Anda di halaman 1dari 49

BAGIAN ILMU MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2020

UNIVERSITAS HALU OLEO

DIABETIC RETINOPATHY

Oleh:

Sitti Rosita, S. Ked

K1A1 15 116

Pembimbing:

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
1

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Sitti Rosita, S.Ked

NIM : K1A1 15 116

Judul Referat : Diabetic retinopathy

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada

bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juli 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M


2

Diabetic retinopathy

Sitti Rosita, Nevita Yonnia Ayu Soraya

A. PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang ditandai

dengan meningkatnya kadar gula darah dalam tubuh yang disebabkan oleh

resistensi insulin atau gangguan produksi insulin. Kondisi hiperglikemia yang

berkepanjangan pada DM dapat menyebabkan berbagai komplikasi baik

makrovaskular dan mikrovaskular. Salah satu komplikasi mikrovaskular yang

tersering adalah retinopati diabetik. Penyakit ini menyebabkan turunnya

fungsi penglihatan karena adanya gangguan pada fungsi retina yang

berpotensi tinggi menyebabkan kebutaan.1

Retinopati diabetik menempati urutan ke-4 sebagai penyebab

kebutaan secara global setelah katarak, glukoma, dan degenerasi makula (age

related macular degeneration). Kelompok umur yang paling sering

mengalami komplikasi ini adalah rentang umur 20-64 tahun. 1

Retinopati diabetes (RD) dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan

klinis. RD nonproliferatif ditandai dengan perubahan vaskulerisasi intraretina,

sedangkan pada RD proliferatif ditemukan neovaskulerisasi akibat iskemi.

Angka kejadian RD pada semua populasi diabetes meningkat seiring durasi

penyakit dan usia pasien. RD jarang terjadi pada anak usia kurang dari 10

tahun, namun risiko meningkat setelah usia puberitas.2

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


3

Bola mata berbetuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bola

mata dibagian depan (kornea) mempuyai kelengkungan yang lebih tajam

sehinggaterdapat betuk dengan 2 lekengkungan yang bereda.3

Gambar 1. Anatomi Mata.6

1. Anatomi Mata

a. Bola Mata (Bulbus oculi)

Bola mata dapat dipandang sebagai suatu sistem dua bola yang

berlainan volume, dimana bola yang lebih kecil terletak di dalam bola

yang lebih besar. Bagian depan dari bola kecil membentuk segmen

anterior mata, sedangkan sebagian besar bola abu-abu membentuk

segmen posterior mata. Segmen anterior dibatasi oleh kornea yang

jernih di depan, serta lensa dan penggantung lensa di belakang.

Sedangkan segmen posterior terletak di belakang lensa. Segmen anterior

terbagi dua, yang terletak di antara lensa dan iris disebut sebagai

kamera okuli posterior, dan yang di antara iris dan kornea disebut

kamera okuli anterior.4


4

b. Dinding Bola Mata

1) Kornea

Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan

transparan dan avaskular, dengan bentuk seperti kaca arloji. Kornea

melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang, dan perbatasan

antara kornea dan sklera ini disebut limbus.4

Gambar 2. Lapisan Kornea.5

Kornea terdiri dari lima lapisan. Lapisan yang terluar

adalahlapisan epitel (kira-kira 6 lapis). Lapisan ini sangat halus dan

tidakmengandung lapisan tanduk sehingga sangat peka terhadap

traumawalaupun kecil.4

Lapisan berikutnya adalah membrana Bowman (lamina

elastika anterior). Ini merupakan selaput tipis yang terbentuk dari

jaringan ikat fibrosa. Lapisan ketiga yang terletak di sebelah dalam

membrane Bowman adalah stroma. Lapisan ini merupakan lapisan

yang paling tebal, yang terdiri atas serabut kolagen yang

susunannya amat teratur dan padat. Susunan kolagen yang demikian

menyebabkan kornea avaskular dan jernih. Setelah stroma, lapisan


5

berikutnyaadalah membran Descemet, atau yang disebut sebagai

lamina elastika posterior.Lapisan terdalam kornea adalah lapisan

endotel..4

2) Sklera

Sklera merupakan lanjutan ke belakang dari kornea. Sklera

merupakan dinding bola mata yang paling keras. Sklera tersusun

atas jaringan fibrosa yang padat, yang terdiri dari kolagen tipe 1,

proteoglikan, elastin, dan glikoprotein. Berbeda dengan kornea,

susunan jaringan fibrosa sklera relatif tidak teratur dibandingkan

kornea, sehingga sklera tidak bening seperti kornea.4

Sklera memiliki dua lubang utama yaitu foramen skleralis

anterior dan foramen skleralis posterior. Foramen skleralis anterior

terbentuk sebagai perbatasan dengan kornea, dan merupakan

tempat melekatnya kornea pada sklera (bandingkan kornea dengan

kaca arloji). Foramen skleralis posterior atau kanalis skleralis

merupakan pintu keluar saraf optik.4

3) Uvea

Uvea terdiri atas iris, badan silier, dan koroid yang secara

anatomis tak terpisah-pisah, namun untuk kepentingan klinis

dipisahkan satu sama lain.4

Uvea merupakan lembaran yangtersusunoleh pembuluh-

pembuluh darah, serabut-serabut saraf, jaringan ikat, otot, dan bagian

depannya (iris) yang berlubang, yang disebut pupil.4


6

a) Iris

Iris berbentuk membran datar dan merupakan kelanjutan

kedepan dari badan silier. Iris berarti pelangi dan disebut

demikian karena warna iris berbeda-beda sesuai etnik (ras)

manusia. Warna iris menentukan warna mata. Mata biru karena

irisnya berwarna biru dan mata coklat karena irisnya berwarna

coklat. Iris terlihat sklerotik dan epitel kapilernya tidak berjendela

(unfenestrated). Apabila iris dipotong, tidak akan ada darah yang

keluar dan juga tidak bisa menyembuh. Pemotongan iris

dinamakan iridektomi.4

Di tengah iris terdapat pupil yang penting untuk mengatur

jumlah sinar yang masuk ke dalam mata. Pada iris terdapat dua

macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaituMusculus

dilatator pupillae (yang melebarkan pupil) dan Musculus

sphincter pupillae (yang mengecilkan pupil).4

b) Badan Silier

Badan silier merupakan bagian uvea yang terletak di

antara iris dan koroid. Batas belakangnya adalah ora serrata.

Badan silier banyak mengandung pembuluh kapiler dan

vena,serta badan silier menghasilkan humor aquous.4

c) Koroid

Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan

terletak antara retina dan sklera, terdiri atas anyaman pembuluh


7

darah. Lapisan koroid dari luar ke dalam berturut-turut adalah

suprakoroid, pembuluh darah koriokapiler, dan membran Bruch.

Karena koroid banyak mengandung pembuluh darah dan retina itu

jernih, maka koroid dapat dilihat dengan oftalmoskop dan tampak

berwarna merah. Refleks fundus merah cemerlang berasal dari

warna koroid.4

4) Retina

Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola mata.

Retina merupakan lapisan terdalam dari bola mata. Lapisan mata

dari luar ke dalam berturut-turut adalah sklera (warna putih), lapisan

koroid, dan yang paling dalam retina. Retina merupakan 2/3 bagian

dari dinding dalam bola mata, lapisannya transparan, dan tebalnya

kira-kira 1 mm. Retina merupakan bagian mata yang mengandung

reseptor yang menerima rangsangan cahaya dan terdiri atas sembilan

lapisan, yaitu :4

a) Membran Limitans Interna

Merupakan membran hialin antara retina dan corpus vitreum.

b) Lapisan Serat Saraf

Mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju

nervus opticus.

c) Lapisan Sel Ganglion

d) Lapisan Pleksiform Dalam


8

Merupakan tempat sinaps sel ganglion dengan sel bipolar dan sel

amakrin.

e) Lapisan Inti Dalam (Nukleus Dalam)

Merupakan tubuh sel muller, sel horizontal, dan sel bipolar.

f) Lapisan Pleksiform Luar

Merupakan tempat sinaps sel fotoreseptor dengan sel horizontal

dan sel bipolar.

g) Lapisan Inti Luar (Nukleus Luar)

h) Membran Limitans Eksterna

i) Lapisan Fotoreseptor

Terdiri atas sel batang dan sel kerucut.

j) Epitel Pigmen Retina

Lapisan ini merupakan lapisan terluar, terdiri atas satu

lapis, dan lebih melekat erat pada koroid dibandingkan pada

retina di sebelah dalamnya. Epitel pigmen retina melekat di

membran basal yang disebut membran Bruch.


