Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mata merupakan salah satu dari indera dalam tubuh manusia yang

berfungsi untuk penglihatan. Mata sangat penting dalam kehidupan sehari-hari

karena penglihatan mempersiapkan kita terlebih dahulu untuk mempersiapkan

sesuatu secara matang. Fungsi mata untuk kehidupan manusia sangat penting,

namun sering kali kurang diperhatikan, sehingga banyak penyakit yang

menyerang mata yang tidak diobati dengan baik sehingga menyebabkan

gangguan penglihatan sampai kebutaan. Masalah mata yang sering terjadi adalah

rabun. Penyakit rabun terbagi atas rabun melihat jauh, rabun melihat benda pada

jarak dekat. Semua jenis rabun mata pada intinya merupakan benda yang dilihat

atau kelainan refraksi (Ametropia).

Kesehatan mata sangatlah penting karena penglihatan tidak dapat

digantikan dengan apapun, maka mata memerlukan pemeriksaan dan perawatan

secara teratur (Deddy dkk, 2009). Mata adalah salah satu indera yang penting

bagi manusia, melalui mata manusia menyerap informasi visual yang digunakan

untuk melaksanakan berbagai kegiatan. Namun gangguan terhadap penglihatan

banyak terjadi, mulai dari gangguan ringan hingga gangguan yang berat yang

dapat mengakibatkan kebutaan (Pusdatin Kemenkes RI, 2014).

Menurut Fachrian (2009), kelainan penglihatan pada anak usia sekolah

suatu masalah kesehatan yang sangat serius. Deteksi dini dan publikasi mengenai

prevalensi serta factor yang berhubungan dengan kelainan penglihatan terhadap


pelajar Sekolah Menengah Pertama di Indonesia masih jarang dilakukan. Padahal

menurut Gianini (2004) dalam Wajaya (2010), penglihatan merupakan suatu cara

utama manusia dalam mengintegrasikan dirinya dengan lingkungan eksternal.

Menurut American Optometric Association (2006), kelainan refraksi

menunjukkan kelainan kondisi mata yang paling sering terjadi.

Pengetahuan siswa Sekolah Menengah Pertama tentang kesehatan mata

masih kurang. Faktor ini disebabkan karena informasi yang diterima diperoleh

dari sumber yang salah sehingga menimbulkan informasi yang keliru, selain itu

disebabkan juga oleh faktor kebiasaan yang tidak mau memperdulikan kesehatan

mata sehingga akan membuat pemahaman dan persepsi Siswa Menengah

Pertama tentang kesehatan mata tidak baik. Tindakan ini mengakibatkan siswa

mengabaikan dan tidak tahu cara untuk melakukan pencegahan yang tepat pada

Myopia (Hilman, 2012).

Contoh jurnal yang membahas tentang myopia akan diuraikan secara

singkat dibawah ini:

1. Jurnal “Hubungan lama aktivitas membaca dengan derajat myopia pada

mahasiswa pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Unand angkatan 2010”

bahwa dalam jurnal tersebut menguraikan mengenai bagaimana hubungan

lama aktivitas membaca dengan derajat myopia pada mahasiswa pendidikan

dokter Fakultas Kedokteran Unand angkatan 2010.

2. Jurnal “Skrining Miopia Pada Siswa Sekolah Dasar Di Kabupaten

Temanggung” bahwa dalam jurnal tersebut menguraikan mengenai


bagaimana hasil Skrining Miopia Pada Siswa Sekolah Dasar Di Kabupaten

Temanggung,

3. Junal “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Derajat Miopia Pada Remaja

(Studi Di Sma Negeri 2 Temanggung Kabupaten Temanggung)” bahwa

dalam jurnal tersebut menguraikan mengenai Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Derajat Miopia Pada Remaja.

4. Jurnal “Hubungan Antara Faktor Keturunan, Aktivitas Melihat Dekat Dan

Sikap Pencegahan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Terhadap Kejadian Miopia” bahwa dalam jurnal tersebut menguraikan

mengenai Hubungan Antara Faktor Keturunan, Aktivitas Melihat Dekat Dan

Sikap Pencegahan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Terhadap Kejadian Miopia.

5. Jurnal “Pengaruh Penyuluhan Gangguan Refraksi Terhadap Peningkatan

Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar Negeri 69 Banda Aceh” bahwa dalam

jurnal tersebut menguraikan mengenai bagaimana Pengaruh Penyuluhan

Gangguan Refraksi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Siswa Sekolah Dasar

Negeri 69 Banda Aceh.

Myopi merupakan suatu kelainan refraksi dari mata dimana bayangan

difokuskan di depan retina ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi.

Sekarang ini mata miopi masih menjadi masalah utama dalam kehidupan

masyarakat. Biasanya seseorang yang mengalami myopia dikoreksi dengan lensa

sferis konkaf (minus). Kelainan refraksi yang tidak terkoreksi merupakan

penyebab utama penurunan ketajaman penglihatan dan dapat menyebabkan


kebutaan (Almita, 2012 ). Menurut Ilyas S. (2004), pada keadaan normal cahaya

tidak terhingga akan terfokus pada retina demikian pula bila benda jauh akan

didekatkan maka dengan adanya gaya akomodasi benda dapat difokuskan pada

retina atau makula lutea.

Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk mencembung yang terjadi

akibat kontraksi otot siliar.Akibat kontraksi daya pembiasan lensa bertambah

kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat sesuai kebutuhan, makin dekat benda

makin kuat mata harus berakomodasi. Bila benda terletak jauh bayangan akan

terletak pada retina.

Myopia disebabkan oleh 2 (dua) faktor penting yaitu faktor genetik dan

faktor lingkungan. Sementara etiologinya hingga sekarang belum diketahui

secara pasti. Faktor lingkungan lebih banyak dibandingkan dengan genetik sebab

kebanyakan pelajar menghabiskan waktu membaca buku dan aktifitas melihat

dekat, melihat komputer terlalu lama (Usman, 2014).

Berdasarkan data WHO diperoleh data terdapat 314 juta orang di dunia

yang hidup dengan gangguan penglihatan dan 45 juta dari mereka buta. Resiko

untuk gangguan penglihatan ini meliputi berbagai usia, jenis ketamin dan letak

geografis. Dalam berbagai studi ilmiah ditemukan fakta yang menunjukkan

bahwa wanita secara signifikan memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya

kelainan refraksi dibanding dengan laki-laki. Jika ditinjau berdasarkan letak

geografis, 87% orang dengan gangguan penglihatan tinggal di negara

berkembang (WHO, 2008).


Angka kelainan refraksi dan kebutaan di Indonesia terus mengalami

peningkatan dengan prevalensi 1.5 % dan tertinggi dibandingkan dengan angka

kebutaan di negara–negara regional Asia Tenggara seperti Bangladesh sebesar

1%, India sebesar 0.7 %, dan Thailand 0.3 %. Kelainan refraksi (0,14%)

merupakan penyebab utama kebutaan ke tiga setelah katarak (0,78%) dan

glaukoma (0,20%) (Richard, 2014). Bedasarkan data Sumatera utara didapatkan

jumlah kebutaan 17.161 orang dengan low vision 0,9% dan jumlah Low Vision

120.963 orang (Kemenkes, 2014).

Sepuluh persen dari 66 juta anak usia sekolah khususnya pada tingkat

Sekolah Menengah Pertama di Indonesia yang mengalami kelainan refraksi

myopia dan angka pemakaian kaca mata koreksi sampai saat ini masih rendah

yaitu 12,5% dari kebutuhan. Jika kondisi ini tidak ditangani sungguh-sungguh

akan berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses

pembelajaran yang selanjutnya akan mempengaruhi mutu, kreativitas dan

produktivitas angkatan kerja. Pada akhimya permasalahan ini dapat berdampak

buruk bagi laju pembangunan ekonomi nasional (Depkes RI, 2007).

Almita (2012) dalam penelitiannya terhadap siswa sekolah dasar didapat

pengetahuan yang berbeda sebelum dan sesudah penyuluhan dilakukan. Dimana

sebanyak 62 orang memiliki pengetahuan yang kurang sebelum penyuluhan.

Sementara sesudah penyuluhan terdapat 32 orang yang memiliki pengetahuan

kurang. Hal ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah responden yang

berpengetahuan baik.
Sari (2009) dalam penelitiannya di falkultas kedokteran di Sumatra Utara,

dengan responden 93 orang, didapatkan 59 orang sering melakukan aktivitas

jarak dekat seperti tidak memperhatikan jarak membaca 30 cm, menonton TV

dengan jarak yang terlalu dekat secara terus menerus, memakai komputer terlalu

lama tanpa mengistirahatkan mata yang dapat menyebabkan myopiadan 34 orang

normal

Kemampuan deteksi dini dan pencarian bantuan yang tepat tentu saja

dapat dimiliki, bila para siswa memiliki pengetahuan dan sikap yang benar.

Pengetahuan tentang arti, gejala dan cara mendeteksi dini terhadap yang

mengalami kelainan refraksi khususnya Myopia akan membentuk sikap yang

mendukung penanganan kelainan refraksi myopia bila terjadi {Lighthouse

International, 2009).

Sikap dan perilaku para siswa yang baik tentang kelainan refraksi myopia

akan dapat mencegah gangguan penglihatan. Disamping itu dengan cara deteksi

dini dan pencegahan (Sirlan, 2006).

Berdasarkan survei awal yang dilakukan di SMP N 3 Onan Ganjang

dimana dari 148 Siswa yang terdiri dari Kelas VIII dan kelas IX, terdapat 48

(empat puluh delpan) orang siswa yang memakai kacamata atau yang terkena

myopia. Diberikan 15 pertanyaan mengenai myopia, dari 10 orang siswa yang

memakai kacamata terdapat 6 orang siswa tidak mengetahui pengertian myopia,

tanda gejala, pencegahan dan memiliki kebiasaan membaca buku dengan

pencahayaan yang kurang, membaca buku sambil tiduran, menonton televisi

dengan jarak terlalu dekat, dan bermain laptop dalam jangka waktu yang lama.
Selebihnya siswa memiliki pengetahuan baik tetapi mereka tetap melakukan

faktor yang memicu terjadinya myopia, salah satunya masih membaca buku

dengan pencahayaan yang kurang dan juga bermain smart phone sambil tiduran

dengan jangka waktu yang lama.

Berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan pada siswa SMP sebanyak

148 orang yang terdiri dari 79 orang kelas VIII dan sebanyak 69 orang kelas IX

peneliti tertarik meneliti tentang: Hubungan Pengetahuan, Sikap Dengan

Tindakan Pencegahan Myopia Pada Siswa SMP N 3 Onan Ganjang.”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah apakah ada hubungan pengetahuan, sikap dengan tindakan pencegahan

myopia pada siswa SMP?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dengan tindakan

pencengahan myopia pada siswa SMP.

2. Tujuan Umum

a. Mengidentifikasi Pengetahuan Tentang Myopia pada pada Siswa

SMP.

b. Mengidentifikasi Tingkat Sikap Siswa SMP Terhadap Myopia.


c. Mengidentifikasi Pengetahuan dengan Tindakan Pencegahan Myopia

pada pada Siswa SMP.

D. Manfaat Penelitian

1) Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan dan pemahaman penulis dalam penulisan

proposal dan khususnya tentang hubungan pengetahuan, sikap

dengan tindakan pencegahan myopia pada siswa SMP.

2) Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk meningkatkan mutu

pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta ilmu

keperawatan, bagi peserta didik untuk penelitian selanjutnya.

3) Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan untuk meneliti

aspek lain tentang tindakan pencegahan myopia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengetahuan

2.1.1. Pengertian Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil yang dihasilkan setelah individu melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan tercipta melalui indera

manusiayaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuaman rasa dan raba.

Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dam

membentuk tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

terdiri dari enam tingkatan. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui

wawancara atau angket untuk menanyakan isi materi yang ingin diukur dari

subjek penelitian ata responden.

2.1.2 Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan, yaitu : ( Notoatmojo, 2012 )

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah

dipelajarisebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh

bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu

“tahu” merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja


untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain

menyebutkan, menguraikan, menyatakan dan sebagainya.

2. Memahami (compherension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasi materi tersebut.

secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan

sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi ( application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi ini

dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,

metode dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur

organisasi dan masih ada kaitanya satu sama lain. Kemampuan analisis ini

dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat menjabarkan,

membedakan dan mengelompokkan.


5. Sintesis (syntetis)

Sistesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilai terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan

pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-

kriteria yang telah ada.

2.1.3 Cara Memperoleh Pengetahuan

Dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua,

yakni : (Notoatmodjo, 2010)

a. Cara memperoleh kebenaran non ilmiah atau tradisional

Cara tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh kebenaran

pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah atau metode

penemuan secara sistematik dan logis adalah dengan cara non ilmiah,

tanpa melalui penelitian. Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode

ini antara lain meliputi :

1. Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara memperoleh kebenaran non ilmiah, yang pernah digunakan


oleh manusia dalam memperoleh pengetahuan adalah melalui cara

coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error”.

Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama

untuk memecahkan berbagai masalah. Bahkan sampai sekarang pun

metode ini masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum

atau tidak mengetahui suatu cara tertentu yang tepat dalam

memecahkan masalah yang dihadapi. Metode ini telah banyak jasanya,

terutama dalam meletakkan dasar-dasar menemukan teori-teori dalam

berbagai cabang ilmu pengetahuan.

2. Secara Kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak

disengaja oleh orang yang bersangkutan. Salah satu contoh adalah

penemuan enzim urease oleh Summers pada tahun 1926. Pada suatu

hari Summers sedang bekerja dengan ekstrak acetone, dan karena

terburu-buru ingin bermain tenis, maka ekstrak acetone tersebut

disimpan di dalam kulkas. Keesokan harinya ketika ingin meneruskan

percobaannya, ternyata ekstrak acetone yang disimpan di dalam kulkas

tersebut timbul kristal-kristal yang kemudian disebut enzim urease.

3. Cara Kekuasaan atau Otoritas

Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak sekali kebiasaan

kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik atau tidak. Kebiasaan-

kebiasaan ini biasanya diwariskan turun-temurun dari generasi ke


generasi berikutnya. Kebiasaan seperti ini bukan hanya terjadi pada

masyarakat tradisional saja, melainkan juga terjadi pada masyarakat

modern. Kebiasaan-kebiasaan ini seolah-olah diterima dari sumbernya

sebagai kebenaran yang mutlak.

4. Akal Sehat

Akal sehat atau Comon Sense kadang-kadang dapat menemukan

teori atau kebenaran. Sebelum ilmu pendidikan ini berkembang, para

orang tua zaman dahulu agar anaknya menuruti nasihat orang tuanya

atau agar anaknya disiplin menggunakan cara hukuman fisik bila

anaknya berbuat salah, misalnya dijewer telinga atau dicubit.

b. Cara Ilmiah dalam Memperoleh Pengetahuan

Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan pada

dewasa ini lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode

penelitian ilmiah, atau lebih populer disebut metodologi penelitian. Cara

ini mula-mula dikembangkan oleh Francis Bacon (1561-1626). Ia

mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan

mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-pencatatan

terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamatinya.

Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok, yakni:


1) Segala sesuatu yang positif, yakni gejala tertentu yang muncul pada

saat dilakukan pengamatan.

2) Segala sesuatu yang negatif, yakni gejala tertentu yang tidak muncul

pada saat dilakukan pengamatan.

3) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala

yang berubah-ubah pada kondisi tertentu.

2.1.4 Factor yang mempengaruhi pengetahuan

Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu :

1) Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan

berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,

makin tinggi pendidikan seeorang makin mudah orang tersebut untuk

menerima informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang akan

cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun

dari media massa.

Bahwa semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak

pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat

erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula


pengetahuannya.

2) Media Massa

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun

non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek

(immediateimpact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan

pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media

massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang

inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, penyuluhan dan lain-lain

mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayan

orang.

3) Pengalaman

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman baik dari

pengalaman pribadi maupun dari pengalaman orang lain. Pengalaman ini

merupakan suatu cara untuk memperoleh kebenaran suatu pengetahuan.

4) Budaya dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui

penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian

seseorang akan bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan.

Status ekonomi seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu


fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial

ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.

5) Faktor Umur

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir

seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya

tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya

semakin membaik.

2.2 Sikap (attitude)

Sikap berasal dari kata “aptus” yang berarti dalam keadaan sehat dan siap

melakukan aksi/tindakan atau dapat dianalogikan dengan keadaan seorang

gladiator dalam arena laga yang siap menghadapi singa sebagai lawannya dalam

pertarungan. Secara harfiah, sikap dipandang sebagai kesiapan raga yang dapat

diamati (Sarwono, 2009).

Berikut adalah beberapa definisi sikap dari para ahli:

1. Menurut Allport, sikap merupakan kesiapan mental, yaitu suatu proses

yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan pengalaman

individual masing-masing mengarahkan dan menentukan respon

terhadap berbagai objek dan situasi (Sarwono, 2009).

2. Sikap merupakan reaksi evaluatif yang disukai atau tidak disukai

terhadap sesuatu atau seseorang, menunjukkan kepercayaan,

perasaan, atau kecenderungan perilaku seseorang Zanna & Rempel,


1988 (dalam Sarwono, 2009).

3. Sikap merupakan kecenderungan psikologis yang diekspresikan

dengan mengevaluasi entitas tertentu dengan beberapa derajat

kesukaan atau ketidaksukaan (Eagly & Chaiken, 1993, dalam

Sarwono, 2009).

4. Sikap merupakan evaluasi terhadap beberapa aspek perkataan sosial

Baron & Byrne, 2006 (dalam Sarwono, 2009).

5. Menurut Thurstone, Likert, dan Osgood sikap adalah suatu bentuk

evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek

adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun

perasaan tidak mendukung atau tidak memihak(unfavorable) pada

objek tersebut (Azwar, 2012).

6. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku,

tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan

diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon

terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan (Azwar, 2012).

7. Secord & Backman (1964) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan

tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan

predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di

lingkungan sekitarnya (Azwar, 2012).

Dari definisi-definisi mengenai sikap diatas dapat disimpulkan bahwa

sikap adalah suatu kecenderungan dan keyakinan seseorang terhadap suatu hal

yang bersifat mendekati (positif) atau menjauhi (negatif) ditinjau dari aspek afektif
& kognitif dan mengarahkan pada pola perilaku tertentu. Sedangkan definisi sikap

terhadap operasi peneliti simpulkan sebagai kecenderungan dan keyakinan

individu mengenai operasi yang bersifat mendekati (positif) dan menjauhi

(negatif) ditinjau dari aspek afektif dan kognitif dan mengarahkan pada pola

perilaku tertentu.

2.3 Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan

factor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tingkatan praktek

yaitu:

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil merupakan praktek tingkat pertama.

b. Respon Terpimpin (guided respons)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh

merupakan indikator praktek tingkat dua.

c. Mekanisme (mekanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah

mencapai praktek tingkat tiga.

d. Adaptasi (adaptation)

Adaptasi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang


dengan baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

2.3.1 Aspek Perilaku

Menurut Notoatmojo (2012), dari pengtahuan dan penelitian terbukti

bahwa perilaku yang didasari pengehuan akan lebih langgeng dari pada perilaku

yang tidak didasari pengetahun.

Penelitian Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi

prilaku baru, maka di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan

yakni:

a) Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti

mengetahui lebih terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).

b) Interst (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini sikap

subjek sudah mulai timbul.

c) Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus

tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d) Trial, dimana subjek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan

apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e) Adoption, dimana subjek telah berprilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

2.3.2 Perilaku Kesehatan

Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner (1997), maka perilaku


kesehatan (healt behavior) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek

yang berkaitan dengan sehat-sakit,penyakit dan faktor-faktor yang mempengaruhi

sehat- sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman dan pelayanan

kesehatan. Dengan perkataan lain perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau

kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat

diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan

kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri

dari penyakit dan masalah kesehatan lainnya.

Oleh sebab itu perilaku kesehatan ini pada garis besarnya dikelompokan

menjadi dua yakni:

1. Perilaku orang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh karena itu

perilaku ini disebut perilaku sehat ( healthy behaviour ).

Contoh : makan dengan gizi seimbang.

2. Perilaku orang yang sakit atau terkena masalah kesehatan, untuk

memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatannya.

Oleh sebab itu perilaku ini disebut perilaku pencarian pelayanan

kesehatan ( healt seeking behaviour ). Tempat pencarian kesembuhan

ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah

sakit, puskesmas, poliklinik dan lain lain.

2.4 Konsep Myopia

2.4.1 Pengertian Myopia

Mata bagian yang sangat penting, karena merupakan salah satu panca
indera manuasia. Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang

dilakukan mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah

lingkungan sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata yang lebih kompleks

dipergunakan untuk memberikan pengertian visual. Mata manusia memiliki cara

kerja otomatis yang sempurna, mata dibentuk dengan 40 unsur utama yang

berbeda dan ke semua bagian ini memiliki fungsi penting dalam proses melihat

kerusakan atau ketiadaan salah satu fungsi bagiannya saja akan menjadikan mata

mustahil dapat melihat.Mata dapat berfungsi dengan baik apabila ada cahaya.

Secara klinis kelainan refraksi adalah akibat kerusakan akomodasi visual.

Entah akibat perubahan bulbus oculi, ataupun kelainan pada lensa. Kelainan

refraksi yang sering dihadapi sehari-hari adalah miopia, hipermetropia, dan

astigmatisme. Uji kelainan refraksi dapat dilakukan dengan uji pinhole. Apabila

didapatkan visus maju maka merupakan kelainan refraksi, apabila didapatkan

visus tidak maju maka bukan merupakan kelainan refraksi (Ilyas, 2006).

Myopia adalah suatu kelainan refraksi, yaitu berkas sinar sejajar yang

masuk kedalam mata, pada keadaan tanpa akomodasi, dibiaskan pada suatu titik

fokus di depan retina. Myopia disebut juga dengan rabun jauh, nearsightedness

atau shortsightedness. (Sjamsu Budiono, 2019)

Myopia atau lebih sering disebut rabun jauh adalah berkurangnya atau

menurunnya kemampuan seseorang dalam melihat objek dalam jarak jauh. Hal ini

disebkan pembiasan cahaya jatuh didepan retina. Penyebab utamanya adalah

ketika lensa mata menerima ransangan radiasi cahaya dengan sangat kuat dan

intensitas tinggi lama dan sering sehingga menyebabkan kornea mata cembung
dan diperlukan alat bantu penglihatan berupa lensa cekung atau lensa negatif

bersifat sementara. Mata akan mengalami penurunan ketajaman penglihatan atau

kekaburan pada saat menjelang senja, senja dan setelah senja. Tetapi setelah senja

sudah hilang, mata akan kembali dapat melihat dengan normal tanpa alat bantu

penglihatan lainnya. (Moh. Nasrudin, 2021)

Pencegahan adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam

mencegah terjadinya suatu yang tidak diinginkan. Preventif (pencegahan) secara

etiologi berasal dari bahasa latin, prevenire yang artinya datang sebelum atau

antisipasi atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang

sangat luas, preventif diartikan sebagai upaya secara sengaja dilakukan untuk

mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau

masyarakat. Adapun usaha kesehatan yang dapat dilakukan yaitu promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitatif. (Notoadmodjo, 2014)

2.4.2 Etiologi

Penelitian genikologi telah memberikan banyak bukti bahwa faktor

keturunan merupakan etiologi utama terjadinya miopia patologi cara transmisi

dari miopia patologi adalah autosomal resesif, autosomal dominan, sekslink dan

derajat miopia yang diturunkan ternyata bervariasi. Penyakit Ibu yang dikaitkan

dengan miopia kongenital adalah hipertensi sitemik, toksemia dan penyakit retina,

faktor lain yang dianggap berhubungan dengan miopia patologi adalah kelahiran

prematur yakni berat badan lahir kurang dari 2.500 gr (Widodo dan Prillia, 2007).

Etiologi miopia masih belum diketahui secara pasti. Namun miopia


diduga berasal dari faktor genetik dan faktor lingkungan. American Optometric

Association (1997) menulis etiologi yang diduga menyebabkan miopia

berdasarkan jenis-jenis miopia, adapun jenis-jenis miopia dan etiologinya dapat

dilihat pada tabel 2.4 berikut.

Tabel 2.4 Jenis-jenis Miopia dan Etiologinya (Goss et al., 2006)

Jenis-jenis myopia Etiologi-etiologi


Miopia Sederhana Keturunan/warisan

Sering bekerja dengan jarak melihat

yang dekat

Idiopatik
Miopia Nokturnal Akomodasi untuk fokus gelap yang

signifikan
Pseudomiopia Kelainan akomodasi

Axoforia tahap tinggi

Agen kolinergik agonis


Miopia Degeneratif Keturunan / warisan

Retinopati akibat prematuritas

Gangguan pada hantaran cahaya

melalui media okular.

Idiopatik
Miopia yang diinduksi (didapat) Katarak nuclear yang berhubungan

dengan usia

Terpapar sulfonamida dan agen

farmaseutikal yang lain

Variasi yang signifikan pada kadar gula


dalam darah

2.4.3 Klasifikasi Myopia

Menurut Ilyas (2010) dikenal beberapa bentuk miopia seperti:

1) Miopia refraktif, bertambahnya indeks bias media penglihatan seperti

terjadi pada katarak intumessen dimana lensa menjadi lebih cembung

sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau miopia

indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan kornea

dan lensa yang terlalu kuat.

2) Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan

kelengkungan kornea dan lensa yang normal.

Klasifikasi miopi berdasarkan ukuran dioptri lensa yang dibutuhkan untuk

mengkoreksinya (Sjamsu Budiono, 2019):

a. Ringan : lensa koreksinya S-0,25 s/d S-3,00 dioptri

b. Sedang : lensa koreksinya S-3,25 s/d S-6,00 dioptri

c. Tinggi : lensa koreksinya S-6,25 dioptri

Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk:

a) Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa.

b) Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat

bertambah panjangnya bola mata.

c) Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan

ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan myopia pernisiosa = miopia

maligna = miopia degeneratif.


Tabel 2.5 Sistem Klasifikasi Miopia (Goss et al., 2006)

Klasifikasi Tipe Jenis-jenis Miopia


Klinikal Entity Miopia Sederhana

Miopia Nokturnal

Pseudomiopia

Miopia Degeneratif

Miopia Didapat
Derajat Miopia ringan (0.25-3.00 D)

Miopia sedang (3.25-6.00 D)

Miopia berat (>6.25 D)


Onset pada Usia Miopia kongenital (didapat saat lahir

dan menetap)

Miopia pada anak-anak (<20 tahun)

Miopia pada dewasa muda (20-40

tahun)

Miopia pada dewasa tua (>40 tahun)

2.4.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penglihatan

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya myopia yaitu

(Karikaturijo, 2010):

1. Pencahayaan

Penerangan merupakan aspek lingkungan fisik, sangat penting bagi

keselamatan kerja dan penerangan yang tepat disesuaikan dengan jenis


pelayanan. Lingkungan kerja atau belajar yang kurang baik merupakan

beban tambahan dalam menciptakan produktivitas kerja atau belajar yang

kurang baik yang akan menyebabkan timbulnya berbagai penyakit kerja

atau belajar adalah pencahayaan. Menurut keputusan Menteri Kesehatan

No.1405 tahun 2002, pencahayaan adalah jumlah penyinaran pada suatu

bidang kerja yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan secara efektif.

2. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme)

terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem

pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. Perilaku seseorang

terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespon, baik secara

pasif mengetahui, bersikap dan persepsi tentang penyakit dan rasa sakit

yang ada pada dirinya dan luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang

dilakukan sehubngan dengan penyakit dan sakit tersebut. Prilaku sakit dan

penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat pencegahan, salah

satunya adalah perilaku pencegahan penyakit (Health Preventtion

Behaviour). Dimana respon untuk melakukan pencegahan penyakit,

misalnya membaca dan menulis menggunakan penerangan yang baik,

posisi badan sewaktu membaca, menulis dan lain-lain. Kebiasaan membaca

dan menulis terlalu dekat atau membaca sambil tiduran atau tengkurap akan

menyebabkan terjadinya myopia.

3. Banyak kasus yang dapat digunakan untuk memperlihatkan bahwa kelainan

refraksi ditentukan secara genetik. Anak dengan orang tua myopia

cenderung mengalami myopia, hal ini cenderung mengikuti pola Dose-


Dependent Pattern. Prevalensi pada anak dengan kedua orang tua

myopia adalah 32,9 % berkurang sampai 18,2 % pada anak dengan orang

tua tanpa myopia.

4. Umur

Menurut vaner dan davidson, “bertambahnya usia, titik penglihatan, atau

titik terdekat yang dapat dilihat secara jelas, mulai bergerak makin jauh,

pada usia dua puluh tahun, seseorang dapat melihat jelas suatu benda pada

jarak 10 cm dari matanya, sekitar usia empat puluh tahun titik dekat itu

sudah menjauh mencapai 23 cm, dan jumlah penerangan yang dibutuhkan

dalam situasi belajar, kalau seseorang berusia 20 tahun memerlukan 100

watt cahaya, maka pada usia 40 tahun diperlukan 145 watt, pada usia 70

tahun membutuhkan penerangan 300 watt, sedangkan menurut sumakmur

bahwa pertambahan usia mengakibatkan penurunan tajam penglihatan.

5. Pekerjaan

Ruang lingkup pekerjaan dapat ditentukan oleh berbagai faktor yaitu ukuran

objek, derajat kontras di antara objek sekelilingnya, luminensi dari lapangan

penglihatan yang tergantung dari penerangan dan pemantulan pada arah si

pekerja, serta lama melihat. Faktor-faktor tersebut sangat penting

pengaruhnya terhadap arti ketajaman penglihatan.

2.4.5 Tanda dan Gejala Myopia

Pasien myopia mempunyai pangtum remotum (titik terjauh) yang masih

dilihat jelas yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan
konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila

kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau

esotropia (Ilyas, 2010). Gejala myopia yaitu :

a. Kabur bila melihat jauh & jelas melihat dekat

b. Pusing ketika membaca

c. Melihat benda kecil harus dari jarak dekat

d. Seperti melihat benang / nyamuk di lapang pandang (floaters) atau seperti

melihat kilatan cahaya, hal ini karena jaringan retina perifer yang

mengalami proses degerasi dan terlepas dari corpus vitrium.

e. Cenderung memicingkan mata saat melihat jauh.

2.4.6 Penjagaan Kesehatan Mata

1) Jaga jarak pandang

Jaga jarak pandang ketika sedang berada dilayar komputer maupun TV.

Jarak pandang yang ideal sekitar 50-100 cm. Seperti juga halnya ketika

sedang membaca buku. Jarak yang ideal ketika membaca buku sekitar 30

cm. Hal ini dimaksudkan agar dapat terhindar dari miopia atau rabun

dekat.

2) Istirahatkan mata

Jangan paksakan mata untuk berlama-lama membaca buku atau berada di

depan layar komputer. Jika terlalu lama, maka mata akan sakit.

Isitirahatkan mata selama beberapa menit.

3) Mengonsumsi makanan yang mengandung vitamin A


Mengonsumsi makanan seperti wortel yang mengandung vitamin A. Hal,

ini dikarenakan wortel mengandung vitamin A. dan beta karoten yang

berfungsi untuk menjaga kesehatan mata.

4) Berhenti merokok

Bagi orang perokok, usahakan agar menghentikan kebiasaan merokok

mulai sekarang. Ini dikarenakan, dapat berpotensi mengalami sejumlah

penyakit mata seperti katarak dan kerusakan saraf optik pada mata.

5) Rutin melakukan pemeriksaan mata

6) Jangan menggosok atau mengucek mata terlalu kuat terutama bila ada

benda asing yang masuk ke mata.

Pencegahan myopia dapat dilakukan sebagai berikut (You, 2016 ) :

1. Perhatikan jarak membaca (minimal sepanjang siku atau 30 cm)

2. Membaca buku dengan Pencahayaan yang baik dan terang.

3. Hindari membaca sambil tiduran.

4. Hindari menonton TV/main play station dengan jarak yang terlalu dekat.

5. Memakai kaca mata anti radiasi sewaktu menggunakan laptop.

6. Mengistirahatkan mata tiap 30 menit setelah membaca dan bermain

computer.

7. Hindari mata dari kotoran seperti debu, atau benda yang mengganggu.

8. Mengistirahatkan mata setiap 30 menit setelah menonton TV.

2.4.7 Penatalaksanaan Myopia

a. Kaca Mata
Kacamata dapat meringankan usaha akomodasi mata, sehingga dapat

mempengaruhi progresivitas miopia. Jenis kacamata dalam percobaan adalah

lensa bifokus, progresif, dan prisma. Studi selama 2 tahun menggunakan

modalitas kacamata menunjukkan bahwa penurunan progresivitas miopia

dapat mencapai 40-50% lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol

yang menggunakan kacamata plano. Di samping itu, anak yang diberi koreksi

di bawah visus terbaik (+0.50D dibandingkan seharusnya), akan mengalami

progresivitas miopia 10% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol.

b. Lensa Kontak

Walline, et al, melakukan studi acak terkontrol untuk membandingkan

efek penggunaan rigid gas permeable contact lens (RGP) dengan soft contact

lens (SCL). Didapatkan bahwa RGP menurunkan progresivitas miopia lebih

besar dibandingkan mereka yang menggunakan SCL. Meskipun demikian,

peneliti berkesimpulan bahwa perubahan refraksi yang terjadi lebih

disebabkan oleh perubahan kelengkungan kornea pada pengguna RGP.

Perubahan tersebut bersifat sementara dan bukan merupakan penurunan

progresivisitas miopia yang sesungguhnya.

c. Ortokeratologi

Ortokeratologi atau disebut juga ortho-k merupakan lensa kontak khusus

yang didesain untuk mengubah bentuk kornea, sehingga mengeliminasi

kelainan refraksi secara sementara. Lensa kontak ini bersifat gas-permeable

untuk memfasilitasi pertukaran oksigen yang baik. Lensa ini juga didesain

agar dapat membantu mengatasi peripheral defocus retina. Reim, et al, dan
Kakita, et al, mendapatkan bahwa ortho-k yang digunakan pada malam hari

dapat mengurangi progresivitas miopia sebesar 40-60% dibandingkan

kelompok kontrol. Kekurangan ortho-k adalah harganya mahal, kurang

nyaman, memiliki risiko infeksi, dan lebih sulit digunakan dibandingkan

lensa kontak pada umumnya.

d. Farmokologis

Obat yang digunakan dalam pencegahan FDM adalah obat golongan anti

muskarinik. Atropin dan pirenzepin merupakan obat anti-muskarinik yang

terbukti kuat dapat mengurangi FDM. Pirenzepin sebagai obat selektif M1

dapat mengurangi progresivisitas miopia dan pemanjangan aksial bola mata

tanpa efek samping atropin, yaitu midriasis dan sikloplegik. Pirenzepin

mampu mengurangi progresivitas miopia sebesar 40% dibandingkan

kelompok kontrol.

Sebagian besar penelitian menyebutkan efektivitas atropin dalam

mencegah FDM hanya berlangsung selama 2 tahun. Chia et al, melakukan

studi acak selama 5 tahun pada 400 anak yang dibagi ke dalam tiga

kelompok, yaitu atropin 0,5%, 0,1%, dan 0,01%. Dari penelitian tersebut,

ditemukan bahwa apabila atropin dihentikan mendadak setelah digunakan

rutin selama 2 tahun, akan terjadi peningkatan progresivitas miopia

dibandingkan kelompok kontrol yang hanya mendapatkan tetes air mata

buatan. Makin tinggi konsentrasi atropin yang digunakan akan makin besar

juga efek rebound obat ini.

e. Kombinasi
Shih et al, mengombinasikan atropin dengan kacamata bifokus.

Kelompok pertama diberi atropin 0,5% dengan lensa bifokus add S+2.00D.

Kelompok kedua diberi atropin 0,25% dengan lensa bifokus add S+0.75D.

Kelompok kontrol mendapat lensa plano dan tetes air mata buatan.

Didapatkan penurunan progresivitas miopia sebesar 96% pada kelompok

pertama dan 58% pada kelompok kedua dibandingkan kelompok control

(Halim et al. ,2017).

2.4.8 Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Tindakan Pencegahan


Myopia

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas dapat dikatakan bahwa dengan adanya

hubungan pengetahuan yang dimiliki tentang tindakan pencegahan myopia akan

membentuk kecenderungan sikap positif yang tercermin dalam perilakunya untuk

melakukan tindakan pencegahan myopia. Hal ini didukung oleh pernyataan bahwa

pengetahuan merupakan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang dalam berprilaku yang didasarkan oleh

pengetahuan. Pencegahan myopia ini dirasa perlu dan efektif dilakukan pada

remaja karena pada masa tersebut merupakan saat yang tepat untuk memulai

mengetahui pengetahuan yang tepat untuk mengatasi masalah, salah satunya

myopia atau rabun jauh (Notoatmodjo, 2012).

2.4.9 Kerangka Teori

Pencegahan Myopia Akomodasi terus- Kontraksi muskulus


menerus orbicularis okuli
1. Perhatian jarak membaca
(minimal sepanjang siku)
2. Membaca di ruangan dengan
pencahayaan baik dan terang
3. Hindari menonton TV/main play
Kontraksi muskulus
ciliaris akan menarik Tekana intra ocular
koroid meningkat

Peregangan dan penipisan


sklera di pole posterior

Panjang aksial bola Kekuatan refraksi terlalu


mata bertambah kuat

Cahaya difokuskan di
depan retina

Miopia
2.4.10 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian adalah suatu uraian atau kaitan antar konsep

satu terhadap konsep lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel yang

lain dari masalah yang ingin diteliti ( Notoatmodjo, 2012 ).

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan Pencegahan Myopia

1. Pengertian Myopia 1. Perhatian jarak membaca (minimal


2. Tanda gejala myopia sepanjang siku)
3. Pencegahan myopia 2. Membaca di ruangan dengan
pencahayaan baik dan terang
3. Hindari menonton TV/main play station
dengan jarak yang terlalu dekat
4. Hindari membaca sambil tiduran
5. Memakai kaca mata anti radiasi sewaktu
menggunakan laptop
6. Hindari memakai komputer terlalu lama
secara terus menerus tanpa
mengistirahatkan mata.
7. Makan makanan yang bermanfaat bagi
mata seperti vitamin A.
8. Memandang ke tempat yang jauh ketika
sudah lama di depan TV dan smart
phone.
9. Hindari mata dari kotoran seperti debu,
atau benda yang mengganggu.
10. Mengistirahatkan mata setiap 30 menit
setelah menonton TV
11. Memakai kacamata atau helm tertutup
saat berkendara
12. Hindari membeli kacamata di pasaran
tetapi di Optik
13. Hindari memakai softlens sembarangan
14. Hindari bermain smartphone sambil
tiduran dan dalamjangka wktu yang lama
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain deskriptif dengan pendekatan

studi potong lintang (cross sectional). Penelitian ini mendeskripsikan atau

menggambarkan penderita miopia yang bertujuan untuk melihat hubungan

pengetahuan dengan tindakan pencengahan myopia pada siswa SMP N 3

Onan Ganjang.

Rancangan penelitian merupakan hasil akhir dari suatu tahap

kemajuan yang dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu

peneliti bisa diterapkan. Pada tahap ini, peneliti harus mempertimbangkan

beberapa keputusan sehubungan dengan metode yang akan digunakan

untuk menjawab pertanyaan penelitian dan harus secara cermat

merencanakan pengumpulan data ( Nursalam, 2014).

3.2 Lokasi Penelitian Dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3

Onan Ganjang, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera

Utara dengan hasil survei data awal didapat dari 10 siswa yang memakai

kacamata terdapat 8 orang siswa yang tidak mengetahui pengertian

myopia, tanda gejala, pencegahan myopia, dan juga dengan pertimbangan

belum pernah dilakukan penelitian tentang “Hubungan Pengetahuan

Dengan Tindakan Pencegahan Myopia Pada Siswa SMP N 3 Onan


Ganjang”. Adapun penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai

dengan Maret 2021

3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa/i kelas VIII dan

kelas IX SMPN 3 Onan Ganjang yang memenuhi kriteria inklusi yang

telah ditetapkan.

3.3.2 Sampel Penelitian

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total

sampling. Pengambilan sampel dilakukan secara keseluruhan dari populasi

berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

Menentukan sampel berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi:

1. Semua anak yang memakai kaca mata yang hanya disebabkan oleh

miopia.

2. Hadir pada saat penelitian dilakukan.

3. Mengisi angket dengan lengkap.

b. Kriteria Eksklusi:

1. Semua anak pengguna kaca mata yang menderita miopi akibat

trauma, infeksi, kaca mata gaya, kontak lensa dan riwayat penyakit

diabetes mellitus dan hipertensi.


2. Tidak bersedia menjadi responden.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini merupakan jenis data primer. Data

primer adalah data yang langsung diperoleh dari reponden (Nursalam, 2014),

dimana data diperoleh secara langsung dengan menggunakan metode angket

berupa kuesioner sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari

pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan judul penelitian dan hasil

pemeriksaan visus responden.

3.5 Pengolahan Dan Analisis Data

3.5.1 Pengolahan Data

Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari hasil kuisioner yang diisi

oleh responden dan hasil pemeriksaan visus diubah menjadi data kuantitatif

berupa skor nilai. Pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu editing,

coding, entry, cleaning data, dan saving.

1) Langkah pertama, editing, dilakukan untuk memeriksa ketepatan dan

kelengkapan data.

2) Kedua, coding, data yang telah terkumpul kemudian diberi kode oleh

peneliti secara manual sebelum diolah dengan komputer.

3) Semua data yang telah dikumpulkan dicatat, dikelompokkan, dan diolah.

4) Ketiga, entry, data kemudian dimasukkan ke dalam program komputer.


5) Keempat, cleaning data, dengan melakukan pemeriksaan semua data yang

telah dimasukkan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam

memasukkan data.

6) Terkhir, saving, data kemudian disimpan untuk kemudian dianalisis

dengan menggunakan program SPSS. Selanjutnya data tersebut

ditampilkan dalam bentuk tabel, diagram, ataupun grafik.

3.5.2 Analisis Data

Data yang sudah diolah akan dianalisa secara deskriptif dengan

mengguanakan program SPSS untuk mengetahui hubungan pengetahuan

dengan tindakan pencegahan Myopia pada pelajar SMP Negeri 3 Onan

Ganjang.

Anda mungkin juga menyukai