maka air akan mengalir ke arah lumen jejunum
sehingga air banyak terkumpul di lumen usus. Sebagian kecil akan
terabsorbsi kembali namun sebagian akan tetap di lumen karena adanya
bahan yang tidak diserap pada usus seperti Mg, glukosa, sukrosa, laktosa dan
maltose di segmen ileum yang melebihi kemampuan absorpsi kolon.

B. Malabsorpsi umum
Keadaan ini dapat disebabkan oleh virus atau bakteri seperti Salmonella,
Shigella atau Campylobacter; bisa juga rusak akibat penyakit inflammatory
bowel disease. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga
menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan gangguan
absorpsi nutrisi laktose. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah
mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare.

C. Gangguan sekresi atau diare sekretorik


Enterotoksin bakteri dan bahan kimia seperti laksansia, garam empedu bentuk
dihydroxy serta asam lemak rantai panjang dapat menstimulasi sekresi lumen.
Toksin meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca yang
mengaktifkan protein kinase sehingga terjadi perubahan saluran ion akrena
terfosforilasi membran proteinnya. Maka Cl di kripta akan keluar, dan seiring
hal itu, terjadi peningkatan pompa natrium sehingga natrium masuk ke dalam
lumen bersama Cl. Bahan laksatif dapat memacu peningkatan kadar cAMP
intraseluler, meningkatkan permeabilitas intestinal dan kerusakan sel mukosa.
Diare sekretrorik pada anak – anak di negara berkembang, umumnya
disbebakan enterotoksi E.coli atau Cholera. Pada negara maju, seringkali
disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang
menghasilkan hormon seperti VIP.

D. Diare akibat gangguan peristaltik


Diare akibat gangguan peristaltik pada anak ajrang terjadi. Watery diare dapat
disebabkan karena hipermotilitas pada kolon irritable bayi. Gangguan
motilitas juga merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis dan
malabsorbsi asam empedu. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri
tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Kegagalan motilitas usus yang
berat dapat menyebabkan statis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi
garam empedu dan malabsorbsi.

E. Diare Inflamasi
Proses inflamasi akibat bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur
dan fungsi tight junction, mengindusi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan
mengaktifkan kaskade inflamasi.

F. Diare terkait imunologi


Hal ini berhubungan dengan reaksi hipersensivitas I, III, dan IV. Reaksi tipe I
yaitu terjadi antara sel mast dengan IgE dan allergen makanan. Reaksi tipe III
yaitu terbentuknya komplek antigen antibody yang mengaktifkan
komplemen, terjadi pada penyakit gatroenteropati. Reaksi tipe IV terjadi
respon imun seluler, terdapat pada celiac disease dan protein loss
enteropaties. [6]

3.5 Manifestasi klinis


Pada gastroenteritis pada umumnya gejala yang timbul yaitu diare, kram
perut dan muntah. Namun dapat terjadi manifestasi sistemik dan komplikasi
ekstra intestinal bervariasi tergantung penyebabnya. Saat diare, penderita
akan mengeluarkan juga elektrolit seperti natrium, klorida, dan bikarbonat.
Pengeluaran elektrolit ini akan diperparah jika disertai gejala muntah. Selain
itu kehilangan air dari diare dan muntah diperparah jika pasien mengalami
demam. Kelanjutannya berupa dehidrasi, asidosis metabolik, dan
hipokalemia. Kondisi yang paling berbahaya adalah dehidrasi, karena
kelanjutannya yang dapat menyebabkan hipovolemi, kolaps kardiovaskuler,
dan kematian. Demam dapat terjadi akibat dehidrasi atau adnaya proses
inflamasi, seperti pada diare inflamasi. Jika timbul nyeri perut hebat atau
tenesmus menandakan adanya ikut sertanya usus besar. Mual dan muntah
dapat muncul bila patogen menyerang saluran cerna bagian atas. Pada diare
non inflamasi biasanya demam hanya subfebris atau tidak panas, dan
seringkali disertai gejala mual dan muntah.
Tabel 4. Manifestasi diare menurut etiologi. [6]
Pada diare, seringkali terjadi dehidrasi pada anak. Pada pemeriksaan fisik
anak dengan diare perlu dicari tanda – tanda utama dehidrasi seperti
kesadaran, rasa haus, turgor kulit, ubun – ubun cekung atau tidak, mata
cowong atau tidak, adanya air mata, mulut dan lidah kering atau basah, serta
capillary refill untuk menentukan derajat dehidrasi. Pernapasan yang cepat
dan dalam mengindikasikan adanya asidosis metabolik. [6]

