Anda di halaman 1dari 34

TUGAS BIOFARMASETIKA

MAKALAH

BIOFARMASI SEDIAAN MATA

NAMA : MIRNAWATI

NIM : 17 3145 201 064

KELAS : B/017

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

FAKULTAS FARMASI, TEKNOLOGI RUMAH SAKIT, DAN INFORMATIKA

UNIVERSITAS MEGA REZKY

MAKASSAR

2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sediaan obat mata adalah sediaan steril berupa salep, larutan atau
suspensi, digunakan untuk mata dengan jalan meneteskan, mengoleskan pada
selaput lendir mata di sekitar kelopak mata dan bola mata.
Sediaan obat mata (optalmika) adalah tetes mata (Oculoguttae), salep
mata (oculenta), pencuci mata (Colyria), dan beberapa bentuk pemakaian
yang khusus (lamella dan penyemprot mata) serta insert sebagai bentuk depo
yang ditentukan untuk digunakan pada mata utuh atau terluka.
Mata merupakan indra penglihatan yang sangat penting . Kita dapat
melihat dunia yang indah ini dengan menggunakan mata. Tidak semua
manusia memiliki mata sehat, seperti yang memilki kelainan cacat mata, buta
warna katarak dan lainya. Mata tersebut tidak berfungsi secara baik.
Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan
sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan
pada mata. (Depkes RI, 2014). Bentuk sediaan tetes mata harus memenuhi
persyaratan uji sterilitas. Beberapa penggunaan sediaan tetes mata harus
mengandung zat yang sesuai atau campuran zat untuk mencegah
pertumbuhan atau memusnahkan mikroorganisme. Sediaan mata harus bebas
dari partikel besar dan harus memenuhi persyaratan untuk kebocoran dan
partikel logam. Semua sediaan tetes mata harus steril dan bila memungkinkan
pengawet yang cocok harus ditambahkan untuk memastikan sterilitas selama
digunakan. Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus
dalam hal toksisitas bahan obat, nilai isotonisitas, kebutuhan akan dapar,
kebutuhan akan pengawet (dan jika perlu pemilihan pengawet) sterilisasi dan
kemasan yang tepat Penggunaan tetes mata pada etiketnya tidak boleh
digunakan lebih dari satu bulan setelah tutup dibuka, karena penggunaan
dengan tutup terbuka kemungkinan terjadi kontaminasi dengan bebas.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi fisiologi mata


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian
anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga
terdapat bentuk dengan dua kelengkungan berbeda. Bola mata dibungkus oleh
tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya disebut
kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat cairan
aqueous humor, lensa dan vitreous humor.

Gambar 1. Anatomi Bola Mata

1. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
berbatasan dengan kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di
limbus.
2. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk pada
mata. Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata.
Bagian terdepan sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang
memudahkan sinar masuk ke dalam bola mata.
3. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus
cahaya dam merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah
depan. Kornea ini disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan
melingkar pada sambungan ini disebut sulcus scleralis.
Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm di pusatnya
(terdapat variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm
dan vertikalnya 10,6 mm.
Dari anterior ke posterior kornea mempunyai lima lapisan, yaitu:
a) Epitel
Tebal dari epitel ini adalah 50 µm. Epitel kornea mempunyai lima
lapis sel epitel tak bertanduk yang terdiri dari sel basal, sel
poligonal, dan sel gepeng.
b) Membran Bowman
Membran Bowman terletak di bawah membran basal epitel kornea
yang merupakan kolagen yang tersususn tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
c) Stroma
Stroma kornea menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Stroma
terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang.
d) Membran Descemet
Membran Descemet merupakan membran aselular dan merupakan
batas belakang stroma kornea.
e) Endotel
Endotel berasal dari mesotelium, berlapis satu, berbentuk
heksagonal, dan tebalnya 20-40 µm. Lapisan ini berperan dalam
mempertahankan deturgesensi stroma kornea.

Gambar 2. Lapisan Kornea

4. Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh
kornea dan sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Iris
Iris merupakan perpanjangan badan siliar ke anterior mempunyai
permukaan yang relatif datar dengan celah yang berbentuk bulat di
tengahnya, yang disebut pupil. Iris mempunyai kemampuan untuk
mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam bola mata
secaranotomatis dengan mengecilkan (miosis) atau melebarkan
(midriasis) pupil.
b) Badan siliar
Badan siliar merupakan susunan otot melingkar yang berfungsi
mengubah tegangan kapsul lensa sehingga lensa dapat fokus untuk
objek dekat maupun jauh dalam lapang pandang. Badan siliar
terdiri atas zona anterior yang berombak-ombak, pars plicata (2
mm) yang merupakan pembentuk aqueous humor, dan zona
posterior yang datar, pars plana (4 mm).
c) Koroid
Koroid merupakan segmen posterior uvea terletak di antara retina
dan sklerayang berisi pembuluh-pembuluh darah dalam jumlah
besar, berfungsi untuk memberi nutrisi pada retina bagian terluar
yang terletak di bawahnya
5. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan
hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9
mm. Di sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya
terdapat vitreous humor.
Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel yang akan
memperbolehkan air dan elektrolit masuk. Di sebelah depan terdapat
selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya.
Nukleus dan korteks terbentuk dari lamela konsentris yang panjang.
Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang
dikenal sebagai zonula Zinii, yang tersusun dari banyak fibril yang berasal
dari permukaan badan siliar dan menyisip ke dalam ekuator lensa.
6. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik mata
belakang, aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan,
kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan.
7. Vitreous Humor
Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Permukaan luar vitreous
humor normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: kapsul lensa
posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput
nervi optici. Basis vitreous mempertahankan penempelan yang kuat
seumur hidup ke lapisan epitel pars plana dan retina tepat di belakang oral
serata.
Vitreous humor mengandung air sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua
komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan
konsistensi mirip gel karena kemampuannya mengikat banyak air.
8. Retina
Retina atau selaput jala, merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yang menerima rangsangan cahaya. Lapisan-lapisan retina mulai
dari sisi luar yang berbatas dengan koroid adalah sebagai berikut:
a. Epitel pigmen retina (Membran Bruch)
b. Fotoreseptor Lapisan fotoreseptor terdiri dari sel batang dan sel
kerucut.
c. Membran limitan eksterna
d. Lapisan nukleus luar merupakan susunan nukleus sel kerucut dan sel
batang. Keempat lapisan di atas avaskuler dan mendapat nutrisi dari
kapiler koroid.
e. Lapisan pleksiform luar. Lapisan ini merupakan lapisan aselular
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
f. Lapisan nukleus dalam. Lapisan ini terdiri dari tubuh sel bipolar, sel
horizontal, dan sel Muller serta didarahi oleh arteri retina sentral.
g. Lapisan pleksiform dalam. Lapisan ini merupakan lapisan aselular
tempat sinaps sel bipolar dan sel amakrin dengan sel ganglion.
h. Lapisan sel ganglion. Lapisan ini merupakan lapisan badan sel dari
neuron kedua.
i. Serabut saraf. Lapisan serabut saraf berupa akson sel ganglion yang
menuju kearah saraf optik. Di dalam lapisan-lapisan ini terletak
sebagian besar pembuluh darah retina.
j. Membran limitan interna. Membran limitan interna berupa membrane
hialin antara retina dan vitreous humor
Gambar 3. Lapisan Retina