9

Gambar 3. Lapisan-lapisan Retina.4

Adanya struktus 9 lapis secara histologis ini disebabkan

oleh letaksel-sel dan serabut saraf yang membentuk retina

sensoris;yaitu sel-sel fotoreseptor, sel-sel bipolar, sel-sel Muller,

dan sel-selhorizontal. Dalam gambar diperlihatkan lapisan sel-sel

secara histologis dan gambar skematis komponen sel-sel yang

membentuk lapisan.4

Pada retina terdapat daerah yang penting untuk

diskriminasi visual yang disebut makula lutea (bintik kuning),

atau disebut sebagai fovea, yang terletak 3,5 mm di temporal

papil N II. Makula lutea mempunyai serabut saraf yang sangat

banyak yang menuju ke papil N II, sehingga makula lebih

terlindung dari kerusakan yang mungkin terjadi pada retina.

Makula merupakan daerah yang lebih gelap di sentral retina.4


10

Daerah makula merupakan daerah yang paling banyak

mengandung fotoreseptor, sel yang dominan yaitu sel konus. Di

tengah makula ada daerah depresi kecil yang disebut fovea.

Fovea mengadung banyak sel konus dan tidak mengandung

basilus. Sel konus mengandung 3 macam pigmen: pigmen yang

sensitif terhadap gelombang panjang (570 nm), merupaka

npigmen yang peka terhadap sinar merah; pigmen yang peka

terhadap gelombang menengah (540 nm), merupakan pigmen

yang peka terhadap sinar hijau; dan pigmen yang sensitif

terhadapgelombang pendek (440 nm), merupakan pigmen yang

pekaterhadap sinar biru.4

c. Ruang dan Isi Bola Mata

1) Kamera Okuli

Ada dua kamera okuli, yaitu camera okuli anterior (COA)

dan camera okuli posterior (COP), yang keduanya berisi humor

aquous. Kedalaman COA adalah 3,4 mm dan volumenya adalah

0,3 mL.

COP dilewati oleh zonula Zinnii seperti telah dijelaskan

sebelumnya. COA dan COP berhubungan lewat celah melingkar

antara tepi pupil dan lensa. Cairan akuos diproduksi oleh badan

silier. Humor aquous berjalan dari COP ke COA, kemudian

melewati trabekulum untuk menuju kanal Schlemm, kemudian ke

kanal kolektor, akhirnya ke sistem vena episklera untuk kembali ke


11

jantung. Tekanan intraokular normal adalah 10 – 20 mmHg, dan

TIO ini meningkat pada peningkatan produksi, penurunan

drainase, maupun gabungan keduanya. Kenaikan TIO secara

umum disebut sebagai glaukoma.4

2) Lensa Mata

Lensa merupakan bangunan bikonveks, tersusun oleh epitel

yang mengalami diferensiasi yang tinggi. Lensa terdiri dari 3

bagian yaitu: (a) kapsul, yang bersifat elastis; (b) epitel, yang

merupakan asal serabut lensa; dan (c) substansi lensa yang lentur.

Panjang lensa manusia pada saat lahir kira-kira 6,4 mm antar

ekuator, 3,5 mm anteroposterior, dan memiliki berat kurang lebih

90 mg. Saat dewasa, ukuran lensa berubah menjadi 9 mm antar

ekuator, 5 mm anteroposterior, dan memiliki berat 255 mg.4

d. Adneksa

Adneksa atau alat tambahan meliputi palpebra, kelenjar air

mata dan salurannya.

1) Palpebra

Palpebra adalah termasuk komponen eksternal mata yang

berupa lipatan jaringan yang mudah bergerak dan berperan

melindungi bola mata dari depan. Pada tepi palpebra terdapat

bulu mata (silia) yang berguna untuk proteksi mata terhadap sinar, di

samping juga terhadap trauma-trauma minor. Di dalam palpebra

terdapat tarsus, yaitu jaringan ikat padat bersama dengan jaringan


12

elastik. Lapisan otot palpebra tersusun atas Muskulus orbikularis

okuli, Muskulus levator palpebra, dan Muskulus tarsalis superior

dan inferior.4

Pada palpebra terdapat empat macam kelenjar, yaitu kelenjar

Meibom menghasilkan sebum (minyak) yang merupakan lapisan

terluar air mata. Kelenjar Zeis berhubungan dengan folikel rambut

dan juga menghasilkan sebum. Kelenjar Moll merupakan kelenjar

keringat. Kelenjar lakrimal tambahan (aksesoria) terdiri atas kelenjar

Krause dan kelenjar Wolfring yang keduanya terdapat di bawah

konjungtiva palpebra.4

2) Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan mukosa (selaput lendir)

yang melapisi palpebra bagian dalam dan sklera. Konjungtiva dibagi

menjadi konjungtiva bulbi, palpebra, dan forniks. Konjungtiva bulbi

melapisi bagian depan berupa lapisan tipis, transparan, dan

tampakpembuluh darah. Konjungtiva palpebra melapisi bagian

dalam palpebra dan melekat erat pada tarsus sehingga tidak dapat

digerakkan. Konjungtiva forniks terletak di antara konjungtiva bulbi

dan palpebra, dan berada pada forniks.4

e. Otot Ekstraokuler Orbita

Bola mata memiliki 2 kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan

otot ekstrinsik. Otot intrinsik bersifat involunter, terdiri dari otot siliaris

(sfingter dan dilator iris) dan otot-otot yang terdapat di dalam bola
13

mata yang berperan dalam mengatur gerakan struktur internal bola

mata. Otot ekstrinsik bersifat volunter, terdiri dari otot-otot

ekstraokular yang berperan dalam mengatur gerakan bola mata.5

Otot ekstraokular terdiri dari 7 otot, yaitu 4 otot rektus, 2 otot

oblik dan 1 otot levator palpebra. Secara umum otot ekstraokular

berperan dalam menggerakkan bola mata, tetapi otot levator palpebra

memiliki fungsi yang berbeda. Otot ini berfungsi untuk elevasi palpebra

superior. Otot ekstraokular terdiri dari 6 otot utama yaitu rektus

superior, rektus medial, rektus inferior, rektus lateral dan 2 otot oblik

yaitu oblik superior dan oblik inferior. Otot-otot ini terletak di dalam

rongga orbita dan dikelilingi oleh lemak serta jaringan ikat fibroelastik.

Otot ekstraokular membentuk kerucut otot (musclecone) pada bagian

posterior dari garis ekuator bola mata. Jaringan lemak mengisi bagian

dalam kerucut tersebut.5

Gambar 4. Otot Ekstraokuler.5

2. Fisiologi Penglihatan
14

Gambar 5: Fisiologi mata pada penglihatan normal

Mata adalah organ sensorik kompleks kecil yang fungsinya dekat

dengan fungsi kamera, terdiri atas:

 Kornea transparan pertama menangkap cahaya eksternal dan cahaya

difokuskan pertama kali, tergantung pada kelengkungan kornea.

Kornea memiliki ketebalan sekitar 500-600μ dan ketebalannya

terutama ditentukan oleh lapisan dalam transparan (stroma).

 Cahaya kemudian melewati pupil, yang berfungsi mengatur jumlah

cahaya yang masuk ke mata (pupil adalah bukaan yang terletak di

bagian tengah iris berwarna).

 Lensa kristal adaptif mata yang terletak di belakang pupil

memfokuskan cahaya lebih jauh. Lensa ini mengubah bentuk,

mengubah fokus jarak mata sehingga dapat fokus pada benda yang ada

di berbagai jarak. Proses ini disebut "akomodasi".