Tabel 5. Gejala dehidrasi. [6]


Tabel 6. Klasifikasi dehidrasi. [6]

3.6 Diagnosis
Pemeriksaan feses secara mikroskopis dan kultur merupakan informasi
penting dari penyebab diare. Spesimen feses perlu diperiksa apakah terdapat
mucus, darah dan leukosit. Leukosit pada feses menandakan invasi bakteri
pada mukosa usus. Pada daerah endemik, kultur feses negatif untuk
enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu dan immunecompromised maka
pemeriksaan parasit juga perlu dilakukan pada feses. Kultur feses perlu
diambil pada anak dengan diare berdarah yang pada pemeriksaan fesesnya
terdapat leukosit, dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, KLB diare
dan pada anak dengan immunocompromised. [1,6]

3.7 Tatalaksana [7]


Pilar penatalaksaan diare menurut departemen kesehatan :
1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut – turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua

Tatalaksana diare menurut WHO


A. Diare tanpa dehidrasi (Rencana Terapi A)
Pada rencana terapi A, anak dirawat jalan. Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk
perawatan di rumah:
 beri cairan tambahan
 beri tablet Zinc
 lanjutkan pemberian makan
 nasihati kapan harus kembali
Beri cairan tambahan, sebagai berikut:
- Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk menyusui anaknya
lebih sering dan lebih lama pada setiap pemberian ASI. Jika anak mendapat
ASI eksklusif, beri larutan oralit atau air matang sebagai tam- bahan ASI
dengan menggunakan sendok. Setelah diare berhenti, lanjut- kan kembali
ASI eksklusif kepada anak, sesuai dengan umur anak.
- Pada anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri satu atau lebih cairan
dibawah ini:
 larutan oralit
 cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah sayuran)
 air matang
- Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu untuk memberi cairan
tambahan – sebanyak yang anak dapat minum:
 untuk anak berumur < 2 tahun, beri + 50–100 ml setiap kali anak
BAB
 untuk anak berumur 2 tahun atau lebih, beri + 100–200 ml setiap
kali
anak BAB.
- Beri tablet zinc
Ajari ibu berapa banyak zinc yang harus diberikan kepada anaknya selama
10 hari :
 Di bawah umur 6 bulan : 1⁄2 tablet (10 mg) per hari
 Umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) per hari
- Nasihati ibu untuk membawa anaknya kembali jika anaknya bertambah
parah, atau tidak bisa minum atau menyusu, atau malas minum, atau timbul
demam, atau ada darah dalam tinja. Jika anak tidak menunjukkan salah satu
tanda ini namun tetap tidak menunjukkan perbaikan, nasihati ibu untuk
kunjungan ulang pada hari ke-5.

B. Diare dengan dehidrasi ringan sedang (Terapi B)


Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan perkiraan jumlah sesuai
dengan berat badan anak (atau umur anak jika berat badan anak tidak
diketahui), seperti yang ditunjukkan 15 berikut ini.

