DEPARTEMEN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2011
Halaman
Daftar Isi ……………………………………………………….…………………......i
Daftar Gambar………………………………………………..........………………… ii
Daftar Tabel..................................................................................................................iii
I. Pendahuluan ………...……………..…………...……………...……………..…...1
I.1. Latar Belakang ………...……………..…………...……………...……….............1
I.2.Tujuan ………...……………..…………...……………...……………..….............1
I.3. Manfaat………...……………..…………...……………...……………..…...........1
II. Laporan kasus………………………......……….……………………………..…..2
II.1. Identitas.................................................................................................................2
II.2. Anamnesis..............................................................................................................2
II.3. Pemeriksaan Fisik..................................................................................................2
II.4. Pemeriksaan Neurologis........................................................................................3
II.5. Pemeriksaan Penunjang.........................................................................................4
II.6. Diagnosis ...............................................................................................................4
II.7. Penatalaksanaan.....................................................................................................5
II.8. Operasi...................................................................................................................5
II.9. Kesimpulan.............................................................................................................5
II.10. Diagnosis akhir.....................................................................................................6
II.11. Prognosis..............................................................................................................6
III. Tinjauan Pustaka …………….………………………………………………..…..7
III.1. Definisi .................................................................................................................7
III.2. Epidemiologi. .......................................................................................................7
IIII.3. Patofisiologi.........................................................................................................8
III.4. Gambaran Klinis.................................................................................................15
III.5. Prosedur Diagnostik............................................................................................15
III.6. Diagnosis Banding..............................................................................................16
III.7. Penatalaksanaan..................................................................................................17
Daftar Pustaka …….………………………………………...…………………......31
Lampiran…………………………..………………………………………………....32
Halaman
Gambar 1. Patofisiologi Tumor Otak Metastasis 9
Gambar 2. Gambaran CT scan 16
Gambar 3. Gambaran MRI 16
Gambar 4. Algoritme Diagnostik Multiple Enhancing Lesions 18
Gambar 5. Langkah pendekatan nyeri kanker 21
Gambar 6. Algoritme Penatalaksanaan Single Metastasis 27
Gambar 7. Algoritme Penatalaksanaan Oligometastasis 27
Gambar 8. Algoritme Penatalaksanaan Multiple Metastasis 28
Gambar 9. Algoritme Penatalaksanaan Recurrent Metastasis 29
Halaman
Tabel 1. Jenis Tumor Primer pada Metastasis Otak 7
Tabel 2. Langkah-langkah Metastasis 10
Tabel 3. Penyebab Multiple Enhancing Lesions 17
Tabel 4. Diagnosis Banding Multiple Enhancing Lesions 17
Tabel 5. Obat Anti Epilepsi pada Tumor Otak Metastasis 19
Tabel 6. Analgetik Non Opioid 21
Tabel 7. Opioid Potensi Rendah 22
Tabel 8. Opioid Potensi Tinggi 22
Tabel 9. Faktor Pertimbangan Keputusan Operasi 23
Tabel 10. Tindakan Bedah vs Radiosurgery 25
I.2. TUJUAN
Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, patofisiologi, gambaran
klinis dan penatalaksanaan kasus tumor otak metastasis.
I.3. MANFAAT
Dengan adanya laporan kasus ini dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang
tumor otak metastasis.
II.2 ANAMNESE
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
Telaah : Hal ini dialami OS sejak 7 hari sebelum masuk RS, berlangsung perlahan-
lahan dan semakin memberat dalam 1 hari sebelum MRS, diawali dengan OS bicara ngawur
hingga akhirnya OS tidak dapat berkomunikasi. Sebelumnya OS sering mengeluhkan nyeri
kepala sejak 5 bulan sebelum masuk RS, berdenyut seluruh kepala yang semakin lama
semakin memberat, dan tidak hilang dengan obat penghilang nyeri. Saat itu OS didiagnosis
dengan tumor paru kanan dengan metastasis otak dan tidak dilakukan tindakan pengobatan
baik berupa tindakan bedah, penyinaran (radiasi) maupun kemoterapi. Riwayat muntah tidak
dijumpai. Riwayat kejang tidak dijumpai. Batuk tidak dijumpai. Riwayat merokok dijumpai
sejak 30 tahun yang lalu.
RPT : tidak jelas
RPO : tidak jelas
II.6. DIAGNOSIS
Diagnosis Fungsional : Penurunan Kesadaran
II.7. PENATALAKSANAAN
1. IVFD Ringer Solution 20 gtt/ menit
2. IVFD Mannitol 20 % 100 cc/ 6 jam
3. Injeksi Ceftriaxone 2 gr/12 jam/IV
4. Injeksi Dexametason 1 amp / 6 jam/IV
5. Injeksi Ranitidin 1 amp / 12 jam/IV
6. Injeksi Fenitoin 1 amp/8 jam/IV
Analisa LCS
Warna : Jernih
LDH : 111 U/L
Total Protein : 14 mg/dL
Jumlah sel :0
Glukosa : 89 mg/dL
pH :8
PMN : Sulit dinilai
MN : Sulit dinilai
II.9. KESIMPULAN
Telah diperiksa seorang laki-laki, 50 tahun, datang ke RS Adam Malik dengan
keluhan utama penurunan kesadaran. Dari anamnese diperoleh penurunan kesadaran Hal ini
dialami OS sejak 7 hari sebelum masuk RS, berlangsung perlahan-lahan dan semakin
memberat dalam 1 hari sebelum MRS. Hal ini dialami OS sejak 7 hari sebelum masuk RS,
berlangsung perlahan-lahan dan semakin memberat dalam 1 hari sebelum MRS, diawali
dengan OS bicara ngawur hingga akhirnya pasien tidak dapat berkomunikasi. Sebelumnya OS
sering mengeluhkan nyeri kepala sejak 5 bulan sebelum masuk RS, berdenyut seluruh kepala
yang semakin lama semakin memberat, dan tidak hilang dengan obat penghilang nyeri. Saat
itu OS didiagnosis dengan tumor paru kanan dengan metastasis otak. Riwayat muntah tidak
dijumpai. Riwayat kejang tidak dijumpai. Batuk tidak dijumpai. Riwayat merokok dijumpai
sejak 30 tahun yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai kesadaran GCS 11, vital sign dalam batas
normal. Hasil pemeriksaan neurologis pada funduskopi dijumpai papil oedema. Dari hasil
pemeriksaan penunjang, dijumpai Head CT-scan menunjukkan kesan multiple intracranial
SOL di daeraj frontal kanan, parietal kiri dan serebelar kiri dengan hidrosefalus. Pemeriksaan
laboratorium darah terdapat peningkatan lekosit dan pada pemeriksaan CT Scan toraks
dijumpai tumor hilus kanan dengan limfadenopati mediastinum. Metastatic lung disease
belum dapat disingkirkan .
III.2. EPIDEMIOLOGI
Tumor otak metastasis merupakan tumor intraserebral yang paling sering dijumpai
walaupun insidensi pastinya tidak diketahui. Studi dari Percy et al menemukan insidensi
metastasis otak sebesar 11.1 per 100.000. Studi lain menemukan insidensi metastasis otak
sebesar 3.4 per 100.000.4 Metastasis otak dijumpai pada 20-40% pasien kanker dan memiliki
perbandingan 10:1 dengan tumor otak primer. Diperkirakan 98.000 hingga 170.000 pasien
didiagnosis dengan tumor otak metastasis setiap tahunnya di Amerika Serikat. Jenis kanker
yang paling sering bermetastasis ke otak adalah kanker paru, yaitu 30-60% dari seluruh
metastasis otak. 1,6
Kaskade Metastatik
Kaskade metastatik adalah rangkaian proses yang terjadi pada proses penyebaran
kanker. Tidak semua mekanisme dan faktor yang berperan telah teridentifikasi, namun
sejumlah growth factors, sitokin, mediator imunologis dan jalur molekular tampaknya
memainkan peran. Urutan kejadiannya meliputi: detachment, intravasation, transpor
embolisasi, ekstravasasi, kolonisasi dan angiogenesis. (tabel 2)4
Detachment
Setelah sel normal mengalami perubahan genetik yang mengubahnya menjadi sel
tumor, agar dapat bermetastasis, sel tersebut pertama kali harus melepaskan diri sendiri dari
massa tumor. Seperti pada sel normal, perlekatan antar sel sebagian besar dimediasi oleh
cadherins. Cadherins merupakan bagian dari kelompok protein permukaan sel yang disebut
cellular adhesion molecules (CAMS). CAMS adalah protein permukaan sel yang
memungkinkan perlekatan sel satu sama lain, atau ke extracelluler matrix (ECM). Dari
berbagai jenis cadherins, epitel cadherin (E-chaderin) adalah protein penting yang terlibat
dalam interaksi antar sel; pada dasarnya molekul ini merupakan ‘lem’ yang merekatkan sel-
sel ini bersama-sama. Sel-sel tumor menonaktifkan E-chaderin, fase penting pada
detachment. Selain hilangnya E-chaderin, sel-sel tumor mengaktifkan N-cadherin, yang
meningkatkan motilitas dan invasi dengan memungkinkan sel tumor untuk melekat dan
menginvasi stroma di bawahnya. Kehilangan adhesi adalah langkah penting pada epithelial-
mesenchymal transition (EMT). Down-regulation E-chaderin dan up-regulation N-chaderin
merupakan dua peristiwa kunci yang terjadi selama EMT. Dengan demikian, sel dengan
penurunan ekspresi E-chaderin memiliki potensi metastasis yang lebih tinggi. Beberapa bukti
terakhir menunjukkan bahwa up-regulation dari N-cadherin dengan sendirinya dapat
menyebabkan detachment dan motilitas.4
Ekstravasasi
Proses ini, seperti halnya intravasasi, membutuhkan degradasi ECM. Dengan
demikian, beberapa faktor yang sama yang terlibat dalam intravasasi, termasuk MMPs dan
UPA, juga terlibat di sini. Salah satu langkah yang lebih penting dalam ekstravasasi
melibatkan degradasi proteoglikan heparan sulfat (HSPG) dalam membran basal
dan ECM oleh endoglycosidase heparinase yang mencerna rantai HSPG. Normalnya
diekspresikan oleh trombosit dan leukosit, heparinase juga dapat dihasilkan oleh
sel termasuk astrosit dan kanker tertentu seperti prostat. Kompleks UPA-uPAR juga aktif
dalam restrukturisasi basement membran dan mengaktifkan protease lainnya. Sel tumor dapat
memperoleh akses ke jaringan sekitarnya dengan gaya geser (shear force). Sebuah fokus
tumor yang kecil, sekali tertahan di pembuluh darah, dapat mulai berproliferasi dan tumbuh
menjadi massa yang memungkinkannya mendorong melalui lapisan sel endotel pembuluh
darah untuk berkontak dengan membran basal.4
Kolonisasi
Setelah berhasil menyerang jaringan parenkim, sel-sel kanker sekarang dapat tumbuh
untuk membentuk massa. Ini adalah titik krusial yang menentukan nasib sel ini. Jika mereka
tidak mampu tumbuh, mereka akan tetap berada dalam keadaan dorman
sebagai suatu micrometastasis. Micrometastases didefinisikan sebagai fokus tumor kurang
Angiogenesis
Semua jaringan, baik neoplastik atau tidak, tergantung pada suplai darah yang cukup.
Suatu tumor tidak dapat tumbuh melebihi 1 sampai 2 mm3 jika tidak memperoleh suplai
darah sendiri,biasanya melalui angiogenesis. Sejumlah faktor yang menyebabkan
pembentukan pembuluh darah baru termasuk vascular endothelial growth factor (VEGF),
basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet derived growth factor (PDGF), dan epidermal
growth factor (EGF).VEGF tampaknya adalah yang paling signifikan. VEGF, juga disebut
vascular permeabilitas factor (VPF), memainkan peran penting dalam edema otak yang
berhubungan tumor. VEGF berikatan dengan reseptor pada sel endotel dan menginduksi
neovaskularisasi, meningkatkan permeabilitas dan mengaktifkan UPA. Hal ini juga
tampaknya merupakan penanda untuk pertumbuhan dan perkembangan tumor dan dapat
berfungsi sebagai suatu penanda prognostik. Angiogenesis adalah proses dengan berbagai
langkah. Pertama, sel-sel endotel berproliferasi dan menembus ECM host. Mereka kemudian
berkumpul menjadi pembuluh darah yang sangat ireguler dibandingkan dengan jaringan
normal. Migrasi dan transformasi sel endotel dapat dimediasi oleh bFGF, yang juga dapat
merangsang produksi protease. Pembuluh darah yang baru ini memiliki bentuk yang tidak
normal, ukuran bervariasi, dan memiliki orientasi yang tidak teratur. Mereka tidak memiliki
barrier endotel yang tipikal. Sel-sel endotel ini tidak kohesif, dan memiliki tight junction
yang jarang. Faktor-faktor ini menyebabkan pembuluh darah baru menjadi lebih permeabel.
Keuntungan dari neovaskularisasi dua kali lipat, karena tidak hanya memungkinkan sel tumor
untuk berkembang, tetapi pembuluh darah ini lebih permeabel memungkinkan sel untuk
memasuki sirkulasi dengan mudah dan menyebabkan metastasis. Hypoxic ischemic factor
(HIF) merupakan mediator penting lain pada angiogenesis. HIF-1 terkait erat dengan
oksigenasi jaringan. Dalam kondisi sel hipoksia, seperti yang terlihat pada sel tumor yang
terlalu aktif metabolismenya, HIF-1 meningkat. Hal ini kemudian memicu up-regulation
III.7. PENATALAKSANAAN
III.7.1. TERAPI SIMPTOMATIS DAN SUPORTIF
Penatalaksanaan pasien dengan metastasis otak selalu difokuskan pada pilihan
terapi seperti pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Namun begitu manajemen gejala dan
perawatan suportif juga sama pentingnya, termasuk pemberian kortikosteroid,
penatalaksanaan kejang dan nyeri, penilaian gangguan menelan, penatalaksanaan kejadian
tromboemboli, penggunaan antikoagulan yang tepat dan aman, serta evaluasi masalah
psikiatrik. Penatalaksaaan suportif yang baik akan meningkatkan kualitas hidup dan
memungkinkan pasien untuk berkonsentrasi pada terapinya.4
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid seringkali dibutuhkan pada pasien tumor otak metastasis
untuk mengendalikan gejala yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranial. Edema
peritumoral merupakan penyebab utama peningkatan tekanan intrakranial dan dimediasi oleh
berbagai mekanisme, termasuk peningkatan permeabilitas yaang dinduksi oleh faktor-faktor
yang disekresi oleh tumor dan jaringan sekitar, seperti radikal bebas, asam arakidonat,
glutamat, histamin, bradikinin, atrial natriuretic peptide, dan VEGF. Dexamethasone
merupakan steroid potensi tinggi yang paling sering digunakan untuk mengatasi edema yang
berhubungan dengan tumor otak. Mekanisme dexamethasone dan glukokortikoid lain dalam
Nyeri Kanker
Nyeri dapat timbul pada tumor otak metastasis. Metastasis pada parenkim otak
menyebabkan nyeri dengan meningkatkan tekanan intra kranial (TIK) dan menyebabkan
traksi dura. Nyeri kepala biasanya tidak terlokalisasi dengan baik dan sering dirasakan di
seluruh kepala. WHO telah menetapkan pendekatan farmakologis dalam tatalaksana nyeri
kanker, yang bergantung pada intensitas nyeri, apakah ringan, sedang atau berat. Langkah 1
adalah untuk pasien dengan nyeri ringan atau menengah dan terdiri dari penggunaan analgetik
nonopioid, yaitu asetaminofen, salisilat dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID).
Langkah 2 ditujukan pada pasien dengan nyeri ringan hiingga menengah yang tidak teratasi
dengan analgesik onopioid dan untuk pasien dengan nyeri menengah hingga berat saat onset
yang terdiri dari opioid potensi rendah yaitu kodein, oxycodone, hydrocodone, dan
propoxyphene. Langkah 3 merupakan opioid potensi tinggi, mencakup morfin, oxycodone,
hydromorphone, levorphanol, methadone dan fentanyl. Langkah 3 ditujukan pada pasien
dengan nyeri berat atau yang tidak teratasi dengan opioid potensi rendah. Analgetik ajuvan
dapat diberikan bersamaan dengan obat-obat pada langkah 1,2,3. 1
Klasifikasi RPA
The Radiation Therapy Oncology Group mengembangkan metode stastistik untuk
mengkategorikan pasien kanker yang dikenal dengan sistem klasifikasi Recursive Partitioning
Analysis. Sistem klasifiksi ini berdasarkan usia, skor Karnofsky Performance Scale (KPS) dan
luasnya penyakit sistemik. Pasien dengan RPA kelas 1 memiliki usia kurang dari 65 tahun,
memiliki skor KPS 70 atau lebih dan tidak memiliki penyakit sistemik atau memiliki penyakit
sistemik yang terkontrol. Pasien dengan RPA kelas 2 memiliki usia 65 tahun atau lebih dan
memiliki penyakit sistemik yang tidak terkontrol, namun nilai KPS yang lebih dari 70. Pasien
dengan KPS kurang dari 70 dikategorikan sebagai RPA kelas 3. Pasien dengan RPA kelas 1
dianggap sebagai kandidat yang baik untuk tindakan kraniotomi, sedangkan pasien dengan
RPA kelas 3 dianggap sebagai kandidat yang buruk. Pemilihan pasien dengan RPA kelas 2
kurang begitu jelas, dan membutuhkan pertimbangan yang lebih hati-hati seperti durasi dan
faktor risiko medis.4
Selama lebih dari 30 tahun, radiosurgery (RS) merupakan pilihan terapi bagi pasien
tumor otak. Pada 15 tahun terakhir, RS merupakan pilihan terapeutik yang juga
dipertimbangkan pada pasien dengan metastasis otak. Tindakan RS relatif aman dan efektif
bagi pasien dengan metastasis otak. Walaupun data kelas I terbatas, sejumlah studi
menunjukkan bahwa penambahan RS pada WBRT meningkatkan survival pasien dengan
metastasis tunggal, memperbaiki kontrol lokal pada pasin dengan dua hingga empat
metastasis dan memperbaiki outcome fungsional pasien.Sejumlah data kelas II dan III juga
mendukung penggunaan RS dengan WBRT atau sebagai moterapi dan menunjukkan bahwa
efikasinya serupa dengan tindakan bedah.11
Beberapa studi retrospektif menunjukkan bahwa RS dan tindakan bedah memiliki
efektivitas yang sama pada metastasis otak. Tabel berikut menunjukkan risiko dan manfaat
tindakan bedah dan RS. Lokasi dan ukuran tumor dan adanya edema merupakan perimbangan
yang penting dala memutuskan penggunaan RS atau tindakan bedah. Tumor dengan ukuran
besar, pada lokasi yang mudah dijangkau, dan berkaitan dengan efek massa harus dilakukan
Level Rekomendasi
Pembedahan + WBRT vs 1 Pembedahan diikuti WBRT lebih unggul dibanding
Pembedahan saja pembedahan saja
Pembedaha n + WBRT vs 2 Efektivitas sama (SRS blm utk lesi > 3 cm atau yg
SRS ± WBRT menimbulkan efek massa signifikan)
3 SRS saja memberikan outcome yang hampir sama
dengan pembedahan + WBRT untuk metastasis
tunggal
Pembedahan + WBRT vs 1 Pembedahan diikuti WBRT lebih baik dibanding
WBRT saja WBRT saja pada pasien dengan status performance
yang baik
Level Rekomendasi
SRS +WBRT vs WBRT SRS + WBRT lebih baik dibandingkan WBRT saja
saja 1 pada pasien dengan metastasis tunggal dan KPS ≥ 70
III.7.3. Radiasi
Whole brain radiation therapy (WBRT) telah menjadi terapi utama pada tumor otak
metastase selama lebih dari 50 tahun dan merupakan terapi paliatif yang paling efektif pada
sebagian besar pasien. Isu penting pada penggunaan WBRT adalah mengoptimalkan
efikasinya jika digunakan bersamaan dengan tindakan bedah, radiosurgery, agen
radiosensitizing dan agen kemoterapi. Pendekatan multimodal ini memberikan peningkatan
median survival yang signifikan pada banyak pasien. Tindakan bedah dengan atau tanpa
WBRT masih menjadi pilihan penting pada pasien dengan metastasis otak tunggal. Walaupun
begitu reseksi bedah dikontraindikasikan pada banyak pasien karena kondisi komorbid atau
lokasi yang unresectable.10
III.7.4. Kemoterapi
Tumor otak metastasis umumnya menunjukkan respon yang buruk terhadap
kemoterapi. Hal ini tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor misalnya sifat tumor yang
relatif resisten obat, fakta bahwa metastasis otak biasanya dijumpai pada pasien dimana
kemoterapi sebelumnya telah gagal dan adanya sawar darah otak.Terdapat sejumlah studi
tentang penggunaan temozolamide pada tumor otak metastasis. Agen kemoterapi oral ini telah
banyak dgunakan pada terapi highgrade glioma dan menunjukkan penetrasi yang baik pada
sawar darah otak. Sejauh ini, efek obat ini masih terbatas. Obat ini lebih efektif jika
digunakan dengan kombinasi dengan WBRT atau radiosurgery.6
Metastasis Tunggal
Pasien dengan metastasis tunggal dan penyakit sistemik yang terkontrol atau stabil
harus diterapi secara agresif dengan tindakan bedah atau RS, kecuali jika faktor prognostik
lainnya seperti skor KPS atau penyakit sistemik tidak memungkinkan tindakan yang sangat
agresif. Hasil studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan prognosis yang baik, tindakan
bedah dan radioterapi lebih unggul jika dibandngkan dengan radioterapi saja; begitu pula RS
ditambah WBRT lebih unggul dibandingkan WBRT saja.8
Oligometastasis
Gambar berikut menunjukkan rekomendasi untuk pasien dengan dua atau tiga lesi
metastatik. Seperti hal nya metastasis tunggal, tindakan bedah harus dipertimbangkan pada
metastasis dengan efek massa yang signifikan.8
1. Schiff D, Wen PT. Cancer Neurology in Clinical Practice. New Jersey. 2003.
2. De angelis LM, Gutin PH, Leibel SA, Posner JB. Intracranial Tumors: Diagnosis and
treatment. United Kingdom: Martin Dunitz; 2002.
3. Kaye AH, Laws ER. Brain Tumor, 2nd ed. London : Churchiil Livingstone; 2001.
4. Raizer JJ, Abrey LE. Brain Metastases. New York ; Springer; 2007.
5. Brem S, Panattil JG. An Era of Rapid Advancement: Diagnosis and Treatment of
Metastatic Brain Cancer. 2005. Neurosurgery 57:S4-5-9.
6. Tonn JC. Westphal M, Rutka JT, Grossman SA. Neurooncology of CNS Tumors. Berlin:
Springer. 2006.
7. Young RJ, Sills AK, Brem S.Neuroimaging of Metastatic Brain Disease. Neurosurgery.
2005. S4-10-23.
8. Ewend MG, Elbabaa S, Carey LA. Current Treatment Paradigms for The Management of
Patients With Brain Metastases. Neurosurgery. 2005; 57: S4-54-S4-56.
9. Sills AK. Current Treatment Approaches to Surgery for Brain Metastases. Neurosurgery.
2005.57. S4-24-32.
10. Mehta MP, Khuntia D. Current Strategies in Whole-Brain Radiation Therapy for Brain
Metastases. Neurosurgery. 2005. 57; S4-33-S4-44.
11. McDermott MW, Sneed PK. Radiosurgery in Metastatic Brain Cancer. Neurosurgery.
2005; S5-45-S4-53.
12. Peereboom DM. Chemotherapy in Brain Metastases. Neurosurgery. 2005; 57: S4-54-S4-
56.
13. DeMonte F, Gilbert, Mahajan A, et al. Tumors of the Brain and Spine. New York”
Springer. 2007.
14. Ryken TC, McDermott, Robinson PD, et al. The Role of Steroids in The Management of
Brain Metastases: A Systematic Review and Evidence-Based Clinical Practice Guideline.
J Neurooncol. 2010; 96 : 103-114.
15. Linskey ME, Andrews DW, Asher AL, et al. The role of stereotactic radiosurgery in the
management of patients with newly diagnosed brain metastases: a systematic review and
evidence-based clinical practice guideline. J Neurooncol. 2010; 96 : 45-68.
16. Rojiani MV, Aldina J, Espositi N, et al. Expression of MMP-2 correlates with increased
angiogenesiss on CNS metastasis of lung carcinoma. Int J Clin Exp Pathol. 2010; 3 (8):
775-781.