 Akhirnya, cahaya difokuskan pada retina, jaringan peka cahaya yang

melapisi permukaan bagian dalam mata. Retina mengubah gambar


15

optik menjadi sinyal elektronik yang ditransmisikan ke sistem saraf

pusat melalui saraf optik.6

C. DEFINISI

Retinopati diabetik (RD) ialah suatu kelainan mata pada pasien

diabetes yang disebabkan karena kerusakan kapiler retina dalam berbagai

tingkatan, sehingga menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang

ringan sampai berat bahkan sampai terjadi kebutaan total dan permanen.

RD dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis. RD nonproliferatif

ditandai dengan perubahan vaskulerisasi intraretina, sedangkan pada RD

proliferatif ditemukan neovaskulerisasi akibat iskemi.2,7

Retinopati diabetik dihubungkan dengan stres metabolik yang

diinduksi oleh hiperglikemia, yang menyebabkan penebalan vascular

basement membrane retina dan merusak semua major cell retina, termasuk

endothelial dan pericytes. Inflamatory dan structural neurodegenerative

changes sering didapatkan pada early stage dari perubahan microvascular

yang menyertai retinopati diabetik. Eary retinal non-perfusion pada pasien

diabetes dapat menyebabkan ischemia dan gangguan oxygenation retinal

neurons, dan nampaknya berhubungan dengan leukositosis, yang

mempunyai dampak yang penting dalam berlangsungnya capillary non-

perfusion.8

D. EPIDEMIOLOGI
16

Diabetes menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting dan terus

meningkat. Thun 2010, diperkirakan 285 juta oran, 6,4% populasi dunia,

mengidap diabetes mellitus. Tahun 2015 pengidap diabetes mellitus

meningkat menjadi 415 juta. International Diabetes Federation telah

memprediksi peningkatan jumlah individu dengan diabetes sebesar 552 juta

pad tahun 2030, dengan prevalensi 7,7%. Sebelumnya, diabetes melitus

merupakan masalah pada negara-negara maju, namun dengan peningkatan

urbanisasi, pola hidup yang monoton, penuaan pada populasi, dan obesitas di

seluruh dunia, diabetes mellitus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang

penting di negara-negara berkembang. Dalam waktu dekat, 80% populasi

diabetes dunia akan berasal dari low-income dan middle-income countries

dengan 60% berasal dari Asia. Kebanyakan pasien diabetes di negara barat

adalah orangtua, namun pasien diabetes di negara Asia biasanya usia muda

hingga pertengahan. Dengan peningkatan kecenderungan obesitas pada anak-

anak, banyak individu usia muda berisiko mengalami diabetes mellitus.9

Meta-analysis for Eye Disease (META-EYE) mengumpulkan data dari

22.986 subjek dari 35 penelitian population-based dari United States,

Australia, Europe, dan Asia. usia rata-rata 58,1 tahun dengan median durasi

diabetes 7,9 tahun dan median HbA1c ,0% (rentang 6,9-9,9%). Lima puluh

dua persen adalah wanita. Etnik yang termasuk yaitu44.4% Caucasian, 30%

Asian, 13,9% Hispanic, dan 8,9% African American. Prevalensi DR dan

VTDR pada penelitian meta-analysis ini sebesar 34,6% dan 10,2% berturut-

turut. Vision-threatening diabetic retinopati didefinisikan sebagai adanya


17

proliferative DR (PDR), severe nonproliferative diabetic retinopathy

(NPDR), atau diabetic macular oedema. Tidak terdapat perbedaan prevalensi

DR berdasarkan jenis kelamin. American National Health and Nutrition

Examination Survey (NHNES, 2005-2008) melaporkan DR pada 28,8%

pasien diabetik dan VTDR sebesar 4,4%. Prevalensi DR dilaporkan lebih

tinggi pada negara berkembang. Pedesaan di China, sebagai contoh,

melaporkan 43% pasien diabetik memiliki DR, dan 6,3% memiliki VTDR.9

Prevalensi diabetes mellitus untuk Indonesia cukup besar menurut

Rikesdas sebesar 14.7% dari populasi dikawasan urban terancam DM. Jika

di proyeksikan, sebanyak 8.2 juta penduduk di urban dan 5.5 juta penduduk

rural area Indonesia mengalami diabetes, yang artinya akan terjadi

penambahan jumlah penderita retinopati diabetik yang signifikan. Menurut

Perkiraan WHO pada tahun 2002 penyebab kebutaan paling utama adalah

katarak (47.8%), glaucoma (12.3%), uveitis (10.2%), age macular

degereration (AMD) (8.7%), trachoma (3.6%), corneal opacity (5.1%), dan

diabetic retinopathy. The Diabcare Asia 2008 Study imelibatkan 1785

penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan

melaporkan 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati dan 6.4%

diantaranya merupakan retinopati diabetik proliferative. The Diabcare Asia

2008 Study imelibatkan 1785 penderita DM pada 18 pusat kesehatan di

Indonesia dan melaporkan 42% penderita DM mengalami komplikasi

retinopati dan 6.4% diantaranya merupakan retinopati diabetik proliferatif 10


18

Prevalensi dan insiden DR pada diabetes mellitus tipe 1 mungkin menurun

pada negara-negara industri. Sebuah penelitian, insiden PDR dan severe

vision loss antara 1986-2008 dan 1975-1985 dalam penelitian cohort sebesar

2,6% dan 19,5% dn 3,2% dan 9.7%, berturut-turut. Insiden tahunan PDR juga

menurun dalam penelitian cohort WESDR, dari 3,4% menjadi 1,4%, pada

pasien diabetes mellitus tipe 1. Penelitian WESDR melaporkan 25-year

cumulative rate of improvement sebesar 18% (95% CI, 13-21%) pada pasien

DR, yang diduga sebagai hasil kontrol glikemik yang membaik dan mungkin

akses yang lebih mudah ke pelayanan kesehatan (Bandello dkk, 2019), yang

diduga sebagai hasil kontrol glikemik yang membaik dan mungkin akses

yang lebih mudah ke pelayanan kesehatan.9

E. FAKTOR RISIKO

Patogenesis retinopati diabetik adalah multifaktorial dan kompleks.

Penelitian Meta-analysis for Eye Disease (META-EYE) menemukan bahwa

durasi diabetes, kontrol glikemi yang kurang, dan tekanan darah tinggi

merupakan faktor mayor dalam menyebabkan retinopati diabetik. Faktor

risiko lain termasuk dislipidemia, status sosioekonomi rendah, kehamilan,

dan pubertas. Retinopati diabetik juga dapat mempunyai komponen genetik

yang berkaitan dengan perkembangan retinopati diabetik. Beberapa loci

genetik dihubungan dengan patogenesis diabetes mellitus tipe 1 dan 2.9


19

1. Durasi diabetes mellitus

Terdapat hubungan positif yang kuat antara durasi diabetes dan

prevalensi dan progresi retinopati diabetik. Hampir semua pasien dengan

diabetes mellitus tipe 1 dan lebih dari tiga perempat pasien dengan

diabetes mellitus tipe 2 akan mempunyai beberapa bentuk retinopati

diabetik setelah 20 tahun kesakitan. Penelitian oleh Wisconsin

Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR) menunjukkan

bahwa antara pasien diabetes melitus dengan onset termuda, prevalensi

retinopati meningkat secara progresif dari 8% pada 3 tahun menjadi 25%

pada 5 tahun, dan meningkat 60% pada 10 tahun, dan 80% pada 15

tahun, dan prevalensi proliferative diabetic retinopathy (PDR) meningkat

dari 0% pada 3 tahun menjadi 25% pada tahun.9

2. Kontrol glikemik

Hipergikemia kronik merupakan faktor risiko yang dapat

dimodifikasi yang paling penting terhadap onset dan progresi retinopati

diabetik. Penelitian WESDR menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang

buruk meningkatkan insiden dan progresi komplikasi mikrovaskuler

diabetes, tipe diabetes independen. The Diabetic Control and

Complications Trial (DCCT) menunjukkan bahwa di antara pasien

insuin-independent diabetic, kontrol intensif glukosa darah mengurangi

risiko progersi retinopati diabetik secara signifikan sebanyak 54% dan

risiko untuk terjadinya retinopati diabetik sebanyak 76%. UK

Prospective Diabetics Study (UKPDS) juga menunjukkan bahwa


20

perbaikan kontrol glukosa darah dengan terapi intensif mengurangi

tingkat komplikasi mikrovaskuler sebanyak 25% pada pasien non-insulin

dependent diabetic.9

International Expert Committee, World Health

Organization(WHO) dan American Diabetes Association (ADA) telah

merekomendasikan penggunaan kadar HbA1c 6,5% atau lebih sebagai

kriteria diagnostik diabetes mellitus. Cutoff point spesifik 6,5% untuk

HbA1c berdasarkan data yang dikumpulkn dari sembilan penelitian yang

menunjukkan prevalensi retinopati moderate meningakat pada kadar

6,5%. Hubungan yang sangat kuat ditemukan antara HbA1c dan

retinopati diabetik.9

Akumulasi insiden retinopati diabetik 10 tahun setelah diabetes

mellitus tipe 1 terdiagnosis sekitar 90% pada pasien denga HbA1c antara

10,2 dan 11,5%. Pasien dengan HbA1c 6,5-6,9% mempunyai risiko 2,35

kali lebih tinggi untuk mengalami retinopati diabetik pada 3 tahun

dibanding pasien dengan kadar HbA1c 5,0-5,4%. Penelitian oleh

META-EYE menunjukkan prevalnesi retinopati diabetik meningkat dari

18,0 menjadi 51,2% ketika HbA1c meningkat dari ≤7.0 menjadi >9,0%.

WESDR menunjukan bahwa diabetes mellitus tipe 1 setiap peningkatan

1% kadar HbA1c, risiko terjadinya retinopati diabetik meningkat hingga

1,21 kali. Penurunan HbA1c sebesar 10% menunjukkan penurunan risiko

komplikasi mikrovaskuler sebesar 43%. Beberapa pasien tidak


21

mengalami komplikasi mikrovaskuler meskipun kontrol yang buruk,

namun keadaaan ini sangat jarang.9

Hiperglikemik kronik merangsang stes oksidatif dan meningkatkan

produksi reactive oxygen species. Keadaan tersebut menginisiasi sebuah

kaskade yang menyebabkan disfungsi sel endotelial pembuluh retina

yang menghasilkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah retina,

penebalan membrana basalis, peningkatan angiogenesis, dan progresi

retinopati diabetik. Stres oksidatif menginisiasi dan memediasi respon

inflamasi yang kuat meningkatkan proses pada jalur polyol; ekspresi

produk akhir glycation lanjut; menstimulasi pelepasan sitokin; interleukin

( IL-1, IL-6. IL-8), TNF-alpha, dan mediator-mediator lain seperti nitric

oxide dan prostaglandin; dan overactivtion protein kinase C. Model

hewan yang diinduksi diabetes mellitus memperlihatkan peningkatan

reseptor vascular endothelial growth factor (VEGF) dengan adanya

hiperglikemik yang persisten. Metode untuk menurunkan hiperglikemik

kronik dapat menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan neuronal dari

diabetes.9

3. Hipertensi

Kontrol hipertensi yang buruk akan memperburuk retinopati

diabetik. Hipertensi dapat menjadi faktor risiko independen terhadap

retinopati diabetik pada diabetes mellitus tipe 2. Penelitian META-EYE

menunjukkan bahwa prevalensi retinopati diabetik meningkat dari 30,8

menjadi 39,6% dan dari jumlah tersebut visual-threatening diabetic


22

retinopathy (VTDR) meningkat dari 7,60 menjadi 17,63% ketika pasien

diabetik dengan tekanan darah ≤140/90 mmHg dibanding dengan pasien

diabetik dengan tekanan darah >140/90 mmHg. Secara relatif risiko

untuk berkembang menjadi retinopati diabetik sebesar 1,5 dengan

tekanan sistolik antara 125 hingga 139 mmHg dan 2,8 pada tekanan

sistolik lebih dari 140 mmHg.9

United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS)

menunjukkan bahwa kontrol intensif tekanan darah (<150/85 mmHg)

pada pasien dengan hipertensi dengan diabetes mellitus tipe 2

memperlihatkan sebuah penurunan risiko yang signifikan sebesar 34%

dari perburukan two-step pada tingkat retinopati dan penuruanan risiko

perburukan sebesar 47% dalam Early Treatment Diabetic Retnopathy

Study (ETDRS) VA dengan tiga baris atau lebih. Meskipun demikian,

penurunan risiko tidak menetap ketika kontrol tekanan darah tidak

dipertahankan seperti yang terlihat pada akhir penelitian tersebut.

meskipun efek yang menguntungkan dari kontrol intensif tekanan darah

pada seseoran dengan diabetes mellitus tipe 2 telah diitemukan dalam

berbagai percobaan, efeknya terhadap retinopati diabetik pada diabetes

mellitus tipe 1 belum dapat disimpulkan.9

Mekanisme di mana hipertensi memperburuk retinopati diabetik

masih belum jelas. Pasien diabetik dengan hipertensi mempunyai risko

yang tinggi untuk berkembang menjadi retinopati diabetik. Diabetes dan

hipertensi keduanya merupakan faktor independen untuk disfungsi


23

endotelial. Hipertensi dapat menyebabkan gangguan autoregulasi

vaskuler retina, terutama dengan adanya glukosa darah yan meningkat.

Hipertensi dapat merangsang kerusakan yang berhubungan dengan stres

oksidatif dan inflamasi akibat diabetes. Retinopati diabetik kelihatannya

lebih cepat berprogres jika disertai hipertensi. Sistem renin angiotensin

aldosteron (dengan angiotensin II) yang mengatur tekanan darah ikut

berperan dalam merangsang perubahan mikrovaskuler pada retinopati

diabetik. Angiotensi II, selain menjadi vasokonstriktor arteriola yang

kuat, juga menstimulasi sekresi VEGF.9

4. Etnik dan perbedaan genetic

Perbedaan etnik dapat mempengarui prevalensi retinopati

diabetik. Individu di Asia Selatan dan yang berasal dari etnik Hispanic

lebih rentan untuk mengalami retinopati diabetik dibanding dengan kulit

putih. Beberapa penelitian telah memperlihatkan prevalensi retinopati

diabetik yang lebih tinggi pada Mexican American dbanding dengan non-

Hispanic White, namun yang lain tidak. Prevalensi retinopati diabetik dan

VTDR tertinggi dikalangan African American (49,6%, 16,9%, berturut-

turut) dan terendah pada Asian (19%, 9,2%, berturut-turut). Prevalensi

proliferative diabetic retinopati (PDR) tertinggi pada berkulit putih

(12,0%) dan terendah pada Asia Selatan (1,29%). Belum diketahui

apakah perbedaan tersebut akibat genetik, namun banyak penelitian

mengatakan berhubungan.9
24

Genetik mungkin merupakan predisposisi untuk terjadinya

retinopat diabetik. Suspektibilitas retinopati diabetik dapat bervariasi

akibat polimorfisme genetik etnik spesifik dari berbagai jalur biokimia

yang terlibat dalam patogenesis retinopati diabetik atau akibat tingkat

faktor risiko yang bervariasi pada etnik yang berbeda. Efek dari faktor

perancu lainnya, seperti urbanisasi, akses ke pelayanan kesehatan, dan

status sosioekonomi, dapat dievaluasi pada penelitian kedepannya.

Variasi genetik pada ekspresi gen eritropoetin dan adiponektin juga dapat

berperan.9

Penelitian genetik yang berhubungan, meskipun terbatas,

memperlihatkan estimasi heritabilitas sebesar 27-52%. Genome-wide

association studies (GWAS) belum memverifikasi resiko locus yang

dapat dihasilkan retinopati diabetik. hingga saat ini, varian pada locus

GBR2 telah diidentifikasi kemungkinan keterlibatan dengan kejadian

retinopati diabetik pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2. Penelitian

lebih lanjut dibutuhkan untuk menjelasan hubungan genetik dengan

retinopati diabetik.9

5. Obesitas

Banyak penelitian menunjukkan bahwa indeks massa tubuh yang

tinggi merupakan faktor risiko retinopati diabetik. EURODIAB

Prospective Complication Study mengutip bahwa obesitas sentral atau

lingkat lengan atas yang besar merupakan faktor risiko independen untuk

terjadinya retinopati diabetik pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1.


25

Dirani dan teman penelitiannya menunjukkan bahwa indeks massa tubuh

dan lingkat leher secera independen berhubungan dengan ditemukan dan

tingkat keparahan retinopati diabetik. Risiko untuk memiliki retinopati

diabeti meningkat tiga kali lipat pada obesitas. Data WESDR

menunjukkan obesitas (indeks massa tubuh 31.0 kg/m 2 untuk laki-laki

dan 32,1 kg/m2 untuk wanita) meningkatkan tingkat keparahan retinopati

diabetik dan progresifitasnya, namun hasil ini tidak signifikan secara

statistika.9

Mekanisme patofisiologi hubungannya antara retinopati diabetik

dan obesitas masih belum jelas. Pada model hewan diabetik, tanda

inflamasi dan proangiogenik meningkat dalam keadaan obesitas.

Obesitas juga berhubungan dengan hiperlipidemia dan hiperten,si, di

mana kedunya adalah faktor risiko retinopati diabetik.9

Penelitian META-EYE menunjukkan kecenderungan prevalensi

yang tinggi VTDR pada pasien diabetik dengan kadar kolesterol ≥4,0

mmol/L. Serum kolesterol berhubungan dengan prevalensi diabetic

macular edema yang tinggi pada penelitian ini.9

Terapi dengan fenofibrate, sebuah pengobatan untuk menurunkan

trigliserida (dalam kombinasi dengan statin dalam banyak kasus), telah

menunjukkan menurunkan progresi retinopati diabetik sebesar 30-40%

dalam 4-6 tahun pada individu dengan diabetes mellitus tipe 2 dalam

penelitian FIELD dan ACCORD-EYE. Mekanismenya masih belum jelas

dan efeknya tidak tergantung dengan kadar lipid serum. Fenofibrate


26

adalah peroxisome proliferator-activated reseptor (PPAR) α-agonist dan

mempunyai efek antiinflamasi dan kandungan antioksidan. Fenofibrate

memacu ekspresi dan aktivasi enzim antioksidan, seperti superoxide

dismutase dan glutathione peroxidase, yang meninhibisi leukostasis dan

bocornya vaskuler retina. PPAR α-agonist juga menginhibisi ekspresi

VEGF receptor 2 (EGFR2) dan menurunkan ekspresi VEGF.9

6. Status sosioekonomi

Perbedaan derajat kesehatan dapat dihubungkan dengan

perbedaan dalam status sosiekonomi. Dampak penuh status

sosioekonomi pada diabetes belum dietahui. Banyak faktor seperti gaya

hidup, kebiasaan sehat, dan akses sistem pelayanan kesehatan dapat

merancu. Kelompok sosioekonomi yang tinggi pada negara berkembang

lebih mengarah ke gaya hidup yang menetap dan mempunyai diet tinggi

kalori dan lebih obes dibanding seseorang dengan status sosioekonomi

yang rendah. Perbedaan ini dapat meniadakan keuntungan akan akses

kesehatan yang lebih baik bagi seseorang yang kaya. Prevalensi

hipertensi dan hiperkolesterolemia meningakat pada kebanyakan

populasi pada negara berkembang, China dan India, berkontribusi pada

peningkatan retinopati diabetik. Obesitas terus meningkat pada negara

berkembang, sehingga meningkatkan risiko diabetes mellitus, meskipun

demikian, peningkatan angka harapan hidup merupakan faktor kontribusi

utama dalam peningkatan prevalensi diabetes mellitus.9

7. Faktor risiko lain


27

Penting halnya untuk memperhatikan faktor risiko sistemik.

Meskipin HbA1c, tekanan darah, dan serum kolesterol total merupakan

faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang penting dalam perkembangan

menjadi retinopati diabetik, faktor tersebut hanya menyumbang proporsi

risiko yang kecil (~10%). Sebagaimana diutarakan oleh Antonetti et al.,

faktor risiko lain seperti sleep apnea, non-alcoholic fatty liver, dan serum

prolaktin, adiponektin, dan homocysteine. Diet dan nutrisi dicurigai

berperan dalam terjadinya retinopati diabetik. penelitian dalam bidang ini

jarang dan kontroversial. Beberapa menggagaskan bahwa diet

Mediterranean dengan isian yang banyak buah, sayuran, dan ikan

memberi proteksi terhadap perkembangan menjadi retinopati diabetik.

faktor tambahan yang tidak teridentifikasi juga dapat mempunyai efek

pada progresi retinopati diabetik(Bandello dkk, 2019). Pubertas dan

kehamilan juga diketahui merupakan faktor risiko retinopati diabetik

pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1.9

F. PATOGENESIS

Retina merupakan bagian dari sistem saraf pusat, dengan karakter

blood-retinal barrier (BRB) yang menyerupai karakter blood-brain

barrier (BBB). Retina terdiri atas 10 lapisan berbeda. Melalui lapisan-

lapisan retina, pembuluh darah memberi nutrisi dan oksigen, dan dapat

dibagi menjadi lapisan mikrovaskuler superfisial (arteriol dan venul),

lapisan kapiler medial, dan lapisan kapiler dalam.2

1) Hiperglikemia dan Mikrovaskulopati Retina


28

Retinopati Diabetik telah lama dikenal sebagai penyakit

mikrovaskular. Hiperglikemia dianggap berperan penting dalam

patogenesis kerusakan mikrovaskuler retina. Berbagai jalur

metabolisme telah terlibat dalam kerusakan pembuluh darah yang

diinduksi hiperglikemia termasuk polyol pathway, Advanced

glycation end products (AGEs), jalur protein kinase C (PKC) dan jalur

hexosamine.11

Polyol Pathway

Aldose reductase mereduksi glukosa menjadi sorbitol dengan kofaktor

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Kemudian

sorbitol diubah menjadi fruktosa oleh sorbitol dehydroginase (SDH).

Sorbitol bersifat hidrofilik dan tidak dapat berdifusi ke dalam

membran sel, sehingga terjadi akumulasi yang menyebabkan

kerusakan osmotik endotel pembuluh darah retina, kehilangan perisit,

dan penebalan membran basement. Fruktosa berikatan dengan fosfat

menjadi fructose-3-phosphate dan kemudian dipecah menjadi 3-

deoxyglucosone, yang nantinya dibentuk menjadi advanced glycation

end products (AGEs).2


29

Gambar 6. Polyol Pathway

Advanced glycation end products (AGEs)2

AGE merupakan protein atau lemak yang dihasilkan dari reaksi

glikasi non-enzimatik dan oksidasi setelah terpapar gula aldose.

Produk awal reaksi non-enzimatik adalah schiff base, yang kemudian

spontan berubah menjadi Amadori product. Proses glikasi protein dan

lemak menyebabkan perubahan molekuler yang menghasilkan AGE.

AGE ditemukan di pembuluh darah retina dengan kadar serum

berkorelasi dengan derajat keparahan retinopati. AGE dapat berikatan

dengan reseptor permukaan sel seperti RAGE, galectin-3, CD36, dan

reseptor makrofag. AGE memodifikasi hormon, sitokin, dan matriks

ekstraseluler, sehingga terjadi kerusakan vaskuler. Selain itu, AGE

juga menghambat sintesis DNA, meningkatkan mRNA VEGF,

meningkatkan NF-kB di endotelium vaskuler, dan memicu apoptosis

perisit retina.2

Gambar 7. Formasi advanced glycation end products (AGEs).2


30

Aktivasi Protein Kinase C (Pkc) Pathway

PKC merupakan serine kinase yang berperan dalam transduksi

hormonal, neuronal, dan stimulus growth factor. Keadaan

hiperglikemia meningkatkan sintesis diacylglycerol (DAG), yang

merupakan aktivator PKC. PKC β1/2 berperan penting dalam proses

terjadinya retinopati diabetes. Aktivasi PKC berperan dalam kejadian

komplikasi diabetes, seperti: perubahan aliran darah, mengatur sintesis

protein matriks ekstraseluler, permeabilitas pembuluh darah,

angiogenesis, sel pertumbuhan, dan enzymatic activity alteration

(MAPK). Selain itu, vascular endothelial growth factor (VEGF) di

jaringan retina juga ikut meningkat, memicu terjadinya edema makula

dan retinopati proliferasi.2

Gambar 8 . Regulasi proses patofisiologi retinopati diabetes2

Respons awal pembuluh darah retina terhadap hiperglikemia

adalah perubahan dilatasi pembuluh darah dan aliran darah. Perubahan

ini dianggap autoregulasi metabolic untuk meningkatkan metabolisme


31

retina pada subyek diabetes . Kehilangan pericyte adalah ciri khas lain

dari awal DR. Bukti apoptosis pericytes yang dipicu oleh glukosa

tinggi telah ditunjukkan dalam studi in vitro dan in vivo. Karena

pericytes bertanggung jawab untuk menyediakan struktural dukungan

untuk kapiler, hilangnya kapiler menyebabkan outpouching dinding

kapiler yang terlokalisir. Proses ini dikaitkan dengan pembentukan

mikroaneurisma, yang merupakan tanda klinis paling awal dari DR .

Sebagai tambahan untuk kehilangan pericyte, apoptosis sel endotel

dan penebalan membran basal juga terdeteksi selama patogenesis DR,

yang secara kolektif berkontribusi pada penurunan nilai BRB. Lebih

lanjut, kehilangan pericytes dan sel endotel yang nyata menyebabkan

oklusi kapiler dan iskemia. Iskemia / hipoksia retina menyebabkan

peningkatan regulasi VEGF melalui aktivasi hypoxia-inducible factor

1 (HIF-1). Bukti lain menunjukkan bahwa fosfolipase A2 (PLA2)

peningkatan dalam kondisi diabetes juga memicu peningkatan regulasi

VEGF. VEGF, faktor kunci terlibat dalam perkembangan PDR dan

DME, diyakini dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler dengan

menginduksi fosforilasi protein persimpangan ketat seperti occludin

dan zonula occludens-1 (ZO-1). Selain itu, sebagai faktor angiogenik,

VEGF mempromosikan proliferasi sel endotel melalui aktivasi protein

mitogen-activated (MAP). Ekspresi VEGF yang ditingkatkan telah

terdeteksi di retina tikus diabetes, serta cairan vitreus pasien dengan

DME dan PDR.11


32

Permeabilitas vaskular dengan berinteraksi dengan reseptor

tirosin tiase kinase Tie2. Ang-2, antagonis Tie2, telah terbukti

meningkatkan kebocoran vaskular pada retina tikus diabetes.

Diperkirakan bahwa faktor angiogenik selain VEGF mungkin terlibat

dalam perubahan microvasculature selama DR; dengan demikian,

mereka dapat memberikan target terapi baru.11

2) Peradangan

Peradangan memainkan peran penting dalam patogenesis DR.

Peradangan kronis tingkat rendah telah terdeteksi secara luas dalam

berbagai tahap DR di kedua model hewan diabetes dan pasien.

Leukostasis telah diakui sebagai proses kunci pada tahap awal DR.

Pertama melaporkan oklusi mikrovaskularis retina oleh monosit dan

granulosit dalam streptozotocin (STZ) tikus diabetes yang diinduksi.

Peningkatan kepatuhan leukosit terdeteksi di retina pembuluh darah

sedini tiga hari setelah induksi diabetes pada tikus. Para peneliti juga

menemukan bahwa peningkatan leukostasis secara spasial berkorelasi

dengan kerusakan endotelium dan penurunan BRB pada tikus

diabetes. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa leukostasis

berkontribusi terhadap hilangnya sel endotel dan pemecahan BRB

melalui jalur Fas (CD95) / Fas-ligand.11

Adhesi leukosit-endotelium yang dimediasi oleh molekul adhesi telah

terlibat dalam leukostasis pada diabetes. Peningkatan adhesi leukosit

dan ekspresi leukosit yang diregulasi b2-integrins CD11a, CD11b, dan


33

CD18 dilaporkan pada tikus diabetes dan pasien. Selain itu,

molekul adhesi sel endotel seperti molekul adhesi antar sel (ICAM-1),

sel vascular molekul adhesi (VCAM) -1 dan selektin (E-selektin) juga

ditemukan meningkat dalam diabetes hewan dan pasien. Ekspresi

VCAM-1 dan E-selectin dalam plasma pasien adalah

berkorelasi dengan tingkat keparahan DR. Kekurangan genetik CD18

atau ICAM-1 menghasilkan secara signifikan mengurangi leukosit

adheren. Penghambatan CD18 atau ICAM-1 dengan anti-CD18 F

(ab9) 2 fragmen atau antibodi menurunkan leukostasis retina dan lesi

vaskular pada tikus diabetes.11

Kemokin, yang mengatur ketertarikan dan aktivasi leukosit, juga telah

terbukti terlibat dalam patogenesis DR. Kemokin seperti protein

chemotactic-1 monocyte (MCP-1), macrophage inflammatory protein-

1alpha (MIP-1), dan MIP-1 telah dilaporkan meningkat pada pasien

diabetes. Kekurangan MCP-1 menyebabkan berkurangnya kebocoran

pembuluh darah retina pada tikus diabetes. Selanjutnya, sitokin

inflamasi seperti tumor necrosis factor alpha (TNF-), interleukin 6

(IL-6), IL-8 dan IL-1 secara signifikan diregulasi pada pasien

diabetes, dan tingkat ekspresi mereka berkorelasi dengan tingkat

keparahan DR.11

3) Stres oksidasi

Salah satu faktor penyebab retinopati diabetes adalah

ketidakseimbangan antara pembentukan dan eliminasi reactive oxygen


34

species (ROS). Pada fisiologi normal, ROS membantu tubuh untuk

merusak mikroorganisme asing yang dapat merusak sel. Akan tetapi,

kadar ROS tinggi dapat merusak sel melaui peroksidase lipid,

modifikasi DNA, destruksi protein, dan kerusakan mitokondria. ROS

mengaktifkan poly-(ADP-ribose) polymerase (PARP). PARP

menghambat glyceraldehyde phosphate dehydrogenase (GAPDH),

sehingga terjadi akumulasi metabolit glikolitik. Metabolit ini

kemudian mengaktifkan AGE, PKC, polyol, dan hexosamine pathway,

sehingga memperburuk keadaan retinopati.2

G. KLASIFIKASI

Pada RD terjadi penurunan secara perlahan tajam penglihatan tanpa

disertai mata merah. Gangguan tajam penglihatan dapat dikaitkan dengan

keadaan kebocoran kapiler, oklusi kapiler, dan neovaskulerisasi. RD dapat

dikelompokkan berdasarkan keadaan klinis, yaitu retinopati diabetes

nonproliferatif dan retinopati diabetes proliferatif. Pada retinopati diabetes

nonproliferatif terdapat derajat ringan, sedang, dan berat (AAO).2

Tabel 1. Derajat keparahan retinopati diabetes menurut Early Treatment

Diabetic Retinopathy Study2


35

H. TEMUAN KLINIS9

Manifestasi klinis retinopati diabetik menggambarkan kerusakan

pembuluh darah retina dan akibat yang ditimbulkan termasuk retinal

hemorrhage (Gambar 9), nerve fiber layer infarcts (Gambar 9), retinal

edema (Gambar 10), venous beading (Gambar 11), intraretinal micovacular

abnormalities (Gambar 11), venous loop (Gambar 12), retinal vacular

occusion (Gambar 11 dan 13), retinal neovascularization (Gambar 13 dan

14), vitreus hemorrhage (Gambar 13 dan 14) dan retinal detachment

(Gambar 15). Bukti secara klinis lesi vaskuler retinal didahului dengan proses

vasodegenatif pada retinopati diabetik awal; hal ini termasuk penebalan

membran basement pembuluh darah retina, hilangnya pericytes, dan

kematian endothelial cell yang progresif. Hilangnya integritas pembuluh

darah menyebabkan degenerasi kapiler, localized capillary nonperfusion,


36

resultant ischemia, ganggauan oksigenasi neuron retina, dan ekpresi

proangiogenic growth factors yang menstimulasi pertumbuhan pembuluh

darah baru yang salah dan menonjol ke dalam preretinal space.

Gambar 9. Fundus photograph yang

memperlihatkan intraretinal

hemorrhagge (double circle), infark

lapisan serat saraf (arrow), dan

intraretinal lipid pada kasus berat

nonproliferative diabetic retinopathy


37

Gambar 10. Color fundus photography mengilustrasikan moderate

nonproliferative diabetic retinopathy ditandai dengan macular edema dan

melibatkan uvea.

Gambar 11. Fundus photography

mengilustrasikan intraretinal

mikrovascular abnormal (long arrow),

occluded retinal arteriol (medium-sized

arrow), dan venous bleeding (short

arrow) pada kasus very severe

nonproliferative diabetic retinopathy

Gambar 12. Fundus photography

mengilustrasikan sebuah venous loop

(arrow). Venous bleeding dan nerve

fiber layer infarcts (juga dikenal

sebagai cotton wool spots) juga terlihat

Gambar 13. Fluorescein angiogram

mengilustrasikan extensive area dari

retinal vasculer nonprefusion (balck

arrow), retinal neovascularization

disertai dengan fluorescein dye leakage


38

(white arrow), dan sebuah area dengan viterous hemorrhage (double circle) yang

memblok fluorescence

Gambar 14. Fundus photography

mengilustrasikan viterous

hemorrhage (arrow) berasal dari

retinal neovascularization pada optic

nerv head

Gambar 15. Fundus photography

mengilustrasikan traction retina

detachment yang melibatkan makula

yang berasal dari fibrovascular

proliferation (arrow) pada untreated

pasien dengan proliferative diabetic

retinopathy

I. DIAGNOSIS

Pemeriksaan awal untuk pasien dengan diabetes mellitus mencakup semua

fitur dari evaluasi mata medis dewasa yang komprehensif, dengan perhatian

khusus pada aspek-aspek yang relevan dengan retinopati diabetik.12

Anamnesis12

Mempertimbangkan unsur-unsur berikut:


39

1. Durasi diabetes

2. Ketajaan visus

3. Kontrol glikemik masa lalu (HbA1c)

4. Obat-obatan

5. History riwayat medis (mis., Obesitas, penyakit ginjal, hipertensi

sistemik, kadar lipid serum, kehamilan, neuropati)

6. History riwayat mata (mis., Trauma, penyakit mata lainnya, suntikan

mata, operasi, termasuk perawatan laser retina dan bedah refraktif)

Pemeriksaan12

1. Fluorescein Angiography

Fluorescein Angiography (FA) rutin tidak diindikasikan sebagai

bagian dari pemeriksaan rutin pasien dengan diabetes. Edema makula

dan PDR paling baik didiagnosis dengan pemeriksaan klinis dan / atau

FA. FA berguna untuk membedakan pembengkakan makula diabetik

dari penyakit makula lain atau untuk pasien dengan kehilangan

penglihatan yang tidak dapat dijelaskan. Angiografi dapat

mengidentifikasi nonperfusi kapiler makula di foveal atau bahkan di

seluruh wilayah makula sebagai penjelasan untuk kehilangan

penglihatan yang tidak responsif terhadap terapi.

2. Fundus Photography

Fotografi Fundus adalah teknik yang dapat direproduksi untuk

mendeteksi retinopati diabetik dan telah digunakan dalam studi

penelitian klinis besar. Fotografi Fundus juga berguna untuk


40

mendokumentasikan keparahan diabetes, adanya neovaskularisasi,

respons terhadap pengobatan, dan kebutuhan untuk perawatan

tambahan pada kunjungan mendatang.

3. Ultrasonografi

Ultrasonografi adalah alat diagnostik yang sangat berharga yang

memungkinkan penilaian status retina dengan adanya perdarahan

vitreous atau kekeruhan media lainnya. Selain itu, ultrasonografi B-

scan dapat membantu untuk menentukan tingkat dan keparahan traksi

vitreoretinal, terutama pada makula mata diabetes

4. Optical Coherence Tomography

Tomografi koherensi optik memberikan pencitraan resolusi tinggi dari

antarmuka vitreoretinal, retina neurosensorik, dan ruang subretinal.

Tomografi koherensi optik dapat digunakan untuk mengukur

ketebalan retina, memantau edema makula, mengidentifikasi traksi

vitreomakular, dan mendeteksi bentuk lain penyakit makula pada

pasien dengan edema makula diabetik.

J. TATALAKSANA

Walaupun dikatakan bahwa sampai saat ini diabetes belum dapat dicegah,

tetapi kebutaan karena komplikasi diabetes dapat dikurangi secara bermakna.

Timbulnya retinopati DM serta progresivitas retinopati dapat diperlambat

apabila kadar gula darah, tekanan darah, serta kadar kolesterol darah

dikendalikan sehingga mendekati angka normal. Deteksi dini terjadinya

retinopati sangat penting untuk mencegah kebutaan.4


41

Prinsipnya adalah pencegahan penurunan penglihatan lebih jauh dengan

fotokoagulasi laser retina. Syaratnya ialah tepat waktu dan memadai. Untuk

itu perlu dilakukan deteksi dini. Untuk DM tipe 1 perlu dilakukan

pemeriksaan retina 5 tahun setelah awitan. Sedangkan untuk DM tipe 2 perlu

pemeriksaan retina setahun sekali, mulai sejak diagnosis DM ditegakkan.4

Retinopati diabetik nonproliferatif ringan-sedang tidak membutuhkan

terapi, namun observasi dilakukan setiap tahun dan dilakukan pengendalian

gula darah. Pada RD nonproliferatif berat perlu pemantauan per 6 bulan untuk

mendeteksi tanda-tanda progresivitas menjadi proliferatif. Pada edema

makula tanpa manifestasi klinis yang signifikan dilakukan observasi tanpa

tindakan laser. CSME membutuhkan tindakan laser fokal atau difus, injeksi

intravitreal triamcinolone atau injeksi intravitreal anti-VEGF.2

Retinopati diabetik proliferatif diberi tindakan laser cito. Panretinal

photocoagulation (PRP) untuk regresi pembuluh darah baru sehingga

menurunkan angka kebutaan. Vitrektomi dilakukan pada perdarahan vitreus

dan traksi vitreoretina. Intravitreal anti-VEGF preoperatif dapat menurunkan

kejadian perdarahan berulang dan memperbaiki tajam penglihatan

postoperasi.2,4

Fotokoagulasi Laser

Prinsipnya energi cahaya diubah menjadi panas (panas diserap oleh RPE)

sehingga menyebabkan koagulasi protein di lapisan retina. Jenis-jenisnya ada

tiga, yaitu fokal, grid (kisi), dan panretinal. Fotokoagulasi grid merupakan
42

tindakan laser berbentuk kisi mengelilingi daerah edema retina akibat

kebocoran kapiler yang difus.4

Terapi laser biasanya untuk retinopati diabetes nonproliferatif disertai

CSME dan retinopati diabetes proliferatif. Tujuan laser fotokoagulasi adalah

mencegah kebocoran mikroaneurisma dan menghambat ekstravasasi cairan ke

makula. Penggunaan laser fotokoagulasi pada CSME menunjukkan

perbaikan hasil dengan sisa gangguan tajam penglihatan sedang (moderate

visual loss, MVL) antara pemeriksaan awal dan pemeriksaan lanjutan. MVL

adalah penggandaan sudut visual, dari 20/20 menjadi 20/40 atau 20/100 dari

20/50, perbaikan 15 atau lebih huruf pada ETDRS chart, atau perbaikan lebih

dari 3 baris pada Snellen chart. Terapi laser dapat ditunda setelah edema

makula teratasi. Terapi laser disertai injeksi intravitreal secara signifikan

memperbaiki tajam penglihatan dan penurunan ketebalan makula (anatomi)

dibandingkan terapi laser dalam 6-24 bulan.2

Gambar 16. Fotokoagulasi laser2


43

Fotokoagulasi laser panretinal (PRP) pada retinopati diabetes proliferatif

bertujuan untuk regresi neovaskuler. PRP merusak area iskemi retina dan

meningkatkan tekanan oksigen mata. Area iskemi pada mata dapat

memproduksi vascular endothelial growth factor (VEGF), sehingga progresif

merusak retina. Terapi PRP dapat satu atau beberapa sesi, menggunakan laser

argon hijau atau biru membakar sebanyak 1200 atau lebih dari 500 μm

dipisahkan satu dengan lainnya dengan jarak satu setengah lebar luka bakar.

Efek samping scatter PRP yaitu penurunan tajam penglihatan malam hari,

perubahan penglihatan warna, sensitivitas cahaya, tajam penglihatan perifer,

dan dilatasi pupil.2

Anti-Vascular Endothelial Growth Factor (Anti-VEGF)

VEGF berperan dalam proses retinopati diabetes, sehingga menjadi salah

satu target terapi terutama neovaskulerisasi. Anti-VEGF yang tersedia saat ini

renibizumab, bevacizumab, pegatanib, dan aflibercept. Terapi anti-angiogenik

menggunakan anti-VEGF dapat memperbaiki tajam penglihatan pasien edema

makula diabetes. Aflibercept memperbaiki tajam penglihatan dan anatomi

lebih baik dari pada ranibizumab. Ranibizumab merupakan fragmen

humanized monoconal antibody against semua isoform VEGF, bermanfaat

sebagai terapi choroidal neovascularization pada age-related macular edema.

Bevacizumab merupakan humanized monoconal IgG antibody yang berikatan

dan menghambat semua isoform VEGF dan telah dipatenkan untuk terapi

karsinoma kolorektal, namun secara off label digunakan dalam terapi

oftalmologi. Pegatanib merupakan 28- base ribonucleid acid aptamer yang


44

berikatan dan menghambat kerja VEGF ekstraseluler, terutama asam amino

165 (VEGF165). Aflibercept (VEGF Trap-Eye) merupakan 115- kDa

recombinant fusion protein yang berikatan dengan reseptor VEGF 1 dan 2.2

Vitrektomi Pars Plana

Vitrektomi adalah tindakan untuk mengeluarkan vitreus yang berdarah

atau terdapat jaringan parut, dan untuk menempelkan kembali retina yang

lepas karena tarikan. Indikasi vitrektomi pada RD dengan komplikasi:

perdarahan vitreus menetap lebih dari 1 – 6 bulan, ablasio retina traksi atau

mengancam makula, abalasio retina trasksi dan regmatogenosa, edema

makula diabetes difus yang berkaitan dengan traksi hialoid posterior

perdarahan vitreus berulang meskipun telah dilakukan PRP, neovaskulerisasi

segmen anterior.2

K. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding untuk diabetic retinopathy antara lain ;3

Retinopati hipertensi merupakan kelainan retina dan pembuluh darah retina

akibat tekanan darah tinggi, pada funduskopi dapat ditemukan; penyempitan

pembuluh darah, fenomena crossing atau sklerose pemuluh darah, edema

papil, cotton wool patches, star figure.

L. KOMPLIKASI

Komplikasi untuk diabetic retinopathy antara lain;2,13

1. Retinal dan vitreous haemorrhages terjadi akibat pecahnya

neovaskularisasi menyebabkan dorongan darah balik pada mata yang


45

mengganggu penglihatan. Pecahya neovaskularisasi memicu

timbulnya jaringn parut di retina.

2. Retinal detachment, ablasi retina tipe traksi dapat terjadi karena

jaringn parut atau fibrosis yang terbetuk diretina mearik lepas retina

dari tempat melekatnya.

3. Rubeosis iridis, adalah pertumbuhan pembuluh darah baru pada iris

mata dengan iskemia retina lanjut. Rubeosis neovaskularisasi iris

dapat menimbulkan glaukoma karena tertutupnya sudut bilik mata

sehingga penutupan rute drainase cairan dalam sudut ruang anterior

mata oleh pembuluh darah baru dan juga akibat pecahnya rubeosis

iridis

M. PROGNOSIS

Pasien severe NPDR meliki risiko tinggi menjadi PDR. Separuh

dari pasien severe NPDR akan berkembang menjadi PDR dalam 1 tahun di

mana 15% diantaranya tergolong high risk PDR. Pasien severe NPDR,

risiko menajdi PDR dalam 1 tahun adalah 75% dimana 45% diantarnya

tergolong high risk PDR. Oleh sebab itu pasien severe NPDR perlu

dilakukan pemeriksaan ulang setiap 3-4 bulan.7

Pada penelitian Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study

(ETDRS) pada 3.711 pasien RD, PRP dapat menurunkan risiko kebutaan

sampai kurang dari 2% jika dilakukan pada derajat keparahan yang tepat

(RD nonproliferatif berat dan RD proliferatif) dan terapi laser fokal pada

kasus makula edema dapat menurunkan angka kebutaan sampai 50%.


46

Diabetic Retinopathy Vitrectomy Study (DRVS) menyimpulkan bahwa

terapi vitrektomi dini pada kasus RD proliferatif pasien DM tipe 1 dapat

mempertahankan tajam penglihatan pasien 2 tahun setelah operasi, 36%

pasien vitrektomi dini dan 12% pasien vitrektomi terlambat memiliki

tajam penglihatan 20/40 atau lebih baik.2


DAFTAR PUSTAKA

1. Dewi, P.N., Fadrian2, Vitresia, H. 2019. Profil Tingkat Keparahan Retinopati

Diabetik Dengan Atau Tanpa Hipertensi pada di RSUP Dr. M. Djamil

Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. Hal 204-205

2. Elvira, Suryawijaya, E.E. 2019. Retinopati Diabetes. Continuing Medical

Education. Vol. 46 o. 3

3. Ilyas, S., Yulianti, S.R. 2017. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

4. Suhardjo dan Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata FK UGM. Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hal 14-43.

5. Hayyi, I. N. 2019.Gerak Bola Mata. Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata

Cicendo. Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjadjaran. Bandung. Hal. 1-4

6. Christiaens, W., Kohn, L., Obyn, C., Winter, L.., Gussé, S., Defourny, N.,

De Laet, C., Paulus, D. 2013. Correction Of Refractive Errors Of The Eye In

Adults. Part 1 : Perceptions And Experiences – Synthesis

7. Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W., Simadibrata, M., Setiyohadi, B., dan

Syam, A.F. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Interna

Publishing. Jakarta.

8. Sivaprasad, S., & Pearce, E. 2018. The unmet need for better risk

stratification of non-proliferative diabetic retinopathy. Diabetic Medicine.


9. Bandello, F., Zarbin, M. A., Lattanzio, R., Zucchiatti, I., [editor]. 2019.

Clinical Strategies in the Management of Diabetic Retinopathy Second

Edition. Springer. Switzerland.

10. Fitriani, Sihotang, A. D., Delfi. 2017. Prevalensi Retinopati Diabetik. Jurnal

Kesehatan Prima Vol. 11 No. 2. Hal 137-138

11. Wang, W and Amy C. Y. 2018. Diabetic Retinopathy: Pathophysiology and

Treatments. International Journal of Molecular Sciences. Hal 2-3

12. Diabetic Retinopathy. 2017. American Academi Of Ophtalmology. Hal 14-17

13. Diabetic Retinopathy Guidelines. 2012. The Royal College Of

Ophthalmologists. Hal 10

Anda mungkin juga menyukai