Namun demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum lebih banyak.
Tunjukkan pada ibu cara memberi larutan oralit pada anak, satu sendok teh setiap
1 – 2 menit jika anak berumur di bawah 2 tahun; dan pada anak yang lebih besar,
berikan minuman oralit lebih sering dengan meng- gunakan cangkir.
Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah :
 Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri larutan oralit lebih
lambat (misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit)
 Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan beri
minum air matang atau ASI. Nasihati ibu untuk terus menyusui anak
kapan pun anaknya mau.
 Jika ibu tidak dapat tinggal di klinik hingga 3 jam, tunjukkan pada ibu
cara menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa bungkus oralit secukup-
nya kepada ibu agar bisa menyelesaikan rehidrasi di rumah ditambah
untuk rehidrasi dua hari berikutnya.
Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda dehidrasi yang
terlihat sebelumnya(Catatan: periksa kembali anak sebelum 3 jam bila
anak tidak bisa minum larutan oralit atau keadaannya terlihat
memburuk.)
 Jika tidak terjadi dehidrasi, ajari ibu mengenai empat aturan untuk
perawatan di rumah :
 beri cairan tambahan.
 beri tablet Zinc selama 10 hari
 lanjutkan pemberian minum/makan (lihat bab 10, halaman 281) (iv)
kunjungan ulang jika terdapat tanda berikut ini:
 anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu - kondisi anak
memburuk
 anak demam
 terdapat darah dalam tinja anak
 Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi
pengobatan untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas
dan mulai beri anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering
mungkin
 Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi pengobatan
untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti di atas dan mulai beri
anak makanan, susu atau jus dan berikan ASI sesering mungkin
 Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa
minum oralit misalnya karena anak muntah profus, dapat diberikan infus
dengan cara: beri cairan intravena secepatnya. Berikan 70 ml/kg BB cairan
Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl)
yang dibagi sebagai berikut :

 Periksa kembali anak setiap 1-2 jam.


 Juga beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.
 Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan
Dehidrasi. Kemudian pilih rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk
melanjutkan penanganan.

C. Diare dengan dehidrasi berat (Terapi C)


. Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan
dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian
penyakit infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai
enzim dalam tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik
review dari 10 RCT yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun
1999 didapatkan bahwa suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari
RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare
sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil
yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene sanitasi dan
pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan
penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10
– 14 hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14
hari.
Antibiotik pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena
sebagi besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited. Hanya
sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V.
Cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.coli, Salmonella, Camphylobacter. [6]
Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang
difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan
mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan
pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak
minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan Komisi Nutrisi ESPGHAN
(Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology and Nutrition) pada tahun
2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk
pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya
bahwa susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan
Streptococcus thermophilus bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan
yang dirawat di Rumah Sakit dapat menurunkan angka kejadian diare dari 31%
menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari 39% pada kelompok placebo
menjadi 10 % pada kelompok probiotik. Penelitian Phuapradit P. dkk di Thailand
pada tahun 1999 menunjukan bahwa bayi yang minum susu formula yang
mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan Streptococcus thermophylus
lebih jarang menderita diare oleh karena infeksi rotavirus. [6]
Probiotik memiliki microorganism seperti bakteri atau yeast di dalamnya. Pada
saat probiotik di saluran cerna, akan berfungsi menurunkan kuman yang
menyebabkan diare dan membantu tubuh untuk melawan kuman tersebut. Pada
penelitian dari Cochrane Collaboration menganalisa bahwa pada anak – anak
yang mengkonsumsi probiotik dari yogurt, susu, formula susu bayi khusus, dan
dalam bubuk di kapsul maka perjalanan diare lebih cepat dibanding anak yang
tidak mengkonsumsi probiotik. Pada 34 dan 100 anak yang tidak mengkonsumsi
probiotik maka diare akan hilang dalam 3 hari, namun pada 55 dari 100 anak
yang mengkonsumsi probiotik maka diare akan hilang dalama 3 hari. Probiotik
membuat diare lebih cepat hilang pada 21 dari 100 orang. [8]
Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di
Peru pada komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare
terutama pada anak- anak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v
5,9 episod/anak/thn dengan p = 0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di
Finlandia tahun 2001 tidak menemukan adanya efek proteksi pada konsumsi
jangka lama susu formula yang disuplementasi dengan probiotik.
D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-
sama dengan antibiotika mengurangi resiko”Antibiotic Associated Diaorrhea”.
Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui:
perubahan lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti
mikroba terhadap beberapa patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi
kuman patogen pada enterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik
terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan imunomodulasi.
Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif
terhadap diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut
termasuk efektifitas dan keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan
probiotik pada percobaan klinis dikatakan aman. [6]

Obat antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis
dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari
obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :
A. Adsorben
(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-
obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk
mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan
diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus.
Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari penggunaan obat ini
untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.
B. Antimotilitas
(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii,
paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang
dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu
dapat menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat
memperpanjang infeksi dengan memperlambat eliminasi dari organisme
penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari obat-
obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.
C. Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan. [6]
Obat antimuntah seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral.
Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare,
muntah karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.

3.8 Komplikasi
Diare dapat menyebabkan gangguan elektrolit seperti hipernatremia,
hiponatremia, hiperkalemia, hipokalemia. [6]
BAB III
ANALISA KASUS

Pasien datang dengan keluhan buang air besar cair sebanyak 6 kali dengan
konsistensi cair 1 jam SMRS. Diare akut ditegakan atas dasar peningkatan frekuensi
BAB (>3 kali dalam 24 jam) dan perubahan konsistensi (menjadi cair). Sesuai dengan
definisi dari diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali
perhari, disertai perubahan konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan
darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pasien dapat didiagnosis sebagai
GEA karena terdapat diare akut, disertai muntah.
Ibu pasien menyatakan bahwa feses bewarna kuning tanpa lendir dan darah,
maka kemungkinan disentri sebagai penyebab diare dapat disingkirkan. Dari segi
etiologi, virus merupakan penyebab paling sering untuk golongan usia <5 tahun, yaitu
rotavirus.
Berdasarkan tabel diatas, pada rotavirus umumnya terdapat gejala diare
dengan konsistensi cair bewarna kuning, muntah, low grade fever, turunnya nafsu
makan. Hal ini sesuai dengan gejala pasien yaitu diare akut dengan konsistensi cair,
terdapat keluhan muntah, dan pasien terdapat demam namun suhu tidak terlalu tinggi.
Namun pada kasus ini terdapat kemungkinan bahwa GEA disebabkan oleh patogen
lain seperti ETEC, melihat dari kemiripan gejala. Pemeriksaan feses perlu dilakukan
untuk menegakkan diagnosis pasti dari etiologi diare pasien.
Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan oleh virus adalah virus akan
menginfeksi lapisan epitelium usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini
akan menyebabkan fungsi absobsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang
rusak kemudian diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum
matang, sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat
mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan
yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan
terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap
terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air
dan nutrien yang tidak sempurna.
Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang
terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakarida dan
fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (ko-
transporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak
terdiferensiasi, yang tidak memiliki enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan
sekretor air dan elektrolit. Dengan demikian, infeksi virus selektif sel-sel ujung villus
usus menyebabkan: ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi
dan malabsorbsi karbohidrat kompleks terutama laktosa.
Namun, pada diare yang disebabkan oleh Rotavirus, infeksi virus
menghasilkan 2 jalur. Pertama, Rotavirus mengeluarkan protein non-spesifik 4
(NSP4) dan melekat pada reseptor spesifik di vilus usus dan memacu kaskade melalui
phosfolipase C (PLC) dan inositol tri-phosfat (IP3) yang berperan dalam pengeluaran
2+ 2+
Ca dari retikulum endoplasma (ER). Ca yang keluar akan menyebabkan gangguan
pada mikrovillar sitoskeleton dari enterosit. Selain itu rotavirus menginvasi masuk ke
dalam sel entrosit dan menghasilkan NSP4 secara intraselular. Kemudian NSP4
2+
intraselular tersebut kembali mengeluarkan Ca dari ER serta menganggu integritas
dari tight junction. NSP4 intraselular tidak melalui jalur kaskade PLC. Dari kedua
mekanisme tersebut, akibatnya terjadi hipersekresi klorida yang diikuti oleh natrium
dan air. NSP4 intrasel tersebut dapat menyebar secara langsung atau melalui
2+
enteronervous system (ENS) ke sel kripta dan mengeluarkan Ca dari ER serta terjadi
peningkatan pengeluaran chlorida dari sel kripta. Biasanya diare akibat inflamasi ini
berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.

