Anda di halaman 1dari 23

JURNAL READING

PREVENTION OF PROGRESSION IN MYOPIA : A SYSTEMATIC REVIEW


Vagge, A., Desideri, L.F., Nucci, P., Serafino, M., Giannacare, G., Traverso, C.E. dalam Diseases 2018 volume 6 (92)

Pembimbing :
dr. Prima Sugesty Nurlaila, Sp. M

Disusun oleh:
Mahayu Dian Suryandaru G4A020020

SMF ILMU KESEHATAN MATA RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO
2021
Abstrak
Prevalensi miopia telah meningkat di seluruh dunia dalam beberapa dekade
terakhir.. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan
perilaku. Kacamata dan kontak lensa tidak boleh dianggap sebagai strategi lini
pertama, mengingat tingginya risiko keratitis dan tingkat kepatuhan pasien yang
relatif rendah. Sampai saat ini, tetes mata atropin tampaknya menjadi
pengobatan yang paling efektif untuk memperlambat perkembangan miopia,
meskipun mekanisme yang tepat dari efek pengobatan masih belum pasti.
Atropin dosis rendah (0,01%) terbukti merupakan pengobatan yang efektif dan
aman dalam jangka panjang.
Pendahuluan
◦ Miopia, atau 'rabun jauh', adalah salah satu penyakit refraksi karena pemanjangan aksial mata yang berlebihan.
◦ Prevalensi di Asia timur dan Tenggara : 80-90% pada anak-anak sekolah menengah usia 17-18 tahun.
◦ Meta-analisis (Holden et al) memperkirakan miopia dari 1406 juta (22,9%) pada tahun 2000 menjadi 4758 juta
(49%) pada 2050. Miopia tinggi ( ≥ 6,00 D) dari 163 juta (2,7 %) menjadi 938 juta (9,8%) pada tahun 2050 
separuh populasi dunia terkena miopia berdampak pada sosial dan ekonomi.
◦ Studi Jacobsen et al. di Denmark melaporkan penurunan yang signifikan pada miopia tinggi. Selain itu, French
et al. menunjukkan prevalensi myopia yang relatif rendah pada anak-anak kaukasia yang tinggal di Sydney,
Australia dan di Irlandia Utara, masing-masing 5% (usia 6-7 tahun )dan 15,0% (12-13 tahun).
◦ Miopia tinggi dikaitkan dengan gangguan penglihatan bilateral, studi kohort Rottherdam Eye Study  39%
terkena myopic makulopati, 17% terkena glaucoma sudut terbuka dan 5% terkena katarak .
◦ Semakin awal onset miopia , faktor risiko keparahan penyakit pada usia dewasa juga menningkat.
◦ Tujuan penelitian ini adalah menganalisis semua kemungkinan perilaku, intervensi, dan strategi farmakologis
yang dapat diadopsi pada populasi anak-anak, untuk memperlambat perkembangan miopia.
Metode
◦ Literatur dalam penelitian ini diperoleh dari database elektronik PubMed,
MEDLINE dan Cochrane dengan batas akhir publikasi Desember 2017. Kata
kunci yang digunakan dalam mencari litaratur adalah Myopia” “control”,
“progression”, “pediatrics”, “prevention”, “atropine”, “orthokeratology”,
“contact lenses”, “spectacles”, “outdoor activities”, “near work”,
“epidemiology”, “genetics”, “pathogenesis”, dan “dopamine”. Seluruh literatur
merupakan literatur berbahasa inggris. Kelayakan studi pertama kali dinilai
dari judul dan abstrak. Semua studi yang terpilih akan diperiksa secara
menyeluruh.
Etiopatogenesis :
◦ Multifactorial disease yang dipengaruhi interaksi gen (parental dan etnis) dengan lingkungan.
- Ditemukan keterkaitan antara orang tua dengan myopia terhadap peningkatan faktor risiko
anaknya juga menderita myopia
- Guangzhou Twin Eye Study dalam Studi kohort progresivitas myopia mengidentifikasi faktor
genetik berkontribusi besar (55-84 %) terhadap kejadian tersebut.
- Studi kohort prospektif oleh Verhoeven et al dengan 5.257 peserta. Membandingkan subyek
dengan tingkat risiko genetik yang sama, menyoroti bagaimana faktor lingkungan seperti
tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih signifikan terkait dengan timbulnya miopia daripada
tingkat pendidikan yang lebih rendah .
• Patofisiologi dan mekanisme biologi myopia