Fisiologi Proses Penglihatan


Cahaya yang melewati kornea akan diteruskan melalui pupil,
kemudian difokuskan oleh lensa ke bagian belakang mata, yaitu retina.
Fotoreseptor pada retina mengumpulkan informasi yang ditangkap mata,
kemudian mengirimkan sinyal informasi tersebut ke otak melalui saraf
optik. Semua bagian tersebut harus bekerja simultan untuk dapat melihat
suatu objek.
Berkas cahaya akan berbelok/ berbias (mengalami refraksi) apabila
berjalan dari satu medium ke medium lain yang memiliki kepadatan
berbeda kecuali apabila berkas cahaya tersebut jatuh tegak lurus di
permukaan.
Bola mata memiliki empat media refrakta, yaitu media yang dapat
membiaskan cahaya yang masuk ke mata. Media refrakta mata terdiri dari
kornea, aqueous humor, lensa, dan vitreous humor. Agar bayangan dapat
jatuh tepat di retina, cahaya yang masuk harus mengalamai refraksi
melalui media-media tersebut. Jika terdapat kelainan pada media refrakta,
cahaya mungkin tidak jatuh tepat pada retina.
Selain faktor media refrakta, faktor panjangnya sumbu optik bola mata
juga berpengaruh terhadap jatuh tepat atau tidaknya cahaya pada retina.
Misalnya, pada miopia aksial fokus akan terletak di depan retina karena
bola mata lebih panjang.
Lensa memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya biasnya untuk
memfokuskan bayangan dari objek yang dekat. Kemampuan ini disebut
dengan daya akomodasi. Akomodasi dipengaruhi oleh persarafan simpatis,
di mana persarafan ini akan menyebabkan otot polos pada badan siliar
yang merupakan perlekatan ligamen penggantung lensa (zonula Zinii)
berkontraksi. Kontraksi dari badan siliar yang berbentuk melingkar seperti
sfingter menyebabkan jarak antara pangkal kedua ligamen tersebut
mendekat. Hal ini akan menyebabkan ketegangan dari ligamen tersebut
berkurang sehingga regangan ligamen terhadap lensa pun juga berkurang.
Bentuk lensa kemudian akan menjadi lebih cembung/ konveks.
Keadaan mata dengan kemampuan refraksi normal disebut emetropia,
sedangkan mata dengan kelainan refraksi disebut ametropia. Ametropia
dapat dibagi menjadi:
1) Miopia (penglihatan dekat), terjadni bila kekuatan optik mata terlalu
tinggi, biasanya karena bola mata yang panjang, dan sinar cahaya
paralel jatuh pada fokus di depan retina;
2) Hipermetropia (penglihatan jauh), terjadi apabila kekuatan optik mata
terlalu rendah, biasanya karena mata terlalu pendek, dan sinar cahaya
paralel mengalami konvergensi pada titik di belakang retina;
3) Astigmatisme, di mana kekuatan optik kornea di bidang yang berbeda
tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati bidang yang berbeda
ini jatuh ke titik fokus yang berbeda.
B. Pembuluh darah yang melalui rute pemberian mata
Obat bisa masuk ke dalam tubuh dengan berbagai jalan. Setiap rute
memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Rute yang paling umum
adalah melalui mulut (per oral) karena sederhana dan mudah dilakukan.
Beberapa rute tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, namun harus diberikan
oleh tenaga kesehatan tertentu.
Berikut macam-macam rute pemberian obat:
 Diminum (oral)
 Diberikan melalui suntikan ke pembuluh darah (intravena), ke dalam
otot (intramuskular), ke dalam ruang di sekitar sumsum tulang
belakang (intratekal), atau di bawah kulit (subkutan)
 Ditempatkan di bawah lidah (sublingual) atau antara gusi dan pipi
(bukal)
 Dimasukkan ke dalam rektum (dubur) atau vagina (vagina)
 Ditempatkan di mata (rute okular) atau telinga (rute otic)
 Disemprotkan ke hidung dan diserap melalui membran hidung (nasal)
 Terhirup masuk ke dalam paru-paru, biasanya melalui mulut (inhalasi)
atau mulut dan hidung (dengan nebulisasi)
 Diterapkan pada kulit (kutanea) untuk efek lokal (topikal) atau seluruh
tubuh (sistemik)
 Dihantarkan melalui kulit dengan patch (transdermal, semacam koyo)
untuk efek sistemik.

Rute pemberian obat melalui mata


Rute penghantaran obat melalui mata Ada tiga rute utama yang biasa
digunakan untuk penghantaran obat mata :
1. Rute topikal adalah yang metode yang paling umum untuk
memberikan obat melalui mata, meletakkan obat langsung
kekantung konjugtiva, mengurangi efek obat, membantu masuknya
obat agar tidak sulit untuk mencapai penghantaran sistemik dan
menghindari first pass metabolisme.
2. Rute intraokular Sekarang penelitian berkonsentrasi pada
pengembangan injeksi intravitreal dan penggunaan
intraokularimplan untuk meningkatkan penghantaran ke mata.
3. Rute sistemik. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
beberapa obat dapat terdistribusi kedalam jaringan okular setelah
pemberian sistemik.
Pemberian Obat Topikal Pada Mata Menyiapkan dan memberikan obat
kepada pasien melalui mata, diberikan dalam bentuk cair/tetes dan salep.
Tujuan pemberian obat pada mata adalah:
1) mengobati gangguan pada mata,
2) mengurangi rasa sakit, menimbulkan reaksi yang cepat,
3) Mencegah dan mengobati penyakit/rasa sakit,
4) Menghilangkan penyebab sakit,
5) mendilatasi pupil pada pemeriksaan struktur internal mata,
6) melemahkan otot lensa mata pada pengukuran refraksi mata, dan
7) mencegah kekeringan pada mata.