Riwayat nutrisi pasien dimana pasien sering sekali mengkonsumsi makanan


dari luar merupakan faktor risiko terjadinya GEA pada pasien ini, karena makanan
tersebut cenderung penyiapan dan penyimpanan makanannya tidak kita ketahui
apakah higienis atau tidak. Pada kasus ini dapat dikategorikan sebagai diare dengan
dehidrasi ringan sedang karena terdapat tanda yaitu rewel, mulut kering dan minum
dengan lahap. Hal ini sesuai dengan klasifikasi dehidrasi berdasarkan WHO seperti
berikut ini :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada genital, preputium pasien tidak dapat
di retraksi atau di reduksi (fimosis). Fimosis fisiologis ini bukan disebabkan oleh
kelainan anatomi melainkan karena adanya faktor perlengketan antara kulit pada penis
bagian depan dengan glans penis sehingga muara pada ujung kulit kemaluan seakan-
akan terlihat sempit. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak
dapat di tarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta
diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi lapisan
epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam preputium sehingga
akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.
Pada literature menyatakan bahwa 90% fimosis fisiologis, preputium akan
tereduksi sendiri pada usia 3 tahun. Namun pada kasus ini pasien sudah berusia 4
tahun sehingga kemungkinan tereduksi sendiri rendah. Pada pasien kemungkinan
fimosis merupakan fisiologis karena tidak ditemukan keluhan seperti iritasi penis,
pendarahan penis, terjadi penggelembungan yang terasa nyeri dari kulit preputium
pada saat buang air kecil, dysuria, pancaran melemah, ereksi yang nyeri, infeksi
berulang dari kulit penis (balanoposthitis), paraphimosis.
Pada pasien ini terdapatnya fimosis merupakan predisposisi terhadap infeksi
saluran kemih. Fimosis merupakan salah satu faktor resiko yang dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih. Enterobacteria yang berasal dari flora usus akan berkoloni pada
kantung preputium, permukaan glandular dan uretra distal. Organisme E.coli akan
mengeluarkan fimbriae yang akan menempel pada bagian dalam kulit preputium dan
sel uroepitel sehingga dapat menyebabkan infeksi. Pasien datang dengan keluhan
sempat demam pada saat dirawat di rumah sakit, lalu turun keesokan harinya dan
disertai diare. Pielonefritis ditandai oleh adanya nyeri perut, punggung atau pinggang;
demam, malaise, nausea, muntah dan terkadang diare, namun demam dapat menjadi
satu – satunya manifestasi. Maka pada pasien ini diare dan demam yang terjadi dapat
merupakan manifestasi dari infeksi salurah kemih akibat fimosis pasien. Namun hal
ini belum dapat didiagnosis karena pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan urin,
yang merupakan standar baku untuk menentukan diagnosis ISK. Bila pada kultur urin
menunjukkan >100.000 koloni dengan patogen tunggal, atau >10.000 koloni dan anak
menunjukkan gejala, maka dapat didiagnosis sebagai ISK.
Saran untuk tatalaksana pada fimosis pada pasien ini adalah dapat diberikan
krim kortikosteroid pada kulit preputium sebanyak 3x sehari dalam 1 bulan diikuti
dengan retraksi manual untuk melemaskan cincin fimosis. Fimosis tidak dianjurkan
melakukan dilatasi atau retraksi yang di paksakan karena dapat menimbulkan luka
dan terbentuknya sikatrik pada ujung prepusium. Krim kortikosteroid yang sering
digunakan yaitu hydrocortisone 2.5%, betamethasone 0.05%, triamcinolone 0.01%,
dan fluticasone propionate 0.05%. Tatalaksana ini memiliki keberhasilan pada 2/3
kasus. Krim tersebut diduga bekerja dengan menurunkan inflamasi dan menipiskan
kulit. Namun, pada kasus dengan komplikasi seperti infeksi saluran kemih berulang
atau ballooning kulit preputium saat miksi, sirkumsisi harus segera dilakukan tanpa
memperhitungkan usia pasien.
Pada kasus ini tatalaksana yang diberikan yaitu IVFD RL 20 tpm (60cc/jam)
dilanjutkan Kaen 3B 13 tpm, injeksi ceftriaxone 1x1 gram drip dalam Nacl 100 cc,
domperidone syrup 3x5 ml, lacto B 2x1cth, smecta 3x1/3, dengan diet nasi tim rendah
serat.
Diare akut dengan dehidrasi ringan-sedang menurut WHO tidak memerlukan
resusitasi cairan yang agresif dan parenteral. Namun walau belum terjadi dehidrasi
berat tetapi bila anak sama sekali tidak bisa minum oralit misalnya karena anak
muntah profus, dapat diberikan infus dengan cara: beri cairan intravena secepatnya.
Pasien muntah profus dan muntah bila diberikan minum sehingga dapat merupakan
indikasi pemberian cairan parenteral.
Berikan 70 ml/kg BB cairan Ringer Laktat atau Ringer asetat (atau jika tak
tersedia, gunakan larutan NaCl) selama 2,5 jam pada anak di atas 1 tahun.
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan
tubuh, dan ditujukan untuk ekspansi cepat dari cairan intravaskular dan memperbaiki
perfusi jaringan. Terapi rumatan bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan
tubuh dan nutrisi. Pada pasien ini diberikan KA-EN 3B 13 tpm. KA-EN 3B
mengandung mengandung Na+(50mEq/L), K+(20mEq/L), Cl-(50mEq/L), Laktat
(20mEq/L), Glukosa (27g/L), dan kalori (108 kcal/L). KA-EN 3B ini sebagai larutan
rumatan untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan
cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas.
Pada kasus ini diare dicurigai disebabkan oleh rotavirus sehingga tidak
memerlukan antibiotik karena rotavirus sifatnya self limited namun kecurigaan ISK
belum dapat disingkarkan sehingga tetap diberikan antibiotik yaitu ceftriaxone.
Probiotik atau lacto-B berfungsi untuk mempercepat durasi diare, probiotik di saluran
cerna, akan berfungsi menurunkan kuman yang menyebabkan diare dan membantu
tubuh untuk melawan kuman tersebut. Probiotik menyebabkan perubahan lingkungan
mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa
patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit,
modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui
penyediaan nutrien dan imunomodulasi. Smecta adalah dioctahedral smectite, obat ini
tergolong adsorben mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang
menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi mukosa
usus.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kliegman, R. and Nelson, W. (2011). Nelson textbook of pediatrics. 19th ed.
Philadelphia: Elsevier/Saunders.
2. Baskin, L., Copp, H. and DiSandro, M. (2018). UCSF Department of Urology
| Phimosis. [online] Urology.ucsf.edu. Available at:
https://urology.ucsf.edu/patient-care/children/phimosis [Accessed 10 Oct. 2018].
3. Kaur Shahid S. Phimosis in Children. International Scholarly Research
Network Urology. 2012;2012(707329).
4. Wagenleher F, Naber K. Urinary Tract Infections In Children- Infectious
Disease and Antimicrobial Agents [Internet]. Antimicrobe.org. 2018 [cited 11
October 2018]. Available from: http://www.antimicrobe.org/e4b.asp
5. Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede S. Buku Ajar Nefrologi Anak.
Jakarta: IDAI; 2002.
6. Juffrie M, Soeparto P, Ranuh R, Sayoeti Y, Ismail R, Subagyo B. Buku Ajar
Gastroenterologi - Hepatologi. Jakarta: IDAI; 2009.
7. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: World Health
Organization; 2009.
8. Infectious diarrhea: Can probiotics help against diarrhea? [Internet]. PubMed
Health. 2016 [cited 13 October 2018]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0088733/
9. Kher KK, Makker SP. Clinical pediatric nephrology. New York; McGraw-Hills
Inc; 1992.

Anda mungkin juga menyukai