Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan fungsi penglihatan pada bayi sampai mereka tumbuh dewasa

merupakan faktor penting yang perlu mendapat perhatian khusus.Untuk mencapai

perkembangan fungsi penglihatan normal dibutuhkan persyaratan khusus selain

perkembangan fisik/ anatomis mata anak yang normal.Persyaratan tersebut adalah

dibutuhkan rangsangan visual yang terus menerus pada daerah selaput jala mata

(retina) tepatnya daerah makula lutea agar fungsi penglihatan mencapai fungsi

yang normal dan optimal. Bila persyaratan ini terganggu dan tidak segera diatasi

maka anak tidak akan pernah mencapai fungsi penglihatan yang normal seumur

hidupnya ( Menurut Dr. Miriam Stoppard,1995).

Prof DR Dr KH Salamun Sastra MPH.,MEd.,MSc.,MBA, SpM, mengatakan,

dihubungkan dengan daya lihat maka sejak dari lahir setiap anak sudah

mempunyai bakat matanya akan menjadi melihat dekat, jauh atau terbaur pada

usia 5-6 tahun barulah seorang anak memiliki daya lihat sempurna. Mulai saat ini

pula dapat ditentukan kelainan daya lihat yang disebut tajam penglihatan. Apapun

kelainan tajam penglihatan dapat diatasi dengan kacamata yang sesuai.

Selama ini mansyarakat mengetahui bahwa membaca ditempat yang

bercahaya remang bisa merusak mata. Namun yang sebenarnya terjadi adalah

tidak merusak mata, namun mata megalami ketegangan. Kondisi ini biasanya

seringkali dilakukan anak anak sebelum menjelang tidur dengan hanya ditemani

cahaya redup atau remang dikamarnya ana anak membaca buku cerita, komik tau

buku cerita lainnya. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam British Medical

1
Journal diungkapkan bahwa membaca di bawah cahaya rendah tidak merusak

mata, tapi menyebabkan ketegangan mata. Karena ketika seseorang membaca atau

berjalan di cahaya redup, maka mata akan menyesuaikan dengan beberapa cara.

1. Retina mata akan mulai memproduksi zat kimia yang lebih sensitif terhadap

cahaya, bahkan zat kimia ini dapat mendeteksi cahaya yang dikonversikan ke

sinyal listrik serta mengirimkan sinyal ke otak.

2. Iris otot menjadi rileks sehingga menyebabkan pembukaan mata. Hal ini

memungkinkan mata untuk mengumpulkan cahaya sebanyak mungkin

sehingga sel-sel saraf retina bisa beradaptasi dengan cahaya rendah agar retina

mata bisa bekerja pada cahaya rendah.

Saat membaca di tempat dengan cahaya redup, fokus akan menjadi lebih sulit,

hal ini yang membuat mata harus bekerja keras untuk bisa memisahkan kata dan

mata menjadi lebih tegang.Jika mata bekerja keras untuk waktu yang panjang,

maka mata akan menjadi lelah meskipun banyak otot yang digunakan. Kondisi ini

dapat mengakibatkan beberapa efek fisik seperti mata sakit, gatal, sakit kepala,

nyeri punggung dan leher serta penglihatan berkurang. Selain itu terkadang

seseorang jarang berkedip karena terlalu fokus pada satu objek, sehingga

kemungkinan bisa mengalami mata kering dan rasa tidak nyaman.

Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus, maka ketegangan mata akan

semakin meningkat. Jika gejala yang dialami tidak berkurang, maka kemungkinan

orang tersebut memiliki masalah mendasar seperti mata rabun jauh atau miopia.

Membaca di cahaya redup menyebabkan kerusakan permanen, kemungkinan

karena seseorang sudah memiliki masalah mendasar mengenai rabun jauh dan

ditambah dengan terjadinya ketegangan mata, maka hal ini juga dapat sampai

menimbulkan kelainan peglihatan binokuer, seperti terjadinya esotropia pada anak

2
karena daya konvergensi akomodasi yang berebihan. Esotropia merupakan juling

ke dalam atau strabismus konvergen manifes dimana sumbu penglihatan

mengarah ke arah nasal. Juling ke dalam atau stabismus konvergen manifestasi

dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal. Esotropia adalah suatu

penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah satu sumbu

penglihatan yang nyata di mana salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi

sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke

arah medial.

Esotropia adalah tipe yang umum ditemukan pada stabismus deviasi, terjadi

2% sampai 4% dari popolasi umum. Beberapa investigator telah memberikan

laporan tejadinya lebih tnggi dari esotropia pada kulit putih versus ras yag

lain,teapi ini tidak dilakukan penelitian. Esotropia tidak pilihan pada jenis kelamin

dan ditemukan lebih banyak frefequensinya dari pada exatropia.prevalensi rasio

dari esotropia dari exotropia rangenya dari 2/1 sampai 4/1. (John G.Casse, OD, JD

dkk : 207)

Pada kesempatan ini penulis membahas tentang “Penyebab Meningkatnya

Ketegangan Mata pada Miopia Tinggi yang dapat Mengakibatkan Esotroia pada

Anak” dan alat-alat apa saja yang cocok digunakan dalam pemeriksaan ini untuk

mengetahui gejala ataupun penyebab gangguan penglihatan binokuler anomali

seperti amblyopia pada anak-anak.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa penyebab miopia tinggi yang akan mengakibatkan kelainan esotropi

pada anak?

2. Bagaimana penaggualangan anak yang mengalami ketegangan mata

miopia tinggi yang berampak esotropia?

3
3. Terapi apa yang harus diberikan pada anak yang mengalami esotropia?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui penyebab miopia tinggi yag dapat mengakibatkan kelainan

esotropia

2. Mengetahui penaggulangan ana yang megalami ketegangan mata miopia

tinggi yang berdampak esotropia

3. Mengetahui terapi yang harus diberikan pada anaka yang mengalami

esotropia

1.4 Manfaat Penilitian

1. Memberikan informsi kepada masyarakat khususnya orangtua akan

bahaya membaca dibawah cahaya yang terlalu redup dan dengan jarak

dekat masa yang terlalu lama pada anak anak sehingga dapat terjadi

ketegangan mata sehingga mengakibatkan kelainan mata stabismus

esotropia sejak dini.

2. Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sebagai tinjauan bahan untuk

memberikan gambaran perbandingan untuk penelitian selanjutnya.

3. Sebagai informasi ke bagi instansi-instansi kesehatan dan pendidikan serta

pihak-pihak lain yang terkait untuk lebih memperhatikan aspek kelainan

esotropia padaa anak sejak dini.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi adalah suatu kondisi ketika sinar datang sejajar pada

sumbu mata dalam keadaan tidak berakomodasi yang seharusnya direfraksikan

oleh mata tepat pada retina sehingga tajam penglihatan maksimum tidak

direfraksikan oleh mata tepat pada retina baik itu di depan, di belakang maupun

tidak dibiaskan pada satu titik. Kelainan ini merupakan bentuk kelainan visual

yang paling sering dan dapat terjadi akibat kelainan pada lensa ataupun bentuk

bola mata (Istiqomah, 2004).

Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk

pada retina (Ilyas, 2004)

2.1.1 Miopia

Miopiia dapt didefinisikan bahwa seorang yang menderita kelainan mata

miopia,berarti sipenderita tidak dapat (terganggu) untuk melihat jauh

(Kapler,1661).

Miopia ditentuan dengan ukuran lensa negative dalam dioptri. Klasifikasi

miopia antar lain yaitu, miopia ringan -0.25 sampai -3.00 D, miopia sedang -3.25

sampai -6.00 D, miopia tinggi >-6.00 D .

2.1.1.1 Mekanisme terjadinya Miopia pada anak

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa anak yang membaca atau bekerja

dengan jarak dekat dalam waktu lama akan menyebabkan miopia. Tetapi

mekanisme dan hubungan antara keduanya belum dapat dijelaskan. Kelainan

refraksi dan panjang sumbu mata diperkirakan lebih berhubungan erat dengan

5
orang tua yang juga memiliki kelainan refraksi dibandingkan dengan kebiasaan

bekerja dalam jarak dekat. Kebiasaan anak seperti belajar/membaca lebih dari 5

jam/hari, bermain game, menonton televisi di atas 2 jam/hari akan meningkatkan

resiko miopia. Sebaliknya anak yang bermain di luar rumah lebih dari 2 jam/hari

lebih kecil kemungkinan terkena miopia.

Penyulit yang dapat timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya

ablasi retina dan juling atau strabismus. Juling biasanya esotropia atau juling ke

dalam akibat mata konvergensi terus menerus. Bila terdapat juling keluar

mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia (Ilyas, 2009)

Faktor-Faktor yang mempengaruhi miopia selain itu, ada beberapa faktor

resiko yang dapat mempengaruhi seseorang untuk cenderung mengalami miopia,

diantaranya adalah :

1. Genetik dan Lingkungan

Ada dua hipotesis yang berkembang untuk menunjukkan hubungan antara

miopia pada orang tua dan miopi pada anak. Yang pertama adalah teori dari

kondisi lingkungan yang diwariskan. Tendensi untuk miopia dalam suatu

keluarga lebih mungkin disebabkan lingkungan yang mendorong untuk

melakukan kegiatan yang berjarak dekat dengan intens dalam keluarga,

daripada karena faktor genetik. Orang tua dengan miopia biasanya akan

menetapkan standar akademik yang tinggi atau mewariskan kesukaan

membaca pada anak-anak mereka daripada mewariskan gen itu sendiri.

Penelitian di Tanzania menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki status

pendidikan tinggi, terutama ayahnya, lebih banyak mempunyai anak yang

menderita miopia.

2. Faktor Perilaku

6
a. Membaca buku. Anak-anak dengan miopia yang tinggi membaca lebih

sering dibanding dengan anak-anak dengan miopia rendah ataupun yang

tidak miopia yaitu lebih dari 2 buku dalam seminggu. Pekerjaan jarak dekat

seperti jarak membaca yang terlalu dekat (< 30 cm) dan lama membaca (>

30 menit) juga dapat meningkatkan terjadinya miopia pada anak. 23

Kebiasaan membaca dalam waktu lama dapat menyebabkan tonus otot

siliaris menjadi tinggi sehingga lensa menjadi cembung yang

mengakibatkan bayangan objek jatuh di depan retina dan menimbulkan

miopia.

b. Menggunakan computer. Semakin lama orang melihat dekat, akan semakin

besar kemungkinannya menderita miopia. Miopia akan mulai timbul bila

mengoperasikan komputer minimal 4 jam sehari, dan paling banyak

diderita oleh orang-orang yang bekerja dengan melihat dekat selama 8-10

jam sehari. Dengan posisi duduk didepan komputer untuk jangka waktu

beberapa jam, dapat memperberat kerja otot mata untuk mengatur fokus

dan menimbulkan ketegangan mata. Disamping itu, penggunaan komputer

berlebihan dapat mempercepat angka kejadian miopia. Beban kerja

pengguna komputer atas dasar lama waktu kerjanya dibagi sebagai berikut :

a) Beban kerja berat, lama waktu kerja lebih dari 4 jam secara terus

menerus.

b) Beban kerja sedang, lama waktu kerja 2 - 4 jam secara terus menerus.

c) Beban kerja ringan, lama waktu kerja kurang dari 2 jam secara terus

menerus.

2.1.1.2 Kelainan Mata Yang Berhubungan Dengan Miopia

1. Glaukoma

7
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai adanya ekskavasi

glaukomatosa, neuropati saraf optik serta kerusakan lapang pandangan

yang khas dan utamanya diakibatkan oleh tekanan bola mata yang tidak

normal. Adanya hubungan antara miopia tinggi dengan peninggian

tekanan intraokuli dan bertambahnya panjang sumbu bola mata dapat

menyebabkan meningkatnya tekanan intraokuli.

2. Strabismus

Strabismus adalah kelainan kedudukan bola mata dan bisa terjadi pada

arah atau jarak penglihatan tertentu saja, misalnya kelainan kedudukan untuk

penglihatan jarak jauh saja atau ke arah apa saja, atau terjadi pada semua arah

dan jarak penglihatan. Gangguan fungsi mata seperti pada kasus kesalahan

refraksi berat bisa berakhir pada strabismus. Strabismus esotropia terjadi

karena pada pasien miopia memiliki pungtum remotum yang dekat sehingga

mata selalu dalam atau kedudukan konvergensi yang akan menimbulkan

keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka

penderita akan terlihat juling kedalam atau esotropia. Bila terdapat juling

keluar mungkin fungsi satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia.

Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih tinggi dari mata yang

lain, dapat terjadi ambliopia pada mata yang miopianya lebih tinggi.

Penglihatan yang baik harus jernih dan bayangan terfokus pada kedua mata.

Bila bayangan kabur pada satu mata, atau bayangan tersebut tidak sama pada

kedua mata, maka jaras penglihatan tidak dapat berkembang dengan baik,

bahkan dapat memburuk. Bila hal ini terjadi, otak akan “mematikan” mata

yang tidak fokus dan penderita akan bergantung pada satu mata untuk melihat.

Beratnya ambliopia berhubungan dengan lamanya mengalami kurangnya

8
rangsangan untuk perkembangan penglihatan makula. Mata ambliopia yang

menggulir ke temporal disebut strabismus divergen (eksotropia). Pasien

miopia mempunyai pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam

atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia

konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat

juling ke dalam atau esoptropia. (Robert P. Rutstei, OD, MS dkk : 208)

2.1.2 Hypermertropi

Hypermetropia dimana sinar-sianar sejajar yang masuk kedalam bola mata

dibiaskan oleh media refrakta dibelakang retina (Kastrner,1759).

2.1.3 Astigmatsme

Astigmatisme merupakan suatu keadaan dimana sinar sinar sejajar yang

memasuki bola mata itu dibiaskan oleh media refrakta tidak pada satu titik,

melainkan pada dua titik yang terpisah. Seseorang dengan astigmat akan

memberikan keluhan yaitu melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik.

2.2 Pengertian Esotropia

Esotropia juling kedalam atau strabismus konvergen manifestdimna sumbu

penglihatn mengarah kearah nasal. (Robert P. Rutstein, OD, MS dkk : 205)

1. Strabismus adalah keadaan dimana kedua mata tidak “straight” atau tidak

terlihat lurus/posisi yang tidak sama pada kedua sumbu (WWW.

Mahendraindonesia. Cpm, thn)

2.    Juling adalah suatu keadaan dimana terjadi kegagalan kedua mata untuk

terletak lurus yang mungkin diakibatkan karena tidak sempurnanya

penglihatan kedua mata atau terjadi gangguan saraf yang menggerakkan otot-

otot mata (Ilyas Sidarta, 2004)

9
3. Keadaan dimana sumbu penglihatan mata tidak dapat diraihkan pada satu titik

kesemua arah pandang (David Ovedaff, 2002. hal 895)

Ada dua tipe strabismus dipandang dari ketidakmampuan mengarahkan mata

pada satu titik kesemua arah pandang.

a) Paralitik (non komitan) juling tidak seimbang.

Yaitu akibat kelumpuhan oto-otot ekstravaskular sendiri, kedua mata luru

kecuali  bila berpindah kearah otot yang paralitik.

b) Non paralitik (kon komitan) juling seimbang.

Yaitu suatu kelainan yang dimana mata bervariasi tanpa ada lesi

neurologist sehingga gerakan kedua mata biasanya tidak terganggu karena

kelainan tidak disebabkan kelainan saraf.

2.2.1 Tipe Strabismus Kon Komitan

1) Strabismus esotopia (konvergen)

2) Esotropia didapat, dibedakan menjadi 2 :

a) Esotropia didapat (akomodatif)

Merupakan bentuk esotropia yang biasa ditemukan pada anak usia 2 tahun

lebih dengan keadaan mata untuk melihat lebih jelas. Juling ini dapat terjadi

saat melihat jauh, dekat, atau keduanya. 3 jenis esotropia akomodatif :

1. Refraktif akibat hipermetropia tidak dikoreksi.

2. Non refraktif akibat rasio akomodasi yang tinggi.

3. Gabungan

Esotropia akomodatif terjadi apabila terdapat mekanisme akomodasi

fisiologik normal disertai respon konvergensi berlebihan tetapi divergensi fusional

yang relatif inufisiensi untuk menahan mata tetap lurus. Tetapi dua mekanisme

patologik yang bekerja, bersama-sama atau tersendiri :

10
1. Hiperopia yang cukup tinggi, yang memerlukan banyak akomodasi(dan

dengan demikian konvergensi) untuk memperjelas bayangan sehingga

timbul esotropia

2. Rasio KA/A yang tinggi, yang disertai hiperopia ringan samapi sedang.

b) Esotropia nonakomodatif didapat

Jenis esotropia ini timbul pada anak, biasanya setelah usia 2 tahun. Hanya

sedikit atau tidak terdapat faktor akomodatif. Sudut strabismus sering lebih kecil

daripada yang terdapat pada esotropia infantilis tetapi dapat meningkat seiring

dengan waktu. Di luar hal itu, temuan klinis sama seperti yang terdapat pada

esotropia konginetal. Terapi adalah tindakan bedah dan mengikuti petunjuk yang

samaseperti untuk esotropia konginetal.

2.2.2 Esotropia Infantilis

Hampir separuh dari semua kasus esotropia termasuk dalam kelompok ini.

Pada sebagian besar kasus, penyebabnya tidak jelas. Deviasi konvergen telah

bermanifestasi pada usia 6 bulan. Deviasinya bersifat comitant, yakni sudut

deviasi kira-kira sama dalam semua arahpandangan dan biasanya tidak

dipengaruhi akomodasi. Dengan demikian, penyebab tidak berkaitan dengan

kesalahan refraksi atau bergantung pada paresis otot ekstraokular. Sebagian besar

kasus mungkin disebabkan oleh gangguan kontrol persarafan, yang mengenai

jalur supranukleus untuk konvergensi dan divergensi serta hubungan sarafnya ke

fasikulus longitudinal medialis. Sebagian kecil kasus disebabkan oleh variasi

anatomik misalanya anomali insersi otot-otot yang bekerja horizontal, ligamentum

penahan abnormal atau berbagai kelainan fasia lainya. (Robert P. Rutstein, OD,

MS dkk : 205)

11
Terdapat banyak bukti bahwa strabismus dapat diturunkan secara genetis.

Esoforia dan esotropia sering diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Saudara

kandung mungkin mengalami deviasi mata yang sama. Sering terdapat unsur

akomodatif pada esotropia comitant, yakni koreksi kesalahan refraksi hiperopik

berkurang tetapi tidak menghilangkan semua deviasi.

Deviasi itu sendiri sering besar (≥40o) dan biasanya  comitant. Abduksi

mungkin terbatas, tetapi dapat terjadi. Setelah usia 18 bulan, dapat diamati ada

deviasi vertikal. Yakni, kerja berlebihan otot-otot oblikus atau disosiasi deviasi

vertikal. Mungkin dijumpai nistagmus, mansfestasi maupun laten. Kesalahan

refraksi yang paling sering dijumpai adalah hipertropia sedang.

Mata yang tampak lurus adalah mata yang digunakan untuk melakukan

fiksasi. Hampir selalu, mata tersebut adalah mata yang memiliki penglihatan yang

lebih baik atau kesalahan refraksi yang lebih rendah (atau keduanya). Apabila

terdapat anisometropia, mungkin juga terdapat ambliopia. Apabila dalam waktu

yang berlaianan mata yang digunakan untuk fiksasi berbeda-beda, pasien

dikatakan memperlihatkan fiksasi berselang seling spontan; dalam hal ini,

penglihatan kedua mata mungkin sama atau hampi sama. Pada sebagian kasus,

preferensi mata ditentukan oleh arah pandangan. Misalnya, pada esotropia skala

besar, terdapat kecenderungan pasien menggunakan mata kanan sewaktu

memandang ke kiri dan mata kiri  untuk memandang ke kanan (fiksasi silang)

Esotropia infantilis diterapi secara bedah. Terapi awal non bedah dapat

diindikasikan untuk memastikan hasil terbaik yang dapat dicapai. Perlu

ditekankan bahwa amblioplia harus diterapi secara penuh sebelum dilakukan

tindakan bedah. Pada kesalahan refraksi hipertropik 3 D atau lebih harus dicoba

12
penggunaan kacamata untuk menentukan  apakah penurunan akomodasi

menimbulkan efek positif terhadap deviasi. Sebagai alternatif untuk penggunaan

kacamata, dapat digunakan miotika. (Robert P. Rutstein, OD, MS dkk : 211)

Gambar 2.1 Esotropia Infantilis

13
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

3.1.1. Jenis Penelitian

Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan

metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba (Sayekti

Pujosuwarno, 1992: 34) yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat

juga disebut dengan case study ataupun qualitative, yaitu penelitian yang

mendalam dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek

penelitian. Lebih lanjut Sayekti Pujosuwarno (1986: 1) mengemukakan pendapat

dari Moh. Surya dan Djumhur yang menyatakan bahwa studi kasus dapat

diartikan sebagai suatu teknik mempelajari seseorang individu secara mendalam

untuk membantunya memperoleh penyesuaian diri yang baik Menururt Lincoln

dan Guba (Dedy Mulyana, 2004: 201) penggunaan studi kasus sebagai suatu

metode penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan, yaitu :

1. Studi kasus dapat menyajikan pandangan dari subjek yang diteliti.

2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa yang

dialami pembaca kehidupan sehari-hari.

3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan antara

peneliti dan responden.

4. Studi kasus dapat memberikan uraian yang mendalam yang diperlukan bagi

penilaian atau transferabilitas.

Pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan untuk mengetahui

tentang sesuatu hal secara mendalam. Maka dalam penelitian ini, peneliti akan

menggunakan metode studi kasus untuk mengungkap tentang kelainan mata si

14
anak yang mengalami kelinan esoropia akibat miopia tinggi. Oleh sebab itu

peneliti akan melakukan pengamatan pemeriksaan langsung pada pasien yang

mengalami kelainan esotropia yang disebabkan miopia tinggi.

3.1.2. Sumber Data

1. Data primer dikumpulkan dengan melakukan observasi atau pengamatan

langsung ke pada si anak yang mengalami kelainan esotropia akibat

ketegangan sehingga terjadi miopia tinggi.

2. Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain

menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Data ini dapat ditemukan

dengan cepat. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah

literatur, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian

yang dilakukan.

3.2 Lokasi Penelitian

Dalam penulisan proposal KTI ini penulis melakukan penelitian ROC Optical

kampus STIKES Binalita Sudama

3.3 Waktu Penelitian

Kegiatan penelitian ini dimulai sejak disahkannya proposal penelitian serta

surat ijin penelitian, yaitu 2 Maret 2017 sampai 2 April 2017.

3.4 Metode Pengumpulan Data

1. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan dilakukan

oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan

dan pewawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu

(Moloeng, 2007: 186). Wawancara dipergunakan untuk mengadakan

15
komunikasi dengan subjek penelitian sehingga diperoleh data-data yang

diperlukan. Teknik wawancara mendalam ini diperoleh langsung dari subyek

penelitian melalui serangkaian tanya jawab anamnesa dengan pihak pertama

yang terkait langsung dengan pokok permasalahan. Dalam penelitian ini

wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang

sepatutnya dianamnesa sebelum meakukan pemeiksaan. Dalam melakukan

wawancara ini, pewawancara membawa pedoman yang hanya berisi garis

besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan sesuai strktur standarisasi seorang

optision dalam pemeriksaan mata yaitu melakukan anamnesa,baik riwayat

penyakit mata terdahulu,dan family hoistory sehingga dapat memperoleh

informasi-informasi yang diinginkan yang dappat memperakurat data

pemeriksaan mata pada sipasien.

2. Observasi

Observasi langsung adalah cara pengumpulan data dengan cara melakukan

pencatatan secara cermat dan sistematik. Observasi harus dilakukan secara

teliti dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang bisa diandalkan, dan

peneliti harus mempunyai latar belakang atau pengetahuan yang lebih luas

tentang pengetahuan dalam pemeriksaan pediatrik bibokuler. Observasi

langsung yang dilakukan oleh peneliti yaitu melakukan pemeriksaan secara

tepat dan akurat bagaimana teknik pemeriksaan binokuler pada sianak yang

dikenal pemeriksaan pediatrik binokuler dengan mencatat semua hasil

pemriksaan sehingga diperoleh resp hasil akhir. Untuk itu peneliti dapat

mengetahui terapi yang harus diberikan kepad si pasien.

3.5 Teknik Pemeriksaan Analisis Data

16
Tahap menganalisa data adalah tahap yang paling penting dan menentukan

dalam suatu penelitian. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisa dengan tujuan

menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan. Selain itu data diterjunkan dan dimanfaatkan agar dapat dipakai

untuk menjawab masalah yang diajukan dalam penelitian

17
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Anamnesa Riwayat Pasien


- Nama : Maulida
- Usia : 8 tahun
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Keluhan : Kabur melihat jauh pandangan sering
- berbayang dan pusing
- Riwayat Kesehatan Mata : mata yang me
- Riwayat KesehatanUmum :
- Family history :

4.2 Hasil Pemeriksaan Pendahuluan


OD OS NPA
OD: 18D.17D.18D
Jauh PH/ Dekat Jauh PH/ Dekat
OS:17D,17D,18D
+1.00 +1.00
OU:18D,18D,18D
VA Tanpa alat 6/30 6/15 5/60 6/60
Target: N5
bantu

Dengan 6/9 6/60


alat bantu
Normal
Palpebra Normal NPC
Obj : 14cm
Conjunctiva
Normal Normal
Sub
Normal Normal
Cornea Target: Dot and line
Normal Normal
Iris

Lensa Normal Normal

Pupil PERRLA PERRLA


Mallet: Esotropia
Coa/Anterior Deep Deep
Chamber

Orthotropic WFDT: OD diplopia


Orthotropic
OS diplopia
Cover Distance

18
Esotropia OU diplopia
Test Esotropia
Near

Stereopsis: Stereo at N
sc 50 sec Titmus
Om Test AF

Hirschberg Tidak simetris Tidak simetris Color Vision


Jauh : 300 Jauh : 300 R: 17/17 L: 17/17
Dekat : 30 0
Dekat : 30 0

Confrontation Full Full PD : 38/36

Pada Hasil pemeriksaan NPA diatas menunjukkan akomodasi yang tidak normal
yang dari perhitungan rumus 18.5 – ½ age didapat hasil 14.5D. Dengan hal ini
akomodasi mata si pasien infisuensi dari normalnya.
Adapun berbagai test pemeriksaan pendahuluan lainnya diatas menunjukkan
berbagai hasil test pemeriksaan tidak normalnya pada penglihatan pada binokuler.
4.2 Hasil Pemeriksaan Refraksi Subjektif

R VA L VA
Trial and Error +1.50 6/21 +2.50 6/60
Fogging Lens - -

CC teknik - -
Subjektif test +2.75 6/9 +3.50 6/24

4.3 Hasil Resep Akhir

Sph Cyl Axis V/A Prism VD


R +2.75 6/9 12

L +3.50 6/24 12

Tabel 3.1 Kartu Kerja Tahap Pemeriksaan

4.4 Hasil Test Prisma

Distant Near
Maddox Rod H Orthotropic 13 ∆ BI Esotropia
V Orthotropic Orthotropic

19
NFV : x/10/8 NFV : 25/40/16
H
PFV : 10/12/8 PFV : 20/30/14
Vergence V OD OS OD OS
SV 10/4 14/5
IV 10/3 25/8

2.2 Penatalaksanaan Terapi pada Penanggulangan Kasus

Terapi untuk strabismus pada dasarnya terapi strabismus paralitik/inkomitan

adalah dengan mengatasi faktor penyebab timbulnya parese nervus

okulomotorius.Yang mana pada kasus pasien ini dilakukannya terapi dengan

pemeberian kacamata jauh sesuai resep yang didapat. Dalam pemberian KM –

hindari OVER-MINUS

Selanjtnya lakukan terapi paching pada amblyopia si anak.Terapi ambliopia yang

utama adalah oklusi.Mata yang baik ditutup untuk merangsang mata yang

mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi amblyopia yaitu:

1. Stadium awal

Terapinya adalah penutupan mata terus menerus. Bila ambliopianya tidak

terlalu parah atau usia terlalu muda maka diterapkan penutupan paruh waktu.

Terapi oklusi dilanjutkan bila tajam penglihatan membaik.Penutupan sebaiknya

tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan.

2. Stadium pemeliharaan

Terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan setelah fase perbaikan

untuk mempertahankan penglihatan terbaik melewati usia dimana ambliopianya

kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun).

20
Selanjutnya terapi prisma dengan prisma yang telah didapatkan yang

menghasilkan pengarahan deviasi ulang garis penglihatan secara optis . Dan

berikan lensa bifokal dikarenakan jauh Orthotropia dekat Esotropia. Design D

segment atau Executive design, Nilai Add yg digunakan +2.50 D - +3.00 D

Sesuai hasil dari observasi atau wawancara pasien sedang melakukan uji terapi

dengan menggunakan kacamata dengan jenis lensa bifokal (press-on bifocal)

dengan resep jauhnya sesuai dengan visus yangg didapat dan dengan addition nya

+3.00 untuk mata kaanaan dan kiri, hal ini sangat penting karena untuk relaksasi

dan mengurangi kelebihan konvergensi yang dilakukan sampai usia sipasien 8

tahun.

Penatalaksanaan terapi yang terakhir yaitu terapi bedah, yang mana tujuan

terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan pandang yang

normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah dapat ditunda

selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan maksud memberi kesempatan

untuk pemulihan dengan sendirinya.Terapi bedah biasanya dilakukan bila

penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot ekstraokular pulih

selambat-lambatnya 6 bulan.

Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi.Sebuah otot diperkuat

dengan suatu tindakan yang disebut reseksi.Otot dilepaskan dari mata,

diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata,

biasanya di tempat insersi semula.Resesi adalah tindakan perlemahan.Otot dilepas

dari mata, dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi.Otot

tersebut dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula

21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.5 Kesimpulan

22
Dari keseluruhan latar belakang dalam proposal ini yang akan dirangkum

penelitiannya dalam karya tuis ilmiah nanti, maka ada beberapa hal yang dapat

disimpulkan oleh peniliti dalam proposal ini :

1. Ketegangan mata akan semakin meningkat jika sianak membaca dicahaya

redup yang terlalu lama daya fokusnya saat membaca yag dipengaruhi

daya akomodasi konvergensinya semakn melemah, maka hal ini dapat

menyebabkan kerusakan permanen pada sianak memiliki masalah

mendasar seperti mata rabun jauh atau myopia hingga terjadinya kelainan

binokuler esotropia.

2. Esotropia merupakan juling ke dalam atau strabismus konvergen manifes

dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal.

3. Pemeriksaan dan pemilihan jenis terapi yang tepat pada anak-anak dalam

pemeriksaan mata esotropia untuk menafsirkan nilai hasil pemeriksaan

akan sudut deviasi yang didapat sehingga pada akhirrnya jenis terapi yang

dierikan saat ini yaitu pemakaian kacamata yang tepat dan terapi paching

untuk mata amblyopia si anak.

4.2 Saran

Kritik dan saran dari pembaca khususnya bagi pembimbing sangat diharapkan

demi kesempurnaan penulisan dan penelitian dalam karya tulis ilmiah di

selanjutnya.

23
DAFTAR PUSTAKA

Sidarta Ilyas, 2003, Ilmu Penyakit Mata, Jakarta: Balai Penerbit FKUI
William F. Ganong, 2003, Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.

Sudigdo Sastroasmoro dan Sofyan Ismael, 1993, Dasar-dasar Metodologi


Penelitian Klinis, Jakarta: Binarupa Aksara

Trattler WB, Kaisser PK, Friedman NJ. Pediatrics/strabismus. Review of


Ophthalmology (Second Edition). Shanghai: Saunders Elvesier, 2012; p.
224-30.

Wright WK. Exodeviation. In: Wright WK, Spiegel PH, Thompson L, editors.
Handbook of Pediatric Strabismus and Amblyopia. Chicago: Springer,
2006; p.266-82.

Teakoes, (2011) Beberapa Kelainan Pada Mata : Mata Juling, Buta Warna,
Tersedia (Online) http / / pondokinfo.com/index.php/pondok-
kesehatan/-beberapa-kelainan-pada-indera-penglihatan.pdf

Sigmund I. E. Ambliopia Bilateral Disertai Eksotropia Alternans Dan


Astigmatisma Miopia Kompositus. Tersedia (Online) Tumewu Jurnal
Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 54-57

24

Anda mungkin juga menyukai