PENDAHULUAN ........................................................................................................ 2
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 5
BRONKIOLITIS ....................................................................................................................... 5
2.1 Definisi ..................................................................................................................... 5
2.2 Etiologi dan Faktor Resiko ...................................................................................... 5
2.3 Epidemiologi ............................................................................................................ 6
2.4 Patofisiologi ............................................................................................................. 7
2.2 Diagnosis ................................................................................................................. 9
2.3 Tatalaksana ............................................................................................................ 12
2.4 Indikasi rawat di ruang rawat intensif ................................................................... 15
Gagal mempertahankan saturasi oksigen > 92% dengan terapi oksigen .................. 15
Perburukan status pernafasan, ditandai dengan peningkatan distres nafas dan/atau
kelelahan ............................................................................................................................. 15
Apnea berulang .......................................................................................................... 15
2.5 Pencegahan ............................................................................................................ 15
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah hygiene perorangan meliputi
desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air dan sabun sebelum
dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek tertentu yang berdekatan dengan
pasien. Perlindungan terhadap paparan asap rokok serta polusi udara dan pemberian ASI
eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis. ................................................. 15
2.6 Prognosis ............................................................................................................... 16
BRONKOPNEUMONIA ........................................................................................................ 18
3.1 Definisi ................................................................................................................... 18
3.2 Epidemiologi .......................................................................................................... 18
3.3 Etiologi ................................................................................................................... 19
3.4 Patologi dan Patogenesis....................................................................................... 19
3.5 Manifestasi Klinis .................................................................................................. 22
3.6 Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil .............................................................. 23
3.7 Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar ............................................... 24
3.8 Pneumonia atipik ................................................................................................... 25
3.9 Infeksi oleh Mycoplasma pneumoniae ................................................................... 25
3.10 Infeksi oleh Chlamydia pneumoniae ...................................................................... 26
3.11 Pemeriksaan penunjang ......................................................................................... 26
3.12 Diagnosis ............................................................................................................... 28
3.13 Tatalaksana ............................................................................................................ 30
3.14 Komplikasi ............................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 46
1
PENDAHULUAN
2
seperti empiema, atelektasis, emfisema, dan meningitis. Selain itu juga dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.6
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di Negara berkembang. Dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
WHO, terdapat kurang lebih 156 juta pasien anak-anak yang menderita pneumonia
kasus baru pada tahun 2000, lebih dari 95% berasal dari negara-negara berkembang.
Dari semua kasus yang terjadi, 8,7% merupakan kasus yang cukup berat sehingga
dapat mengancam jiwa. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia dibawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir 2 juta anak
balita meninggal setiap tahunnya akibat pneumonia (sebagian besar di Afrika dan
Asia Tenggara). Indonesia merupakan salah satu negara yang terlibat didalamnya7.
Menurut survey kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% angka kematian bayi dan
22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori,
terutama pneumonia. Pneumonia merupakan penyebab kematian ketiga setelah
kardiovaskuler dan tuberculosis di Indonesia. Faktor sosial ekonomi yang rendah
mempertinggi angka kematian6,7.
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang, diantaranya: pneumoni yang
terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat imunisasi,
tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya
prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap
polusi udara (polusi industri atau asap rokok)8. Gejala-gejala yang dapat timbul
meliputi: demam, batuk, sesak napas, pernapasan cepat dan dangkal disertai napas
cuping hidung, retraksi dinding toraks, suara napas vesicular meningkat sampai
bronkial, dan bising tambahan ronki basah halus nyaring.5,6
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya
di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan
salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara
berkembang maupun di negara maju.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta
kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal dunia karena TB.
Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari 7,5 juta kasus (143 kasus
per 100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi 8,8 juta kasus (152 kasus per
3
100.000 penduduk) pada tahun 1995, menjadi 10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000
penduduk) pada tahun 2000, dan akan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Oleh sebab itu sangat penting untuk mengenal penyakit tersebut dari faktor
resiko, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala sehingga tatalaksana dapat diberikan
dengan tepat, meminimalisir komplikasi yang dapat terjadi pada anak penderita
bronkopneumonia, bronkiolitis dan tuberkulosis pada anak. Dengan adanya diskusi
topik ini diharapkan pembaca dapat meningkatkan ilmu dan wawasan dalam
mengatasi penyakit ini.
4
TINJAUAN PUSTAKA
BRONKIOLITIS
2.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit infeksi respiratori akut yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada bronkiolus. Umumnya, penyakit ini disebabkan oleh
virus. Secara klinis ditandai dengan episode pertama wheezing pada bayi yang
didahului dengan gejala infeksi respiratori atas.8
Pedoman APP (American Academy of Pediatrics) mendefinisikan
bronkiolitis sebagai “sebuah kumpulan gejala-gejala dan tanda-tanda
klinis termasuk prodromal virus pernafasan atas, diikuti peningkatan
wheezing dan usaha bernafas dari anak-anak kurang dari 2 tahun.”
5
Faktor-faktor yang meningkatkan resiko terjadinya infeksi adalah:
a) Usia < 6 bulan
b) Bayi prematur
c) Kelainan jantung bawaan
d) Sosioekonomi rendah
e) Lingkungan yang cenderung padat
f) Paparan terhadap asap rokok
2.3 Epidemiologi
Bronkiolitis merupakan infeksi saluran respiratori tersering pada bayi.
Paling sering terjadi pada usia 2-24 bulan, puncaknya pada usia 2-8 bulan.
95% kasus terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan 75% diantaranya
terjadi pada anak dibawah 1 tahun. Orenstein menyatakan bahwa bronkiolitis
paling sering terjadi pada bayi laki-laki berusia 3-6 bulan yang tidak
mendapatkan ASI dan hidup di lingkungan padat penduduk. Selain Orenstein,
Louden menyatakan bahwa bronkiolitis terjadi 1,25 kali lebih banyak pada
anak laki-laki daripada anak perempuan. Dominasi pada anak laki-laki yang
dirawat juga disebutkan oleh Shay, yaitu 1,6 kali lebih banyak dari pada anak
perempuan. Sedangkan Fjareli menyebutkan 63 kasus bronkiolitis adalah laki-
laki.7,9
Sebanyak 11,4% anak berusia dibawah 1 tahun dan 6% anak berusia 1-2
tahun di Amerika Serikat pernah mengalami bronkiolitis. Penyakit ini
menyebabkan 90.000 kasus perawatan di RS dan menyebabkan 4500 kematian
setiap tahunnya. Bronkiolitis merupakan 17% dari semua kasus perawatan di
RS pada bayi. Frekuensi bronkiolitis di negara-negara berkebang hampir sama
6
dengan di Amerika Serikat. Insidens terbanyak terjadi pada musim dingin atau
pada musim hujan di negara-negara tropis.
Angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi di negara-negara
berkembang daripada di negara-negara maju. Hal ini mungkin disebabkan
oleh rendahnya status gizi dan ekonomi, kurangnya tunjangan medis, serta
kepadatan penduduk di negara berkembang. Angka mortalitas di negara
berkembang pada anak-anak yang dirawat adalah 1-3%.7
2.4 Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respon
inflamasi akut, ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi
mukus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti
dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan
aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran
respiratori, maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan
aliran udara yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran
respiratori kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi
dan ekspirasi, tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama
ekspirasi, maka akan menyebabkan air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis
dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi total dan udara yang terjebak
diabsorbsi.8,9
7
Infeksi saluran nafas
sebelumnya
(virus, bakteri)
Inflamasi akut
Obstruksi bronkiolus
Infiltrasi limfosit
Edema submukosa
Hambatan udara
Hiperinflasi meningkat Air trapping
8
Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap.
Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi
terhadap penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif
immunity sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung
lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.10
Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular.
Respon antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi
usia muda mempunyai respon imun yang lebih buruk. Terjadi hubungan
terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh
sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE
dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV
ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan
mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV
pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik
RSV.9,10,11
2.2 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Anamnesis
Gejala awal berupa gejala infeksi respiratori atas akibat virus, seperti pilek
ringan, batuk dan demam. Satu sampai dua hari setelah gejala awal akan
muncul timbul serangan batuk yang disertai sesak napas yang makin lama
makin berat, pernafasan dangkal dan cepat. Selanjutnya dapat ditemukan
mengi, sianosis, merintih (grunting), muntah setelah batuk, rewel, dan sulit
makan, menyusu atau minum. Batuk kering dan mengi (wheezing) khas untuk
bronkiolitis. Kebanyakan bayi-bayi dengan penyakit tersebut mempunyai
riwayat kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi
saluran nafas atas yang ringan.3,8,9
Diagnosis bronkiolitis dilakukan berdasarkan gambaran klinis, umur
penderita, dan lingkungan sekitar. Seseorang dapat dicurigai menderita
bronkiolitis, karena adanya wheezing/mengi pertama kali, umur di bawah 2
tahun, adanya gambaran batuk, pilek, demam, tidak adanya riwayat atopi dan
menyingkirkan diagnosis pneumonia.8
9
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan distres nafas dengan frekuensi
nafas lebih dari 60 kali per menit (takipneu), kadang-kadang disertai sianosis,
dan nadi juga biasanya meningkat. Terdapat pernafasan cuping hidung,
retraksi dinding dada (subkostal, interkostal, atau supraklavikula) yang
merupakan usaha pernapasan tambahan untuk mengatasi obstruksi. Retraksi
biasanya tidak dalam karena adanya hiperinflasi paru (membedakan
bronkiolitis dengan pneumonia). Terdapat hipersonor pada perkusi, ekspirasi
yang memanjang, wheezing, serta kadang dapat ditemukan terdapat fine
inspiratory crackles pada seluruh lapang paru (tetapi tidak selalu). Ekspirasi
memanjang dan wheezing disebabkan oleh adanya obstruksi saluran napas
bawah sebagai respon dari inflamasi akut. Pada keadaan yang berat sekali,
suara pernafasan tidak terdengar karena kemungkinan obtruksi hampir total.
Bila gejala memberat dapat terjadi apnea terutama pada bayi berusia < 6
minggu, bayi prematur dan dengan berat badan lahir rendah. Bayi juga dapat
mengalami gejala hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar.
Pada beberapa pasien bronkiolitis, didapatkan konjungtivitis ringan, otitis
media serta faringitis.8,9
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor
Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI), yang menilai
distres napas berdasarkan dua variabel respirasi yaitu wheezing dan
retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori berat berarti adanya
kegawatan dengan risiko tinggi, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori
ringan yaitu kegawatan pada pasien bersifat rendah. Pulse oximetry
merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat
keparahan penderita. Saturasi oksigen <95% merupakan tanda terjadinya
hipoksia dan merupakan indikasi untuk rawat inap9. Gambaran penilaiannya
adalah sebagai berikut:
10
Pemeriksaan penunjang dan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin kurang bermakna karena jumlah leukosit biasanya
normal, demikian pula dengan elektrolit. Analisa Gas Darah (AGD)
diperlukan untuk anak dengan sakit berat, khususnya yang membutuhkan
ventilator mekanik.8
Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi dan infiltrat
(patcy infiltrates), tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada
asma, pneumonia, viral atau atipikal, dan aspirasi. Dapat pula ditemukan
gambaran atelektasis, terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat
bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-posterior. Untuk menemukan RSV dilakukan
kultur virus, rapid antigen detection tests (direct immunofluorescence assay
dan enzyme-linked immunosorbent assays, ELISA) atau polymerase chain
reaction (PCR) dan pengukuran titer antibodi pada fase akut dan konvalesens.8
Beratnya penyakit ditentukan berdasarkan skala klinis. Digunakan
berbagai skala klinis, misalnya Respiratory Distress Assesment Instrument
(RDAI) atau modifikasinya yang mengukur laju pernafasan/respiratory rate,
usaha nafas, beratnya wheezing, dan oksigenasi.
Skala klinis yang digunakan Abul-Ainine dan Luyt adalah11 :
11
1. Respiratory Rate (RR) : dihitung manual, baik dengan palpasi dan
melihat gerakan dada, dilakukan selama 1 menit penuh, dua kali
penghitungan dan diambil rata-ratanya
2. Heart Rate (HR) : diambl dari pulse oxymetry yang dibaca 5 kali
selama pengamatan 1 menit, diambil rata-ratanya
3. Saturasi O2 : diambil dari pulse oxymetry yang dibaca 5 kali selama
pengamatan 1 menit dan diambil rata-ratanya.
4. Respiratory clinical status yang dinilai menggunakan RDAI menurut
Lowell dkk.
5. Status aktivitas bayi (empat tingkat: tidur, tenang, rewel, menangis)
Sedangkan Shuh, yang diadaptasi oleh Dobson, menilai skor klinis sebagai
berikut:
1. Keadaan umum : diberi skor 0 (tidur) hingga 4 (sangat rewel)
2. Penggunaan otot bantu nafas : skor 0 (tidak ada retraksi) hingga 3 (retraksi berat)
3. Wheezing : skor 0 (tidak ada) hingga 3 (wheezing hebat inspiratorik dan
ekspiratorik)
Dalam penegakan diagnosis bronkiolitis, perlu memperhatikan manifestasi
klinis yang dapat menyerupai penyakit lain. Diagnosis banding sebaiknya
dipikirkan, misalnya asma, bronkitis, gagal jantung kongestif, dan edema paru,
yang memiliki gambaran klinis menyerupai bronkiolitis. Selain itu, pneumonia
dengan berbagai sebab (aspirasi, virus, mikoplasma dan bakteri) juga dapat
memberikan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang menyerupai
bronkiolitis. Oleh karena itu, untuk menentukan diagnosis bronkiolitis pada
anak, penting untuk memperhatikan epidemiologi, rentang usia terjadinya
kasus dan musim-musim tertentu dalam satu tahun.8
2.3 Tatalaksana
Bronkiolitis pada umumnya tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar
tatalaksana bronkiolitis pada bayi bersifat suportif, yaitu pemberian oksigen,
minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan cairan,
penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen minimal, tunjangan
respirasi bila perlu dan nutrisi. Setelah itu barulah digunakan bronkodilator,
anti-inflamasi seperti kortikosteroid, antiviral seperti ribavirin, dan
pencegahan dengan vaksin RSV, RSV immunoglobuline (polyclonal), atau
12
humanized RSV monoclonal antibody (Palivizumab). Namun, menurut
penelitian, pemberian obat-obatan seperti antiviral, antibiotik, inhalasi beta-2
agonis dan kortikosteroid tidak direkomendasikan.8,16
1. Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Review Cochrane baru-baru
ini yang dikutip oleh Wainwright tentang penggunaan bronkodilator untuk
bronkiolitis, menunjukkan perbaikan skor klinis untuk jangka pendek,
tetapi tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di
RS.
Bronkodilator digunakan secara luas untuk bayi-bayi dengan
bronkiolitis, yaitu sekitar 68-96% bayi di pusat pelayanan pediatrik tersier
di Kanada. Pada survei yang dilakukan pada 88 pusat pelayanan pediatrik
di Eropa, 54 pusat pelayanan melaporkan penggunaan bronkodilator pada
semua pasien dengan bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan melaporkan
hanya menggunakan bronkodilator pada pasien resiko tinggi. Di Inggris
dan Australia, penggunaan bronkodilator lebih jarang.8,12
Wohl dan Chernick menyatakan bahwa penyebab obstruksi saluran
respiratori adalah inflamasi dan penyempitan akibat edema mukosa dan
sumbatan mukosa, serta kolapsnya saluran respiratori kecil pada bayi
dengan bronkiolitis, sehingga pendekatan logis terapi adalah kombinasi
alfa-adrenergik dan agonis beta-adrenergik.
Kelebihan epinefrin dibandingkan dengan bronkodilator beta-
adrenergik selektif adalah :
a. Kerja konstriktor alfa-adrenergik yang merupakan dekongestan
mukosa, mebatasi absorbsinya dan mengatur aliran darah
pulmoner, dengan sedikit efek pada ventilation-perfusion
matching.
b. Relaksasi otot bronkus karena efek beta-adrenergik
c. Kerja beta-adrenergik menekan pelepasan mediator kimiawi
d. Efek fisiologik antihistamin yang melawan efek histamin seperti
edema
e. Mengurangi sekresi kataral
2. Kortikosteroid
13
Kortikosteroid yang digunakan adalah prednison, prednisolon,
metilprednison, hidrokortison dan deksametason. Untuk penyamaan
dilakukan konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat
tersebut dalam equivalen mg/kgBB prednison. Rata-rata dosis perhari
berkisar antara 0,6 – 6,3 mg/kgBB dan rata-rata total paparan antara 3 –
18,9 mg/kgBB. Cara pemberian adalah secara oral, intramuskular
dan intravena. Tidak ada efek merugikan yang dilaporkan.8
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan kortikosteroid pada
bronkiolitis lebih efektif dan menyebabkan penurunan skor gejala klinis
dan lamanya perawatan di rumah sakit.13
3. Ribavirin
Ribavirin yaitu suatu purin nucleoside derivate guanosine sintetik yang
bekerja mempengaruhi pengeluaran mRNA virus yang mencegah sintesis
protein. Penggunaan antivirus ini masih bersifat kontroversial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan menyimpulan penggunaan
ribavirin sedini mungkin/ kurang dari 5 hari akan mengurangi insiden dan
berat penyakit saluran respiratori reaktif. Kekurangan dari terapi ribavirin
adalah harganya yang mahal dan resiko terjadi toksisitas pada pekerja.
Menurut American Academy of Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya
direkomendasikan pada bronkiolitis dengan kondisi spesifik yaitu
mempunyai penyakit jantung bawaan, pasien dengan dysplasia
bronkopulmoner, kistik fibrosis, defisiensi imun, bayi prematur, usia bayi
kurang dari 6 minggu, dan pasien yang membutuhkan ventilasi
mekanik.8,14
14
2.4 Indikasi rawat di ruang rawat intensif
Gagal mempertahankan saturasi oksigen > 92% dengan terapi oksigen
Perburukan status pernafasan, ditandai dengan peningkatan distres nafas
dan/atau kelelahan
Apnea berulang
2.5 Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah hygiene perorangan
meliputi desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau dengan air
dan sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau objek
tertentu yang berdekatan dengan pasien. Perlindungan terhadap paparan asap
rokok serta polusi udara dan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan
mencegah kejadian bronkiolitis.
15
1. Immunoglobulin
Pendekatan profilaksis pada populasi resiko tinggi adalah
meningkatkan (augmentation) antibodi yang menetralisasi (neutralizing
antibody) protein F dan G dengan cara pemberian dari luar dan imunisasi
ibu. Pada manusia, efek immunoglobulin yang mengandung RSV
neutralizing antibody titer tinggi atau antibodi monoklonal terhadap
protein F akan mengurangi beratnya penyakit. Bayi prematur atau bayi
dengan penyakit paru kronis diberikan RSV hyperimmune globulin atau
antibodi monoklonal terhadap protein F (Palivizumab) setiap bulan secara
intramuskuler, menurunkan lama perawatan. Efek samping akan
meningkat dengan bayi yang memiliki penyakit jantung sianotik. AAP
merekomendasikan profilaksis pada musim RSV boleh diberikan hanya
pada bayi dengan resiko tinggi yang tidak menderita penyakit jantung
sianotik. Sebaiknya profilaksis hanya diberikan pada bayi dengan
penyakit paru kronis atau bayi prematur yang mempunyai banyak faktor
resiko untuk dirawat dirumah sakit.8,15
2. Vaksinasi
Vaksinasi yang diberikan merupakan vaksin live attenuated, yaitu
cpRSV dan khusus pada penderita bronkiolitis akibat virus RSV. cpRSV
sendiri sedikit dilemahkan pada simpanse dan manusia, serta mengandung
5 nomts amino acids. Selain itu, vaksinasi lain yang dapat diberikan
vaksin PIV (Parainfluenza Virus). Kedua vaksin ini diberikan kombinasi
pada 2-3 bulan pertama, dengan pemberian pertama sebelum bayi berusia
1 bulan, dan ditambah dengan vaksin bivalen PIV 2 dan PIV3 pada usia 4
bulan dan 6 bulan8.
2.6 Prognosis
Berdasarkan studi kohort, 23% bayi yang mempunyai riwayat infeksi
bronkiolitis akut berat akan berlanjut menjadi asma. Selain itu 40-50% bayi
yang dirawat dengan bronkiolitis akibat RSVs dapat menderita mengi di
kemudian hari. Hal ini terjadi akibat produksi sitokin oleh sel T helper 2 yang
berperan dalam terjadinya asma. Ini ditandai dengan adanya penggunaan sel T
dan eosinophil, serta pelepasan mediator. Oleh karena itu, IgE akan meningkat
terhadap RSV.8
16
Prognosis pada pasien ini tergantung pada periode 48-72 jam setelah
gejala sesak dan batuk muncul. Pada masa tersebut, bayi berada dalam risiko
tinggi terjadinya gangguan pernapasan lebih lanjut. Gangguan tersebut dapat
berupa, kelaparan udara, apnea, dan asidosis pernafasan. Angka kasus
kematian kurang dari 1%, dengan kematian disebabkan apnea, asidosis
pernafasan tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat. Setelah masa kritis ini,
gejala dapat bertahan. Selain itu, apabila anak mempunyai penyakit jantung
bawaan, dysplasia bronkopulmoner, dan gangguan defisiensi imun,
mempunyai prognosis yang tidak baik.8
17
BRONKOPNEUMONIA
3.1 Definisi
Bronkopneumonia disebut juga dengan pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-
paru, dimana proses peradangan ini menyebar membentuk bercak-bercak
infiltrat (patchy distribution) yang melibatkan bronkus atau bronkiolus dan
alveolus disekitarnya yang sering terjadi pada anak-anak dan balita, yang
dapat disebabkan oleh bermacam macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur
dan benda asing1,8.
3.2 Epidemiologi
Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam
bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang maupun yang
sudah maju. Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada
anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi,
sedangkan di Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh
penyakit infeksi pada anak di bawah umur 2 tahun2,8.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO, terdapat kurang lebih
156 juta pasien anak-anak yang menderita pneumonia kasus baru pada tahun
2000, lebih dari 95% berasal dari negara-negara berkembang. Dari semua
kasus pneumonia, 8,7% merupakan kasus yang cukup berat sehingga dapat
mengancam jiwa. Sekitar 2 juta kematian pneumonia terjadi setiap tahun pada
anak usia kurang dari 5 tahun, terutama di daerah Afrika dan Asia Tenggara2.
Berdasarkan WHO, diperkirakan negara dengan jumlah kasus pneumonia
terbanyak pada anak usia dibawah 5 tahun meliputi: Afrika, Amerika, Asia
18
Tenggara, Eropa, Mediterania Timur dan Wilayah Pasifik Barat. Perkiraan
kejadian pneumonia tertinggi di Asia Tenggara (0,36 episode per anak /tahun),
diikuti oleh Afrika (0.33 episode per anak/ tahun) dan dengan Mediterania
Timur (0,28 episode per anak/ tahun), dan terendah di Pasifik Barat (0,22
episode per anak/ tahun), Amerika (0,10 episode per anak /tahun) dan
Kawasan Eropa (0,06 episode per anak /tahun). Dan lebih dari separuh kasus
pneumonia di seluruh dunia ditemukan pada lima negara di mana 44% dari
pasien yaitu merupakan anak-anak berusia kurang dari 5 tahun: India (43 juta),
Cina (21 juta) dan Pakistan (10 juta) dan di Bangladesh, Indonesia dan Nigeria
(masing-masing 6 juta)2,8,20.
3.3 Etiologi
Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus
group B dan bakteri gram negatif seperti E. Coli, Pseudomonas sp, atau
Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae
tipe B dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan
remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma
pneumoniae.5,6,8
19
Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria monocytogenes Haemophillus influenzae
Lahir – 20
Streptococcus pneumoniae
hari
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes simpleks
Bakteri Bakteri
3 minggu – 3
Chlamydia trachomatis Bordatella pertussis
bulan
Streptococcus Haemophillus influenzae tipe
20
pneumoniae B
Virus Moraxella catharalis
Virus adeno Staphylococcus aureus
Virus influenza Ureaplasma urealyticum
Virus parainfluenza 1,2,3 Virus
Respiratory syncitial Virus sitomegalo
virus
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophilus influenzae tipe
B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus Neiserria meningitidis
pneumoniae
4 bulan – 5
Virus Staphylococcus aureus
tahun
Virus adeno Virus
Virus influenza Virus varisela - zooster
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncytial
virus
Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus Staphylococcus aureus
pneumoniae
Virus
5 tahun -
Virus adeno
remaja
Virus Epstein barr
Virus influenza
Virus parainfluenza
Virus rino
Respiratory syncitial virus
Virus varisella-zooster
21
Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya bermanifestasi sebagai bercak-
bercak konsolidasi merata di seluruh lapangan paru (bronkopneumonia) dan
pada anak besar atau remaja dapat berupa konsolidasi pada satu lobus
(pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses-abses kecil yang sering
disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil, karena
Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti
hemolisin, lekosidin, stafilokinae dan koagulase. Toksin dan enzim ini
menyebabkan nekrosis, perdarahan dan kavitasi. Koagulase berinteraksi
dengan faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi
fibrinogen menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat
korelasi antara produksi koagulase dan virulensi kuman. Staphylococcus yang
tidak menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius.
Pneumotokel dapat menetap hingga berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak
memerlukan terapi lebih lanjut.8
22
3.6 Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia pada neonatus sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak
yang berhubungan dengan proses persalinan. Infeksi terjadi akibat
kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu, misalnya melalui aspirasi
mekonium, cairan amnion atau dari serviks ibu. Infeksi juga dapat berasal dari
kontaminasi dengan sumber infeksi dari rumah sakit (hospital-acquired
pneumonia), misalnya dari perawat, dokter atau pasien lain, atau dari alat
kedokteran misalnya dalam penggunaan ventilator. Selain itu, infeksi dapat
terjadi akibat kontaminasi denga nsumber infeksi dari masyarakat yang sering
disebut juga dengan (community-acquired pneumonia).8
Etiologi penumonia neonatus meliputi Streptococcus group B, Chlamydia
trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti bakteri E.colli, pseudomonas
atau klebsiela; disamping bakteri utama penyebab pneumonia yaitu
Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenzae tipe B dan
Staphylococcus aureus. Oleh karena itu, pengobatannya meliputi antibiotik
yang sensitif terhadap semua kelompok bakteri tersebut, misalnya kombinasi
antibiotik beta-laktam dan amikasin, kecuali bila dicurigai adanya infeksi
Chlamydia trachomatis yang tidak responsif terhadap antibiotik beta-laktam.
Penularan transplasenta juga terjadi dengan mikroorganisme Toksoplasma,
rubella, virus sitomegalo dan virus herpes simpleks (TORCH), varisela zoster
dan Listeria monocytogenes. Selain itu, RSV, virus adeno, virus parainfluenza,
virus rino dan virus entero dapat juga menimbulkan pneumonia.8
Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas,
mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, nafas cuping hidung, takipnea,
letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta
dan demam. Pada bayi BBLR terjadi hipotermi. Gambaran klinis tersebut sulit
dibedakan dengan sepsis atau meingitis. Sepsis pada pneumonia neonatus dan
bayi kecil sering ditemukan sebelum 48 jam pertama. Angka kematian di
Indonesia dan di negara berkembang lainnya sangat tinggi. Oleh karena itu,
setiap kemungkinan adanya pneumonia pada neonatus dan bayi kecil berusia
dibawah 2 bulan harus segera dirawat di RS.8,19
Infeksi oleh Chlamydia trachomatis merupakan infeksi perinatal dan dapat
menyebabkan pneumonia pada bayi berusia dibawah 2 bulan. Umumnya bayi
mendapat infeksi dari ibu pada masa persalinan. Port d’ entrée infeksi
23
meliputi mata, nasofaring, saluran respiratori dan vagina. Gejala baru timbul
pada usia 4 – 12 minggu. Awitan gejala timbul perlahan-lahan dan dapat
berlangsung selama beberapa hari hingga berminggu-minggu. Gejala
umumnya berupa gejala infeksi respiratori ringan-sedang, ditandai dengan
batuk staccato (inspirasi diantara setiap kali batuk), kadagn-kadang disertai
muntah dan umumnya pasien tidak demam. Panduan tatalaksana pada pasien
seperti ini adalah berobat jalan dengan terapi makrolid oral dan observasi yang
ketat. 30 % infeksi Chlamydia trachomatis berkembang menjadi pneumonia
berat, dikenal juga sebagai sindrom pneumonitis dan memerlukan perawatan.
Gejala klinisnya meliputi ronki atau mengi, takipnea dan sianosis. Gambaran
foto rontgen toraks tidak khas, umumnya terlihat tanda-tanda hiperinflasi
bilateral dengan berbagai bentuk infiltrat difus, seperti infiltrat interstitial,
retikulonoduler, atelektasis, bronkopneumonia dan gambaran milier.
Antibiotik pilihan adalah makrolid intravena.21
24
Terdapat timbul nyeri abdomen dimana bila terdapat pneumonia lobus
kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri abdomen dapat
menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai apendisitis. Abdomen
mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan oleh aerofagi
atau ileus paralitik. Hati mungkin teraba karena tertekan oleh difragma, atau
memang membersar karena terjadi gagal jantung kongestif sebagai komplikasi
pneumonia.
25
penyakit, awalnya tidak produktif namun kemudian menjadi produktif.
Sputum mungkin berbercak darah dan batuk menetap hingga berminggu-
minggu. Hasil pemerikssaan auskultasi paru bervariasi. Mengi ditemukan
pada 30-40% kasus pneumonia mikoplasma dan lebih sering ditemukan pada
anak yang lebih besar. Oleh karena itu, diagnosis klinis pneumonia
mikoplasma tanpa pemeriksaan radiologis dapat dikacaukan dengan asma.
Umumnya gejala klinis infeksi mycoplasma pneumoniae adalah ringan dan
kadang-kadang dapat sembuh sendiri, tetapi kasus berat seperti severe
necrotizing pneumonitis dengan konsolidasi luas pada jaringan paru dan efusi
pleura pernah dilaporkan.8,22
Gambaran foto rontgen toraks pneumonia mikoplasma bervariasi, meliputi
gambaran infiltrat interstitial, retikuler, retikulonoduler, bercak konsolidasi,
pembesaran kelenjar hilus dan kadang-kadang disertai dengan efuisi pleura.
26
Efusi pleura merupakan cairan eksudat dengan sel PMN berkisar antara
300-100.000/mm3, protein >2,5 g/dL dan glukosa relatif lebih rendah
daripada glukosa darah. Terkadang terdapat anemia ringan dan laju
endap darah yang meningkat. Secara umum, hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan laju endap darah tidak dapat membedakan infeksi
virus dan bakteri.18,19
B. C-Reactive Protein (CRP)
C-Reactive Protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit. Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
secara cepat di stimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1
dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya belum
diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel yang rusak.8,24
Secara klinis, CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk
membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan
bakteri atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kadar CRP
biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi superfisialis
daripada infeksi profunda. CRP terkadang digunakan untuk evaluasi
respons terapi antibiotik.24
C. Uji Serologis
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi infeksi bakteri
atipik seperti mikoplasma dan klamidia, serta beberapa virus seperti
RSV, sitomegalo, campak, parainflueza 1,2,3, influenza A dan B, dan
adeno, peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi
diagnosis.8
D. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat
yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat
berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah,
pungsi pleura atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitis bila
kuman ditemukan dari darah, cairan pleura atau aspirasi paru. Pada
pneumonia anak dilaporkan hanya 10-30% ditemukan bakteri pada
kultur darah. Pada anak besar dan remaja, spesimen untuk pemeriksaan
27
mikrobiologik dapat berasal dari sputum, baik untuk pewarnaan gram
maupun untuk kultur. Spesimen yang memenuhi syarat adalah sputum
yang lebih dari 25 leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada
pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran kecil. Spesimen
nasofaring untuk kultur maupun deteksi antigen bakteri kurang
bermanfaat karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.
Kultur darah jarang positif sehingga tidak rutin dianjurkan.
Pemeriksaan PCR memerlukan laboratorium yang canggih, namun tida
selalu tersedia, hasil positif pun tidak selalu menunjukkan diagnosis
pasti.8
E. Pemeriksaan rontgen toraks
Pemeriksaan ini tidak rutin diakukan, hanya direkomendasikan pada
pneumonia berat yang dirawat. Secara umum, gambaran foto toraks
terdiri dari:
1. Infiltrat interstitial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskular, peribroncial cuffing dan hiperaerasi.
2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut
dengan pneumonia lobaris atau terlihat sebagai lesi tunggal yang
biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang tida terlalu
tegas dan menyerupai lesi tumor paru yang dikenal sebagai round
pneumonia.
3. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas
hingga daerah perifer paru, disertai dengan corakan peribronkial.
3.12 Diagnosis
Pneumonia pada anak umunya di diagnosis berdasarkan gambaran klinik
yang menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih
dari satu gejala respiratori sebaga berikut:
- Takipnea
- Batuk
- Nafas cuping hidung
28
- Retraksi
- Ronki
- Suara nafas melemah
WHO mengembangkan pedoman diagnosis dan tatalaksana yang
sederhana yang ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer. Gejala klinis
tersebut meliputi nafas cepat, sesak nafas, dan berbagai tanda bahaya agar
anak segera dirujuk ke pelayanan kesehatan. Nafas cepat dinilai dengan
menghitung frekuensi nafas sealam 1 menit penuh ketika bayi dalam keadaan
tenang. Sesak nafas ditandai dengan melihat adanya tarikan dinding dada
bagian bawah kedalam ketika menarik nafas (retraksi epigastrium). Tanda
bahaya pada anak berusia 2 bulan – 5 tahun adalah tidak dapat minum,
kejang, kesadaran menurun, stridor, dan gizi buruk. Tanda bahaya
untuk bayi berusia dibawah 2 bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran
menurun, stridor, mengi, dan demam/badan terasa dingin.8,25
Berikut ini adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut.
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Pneumonia berat
Bila ada sesak nafas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
Pneumonia
Bila tidak ada sesak nafas
Ada nafas cepat dengan laju nafas :
o >50x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o >40x/menit untuk anak >1-5 tahun
o tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
Bila tidak ada nafas cepat dan sesak nafas
Tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simtomatis seperti penurun panas
Bayi berusia dibawah 2 bulan
Pneumonia
Bila ada nafas cepat (>60x/menit) atau sesak nafas
Harus dirawat dan diberikan antibiotik
29
Bukan pneumonia
Tidak ada nafas cepat atau sesak nafas
Tidak perlu dirawat, cukup diberikan pengobatan simtomatis
3.13 Tatalaksana
Sebagian besar, pneumonia pada anak tidak perlu dirawat. Indikasi
perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misal toksis,
distres pernafasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang
lain, komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonautus
dan bayi kecil dengan kemungkinan pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksananya adalah pengobatan kausal deangn antibiotik yang
sesuai serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan
intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam-
basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik/antipiretik.8,25
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan
pengobatan. Antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan pneumonia
yang diduga disebabkan oleh bakteri.
1. Pneumonia rawat jalan
Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis pemberian
amoksisilin adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4
mg/kgBB TMP – 20 mg/kgBB sulfametoksazol.
2. Pneumonia rawat inap
Pilihan lini pertama dapat menggunakan antibiotik golongan beta-
laktam atau kloramfenikol. Jika tidak responsif dapat diberikan
antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin atau sefalosporin. Terapi
antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia
tanpa komplikasi. Kriteria rawat inap pada bayi yaitu saturasi oksigen
<92%, sianosis, frekuensi nafas > 6x/menit, distres pernafasan, apnea
intermitten/grunting, tidak mau minum/menetek dan keluarga tidak bisa
merawat dirumah. Pada anak, saturasi oksigen < 92%, frekuensi nafas
>50x/menit, distres pernafasan, grunting, terdapat tanda dehidrasi dan
keluarga tidak dapat merawat dirumah.
30
Pada neonatus, terapi antibiotik intravena harus dimulai sesegera mungkin.
Karena neonatus dan bayi kecil sering terjadi sepsis dan meningitis,
antibiotik yang direkomendasikan adalah antibitotik spektrum luas seperti
kombinasi beta-laktam/klavulanat dengan aminoglikosida, atau sefalosporin
generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil, dapat diganti dengan antibiotik
oral selama 10 hari.
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang direkomendasikan
adalah antibiotik beta-laktam dengan/atau tanpa klavulanat, pada kasus yang
lebih berat diberikan beta-laktam/klavulanat dikombinasikan dengan
makrolid baru intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah
tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti dengan antibiotik
oral dan berobat jalan.
Di Indonesia, pneumonia rawat inap diberikan antibiotik beta-laktam,
ampisilin, atau amoksisilin, dikombinasikan dengan kloramfenikol.
Pada anak dengan distres pernafasan berat, pemberian makanan per oral
harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau
intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan
pernafasan, khususnya pada bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil.
Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.
Perlu juga dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi pneningkatan
sekresi hormon antidiuretik.
31
3.14 Komplikasi
Komplikasi pneumonia pada anak meliputi empiema torasis,
perkarditis purulenta, atelektasis, pneumotoraks, abses paru atau infeksi
ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis merupakan
komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.8
32
TUBERKULOSIS
3.1. Definisi
Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis), yang disebut juga basil tahan asam. Sebagian
besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya.
3.2. Epidemiologi
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa
penyakit yang kembali muncul dan menjadi masalah terutama di negara maju.
Salah satu diantaranya adalah TB. World health organization memperkirakan
bahwa sepertiga penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M.
tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak
hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas,
baik di negara berkembang maupun di negara maju.
3.3. Prevalensi
Morbiditas dan mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah
kasus TB anak per tahun adalah 5-6% dari total kasus TB. Berdasarkan
laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak berusia <15 tahun, 63% di
antaranya berusia <5 tahun. Pada survey nasionai di Inggris dan Wales selama
setahun pada tahun 1983, didapatkan bahwa 452 anak berusia <15 tahun
menderita TB (MRCT-CDU, 1988). Dari Alabama, Amerika, dilaporkan
bahwa selama II (tahun 1983-993) didapatkan 171 kasus TB anak usia <15
tahun. Di negara berkembang, TB pada anak berusia < 15 tahun adalah 15%
dari seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah,
yaitu 5-7%.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat
1,3 juta kasus baru TB anak, dan 450.000 anak usia <15 tahun meninggal
33
dunia karena TB. Kasus baru diperkirakan akan meningkat setiap tahun, dari
7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1990, menjadi
8,8 juta kasus (152 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1995, menjadi
10,2 juta kasus (163 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan akan
mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Total insidens TB selama 10 tahun, dari tahun 1990-1999,
diperkirakan sebanyak 88,2 juta penyandang TB, 8 juta di antaranya
berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian
akibat TB, 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV. Selama tahun
1985-1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun
(54,5%), diikuti oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada
tahun 2005, diperkirakan kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di
antaranya terjadi di negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-
4 tahun adalah 19%, scdangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia
Tenggara, selama 10 tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1
juta, 8% di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV. Menurut WHO (1994),
Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta
kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak
10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia < 15 tahun.
34
infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer,
batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat
terutama sirkulasi udara yang kurang baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang
dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di
dalam sekret endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:
a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit.
b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum.
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk
di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.
2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi
TB menjadi sakit TB.
a. Usia
Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis
TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB
singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.
a. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
b. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
c. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
d. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.
35
3.5. Patogenesis dan perjalanan alamiah
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam droplet nuclei yang
terhirup setelah melewati barier mukosa basil TB akan mencapai alveolus.
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman,
makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar
dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut yang dinamakan fokus ghon (fokus primer).
Melalui saluran limfe kuman akan menyebar menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahiler, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelnjar para trakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.
Masa inkubasi (waktu antara masuknya kuman dengan terbentuknya
komplek primer secara lengkap) bervariasi antara 4-8 minggu. Pada saat
terbentuknya komplek primer inilah, infeksi TB primer terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein yaitu
timbulnya respon positif terhadap uji tuberkulin.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru dapat
mengalami salah satu hal sebagai berikut, mengalami resolusi secara
sempurna, atau membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis pengkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
36
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Komplek primer dapat juga mengalami komplikasi yang disebabkan
oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis dan pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis pengkejuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu yaitu obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan
eksternal yang akan menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru. Dapat
juga terjadi obstruksi total yang menyebabkan atelektasis.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler dapat
terjadi penyebaran secara hematogen dan limfogen. Pada penyebaran limfogen
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk komplek primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk kedalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan disebut penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen sering tersamar (occult hematogenic spread) sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai
berbagai organ di seluruh tubuh dan biasanya yang dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik terutama apek paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman dan bisa terjadi
reaktivasi jika daya tahan tubuh pejamu turun.
37
Bagan patogenesis tuberkulosis.
Catatan:
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult
hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat focus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah proses masuknya kuman TB, terjadinya penyebaran
hematogen, terbentuknya kompleks primer dan imunitas selular
38
spesifik, hingga pasien mengalami infeksi TB dan dapat menjadi sakit
TB primer.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pascaprimer karena
mekanismenya bisa melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen)
atau reinfeksi (infeksi sekunder dan seterusnya) oleh kuman TB dari
luar (eksogen).
39
e. Tuberkulosis kulit Ditandai dengan adanya ulkus yang disertai
jembatan antar tepi ulkus
f. Tuberkulosis organ lain Dicurigai bila ditemukan gejala gangguan
pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan diserta
kecurigaan adanya infeksi TB
3.7. Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan menemukan M.TB pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan cerebrospinal, cairan pleura
atau pada biopsi jaringan. Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak
lebih sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru
primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain
itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA
baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000
kuman dalam 1 ml dahak.
Kesulitan kedua, pengambilan spesimen/sputum sulit dilakukan. Pada
anak, walaupun batuknya berdahak, biasanya dahak akan ditelan sehingga
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui NGT. Dahak yang
representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang
kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml.
Karena alasan di atas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan
klinis dan radiologis yang keduanya seringkali tidak spesifik. Kadang-kadang
TB anak ditemukan karena adanya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB
anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
seperti uji tuberkulin positif, dan foto paru yang mengarah pada TB (sugestif
TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB.
Selain itu, manifestasi klinis TB sangat bervariasi tergantung padaa
beberapa faktor yaitu jumlah kuman, virulensi kuman dan daya tahan tubuh
host. Manifestasi klinis TB dibagi 2 yaitu manifestasi klinis dan manifestasi
spesifik organ. Yang termasuk manifestasi klinis antara lain;
1) deman lebih dari 2 minggu dengan penyebab yang tidak jelas yang
dapat disertai keringat malam hari,
2) nafsu makan tidak ada (anoreksia) yang dapat disertai penurunan
berat badan,
40
3) batuk lama lebih dari 3 minggu,
4) malaise dan
5) diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.
Sedangkan yang termasuk manifestasi spesifik organ antara lain;
1) TB kelenjar superfisial yang paling banyak mengenai kelenjar kolli,
2) Tuberkulosis otak dan saraf (menigitis Tb dan tuberkuloma),
3) tuberkulosis skeletal (spondilitis, gonisitis),
4) tuberkulosis kulit (skrodulodermal).
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak - Laporan BTA (+)
jelas keluarga,
BTA (-),
tidak
tahu/tidak
jelas
Uji tuberkulin Negatif - - Positif (≥10
mm, atau ≥5
mm pada
keadaan
imunosupres
i)
Berat badan/keadaan gizi - BB/TB Klinis gizi -
<90% atau buruk BB/TB
BB/U <70% atau
<80% BB/U < 60%
Demam tanpa sebab - ≥2 minggu - -
yang jelas
41
Batuk - ≥3 minggu - -
Pembesaran kelenjar - ≥1 cm, - -
limfe koli, aksila, jumlah >1,
inguinal tidak nyeri
Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi panggul, pembengka
lutut, falang kan
Foto rontgen toraks Normal/ Kesan TB - -
Tidak jelas
Keterangan : anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6, ( skor maksimal 13).
42
diameter indurasi > 10 mm dinyatakan positif tanpa menghiraukan
penyebabnya.
Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10—15
mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB
alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila
ukuran indurasi >15 mm, hasil positif ini sangat mungkin karena infeksi TB
alamiah. Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun
(imunokompromais), maka cut off-point hasil positif yang digunakan adalah
≥5 mm.
Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada tiga keadaan sebagai berikut:
1. Infeksi TB alamiah
a. infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh.
2. lmunisasi BCG (infeksi TB buatan).
3. Infeksi mikobakterium atipik.
2. Radiologis
Gambaran foto toraks pada TB tidak khas; kelainan-kelainan
radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto
toraks yang normal (tidak terdetek secara radiologis) tidak dapat
menyingkirkan diagnosis TB jika klinis dan pemeriksaan penunjang lain
mendukung. Secara umum gambaran radiologis yang sugestif TB adalah :
pembesaran kelenjar hilus dengan/tanpa infiltrate, konsolidasi segmental,
milier, kalsifikasi dengan infiltrate, atelektasis, infiltrate, efusi pleura,
tuberkuloma.
3. Mikrobiologis
43
Diagnosis pasti TB ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada
pemeriksaan mikrobiologis. pemeriksaan mikrobiologis yang dilakukan terdiri
dari dua macam: pemeriksaan mikrobiologis apusan langsung untuk BTA dan
pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis
44
Berikut tabel dosis OAT yang biasa digunakan.
Nama obat Dosis harian Dosis Efek samping
(mg/kgBB/hari) maksimal
(mg/hari)
Isoniazid 5-15 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan.
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastriintestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksisk, nefrotoksik
45
I. TATALAKSANA TB PADA ANAK
DAFTAR PUSTAKA
1. McCance, Kathryn L. 2010. Pathophysiology The Biologic Basis for Desease
in Adults and Children. United States: Elsevier.
2. Igor Rudan, Cynthia Boschi-Pinto, Zrinka Biloglav dkk. 2015. WHO Buletin:
Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. WHO
3. Bordley WC, Viswanathan M, King VJ, Sutton SF, Jackman AM, Stetling L,
dll. Diagnosis and testing in bronchiolitis. Arch Pediatr Adolesc Med 2004;
158: 119-26.
4. Clinical Practice Guideline. American Academy of Pediatrics 2006. Diunduh
dari www.pediatrics.org.
5. Alberta Medical Association. Guideline for the diagnosis and management of
community acquired pneumonia. Pediatric. 2001.
6. British Thoracic Society of Standarts of Care Committee. BTS guidelines for
the managing of acquired pneumonia in childhood. Thorax 2002; 57: 11-24.
7. Survey Kesehatan Nasional 2001. Laporan studi mortalitas 2001: pola
penyakit penyebab kematian di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI; 2002.
8. M. Sholeh kosim, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta. 2002.
9. Orenstein DM. Bronchiolitis. Nelsons textbook of pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia. WB Saunders Co.; 2000. h.1285-7.
10. Bradley JP, Bachrier LB, Bonfiglio J, Schechtman KB, Strunk R, Storch G,
dkk. Severity of Respiratory syncytial virus bronchiolitis is affected by
46
cigarette smoke exposure and atopy. Pediatrics [serial online]. 2005; 115; e7-
14.
11. Abul-Ainine A, Luyt D. Short term effects of adrenaline in bronchiolitis: a
randomized controlled trial. Arch Dis Child 2002; 86: 276-9.
12. Flores G, Horwitz RI. Efficacy of Beta-2 agonist in bronchiolitis: a reappraisal
and meta-analysis. Pediatrics 1999; 100: 233-9.
13. Garrison MM, Christakis DA, Harvey E, Cummings P, Davis RL. Systemic
corticosteroids in infant bronchiolitis: a meta-analysis. Pediatrics 1999: 105-
10.
14. Guerguerian A, Gauthier M, Lebel M, Farrell CA, Lacroix J. Ribavirin in
ventilated respiratory syncytial virus bronchiolitis. Am J Respir Crit Care Med
1999:160:829-34.
15. Rodriguez WJ, Gruber WC, Groothuis JR, Simoes EAF, Rosas AJ, Lepow M,
dkk. Respiratory Syncytial Virus immune globulin treatment of RSV lower
respiratory tract infection in previously healthy children. Pediatrics
1997;100:937-42.
16. Wohl ME, Chernick V. Treatment of acute bronchiolitis. N Engl J Med
2003;349:82-3.
17. Hsiao G, Black-Payne C, Campbell D. Pediatric community-acquired
pneumonia, pulmonary and critical care update. American College of Chest
Physicians [serial online] 2004.
18. Osptapchuk M, Roberts DM, Haddy R. Community-acquired pneumonia in
infants and children. Am Fam Physician 2004;70:899-908
19. Prober CG. Pneumonia. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, eds. Nelsons
textbook of pediatrics 15th ed. Saunders, Philadelphia 1996;716-721.
20. Survery Kesehatan Nasional 2001. Laporan studi mortalitas 2001: pola
penyakit penyebab kematian di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI; 2002.
21. Swischuk LE. Respiratory system-postnatal pulmonary infections. Dalam:
Imaging of the newborn infant and young child. Baltimore: William and
Wilkins; 1997. h. 108-25.
22. Oermann C, Sockrider MM, Langston C. Severe necrotizing pneumonitis in a
child with mycoplasma pneumonia infection. Pediatr Pulmonol 1997; 24: 61-
5.
47
23. Cunningham AF, Johnston SL, Julious SA, Lampe FC, Ward ME. Chronic
Chlamydia pneumonia infection and asthma exacerbations in children. Eur
Respir J 1998;11:345-9.
24. Dilber E, Cakir M, Kalyoncu M, Okten A. C-Reactive protein: a sensitive
marker in the management of treatment response in parapneumonic empyema
of children. Turk J Pediatr 2003;45:311-4.
25. WHO/UNICEF Joint Statement. Management of pneumonia in community
settings. New York: The United Nations Children’s Fund/World Health
Organization; 2004.
26. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.Ed.I. 2004.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
27. Setyanto Budi,D., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 . Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta
28. WHO Indonesia. 2008. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Alih bahasa: Tim Adaptasi
Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
48