Rute okular (mata)


Obat yang digunakan untuk mengobati gangguan mata (seperti
glaukoma, konjungtivitis, dan luka) dapat dicampur dengan zat aktif untuk
membuat cairan, gel, atau salep sehingga mereka dapat diberikan pada
mata. Tetes mata cair relatif mudah digunakan, namun mudah keluar dari
mata terlalu cepat untuk diserap dengan baik. Formulasi gel dan salep
menjaga obat kontak dengan permukaan mata, tetapi mereka mungkin
mengaburkan penglihatan. Obat mata yang hampir selalu digunakan untuk
efek lokal. Misalnya, air mata buatan yang digunakan untuk meredakan
mata kering. Obat lain (misalnya, yang digunakan untuk mengobati
glaukoma, seperti asetazolamid dan betaksolol, dan yang digunakan untuk
melebarkan pupil, seperti fenilefrin dan tropikamid) menghasilkan efek
lokal (beraksi langsung pada mata) setelah obat diserap melalui kornea dan
konjungtiva. Beberapa obat ini maka memasuki aliran darah dan dapat
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan pada bagian tubuh
lainnya.
C. Proses biofarmasetika liberasi, absorpsi, distribusi, metabolisme dan
eksresi sediaan mata
Fase farmasetik merupakan fase sebelum obat masuk ke tubuh sampai
obat siap diabsorpsi oleh tubuh. Fase ini meliputi cara pembuatan obat,
bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan oleh obat tersebut.
Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait mulai
saat pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif. Kerumitan
peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan, yang
secara keseluruhan berperan pada proses predisposisizat aktif dalam tubuh.
Seperti diketahui fase farmakodinamik dan farmakokinetik mempunyai sifat
individual spesifik dalam interaksi tubuh dan zat aktif. Hal tersebut
selanjutnya mempengaruhi intensitas farmakologik dan kinetik zat aktif suatu
obat di dalam tubuh. Dengan demikian fase biofarmasetik merupakan salh
satu kunci penting untuk memperbaiki aktivitas terapetik.
Fase bioarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu L.D.A
yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan Absorpsi
(penyerapan. Seperti halnya dengan sistem A.D.M.E pada nasib zat aktif in
vivo, maka ketiga tahap L.D.A berbeda pada setiap jalur.
1. Liberasi (Pelepasan)
Apabila seorang penderita menerima obat berarti ia mendapatkan
zat aktif yang diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis
tertentu. Obat pada mulanya merupakan depot zat aktif yang jika
mencapai tempat penyerapan akan segera diserap (Drug delivery system
dalam istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari bentuk
sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan bentuk
sediaan, serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif
dipengruhi oleh keadaaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat
pemasukan obat, misalnya gerak peristaltic usus, dan hal ini penting
untuk bentuk sediaan yang keras atau kenyal (tablet, suppositoria dll).
Sebagaimana diketahui, tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua
tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan misalnya untuk sebuah
tablet. Dari tahap pertama ini diperoleh suatu disperse halus padatan zat
aktif dalam cairan di tempat obat masuk ke dalam tubuh.
2. Disolusi (Pelarutan)
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua
adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu
pembentukan disperse molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan
keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga
diterapkan pada obat-obtan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif
dalam minyak, tetapi yang terjadi adalah proses ekstraksi (penyarian).
Setelah pemberian sediaan larutan, secara in situ dapat timul endapan
zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH
dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi.
3. Absorpsi (Penyerapan)
Tahap ini merupakan bagian dari fase biofarmasetik dan awal fase
farmakokinetik, jadi tahap ini benar-benar merupakan masuknya zat
aktif dalam tubuh yang aturan-aturannya ditengarai oleh pemahaman
ketersediaan hayati (bioavabilitas).
Penyerapan zat aktif tergantung pada bagian parameter, terutama
sifat fisika-kimia molekul obat. Absorpsi ini tergantung juga pada tahap
sebelumnya yairu saat zat aktifnya berada dalam fase biofarmasetik.
Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila
sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah melarut dalam
cairan biologi setempat.
Tahap pelepasan dan pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu
pada proses penyerapan zat aktif, baik dalam hal jumlah yang diserap
maupun laju penyerapannya.
Para ahli telah memberikan nama untuk empat tahap dasar
perjalanan obat dalam tubuh: penyerapan/absorbsi, distribusi, metabolisme,
dan ekskresi. Seluruh proses ini disingkat ADME. Ahli farmasi lainnya juga
membagi kedalam 4 fase yakni farmasetika (pra-formulasi dan formulasi
obat), biofarmasetika (ketika obat masuk dalam tubuh hingga obat terlepas
dari pembawanya hingga akan diabsorbsi), farmakokinetika (Obat diabsorbsi
ke dalam darah, yang akan segera didistribusikan melalui tiap-tiap jaringan
dalam tubuh), farmakodinamika (interaksi obat-reseptor obat, fase
metabolisme dan eksresi obat).
1. Absorbsi
Tahap pertama adalah penyerapan. Obat-obatan bisa masuk ke
dalam tubuh dalam berbagai cara, dan mereka diserap ketika mereka
melakukan perjalanan dari berbagai rute pemberian/administrasi ke
dalam sirkulasi tubuh.
Beberapa cara yang paling umums seperti melalui mulut/oral
(menelan tablet aspirin), intramuskular (mendapatkan vaksinasi flu dalam
otot lengan), subkutan (suntik insulin tepat di bawah kulit), intravena
(menerima kemoterapi melalui pembuluh darah), atau transdermal
(memakai patch kulit).
Obat menghadapi rintangan terbesarnya selama penyerapan. Ketika
obat diminum, maka akan diantarkan melalui saluran pencernaan dan
diabsorbsi melalui pembuluh darah khusus menuju ke hati, di mana
sejumlah besar obat dapat dihancurkan oleh enzim metabolik pada apa
yang disebut “lintas pertama obat/first fast effect.” Rute lain dari
pemberian obat yang melewati hati dengan memasuki aliran darah secara
langsung atau melalui kulit atau paru-paru.
2. Distribusi
Setelah obat diserap, tahap berikutnya adalah distribusi. Pada
umumnya aliran darah akan membawa obat-obatan ke seluruh tubuh.
Selama langkah ini, efek samping dapat terjadi ketika obat memiliki efek
dalam organ selain organ target. Untuk pereda nyeri, organ sasaran
mungkin otot sakit di kaki; iritasi lambung bisa menjadi efek samping.
Banyak faktor yang mempengaruhi distribusi, seperti kehadiran molekul
protein dan lemak dalam darah yang dapat menempatkan molekul obat
terikat untuk membawa ketempat yang dituju.
Obat yang ditargetkan menuju sistem saraf pusat (otak dan
sumsum tulang belakang) akan menghadapi rintangan besar yakni
barikade yang hampir tak tertembus disebut penghalang darah-
otak/blood brain barrier. Blokade ini dibangun khusus berbentuk kapiler
berlapis yang bersama-sama untuk melindungi otak dari zat-zat yang
berbahaya seperti racun atau virus. Namun ahli farmasi telah merancang
berbagai cara untuk menyelinap beberapa obat melewati penghalang ini.
3. Metabolisme
Setelah obat telah didistribusikan ke seluruh tubuh dan telah
melakukan tugasnya, obat akan pecah, atau dimetabolisme. Penguraian
dari molekul obat biasanya melibatkan dua langkah yang terjadi sebagian
besar di pabrik pengolahan kimia tubuh, yakni hati.
Hati adalah organ penting yang bekerja terus menerus. Semua yang
memasuki aliran darah baik itu melalui jalur oral, injeksi, inhalasi, kulit
atau yang diproduksi oleh tubuh secara alami akan dimetabolisme di hati.
Proses biotransformasi yang terjadi di hati dilakukan oleh protein
dan enzim. Setiap satu sel manusia memiliki berbagai enzim, yang
diambil dari ratusan ribu repertoar. Masing-masing enzim
mengkhususkan diri dalam pekerjaan tertentu. Beberapa mampu
memecah molekul obat, sementara yang lain menghubungkan molekul
kecil menjadi rantai panjang. Reaksi dengan obat membuat
suatu substansi yang lebih mudah untuk dibuang melalui urin. Tidak
heran minum obat tertentu maka warna urin akan berubah.
4. Eksresi
Banyak produk dari hasil pemecahan enzimatik yang biasa disebut
metabolit, biasanya merupakan senyawa yang kurang aktif dari molekul
asli obatnya. Untuk alasan ini, para ilmuwan menyebut hati sebagai
organ “detoksifikasi”.
Kadang-kadang metabolit obat yang dihasilkan dapat memiliki
kegiatan kimia mereka sendiri, bahkan memiliki kekuatan serupa
dari obat aslinya. Ketika meresepkan obat-obatan tertentu, dokter harus
memperhitungkan efek samping ini.
Setelah enzim hati menyelesaikan pekerjaannya dalam membuat
metabolit obat, selanjutnya akan mengalami tahap akhir waktu dalam
tubuh, yakni ekskresi dimana akan keluar melalui urine atau feses,
terkadang melalui keringat.
D. Komponen karakteristik cairan melalui rute pemberian mata
1. Air Mata
a. Lapisan Air Mata
Lapisan air mata (tear film) yang terdapat pada permukaan mata
berfungsi untuk membasahi serta melumasi mata agar terasa
nyaman. Lapisan air mata terdiri atas 3 lapis/komponen :
a) Lapisan lemak ini merupakan lapisan paling luar dengan
ketebalan 0,1 μm. Fungsi lapisan ini adalah untuk mencegah
penguapan berlebihan. Lapisan ini mengandung esters , gliserol
dan asam lemak yang diproduksi oleh
b) kelenjar Meibom yang terdapat pada kelopak mata atas dan
bawah. Infeksi atau kerusakan berulang pada kelenjar ini
(seperti hordeolum, kalazion serta blefaritis) akan
menyebabkan gangguan lapisan lemak sehingga terjadi lipid
deficiency dry eye akibat penguapan berlebihan. Lapisan
aquous (air mata) ini memiliki ketebalan 7μm. Lapisan ini
dihasilkan oleh kelenjar lakrimal dan merupakan komponen
yang paling besar. Fungsi lapisan ini sebagai pelarut bagi
oksigen, karbondioksida dan mengandung elektrolit, protein,
antibodi, enzim, mineral, glukosa, dan sebagainya. Lysozyme,
suatu enzim glikolitik, merupakan komponen protein terbanyak
(20-40%), bersifat alkali dan mampu menghancurkan dinding
sel bakteri yang masuk ke mata. Lactoferrin juga memiliki sifat
antibakteri serta antioksidan sedangkan epidermal growth
factor (EGF) berfungsi mempertahankan integritas permukaan
mata normal serta mempercepat penyembuhan jika terjadi luka
kornea. Albumin, transferrin, immunoglobulin A (IgA),
immunoglobulin M (IgM), dan immunoglobulin G (IgG) juga
terdapat dalam lapisan aqueous air mata.
c) Lapisan musin: sangat tipis 0,02-0,05 μm, dihasilkan oleh sel
Goblet yang banyak terdapat pada selaput konjungtiva
(konjungtiva bulbi, forniks dan caruncula). Lapisan musin ini
akan melapisi sel-sel epitel kornea dan konjungtiva yang
bersifat hidrofobik sehingga menjadikannya bersifat hidrofilik
agar air mata dapat membasahinya, serta berfungsi
mempertahankan stabilitas lapisan air mata.
b. Komposisi Air Mata
Air mata terdiri dari 98,2% air dan 1,8% zat lainnya. Air mata
terdiri dari elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium,
klorida, bikarbonat), protein, vitamin, asam amino, glukosa, musin
dan lipid. Air mata bersifat isotonik dalam keadaan normal.
Osmolalitas film air mata bervariasi dari 295 sampai 309 mOsm/L.
Indeks refraksi 1,336. Indeks refraksi ini merupakan komponen
yang menjamin refraksi bayangan sempurna jatuh tepat di retina.
Konsentrasi glukosa pada air mata adalah 2,5-5 mg/dL dan suhu air
mata normal adalah 35°C. pH air mata normal 7,25-7,35.
Volume air mata normal diperkirakan 7 ± 2 μL pada setiap
mata. Albumin merupakan 60% total dari protein total dalam air
mata. Globulin dan lisozim berjumlah sama banyak pada bagian
sisanya. Lisozim merupakan 21-25% dari protein total dan bekerja
secara sinergis dengan gamaglobulin dan faktor anti bakteri non-
lisozim lain, membentuk mekanisme pertahanan penting terhadap
infeksi. Terdapat Immunoglobulin IgA, IgG, dan IgE. Yang paling
banyak adalah IgA.
E. Faktor yang mempengerahui liberasi, distribusi dan absorpsi obat
sediaan mata
Faktor-faktor yang mempengaruhi fase biofarmasetika
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat
fisikokimia formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bioavailabilitas
menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi
sistemik. Biofarmasetika bertujuan untuk mengatur pelepasan obat
sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang
optimal pada kondisi klinik tertentu.
Absorpsi sistemik suatu obat dari tempat ekstravaskular
dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomik dan fisiologik tempat absorpsi serta
sifat-sifat fisikokimia produk obat. Biofarmasetika berusaha
mengendalikan variabel-variabel tersebut melalui rancangan suatu produk
obat dengan tujuan terapetik tertentu. Dengan memilih secara teliti rute
pemberian obat dan rancangan secara tepat produk obat, maka
bioavailabilitas obat aktif dapat diubah dari absorpsi yang sangat cepat dan
lengkap menjadi lambat, kecepatan absorpsi yang diperlambat atau bahkan
sampai tidak terjadi absorpsi sama sekali.
Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui
suatu rangkaian proses. Proses tersebut meliputi (1) disintegrasi produk
obat yang diikuti pelepasan obat; (2) pelarutan obat; (3) absorpsi melewati
membran sel menuju sirkulasi sistemik. Di dalam proses disintegrasi obat,
pelarutan dan absorpsi, kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi
ditentukan oleh tahapan yang paling lambat dalam rangkaian tersebut.
Tahap yang paling lambat di dalam suatu rangkaian proses kinetik
disebut tahap penentu kecepatan (rate limiting step). Untuk obat-obat yang
mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju pelarutan serigkali merupakan
tahap yang paling lambat, oleh karena itu mengakibatkan terjadinya efek
penentu kecepatan terhadap bioavailablitas obat. Tetapi sebaliknya, untuk
obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju pelarutannya cepat
sedangkan laju lintas atau tembus obat lewat membran merupakan tahap
paling lambat atau merupakan tahap penentu kecepatan.
Fase biofarmasetik melibatkan seluruh unsur-unsur yang terkait
mulai saat pemberian obat hingga terjadinya penyerapan zat aktif.
Kerumitan peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk
sediaan, yang secara keseluruhan berperan pada proses predisposisi zat
aktif dalam tubuh. Seperti diketahui fase farmakodinamik dan
farmakokinetik mempunyai sifat individual spesifik dalam interaksi tubuh
dan zat aktif. Hal tersebut selanjutnya mempengaruhi intensitas
farmakologik dan kinetik zat aktif suatu obat di dalam tubuh. Dengan
demikian fase biofarmasetik merupakan salah satu kunci penting untuk
memperbaiki aktivitas terapetik.
Fase bioarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama, yaitu
L.D.A yang berarti Liberasi (pelepasan), Disolusi (Pelarutan), dan
Absorpsi (penyerapan).
1. Disintegrasi
Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus
mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan
melepaskan obat.
2. Liberasi (pelepasan)
Suatu obat mulanya merupakan zat aktif yang jika
mencapai tempat penyerapannya akan segera diserap. Proses
pelepasan zat aktif dari sediaannya cukup rumit dan tergantung
pada jalur pemberian dan bentuk sediaan, serta dapat terjadi secara
cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif di pengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis mekanis pada tempat pemasukan obat,
misalnya gerakan peristaltic usus, hal ini penting untuk bentuk
sediaan yang keras atau yang kenyal.
3. Disolusi
Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka
tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif,
yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap ketiga ini
merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap
ini juga ditetapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam bentuk
larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang terjadi disini adalah
proses ekstraksi (penyarian). Dengan demikian pemberian sediaan
larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan segera. Laju
pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per
waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan juga dipengaruhi pula
oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan
kecepatan pengadukan.
a. Sifat Fisikokimia Obat
Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai
pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas:
luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat
dalam air, dan bentuk obat yang polimorf.
b. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat
Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi
kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut
atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat
(bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam
jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat
mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media
alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan
tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks
yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium
karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air.
4. Absorpsi
Tahap ini merupakan tahap dari biofarmasetik dan awakl
farmakokinetik jadi fase ini merupakan masuknya zat aktif dalam
tubuh yang yang aturannya di tenggarai oleh pemahaman
ketersediyaan hayati (bioavailibilitas). Penyerapan zat aktif
tergantung pada berbagai parameter terutama sifat fisiko-kimia
molekul obat. Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi
apabila sebelumnya sudah dibebaskan dari sediaan dan sudah
melarut dalam cairan biologi setempat. Tahap pelepasanm dan
pelarutan zat aktif merupakan tahap penentu pada proses
penyerapan zat aktif baik dalam hal jumlah yang diserap maupun
jumlah penyerapannya.
SIFAT FISIKA-KIMIA OBAT YANG MEMPENGARUHI L.D.A
1. Faktor fisikakimia
a. Faktor fisika
Ukuran partikel :Penurunan ukuran partikel dapat
mempengaruhi laju absorbsi dan kelarutannya.
Bentuk kristal dan amorf : Bentuk amorf tidak mempunyai
struktur tertentu, terdapat ketidakteraturan dalam tiga
dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah larut daripada
bentuk kristalnya. Dan bentuk kristal umumnya lebih sukar
larut dari pada bentuk amorfnya.
Pengaruh polimorfisme : Fenomena polimorfisme terjadi
jika suatu zat menghablur dalam berbagai bentuk Kristal yang
berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi penyimpanan.
Solvat dan hidrat : Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-
pelarut dapat membentuk ikatan stabil dengan obat, disebut
solvat. Jika pelarutnya adalah air, ikatan ini disebut hidrat.
Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan bentuk
anhidrat, terutama kecepatan disolusi.
b. Faktor kimia
Pengaruh pembentukan garam : untuk mengubah senyawa
asam dan basa yang sukar larut dalam air sehingga
mempengaruhi laju kelarutannya. Pengaruh pembentukan ester
: menghambat atau memperpanjang aksi zat aktif
2. Faktor fisiologi
a. Permukaan penyerap
Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap yang
berarti dibandingkan dengan usus halus. Namun mukosa
lambung dapat menyerap obat yang diberikan peroral dan
tergantung pada keadaan, lama kontak menentukan terjadinya
penyerapan pasfi dari zat aktif lipofil dan bentuk tak terionkan
pada PH lambung yang asam.Penyerapan pasif dapat terjadi
pada usus halus secara kuat pada daerah tertentu tanpa
mengabaikan peranan PH yang akan mengionisasi zat aktif
atau menyebabkan pengendapan sehingga penyerapan hanya
terjadi pada daerah tertentu.
Suatu alkaloida yang larut dan terionkan dalam cairan
lambung, secara teori kurang diserap. Bila PH menjadi netral
atau alkali, bentuk basanya akan mengendap pada PH 5,5.
Bentuk basa tersebut kadang-kadang sangat tidak larut untuk
dapat diserap dalam jumlah yang cukup . Oleh sebab itu harus
dirancang suatu sediaan dengan pelepasan dan pelarutan zat
aktif yang cepat.
b. Umur
Saluran cerna pada bayi yang baru lahir bersifat sangat
permeabel dibandingkan bayi yang berumur beberapa bulan .
Pada bayi dan anak-anak, sebagian sistem enzimatik belum
berfungsi sempurna sehingga dapat terjadi dosis lebih pada zat
aktif tertentu yang disebabkan tidak sempurnyanya proses
detiksifikasi metabolik, atau karena penyerapan yang tidak
sempurna dan karena gangguan saluran cerna.
c. Sifat membran biologic
Sifat membran biologik sel-sel penyerap pada mukosa
pencernaan akan mempengaruhi proses penyerapan. Sifat
utama lipida memungkinkan terjadinya difusi pasif zat aktif
dengan sifat lipofil tertentu dari bentuk yang terinkan di
lambung dan terutama di usus besar.
3. Faktor Patologi
a. Faktor penghambat dan penurunan efek obat :
 Gangguan penyerapan di saluran cerna, karena adanya
perubahan transit getah lambung dan keadaan mukosa
usus.
 Penurunan absorbsi parenteral karena penurunan laju
aliran darah.
 Peningkatan eliminasi zat aktif melalui ginjal , karena
alkalosis atau asidosis.
b. Faktor penghambat dan peningkat efek obat
 Peningkatan penyerapan karena terjadi kerusakan
membranpada tempat kontak
 Insufisiensi hati
 Insufisiensi ginjal
 Gangguan pada sistem endokrin berakibat pada penekanan
laju reaksi biotransformasi
Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh
dari sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi).
Bila pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban,
maka disolusi dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi
efektivitas obat secara keseluruhan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat :
1. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat. Kecepatan disolusi obat
berbanding langsung dengan luas permukaan yang dalam kontak
dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas
permukaan total, bertambah mudah larut
2. Pengaruh daya larut obat. Pengaruh daya larut obat/bahan aktif
tergantung pada:
 Sifat kimia : modifikasi kimiawi obat
 Sifat fisik : modifikasi fisik obat
 Prosedur dan teknik pembuatan obat
 Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien
SIFAT FISIKA-KIMIA OBAT YANG MEMPENGARUHI L.D.A
Faktor fisikokimia

1. Tonisitas
Tonisitas berarti tekanan osmotik yang diberikan oleh garam-
garam dalam larutan berair. Air mata dan cairan tubuh lainnya
menunjukkan tekanan osmotik setara dengan larutan garam normal 0,9%
NaCl. Karena kandungan elektrolit dan koloid di dalamnya, cairan air
mata memiliki tekanan osmotik, yang nilainya sama dengan darah dan
cairan jaringan. Mata dapat mentoleransi larutan dengan rentang nilai
tonisitas ekivalen dengan 0,5% sampai 1,6% larutan natrium klorida tanpa
menibulkan rasa tidak nyaman. Oleh karena itu, Sediaan tetes mata
sebaiknya dibuat mendekati isotonis agar dapat diterima tanpa rasa nyeri
dan tidak dapat menyebabkan keluarnya air mata, yang dapat mencuci
keluar bahan obatnya.
NaCl tidak ada pengaruh terhadap permeabilitas kornea dan
konjungtiva. Konsentrasi NaCl yang hipertonis ini malah hanya akan
mempertinggi koefisien  partisi  partisi bahan aktif bahan aktif dalam
larutan larutan tersebut. tersebut. Sedangkan larutan Sedangkan larutan
yang hipotonis yang hipotonis akan  berpengaruh  berpengaruh terhadap
terhadap permeabilitas permeabilitas kornea dan konjungtiva konjungtiva
tetapi pengaruh pengaruh terhadap penetrasi bahan aktif akan lebih kecil
dibandingkan dengan larutan hipertonis.
Oleh karena itu, Konsentrasi senyawa dalam obat mata tidak
boleh menyebabkan hipertonisitas yang melebihi batas yang dapat
diterima, namun jika tekanan osmotic dari obat diperlukan berada pada
konsentrasi yang melebihi kesetaraan osmotik dengan cairan mata, maka
tidak ada yang dapat dilakukan karena larutan bersifat hipertonis. Sebagai
contoh larutan 10% dan 30% sulfasemid natrium bersifat hipertonis
karena jika konsentrasi kurang dari 10% tidak akan menimbulkan efek
klinis yang diharapkan. Untuk larutan hipotonik, dapat dibuat isotonik
dengan menghitung zat tambahan yang diperlukan. Pengaruh tonisitas
pada permeabilitas epitel kornea telah diteliti oleh Maurice dengan hasil
bahwa tidak ada peningkatan permeabilitas pada konsentrasi antara 0,9-
10% NaCl, sedangkan pada larutan yang hipotonik, akan terjadi
peningkatan permeabilitas kornea.

2. pH (Pendapar)
Obat memiliki aktivitas terapeutik tertinggi pada pH yang
mengandung molekul yang tak yang tak terion. Untuk Basa terion. Untuk
Basa lemah terionisasi pada pH lemah terionisasi pada pH > pKa
sedangkan asam sedangkan asam lemah terionisasi pada pH < pKa pH-
pKa = log konsentrasi asam konsentrasi garam. Ditinjau dari sudut
fisiologis PH ideal suatu obat tetes mata adalah 7,4 - 7,65. Secara ideal
obat tetes mata harus mempunyai pH yang sama dengan larutan mata,
tetapi hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena pada pH 7,4 banyak obat
yang tidak cukup larut ataupun tidak stabil pada pH 7,4. Oleh karena itu
system dapar harus dipilih sedekat mungkin dengan pH fisiologis yaitu
7,4 dan tidak menyebabkan pengendapan atau mempercepat kerusakan
obat. Jika obat. Jika harga pH yang harga pH yang di tetapkan atas dasar
stabilitas berada diluar daerah yang dapat di terima secara isiologis, maka
kita fisiologis, maka kita wajib menambahkan larutan dapar wajib
menambahkan larutan dapar dan melakukan penga ar dan melakukan
pengaturan  pH melalui penambahan asam atau basa.
Pemilihan biasanya mendahulukan masalah stabilitas dalam
batasan PH terbaik yang dapat diterima oleh mata. Jadi sangat diperlukan
mencari kondisi PH yang dapat memenuhi syarat stabilitas, toleransi dan
efektivitas. Oleh karena itu, Larutan dapar isotonik pada PH 7,4  –  9,6
tidak memberikan efek iritasi terhadap mata. Perasaan sakit yang timbul
mungkin disebabkan karena sifat aktifnya sendiri.
Cairan lakrimal mempunyai sistem dapar 7,4 yang dengan cepat
dapat mengubah derajat keasaman sediaan dengan PH 3,5 –  10,5 dengan
kapasitas dapar rendah ke PH yang dapat diterima, yaitu sekitar 7,4.
Semakin tinggi nilai pH maka semakin rendah nilai koefisien partisi dan
begitu juga sebaliknya. Semakin besar nilai koefisien partisinya maka
jumlah atau kecepatan penetrasi bahan aktif tersebut akan semakin besar
dan begitu pula sebaliknya.

3. Pengaruh konsentrasi zat aktif


Zat aktif berpenetrasi ke dalam kornea dengan cara difusi pasif
yang jika  berdasarkan Hukum Fick maka jumlah yang berpentrasi
tergantung pada konsentrasi. Bila 1 obat tetes mata bervolume 0,05 ml
sampai 0.075 ml dan diencerkan oleh air mata 0,01 ml. Untuk garam-
garam alkaloi, sistem  pengenceran penting untuk perubahan
meningkatkan pH. Untuk zat aktif yang mengiritasi mata, zat aktif akan
keluar dengan air mata sehingga penetrasi tidak terjadi.

4. Kekentalan
Tujuan penambahan zat pengental pada sediaan sediaan mata :

a. Sebagai air mata buatan  

b. Sebagai bahan pelicin untuk lensa kontak


c. Untuk meningkatkan kekentalan larutan agar waktu kontak sediaan
sediaan dengan kornea semakin lama dengan kornea dengan begitu
semakin tinggi jumlah zat aktif yang bisa terpenetrasi sehingga
meninggikan tercapainya harapan efek terapi
Salah satu contohnya pada bahan pengental senyawa
makromolekul seperti metil selulosa, akan menjerat zat aktif. Sehingga
konsentrasi zat aktif yang bisa terpentrasi berkurang. Caranya dengan
pembentukan misel, meningkatkan aksi obat (pilokarpin, kloramfenikol)
serta regenerasi sel epitel kornea. Pemilihan zat  pengental  pengental
harus positif positif terhadap terhadap ketersediaan ketersediaan hayati zat
aktif. Pada penambahan penambahan metil selulosa adanya penigkatan
efek midriasis dalam kolirium homatripon atau efek miosis dari pilokarpin
dengan penambahan pengental yang sama.

5. Surfaktan
Surfaktan adalah zat aktif permukaan yang mempunyai ujung
berbeda yaitu hidrofilik dan hidrofobik atau disebut juga dengan molekuk
amfifilik atau menyukai air dan minyak. Dengan 2 bagian yang berbeda
maka surfaktan juga dapat mendispersikan serta menstabilkan dua atau
lebih cairan yang tidak  bercampur satu sama lain. Fungsi utama surfaktan
bercampur satu sama lain. Fungsi utama surfaktan sering digunakan
dalam sediaan mata terutama obat tetes mata karena surfaktan sebagai
pembasah atau zat  penetrasi. Adanya surfaktan dalam sediaan mata ini
berfungsi untuk menurunkan tengangan antar permukaan , meningkatkan
tercampurnya obat dengan air mata, memperluas permukaan epitel
kornea, meningkatkan kontak obat dengan kornea dan konjungtiva ,
meningkatkan penembuasan dan penyerapan obat. Adapun syarat syarat
pemakaian surfaktan pada obat tetes mata harus memenuhi berbagai aspek
yaitu Sebagai antimikroba (surfaktan gol. Kationik, spt: Benzalkonium
Klorida, Setil Piridinium Klorida) , menurunkan tegangan  permukaan
antar  permukaan antara obat mata dengan kornea yang dapat
meningkatkan efek terapi obat , meningkatkan ketercampuran antara obat
mata dengan kornea sehingga meningkatkan kontak zat aktif dengan
kornea dan konjungtiva sehingga menigkatkan penembusan dan penetrasi
obat tidak boleh meningkatkan  pengeluaran air mata, tidak boleh iritan,
dan merusak kornea contohnya pada surfaktan non ionik lebih dapat
diterima dibanding surfaktan golongan lain.
Faktor Fisiologi
1. Keadaan dan fungsi dari kornea dan konjungtiva
Kornea dan konjungtiva merupakan bagian yang penting terhadap
penetrasi obat ke dalam mata. Melewati kornea lebih besar dibanding
dengan konjungtiva. Penetrasi pada konjungtiva akan lebih besar bila
terjadi iritasi oleh bahan asing,  bahan kimia atau mekanik, yang dapat
menyebabkan naiknya permeabilitas kornea dan konjungtiva (menaikkan
jumlah obat yang berpenetrasi dalam kornea atau konjungtiva) sehingga
menimbulkan efek sistemik yang tidak diharapkan. Penetrasi melalui
kornea akan lebih besar bila terjadi penyempitan atau kecepatan aliran
darah menurun dalam konjungtiva dengan adanya bahan adstringens.
2. Ikatan protein dalam air mata dengan obat
Adanya protein dalam air mata kadang-kadang dapat mengikat
suatu bahan aktif sehingga kecepatan penetrasi bahan aktif tersebut
menjadi kecil. Hal ini terjadi karena air mata terdiri dari protein, kolagen
dan elektrolit sehingga bisa terjadi Ikatan molekul obat dengan protein
pada air mata dan memungkinkan adanya penguraian metabolisme obat
(oleh enzym dalam air mata).
F. Evaluasi biofarmasetik dalam sediaan obat melalui rute pemberian mata
1. Uji Organoleptis
Uji organoleptik atau uji indera atau uji sensori merupakan cara
pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk
pengukuran daya penerimaan terhadap suatu produk. Pengujian
organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan mutu suatu
sediaan. Pengujian organoleptik dapat memberikan indikasi kebusukan,
kemunduran mutu dan kerusakan lainnya dari produk.
Uji organoleptik biasanya dilakukan untuk menilai mutu bahan
mentah yang digunakan untuk pengolahan dan formula yang digunakan
untuk menghasilkan produk. Selain itu, dengan adanya uji organoleptik,
produsen dapat mengendalikan proses produksi dengan menjaga
konsistensi mutu dan menetapkan standar tingkat atau kelas-kelas mutu.
Produsen juga dapat meningkatkan keuntungannya dengan cara
mengembangkan produk baru, meluaskan pasaran, atau dengan mengarah
ke segmen pasar tertentu. Dengan uji organoleptik, produsen juga dapat
membandingkan mutu produknya dengan produk pesaingnya sehingga
dapat memperbaiki kekurangan produknya dengan cara menyeleksi
bahan mentah atau formulasi dari berbagai pilihan atau tawaran.
Pengujiannya dilakukan dengan mengamati bau, rasa, warna
serta kelarutan bahan dalam sediaan larutan tetes mata. Setelah itu hasil
pengamatan dicatat dan dilaporkan dalam bentuk tabel.
2. Kejernihan
Kejernihan adalah suatu batasan yang relatif, artinya sangat
dipengaruhi oleh penilaian subjektif dari pengamat. Uji kejernihan
larutan sangat penting untuk memastikan tidak ada partikel padat yang
belum terdispersi kecuali sediaan yang dibuat dalam bentuk suspensi,
serta untuk mengidentifikasi partikel-partikel yang tidak diinginkan
dalam sediaan larutan tetes mata tersebut. Tidak dapat diragukan, suatu
larutan bersih yang sangat mengkilap, membawa pengaruh bagi
pengamat untuk menyimpulkan bahwa produk tersebut istimewa baik
dalam mutu maupun kemurniannya.
Prosedur Pengujian (FI IV, 881) :
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar diameter 15
mm hingga 25 mm, tidak berwarna, transparan, dan terbuat dari kaca
netral.
a. Masukkan ke dalam 2 tabung reaksi, masing-masing larutan zat uji
dan suspense padanan yang sesuai secukupnya, yang dibuat segar
sehingga volume larutan dalam tabung reaksi terisi setinggi tepat 40
mm.
b. Bandingkan kedua isi tabung setelah 5 menit pembuatan Suspensi
padanan, dengan latar belakang hitam.
c. Pengamatan dilakukan di bawah cahaya yang terdifusi, tegak lurus ke
arah bawah tabung. Difusi cahaya harus sedemikian rupa sehingga
Suspensi padanan I dapat langsung dibedakan dari air dan dari
suspensi padanan II.
3. Uji pH
Buffer dan pH dalam  sediaan tetes mata sangat penting untuk
memperbaiki daya tahan sediaan, mengoptimasi kerja zat aktif, dan juga
untuk mencapai kelarutann yang memuaskan. Mirip seperti darah, cairan
mata menunjukan kapasitas dapar tertentu.Yang sedikit lebih rendah oleh
karena system yang terdapat pada darah seperti asam karbonat, plasma,
protein amfoter dan fosfat primer – sekunder, juga dimilikinya kecuali
system – hemoglobin – oksi hemoglobin. Harga pHnya juga seperti darah
7,4 akan tetapi hilangnya karbondioksida dapat meningkatkannya smapai
harga pH 8 – 9. pada pemakain tetes biasa yang nyari tanpa rasa nyeri
adalah larutan dengan harga pH 7,3 – 9,7. daerah pH dari 5,5 – 11,4
masih dapat diterima.
Prosedur Pengujian : (FI IV)
a. Kertas indikator pH. Kertas dicelupkan ke dalam larutan dan hasil
warna yang terbentuk dibandingkan terhadap warna standar. pH meter
(FI IV, <1071>)
b. Harga pH adalah harga yang diberikan oleh alat potensiometrik
(pH meter) yang sesuai, yang telah dibakukan terhadap Baku larutan
dapar, yang mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit pH. Pelarut
untuk Larutan dapar harus sama dengan pelarut sediaan
4. Tonisitas
Tonisitas berarti tekanan osmotik yang diberikan oleh garam-
garam dalam larutan berai. Larutan mata adalah isotonik dengan larutan
lain ketika magnitude sifat koligatif  larutan  adalah  sama.  Larutan  tetes
mata  dipertimbangkan  isotonik  ketika tonisitasnya sama dengan 0,9 %
larutan NaCl. Sebenarnya mata lebih toleran terhadap variasi tonisitas
dari suatu waktu yang diusulkan. Sediaan tetes mata sebaiknya dibuat
mendekati isotonis agar dapat diterima tanpa rasa nyeri dan tidak dapat
menyebabkan keluarnya air mata, yang dapat mencuci keluar bahan
obatnya. Untuk membuat larutan mendekati isotonis, dapat digunakan
medium isotonis atau sedikit hipotonis, umumnya digunakan natrium-
klorida (0,7-0,9%) atau asam borat (1,5-1,9%) steril. Mata biasanya dapat
mentoleransi larutan sama untuk range 0,5 % – 1,8 %NaCl intraokuler.
Namun demikian ini tidak dibutuhkan ketika stabilitas produk
dipertimbangkan.
5. Uji Viskositas
Tetes mata dalam air mempunyai kerugian, oleh karena mereka
dapat ditekan keluar dari saluran konjunktival oleh gerakan pelupuk
mata. Oleh karena itu waktu kontaknya pada mata menurun.Melalui
peningkatan viskositas larutan tetes mata dapat dicapai distribusi bahan
aktif yang lebih baik didalam cairan dan waktu kontak yang lebih
panjang dengan mata. Lagi pula sediaan tersebut memiliki sifat lunak dan
licin sehingga dapat mengurangi rasa nyeri. Oleh Karena itu sediaan ini
sering dipakai pada pengobatan kerato konjunktifitis. USP mengizinkan
penggunaan peningkat viskositas untuk memperpanjang waktu kontak
dalam mata dan untuk absorpsi obat dan aktivitasnya.Bahan-bahan
seperti metil selulose, polivinil alkohol dan hidroksil metil selulose
ditambahkan secara berkala untuk meningkatkan viskositas.Para peneliti
telah mempelajari efek peningkatan viskositas dalam waktu kontak
dalam mata. Umumnya viskositas meningkat 25-50 cps range yang
signifikan meningkat lama kontak dalam mata.
Prosedur Uji :
a. Masukan larutan tetes mata dalam viskosimeter ostwald melalui pipa
yang berdiameter lebih besar/yang mempunyai labu.
b. Larutan tetes mata dihentikan dimasukan apabila ½ ruang yang
berbentuk tabung terisi.
c. Tutup labu yang berdiameter kecil dengan bola hisap
d. Hisap larutan tetes mata dengan bola hisap hingga naik diatasnya garis
yang paling atas
e. Lepaskan bola hisap,bila larutan tetes mata turun tampak pada garis
pertama,hidupkan stopwatch.
f. Matikan stopwatch ketika larutan tetes mata tepat pada garis ke 2
g. Hitung kekentalanya,lakukan percoban diatas 3 kali
h. Hitung waktu alir larutan tetes mata.hitung kekentalannya.

6. Uji Sterilitas
Semua produk tetes mata yang diberi label steril harus melewati
uji sterilitas setelah mengalami suatu proses sterilisasi efektif. Uji
sterilisasi sangat penting untuk membersihkan larutan tetes mata dari
pencemaran (kontaminasi) mikroorganisme yang merugikan (patogen)
dan juga untuk mengetahui tingkat sterilitas dari larutan tetes mata
tersebut.Sediaan tetes mata dinyatakan steril apabila bebas dari
mikroorganisme hidup yang patogen maupun yang tidak, baik dalam
bentuk vegetatif maupun dalam bentuk tidak vegetatif.
Prosedur Uji:
a. Inokulasi langsung ke dalam media perbenihan lalu diinkubasi pada
suhu 2 sampai 25°C. Volume tertentu spesimen ditambahkan volume
tertentu media uji, diinkubasi selama tidak kurang dari 14 hari,
kemudian amati pertumbuhan secara visual sesering mungkin
sekurang-kurangnya pada hari ke-3atau ke-4 atau ke-5, pada hari ke-7
atau hari ke-8 dan pada hari terakhir dari masa uji.
b. Pada interval waktu tertentu dan pada akhir periode inkubasi, semua
isi  wadah akan diamat untuk menunjukkan ada atau tidaknya
pertumbuhan mikroba seperti kekeruhan dan atau pertumbuhan pada
permukaan. Jika tidak terjadi pertumbuhan, maka sediaan tetes mata
yang telah diuji memenuhi syarat.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sediaan obat mata (optalmika) adalah tetes mata (Oculoguttae), salep

mata (oculenta), pencuci mata (Colyria), dan beberapa bentuk pemakaian

yang khusus (lamella dan penyemprot mata) serta insert sebagai bentuk depo

yang ditentukan untuk digunakan pada mata utuh atau terluka.

Mata merupakan indra penglihatan yang sangat penting . Kita dapat

melihat dunia yang indah ini dengan menggunakan mata. Tidak semua

manusia memiliki mata sehat, seperti yang memilki kelainan cacat mata, buta

warna katarak dan lainya. Mata tersebut tidak berfungsi secara baik.

Rute penghantaran obat melalui mata Ada tiga rute utama yang biasa

digunakan untuk penghantaran obat mata : Rute topical, Rute intraocular,

Rute sistemik.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. (1985). Introduction to Pharmaceutical Dosage Forms. Fourth


Edition. New york: Lea & Febiger.

Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia ediai IV. Jakarta : Departemen


Kesehatan RI.

Patel A, Cholkar K, Agrahari V, Mitra AK, 2015. Ocular drug delivery systems:
An overview. World J Pharmacol.

Pearce, Evelyn C. 1993.Anatomi dan fisiologi untukParamedis.Jakarta:PT


Gramedia Pustaka Utama.

Shargel, L. & Andrew B.C.YU. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika


Terapan. Airlangga University Press. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai