Anda di halaman 1dari 18

Kelainan Visus

1. Definisi

Gangguan penglihatan adalah kondisi yang ditandai dengan penurunan tajam penglihatan
ataupun menurunnya luas lapang pandang yang mengakibatkan kebutaan.

Pada kasus berkurangnya visus perlu dibedakan apakah disebabkan oleh kelainan saraf
atau kelainan pada mata (oftalmologik) pasien sendiri seperti kelainan refraksi. Kelainan refraksi
adalah kelainan pembiasan sinar pada mata, sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau
bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak
pada satu titik focus.

2. Etiologi

Keluhan mata kabur atau penurunan visus dengan onset gradual dapat disebabkan oleh
beberapa mekanisme. Seperti kekeruhan dari struktur mata, misalnya kekeruhan pada lensa yang
dialami oleh pasien dengan katarak, atau kekeruhan pada kornea akibat adanya jaringan parut
setelah trauma atau infeksi.

Mekanisme lainnya adalah disebabkan oleh kelainan pada retina, misalnya age-related
macular degeneration, retinitis infeksi akibat cytomegalovirus atau toxoplasma, retinitis
pigmentosa, oklusi vena retina, dll. Selain itu juga mungkin terdapat kelainan yang menyerang
saraf penglihatan seperti neuritis optik yang ditandai dengan rasa nyeri, unilateral, dan
berkurangnya refleks pupil direk. Dan yang terakhir yaitu adanya kelainan refraksi.

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan kelainan pembiasan sinar pada mata
sehingga sinar tidak difokuskan pada retina atau bintik kuning, tetapi dapat di depan atau di
belakang bintik kuning dan mungkin tidak terletak pada satu titik yang fokus. Kelainan refraksi
dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia, presbiopi dan astigmatisma (Hartanto.2010 ).

3. Gangguan pada Mata (Kelainan Visus)

1) Miopi ( rabun jauh)


Secara sederhana myopi disebut juga dengan rabun jauh. Menurut istilah, miopi
berasal dari bahasa yunani "myopia" yang artinya penglihatan-dekat". Miopia adalah
kelainan refraksi pada mata dimana bayangan jatuh di depan retina ketika mata tidak
dalam keadaan berakomodasi. Hal ini digambarkan dengan keadaan tanpa akomodasi,
kondisi refraksi dimana cahaya yang sejajar dari suatu objek yang masuk ke dalam mata
akan jatuh di depan retina. Manifestasi miopia yaitu penglihatan yang kabur jika melihat
jauh atau istilah populernya adalah “nearsightedness”. Definisi miopia bervariasi namun
pada umumnya mata dianggap myopia bila memerlukan lensa negative 0.50 dioptri untuk
mengembalikan penglihatan normal.

Miopia terjadi akibat sinar sejajar yang datang dari jarak tak terhingga yang
masuk ke dalam mata, dibiaskan di depan retina dalam keadaan mata tanpa akomodasi.
Akomodasi adalah kemampuan mata untuk mengubah daya bias lensa dengan kontraksi
otot siliar yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga
bayangan pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus tepat di retina. Penderita miopi
tidak dapat melihat objek atau benda dengan jarak yang jauh, namun akan terlihat jelas
apabila objek atau benda tersebut berada dalam jarak yang dekat.

Seseorang yang menderita gangguan mata miopi tidak dapat melihat atau
membaca dengan jelas pada jarak jauh, yaitu jarak yang lebih jauh dari jarak baca terjauh
(dikenal dengan sebutan PR : Punctum Remotum). Artinya seseorang hanya mampu
membaca dengan jelas pada jarak ≤ 30 cm, sehingga apabila jarak > 30 cm orang tersebut
tidak mampu membaca dengan jelas. Orang yang mengalami miopo akan membawa
objek (bacaan) dekat dengan matanya yaitu jarak kurang dari sama dengan PR-nya.

Untuk mata normal (emetropi) melihat benda jauh dengan akomodasi yang sesuai,
sehingga bayangan jatuh tepat pada retina. Mata miopi melihat benda jauh bayangan
jatuh di depan retina, karena lensa mata terbiasa tebal. Hal ini menyebabkan mata miopi
memiliki titik jauh terbatas didepan matanya sehingga tidak dapat melihat benda-benda
yang jauh dengan jelas. Gangguan mata miopi merupakan cacat mata yang terjadi karena
bola mata terlalu cembung atau jarak fokus lensa terlalu pendek. Sumber lain
menyebutkan bahwa gangguan ini merupakan cacat mata yang disebabkan oleh bola mata
yang terlalu panjang dan bentuk lengkung kornea yang agak datar sehingga bayang-
bayang dari benda yang jaraknya jauh akan jatuh di depan retina.

Etiologi

Miopia terjadi karena bola mata tumbuh terlau panjang saat bayi. Dikatakan juga,
semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung maka semakin besar
kemungkinan mengalami miopia. Ini karena organ mata sedang berkembang dengan
cepat pada tahun-tahun awal kehidupan.

Faktor genetik juga merupakan faktor yang mengambil andil dalam etiologi
terjadinya miopia. Ada dua hipotesis yang mengemukakan mengenai hubungan antara
miopia pada orang tua dan anak. Yang pertama adalah teori dari kondisi lingkungan yang
diwariskan. Tendensi untuk miopia dalam keluarga lebih mungkin disebabkan
lingkungan yang mendorong untuk melakukan kegiatan yang berjarak dekat dan intens
dalam keluarga, daripada faktor genetik. Orang tua dengan miopia biasanya akan
menetapkan standar akademik yang tinggi atau mewariskan kesukaan membaca pada
anakanak mereka daripada mewariskan gen itu sendiri. Suatu penelitian di Tanzania
menunjukkan bahwa orang tua yang memiliki status pendidikan tinggi, terutama ayahnya,
lebih banyak mempunyai anak yang menderita myopia.

Pada penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih banyak
menghabiskan waktu di luar ruangan memiliki progresifitas dan onset miopia yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak lain yang lebih banyak meluangkan waktunya di
dalam ruangan. Hal inilah yang mempengaruhi proses emetropisasi berkaitan dengan
cahaya yang berkenaan langsung dengan lingkungan (ambient light), semakin banyak
waktu seseorang yang di habiskan di luar ruangan merupakan salah satu faktor protekif
dalam pencegahan miopia bagi anak-anak. Cahaya yang kita dapatkan saat berada di luar
ruangan (cahaya matahari langsung) berbeda dengan cahaya buatan yang digunakan
sebagai sumber penerangan dalam ruangan, perbedaannya ini meliputi intensitas dan juga
spektrum dari cahaya tersebut

Beberapa hal yang dikaitkan atau diperkirakan sebagai etiologi miopia adalah:
1) Malnutrisi, defisiensi vitamin dan mineral tertentu
2) Penyakit mata
3) Gangguan pertumbuhan
4) Lingkungan
5) Kerja dekat yang berlebihan
6) Pemakaian kacamata yang tidak sesuai
7) Sikap tubuh yang tidak sesuai.

Klasifikasi

Menurut American Optometric Assosiation (2006), miopia secara klinis dapat dibagi
menjadi 5, yaitu:

1) Miopia Simpleks: Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata yang terlalu
panjang atau daya bias kornea dan lensa kristalina yang terlalu kuat.
2) Miopia Nokturnal: Miopia yang terjadi Karena pencahayaan yang redup.
3) Pseudomiopia: Diakibatkan oleh peningkatan daya bias mata karena rangsangan yang
berlebihan terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot
siliar yang menyangga lensa kristalina.
4) Miopia Degeneratif: Miopia derajat tinggi dengan perubahan degeneratif pada
segmen posterior mata yang dikenal dengan miopia degeneratif atau miopia patologis.
Perubahan degeneratif tersebut dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang tidak
normal, seperti penurunan koreksi ketajaman visual atau perubahan lapang pandang.
Terkadang terdapat gejala lain yaitu ablasio retina maupun glaukoma.
5) Miopia Induksi: Miopia yang didapat akibat paparan dari zat-zat farmakologis, variasi
kadar gula darah, sklerosis lensa kristalina atau kondisi tidak normal lainnya. Miopia
ini sering hanya sememtara dan bersifat reversibel.

Menurut Ilyas (2007), berdasarkan ukuran Dioptri lensa yang dibutuhkan untuk
mengkoreksinya, miopia diklasifikasikan menjadi:

1) Ringan: Lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 dioptri


2) Sedang: Lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 dioptri
3) Berat: Lensa koreksinya > 6,00 dioptri

Miopia dapat pula diklasifikasikan berdasarkan umur, yaitu:

1) Kongenital: Sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.


2) Miopia onset anak-anak: Di bawah umur 20 tahun
3) Miopia onset awal dewasa: Di antara umur 20 tahun sampai 40 tahun
4) Miopia onset dewasa: Di atas umur 40 tahun

Menurut perjalanannya miopia dibagi dalam:

1) Miopia stasioner, yaitu miopia yang menetap setelah dewasa.


2) Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah
panjangnya bola mata.
3) Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi
retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa atau disebut miopia
degenaratif.

Etiologi dan Patofisiologi

Prevalensi miopia dipengaruhi beberapa faktor yaitu usia, etnis, sosio ekonomi
keluarga, lama pendidikan, serta lama bekerja dalam jarak dekat. Terdapat beberapa hal
yang mendasari terjadinya miopia :

1. Sumbu aksial atau diamerer antero posterior bola mata yang lebih panjang dari normal,
disebut miopia aksial. Pada keadaan ini, kekuatan refraksi mata normal, kurvatura kornea
dan lensa normal dan posisi lensa juga berada pada lokasi normal. Karena panjang bola
mata lebih oanjang dari mata normal, maka sinar yang masuk akan jatuk di titik fokus di
depan retina.
2. Radius kurvatura kornea dan lensa yang lebih besar dari normal, disebut miopia kurvatur.
Pada keadaan ini, ukuran bola mata normal
3. Perubahan posisi lensa. Jika lensa berubah posisi lebih ke depan maka sinar yang masuk
akan jatuh di satu titik di depan retina. Hak ini sering kali terjadi pada keadaan pasca
operasi khususnya glaukoma.
4. Perubahan indeks bias refraksi. Keadaan ini biasanya didapatkan pada penderita diabetes
atau katarak

Patofisiologi

Pada satu masalah, adanya masalah penglihatan yang lemah dalam memfokuskan
cahaya dikarenakan dari ketidakselarasan antara panjang aksial dari bola mata dan lensa
yang membentuknya (kornea dan lensa kristalina). Pada masalah yang satunya, miopia
merupakan salah satu dari masalah kedokteran yang belum diketahui penyebab pastinya
yang terjadi lebih sering pada orang-orang dengan dengan kondisi patologis seperti
retinal detachment (terlepasnye retina), glaukoma, perdarahan macular, katarak, ataupun
keempatnya

Gejala Klinis

Secara umum gejala mata miopi antara lain penglihatan kabur melihat jauh, dan
hanya jelas pada jarak tertentu atau dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan
benda yang terlihat pada mata, gangguan pekerjaan, dan sakit kepala. Selain itu, orang
yang mengalami gangguan rabun jauh sering mengalami sakit kepala atau ketegangan
dan mungkin mata juling atau merasa lelah saat berkendara atau bermain olahraga.

1. Keluhan utama penderita myopia adalah penglihatan jauh yang kabur. Perlu diingat pada
anak kadang hal ini diabaikan dan mereka baru menyadari setelah membandingkan apa
yang dapat dilihat temannya.
2. Nyeri kepala lebih jarang dikeluhkan daripada hypermetropia.
3. Terdapat kecenderungan penderita untuk memicingkan mata saat melihat jauh. Hal ini di
tujukan untuk melihat efek pinhole dengan makin kecilya fissura interpalpebralis.

Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk myopia dapat dilakukan secara subyektif dan obyektif. Secara subyektif
dengan metode trial and error dengan menggunakan kartu Snellen. Pemeriksaan secara obyektif
dapat dilakukan dengan alat retinoskopi atau autorefractometer.

Pengendalian laju myopia

1. Beristirahat dari membaca atau bekerja dengan jarak dekat setiap 30 menit. Selama
istirahat ini di usahakan untuk dapat berdiri, berkeliling ruangan dan melihat jauh ke luar
jendela.
2. Ambilah posisi duduk tegak namun nyaman selama membaca, dan duduklah pada kursi
dengan sandaran tegak.
3. Gunakan penerangan yang cukup saat membaca
4. Jarak baca yang baik adalah sepanjang lengan hingga siku
5. Duduk setidaknya berjarak 6 kaki saat menonton televisi
6. Batasi waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi atau bermain gawai.
7. Olahraga teratur.

Penanganan

Orang yang menderita rabun jauh atau miopi tidak mampu melihat dengan jelas
objek yang jauh tapi tetap mampu melihat dengan jelas objek di titik dekatnya (pada jarak
25 cm). Titik jauh mata orang yang menderita rabun jauh berada pada jarak tertentu
(mata normal memiliki titik jauh tak terhingga). Hal ini dapat ditangani dengan
pemakaian lensa divergent yang bersifat menyebarkan (memancarkan) sinar. Lensa
divergent ini disebut juga dengan istilah lensa cekung atau lensa negatif. Lensa ini
dapat membantu lensa mata agar dapat memfokuaskan bayangan tepat di retina.

Sementara itu, jarak fokus lensa dan kuat lensa yang digunakan untuk
memperbaiki mata miopi ditentukan berdasarkan persamaan lensa titip dan rumus kuat
lensa. Disini jarak s adalah jarak tak hingga (titik jauh mata normal) dan s' adalah titik
jauh mata (PR). Prinsip dasarnya adalah lensa negatif digunakan untuk memindahkan
atau memajukan objek pada jarak tak terhingga sehingga mata dapat melihat objek
dengan jelas (Jannah, 2010)
2) Hipermetropi (rabun dekat)

Gangguan mata ini merupakan kebalikan dari gangguan mata miopi, dimana
disebut juga dengan istilah rabun dekat. Hipermetropi dapat didefinisikan sebagai
gangguan mata yang tidak dapat melihat atau membaca dengan jelas pada jarak dekat
yaitu jarak yang lebih dekat dari jarak baca terdekat (PP: punktum proximum).
Contohnya, bila ada seseorang yang mampu membaca dengan jelas pada jarak >_ 30 cm,
maka pada jarak < 30 cm orang ini tidak dapat membaca dengan jelas. Atau tidak sesuai
dengan jarak baca normal yaitu jarak 25 cm.

Dalam keadaan hipermetropi, kondisi mata tidak dapat memipih dengan sempurna
sesuai fokus pada jarak tertentu. Sehingga bayangan yang dihasilkan oleh lensa mata
melewati bintik kuning retina. Orang yang mengalami rabun dekat akan membawa objek
(bacaan) jauh dengan matanya yaitu pada jarak PP-nya. Secara medis, rabun dekat dapat
dijelaskan sebagai keadaan mata yang tidak berakomodasi dalam memfokuskan
bayangan di belakang retina.

Klasifikasi

Etiologi

Penderita hypermetropia atau rabun dekat tidak dapat melihat objek jarak dekat
dengan jelas. Namun, orang yang mengalami rabun dekat masih bisa melihat objek yang
jauh dengan jelas. Daya akomodasi mata yang lemah pada penderita hypermetropia
menyebabkan bayangan benda jatuh di belakang retina.

Hipermetropi dapat terjadi karena kekuatan yang tidak sesuai antara panjang bola
mata dan kekuatan pembiasan kornea dan lensa lemah. Sehingga titik fokus sinar terletak
di belakang retina. Biasanya penyebab rabun ini karena adanya penurunan panjang
sumbu bola mata (hipermetropia aksial), seperti yang terjadi pada kelainan bawaan
tertentu, atau penurunan indeks bias refraktif (hipermetropia refraktif), seperti afakia
(tidak mempunyai lensa).

Keluhan akan bertambah dengan bertambahnya usia yang diakibatkan


melemahnya otot siliar untuk akomodasi dan berkurangnya kekenyalan lensa. Lensa
berangsur-angsur tidak dapat memfokuskan bayangan pada retina sehingga akan lebih
terletak di belakangnya. Sehingga diperlukan penambahan lensa positif atau konveks.

Gejala Klinis

Seseorang yang mempunyai gangguan rabun dekat akan mengalami gejala, seperti
adanya sakit kepala terutama bagian dahi, kelihatan silau, dan kadang kelihatan juling
atau melihat ganda. Selain itu, orang tersebut juga akan mengeluhkan matanya lelah dan
sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang retina.

Sedangkan Dr. Dwi Ahmad Yani (2008), menjelaskan terdapat lima gejala dari
hipermetropi. Pertama, bila hipermetropi 3 dioptri atau lebih, atau ada usia tua, pasien
mengeluh penglihatan dekat kabur. Kedua, penglihatan dekat lebih cepat buram. Karena
kemampuan akomodasi menurun dengan bertambahnya usia sehingga akomodasi tidak
cukup kuat untuk penglihatan dekat. Penglihatan dekat yang buram akan terasa lagi pada
keadaan kelelahan, atau penerangan yang kurang. Ketiga, terasa sakit kepala. Keempat,
sensitif terhadap cahaya. Kelima, spasme akomodasi, yaitu terjadi cramp m. Ciliaris
diikuti penglihatan buram intermiten. Overaksi akomodai dapat menyebabkan
pseudomiopia. Sehingga penglihatan lebih jelas saat koreksi lensa negatif.

1) Penglihatan jauh umumnya hanya terganggu jika deajat hypermetropia cukup


besar.
2) Sakit kepala di daerah frontal
3) Sensitivitas yang meningkat terhadap cahaya
4) Spasme akomodasi
5) Sensasi mata juling.
Penanganan

Untuk memperbaiki rabun dekat, gunakan kacamata atau lensa kontak berlensa
konvergen (ensa cembung atau lensa positif). Lensa jenis ini dapat lensa mata
memfokuskan bayangan tepat di retina.

3) Presbiop (Mata Tua)

Presbiop merupakan cacat mata akibat berkurangnya daya akomodasi mata pada
usia tua atau lanjut. Hal ini terjadi karena titik dekat mata presbiop lebih besar dari 25 cm
dan titik jauhnya terbatas di depan mata. Atau berkurangnya akomodasi dalam melihat
dekat dimana terjadi karena adanya penuaan lensa (lensa makin keras sehingga elastisitas
berkurang) dan daya kontraksi otot akomodasi berkurang. Hal ini menyebabkan mata
sukar untuk berakomodasi karena lensa sukar dalam memfokuskan sinas pada saat
melihat dekat.

Etiologi

Gejala presbiopia biasanya timbul setelah berusia 40 tahun. Artinya penyebab


mata presbiop adalah karena faktor usia yang menua. Usia awal mula terjadinya
tergantung kelainan refraksi sebelumnya, kedalaman fokus (ukuran pupil), kegiatan
penglihatan pasien, dan lainnya.

Gejala Klinis

Gejala pertama adalah ketika seseorang menyadari kesulitan membaca, terutama


dalam kondisi cahaya rendah. Selain itu, adanya kelelahan mata saat membaca untuk
waktu yang lama, kabur di dekat atau penglihatan kabur sesaat ketika transisi antara
melihat jarak.

Cara mendiagnosis presbiop adalah dengan mengetahui dan mendeteksi gejalanya


dan penyebabnya. Biasanya dapat dilakukan dengan memeriksa gejalanya. Jika seseorang
mengalami gejala-gejala misalnya, apabila seseorang melakukan aktivitas membaca akan
mengeluhkan matanya lelah, berair, dan sering terasa pedas. Jika seseorang mengalami
gejala tersebut dapat dipastikan bahwa orang tersebut menderita gangguan mata presbiop.
Tetapi dengan catatan, bahwa orang tersebut secara usia memang sudah dapat dikatakan
tua.

Penanganan

Sebenarnya, gangguan mata presbiop merupakan bagian yang dialami dari proses
penuaan manusia. Oleh sebab itu, gangguan ini tidak dapat secara pasti disembuhkan.
Akan tetapi dapat ditangani atau diminimalisir dengan menggunakan kaca mata atau
lensa korektif yang dapat mencakup gamut luas dari tingkat pembesaran. Sebagian yang
lain dapat ditanggulangi dengan menggunakan lensa kotak, sesuai dengan kecocokan dan
kenyamanan dalam melihat. Selain itu, dapat juga ditanggulangi dengan bifocal atau
kacamata baca, dimana menggunakan metode monovision. Metode ini merupakan
penggunaan dari lensa kotak yang di dalamnya ada lensa untuk penajaman mata dekat di
sisi lain ada penajaman mata jauh. (Jannah, 2010 )

4) Astigmatisme (Silinder)

Astigmatise atau mata silinder adalah gangguan penglihatan akibat kelainan pada
kelengkungan kornea atau lensa. Kondisi ini menyebabkan pandangan kabur, baik dalam
jarak dekat maupun jauh.

Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata yang menyebabkan bayangan pada


satu bidang difokuskan pada jarak yang berbeda dari bidang yang tegak lurus terhadap
bidang tersebut. Hal ini paling sering disebabkan oleh terlalu besarnya lengkung kornea
pada salah satu bidang mata. Contoh lensa astigmatis adalah permukaan lensa seperti
telur yang terletak pada sisi datangnya cahaya. Derajat kelengkungan bidang yang
melalui sumbu panjang telur tidak sama besar dengan derajat kelengkungan pada bidang
yang melalui sumbu pendek.

Permukaan kornea yang tidak bulat sempurna, lebih kea rah oval, dan tidak
memungkinkan mata focus secara jelas merupakan penyebab utama mata silindris. Pada
kelainan ini, kornea dan lensa mempunyai permukaan yang rata atau tidak rata sehingga
tidak memberikan satu focus titik api. Variasi lengkungan kornea atau lensa ini
menghalangi terfokusnya sinar pada satu titik sehingga penglihatan akan terganggu.

Gejala klinis

Pada astigmatisme yang ringan, keluhan yang sering timbul adalah mata lelah,
nyeri kepala di bagian frontal. Pada astigmatisme berat dapat timbul keluhan mata kabur
(Budiono, 2013).

4. Pemeriksaan Visus

1. Tes Ketajaman Penglihatan (Visus)

Tes ketajaman penglihatan biasanya menggunakan tes Snellen. Pemeriksaan snellen


dimulai dengan mendudukan klien di kursi atau diatas tempat tidur periksa. Gantungkan kartu
snellen setinggi kedudukan mata klien dan berjarak 6 meter dari klien. Mata kiri klien ditutupi
dengan tangannya sendiri dan visus mata kanan diperiksa. Jika klien dengan mata kanannya
hanya dapat membaca huruf-huruf barisan ketiga saja, maka visus mata kanan adalahh 6/20 atau
30%, jika klien diperiksa untuk jarak 6 meter. Setelah visus mata kanan diperiksa, klien diminta
untuk menutupi mata kanannya dan visus mata kirinya mendapat giliran untuk diperiksa. Kalau
tes ini tidak tersedia, klien dimina membaca berbagai ukuran huruf pada surat kabar.

Bila visus menurun sampai 1/10 (6/60), jadi pada jarak 6 meter klien tidak bisa membaca
huruf-huruf barisan pertama kartu Snellen, maka visus hendaknya diperiksa dengan
mengacungkan jari-jari sebagai rangsang penglihatan. Klien diminta untuk memberitahukan
berapa jari perawat yang diperlihatkan kepadanya. Jika sejauh 6 meter klien tidak dapat dilihat,
jarak itu diperpendek sampai dapat dilihat. Dengan visus normal, jari dapat dilihat sejauh 6 meter.
Maka dari itu bila jari dapat dilihat oleh klien pada jarak 3 meter, maka visusnya ialah 3/60 atau
1/20.
Visus yang terbaik adalah 6/6, yaitu pada jarak pemeriksaan 6 meter dapat terlihat huruf
yang seharusnya terlihat pada jarak 6 meter. Bila huruf terbesar dari optotipe Snellen tidak dapat
terlihat, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara meminta penderita menghitung jari pada dasar
putih, pada bermacam-macam jarak. Hitung jari pada penglihatan normal terlihat pada jarak 60
meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 2 meter, maka besar visusnya adalah 2/60.
Apabila pada jarak terdekat pun hitung jari tidak dapat terlihat, maka pemeriksaan dilakukan
dengan cara pemeriksa menggerakan tanganya pada berbagai arah dan meminta pasien
mengatakan arah gerakan tersebut pada berbagai jarak. Gerakan normal pada mata normal dapat
terlihat dari jarak 300 meter, jika pasien hanya dapat melihat pada jarak 1 meter, maka visus
pasien tersebut 1/300. Dan apabila gerakan tangan tidak dapat terlihat pada jarak terdekat
sekalipun, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan menggunakan sinar atau cahaya dari senter
pemeriksa dan mengarahkan sinar tersebut pada mata pasien dari segala arah dengan salah satu
mata ditutup. Pada pemeriksaan ini penderita harus dapat melihat arah sinar dengan benar,
apabila masih dapat melihat arah sinar dengan benar, maka fungsi retina bagian perifer masih
baik dan dikatakan visusnya 1/~ dengan proyeksi baik. Namun jika penderita hanya dapat
melihat sinar dan tidak dapat menentukan arah dengan benar atau pada beberapa tempat tidak
dapat terlihat maka berarti retina tidak berfungsi dengan baik dan dikatakan sebagai proyeksi
buruk. Bila cahaya senter sama sekali tidak terlihat oleh penderita maka berarti terjadi kerusakan
dari retina secara keseluruhan dan dikatakan dengan visus 0 (nol) atau buta total.

Pada kasus berkurangnya visus perlu dibedakan apakah disebabkan oleh kelainan saraf
atau kelainan pada mata (oftalmologik) pasien sendiri seperti kelainan refraksi. Pada kelainan
refraksi, pemeriksaan menggunakan kertas berlubang kecil (pinhole test) dapat memperbaiki
penglihatan pasien, sedangkan pada kelainan saraf tidak ada perbaikan tajam penglihatan. Pada
pasien yang sangat buruk ketajaman penglihatannya, maka pasien diperiksa dengan
menggerakkan tangan kita di depan matanya. Bila kemampuannya hanya dapat membedakan
adanya gerakan, maka visusnya 1/300. Jika pasien hanya mampu membedakan antara gelap dan
terang, maka visusnya adalah tak terhingga (Satyanegara, 2014).

2. Tes lapang pandang


Medan penglihatan merupakan batas penglihatan perifer. Medan tersebut adalah ruang
dimana sesuatu masih dapat dilihat oleh mata yang pandangannya ditatapkan secara me netap
pada satu titik. Kalau kita menetapkan pandangan salah satu mata pada suatu benda, maka
gambarannya dapat direspons oleh makula itu dikenal sebagai penglihatan sentral. Namun
demikian, secara serenak bagian retina diluar daerah makula dapat mencerap gambaran tersebut
meskipun kurang tajam dan kurang berwarna. Penglihatan dengan perantaraan retina di luar
makula dikenal sebagai penglihatan perifer.

Tes konfrontasi

Untuk setiap tes yang akan dipakai diperlukan kerja sama dari klien. Tes konfrontasi
menggunakan jari sebagai objek yang harus diliha di dalam batas medan penglihatan. Pemeriksa
berdiri berhadapan dengan klien yang duduk diatas tempat tidur periksa. Jarak antara mata klien
dan pemeriksa harus sejauh 30-40 cm.

Untuk pemeriksaan mata kanan klien, maka mata kiri klien dan mata kanan Pemeriksa
harus ditutup, dan sebaliknya. Dengan dua jarinya yang digoyang-goyangkan tangan pemeriksa
memasuki medan penglihatan masing-masing. Dalam memasuki medan penglihatan ini, jari-jari
pemeriksa harus tetap berada di bidang yang sama jauhnya anatara mata klien dan mata
pemeriksa.

Klien harus memberiahukan terlihatnya jari itu dengan kata “Ya”. Medan penglihatan
pemeriksa digunakan sebagai patokan medan penglihatan yang normal. Maka dari itu, baik klien
maupun pemeriksa harus dapat melihat jari-jari yang bergerak itu pada jarak yang sama, apabila
medan penglihatan klien normal (Muttaqin, 2008).

Media Refraksi

Alat-alat refraksi mata terdiri dari permukaan kornea, humor aqueous (cairan bilik
mata), permukaan anterior dan posterior lensa, badan kaca (corpus vitreum).
1) Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lekuk
melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata
mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi, dan diameternya sekitar
11,5 mm. Dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda:
lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan
Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.
2) Humor Aqueous
Humor aqueous diproduksi oleh badan siliaris. Setelah memasuki camera oculi
posterior, humor aqueous melalui pupil dan masuk ke camera oculi anterior dan
kemudian ke perifer menuju ke sudut camera oculi anterior. Humor aqueous difiltrasi dari
darah, dimodifikasi komposisinya, baru disekresikan oleh badan siliaris di camera oculi
posterior. Humor aqueous diproduksi dengan kecepatan 2-3 μL/menit dan mengisi
kamera okuli anterior sebanyak 250 μL serta camera oculi posterior sebanyak 60 μL.
3) Lensa
Lensa adalah struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan hampir transparan
sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Lensa digantung di belakang
iris oleh zonula yang menghubungkannya dengan badan siliare. Di anterior lensa terdapat
humor aqueous, di sebelah posteriornya terdapat vitreus. Kapsul lensa adalah suatu
membran yang semipermeabel (sedikit lebih permeabel daripada dinding kapiler) yang
akan memungkinkan air dan elektrolit masuk
4) Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk
dua pertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang dibatasi oleh lensa,
retina dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus membran hialois-normalnya berkontak
dengan struktur-struktur berikut: kapsula lensa posterior, serat-serat zonula, pars plana
lapisan epitel, retina dan caput nervi optici. Basis vitreus mempertahankan penempelan
yang kuat sepanjang hidup ke lapisan epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora
serrata. Perlekatan ke kapsul lensa dan nervus optikus kuat pada awal kehidupan tetapi
segera hilang (Basyir 2016)
Patofisiologi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri
atas kornea, cairan mata, lensa, badan kaca dan panjangnya bola mata. Pada orang normal
susunan pembiasan oleh penglihtan dan panjangnya bola mata demikian seimbang
sehingga bayangan mata dibiaskan tepat di macula lutea. Mata normal disebut emetropia
mata dengan kelainan refraksi mengakibatkan sinar normal tidak dapat terfokus pada
macula. Hal ini disebabkan oleh kornea yang terlalu mendatar atau mencembung, bola
mata lebih Panjang atau pendek lensa berubah kecembungannya atau tidak ada lensa
mengakibatkan ametropi dan bila diabatkan oleh elastisitas lensa yang kurang atau
kelemahan otot akomodasi mengakibatkan presbiopi.
Pada ametropi apabila bola mata lebih Panjang pembiasan kornea berlebihan atau
lensa yang terlalu kuat mengakibatkan pembiasan terlalu kuat sehingga focus terletak di
depan retina dan penderita mengalami rabun jauh (myopia) sebaliknya bila bola mata
terlalu pendek, indeks bisa kurang atau kelengkungan karena atau lensa kurang maka
pembiasan tidak cukup sehingga focus di belakang retina dan mengakibatkan rabun dekat
(hipermetropi). Hipermertopi tinggi terjadi akibat mata tidak memiliki lensa (afakia)
apabila terjadi kelainan kelengkungan kornea, distrofi atau pembiasan lensa berbeda
maka akan mengakibatkan bayangan ireguler (astigmatisme).
pada presbiopi elastisitas lensa yang berkurang atau kelemahan otot akomodasi
mengakibatkan daya akomodasi berkurang, sehingga lensa kurang mencembung dan
pembiasan kurang kuat. Untuk melihat mata berakomodasi terus menerus sehingga
terjadi ketegangan otot silar yang mengakibatkan mata Lelah, dan mata berair jika
menekan kelenjar air mata.
Pada ametropi akomodasi juga dilakukan terus menerus agar mata dapat melihat.
Hal ini mengakibatkan mata Lelah atau sakit, mata esotropia atau mata juling kedalam
dan strabismus karena bola mata Bersama sama kenvergensi, serta glaucoma sekunder
harena hipermetropi otot siliar pada badan siliar mempersempit sudut bilik mata.
Rabun jauh atau myopia yang berjalan progresif akan mengakibatkan kebutaan
dari hiperplapasi pigmen epitel dan perdarahan, kebutaan dapat terjadi karena digenari
macula dan retina perifer mengakibatkan atrofi lapis sensori retina dan degenerasi saraf
optik. Hiperplapasi pigmen epitel dan perdaran terjadi karena neovaskularis sub retina
akibat ruptut membrane bruch.
Asuhan keperawatan

Diagnosis Luaran Intervensi


Gangguan persepsi sensori - Persepsi sensori - Manajemen
penglihatan b.d gangguan membaik halusinasi
penglihatan d.d distorsi - Fungsi sensori - Minimalisasi
sensori penglihatan, respons membaik rangsangan
tidak sesuai, bersikap seolah - Orientasi kognitif
melihat meningkat
Gangguan citra tubuh b.d - Citra tubuh - Promosi citra tubuh
perubahan fungsi tubuh d.d meningkat - Promosi koping
fungsi tubuh berubah - Identitas diri
meningkat
- Status koping
membaik
Risiko jatuh d.d gangguan - Tingkat jatuh - Pencegahan jatuh
penglihatan menurun
Budiono, sjamsu. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata. Surabaya : Airlangga University Press

Jannah, Raudatul. 2010. Segala Gangguan dan Penyakit Mata. Jakarta : Guepedia.

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan.
Jakarta : Salemba Medika.

Satyanegara. 2014. Ilmu Bedah Saraf Edisi V. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai