LAPORAN KASUS
CHRONIC KIDNEY DISEASE PADA ANAK
Diajukan Guna Melengkapi Tugas Portofolio
Disusun Oleh :
Orieza Sativa N.
2
LAPORAN KASUS
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
PERIODE 18 SEPTEMBER 2016 18 SEPTEMBER 2017
RS BHAYANGKARA SARTIKA ASIH
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan yang serius pada dewasa dan anak dengan angka kesakitan dan kematian yang
meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Masalah di klinik adalah underdiagnosis dan
undertreatment. (Aumas dkk, 2016)
Angka kejadian pasti untuk penyakit ginjal kronis sulit untuk ditentukan. Pada tahun
1972, American Society of Pediatric Nephrology menemukan bahwa pada anak- anak yang
berusia di bawah 16 tahun, 2.5-4 anak dari tiap sejuta anak menderita penyakit ginjal kronis
setiap tahunnya. Angka kejadian di Indonesia sendiri belum dapat dipastikan namun data dari
tujuh rumah sakit pendidikan dokter spesialis anak menyatakan bahwa 2% dari 2889 anak yang
dirawat dengan penyakit ginjal di tahun 1984-1988 menderita penyakit ginjal kronis. Dalam
penelitian yang dipublikasi tahun 2007, di Amerika Serikat ditemukan bahwa prevalensi
penyakit ginjal kronis meningkat dari tahun 1988-1994 ke 1999- 2004, yaitu dari 10,0%
menjadi 13,1%. Peningkatan ini diduga karena peningkatan prevalensi diabetes dan hipertensi.
(Leni, 2015)
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : An. RM
Tempat, Tanggal Lahir / Umur : Bandung, 12 Maret 2004 / 12 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Moh. Toha gg. Majasir RT 02/RW03, Bandung
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Nomor RM : SA 170744
Tanggal masuk perawatan : 10 Februari 2017
Tanggal pasien pulang : 11 Februari 2017
2.2 Anamnesis
(Alloanamnesis, diberikan oleh nenek pasien tanggal 10 Februari 2017 di IGD RSBSA)
Keluhan Utama : sesak nafas
memiliki riwayat sakit kulit berulang sebelumnya, bekas koreng (+), kadang-kadang
disertai gatal pada kulit. Riwayat sakit gigi sebelumnya disangkal. Riwayat adanya
kelainan ginjal bawaan disangkal.
Riwayat Imunisasi :
- BCG : 1 kali (0 bulan)
- DPT : 1 kali (2 bulan)
- Polio : 1 kali (2 bulan)
- Campak : -
- Hepatitis B : 1 kali (0 bulan)
Kesan : imunisasi dasar tidak lengkap
2.3 Pemeriksaan
Palpasi : ictus cordis teraba pada sela iga V kiri, 2 cm medial garis
medioclavicularis sinistra, tidak melebar, tidak kuat angkat
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I II normal, tak ada bising, tak ada gallop.
Abdomen :
Inspeksi : sedikit buncit
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : - lemas, turgor cukup, undulasi (+)
- hepar dan lien sulit dinilai.
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) meningkat, pekak alih (+)
Pemeriksaan Penunjang
HEMATOLOGI (10 Februari 2017)
Hb : 9,2 gr/dL
Ht : 30 %
Leukosit : 16.000 /mm3
Trombosit : 482.000 /mm3
GDS : 145 mg/dl
Ureum : 129 mg/dl
Kreatin : 9,9 mg/dl
Na : 145,71 mg/dl
K : 5,71 mg/dl
2.4 Resume
Sejak 1 bulan yang lalu anak bengkak. Bengkak mulai dari kelopak mata setiap pagi
setelah bangun tidur. Bengkak berkurang pada siang hari dan hilang pada sore hari.
Bengkak tidak menghilang setelah aktivitas. Batuk (+), batuk tidak berdahak. Bengkak
tidak disertai sesak, panas, pilek, kencing sakit. Buang air kecil tidak ada keluhan, warna
kuning jernih, jumlah sedikit berkurang, tidak ada buih. Buang air besar tidak ada
keluhan.
Sejak 1 minggu yang lalu bengkak semakin bertambah dan disertai sesak. Keluhan
sesak dirasakan terus menerus tidak membaik dengan istirahat. Sesak tidak disertai
kebiruan pada mulut atau ujung-ujung jari. Bengkak menetap disertai mual (+), muntah
(+) isi makanan, kencing warna kuning keruh dan berkurang dalam jumlah dan frekuensi
dari biasanya. Kemudian bengkak juga muncul pada tangan, kaki dan perut, karena sesak
tidak berkurang oleh nenek dan ketua RT setempat, anak dibawa ke RSBSA. Pasien
memiliki riwayat sakit kulit berulang sebelumnya, bekas koreng (+), kadang-kadang
disertai gatal pada kulit. Riwayat sakit gigi sebelumnya disangkal. Riwayat adanya
kelainan ginjal bawaan disangkal.
RPD : -
RPK : -
Pemeriksaan Fisik :
Kulit : bekas koreng (+) seluruh tubuh
Kepala : mata edem palpebra (+/+), conjungtiva anemis (+/+), nafas cuping ada
10
- Menjelaskan pada wali untuk menampung urin anak (agar dapat diperiksa
perkembangan hasil pengobatannya) setiap anak buang air kecil.
- Menjelaskan kepada wali bahwa penyakit anaknya membutuhkan cuci
darah dan harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang memadai.
- Menjelaskan kepada wali bahwa akibat menurunnya fungsi ginjal pada
anaknya yang semakin lama akan semakin menurun maka diperlukan
adanya transplantasi ginjal yang sulit dilakukan, oleh karena itu perlu
dilakukan cuci darah secara rutin untuk membantu kerja ginjal.
- Menjelaskan pada wali bahwa diperlukan diet yang sesuai dengan
kebutuhan pasien dikarenakan fungsi ginjal yang sudah menurun.
Diagnosis : S : -
O: -
Terapi : - Pemberian EPO (human recombinant erythropoietin) 30-300
unit/kg/minggu , dibagi 3 dosis dalam seminggu
- Fe 2-3mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-3 dosis (2x 48mg)
Monitoring : - Observasi keadaan umum, tanda vital
Edukasi : - Menjelaskan kondisi pasien kepada wali bahwa pasien mengalami
gangguan pada ginjalnya yang bersifat kronis/lama sehingga
menyebabkan terjadinya anemia/kurang darah.
- Menjelaskan pada wali bahwa diperlukan pemberian EPO apabila Hb
dibawah 10 gr/dL hingga mencapai target 11-12 gr/dL, akan tetapi karena
biaya pemberian EPO yang mahal maka hal tersebut sulit dilakukan.
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau chronic kidney disease (CKD) merupakan masalah
kesehatan yang serius pada dewasa dan anak dengan angka kesakitan dan kematian yang
meningkat dari tahun ke tahun di seluruh dunia. Masalah di klinik adalah underdiagnosis dan
undertreatment. (Aumas dkk, 2016)
Penyakit ginjal kronik ialah abnormalitas struktur atau fungsi ginjal (urinalisis,
pencitraan ginjal, histologi ginjal) yang berlangsung 3 bulan dengan atau tanpa penurunan
laju filtrasi glomerulus (LFG); atau LFG yang <60 mL/menit/1.73m2, selama 3 bulan dengan
atau tanpa kerusakan ginjal. (Pradeep Arora, 2016)
Berdasarkan nilai LFG yang tersisa penyakit ginjal kronis diklasifikasikan dalam 5
stadium, seperti dalam tabel berikut: (Leni, 2015)
16
3.2 Patofisiologi
Ginjal normal mengandung sekitar 1 juta nefron, yang masing-masing memberikan
kontribusi terhadap total laju filtrasi glomerulus (LFG). Dalam keadaan cidera ginjal (terlepas
dari etiologi), ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan LFG, meskipun terdapat
kerusakan nefron yang progresif, nefron sehat yang tersisa akan bermanifestasi hiperfiltrasi
dan hipertrofi sebagai kompensasi. Adaptasi nefron ini memungkinkan filtrasi zat terlarut
dalam plasma dapat berlanjut. Kadar ureum dan kreatinin dalam plasma meningkat setelah
LFG menurun sampai 50%. (Pradeep Arora, 2016)
Kadar ureum dan kreatinin akan naik sekitar dua kali lipat dengan penurunan LFG 50%.
Misalnya, kenaikan nilai dasar kreatinin plasma pada pasien 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl,
meskipun masih dalam kisaran refrensi dewasa, sebenarnya telah terjadi kehilangan 50%
fungsi massa nefron. (Pradeep Arora, 2016)
Kompensasi hiperfiltasi dan hipertrofi nefron yang tersisa, walaupun bermanfaat, telah
dihipotesiskan menjadi penyebab utama disfungsi ginjal progresif. Peningkatan tekanan
kapiler glomerulus dapat merusak kapiler yang mengawali fokal sekunder dan segmental
glomerulosklerosis (FSGS) dan akhirnya menjadi global glomerulosklerosis. (Pradeep Arora,
2016)
Selain faktor proses penyakit yang mendasarinya dan hipertensi glomerulus, yang dapat
menyebabkan cedera ginjal progresif adalah sebagai berikut: (Pradeep Arora, 2016)
- Hipertensi sistemik
- Nephrotoksin (misalnya, obat anti-inflammatory [NSAID], media kontras intravena)
- Penurunan perfusi (misalnya, dari dehidrasi berat atau episode shock)
- Proteinuria (selain menjadi penanda CKD)
- Hiperlipidemia
- Hyperphosphatemia dengan deposisi kalsium fosfat
- Merokok
- Diabetes yang tidak terkontrol
Pada anak, penyakit ginjal kronis dapat disebabkan penyakit kongenital, didapat,
genetik, atau metabolik. Penyebab yang mendasari berkaitan erat dengan usia pasien saat
penyakit ginjal kronis pertama terdeteksi. Penyakit ginjal kronis pada anak yang berusia kurang
dari 5 tahun biasa disebabkan abnormalitas kongenital seperti hipoplasia atau displasia ginjal,
dan/atau uropati obstruktif. Penyebab lain adalah sindrom nefrotik kongenital, sindrom prune
belly, nekrosis korteks, glomerulosklerosis fokal segmental, penyakit ginjal polikistik,
trombosis vena renalis, dan sindrom hemolitik uremik.Setelah usia 5 tahun, penyakit- penyakit
17
3.3 Diagnosis
Penderita penyakit ginjal kronis stadium 1-3 (LFG>30 ml/ min ) biasanya bersifat
asimptomatik dan gejala klinis baru muncul pada stadium 4 dan 5. Kerusakan ginjal yang
progresif dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah akibat overload cairan dan produksi
hormon vasoaktif (hipertensi, edema paru dan gagal jantung kongestif), gejala-gejala uremia
(letargi, perikarditis hingga ensefalopati), akumulasi kalium dengan gejala malaise hingga
keadaan fatal yaitu aritmia, anemia akibat sintesis eritropoetin yang menurun, hiperfosfatemia
dan hipokalsemia (akibat defisiensi vitamin D3), dan asidosis metabolik akibat penumpukan
sulfat, fosfat, dan asam urat. (Leni, 2015)
koletserol dan trigliserida serum biasa meningkat. Urinalisis menunjukkan hematuria dan
proteinuria pada anak dengan penyakit ginjal kronis yang disebabkan glomerulonefritis,
sementara displasia ginjal menghasilkan urin dengan abnormalitas minimal. (Leni, 2015)
3.4 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan penyakit ginjal kronis adalah untuk menangani penyebab
primer gangguan ginjal, menghilangkan atau meminimalkan kondisi-kondisi komorbid,
mencegah atau memperlambat penurunan fungsi ginjal, menangani gangguan metabolik yang
terkait dengan penyakit ginjal kronik, mencegah dan menangani penyakit kardiovaskular, dan
mengoptimalisasikan pertumbuhan dan perkembangan. Pasien dengan penyakit ginjal kronis
harus menjalani evaluasi untuk menentukan diagnosis jenis penyakit ginjal, kondisi komorbid,
stadium kerusakan ginjal menurut LFG, komplikasi terkait tingkat LFG, faktor- faktor risiko
penurunan fungsi ginjal, dan faktor-faktor risiko bagi penyakit kardiovaskular. (Leni, 2015)
Berbagai masalah yang dapat dan perlu ditangani dalam penyakit ginjal kronis
18
3.4.1 Dialisis
Ketika anak menunjukkan tanda-tanda akut dalam gagal ginjal kronis, terapi pengganti
ginjal diperlukan untuk menyelamatkan nyawanya. Dialisis peritoneal dalam bentuk CAPD
(continous ambulatory peritoneal dialysis) dapat digunakan pada anak sebelum transplantasi
ginjal dapat dilakukan. (Leni, 2015)
Tanda-tanda klinis yang perlu diperhatikan untuk segera memulai dialisis adalah
sindrom uremia yang nyata seperti muntah-muntah, kejang, penurunan kesadaran hingga
koma; kelebihan cairan yang menimbulkan gagal jantung, edema paru dan hipertensi; dan
asidosis yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian bikarbonat intravena. Dialisis juga dapat
mulai dilakukan bila ditemukan kadar ureum darah 200-300 mg/dl atau kreatinin 15 mg/dl,
hiperkalemia 7 mEq/l, atau bikarbonat plasma 12 mEq/l. Hemodialisis dapat dilakukan
secara akut bila terjadi kelebihan cairan, seperti edema paru atau gagal jantung kongestif, atau
terjadi kondisi serius yang mengancam jiwa pasien, seperti hiperkalemia, asidosis metabolik,
hipo atau hypernatremia. (Leni, 2015)
Hemodialisis adalah suatu proses pemisahan zat tertentu (toksin uremik) dari darah
melalui membran semi permeabel di dalam dialiser, dan selanjutnya dibuang melalui cairan
dialisat. Pada hemodialisis, pengeluaran zat terlarut dan kelebihan cairan terjadi dengan cepat
(3-5 jam) sehingga diperlukan oleh pasien dengan gangguan elektrolit, kelebihan cairan dan
hiperkatabolik yang memerlukan koreksi cepat. Perubahan zat terlarut dan pengeluaran cairan
yang terlalu cepat dapat menyebabkan hipotensi sehingga tidak dapat ditolerir oleh pasien
dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Sedangkan dialisis peritoneal mempunyai
kemampuan mengeluarkan zat terlarut dari darah 1/8 dari hemodialisis, dan kemampuan
mengeluarkan cairan 14 dari hemodialisis. (Dedi, 2009)
19
Akses vaskular merupakan bagian yang penting dalam sistem hemodialisis dan
mempengaruhi keberhasilan terapi dialisis tersebut. Akses vaskular dibedakan menjadi akses
sementara (temporary access) dan akses tetap (permanent access). Akses vaskular sementara
digunakan pada pasien gagal ginjal akut, pasien gagal ginjal kronis sementara menunggu akses
tetap dapat digunakan, atau pasien dialisis peritoneal dan transplantasi yang membutuhkan
hemodialisis sementara, atau pada pasien yang memerlukan plasmaferesis atau hemoperfusi.
Sedangkan akses vaskular tetap (permanent access) digunakan pada penderita yang
memerlukan hemodialisis jangka panjang. Pemilihan akses vaskular tergantung pada
kedaruratan melakukan dialisis, waktu yang tersedia untuk mempersiapkan akses vaskuler,
serta keadaan pembuluh darah pasien. (Dedi, 2009)
Akses vaskuler sementara yang menjadi pilihan adalah kanulasi vena per kutan
melalui vena sub klavia, vena jugularis interna, atau vena femoralis, dan pirau arterio-venosa
yang biasa digunakan sebagai akses vaskular hemodialisis pada anak terutama dengan berat
badan kurang dari 20 kg. Sedangkan akses vaskuler tetap dibuat secara sub kutan dengan
membuat anastomosis pada anggota gerak antara arteri besar dan vena terdekat (fistula arteri
vena) yang mula-mula ditemukan oleh Brascia-Cimino atau dengan interposisi komponen
graft antara arteri dan vena terdekat. (Dedi, 2009)
Pada pasien ini ditemukan tanda-tanda kelebihan cairan, asidosis metabolik, sehingga
perlu dilakukan dialisis. Pada penderita ini direncanakan dilakukan hemodialisis.
20
3.4.2 Anemia
Pada pasien ini pemeriksaan darah didapatkan Hb 9,2 g/dL, pengelolaan anemia
sudah diindikasikan untuk dilakukan eritropoetin. Dosis yang diberikan 30-300 unit
kgBB/minggu dibagi dalam 3 dosis seminggu, serta di berikan tablet Fe 2-3mg/kgBB/hari
dalam 2-3 dosis.
3.4.3 Hipertensi
Tata laksana hipertensi meliputi terapi non farmakologis dan farmakologis tetapi terapi
farmakologis menjadi pilihan utama. Meskipun sering diberikan antihipertensi multipel,
dianjurkan dimulai dengan obat tunggal dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan secara
perlahan sampai tekanan darah terkontrol, kecuali pada pasien dengan hipertensi emergensi
dan urgensi yang membutuhkan penurunan tekanan darah dengan segera. Target tekanan darah
yang ingin dicapai adalah di bawah persentil 90 atau <130/80 mmHg. Obat ACE inhibitors dan
angiotensin II type 1 receptor blockers (ARBs ) merupakan pilihan pertama karena mempunyai
efek renoprotektif. (Sudung, 2009)
Pembatasan cairan dan garam dapat mengurangi tekanan darah pada dewasa dan anak.
Jumlah garam yang disarankan adalah 0,5-1 mEq/kg BB/hari atau kira- kira 2 g NaCl/hari
untuk remaja dengan berat badan 20- 40 kg. Klasifikasi obat dan dosis dalam menurunkan
tekanan darah pada anak, dapat dilihat pada tabel berikut : (Leni, 2015)
21
22
Pada pasien ini terjadi peningkatan tekanan darah lebih dari persentil 95 menurut usia
dan jenis kelamin, dimana pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 140/100 mmHg,
sehingga pemberian terapi hipertensi pada pasien tersebut sudah diindikasikan. ACE inhibitor
menjadi salah satu pilihan terapi yang digunakan dimana penggunaannya dapat melindungi
nefron yang tersisa dari cedera lebih lanjut dan memperlambat penurunan fungsi ginjal. Pilihan
obat yang digunakan adalah Captopril dengan dosis yang dianjurkan yaitu 0,5-5 mg/kgBB tiap
8 jam. Pembatasan garam juga diterapkan pada pasien ini untuk penatalaksanaan non
farmakologis hipertensi.
Kebutuhan cairan, natrium dan kalium dapat dihitung menggunakan metode Holliday-
Segar, namun perlu diingat bahwa metode ini tidak dapat digunakan untuk neonatus berusia <
14 hari. Perumusan kebutuhan cairan holliday segar sebagai berikut: (Leni, 2015)
Kebutuhan elektrolit harian untuk natrium dan kalium dapat dilihat dalam tabel,
sementara kebutuhan harian untuk kalsium adalah 0,3 mmol/kg BB per hari dalam kondisi
normal dan 1 mmol/kg BB per hari jika terdapat defisiensi kalsium.Terapi gangguan elektrolit
pada anak, dapat dilihat pada tabel berikut. (Leni, 2015)
23
Kebutuhan harian elektrolit kalium, natrium dan kalsium pada pasien ini disesuaikan dengan
kebutuhan harian karena kadar elektrolit pada pasien ini masih dalam batas normal, sehingga
tidak diperlukan terapi gangguan elektrolit.
3.4.5 Nutrisi
Pertumbuhan perlu dievaluasi secara teratur pada anak-anak dengan penyakit ginjal
kronis. Terapi rhGH diindikasikan pada anak dengan penyakit ginjal kronis dengan hambatan
24
pertumbuhan (< -2 SD). Dosis yang biasa Pertumbuhan perlu dievaluasi secara teratur pada
anak-anak dengan PGK. Terapi rhGH diindikasikan pada anak dengan PGK dan hambatan
pertumbuhan (< - 2 SD). Dosis yang biasa digunakan adalah 0.05 mg/kg/hari, secara subkutan
selama 6 hari dalam satu minggu. Status gizi pasien dengan penyakit ginjal kronis perlu diawasi
secara teratur dan mereka yang mengalami penurunan masukan diet atau malnutrisi perlu
menjalani modifikasi diet, konseling, dan edukasi atau terapi nutrisi khusus. Rekomendasi
nutrisi untuk anak dengan penyakit ginjal stadium akhir, dapat dilihat pada tabel berikut: (Leni,
2015)
Pada pasien ini status gizi masih baik dimana grafik Z score BB/Usia masih diantara 0
sampai +1 SD, TB/Usia diantara -1 sampai 0 SD. Dalam pemenuhan gizi sehari-hari dapat
menggunakan tabel yang telah direkomendasikan, sesuai dengan usia dan jenis kelamin.
3.4.6 Antibiotik
Pada pasien ini diagnosis lain yang mungkin adalah Glomerulonefritis Akut PAsca
Streptokokus yang ditandai dengan ditemukannya bekas infeksi kulit yang dapat menyebabkan
25
terjadinya infeksi sekunder pada ginjal, sehingga diberikan terapi antibiotik pada pasien ini
yaitu Ceftriaxon yang merupakan antibiotik spectrum luas.
3.5 Prognosis
Tangri et al, melakukan model pengembangan dan validasi pada pasien dewasa dengan
menggunakan hasil laboratorium rutin untuk memprediksi perkembangan dari CKD (tahap 3-
5) ke gagal ginjal. Mereka melaporkan bahwa lebih rendah perkiraan laju filtrasi glomerulus
(GFR), albuminuria tinggi, usia yang lebih muda, dan jenis kelamin laki-laki menunjuk pada
pengembangan yang lebih cepat dari gagal ginjal. Juga, serum albumin, kalsium, dan tingkat
bikarbonat yang rendah dan tingkat serum fosfat yang tinggi diprediksi meningkatkan risiko
gagal ginjal. ( Pradeep Arora, 2016)
Prognosis pasien dengan penyakit ginjal kronis adalah bervariasi menurut stadium dan
penatalaksanaan yang dilakukan. Dengan deteksi dan penatalaksanaan dini, morbiditas dan
mortalitas diharapkan dapat diturunkan. (Leni, 2015)
26
DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
STRONG KIDS
28
29