- Kompensasi dari hyperopic defocused  elongasi aksis


- Stone et al. pada tahun 1990 melakukan studi dengan anak ayam menunjukkan hubungan
terbalik antara kadar dopamin dan pertumbuhan mata rabun  obat dopaminergik
diujicobakan sebagai anti-rabun pada model hewan.
- Pemberian 7-methylxanthine pada kelinci muda meningkatkan kandungan fibril dan kolagen
pada skelra bagian posterior, sedangkan pada marmot terbukti memperlambat elongasi  7
mx pada model hewan dapat dijadikan opsi terapi pencegahan miopia.
- Studi baru pada manusia rabun menunjukan kadar serum melatonin yang lebih tinggi dan
dopamin serum yang lebih rendah dibandingkan dengan subjek non-rabun.
- Paparan cahaya dan ritme sirkadian berperan penting dalam berkembangnya miopia
When a corrective lens is placed in front of the
eye, straight-ahead vision is clear as the image
falls directly in the central area of the retina, the
fovea, but peripheral vision is actually blurred, as
light is focused behind the plane of the retina,
due to the curvature of the eyeball. In scientific
terms this is called ‘peripheral hyperopic
defocus’
Production mechanism of myopia :
Axial myopia
• Increased length of eyeball
• 1mm=3D
Curvature myopia
◦ Increased curve of cornea e.g. conical cornea
• Increased curve of lens e.g. lenticonus
• 1mm=6D
Positional myopia
• Anterior displacement of lens e.g. trauma.
Index myopia
• Increase in ref index of lens e.g. nuclear sclerosis in diabetes• Increase in ref index of aqueous humor• Decrease in ref index of vitreous humor e.g.
vitreous liquefication
Myopia due to excessive accommodation
• Patients with excessive accomodation
Peran Lingkungan
◦ Kegiatan diluar ruangan

- Guangzhou Randomized Trial : 952 anak (6-7 tahun) mendapat kegiatan tambahan diluar kelas selama 3 tahun vs 951
anak (6-7 tahun) kontrol  Reduksi 23 % insidensi miopia dalam kelompok perlakuan.
- Wu et al. Kelompok ROC (Recess Outside Classrom) mempunyai prevalensi myopia yang lebih sedikit dibandingkan
dengan kelompok kontrol setelah 1 tahun (8,41% vs 17,65%; p <0,001).
- Studi lain menunjukan tidak ada efek yang signifikan dari waktu yang dihabiskan di luar ruangan pada pengurangan
aksial elongasi.
- Aktivitas di luar ruangan memiliki dampak yang lebih penting dalam pencegahan miopia, daripada memperlambat
perkembangan penyakit.
◦ Near work activity
- Singapura : remaja menghabiskan lebih dari 20,5 jam seminggu untuk membaca dan menulis secara signifikan lebih
mungkin untuk mengembangkan miopia (rasio odds 1,12, 95% CI 1,04-1,20, p = 0,003)
- Australia : anak yang membaca jarak dekat (<30 cm) dan pembacaan terus menerus (>30 menit) masing masing 2,5 kali
dan 1,5 lebih banyak kemungkinan untuk mengembangkan miopia dibandingkan kelompok kontrol. (p = 0,02 dan p =
0,0003)
Tata Laksana
◦ RCT tentang efektivitas berbagai macam terapi terhadap progresivitas miopia
Visual Training
◦ Hipotesis Teori Bates 1920  Overwork m. ekstra-okuler menyebabkan perubahan akomodasi.
◦ Biofeeback visual training dapat memodifikasi aksi saraf otonom pada proses akomodasi
◦ Rupolo et al., (1997)  Studi prospektif keefektivan teknik biofeedback akustik untuk terapi visual selama
12 bulan terhadap 33 siswa perempuan dan ditemukan tidak ada perbedaan hasil yang signifikan antara
kelompok perlakuan dengan kontrol.
◦ Kang et al., (2016)  Studi kasus-kontrol terhadap Chinese Eye Exercise dalam mengendalikan miopia
menggunakan sampel 261 anak-anak (12,7 ± 0,5 tahun) secara keseluruhan tidak menemukan hubungan
yang signifikan antara latihan mata dan risiko mengembangkan miopia (OR = 0,73, 95% CI: 0,24-2,21),
atau progresivitas miopia (OR = 0,79, 95% CI: 0,41-1,53) selama 2 tahun.
◦ Kesimpulannya, tidak ada bukti konsisten yang menunjukkan visual training efektif memperlambat
perkembangan miopia.
Progressive Additional Lens Spectacles (PALs)
Bifocal Spectacles (BSLs)
◦ PALs mereduksi retinal hyperopic blur dengan mengurangi accommodative lag saat melakukan near work.
◦ RCT Finlandia oleh Parsinen et.al selama 3 tahun pada 240 anak sekolah (9 -11 tahun) melaporkan bahwa progresivitas
miopi dipengaruhi oleh jumlah aktivitas kerja jarak dekat dan mengurangi upaya akomodasi dengan menggunakan kacamata
bifokal atau kacamata baca adalah tidak efektif .
◦ The Randomized Correction of Myopia Evaluation Trial (COMET) pada 469 anak (9 tahun) yang secara acak dibagi ke grup
PALs vs Single Vision Spectacle Lense (SVSLs). Follow up selama 3 tahun reduksi progresivitas myopia pada kelompok
PALs sebesar 0,2 D dan tidak bermakna secara statistic . Analisis Sub grup lag akomodasi tinggi (>0,43 D untuk target 33
cm) dan esophoria, progresivitas miopinya pada kelompok PALs adalah – 1.08 dan pada kelompok SVSLs sebesar -1,72..
◦ Sebaliknya, Cheng dkk. mengevaluasi efek kacamata bifokal (BSL) dan kacamata bifokal prismatic tentang progresivitas
myopia anak –anak cina kanada dengan miopia tingkat tinggi (progresivitas min. 0,50 D / tahun). Follow up selama 3 tahun,
hasil signifikan reduksi progresivitas miopia sebesar -0,81 D (p <0,001) dan -1,05 D (p <0,001) dibandingkan SVLs.
◦ Meta-analisis Huang et al. (2016), keefektifan PAL dan BSL dalam memperlambat progresivitas myopia disbanding denagn
SVLs memiliki Interval Kredibel (CrI) yang rendah.
PALs : lebih estetik, tanpa loncatan bayangan, bisa untuk penglihatan jarak
menengah, - melihat kesamping bisa blur

BSLs
Soft Bifocal Contact Lenses
◦ Sankaridurg et al. (2011) studi klinis non-acak selama 12 bulan pada anak-anak China ( usia rata-rata 11,2
tahun)  pada kelompok Soft Contact Lenses (SCL) perlambatan progresivitas miopia sebesar 34% (−0,57 D,
interval kepercayaan 95% [CI], 0,45-0,69 D), dibandingkan dengan lensa kacamata (−0.86, 95% CI, 0.74
hingga 0.99 D). Usia rata-rata kelompok perlakuan adalah 11,6 tahun dan kelompok kontrol adalah 10,8 tahun.
◦ Studi di Hongkong Lam et al. (2014) terhadap 221 anak (8-13 tahun)  Defocused Incorporated Soft Contac
(DISC) memperlambat progresivitas miopi sebanyak 25 % (0,3 D/ tahun) dibandingkan dengan kelompok
SVSCLs (0,4 D/year) p=0,031. High droup out 42%
◦ Rigid Gas Permeable Contact lense (RGPCLs) 2 studi menyatakan tidak efektif menghambat progresifitas
myopia
◦ Huang et al (2016)  SCL dibandingkan SVSL atau placebo tidak memiliki efek signifikan secara keseluruhan
pada kontrol perkembangan myopia.
Orthokeratology (OrthoK)
◦ Lensa kontak permeabel gas yang dipakai pada malam hari, berfungsi untuk secara temporer mendatarkan kornea
bagian sentral, menjadi lebih tipis, mendistribusikan kembali sel-sel epitel ke pertengahan perifer kornea  AL
berkurang
◦ Longitudinale Orthokeratology Research in Childrean /LORIC (2005) melaporkan pengurangan 2,09 ± 1,34 D
pada kelompok OrthoK dibandingkan dengan kelompok kontrol yang memakai SVSL setelah 24 bulan. OrthoK
menunjukkan perpanjangan AL 0,29 ± 0,27 mm, kelompok control 0,54 ± 0,27 mm  Studi lain hasilnya tidak
jauh berbeda
◦ Lee et al.(2010) dan Cho et al. (2017) melaporkan bahwa penghentian OrthoK akan menyebabkan progresivitas
myopia lebih cepat , dibandingkan yang memakai SVSLs.
◦ Pemakaian OrthoK pada malam yang panjang merupakan faktor risiko terjadinya penyebaran infeksi.
◦ Studi retrospektif, kejadian keratitis pada anak-anak yang memakai OrthoK = 13,9 per 10.000 pemakai setiap
tahun , Pseudomonas aeruginosa (36,4%) dan Acanthamoeba (32,4%) .
Terapi Farmakologis
◦ Tinjauan database Cochrane 2011  antimuskarinik dan khususnya atropin paling efektif dalam memperlambat
progresivitas myopia.
◦ Efek timolol 0,25%, dibandingkan kacamata pada 150 anak Denmark  follow up lanjut 2 tahun, mereka tidak
menemukan perbedaan progresivitas miopia yang signifikan (−0,59 D / yeras pada kelompok timolol dan 0,57 D per
tahun pada kontrol)
◦ 7-methylxanthine (7-mx) pada primata terbukti. Pada manusia belum banyak diteliti pemakaian 2 tahun dapat
mengurangi elongasi aksis. Folllow up 1 tahun wash out terbukti tidak efektif.
◦ Latanoprost (analog pg) tekanan pada sklera lebih rendah terbukti mengurangi TIO, elongasi aksial dan kelainan
refraksi pada marmut ).  pada manusia perlu diteliti
◦ Antimuskarinik : Pirenzepine ophthalmic gel 2% terbukti efektif dibandingkan placebo  3 penelitian
◦ Antimuskarinik : Siklopentolat 1% vs Atropin 1% vs Plasebo  progresivitas miopia -0,21 vs -0,57 vs 0,91 / years
◦ Atropin In The Treatmen of Childhood Myopia (ATOM) 1 (2012)  400 anak Asia (6 -12 tahun) dengan
kelainan refraksi diantara -1,00 D dan -6,00. Atropin eyedrop 1 % vs Plasebo selama 2 tahun hasil pengukuran
kelompok atropine progresivitas miopia lebih rendah 0.92 D dan AL lebih rendah 0,40 mm dibandingkan
kelompok placebo , p < 0,001. ESO = reaksi alergi (4,5%), silau (1,5%) dan penglihatan dekat kabur (1%).
Periode wash out 1 tahun ditemukan fenomena rebound kel. Atropine.
◦ ATOM 2 (2016) meneliti Atropin 0,1 % vs 0,5 % vs 0,01 %  atropin 0,01% memberikan efek rebound
maupun efek samping paling rendah,dan efek menghambat progresivitas miopia paling tinggi.
◦ Beberapa studi menggunakan sampel anak-anak belanda, eropa , dan afrika  penurunan progresivitas myopia
yang signifikan dengan terapi atropine 0, 5 % , eso = photophopia (78%), masalah membaca (38%), sakit
kepala (22%).
◦ Clark (2015)  60 orang anak-anak Amerika menjalani pengobatan atropin 0,01% selama 1 tahun progresivitas
miopia = −0,1 ± 0,6 D/tahun pada kelompok perlakuan vs. - 0,6 ± 0,4 D/tahun pada kelompok kontrol).
Efektivitas berbagai macam tatalaksana penghambat progresivitas myopia dibandingkan degan
SVSLs dan Plasebo (Huang et al., 2016)
Diskusi
◦ Gutenberg Eye Study , prevalensi myopia pada pelajar di Asia = 53,4 % dan Pelajar Kaukasia = 50%
◦ Latar belakang genetic mempunyai peran penting dalam perkembangan myopia, karena tidak dapat
dimodifikasi maka pencegahan berupa penggurangan faktor resiko lingkungan perlu diperhatikan
◦ Xiong et al (2017)  Outdor activity lebih signifikan dalam memperlambat onset myopia dibandingkan
progresivitasnya. Outdour activity dapat dipertimbangkan sebagai strategi sederhana dalam upaya
meningkatkan Kesehatan anak secara global.
◦ PAL dan BSL tidak boleh menjadi terapi lini pertama terkait progresivitas myopia karena efektivitasnya
rendah
◦ SCL efikasinya besar dalam menghambat progresivitas myopia dalam 1 tahun pemakaian pertama namun
menurun seiring berjalannya waktu selain itu pada penelitian ini angka drop outnya tinggi (42%).
◦ OrthoK memberikan hasil pemanjangan aksial yang lebih rendah kurang lebih 40 % daripada SVLS , namun
apabila pemakaian OrthoK dihentikan fenomena rebound / progresivitas myopia yang lebih cepat dapat
terjadi. Kepatuhan pemakaiannya rendah, dan peningkatan resiko keratitis harus dipertambangkan orthoK ini
tidak menjadi lini pertama terapi progresivitas miopia.
◦ Berdasarkan studi ATOM 1 dan ATOM 2 Atropin 1% dan 0,01% dapat memperlambat progresivitas
miopia. Namun dosis yang lebih tinggi menunjukan fenomena rebound, eso silau, alergi, dan
penglihatan jarak dekat kabur yang lebih signifikan.
◦ Formulasi terakhir (Atropin 0,01 %) menunjukkan keamanan yang paling dapat ditoleransi dengan
fenomena rebound paling sedikit setelah penghentian, yang mengarah ke hasil jangka panjang yang
paling meyakinkan untuk dipertimbangkan sebagai pengobatan lini pertama dalam memperlambat
progresivitas miopia. penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memberikan hasil yang luas secara
global di populasi lain dan memberikan instruksi yang lebih tepat tentang posologi obat.
◦ Gel mata pirenzepine 2% telah menunjukkan hasil yang menggembirakan pada anak-anak, namun
hanya 2 RCT yang telah dilaporkan dan uji coba skala besar diperlukan untuk mengevaluasi perannya
dengan lebih baik dalam memperlambat perkembangan myopia.
Kesimpulan
◦ Obat antimuskarinik, khususnya atropin 0,01%, memberikan kemanjuran
klinis yang terbaik dengan efek samping yang dapat ditoleransi dan
kepatuhan yang baik untuk pasien. Namun, kemungkinan rebound rabun
setelah penghentian pengobatan dan kenyamanan dalam menggunakan obat
tetes mata setiap hari selama bertahun-tahun untuk mendapatkan pengurangan
perkembangan miopia masih perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, akan
menarik menganalisis efek tambahan dari obat antimuskarinik yang
dikombinasikan dengan terapi lain dalam RCT skala besar.
◦ Kontribusi Penulis: Semua penulis yang termasuk dalam
penelitian ini berkontribusi pada pengumpulan data, tinjauan
literatur dalam dataset Pubmed dan dalam menarik kesimpulan
tentang terapi klinis terbaik.
◦ Pendanaan: Penelitian ini tidak menerima pendanaan eksternal.
◦ Konflik Kepentingan: Para penulis menyatakan tidak ada konflik
kepentingan.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai