Pembimbing :
dr. Raden Setiyadi, Sp.A
Disusun oleh:
Sri Mielda Nurliani Dewi
030.14.180
Penyusun:
Sri Mielda Nurliani Dewi
030.14.180
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing dr. Raden Setiyadi, Sp.A, sebagai
syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di
RSU Kardinah Kota Tegal Periode 10 Desember 2018– 16 Februari 2019
STATUS PASIEN
Nama : Sri Mielda Nurliani Dewi Pembimbing : dr. Raden Setiyadi, Sp.A
1. IDENTITAS PASIEN
Riwayat Imunisasi
b u l a n t a h u n
vaksin 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 12 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hep B * *
Polio * *
BCG *
DPT * *
Hib
PCV
Rtavirus
Influenz
Campak
MMR/MR
Tifoid
Hep A
Varisela
HPV
Dengue
Riwayat nutrisi
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 - - - -
6–8 - - - -
8 – 10 - - - -
10-12 - - - -
Kesan: Pasien mendapatkan ASI ekslusif
= Laki-laki
= Perempuan
= Ayah pasien
= Ibu pasien
= Pasien
3. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Januari 2019, pukul 14.00 di PICU
RSUD Kardinah Tegal
I. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang
Menangis : (+) Kejang : (-)
Gerak : (+) aktif Pucat : (-)
Sesak : (+) Sianosis : (-)
Demam : (-)
Lingkar kepala : 38 cm
Kesan: normosefali
CBC
Eosinofil 0 1-5
- Situs solitas
- AV-VA concerdance
- All PV to LA
- LAS intak
- LVS : VSD diameter 6 mm L - R shunt
- PDA –
- Katup : MR mild
Kesan: VSD diameter 5-6mm L-R shunt
5. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Kardinah pada hari Jumat tanggal 4 Januari 2019
pukul 17.55 bersama orang tuanya dengan keluhan sesak nafas sejak 1 minggu
SMRS. Sebelumnya 2 minggu pertama batuk berdahak kadang hijau/putih tidak
demam, berobat ke klinik dan dikatakan sakit Bronkitis, setelah itu muncul
jantung berdebar-debar, setelah obat habis lalu periksa ke dokter spesialis anak
dan dikatakan sakit sesak dan sakit jantung bawaan, diberikan obat namun ibu
mengaku bahwa untuk obat jantungnya tidak pernah di minumkan hanya obat
batuknya. Satu minggu sebelum masuk rumah sakit pasien sesak terus menerus,
tidak dipengaruhi cuaca, tidak membaik dengan perubahan posisi, dan sesak
semakin memberat sehingga tidak bisa tidur namun sesak tidak sampai membuat
badan anak tampak biru. Anak mulai tidak mau menetek sejak satu hari sebelum
masuk rumah sakit.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 24 Januari 2019, didapatkan
keadaan anak menangis, gerak aktif dan tampak sesak. Nadi 132 x/menit reguler,
kuat, isi cukup, RR 42 x/menit reguler, suhu 36,8oC, Axilla. Pada pemeriksaan
status generalis, jantung didapatkan Murmur pansistolik ICS II-III linea sternalis
sinistra, derajat bising 4/6, menjalar kesepanjang tepi sternum kiri, kesan status
gizi kurang, lingkar kepala kesan normosefali. Pemeriksaan penunjang, hasil
darah rutin anemia, leukositosis, dan netrofilia. Hasil pemeriksaan radiologi
memberikan kesan broncopneumonia dan hasil echocardiografi memberikan
kesan VSD dengan diameter 5-6mm L-Rshunt.
6. DAFTAR MASALAH
Sesak nafas
Batuk berdahak kadang hijau / putih
Pilek
Tidak mau menetek
Murmur pansistolik ICS II-III linea sternalis sinistra, derajat bising 4/6, menjalar
kesepanjang tepi sternum kiri.
Anemia (Hb 8,4 g/dl)
Leukositosis (22,7103/µl)
Netrofilia (60,9%)
Status gizi kurang
Radiologi kesan broncopneumonia
Echocardiografi kesan VSD diameter 5-6mm L-R shunt
7. DIAGNOSIS BANDING
Sesak nafas, Batuk Bronko pneumonia
berdahak Bronkiolitis
hijau/putih, pilek Bronkhitis
8. DIAGNOSIS KERJA
PJB asianotik (VSD)
Broncopneumonia
Status gizi kurang
9. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
- Rawat inap untuk monitoring gejala
- Monitor KU, TV, TD
- Edukasi orang tua mengenai penyaakit pasien
b. Medikamentosa
IVFD KAEN 1B+KCL 8cc/jam
Inj meropenem 3x150mg
P.O :
Captopril 2 x 2mg
Digoxin 2 x 0,04mg
Lasix 2 x 2mg
Ferriz 1 x 0,6
L-Bio 1x1
10. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
PERJALANAN PENYAKIT
S Usia 3 bulan. Dating dengan keluhan Menangis , tampak sesak nafas dan batuk.
sesak sejak 1 minggu dan batuk sudah Tampak pucat.
1 bulan dan mulai tidak mau menetek.
O TTV :
HR 119x/m, RR 32x/m ,
S 36,80C, SpO2 99%
St. generalis :
Kepala dan mata :
normosefal, CA (-/-), SI (-/-)
Hidung :
nafas cuping hidung (-/-)
Thorax :
SNV (+/+), Rh (-/-) , Wh (-/-), S1S2
reg, m (+) sistolik grade 3/6, g (-)
Abd :
supel, BU (+), distensi (-), turgor baik
Eks :
AH +/+, CRT <2
A PJB susp VSD
Bronkopneumonia
Anemia
Gizi kurang
P Acc pilang
Po:
-Captopril 2 x 2 mg
-Digoxin 2 x 0,04 mg
-lasix 2 x 2 mg
-cefixime 2 x 20 mg
-ferriz drop 1 x 0,6ml
-Kcl 2 x 150 mg
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bronkopneumonia
2.1.1 Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronchopneumonia
adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai
dengan adanya bercak-bercak Infiltrat.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-
paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus,
jamur dan benda asing.
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.
2.1.3 Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem repiratori, terutama pneumonia.
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak mendapat
imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A, tingginya
prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi
udara (polusi industri atau asap rokok).
2.1.4 Klasifikasi
2.1.5 Patogenesis
Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme yang
menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan
jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia,
melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian
ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola
mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan, penyakit
kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat menimbulkan
perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis kuman akibat adanya
berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan Enterobacteriaceae serta
berbagai bakteri gram negative.
Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S.
pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini meningi
merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa. Fibronektin merupakan
reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan
reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative
dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat terjadi
pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau pada pasien
dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru lainya adalah
melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang
berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan.
Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme
penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat pada
bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun,
M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M.
catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering
didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia.
Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan
imunisupresi disertai lekopeni.
Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat
asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan memudahkan
Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan. Jika
Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe II.
Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan menyebabkan
invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan menyebar dari alveolus
ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan
reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah
dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan
cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan
cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh
oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48
jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit,
warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra
abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah
steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka
mikroorganisme dapat masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :
Filtrasi partikel di hidung
Pencegahan aspirasi dengan system epiglottis
Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
Pembersihan kearah system oleh mukosiliar
Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
Drainase melalui system limfatik.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama
beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin disertai
kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal
disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya
tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana
pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering
menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
Tanda vital : takipneu,
Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), retraksi
Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
Perkusi : Sonor memendek sampai beda
Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai ronki basah
gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah yang
terkena. Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan. Pada auskultasi mungkin
hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium resolusi ronki
dapat terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi antara 2-
3 minggu.
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting, dan
sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala yang sering
terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non produktif
/ produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada. Pada
kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif),
nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :
Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma
Anamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah
Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata
Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang
Batuk Produktif nonproduktif kering
Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa tenggorok
Fisik
Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan
Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,
Napas melemah Difus, mengi mengi. 14
Gambar 2. Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada paru
kanan
2.1.9 Penatalaksanaan
2.1.9.1.Penatalaksaan umum
Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau PaO2 pada
analisis gas darah ≥ 60 torr
Nebulisasi dengan B2 agonis dan atau NaCl dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
2.1.9.2.Penatalaksanaan khusus
A. Antibiotika
Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi
klinis. Pneumonia ringan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan
angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama)
menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- Ampicillin + aminoglikosid
- Amoksisillin-asam klavulanat
- Amoksisillin + aminoglikosid
- Sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- Beta laktam amoksisillin
- Amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- Golongan sefalosporin
- Kotrimoksazol
- Makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka harus
dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali sampai hari
ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang nyata
dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai dengan
kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada tidaknya
penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak
efektif)
B. Mukolitik
Ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72 jam
pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal. Obat penurun
panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi, atau penderita
kelainan jantung
2.1.10 Komplikasi
1. Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus
2. Perikarditis
3. Pneumotoraks
4. Pneumatokel
5. Meningitis bakterialis
6. Artritis supuratif
7. Osteomielitis.
2.1.11 Prognosis
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini pada
perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa kanak-kanak
dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini morbiditas yang
berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan malnutrisi energi protein dan
yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang lebih tinggi.
2.2 PENYAKIT JANTUNG BAWAAN
2.2.1 Definisi
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Menurut Prof. Dr. Ganesja M Harimurti, Sp.JP (K),
FASCC, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita,
mengatakan bahwa PJB adalah penyakit yang dibawa oleh anak sejak ia dilahirkan akibat
proses pembentukan jantung yang kurang sempurna. Proses pembentukan jantung ini terjadi
pada awal pembuahan (konsepsi). Pada waktu jantung mengalami proses pertumbuhan di
dalam kandungan, ada kemungkinan mengalami gangguan. Gangguan pertumbuhan jantung
pada janin ini terjadi pada usia tiga bulan pertama kehamilan, karena jantung terbentuk
sempurna pada saat janin berusia empat bulan.
2.PJB Sianotik
Sesuai dengan namanya manifestasi klinis yang selalu terdapat pada pasien dengan
PJB sianotik adalah sianosis. Sianosis adalah warna kebiruan pada mukosa yang disebabkan
oleh terdapatnya >5mg/dl hemoglobin tereduksi dalam sirkulasi. Deteksi terdapatnya sianosis
antara lain tergantung kepada kadar hemoglobin.
a. Tetralogy of Fallot (ToF)
Tetralogy of Fallot merupakan salah satu lesi jantung yang defek primer adalah
deviasi anterior septum infundibular. Konsekuensi deviasi ini adalah obstruksi aliran darah ke
ventrikel kanan (stenosis pulmoner), defek septum ventrikel, dekstroposisi aorta, hipertrofi
ventrikuler kanan. Anak dengan derajat yang rendah dari obstruksi aliran ventrikel kanan
menimbulkan gejala awal berupa gagal jantung yang disebabkan oleh pirau kiri ke kanan di
ventrikel. Sianosis jarang muncul saat lahir, tetapi dengan peningkatan hipertrofi dari
infundibulum ventrikel kanan dan pertumbuhan pasien, sianosis didapatkan pada tahun
pertama kehidupan.sianosis terjadi terutama di membran mukosa bibir dan mulut, di
ujungujung jari tangan dan kaki. Pada keadaan yang berat, sianosis langsung ditemukan
b. Pulmonary Atresia with Intact Ventricular
Septum Saat duktus arteriosus menutup pada hari-hari pertama kehidupan, anak
dengan Pulmonary Atresia with Intact Ventricular Septum mengalami sianosis. Jika tidak
ditangani, kebanyakan kasus berakhir dengan kematian pada minggu awal kehidupan.
Pemeriksaan fisik menunjukkan sianosis berat dan distress pernafasan. Suara jantung kedua
terdengar kuat dan tunggal, seringnya tidak terdengar suara murmur, tetapi terkadang murmur
sistolik atau yang berkelanjutan dapat terdengar setelah aliran darah duktus..
c. Tricuspid Atresia
Sianosis terjadi segera setelah lahir dengan dengan penyebaran yang bergantung
dengan derajat keterbatasan aliran darah pulmonal. Kebanyakan pasien mengalami murmur
sistolik holosistolik di sepanjang tepi sternum kiri. Suara jantung kedua terdengar tunggal.
Diagnosis dicurigai pada 85% pasien sebelum usia kehamilan 2 bulan. Pada pasien yang lebih
tua didapati sianosis, polisitemia, cepat lelah, dan sesak nafas saat aktivitas berat
kemungkinan sebagai hasil dari penekanan pada aliran darah pulmonal. Pasien dengan
Tricuspid Atresia berisiko mengalami penutupan spontan VSD yang dapat terjadi secara
cepat yang ditandai dengan sianosis.
2.3.2 Etiologi
Sebelum bayi lahir, ventrikel kanan dan kiri belum terpisah, seiring perkembangan
fetus, sebuah dinding/sekat pemisah antara kedua ventrikel tersebut normalnya terbentuk.
Akan tetapi, jika sekat itu tidak terbentuk sempurna maka timbullah suatu keadaan penyakit
jantung bawaan yang disebut defek septum ventrikel. Penyebab terjadinya penyakit jantung
bawaan belum dapat diketahui secara pasti (idopatik), tetapi ada beberapa faktor yang diduga
mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan (PJB) yaitu:
1. Faktor prenatal (faktor eksogen):
Ø Ibu menderita penyakit infeksi : Rubela
Ø Ibu alkoholisme
Ø Umur ibu lebih dari 40 tahun
Ø Ibu menderita penyakit DM yang memerlukan insulin
Ø Ibu meminum obat-obatan penenang
2. Faktor genetik (faktor endogen)
Ø Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
Ø Ayah/ibu menderita PJB
Ø Kelainan kromosom misalnya sindrom down
Ø Lahir dengan kelainan bawaan yang lain
Ø Kembar identic
Kelainan ini merupakan kelainan terbanyak, yaitu sekitar 30% dari seluruh kelainan
jantung. Dinding pemisah antara kedua ventrikel tidak tertutup sempurna. Kelainan ini
umumnya congenital, tetapi dapat pula terjadi karena trauma. Kelainan VSD ini sering
bersama-sama dengan kelainan lain misalnya trunkus arteriosus, Tetralogi Fallot. Kelainan
ini lebih banyak dijumpai pada usia anak-anak, namun pada orang dewasa yang jarang terjadi
merupakan komplikasi serius dari berbagai serangan jantung.
2.3.3 Patofisiologi
Defek septum ventricular ditandai dengan adanya hubungan septal yang
memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel, biasanya dari kiri ke kanan.
Diameter defek ini bervariasi dari 0,5 – 3,0 cm. Perubahan fisiologi yang terjadi dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningklatkan aliran darah kaya
oksigen melalui defek tersebut ke ventrikel kanan.
2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang akhirnya dipenuhi
darah, dan dapat menyebabkan naiknya tahanan vascular pulmoner.
3. Jika tahanan pulmoner ini besar, tekanan ventrikel kanan meningkat,
menyebabkan piarau terbalik, mengalirkan darah miskin oksigen dari ventrikel
kanan ke kiri, menyebabkan sianosis.
Keseriusan gangguan ini tergantung pada ukuran dan derajat hipertensi pulmoner.
Jika anak asimptomatik, tidak diperlukan pengobatan; tetapi jika timbul gagal jantung kronik
atau anak beresiko mengalami perubahan vascular paru atau menunjukkan adanya pirau yang
hebat diindikasikan untuk penutupan defek tersebut. Resiko bedah kira-kira 3% dan usia ideal
untuk pembedahan adalah 3 sampai 5 tahun.
2.3.9 Komplikasi
Gagal jantung kronik
Endokarditis infektif
Terjadinya insufisiensi aorta atau stenosis pulmonar d
Penyakit vaskular paru progresif
Kerusakan sistem konduksi ventrikel
2.3.10 Penatalaksanaan
Pada VSD kecil: ditunggu saja, kadang-kadang dapat menutup secara spontan.
Diperlukan operasi untuk mencegah endokarditis infektif
Pada VSD sedang: jika tidak ada gejala-gejala gagal jantung, dapat ditunggu sampai
umur 4-5 tahun karena kadang-kadang kelainan ini dapat mengecil. Bila terjadi gagal
jantung diobati dengan digitalis. Bila pertumbuhan normal, operasi dapat dilakukan
pada umur 4-6 tahun atau sampai berat badannya 12 kg.
Pada VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum permanen: biasanya pada
keadaan menderita gagal jantung sehingga dalam pengobatannya menggunakan
digitalis. Bila ada anemia diberi transfusi eritrosit terpampat selanjutnya diteruskan
terapi besi. Operasi dapat ditunda sambil menunggu penutupan spontan atau bila ada
gangguan dapat dilakukan setelah berumur 6 bulan.
Pada VSD besar dengan hipertensi pulmonal permanen: operasi paliatif atau operasi
koreksi total sudah tidak mungkin karena arteri pulmonalis mengalami
arteriosklerosis. Bila defek ditutup, ventrikel kanan akan diberi beban yang berat
sekali dan akhirnya akan mengalami dekompensasi. Bila defek tidak ditutup,
kelebihan tekanan pada ventrikel kanan dapat disalurkan ke ventrikel kiri melalui
defek.
2.3.11 Prognosis
Kemungkinan penutupan defek septum secara spontan cukup besar, terutama pada
tahun pertama kehidupan. Kemungkinan penutupan spontan sangat berkurang pada pasien
berusia lebih dari 2 tahun dan umumnya tidak ada kemungkinan lagi di atas usia 6 tahun.
Secara keseluruhan, penutupan secara spontan berkisar 40-50%.
Beberapa pasien akan berkembang menjadi penyakit vaskuler obstruktif berupa
hipertensi pulmonar akut, Eisenmenger syndrome pada saat terapi referal diberikan serta
terjadinya peningkatan sianosis secara progresif. Penggunaan opsi bedah saat ini memilki
mortalitas kurang dari 2% pada pasien isolasi. Mungkin juga akan ditemukan pasien yang
memerlukan transplan paru atau jantung dan paru.
Daftar Pustaka